Showing posts with label indonesia. Show all posts
Showing posts with label indonesia. Show all posts

Friday, 14 June 2013

ULASAN MENGENAI MAJUNYA JENDERAL (PURN.) TNI DJOKO SANTOSO UNTUK RI 1 (JILID II)

ULASAN MENGENAI MAJUNYA JENDERAL (PURN.) TNI   DJOKO SANTOSO 
UNTUK RI 1 (JILID II) : JADILAH PELARI ESTAFET YANG BAIK





Rohman, Arif. (2013). Ulasan mengenai majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso untuk RI 1 (Jilid II) : Jadilah Pelari Estafet yang baik. Kabar Jember, 6(1).


Tak terasa sudah hampir satu bulan sejak Pak Djoko Santoso menyatakan kesiapannya untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) Republik Indonesia untuk periode 2014-2019. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beliau pada pertengahaan bulan Mei 2013, "Jika Allah mengizinkan dan rakyat mendukung, Insya Allah saya siap melanjutkan kepemimpinan di negara ini". 

Sejak saat itu banyak pendapat yang beragam terkait dengan pernyataan kesiapan pencalonan beliau, dikarenakan beliau tidak memiliki kendaraan politik yang dalam hal ini adalah partai politik pengusung. Tulisan ini berusaha memahami posisi beliau dalam percaturan politik di Indonesia dan peluang-peluang yang ada untuk diusung oleh partai politik di Indonesia dari kacamata saya pribadi.

Hal pertama yang saya ingin bahas adalah popularitas dan elektabilitas beliau dalam konteks masyarakat Indonesia. Perlu diakui bahwa selama ini beliau dalam kariernya sebagai tentara memang jarang diexpose/terexpose. Ini berlanjut sampai beliau memegang tampuk pimpinan dari Pangdam Jaya, Wakasad, Kasad, dan terakhir Panglima TNI. Informasi yang saya terima langsung dari beliau, beberapa waktu lalu sebenarnya sudah terjawab. 

Kata beliau, saya tidak perlu banyak tampil di media. Tugas saya sebagai Panglima TNI adalah mengamankan territori Indonesia. Saya hanya ingin bekerja dengan baik sebagai tentara. Menjaga keamanan negeri dan kedaulatan negara. Sebagai pimpinan TNI ada saatnya kita bicara dan ada saatnya tidak. Tapi yang pasti tugas tentara itu ya di lapangan. Kata-kata beliau ini setelah saya check dengan beberapa tentara yang dekat dengan beliau, memang benar adanya. Bahkan tidak sedikit dari teman-teman dan anak buahnya, yang menyebut beliau sebagai benar-benar jenderal lapangan atau ada yang menyebutnya sebagai jenderal yang sangat perfeksionis. 

Menurut pendapat beliau, seseorang dikatakan pemimpin jika punya anak buah dan anak buahnya tersebut mau dan mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Jadi kalau ada orang yang mengaku pemimpin tapi anak buahnya atau orang-orang dibawahnya tidak mengakuinya, tidak menuruti perintahnya sebagaimana diatur dalam sebuah organisasi, itu berarti dia bukan seorang pemimpin. Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa menjadi contoh. 

Menjadi teladan bagi orang-orang di sekelilingnya. Seorang pemimpin yang hebat adalah mereka yang diberi tugas yang sesulit apapun tetapi bisa diselesaikan. Pemimpin harus punya jiwa 'problem solver'. Menurut Pak Djoko Santoso, demokrasi di Indonesia sudah berjalan dan tugas kita semua untuk mengawal dan mendukung ke arah yang lebih baik. Kita tidak bisa mundur ke belakang, jika ada yang salah atau tidak benar, sistemnya lah yang harus dibenahi bersama agar bisa lebih baik lagi. Menurutnya, demokrasi di Indonesia bisa menjadi tolok ukur demokrasi di Asia khususnya di Asia Tenggara. Bila Indonesia berhasil dalam masa transisi ini, dan kemudian menjadi negara yang aman, maju dan sejahtera, maka negara-negara tetangga juga akan mendapatkan manfaatnya. 

Tetapi sebaliknya kalau negara ini rusuh dan kondisi tidak stabil, maka negara-negara tetangga juga akan merasa terancam. Dan itu tentu saja tidak baik bagi hubungan pertemanan dan politik antar bangsa. Menurut beliau, sekarang jamannya sudah berubah tidak seperti dulu. Sekarang ini definisi perang sudah berubah. Kalau dulu perang dalam artian perang senjata atau fisik dengan menggunakan peralatan tempur, perang sekarang ini adalah perang kebudayaan dan prestasi. Sebagai contohnya, negara dengan prestasi olah raga yang terbaik di dunia (salah satu ukurannya adalah olimpiade), pada dasarnya adalah negara yang menang perang. Hal ini terbukti dengan dominasi Amerika dan China dalam ajang kejuaraan tersebut. 

Tidak dapat dipungkiri, mereka sejatinya adalah negara pemenang perang. Karena itulah sistem pembinaan olah raga harus mulai kita tata kembali. Pencarian bakat harus dimulai sejak dini. Sejak anak masih di pendidikan dasar, sehingga mereka tahu bakatnya apa dan bisa terus dikembangkan sampai perguruan tinggi, tingkat nasional, dan akhirnya mewakili Indonesia dalam event-event internasional. Artinya, pengkaderan atlet harus dimulai sejak dini dan didukung sistem yang baik, dan bukan sistem yang sifatnya sporadis atau asal comot atau asla ketemu saja. 

Pada point ini, kesejahteraan para atlet di Indonesia juga harus diperhatikan karena mereka-mereka ini pada dasarnya adalah pahlawan-pahlawan bangsa yang membawa harum nama bangsa Indonesia. Demikian juga halnya dengan kesejahteraan masyarakat. Negara yang mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya adalah negara-negara yang menang perang dalam arti yang sesungguhnya. Karena itulah keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat harus diutamakan. 

