Wednesday, 10 November 2010

DR. BOELAARS SOSOK ETNOLOG DI TANAH PAPUA

DR. BOELAARS SOSOK ETNOLOG DI TANAH PAPUA


Frumensius Obe Samkakai¡

Abstract
1. PENDAHULUAN
1.1. Riwayat Singkat Boelaars
Boelaars seorang missionaris Katolik, oleh atasannya diutus ke Pantai Selatan
Papua, tiba di Merauke 1951, oleh minat akademiknya telah menghasilkan karya
etnologinya tentang orang Yaghay di Sungai Mappi dan orang Wambon di
Boven Digul, 1951-1957 digunakan untuk mengembangkan pemahamannya
yang mendalam tentang orang Yaghay, sebuah buku berjudul Papoea’s aan de
Mappi yang diterbitkan oleh De Fontein, Utrecht (1958) terbit sebagai memory
pekerjaannya pada orang Yaghay. Kembali dari Holland ditempatkan lagi di
Sungai Mappi April 1958-Agustus 1960, sesudah Agustus 1960 hingga
Nopember 1967 tidak bertugas di Sungai Mappi, rupanya di Boven-Digul di
Tanah Merah dan Mindiptana, masa itu digunakannya untuk mendalami
kehidupan orang Wambon yang diabadikannya dalam bukunya yang berjudul
Mandobo’s tussen de Digoel en de Kao, Assen, van Gorcum, 1970, Januari
hingga Desember 1967 bertugas lagi di Sungai Mappi. Catatan-catatan jurnal
Pator Meuwese amat membantu pemahaman Boelaars tentang gambaran
kebudayaan orang Yaghay, dan Mappi Memories yang diberikan oleh
Vershueren turut mengarahkan minat Boelaars untuk penelitian lebih lanjut
bahan penyusunan buku Papoea’s aan de Mappi yang mengalami
penyempurnaan dengan judul Head-Hunters About Themselves An
Ethnographic Report from Irian Jaya, Indonesia, KITLV, The Hague-Martinus
Nijhoff, 1981. Boelaars oleh tugas pokoknya selaku seorang missionaris telah
menyajikan kehidupan orang Yaghay pada penulisan laporan etnografis yang
secara metodologis belum selesai untuk mendapatkan setting ekologis dan
sosiologis.
1.2. Pikiran-Pikiran Boelaars dalam Tradisi Antropologi di Tanah Papua
¡ Kepala Seksi Lingkungan Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Papua
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 88
Munculnya Boelaars sekali lagi dengan karya terbarunya “Manusia Irian,
Dahulu, Sekarang, Masa Depan,”, Gramedia, Jakarta, 1992, merupakan kejutan
pada saat yang bersamaan dengan proses introspeksi kebudayaan oleh generasi
baru Papua yang dilahirkan dalam proses perubahan suasana nasionalisme
pluralistik. Manusia Papua yang diistilahkannya sebagai Manusia Irian itu
ditempatkannya dalam perspektif perubahan makna kehidupan beragama, masa
lalu naturalistik, masa sekarang yang dirangsang oleh modernisasi dan
urbanisasi, dan masa depan yang perlu disiasati. Manusia Papua yang dibaginya
atas dua tipe peradaban yang meliputi suku bangsa peramu untuk Marind-Anim,
Yaghay, dan Asmat, suku bangsa petani untuk Wambon yang disebutnya
Mandobo, Ekagi yang sekarang makin dikenal sebagai orang Mee, orang Dani
yang secara umum dikenal sebagai orang Wamena, dan Ayfat menunjukkan
tafsiran deterministik ekologis. Marind-Anim, Yaghay, dan Asmat adalah tiga
suku bangsa pemakan sagu di Merauke tanpa Awyu namun teknologi yang juga
turut menentukan tingkat peradaban sagu itu. Marind-Anim mestinya dibedakan
sebagai petani sagu, bukan peramu sagu mengingat bahwa dusun-dusun sagu di
tanah Marind ditanam melaui sistem pertanian wambad dan poya yaitu
pembangunan konstruksi drainase yang rumit. Warisan pertanian sagu Marind-
Anim itu berakar dalam psikoreligius bangsa pemuja kesuburan atas tanah dan
sejumlah spesies unggulan tanaman dan tumbuhan. Boelaars untuk kasus
Marind-Anim menyajikan sebuah deskripsi yang mesti didukung oleh
pengamatan sistem pertanian wambad dan poya. Penciptaan dirayakan sebagai
keberlangsungan kehidupan bukan dikunci dalam menara gading animha.
Marind-Anim terlibat dalam penciptaan itu selaku homoludens sebagai ritus
panjang sepanjang siklus hidup manusia dari matahari terbit hingga matahari
terbenam dan terbit lagi dan seterusnya. Pemahaman Marind-Anim selaku
homoludens dapat membantu Boelaars untuk mencairkan fosilisasi etnografis
yang dilakukannya. Marind-Anim dikunci Boelaars sendiri dalam menara gading
animha berbeda dengan pelukisan J. van Baal tentang Marind-Anim dalam
bukunya: Dema, Description and Analysis of Marind-Anim Culture, South New
Guinea, The Hague Martinus-Nijhoff, 1966.
Komparasi yang bagus dapat dilakukan Boelaars bila orang Yaghay
dibandingkan dengan orang Awyu, orang Asmat dengan orang Kamoro, orang
Wambon/Mandobo dengan orang Muyu, dan orang Ekagi dengan orang Ngalum
untuk menemukan gagasan keagamaan Papua yang mestinya dapat berupa tafsir
ritual. Gagasan keagamaan Papua itu meliputi semua unsur budaya Papua dalam
pandangan dunia biokosmis. Boelaars memang bukan bermaksud memberikan
landasan epistemologis dalam deskripsi etnologisnya, namun, sebuah evaluasi
karya penginjilan dari dialog antara Agama Papua dengan Agama Katolik. Ritus
babi sakral pada orang Wambon/Mandobo rupanya sudah cukup untuk mewakili
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 89
ritus babi sakral pada orang Muyu yang sekaligus dapat menjawab ritus babi
sakral pada orang Ngalum, Baliem, Ekagi, Moni, Nduga, dan Marind-Anim.
