Rohman, Arif. (2013). Ulasan mengenai majunya Jenderal (Purn.) TNI Djoko Santoso untuk RI 1 (Jilid II) : Jadilah Pelari Estafet yang baik. Kabar Jember, 6(1).
Sejak saat itu banyak pendapat yang beragam terkait dengan pernyataan kesiapan pencalonan beliau, dikarenakan beliau tidak memiliki kendaraan politik yang dalam hal ini adalah partai politik pengusung. Tulisan ini berusaha memahami posisi beliau dalam percaturan politik di Indonesia dan peluang-peluang yang ada untuk diusung oleh partai politik di Indonesia dari kacamata saya pribadi.
Kata beliau, saya tidak perlu banyak tampil di media. Tugas saya sebagai Panglima TNI adalah mengamankan territori Indonesia. Saya hanya ingin bekerja dengan baik sebagai tentara. Menjaga keamanan negeri dan kedaulatan negara. Sebagai pimpinan TNI ada saatnya kita bicara dan ada saatnya tidak. Tapi yang pasti tugas tentara itu ya di lapangan. Kata-kata beliau ini setelah saya check dengan beberapa tentara yang dekat dengan beliau, memang benar adanya. Bahkan tidak sedikit dari teman-teman dan anak buahnya, yang menyebut beliau sebagai benar-benar jenderal lapangan atau ada yang menyebutnya sebagai jenderal yang sangat perfeksionis.
Menurut pendapat beliau, seseorang dikatakan pemimpin jika punya anak buah dan anak buahnya tersebut mau dan mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Jadi kalau ada orang yang mengaku pemimpin tapi anak buahnya atau orang-orang dibawahnya tidak mengakuinya, tidak menuruti perintahnya sebagaimana diatur dalam sebuah organisasi, itu berarti dia bukan seorang pemimpin. Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa menjadi contoh.
Menjadi teladan bagi orang-orang di sekelilingnya. Seorang pemimpin yang hebat adalah mereka yang diberi tugas yang sesulit apapun tetapi bisa diselesaikan. Pemimpin harus punya jiwa 'problem solver'. Menurut Pak Djoko Santoso, demokrasi di Indonesia sudah berjalan dan tugas kita semua untuk mengawal dan mendukung ke arah yang lebih baik. Kita tidak bisa mundur ke belakang, jika ada yang salah atau tidak benar, sistemnya lah yang harus dibenahi bersama agar bisa lebih baik lagi. Menurutnya, demokrasi di Indonesia bisa menjadi tolok ukur demokrasi di Asia khususnya di Asia Tenggara. Bila Indonesia berhasil dalam masa transisi ini, dan kemudian menjadi negara yang aman, maju dan sejahtera, maka negara-negara tetangga juga akan mendapatkan manfaatnya.
Tetapi sebaliknya kalau negara ini rusuh dan kondisi tidak stabil, maka negara-negara tetangga juga akan merasa terancam. Dan itu tentu saja tidak baik bagi hubungan pertemanan dan politik antar bangsa. Menurut beliau, sekarang jamannya sudah berubah tidak seperti dulu. Sekarang ini definisi perang sudah berubah. Kalau dulu perang dalam artian perang senjata atau fisik dengan menggunakan peralatan tempur, perang sekarang ini adalah perang kebudayaan dan prestasi. Sebagai contohnya, negara dengan prestasi olah raga yang terbaik di dunia (salah satu ukurannya adalah olimpiade), pada dasarnya adalah negara yang menang perang. Hal ini terbukti dengan dominasi Amerika dan China dalam ajang kejuaraan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, mereka sejatinya adalah negara pemenang perang. Karena itulah sistem pembinaan olah raga harus mulai kita tata kembali. Pencarian bakat harus dimulai sejak dini. Sejak anak masih di pendidikan dasar, sehingga mereka tahu bakatnya apa dan bisa terus dikembangkan sampai perguruan tinggi, tingkat nasional, dan akhirnya mewakili Indonesia dalam event-event internasional. Artinya, pengkaderan atlet harus dimulai sejak dini dan didukung sistem yang baik, dan bukan sistem yang sifatnya sporadis atau asal comot atau asla ketemu saja.