Para pemimpin di negeri ini sudah saatnya kembali kepada arti/makna dasar dari istilah pejabat negara. Pejabat negara yaitu mereka yang mau mengabdikan diri pada negara. Kata kuncinya adalah mengabdi pada negara. Artinya, mereka-mereka ini, para pejabat sudah tidak lagi pada tahap mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengedepankan/mementingkan kepentingan/kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnyanya. Menjadi pejabat negara adalah pengabdian. 

Jadi harus siap miskin. Harus siap capek. Harus siap tersita waktunya untuk keluarga. Karena itu diperlukan dukungan penuh dari seluruh anggota keluarga. Cara dan gaya hidup para pejabat di awal kemerdekaan harus ditiru dan dihidupkan kembali. Memberikan teladan dan mengajari masyarakat untuk hidup sederhana. Kekayaan dan harta pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya semu, namun rasa bahagia melihat negara menjadi aman, sejahtera dan adil secara sosial yang nantinya akan diwariskan pada generasi selanjutnya, anak-anak dan cucu-cucu kita, itulah makna kebahagiaan yang sejati. Tongkat estafet ini harus diserahkan pada pelari berikutnya, dan pelari sekarang, saat ini, yaitu kita semua, harus bisa berlari dengan baik. Semakin kita berlari dengan baik, dengan cepat, dengan penuh semangat, pelari selanjutnya akan lebih mudah untuk meneruskan perjuangan ini.

Jadi, dari apa yang diungkapkan beliau ini, saya bisa berkesimpulan bahwa beliau punya maksud yang baik. Beliau punya visi dan misi yang jelas untuk mengabdi dan membangun negeri ini. Mengingat track record/jejak rekamnya yang cukup baik, diantaranya berhasil memadamkan konflik/bencana sosial di Ambon Maluku setelah gonta-ganti panglima sampai 3 kali dan gagal, prestasinyanya dalam menangani para pengungsi korban bencana alam di Aceh dan Jogja, membuktikan bahwa beliau bisa memimpin dengan baik dan sekaligus dapat menyelesaikan tugas yang diamanatkan kepada beliau dengan baik pula. Jadi, pertanyaannya kemudian, apakah kita butuh profil individu yang sering tampil di media massa atau mereka yang dengan legowo tidak banyak tampil di media massa tapi menghasilkan pekerjaan/prestasi yang lebih baik? 

Saya tidak menafikkan bahwa salah satu faktor untuk bisa memenangkan pemilu presiden adalah dikenal luas oleh masyarakat (kepopuleran). Tapi bukankah masih ada waktu sekitar 1 tahun ini untuk mengenalkan Pak Djoko Santoso kepada masyarakat? Bukankah intan meskipun terbenam dalam lumpur yang hitam sekalipun, namun dia tetap intan? Bukankah intan itu akan senantiasa bersinar dan orang akan berusaha sekuat tenaga untuk meraihnya. Bukankah sesuatu yang memiliki kualitas akan selalu dicari meskipun sulit atau jauh tempatnya? 

Bukankah para pecinta ayam pelung akan rela menempuh perjalanan jauh masuk keluar desa-desa di Cianjur untuk melihat dan membeli ayam pelung Cianjur? Bukankah orang harus rela berjalan jauh ke desa-desa di balik gunung di Jawa Timur, hanya untuk melihat dan membeli ayam cemani (ayam yang seluruh badan, bulu, paruh, kaki, kepala dan darahnya hitam - bisa buat obat/penyembuhan penyakit) yang sangat langka? Jika memang Pak Djoko Santoso memang secara pribadi dan profil nantinya lebih baik dari jenderal-jenderal yang ada yang mencalonkan diri juga, bukankah nanti masyarakat yang akan menentukan? 

Saya percaya dalam beberapa waktu ini, jika komunikasi politik beliau berjalan dengan baik (hal ini tentu saja harus ditunjang/didukung oleh tim sukses yang ahli dan profesional), masyarakat akan lebih mengenal beliau, masyarakat akan lebih dekat dengan beliau, dan mungkin saja akan menjadi pendukung beliau dalam pemilu presiden 2014. Mungkin masyarakat sudah jenuh dengan profil jenderal-jenderal yang ada saat ini yang merupakan pemain lama. Kehadiran pak Djoko Santoso adalah sesuatu yang dirasakan fresh/segar yang diharapkan bisa mengisi ruang yang kosong/kerinduan akan pemimpin yang jujur dan adil selama ini kita impi-impikan? Sebagai konsekuensinya, elektabilitas beliau nantinya akan naik, dan partai-partai politik pun kemudian tidak akan segan-segan lagi untuk mengusung beliau sebagai capres 2014. 

Hal kedua yang menarik bagi saya adalah membahas peluang beliau untuk diusung partai-partai politik. Menurut saya, nilai jual beliau ada pada dirinya yang seorang nasionalis. Sesuatu yang ditawarkan pada sosok/pribadi beliau adalah cinta tanah air. Ya.. Beliau adalah seorang nasionalis. Tidak terkotak-kotak pada kelompok-kelompok yang ada. Meskipun beliau adalah seorang nasionalis beliau adalah orang yang taat beribadah. Tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Pernah saya bertamu ke tempat beliau, pada waktu masuk waktu sholat, beliau langsung dengan santun memotong pembicaraan, dan meminta ijin untuk sholat Dzhuhur. Luar biasa... 

Mungkin tidak banyak masyarakat yang tahu. Inilah yang menjadi alasan kenapa saya menulis artikel sederhana ini. Agar beliau dikenal… Agar masyarakat tahu dengan jelas dan nantinya mempertimbangkan dengan/secara obyektif calon mana yang sesuai dengan hati kecil mereka dan akan mereka pilih. Beliau adalah sosok yang ngemong. Beliau ingin orang-orang Indonesia bisa sekolah tinggi dan tidak kalah dengan bangsa lain. Sekolah tinggi itu investasi. Generasi-generasi ke depan harus lebih cerdas dan lebih pintar. Jika kelak negara ini dipimpin oleh generasi selanjutnya yang pintar dan berakhlak mulia maka cita-cita luhur dalam sejarah "gemah ripah loh jinawi' akan benar-benar terwujud. 