Penghindaran unsur mesianisme oleh Boelaars menutup perspektif ruang dan
waktu baginya untuk memahami transformasi Agama Papua akibat pertemuan
dengan Agama Katolik.
1.3. Pikiran-Pikiran Boelaars Mengenai Suku-suku di Pantai Selatan
Boelaars melanjutkan pemikiran para missionaris pendahulunya yang
berpandangan etnologis, aliran linguistis untuk Drabbe dan Geurtjens, dan aliran
etnologis untuk Verschueren, Vertenten, van de Kolk, dan Viegen. Vertenten
yang mengangkat pengayauan dalam sebuah artikel dalam majalah BKI 79
(1923), dan sekitar lebih dari 139 artikel Vertenten itu 1935 diterbitkan dalam
satu jilid kecil yang mendekati deskripsi etnografis menyeluruh berjudul Vijftien
jaar bij de Koppensnellers van Nederlandsch Zuid-Nieuw-Guinea (van Baal,
1966). Boelaars lebih berpandangan empiris, menukik langsung ke arah pokok
masalah pengalaman para pelaku pemenggalan kepala manusia berbeda dengan
cara pandang Verschueren yang lebih inkulturalis. Pemenggalan kepala manusia
itu agenda utama pasifikasi perang suku di Pantai Selatan Papua dalam rangka
penegakan Pax Nederlandica dan persaudaraan spiritual Kristen. Pasifikasi itu
antara orang Yaghay dan orang Awyu dikukuhkan di Kepi 1950 yang diorganisir
oleh Verschueren, dan Boelaars yang tiba di Merauke 1951 hanya dapat
mencatat ingatan lisan dari para pelaku pemenggalan kepala manusia yang
dengan sikap baru hendak mengalami masa damai panjang setelah banyak
generasi lalu diliputi hukum saling memenggal kepala musuh. Boelaars juga
sedih menyaksikan pasifikasi yang sedang dididikkan lewat kelembagaan
pendidikan sekolah dasar modern perlahan-lahan mulai menyadarkan para
peserta didik akan gagasan kekerasan yang bukan hanya kisah tragis masa lalu
perang suku yang setiap saat mengancam ketenteraman hidup di kampung
halaman tercinta, namun, perubahan dunia dengan hukum sipil modern yang
mengerikan, belajar Bahasa Melayu, Bahasa Belanda, disiplin modern, ekonomi
uang, dunia baru itu belum sepenuhnya dipahami, perubahan begitu cepat,
tatanan adat lama berlalu masuknya gaya hidup baru, agama baru belum
mengakar, dan bayang-bayang kekerasan masih mengancam dijawab dengan
warisan sikap pragmatis.
Untuk perubahan yang sedang terjadi diperlukan tafsir ulang atas unsur-unsur
budaya sebagai landasan nilai yang merangsang pertumbuhan masyarakat
Yaghay modern. Tafsir ulang itu dapat merupakan lanjutan pekerjaan penulisan
etnologi Yaghay yang telah dirintis oleh Boelaars yang mampu menghubungkan
sejumlah unsur budaya yang sekiranya dapat ditemukan pada para suku tetangga
orang Yaghay. Sungai Mappi tepat Boelaars mendalami kehidupan orang
Yaghay itu wilayah yang dalam pengertian etnologi kawasan Pantai Selatan
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 90
Papua dikatakan wilayah Trans-Digul yang meliputi tepi barat Trans-Fly hingga
ke Mimika yang didiami oleh para suku bangsa Papua seperti Boadzi, Marind-
Anim, Yaghay, Awyu, Asmat, Kamoro, Wambon, dan Muyu yang sejauh ini
baru terlihat pada pengelompokan bahasa, misalnya, Bahasa Boadzi, Bahasa
Marind-Pantai, dan Bahasa Yaghay menunjukkan sejumlah kesamaan kata.
Sayang Boelaars belum menyajikan kesamaan kata dari tiga bahasa serumpun
itu dalam bentuk analisis komparatif walaupun usaha ke arah studi linguistik di
Pantai Selatan Papua pada wilayah Trans-Digul telah dirintis oleh Drabbe salah
seorang pendahulu Boelaars.
1.4. Pemikiran Boelaars Mengenai Penduduk di Sungai Mappi
Kisah-kisah dalam legenda penduduk di suangai Mappi yang ditulis dalam
artikel ini merupakan ungkapan makna mengenai kebudayaan orang Yaghay,
menujukan apa yang dimaksud dengan Boelaars orientasi nilai budaya yang
dianut orang Yaghay dalam berinteraksi dengan suku tetangganya dan
lingkungan alamnya.
Kontak resiprositas, dan solidaritas yang baik mengisahkan perjalanan Ajre
seorang pedagang kapak batu dari Negeri Muyu di Digul Atas menyusuri Sungai
Kao, singgah pada orang Awyu di Sungai Edera , masuk ke Negeri Yaqay:
menyinggahi kampung-kampung: Yado, Nambeoman, Mappi, Toba, Miwamon,
Dagemon, Kepi, Rayom, Masin, dan kembali ke Yado. Ajre mempersunting putri
Yaqay, dan kembali ke kampung halamannya di Digul Atas. Dikenang sebagai
pedagang kapak batu, dan ipar yang adil. Meteoqom seorang Yaqay
menyebarkan bibit sagu, aneka tumbuhan, dan aneke satwa yang dimuat dalam
kano ke seluruh Negeri Yaqay karene iba menyaksikan kaumnya yang kelaparan.
Meteoqom seorang yang adil melanjutkan perjalanannya ke Okaba di Negeri
Marind.