Pada point ini, kesejahteraan para atlet di Indonesia juga harus diperhatikan karena mereka-mereka ini pada dasarnya adalah pahlawan-pahlawan bangsa yang membawa harum nama bangsa Indonesia. Demikian juga halnya dengan kesejahteraan masyarakat. Negara yang mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya adalah negara-negara yang menang perang dalam arti yang sesungguhnya. Karena itulah keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat harus diutamakan.
Para pemimpin di negeri ini sudah saatnya kembali kepada arti/makna dasar dari istilah pejabat negara. Pejabat negara yaitu mereka yang mau mengabdikan diri pada negara. Kata kuncinya adalah mengabdi pada negara. Artinya, mereka-mereka ini, para pejabat sudah tidak lagi pada tahap mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengedepankan/mementingkan kepentingan/kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnyanya. Menjadi pejabat negara adalah pengabdian.
Jadi harus siap miskin. Harus siap capek. Harus siap tersita waktunya untuk keluarga. Karena itu diperlukan dukungan penuh dari seluruh anggota keluarga. Cara dan gaya hidup para pejabat di awal kemerdekaan harus ditiru dan dihidupkan kembali. Memberikan teladan dan mengajari masyarakat untuk hidup sederhana. Kekayaan dan harta pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya semu, namun rasa bahagia melihat negara menjadi aman, sejahtera dan adil secara sosial yang nantinya akan diwariskan pada generasi selanjutnya, anak-anak dan cucu-cucu kita, itulah makna kebahagiaan yang sejati. Tongkat estafet ini harus diserahkan pada pelari berikutnya, dan pelari sekarang, saat ini, yaitu kita semua, harus bisa berlari dengan baik. Semakin kita berlari dengan baik, dengan cepat, dengan penuh semangat, pelari selanjutnya akan lebih mudah untuk meneruskan perjuangan ini.
Saya tidak menafikkan bahwa salah satu faktor untuk bisa memenangkan pemilu presiden adalah dikenal luas oleh masyarakat (kepopuleran). Tapi bukankah masih ada waktu sekitar 1 tahun ini untuk mengenalkan Pak Djoko Santoso kepada masyarakat? Bukankah intan meskipun terbenam dalam lumpur yang hitam sekalipun, namun dia tetap intan? Bukankah intan itu akan senantiasa bersinar dan orang akan berusaha sekuat tenaga untuk meraihnya. Bukankah sesuatu yang memiliki kualitas akan selalu dicari meskipun sulit atau jauh tempatnya?
Bukankah para pecinta ayam pelung akan rela menempuh perjalanan jauh masuk keluar desa-desa di Cianjur untuk melihat dan membeli ayam pelung Cianjur? Bukankah orang harus rela berjalan jauh ke desa-desa di balik gunung di Jawa Timur, hanya untuk melihat dan membeli ayam cemani (ayam yang seluruh badan, bulu, paruh, kaki, kepala dan darahnya hitam - bisa buat obat/penyembuhan penyakit) yang sangat langka? Jika memang Pak Djoko Santoso memang secara pribadi dan profil nantinya lebih baik dari jenderal-jenderal yang ada yang mencalonkan diri juga, bukankah nanti masyarakat yang akan menentukan?
Saya percaya dalam beberapa waktu ini, jika komunikasi politik beliau berjalan dengan baik (hal ini tentu saja harus ditunjang/didukung oleh tim sukses yang ahli dan profesional), masyarakat akan lebih mengenal beliau, masyarakat akan lebih dekat dengan beliau, dan mungkin saja akan menjadi pendukung beliau dalam pemilu presiden 2014. Mungkin masyarakat sudah jenuh dengan profil jenderal-jenderal yang ada saat ini yang merupakan pemain lama. Kehadiran pak Djoko Santoso adalah sesuatu yang dirasakan fresh/segar yang diharapkan bisa mengisi ruang yang kosong/kerinduan akan pemimpin yang jujur dan adil selama ini kita impi-impikan? Sebagai konsekuensinya, elektabilitas beliau nantinya akan naik, dan partai-partai politik pun kemudian tidak akan segan-segan lagi untuk mengusung beliau sebagai capres 2014.