Sebagai seorang pemimpin, beliau sangat menghargai para pemimpin-pemimpin sebelumnya. Ada hal-hal positif yang harus dicontoh/ditiru dan ada hal negatif yang perlu ditinggalkan. Sebagai contohnya, perlu diakui bahwa mantan presiden Soeharto adalah seorang pemberani. Pada waktu di camp ketika semua tentara tidur, Soeharto malam-malam keluar sendirian, berjalan sendirian hanya untuk mengetahui situasi di luaran. Begitu beraninya! Pagi-pagi baru pulang dan ketika teman-temannya bertanya, dari mana? Soharto hanya menjawab sederhana, jalan-jalan saja… Cari angin... Keberanian Soeharto ini lah yang patut ditiru. Ketika lawatan ke Bosnia??? Pesawat presiden Soeharto tidak boleh turun karena tidak dijamin keselamatannya oleh pasukan PBB? Dia bilang turun! Dan pesawatnya pun turun... Dan tidak terjadi apa-apa! Ketika lawatan di Belanda??? Informasi intel memberitahukan bahwa lokasi sudah dikepung kelompok-kelompok pro separatis yang tinggal di Belanda. Tetapi beliau bilang, masuk! 

Dan akhirnya rombongan Pak Harto masuk dan ternyata tidak terjadi apa-apa! Keberanian inilah yang musti ditiru karena kedaulatan bangsa bisa diukur dari kedaulatan dan keberanian pemimpinnya sebelum dan sejak mulai menjabat. Karena itu tidak pernah pada jaman Soeharto orang Malaysia memanggil orang Indonesia dengan sebutan Indon. Jenderal Djoko Santoso juga pernah menjadi anak buah presiden SBY. 

Meskipun banyak suara negatif tentang SBY, Pak Djoko juga mengungkapkan sisi positif SBY yang salah satunya adalah merangkul hampir semua pihak untuk duduk dalam pemerintahannya. Ini tidak dilakukan oleh presiden sebelumnya. Begitu juga hal positif pada diri presiden lainnya seperti Gus Dur yang sangat toleran pada minoritas dan kebebasan beragama, kepada Ibu Megawati yang memiliki jiwa nasionalisme dan kebesaran hati memaafkan rezim orde baru, serta kecerdasan Habibie dalam mendukung teknologi dan terobosannya dalam menyeimbangkan rupiah dengan dollar ketika beliau masih menjabat presiden, yang tidak diketahui oleh publik. 

Di sini, jelas terlihat bahwa Pak Djoko Santoso bukan tipikal calon presiden yang ingin mencipatak statue/patung atau monumen untuk dirinya sendiri, namun lebih banyak belajar dari pendahulunya, dari sejarah yang ada. Sosok Jenderal yang tidak pernah berhenti belajar kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Jika pembaca tulisan ini berkesempatan berbicara atau bertatap muka langsung dengan beliau, pasti akan merasakan aura beliau yang bersih, tulus, ramah, jujur dan tidak macam-macam. Seperti kata beliau, kebijakan yang sudah ada nanti kita cermati, yang baik ditingkatkan dan yang belum baik kita perbaiki bersama. Saya piker, masih ada partai-partai di Negara kita tercinta yang juga memiliki hati yang tulus dan bersih, yang kelak akan meminang beliau untuk maju sebagai calon presiden 2014. 

Sebagai intermezzo, beberapa hari yang lalu saya sempat menelpon Ibu saya di kampung Tanubayan Demak. Iseng-iseng saya nanya apakah Ibu saya sudah lihat iklan Pak Djoko Santoso di TV? Ibu saya bilang belum. Terus saya tanya lagi, masak enggak ada Ibu? Itu lho yang Indonesia ASA (Adil, Sejahtera, Aman). Yang mana ya? Terus saya bilang, yang pakai caping petani terus terakhirnya berdoa mengangkat tangan sama petani di sawah sambil bilang Amien Ya Rabbal Alamien... Ibu saya bilang, ohh... Kalau yang itu sudah. Kalau yang itu sudah… Ibu tidak tahu kalau itu namanya Djoko Santoso, soalnya dia bawa caping kayak petani. Ibu pikir biasanya kalau calon presiden suka pakai jas yang rapi-rapi gitu. Kalau ini beda... Sudah... Sudah... Kalau itu sudah ada iklannya. Kalau pemilu besok Ibu akan coblos dia nang... (nang=sebutan untuk untuk anak lanang/anak laki-laki, bahasa Jawa). Saya cuman nyengir... Yahhh... Paling tidak Pak Djoko Santoso sudah mendapatkan suara dari saya dan Ibu saya. Kemungkinan juga isteri, kakak, adik, dan keluarga saya semua di Jawa maupun di Sumatera Barat. Mungkin juga teman-teman, tetangga, dan warga di tempat kami tinggal. Jadi kami berharap dan berdoa semoga semuanya lancar dan beliau diberi kemudahan sehingga ada paratai politik yang mendukung beliau.

Terakhir, semoga tulisannya ini bisa melengkapi tulisan saya yang terdahulu dan para pembaca dapat memahami dan menyelami secara lebih dalam sosok Jenderal Djoko Santoso. Kepada para fans dan simpatisan saya harapkan dapat bergerak menyebarkan informasi ini kepada keluarganya, tetangganya, dan masyarakat sekitarnya akan adanya calon presiden alternatif yang layak diperhitungkan. Kepada aktivis-aktivis partai politik di Indonesia yang suka dengan profil beliau agar sounding kapada pemimpin partainya, mengadvokasi pada pemimpin partainya dan memberikan dukungan penuh kepada beliau melalui partainya untuk maju sebagai calon presiden alternatif negeri ini untuk periode 2014-2019. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Kita serahkan semua kepada Allah SWT. Semoga garis tangan beliau baik. Beliau adalah pemimpin yang amanah. InsyaAllah...



Wagga Wagga, 14 Juni 2013

-----------------------------------------------------------------------------

[1] Arif Rohman is a PhD Scholar at Charles Sturt University, Australia. He can be reached at: arohman@csu.edu.au.