Orang Yaghay yang diabadikannya itu masyarakat dinamis yang menguasai jalur
utama Sungai Digul, mengidealkan dirinya bagai matahari penakluk,
mobilitasnya ibarat kepala arus (tomonringgagae/tomonqambo), dan
dimasukkannya semangat militansi oleh Ajre seorang laki-laki sakti dari Sungai
Kao di Boven-Digul. Semangat militansi itu menempatkan Sungai Mappi
sebagai salah satu titik didih perang suku di Pantai Selatan di antara dua titik
didih lain, Asmat di barat, dan Marind di timur. Ajre dilukiskan sebagai tokoh
manusia nyata, seorang pedagang kapak batu dari Sungai Kao, pahlawan budaya
yang perkenalkan pemenggalan kepala musuh, dan arah perjalalanan yang
dilalui Ajre itu dari Sungai Kao (Kawa) turun ke Sungai Edera di pada orang
Awyu Laut, Joda/Jodom, Nambeoman, masuk Sungai Mappi, berturut-turut ke
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 91
kampung-kampung orang Yaghay sepanjang Sungai Mappi, Toba, Miwamon,
Danemoqon, Kepi, Rajom, Masin, dan kembali ke Joda/Jodom.
Jarak Sungai Mappi-Sungai Kao itu adalah jalur perjalanan pemenggalan kepala
musuh yang dihubungkan orang Yaghay dengan gerakan kepala arus
(tomonringgagae/tomonqambo). Dari laut kepala arus
(tomonringgagae/tomonqambo) bergerak ke bukit Wap gali sungai, ke arah
mana saja yang dilaluinya gali sungai, dia suruh ular-ular air gali sungai-sungai
kecil, Sungai Edera digali ular air, Tomonringgagae/Tomonqambo gali Sungai
Kao, kembali dari Sungai Kao dia gali Sungai Muyu, kembali ke Muara Digul
dia gali Sungai Qodaqamoqon, dia suruh ular air gali sungai-sungai Mabur dan
Bapae, dia sendiri gali Sungai Mappi, kembali dari Sungai Mappi dia gali
Sungai Qobaamarao, anak-anak sungai digali ular-ular air, dia maju ke Sungai
Qoba, Sungai Masin dan Sungai Nigera digali ular-ular air, kembali dari Sungai
Qoba dia gali Sungai Pore, dari Sungai Pore dia naik ke darat ke arah laut
sepanjang Sungai Arare.
Ada lagi Mato mengikuti suaminya Tomonringgagae pada buih-buih kepala arus
sambil menebarkan bibit pohon sagu, Mato pergi ke Sungai Kao, dari Sungai
Kao turun ke Muara Sungai Digul masuk ke Sungai Qodaqamoqon, selanjutnya
ke Sungai Mappi, Sungai Qobaamerao, buang lidi sagu ke Sungai Pore, anaknya
jatuh sakit, dia lihat ada buah borok dia makan, lanjutkan perjalanan ke Sungai
Miwamon sambil memanggil-manggil barang siapa yang dapat memberikannya
obat (rarake) untuk sembuhkan anaknya, dia ke kampung Roqajr, ketemukan
jejak kaki suaminya di Topummuka tempat dia ratapi anaknya, obat (rarake)
diberikan oleh Menequb, bersama Menequb tiba di Opoqir, Mato menjadi salah
seorang isteri Menequb, berturut-turut melahirkan beberapa orang anak, Tepo,
Qaitop, Oreq, Aimaqatu, Eaqatu, Kakir, Toqope, Qoneqir, Bogoi, Oqomeqir,
Bai, dan Qaetemai, dan Mato sekarang tinggal dalam kolam besar.
Ada lagi Meteoqom dari kampung Massin di Sungai Obaa pergi ke arah selatan
sambil sebarkan bibit sagu dan aneka satwa seperti ular, ikan, buaya, kasuari,
babi, dll, tiba di Sungai Kunda dia pasang perangkap ikan, tangkap banyak ikan,
dimuatnya ikan-ikan tangkapannya itu dalam kanonya, beberapa ekor ikan
tangkapannya itu ada yang terjun ke dalam air, lanjutkan perjalanan ke Qomo
dekat Kepi Ibu Kota Distrik Obaa, lanjut ke Jamaq, berturut-turut ke Sungai
Ribu, Sungai Nambeoman, Sungai Mappi, Sungai Qoroya, balik ke Tamao, hari
berikutnya ke Watamangk, kehabisan ikan di Wap, menyeberang Sungai Digul
tiba di Joda/Jodom di tepi timur Muara Sungai Digul, kanonya ditambatkan di
Joda/Jodom, jalan kaki ke arah selatan, bermalam di tengah perjalanan, keesokan
harinya lanjutkan perjalanan, tiba di Okaba di Pantai Marind, menetap, dan
beranak cucu di kampung Mumu di Okaba.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 92
1.3. Penjelajah Sungai Digul
Orang Yaghay dapat dikatakan penjelajah Digul, dari Awyu di darat tepi barat
Sungai Digul hingga ke Okaba di Pantai Marind, ke timur laut hingga ke Sungai
Kao di Muyu, ke utara hingga ke bukit Tabuaka dekat Tanah Merah, dan ke
selatan ke Muli di Pulau Kimaam. Perjalanan jauh ratusan km itu digunakan
kano pada poros koridor Sungai Mappi. Orang Yaghay yang dikelilingi orang
Awyu itu menunjukkan gerakan kepala arus (tomonringgagae/tomonqambo) dan
tombak masuk ke dalam koridor Sungai Mappi, gerakan itu amat dramatis dalam
ingatan generasi lalu yang dijadikan Boelaars sebagai bahan penulisan life
history Jaende dkk tentang pengalaman tempur masa lalu yang heroik ke timur
di Sungai Edera, Sungai Digul, Sungai Kao, ke selatan dan ke barat belum
dicatat oleh Boelaars, dan ke utara di hulu Sungai Mappi yang dibedakan atas
dua tipe perang suku, tok antar kampung, dan kuj antar suku. Akibat dari drama
panjang perang suku itu membentuk sejumlah jaringan hubungan kekerabatan
darah antara antara orang Yaghay dan para suku tetangganya, misalnya Ajre dari
Boven Digul sekitar Sungai Kao yang juga beranak cucu di Sungai Mappi, dan
pertukaran anak perdamaian. Drama perang suku itu telah didamaikan antara
orang Yaghay dan orang Awyu 1950 oleh Verschueren. Bagian III dari bukunya
Boelaars Head-Hunters About Themselves (1981) berjudul PART III Head-
Hunting Practices itu inti karya etnologis Boelaars yang dibangun dari
pencatatan life history Jaende seorang kepala perang (poqoyrade) kampung
Kepi, Jaro mertua Jaende, Jakobus Jabaimu, dan Tambim. Tambim ayah
Jabaimu, Tambim itu seorang penasehat adat (akiaqrade), Jabaqaj saudara lakilaki
ibu Jabaimu, Jabaqaj itu seorang kepala salah satu keluarga di kampung
Kepi, saudara perempuan Jabaimu kawin dengan Jaende, Jabaimu kawin dengan
anak perempuan Jaro, dan Jaro dan Jaende pemimpin salah satu keluarga besar
di kampung Kepi (Boelaars, 1981, 8). Kampung Kepi tempat Boelaars bangun
pos pengamatannya tentang etnologi Yaghay sebenarnya mewakili wilayah rawa
hulu Sungai Mappi untuk salah satu mata, salah satu mata yang lain sebenarnya
pada pos Nambeoman-Bapae, dengan sepasang mata itu dapat diperdalam
pengamatannya yang akan terlihat bayang-bayang Bagharam (Uyaghar,
Kayaghar), Asmat Safan dan Sawi, akan terlihat di timur dan selatan Awyu Laut,
Marind-Maklew, dan Marind-Bob.