Mungkin tidak banyak masyarakat yang tahu. Inilah yang menjadi alasan kenapa saya menulis artikel sederhana ini. Agar beliau dikenal… Agar masyarakat tahu dengan jelas dan nantinya mempertimbangkan dengan/secara obyektif calon mana yang sesuai dengan hati kecil mereka dan akan mereka pilih. Beliau adalah sosok yang ngemong. Beliau ingin orang-orang Indonesia bisa sekolah tinggi dan tidak kalah dengan bangsa lain. Sekolah tinggi itu investasi. Generasi-generasi ke depan harus lebih cerdas dan lebih pintar. Jika kelak negara ini dipimpin oleh generasi selanjutnya yang pintar dan berakhlak mulia maka cita-cita luhur dalam sejarah "gemah ripah loh jinawi' akan benar-benar terwujud.
Sebagai seorang pemimpin, beliau sangat menghargai para pemimpin-pemimpin sebelumnya. Ada hal-hal positif yang harus dicontoh/ditiru dan ada hal negatif yang perlu ditinggalkan. Sebagai contohnya, perlu diakui bahwa mantan presiden Soeharto adalah seorang pemberani. Pada waktu di camp ketika semua tentara tidur, Soeharto malam-malam keluar sendirian, berjalan sendirian hanya untuk mengetahui situasi di luaran. Begitu beraninya! Pagi-pagi baru pulang dan ketika teman-temannya bertanya, dari mana? Soharto hanya menjawab sederhana, jalan-jalan saja… Cari angin... Keberanian Soeharto ini lah yang patut ditiru. Ketika lawatan ke Bosnia??? Pesawat presiden Soeharto tidak boleh turun karena tidak dijamin keselamatannya oleh pasukan PBB? Dia bilang turun! Dan pesawatnya pun turun... Dan tidak terjadi apa-apa! Ketika lawatan di Belanda??? Informasi intel memberitahukan bahwa lokasi sudah dikepung kelompok-kelompok pro separatis yang tinggal di Belanda. Tetapi beliau bilang, masuk!
Dan akhirnya rombongan Pak Harto masuk dan ternyata tidak terjadi apa-apa! Keberanian inilah yang musti ditiru karena kedaulatan bangsa bisa diukur dari kedaulatan dan keberanian pemimpinnya sebelum dan sejak mulai menjabat. Karena itu tidak pernah pada jaman Soeharto orang Malaysia memanggil orang Indonesia dengan sebutan Indon. Jenderal Djoko Santoso juga pernah menjadi anak buah presiden SBY.
Meskipun banyak suara negatif tentang SBY, Pak Djoko juga mengungkapkan sisi positif SBY yang salah satunya adalah merangkul hampir semua pihak untuk duduk dalam pemerintahannya. Ini tidak dilakukan oleh presiden sebelumnya. Begitu juga hal positif pada diri presiden lainnya seperti Gus Dur yang sangat toleran pada minoritas dan kebebasan beragama, kepada Ibu Megawati yang memiliki jiwa nasionalisme dan kebesaran hati memaafkan rezim orde baru, serta kecerdasan Habibie dalam mendukung teknologi dan terobosannya dalam menyeimbangkan rupiah dengan dollar ketika beliau masih menjabat presiden, yang tidak diketahui oleh publik.
Di sini, jelas terlihat bahwa Pak Djoko Santoso bukan tipikal calon presiden yang ingin mencipatak statue/patung atau monumen untuk dirinya sendiri, namun lebih banyak belajar dari pendahulunya, dari sejarah yang ada. Sosok Jenderal yang tidak pernah berhenti belajar kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Jika pembaca tulisan ini berkesempatan berbicara atau bertatap muka langsung dengan beliau, pasti akan merasakan aura beliau yang bersih, tulus, ramah, jujur dan tidak macam-macam. Seperti kata beliau, kebijakan yang sudah ada nanti kita cermati, yang baik ditingkatkan dan yang belum baik kita perbaiki bersama. Saya piker, masih ada partai-partai di Negara kita tercinta yang juga memiliki hati yang tulus dan bersih, yang kelak akan meminang beliau untuk maju sebagai calon presiden 2014.
-----------------------------------------------------------------------------