Saturday, 20 April 2013

Mendikbud lebih baik mengundurkan diri : refleksi dan kritik

Kata mendikbud dalam pikiran saya adalah orang yang berkompeten dalam bidang pendidikan dan memiliki visi yang jelas tentang mau dibawa kemana sistem pendidikan kita. Tulisan ini akan memeriksa mengenai kengototan mendikbud untuk menyelenggarakan ujian nasional walaupun dengan sangat tertatih-tatih.

Poin pertama yang perlu dibahas adalah apakah ujian nasional perlu? Untuk menjawab ini maka saya akan menarik ke akar filosofis tentang makna sekolah itu sendiri. Sekolah adalah tempat bermain, belajar, sosialisasi, pengembangan bakat dan minat, serta wadah untuk mengasah kreatifitas. Celakanya di negeri kita yang tercinta ini definisi sekolah diartikan sangat sempit (sekali) yaitu tempat belajar untuk mendapatkan nilai bagus (biasanya matematika dan ipa) dan kemudian lulus untuk kemudian bisa diterima di sekolah lanjutan lagi yang diatasnya dan begitu seterusnya. Jadi sekolah untuk sekolah. Paradigma sekolah menjadi satu2nya jalan untuk berhasil dalam hidup. Tentu saja pandangan ini dilanggengkan oleh alat atau tool yang bernama ujian nasional atau un. Pengkultusan un inilah yang mengakibatkan siswa, guru dan sekolah berlomba2 menghalalkan segala cara untuk mengkatrol nilai un tersebut. Maka tak heran lagi pada saat mendekati un banyak siswa yang stress, tidak hanya siswanya tapi juga guru2nya terutama kepala sekolahnya untuk mendapatkan citra atau image sekolah unggulan. Kemudian banyak praktek primitif seperti pergi ke kyai atau dukun untuk minta didoain supaya lancar bahkan ada praktek rajah pensil dan pena segala?? Serta rame2 istighotsah sambil menangis histeris. Pemandangan ini bagi saya sungguh sangat tidak sehat dan memprihatinkan. Miris saya melihatnya. Para siswa karena tertekan akhirnya iuran untuk membeli soal entah itu soal asli atau tidak pun mereka tidak tahu. Guru2 bahkan kadang memberi bocoran soal kepada muridnya. Beberapa sekolah mengadakan les atau karantina?? Para kepala sekolah menekan para guru untuk meluluskan seluruh muridnya. Kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas pendidikannya. Dan kepala dinasnya ditekan oleh bupatinya dan diancam dipindahkan atau dinonjobkan. Akhirnya, sekali lagi semua carapun dihalalkan. Kalau hal itu yang terjadi bukankah ini yang namanya sandiwara?? Dimanakah letak kejujuran?? Bukankah tanpa ujian nasional, guru dan sekolah justru bisa memberikan assessment yang lebih obyektif terhadap anak muridnya?? Yang menarik adalah un tidak bisa menjawab apakah bisa mengukur kemampuan siswa dalam 3-4 hari dengan alat ukur yang sama tanpa memperhatikan progress harian, keunikan siswa dan kondisi fisik, psikologis, geografis, budaya dan fasilitas serta kualitas tiap sekolah yang berbeda? Anak-anak sekolah 3 tahun ditentukan dalam 3-4 hari adalah sesuatu yang tidak fair. Jika pada waktu ujian anak tersebut kena typhus, mencret, pilek dan tidak bisa mengerjakan soal pada waktu itu hancurlah masa depannya dan perjuangannya selama 3 tahun. Sekolah disini identik dengan stress, tidak nyaman dan rawan gangguan mental. Tidak ada bedanya dengan leprosarium atau asylum atau semacamnya yang menjadikan siswa sebagai obyek penderita dan tidak memiliki hak untuk memilih apalagi hak untuk menjadikan sekolah sebagai tempat istimewa dimasa kanak2 yang seharusnya indah tak terlupakan. Menyedihkan bukan?

Untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman tentang suatu konsep ada baiknya kita memakai pendekatan komparasi. Karena saya tinggal di Australia dan pernah mendapatkan 3 beasiswa dari Australia yaitu ADS, ALA dan Compaqt jadi paling tidak saya tahu sedikit tentang sistem pendidikan di sini, maka saya akan mengambil Australia sebagai pembanding. Di Australia sekolah adalah wajib. Kata wajib memberi implikasi sekolah itu tidak bayar alias free. Mungkin kita akan membayar $45 per tahun atau sekitar 450 ribu tapi itupun sifatnya sukarela untuk beli keperluan sekolah seperti buku2 perpustakaan, alat peraga sekolah dan lain2 dan besarnya ditentukan oleh rapat wali murid dengan pihak sekolah. Kalau sekiranya keberatan, kita cukup bilang ke sekolah dan diwaive alias dibebas gratiskan. Sebagai konsekuensinya, orang tua yang tidak mengirim anaknya sekolah akan berurusan dengan hukum karena dianggap melakukan child abuse (perlakuan salah terhadap anak) karena menghambat hak untuk tumbuh kembang anak. Di sini sekolah dibagi berdasarkan region, artinya tempat tinggal menentukan kemana anak itu akan sekolah. Biasanya sekolah akan menolak jika tempat tinggal calon siswa tidak ada di region atau wilayahnya pada saat registrasi atau pendaftaran. Artinya orang kaya milyuner juga harus bersekolah di area tempat tinggalnya. Ini untuk public school (sekolah negeri) kecuali mereka menyekolahkan anaknya ke private school (sekolah swasta) yang biayanya selangit. Dalam konteks ini masyarakat atau community diajak untuk peduli bangga dan mendukung keberadaan institusi pendidikan di sekitar tempat tinggalnya masing2. Ini berakibat pada meratanya kualitas sekolah di tiap wilayah. Tidak seperti di kampung saya dulu di Demak semua orang berebut masuk SMP 2 dan SMA 1 sementara sekolah lain tidak kebagian murid. Sekolah sangat mudah di sini artinya kita tinggal datang registrasi ditanya umur dan mendapat kelas. Misalnya umur 6 tahun kelas 1 SD, umur 7 tahun kelas 2 SD dan begitu seterusnya tanpa menunjukkan raport atau apapun. Jika kita merasa anak kita mampu kita bisa argue ke sekolah untuk naik ke jenjang lebih tinggi dengan mekanisme khusus. Tapi buat apa? Ini jarang dilakukan karena konsep peer group (kelompok sebaya) dimana anak akan nyaman, aman, senang secara psikologis jika belajar dengan anak seumurnya. Tidak ada tes masuk sekolah! Saya masih ingat anak saya yang sekolah SD di depok harus ditest bisa baca tulis, menghitung dan menghafal doa atau ayat Al Qur'an! Bukannya TK adalah tahapan perkenalan akan dunia pendidikan saja. Jadi lebih baik bermain dan bersosialisasi. Kalau setiap anak harus bisa calistung dan menghapal doa terus apa dong kerjaan guru SD?? Gila... Tapi mau diapain lagi? Belum lagi pekerjaan rumah atau PR yang seabreg. Saya sedih pas lihat anak saya bangun tidur dan bilang, "Papa... Saya belum mengerjakan PR..." Sambil nangis... Sedih banget... Di sini sekolah yang akan mengajarkan baca tulis dengan metode bermain dan pergi ke perpustakaan meminjam buku seminggu sekali yang dia suka. Anak2 akan menceritakan atau sharing di depan teman2nya. PR biasanya selembar itupun seminggu sekali. Di sini sekolah dari jam 08.50 mereka main dengan didampingi gurunya sampai jam 09.10 atau istilah kerennya disupervisi karena salah satu instalasi penting sekolah adalah play ground jadi untuk memastikan tidak ada yang cidera pada waktu bermain. Meskipun sekolah sampai jam 15.15 tapi di sini jam istirahat lama yaitu 1 jam dan ada break 15 menit di pagi hari. Tiap minggu ada yang namanya morning assembly dimana guru2 memberikan merit certificate untuk murid2nya secara bergilir berdasarkan kemampuannya. Misalnya benjamin jago membuat mainan dari barang bekas, eva tulisannya sangat indah atau merelyn suaranya sangat merdu. Mencari, menggali dan mendevelop kemampuan seluruh anak didiknya itulah tugas guru. Di Indonesia anak yang lemah di bidang matematika di bilang goblok. Saya adalah korban sistem pendidikan ini berdiri 1 jam di depan papan tulis dan digoblok2in karena tidak bisa mengerjakan soal matematika, gurunya tidak tahu kalau di kelas saya satu2nya siswa yang tidak punya buku paket karena tidak punya uang untuk membelinya. Saya pada waktu itu shocked! Saya trauma sekali dan benci matematika. Untunglah kakak saya yang namanya Mokhammad Khoiri kuliah di STAN sekarang kerja di Kementerian Keuangan, dengan sabar menemani dan mendukung saya. Meyakinkan bahwa matematika itu indah dan menyenangkan. Dan dia mengatakan bahwa di negeri ini matematika masih dinomorsatukan untuk menjadi nomor satu nilai matematikanya harus bagus itulah peraturannya. Jika kita benci matematika kita tidak akan pernah menjadi nomor satu. Itulah peraturannya. Itulah sistem pendidikan di negeri kita. Sejak saat itu saya berusaha menyenangi pelajaran satu ini dan pada akhirnya pada waktu kelas 3 SMA saya benar dapat ranking 1 dan nilai matematika di raport saya adalah 8. Tapi tahukah saudara betapa lamanya waktu untuk memulihkan trauma tersebut? Jujur saya butuh waktu 5 tahun untuk berdamai dan compromise dengan diri saya. Bahwa kita dianggap bodoh karena tidak bisa mengerjakan soal matematika? Meskipun dengan berjalannya waktu hal itu tidak sepenuhnya benar karena sejatinya tidak ada siswa yang bodoh. Yang ada adalah seseorang pintar pada bidangnya masing2. Mengenai transportasi untuk sekolah terurus rapi. Bus sekolah gratis dengan banyak rute sesuai tempat tinggal kita. Kita tinggal nunggu di halte kalau di OZ namanya bus stop pada jam tertentu begitu pula pulangnya. Sekolah di sini mengajarkan kejujuran honesty; persahabatan friendship; berbagi sharing; dan kerja kelompok team work. Maka mereka paling anti mencontek karena itu dianggap berbohong dan tidak jujur. Murid diajak ke museum untuk belajar sejarah, ke kebun binatang untuk mencintai binatang dan ke taman2 untuk bermain. Ada grandparents day (hari kakek-nenek: kakek nenek datang ke sekolah untuk mendongeng), harmony day (hari kerukunan: mereka memakai baju daerah masing2 simbol keragaman dan toleransi), teddy bear day (hari beruang teddy: mereka membawa teddy bear masing2), superhero day ( hari superhero: mereka membawa baju bebas kaos superhero topeng dsb). Begitu variatif... Tidak ada ujian tiap catur wulan. Semua berjalan sesuai kurikulum. Guru akan berkomunikasi dengan orang tua atau wali murid di awal session tentang kurikulum dan misi apa yang hendak dicapai terkait dengan kurikulum. Di akhir session ada interview dengan orang tua atau wali murid tentang perkembangan studi anak sebagai bahan untuk raport siswa. Lihat! Begitu indah simple dan menyenangkannya sistem pendidikan di sini. Anak yang tidak masuk justru sedih karena tidak bisa bermain dengan teman2nya. Beda dengan di Indonesia yang doktrin nomor satunya kamu tidak masuk akan ketinggalan pelajaran dibanding teman2mu. Setelah lulus SMA atau High School biasanya mereka ada yang melanjutkan ke university jika mereka merasa mampu dan ikut proses seleksi dengan membawa hasil analisis dari sekolahnya. Ada juga yang tahu kemampuannya dan memilih TAFE semacam sekolah tinggi untuk mendapatkan sertifikat 1, 2, 3 atau 4 sesuai dengan minat bakatnya seperti memasak, tukang kayu, tukang listrik, guru paud dan sebagainya yang di indo lebih dikenal dengan program diploma. Mereka yang dari TAFE bisa langsung kerja atau masuk universitas. Artinya program diploma itu bridging atau jembatan ke universitas. Mereka yang tidak punya uang bisa meminjam ke pemerintah untuk kuliah (loan) dan mengembalikannya setelah bekerja. Fair bukan? Jadi tidak ada sekolah untuk stress dan takhayul. Tidak ada un tidak ada masalah bukan? Terus kenapa harus memaksakan un? Apakah karena un adalah lahan basah melibatkan banyak pihak dan uang yang tidak sedikit sebagaimana kementerian agama dengan proyek naik hajinya yang rawan korupsi? Tapi anehnya ujian nasional justru didukung bapak presiden kita sesuai
tweetnya di akun twitter @SBYudhoyono
adalah :
1. Pastikan naskah ujian sampai di 11
propinsi sebelum dimulai UN ditempat itu.
Cek sampai ke kabupaten dan kota.
*SBY*
Bantuan angkatan udara dengan pesawat
TNI AU agar dilanjutkan. Saya sudah
instruksikan ke Panglima TNI dan Kasau
*SBY*
Khusus distribusi naskah UN ke 11 provinsi
ini, pengamanan bahan ujian harus dijaga.
Saya sudah instruksikan ke kapolri. *SBY*
2. Jangan sampai UN untuk tingkat SMP
ada yang terlambat lagi. Semua dicek
kesiapannya sejak sekarang. *SBY*
3. Saya tetap minta dilakukan
pemeriksaan, mengapa ada percetakan
yang terlambat. Masalah teknis atau
penyimpangan? *SBY*.
Benar-benar menyedihkan... Di sini presiden kita juga tidak memiliki keberpihakan terhadap anak. Saya tidak menyalahkan beliau namun seyogyanya menterinya yang harus menyediakan informasi yang lebih tepat dan bernas. Sayang menterinya malah berkata, nanti kalau tidak ada ujian nasional terus bagaimana??? This is a kind of ridiculous statement that showing his ignorance!! Konsep ujian nasional diprotes sejak
2006 tidak ada dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meski begitu, pemerintah tetap melaksanakan. Ujian nasional kerap dirundung masalah, bahkan tahun ini bisa disebut pelaksanaan terburuk.