3. DASAR-DASAR KEBUDAYAAN YAGHAY
Orang Yaghay mendiami tepi barat Muara Digul, tepi barat Sungai Mappi
termasuk masyarakat pemakan sagu, terdiri dari dua subkelompok utama yaitu:
Nambeoman-Bapae, dan Obaa, membagi kelompoknya atas beberapa gabungan
kampung federatif pemilik sungai, dan klen (qari), termasuk salah satu pecahan
dari federasi Marind-Anim yang sudah memisahkan diri sama sekali, dan
membentuk federasi baru dengan orang Awyu.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 93
Ada beberapa dasar yang membentuk dasar-dasar kebudayaan Yaqay yaitu
oposisi antara Matahari dan Bulan, babae, amar, ero, waw, dan rara. Matahari
diidealkan sebagai panutan perilaku yang memancarkan rahmat, kejujuran,
ketegasan, keberanian, kemakmuran, kesucian, harga diri, kesucian, dan
maskulinitas. Matahari itu dihadapkan pada permainan Bulan sebagai trickster
yang disandangkan pada kaum perempuan, dan anak-anak. Matahari itu
menunjukkan penyertaan leluhur (babae), pengaktifan resiprositas (amar),
pembinaan solidaritas (ero), dan pemilikan kharisma (waw) pada orang Yaqay.
Matahari dan leluhur (babae) mengamanatkan kepada orang Yaqay untuk
menegakkan semangat Matahari melalui penegakan hukum resiprositas (amar),
dan hukum solidaritas (ero). Amanat dan semangat Matahari itu yang
ditegakkan oleh para penasehat adat (Akiaq-wir), para panglima perang (poqoywir)
dan para dukun (joqbera-wir) agar manusia Yaqay bijaksana, bekerja sama,
mengaktifkan resiprositas, mematuhi larangan perzinahan, mematuhi larangan
mencuri, menghindari sikap curiga, mematuhi larangan untuk tidak menyebut
nama orang secara tidak terhomat, dan menginsyafkan budaya malu. Orang
yangtidak melaksanakan amanat dan semangat Matahari itu adalah anak iblis
(aw) akan selalu diganggu oleh roh-roh jahat, diusir dari kampung halamannya,
atau dibunuh. Pelanggaran amanat dan semangat Matahari itu mengingatkan
orang Yaqay akan kehilangan hidup kekal pada jaman mitis ketika Matahari
menganugerahkan kulit kehidupan kekal kepada orang Yaqay. Kulit kehidupan
kekal itu diraih oleh seorang perempuan masuk ke dalam tanah dalam wujud
seekor cacing. Pada siang hari perempuan itu menolak kawin dengan Matahari.
Namun, pada malam hari perempuan itu kawin dengan cacing tanah. Sejak itu
Matahari mengucapkan kutuk: “anak-anak yang kau lahirkan dari cacing itu
akan mati, sedangkan anak-anak yang kau lahirkan dari saya akan hidup kekal
selamanya”. Hukum amar dan ero itu mengandung gagasan keadilan pada orang
Yaqay bahwa segala tindakan orang Yaqay harus mencerminkan resiprositas dan
solidaritas. Para peleku ketidakadilan dihubungkan dengan konflik antara
Matahari dan Bulan yang berawal dari kecurangan resiprositas yang dilakukan
oleh pihak Bulan terhadap pihak Matahari. Anak Matahari panas, dan anak
Bulan dingin. Isteri Bulan menukar anaknya yang dingin dengan anak Matahari
yang panas. Peristiwa itu terulang kembali setelah anak dari Matahari itu
dikembalikan oleh ibunya. Bulan mencuri anak panah, ikan,daging babi, dan
tembakau milik Matahari. Bulan malu, menghindar masuk hutan, salah satu
kakinya lumpuh teriris bambu. Keduanya saling berpesan, ipar kawin tukar
(mendaq) Matahari jadikan dirimu Matahari pada siang hari, kata Bulan; dan
ipar kawin tukar (mendaq) Bulan jadikan dirimu Bulan pada malam hari, kata
Matahari. Gagasan keadilan itu dapat mendatangkan akibat destruktif berupa
tuntutan ganti kepala korban pembunuhan hingga ke perang-perang suku pada
masa lalu yang baru berakhir pada abad 20 oleh pasifikasi Pemerintah Jajahan
Hindia Belanda, dan Pelayanan Missi Katolik. Dampak gagasan keadilan itu
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 94
masih terasa hingga kini yang oleh orang yang tidak mengenal watak
kebudayaan orang Yaqay ini menimbulkan kesan kasar.
3.1. Siklus Hidup
Perempuan Yaghay Yaghay memberikan sagu kepada laki-laki Yaghay,
terbentuk ikatan perkawinan, darah menstruasi perempuan ditakuti laki-laki
Yaghay, suami-isteri menjalani pantangan pada masa kehamilan isteri, dan
timbul ketakutan terhadap roh orang mati (idom). Kelahiran dianggap sebagai
akibat dari pembuahan uwa perempuan oleh cairan bot-depi terdapat pada paha
laki-laki, cairan bot-depi mengalir lewat pipa kikenor, cairan kabagae terdapat
pada paha perempuan, coitus berulang-ulang menyebabkan kehamilan,
berhentinya siklus menstruasi bulanan meunjukkan tanda kehamilan, darah
menggumpal, proses pertumbuhan mulai, jiwa (moke) anak berasal dari alam
baka, perpindahan jiwa (moke) anak dari alam baka ke dalam orok perempuan
hamil melalui perantaraan salah satu satwa, dan anak dianggap sebagai anak
angkat dari alam baka. Ibu yang sedang menyusui bayi pantang melangkah di
atas benda melintang, dapat membeku darahnya, dan perut menjadi besar. Harus
berpantang (toqomor) untuk tidak makan burung yang suaranya serupa suara
tangis bayi, tidak makan ikan bersisik, tidak makan daging kasuari, tidak makan
unggas berkaki panjang, tidak makan kuskus, tidak menatap pohon yang
ujungnya terbelah.
Jika ibu seorang bayi Yaghay kurang dapat disusui oleh isteri saudara laki-aki
suaminya. Makanan dikunyah orang tuanya dan disuapkan kepada anak sesuai
perjalanan usianya memasuki masa kanak-kanak. Oleh orang tuanya berusaha
dipanggil namanya, namanya dapat diganti bila anak itu sakit, dan anak
membiasakan diri dipanggil nama tertentu oleh teman-teman mainnya. Nama
mengingatkan akan peristiwa, nama tempat ketika untuk pertama kali ibunya
merasakan tanda-tanda kehamilan menurut nama roh tuan tanah (jaqar) yang
mendiami tempat itu, orang yang namanya hendak dikenang, dan emberian
nama juga dimintakan kepada dukun peramal (joqbera-rade). Kelahiran anak
berikut ditunda hingga anak pertama telah mampu berbahasa, dan kuat berjalan.
Selama itu suami berpantang bercinta dengan isterinya agar jalan anak tidak
dihancurkan oleh ayahnya. Bayi diisolasi, tidak dibawa keluar jauh dari
kampung, ditakutkan ular, ditakutkan hantu, tidak dibawa ke pelabuhan
ditakutkan tenggelam, anak tidak berdiri di tengah ruangan rumah, anak-anak
tidak boleh bertengkar ditakutkan terbakar, anak tidak boleh melangkah di atas
api di siang hari mengingat roh adiknya mengikuti dia dapat terbakar, anak tidak
boleh didorong oleh anak-anak lainnya ditakutkan lehernya patah, anak tidak
boleh dibiarkan merangkak ditakutkan anak lumpuh. Ibu tidur di samping api,
berikutnya anak bayi, dan anak-anak berikutnya menurut urutan usia. Kakak
sulung perempuan paling pinggir yang menutup urutan anak-anak tidur itu.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 95
Mertua atau juga saudara perempuan janda tidur di sebelah api, dan anak-anak
perempuan yang lain tidur di situ. Pintu dikunci rapat ditakutkan roh-roh orang
yang baru meninggal dunia sedang bergentayangan. Ibu bakar sagu di pagi hari
untuk seluruh penghuni rumah, dan sagu bakar lainnya diantar kepada para
kerabat laki-laki yang tidur di rumah laki-laki. Nenek dapat membawa pergi
anak untuk jangka waktu cukup lama. Anak dilarang masuk rumah orang lain
ditakutkan mencuri barang orang lain. Pencurian ditakutkan pengawasan
matahari, dan usia pendek. Anak mulai terlibat dalam lingkungan kampung yang
lebih luas, mulai mengamati cara pembuatan kano, cara pembuatan busur-panah,
cara menganyam keranjang, cara membangun rumah, cara sembelih babi,
menggunakan berbagai sapaan antar kerabat, dan hak dan kewajiban yang
menyertai berbagai hubungan antar kerabat (Boelaars, 1981, 73-77). Anak-anak
Yaghay hidup dalam keriangan, anak-anak laki-laki belajar hidup di alam yang
mengandalkan kekuatan otot, keberanian, dan ketegasan. Anak perempuan
belajar menempatkan diri secara pantas daam masyarakat. Coitus sebelum
menstruasi pertama tiba dilarang keras.
3.2. Tipe Kepemimpinan Campuran
Akiaqwir tunggalnya akiaqrade adalah salah satu jenis kepemimpinan orang
Yaghay. Akiaqwir adalah orang-orang yang oleh pemilikan kebijaksanaan
mampu memberikan arahan perilaku kepada para warganya. Para akiaqwir
memberikan nasehat tentang etika yang diwariskan oleh para leluhur (babae)
orang Yaghay. Para akiaqwir menasehatkan akiaqtumi yaitu nilai-nilai sosial
dan pertimbangan-pertimbangan moral. Akiaqtumi yang dinasehatkan itu
meliputi amor-ero, diaqandamon, qadeken, tom-jamba, aend mareba, papa, dan
lain-lain. Amor-ero adalah fondasi kebudayaan dan kepribadian orang Yaghay
yaitu pandangan dunia tentang keseimbangan segala sesuatu. Amor-ero itu
hukum alam yang meliputi segala sesuatu, sebuah daya aktif kehidupan yang
saling melengkapi, berkesinambungan, fungsional, menguatkan, dinamis,
kreatif, dan dapat diandalkan. Orang Yaghay selalu saling memberi. Dengan
memberi itu orang Yaghay meniru alam yang selalu memberi. Dengan memberi
itu alam disyukuri sebagai dunia yamaibuaq warisan para leluhur (babae);
didiami sebagai wilayah tempat tinggal klen besar (imu/emu) dan klen kecil
(qari); dan dibela sebagai harga diri komunitas. Segala sesuatu harus dibalas.