Poin yang kedua yang ingin saya sampaikan adalah jika mendikbudnya tidak paham akan filosofi dasar semacam ini mau jadi seperti apa anak2 kita kelak dengan sistem amburadul dam mbelgedes seperti ini. Mendikbud satu ini juga dalam membikin kebijakan selalu aneh2 sudah itu arogan dan otoriter. Pemilihan rektor perguruan tinggi yang sudah dipilih senat universitas bisa berubah karena dia memiliki 35% suara. Ini artinya yang menentukan pemilihan bukan murni senat universitas tapi intervensi mebdikbud karena suara bisa beralih karena 35% tersebut. Yang lebih gilanya lagi bahwa dia mengatakan perkosaan siswi bisa didasarkan suka sama suka???!! Bukannya dia tahu anak di bawah umur 18 tahun sesuai undang2 perlindungan anak dan convention on the rights of the child tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya karena belum cukup nalar karena itu negara wajib melakukan proteksi? Tidak berpanjang lebar ya sebaiknya beliau dengan legowo dan berbesar hati, mundur sajalah... Kasih posisi dan amanat itu bagi yang mampu dan kompeten. Ujian nasional atau un juga sebaiknya dihapus. Sekali lagi ujian nasional tidak ada dasar hukumnya. Tidak melihat keberagaman kualitas dan fasilitas pendidikan tiap daerah serta diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas (PWD), misalnya tuna netra yang harus mengerjakan soal yang sama dengan waktu yang sama tanpa adanya accessible tools yang ramah PWD. Pelaksanaan un juga menyedot anggaran negara cukup besar. Untuk pelaksanaan un tahun ini, pemerintah telah menganggarkan dana Rp 600 miliar. Bayangkan, untuk urusan pencetakan dan distribusi soal, Kemendikbub menganggarkan sebesar Rp 94,9 miliar. Dengan keukeuh menyelenggarakan un berarti pemerintah lebih mengedepankan hasil akhir yang bisa didapat dari model karantina dan hapalan sesaat yang justru mengaburkan proses pendidikan itu sendiri. Tidak kalah pentingnya, ujian nasional hanya akan menghilangkan peran guru dan sekolah dalam proses evaluasi anak didiknya. Guru dan sekolah yang lebih tahu perkembangan pendidikan siswanya dan bukan mendikbud. Kasihlah authority buat guru dan sekolah masing2 untuk mendidik dan mengevaluasi para siswanya. Haruskah kita menyesal dulu setelah ada siswa yang malu, depresi dan bunuh diri baru kita sesali?

Stop ujian nasional sekarang juga! Kasihan anak2 kita.

Salam,

Arif

Wagga, 20 April 2013

Arif Rohman
Penulis adalah Phd Student in Social Work at Charles Sturt University Australia

Mendikbud lebih baik mengundurkan diri
Reviewed by Rohimah Nurdin on May 5 2013
Rating: 5

Tuesday, 23 November 2010

Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia

Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia

Oleh: Arif Rohman


Dimuat di Warta Demografi, Universitas Indonesia, Tahun Ke-39, No. 3, 2009, pp. 52-55.

Cite:
Rohman, A. (2009). Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia. Warta Demografi Universitas Indonesia, 39 (3), 52-55.


A. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia dengan jumlah populasi anak jalanan yang lumayan besar. Data dari Kementerian Sosial RI menyebutkan bahwa pada tahun 2009 jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 135.139 anak dan tersebar di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan Yogyakarta (Kemensos RI, 2009). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menghapuskan anak jalanan, baik melalui penangkapan maupun penahanan, dan dalam beberapa kasus ekstrim adalah penyiksaan, namun keberadaan anak jalanan tetap tidak berkurang secara signifikan. Sebaliknya, ketika pemerintah cenderung menganggap fenomena anak jalanan sebagai perilaku menyimpang yang secara potensial mengarah pada kriminalitas, media dan lembaga non pemerintah justru menganggap mereka sebagai kelompok rawan sekaligus korban kekerasan secara pasif yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak lagi memiliki kepedulian dan solidaritas sosial. Perbedaan cara pandang ini semakin rumit tatkala fenomena anak punk muncul dipermukaan, yang sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa anak jalanan identik dengan kemiskinan dan keterpaksaan. Tulisan ini mencoba membuka persoalan mengenai semakin maraknya anak punk dan eksistensi mereka di jalanan serta usulan mengenai pola pendekatan dan penanganan yang ideal yang perlu dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi kemanusiaan non pemerintah.

B. Sekilas Mengenai Anak Jalanan
Banyak definisi mengenai anak jalanan yang dipakai para akademisi maupun pemerhati anak guna menggambarkan karakteristik anak jalanan. Namun ironisnya, konsep-konsep tersebut disamping memperkaya pandangan pandangan mengenai anak jalanan, seringkali justru mangaburkan pengertian anak jalanan itu sendiri. Aptekar dan Heinonen (2003) mengungkapkan bahwa definisi umum yang sering dipakai terkait dengan istilah anak jalanan mengacu pada istilah yang digunakan oleh Unicef. Di sini, anak jalanan diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Pertama, children on the street yaitu anak beraktifitas di jalanan namun masih memiliki kontak secara rutin dengan keluarga mereka. Kedua, children of the street, dimana anak hidup, bekerja dan tidur di jalanan. Ketiga, children on and off the street, merujuk pada anak yang memiliki kontak rutin dengan keluarga namun seringkali hidup, bekerja dan tidur di jalanan. Namun demikian, pada tahun 1990 beberapa ilmuwan sosial mulai mengalihkan istilah anak jalanan menjadi pekerja anak untuk menolak labeling anak jalanan.
Salah satu penelitian menarik terkait dengan anak jalanan di Indonesia, dilakukan oleh Harriot Beazley. Mengambil lokasi di Yogyakarta, Beazley (2003) mengatakan bahwa ada kecenderungan anak mengartikan hidup di jalanan sebagai “karir”. Mereka menyadari betapa besarnya stigma negatif yang melekat pada mereka. Oleh karena itulah sebagai kelompok marjinal, mereka berupaya menegoisasikan identitas mereka dan mengembangkan strategi adaptasi terkait dengan aktifitasnya di jalanan. Hal ini terlihat dari kemampuan mereka dalam memaksimalkan hubungan potensi sistem kekerabatan di jalanan, dan menjalin hubungan yang apik dengan mantan anak jalanan, pedagang asongan, dan anak jalanan yang lebih besar. Kelompok-kelompok inilah yang menjadi ‘tali’ dan mensupport mereka untuk survive di jalanan. Pada titik inilah solidaritas sesama anak jalanan muncul dan semakin menguat. Dalam akhir tulisannya, Beazley mengisyaratkan betapa susahnya untuk melakukan rehabilitasi pada mereka yang telah lama turun dan hidup di jalanan. Mereka yang sudah kembali ke rumah biasanya turun kembali ke jalan karena tidak bisa menyesuaikan kehidupan dalam rumah karena banyaknya aturan, tindak kekerasan yang dilakukan orang tua kepada dirinya, keterbatasan ruang, dan kurangnya kebebasan untuk melakukan sesuatu yang mereka suka. Mereka juga rindu dengan teman-temannya di jalanan. Karena itulah dana untuk upaya rehabilitasi sosial pada anak jalanan, akan lebih tepat diperuntukkan bagi mereka yang masih baru di jalanan dan upaya preventif dengan melibatkan partisipasi masyarakat (berbasis komuniti).

C. Fenomena Anak Punk
Permasalahan anak jalanan di Indonesia boleh dikatakan sangat kompleks. Sejak boom pada tahun 1998 karena dipicu oleh krisis moneter, fenomena terkini yang sedang marak terkait dengan anak jalanan adalah anak-anak punk. Mereka diyakini memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan anak jalanan pada umumnya. Istilah punk sendiri memiliki arti yang beragam. O’Hara (1999) mengartikan punk sebagai berikut: (1) Suatu bentuk trend remaja dalam berpakaian dan bermusik; (2) Suatu keberanian dalam melakukan perubahan atau pemberontakan; dan (3) Suatu bentuk perlawanan yang luar biasa karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Anak-anak punk biasa ditandai dengan gaya berpakaian yang mereka kenakan seperti sepatu boots, potongan rambut Mohawk ala suku Indian (feathercut) dengan warna yang berwarna-warni, celana jeans ketat (skinny), rantai dan paku (spike), baju yang lusuh, badan bertatto, memakai tindikan (piercing) dan sering mabuk.
Berkaitan dengan punk, Marshall (2005) membagi punk ke dalam tiga kategori yaitu hardcore punk, street punk, dan glam punk. Jenis pertama, hardcore punk ditandai dengan gaya pemikiran dan bermusik yang mengarah pada rock hardcore dengan beat-beat music yang cepat. Jiwa pemberontakan mereka sangat ekstrim sehingga seringkali terjadi keributan diantara mereka sendiri. Jenis kedua, street punk sering disebut The Oi dan anggotanya dinamakan skinheads. Mereka biasanya tidur di pinggir jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Sebagai akibatnya, mereka banyak bergaul dengan pengamen dan pengemis karena sama-sama hidup di jalanan. Mereka adalah aliran pekerja keras. Jenis ketiga, glam punk biasanya jarang nongkrong dengan komuniti mereka di pinggir jalan dan lebih memilih tempat-tempat yang elite seperti distro atau kafe. Umumnya mereka adalah para seniman dengan berbagai macam karya seni.
Di Indonesia, komuniti punk yang jumlahnya mayoritas dan mendapat perhatian yang lebih dari publik adalah anak punk yang ada di jalanan. Pada umumnya, anak-anak punk tersebut berpendapat bahwa apa yang menjadi gaya hidup mereka adalah suatu kewajaran hidup di daerah metropolis. Keberadaan komuniti ini di kota-kota besar, yang sering menghabiskan waktu di jalanan dengan mengamen di traffic light, gaya berpakaian dan aktifitas nongkrongnya, dirasakan mengganggu kenyamanan masyarakat karena kekhawatiran akan terjadinya tindak kriminalitas yang dilakukan oleh mereka.