Pembalasan mengandung gagasan keadilan. Orang Yaghay sejati selalu bekerja
bersama-sama dan bekerja sama. Orang Yaghay yang bekerja sendiri ditakutkan
dengan mudah dapat diserang idom, jagar, dan aburi. Kehidupan keras orang
Yaghay hanya dapat berhasil dalam kehidupan komunitas yang bersatu padu.
Perjanjian damai dengan kampung-kampung lain setiap saat dapat dilanggar,
namun, ikatan komunitas kampung adalah inti semangat kelompok paling kuat
yang mengikat orang Yaghay. Ikatan komunitas kampung yang kuat
menunjukkan ikatan bathin dengan kampung halaman (yamae-buaq), para
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 96
leluhur (babae) pendiri kampung, efektivitas kepemimpinan tiga serangkai
poqoyrade-joqbararade-akiaqrade, fungsi pengayauan kepala manusia untuk
kelanjutan generasi berikut, dan perjuangan untuk mencapai keabadian nama
(maqatier). Semangat kebersamaan itu potensial jika mampu dikelola untuk
tujuan-tujuan pembangunan kemasyarakatan. Dapat dipertandingkan untuk
memperebutkan pencapaian kuantitas dan kualitas pekerjaan. Orang Yaghay
harus bekerja sempurna seperti kaum laki-laki yang bekerja sempurna, bukan
seperti kaum perempuan yang bekerja sebagian. Qadeken berhubungan dengan
kualitas pekerjaan yang dinyatakan dalam perbedaan antara kayu ate yang
keropos, dan kayu nibung yang awet; matahari yang kreatif, dan bulan yang
malas; dan makna keseriusan (qadearep), dan omong kosong (jaqati). Tomjamba
mateba adalah pengendalian perilaku seks, tom berlaku bagi kaum
perempuan tidak mengambil inisiatif untuk berhubungan seksual, dan jamba
berlaku bagi kaum laki-laki tidak mengambil inisiatif untuk berhubungan
seksual. Perilaku seksual diatur melalui lembaga perkawinan. Orang Yaghay
sejati tidak berhubungan seksual pranikah, dan selingkuh ditakutkan hukuman
mati. Perempuan adalah harta yang mahal untuk orang Yaghay. Orang-orang
berkuasa dapat beristeri lebih dari satu, dan barangkali juga memiliki hak
istimewa atas hubungan seksual di luar perkawinan. Aend mareba adalah
larangan untuk mencuri. Orang Yaghay amat memandang pencurian sebagai
sebuah tindakan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Pencuri dihukum
mati seperti bulan yang dihukum mati dengan ditombak. Pencurian adalah
perbuatan terkutuk yang akan mendapat hukuman oleh matahari, para leluhur
(babae), satwa, dan qoqo. Perbuatan mencuri melanggar prinsip amar-ero yang
mempersatukan orang Yaghay dengan seluruh kehidupan. Papa adalah nilai
budaya malu amat ditakuti orang Yaghay. Orang dapat mengorbankan apa saja
untuk menebus malu, dan tidak segan membunuh. Malu merupakan tenaga
konstruktif dalam pengendalian perilaku sosial, dan tenaga destruktif sebagai
bahan hasutan untuk pembalasan dendam dalam pengayauan kepala manusia.
Tindakan jelek dapat menjadi tindakan kepahlawanan sebagai kompensasi rasa
malu. Dalam rasa malu itu orang Yaghay mengalami penghinaan yang
merendahkan harga diri yang tidak layak disandang oleh anak-anak matahari
yang abadi. Rasa malu itu dapat menjadi gangguan mental yang berbahaya bila
ditambah dengan cemoohan dan ejekan, saat itu pecah perkelahian duel
perorangan jika rasa malu itu menyangkut hubungan individual, dan pengayauan
kepala musuh jika rasa malu itu menyangkut komunitas kampung dan kelompok
kekerabatan.
Poqoywir adalah bentuk jamak dari poqoyrade, poqoywir adalah para kepala
perang, dan poqoyrade adalah satu orang kepala perang. Kekuasaan poqoywir
lahir oleh suasana pertahanan diri menghadapi ancaman serangan musuh antar
kampung dan antar suku, motivasi perebutan status laki-laki berwibawa, dan
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 97
prestise sosial. Poqoywir memberikan jaminan kelangsungan hidup
kelompoknya, tegas dan berwibawa seperti matahari, dahsyat seperti kepala
arus, tajam seperti tombak, adil dan bijaksana mengikuti hukum alam, perkasa
seperti matahari, dan keras seperti pohon kelapa sagu yang menyamakan
kematian dan kehidupan, dan memancarkan kesuburan seperti sagu di negeri
yang mengandalkan kekuatan otot. Poqoywir menggerakkan seluruh dinamika
kehidupan rakyatnya, merupakan representasi semangat kolektiv rakyatnya, dan
kekuatan nyata. Poqoywir menetapkan perang dan damai, mempersembahkan
seluruh karyanya untuk pencarian nama yang diperoleh melalui pemenggalan
kepala-kepala musuh, dan pemberian nama korban pemenggalan kepala itu
kepada generasi mudanya yang sedang tumbuh. Kepatriotan poqoywir
memberikan jaminan tentang eksistensi komunitasnya yang tidak dapat ditawar.
Nyawa, darah, dan air mata yang membesarkan poqoywir tentang makna harga
diri melebihi kekayaan apapun. Kepemimpinan poqoywir diperoleh karena
prestasi, diperoleh berdasarkan pengakuan dan pengukuhan oleh komunitas, dan
bukan diwariskan. Hukum adat amor-ero memberikan kerangka acuan yang
harus dilalui oleh poqoywir, amor-ero itu yang diamalkan oleh poqoywir, dan
loyalitas komunitas kepada kepemimpinan poqoywir itu kepada representasi
kedaulatan komunitas. Poqoywir ke dalam komunitas menegakkan kolektivitas
komunitas, dan ke luar mempertahankan ketahanan komunitas terhadap
pembinasaan. Kekuasaan poqoywir berasal dari kemampuan mobilisasi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan ciri-ciri kepribadian yang luar biasa.
Poqoywir diliputi oleh kekuatan magis (waw), perkenanan leluhur (babae),
atribut-atribut kebesaran, dan sejumlah kisah pertempuran yang mengundang
kagum akan makna keberanian menghadapi maut dan kehidupan dalam
kekerasan tatanan maskulinitas. Kehidupan yang dipertaruhkan pada mata panah
dan tombak, bukan garis pembatas antara kejahatan dan kebaikan, namun,
keberanian untuk menaklukkan ketakutan atas kelemahan diri sendiri. Poqoywir
lahir untuk sejumlah nama yang abadi seperti para leluhur (babae) yang
mewariskan sejumlah nama dan gelar kepada anak cucu. Poqoywir adalah
masters of power games yang berkuasa atas artikulasi kekuatan, dan dramatisasi
kultural yang melangsungkan dinamika sosial. Kepala-kepala para musuh
dipenggal, generasi berikut dilahirkan dan diinisiasikan, nama-nama diabadikan,
tanda-tanda perkabungan diakhiri, kekalahan ditebus, harga dirir dipulihkan,
tiang-tiang tengkorak didirikan, gelar-gelar kepahlawanan dikukuhkan, para
pengantin dikawinkan, maskulinitas dan feminitas dipersandingkan, semangat
persekutuan kolektivitas diperbaharui, resiprositas dilangsungkan, amanat
leluhur ditegaskan, penyertaan leluhur dihadirkan, kematian ditaklukkan,
kemegahan dipermaklumkan, hak dan kewajiban ditegakkan, kemunafikan
dipermalukan, pengkhianatan dieksekusi, komunitas dibersihkan dari bahayabahaya
supernatural, dan genderang kemenangan dibunyikan.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 98
Pengayauan dilakukan pada musim kemarau, genderang bertalu-talu tak hentihentinya
sepanjang siang dan malam menjelang persiapan ke medan perang,
lagu-lagu perang mengiringi pesta persiapan, tomak-tombak dipersiapkan oleh
kaum laki-laki sambil bersenandung, dan memasukkan daya magis (waw) ke
dalam tombak-tombak itu dan dilumuri dengan ramuan obat (rara). Tombak
qoqom paling besar, paling panjang, bersalawaku kecil, dan berukiran terbuka
antara kepalanya yang bersanggi dan gagangnya. Qoqom ditancapkan sebagai
simbol kemenangan (marpit) terhadap para musuh, dan kebanggaan bagi isteri.
Tombak qajapo tanpa sanggi, bagian atas gagangnya bergantung bulu-bulu
burung cenderawasih, digunakan hanya oleh laki-laki yang sudah beristeri, dan
lebih banyak terlihat pada orang Awju dari pada orang Yaghay. Atribut-atribut
lain dipersiapkan berupa gelang tangan (marep-maq, marapoqajb) dan gelang
kaki (ramu-maq) dari anyaman kulit rotan, laki-laki menyisipkan pisau belati
tulang kasuari ke gelang tangan bersama daun sagu muda warna kuning, dan
perempuan mencantolkan jari tangan ke gelang tangan itu sebagai akses kencan.
Poqoywir pada kesempatan persiapan pengayauan itu terus-menerus
menyampaikan amanat yang panjang lebar, rotan perancah kano-kano orang
mati sudah lapuk, kano-kano itu hendak jatuh ke dalam tanah, dan ungkapan itu
dipahami sebagai mobilisasi kekuatan untuk pembalasan dendam. Para kerabat
kampung yang hendak diserang didekati, tikar-tikarnya hendak dibasahi dengan
air, ada juga tabung bambu pengisi air diletakkan di sisi tikar kerabat orang
sesama kampung yang kerabatnya di kampung yang akan dikayau, orang yang
kerabatnya di kampung yang akan diserang boleh memprotes dan membela
kampung kerabatnya yang akan dikayau, ada juga orang dari kampung asalnya
dapat mengundang para sahabatnya di kampung lain untuk mengayau di
kampungnya, orang itu mengusulkan untuk kampungnya dikayau, mangantar
noken berisi sagu, digantung dalam rumah laki-laki, itu sebuah undangan kepada
kerabatnya di kampung itu untuk mengayau kampungnya, undangan itu juda
dapat dilakukan oleh para pemimpin kampung, undangan pribadi disertai dengan
pembayaran panjar berupa dayung baru, tembakau, ekor kasuari, berkas anak
panah, salawaku, pisau belati tulang kasuari, dan juga anus para pemimpin dapat
disentuh sebagai desakan terhadap para pemimpin itu untuk mengerahkan
kekuatan. Perdamaian harus dilakukan dengan kampung-kampung yang
bermusuhan agar kampung-kampung yang bermusuhan itu tidak menyerang
kampung yang mengadakan pengayauan. Kampung Kepi, dan kampung Moin
misalnya. Manip salah seorang pimimpin Kepi diundang ke kampung Moin,
masuk ke rumah laki-laki, dan duduk di samping salah seorang pimimpin
Toqom. Saya mau kasih anak sama adik, tawar pemimpin Toqom itu kepada
Manip, saya amat membutuhkan anak itu kakak, berikan kepada saya, jawab
Manip, adik pulang ke Kepi, saya pulang ke Toqom, saya bermalam satu hari di
Toqom, saya tunggu adik di Toqom, adik datang, berdamai, saya serahkan anak
sama adik, pesan pemimpin kampung Moin itu kepada Manip. Pulang ke Kepi,
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 99
Manip menceriterakan hasil kunjungannya itu, besok kita pergi berdamai dengan
kampung Toqom, saya akan diserahkan seorang anak, di antara kita ini ada yang
harus pergi memberitahukan hal ini kepada kampung Toba dan kampung Emete,
beberapa orang laki-laki berkayuh ke Toba dan Emete dengan pesan agar besok
orang-orang kampung Toba dan kampung Emete harus mengikuti kami yang