D. Kenapa Anak Punk Menjadi Masalah?
Penelitian anak punk yang memotret secara lugas kehidupan mereka di Jakarta dilakukan oleh Wallac. Wallac (2008) mengungkapkan bahwa musik punk yang mendunia pada era 70-an di Barat juga berpengaruh di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Anak-anak yang tergabung dalam komuniti punk saling berbagi kesukaan mereka terhadap music dan gaya hidup. Ikatan kekeluargaan dalam kelompok ini sangat kuat dan jaringan mereka juga sangat luas. Bagi mereka uang dan pendidikan bukan halangan untuk kumpul bersama. Mereka mempunyai slogan khas Do It Yourself (DIY). Mereka sering mengasosiasikan dirinya sebagai orang kecil yang tertindas. Menariknya, anak-anak yang tergabung dalam kelompok punk pada umumnya adalah mereka yang masih dikategorikan sebagai keluarga yang mampu, bahkan banyak pula dari mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Namun demikian, pada umumnya mereka tidak melanjutkan pendidikannya (putus sekolah). Kehidupan mereka sangat memungkinkan dan rawan untuk terjerumus dalam seks bebas. Anak punk perempuan yang suka melakukan seks bebas biasa disebut dengan pecun underground. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai tukang parkir, pengamen, dan ‘polisi cepek’.
Sejumlah pemerhati anak yakin bahwa anak-anak punk sebenarnya adalah anak-anak yang bermasalah. Masalah yang pertama berkaitan dengan dirinya sendiri. Mereka masih mencari jati dirinya dalam tahapan menuju kedewasaan. Kurangnya kesiapan diri membuat mereka mengalami kebingungan dalam mencari identitasnya. Masalah yang kedua berkaitan dengan hubungan dengan keluarga mereka yang pada umumnya kurang harmonis. Mereka kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan keluarga. Komunikasi tidak lancar karena kesibukan orang tuanya bekerja. Sebagai konsekuensinya mereka mencari perhatian di luaran. Terakhir, anak-anak punk adalah anak-anak yang sebenarnya memiliki kreatifitas tinggi. Karena kreatifitas itu tidak terwadahi dan mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah, tentu saja mereka sangat rawan untuk terjerumus dalam tindak kejahatan seperti vandalism, ketergantungan alkohol, penyalahgunaan narkoba, eksploitasi seksual, prostitusi, HIV/AIDS, perdagangan manusia maupun rawan percobaan bunuh diri. Hal ini belum termasuk dengan aparat keamanan dan ketertiban yang sering menangkap mereka dan memperlakukan mereka dengan buruk.

E. Pembantaian Anak Jalanan Bukan Suatu Solusi
Permasalahan anak jalanan dan anak punk memang kompleks. Akan tetapi kita tidak bisa melakukan pembunuhan maupun penyiksaan terhadap anak jalanan sebagaimana telah dilakukan di Brazil, Guatemala, dan Columbia. Dunia masih ingat peristiwa mencengangkan pada bulan Juli 1993 di Gereja Candelaria di Rio de Jeneiro, dimana beberapa polisi tanpa baju dinas menembaki 50 anak jalanan dimana 6 diantaranya meninggal seketika dan 2 anak dibawa ke sebuah pantai dan dieksekusi. Menariknya ketika acara tersebut ditayangkan di stasiun radio, hampir sebagian besar penduduk di sana menyetujui tindakan tersebut. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat di sana yang menganggap anak dalam keluarga adalah malaikat kecil, akan tetapi jika anak tersebut berkeliaran menggelandang maka mereka tak ada bedanya dengan babi (Summerfield, 2008).
Masih dalam sebuah tulisannya ‘If Children’s Lives are Precious, which Children?’, Summerfield (2008) juga menyebutkan bahwa pada tahun 1991, sekitar 1.000 anak jalanan dibunuh di Brazil dan 150.000 anak jalanan mati sebelum mencapai umur setahun karena kemiskinan, sanitasi yang buruk, minimnya layanan kesehatan, serta 2 juta anak jalanan mengalami malnutrisi. Dalam akhir tulisannya dia memberikan pertanyaan yang cukup menggelitik: ‘Apakah dibenarkan membunuh anak-anak karena mereka tidak punya masa depan?’

F. Penutup
Tulisan ini telah mengupas sedikit persoalan mengenai anak-anak punk yang ada di jalanan. Meskipun karakteristik anak-anak punk tidak jauh berbeda dengan anak-anak jalanan pada umumnya, namun alasan utama mereka turun ke jalan justru bukan alasan ekonomi. Mereka memiliki masalah dalam pencarian jati diri dan minim kasih sayang serta perhatian dari orang tua mereka. Mereka juga tidak memiliki wadah untuk menyalurkan bakat dan kreatifitas mereka. Karena itulah penyebutan anak jalanan menjadi pekerja anak menjadi tidak bisa digeneralisir. Jika pemberdayaan dan penguatan ekonomi keluarga sangat penting untuk anak jalanan pada umumnya, maka pemberian konseling keluarga sangat tepat untuk anak-anak punk. Penanganan anak-anak punk secara persuasif harus segera dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun organisasi non pemerintah. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari anggapan bahwa jalanan adalah schools of crime (sekolah kejahatan), sehingga mau tidak mau, tugas kita semua untuk memenuhi dan melindungi hak-hak anak yang sudah tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA) dan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) yaitu anak harus hidup dalam asuhan keluarga secara layak dan dapat mengenyam bangku sekolah. Pembantaian dan pembunuhan terhadap anak-anak yang berada di jalanan bukanlah solusi, melainkan sebuah tindakan biadab yang harus kita kutuk bersama.
--------------------------------