hendak berdamai dengan orang-orang kampung Toqom. Keesokan harinya
orang-orang laki-laki Kepi dan para isterinya berangkat, orang-orang Kepi
berjalan di depan, menyusul berturut-turut orang-orang Toba, Dagimon, dan
Emete. Orang-orang Kepi tunggu di bukit Apoket, Kepi berdamai dengan
Toqom, orang-orang Toqom datang bernyanyi ke pelabuhan di Taqajmoqon,
orang-orang Kepi lewat rawa datang bernyanyi, para laki-laki di depan, para
perempuan di belakang, menuju ke pelabuhan, orang-orang Toqom datang
bernyanyi menuju orang-orang Kepi, dan orang-orang Kepi membentuk
lingkaran mengelilingi orang-orang Toqom. Para pemimpon duduk bersama,
rokok dihisap bersama yang dilinting bercampur bulu-bulu rambut sekitar
genital, matahari makin tinggi, sambil bertari orang-orang Kepi kembali ke
tempat berkumpulnya di Apaq, membangun bevak-bevak di situ, keesokan
harinya dimulai perundingan resmi, anak laki-laki bernama Kabigaep diserahkan
kepada Manip orang Kepi itu, dan sebaliknya Kepi menyerahkan seorang anak
kepada orang-orang Toqom. Anak diserahkan bersama kulit sagu oleh pihak
yang minta damai, yang diminta damai juga menyerahkan seorang anak bersama
seutas rotan, kedua pihak mengikat tali persahabatan, kedua kelompok diikat
bersama, tombaka-tombak dipatahkan, dan permainan itu diakhiri dengan
teriakan keras bersama, kerabat para korban meminta barang-barang bernilai
antik seperti perhiasan tusuk hidung (ngaingga), dan kulit triton (mbe). Barangbarang
antik itu untuk mengendalikan pengaruh daya magis (waw) dari para
kerabat korban pengayauan, perempuan juga dapat diserahkan, dan anak dan
perempuan yang diserahkan itu diadopsi.
Pembuatan kano-kano baru paling penting untuk pengayauan jarak jauh,
panjang kano lebih kurang 30 kaki, kano adalah urusan para pemimpin
yang diakhiri dengan pesta, kano-kano itu dikerjakan di tempat pohonpohon
untuk bahan pembuatan kano itu ditebang, dan didirikan tendatenda
di tempat pembuatan ka-kano itu untuk tempat berteduh. Sebuah
kano besar dibuat untuk pemimpin pengayauan, para undangan dari
kampung-kampung lain juga diundang, dan sagu, kelapa, ikan, daging
dikumpulkan Para undangan berdandan ornamen lengkap, berdiri dalam
kano-kano sambil menabuh tifa, kano-kano dalam formasi rapat seperti
pulau yang sedang hanyut mendekati tepi sungai, dan para tuan pesta
menanti di tepi sungai berdandan dengan warna-warni yang mencolok.
Para undangan datang menjelang senja, kilau keemasan bulu burung
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 100
cenderawasih di atas kepala para undangan yang terhormat, para penari
perempuan terbaik sambil berdiri dalam kano-kanonya, goyang pinggul
mempesona para penonton atas keseimbangan di atas kano-kano dengan
tampilan gerak tubuh feminin.
Kaum laki-laki berpantang hubungan seksual sebelum berangkat ke medan laga,
dikumpulkan di rumah laki-laki, diingatkan untuk membawa serta kulit pohon
(derumb) yang berisi bahan perangsang, dan keranjang kepala manusia (kud)
wadah isian kepala musuh terjagal, para suami pengantin baru juga diingatkan
untuk membawa serta kado sagu pesta pesta perkawinannya. Para pemimpin
tempur dan prajurit tua menasehatkan para prajurit muda agar berani dan akan
meneruskan estafet mengingat makin lanjut usia para pemimpin dan prajurit tua
itu, dan para leluhur kami telah menempuh jalan pengayauan ini. Malam hari
kano-kano tempur dimuat sebagian, pada pagi hari muatan penuh, para laki-laki
dan perempuan peserta pengayauan itu diperciki dengan air oleh joqberarade,
pemimpin perang berjalan paling depan yang disusul oleh para prajurit laki-laki,
dan arah perjalanannya tidak boleh diseberangi oleh siapapun dari mereka yang
tinggal di kampung. Mereka yang tinggal di kampung masuk hutan,
menyembunyikan diri di tempat persembunyian yang aman agar tidak terdeteksi
oleh pihak musuh dari kampung-kampung lain yang sedang bermusuhan, dan
menghindari serangan mendadak. Para perempuan yang terpilih ikut serta
pasukan pengayauan jauh ke Sungai Digul, Sungai Mappi, atau Sungai Edera ke
wilayah para musuh yang hendak dikayau.
Arsip Verschueren’s tertanggal 22 Oktober 1952 seperti yang dikutip oleh
Boelaars mengisahkan pengalaman Jaro seorang kepala perang dari
kampung Kepi bersama Jaende seorang kepala perang dari kampung
Dagimon. Demikian pengalaman tempur Jaro itu. Orang Yaghay punya
wilayah penyangga yang dihuni oleh kelompok-kelompok orang Awyu di
tepi timur Sungai Mappi. Kelompok-kelompok Awyu itu dijadikan
penunjuk jalan untuk pengayauan orang Yaghay ke sasaran pengayauan
utama pada orang Awyu di Sungai Edera. Kelompok-kelompok Awyu di
wilayah penyanggah itu setiap saat diimbali dengan bantuan, pembayaran
dilakukan melalui perayaan pesta bersama dengan banyak makanan,
setiap saat dapat minta bantuan pasukan pada orang Yaghay bila
kelompok-kelompok orang Awyu di wilayah penyangga itu diserang
musuh-musuhnya, dan sering para pemimpin kelompok-kelompok Awyu
di wilayah penyangga itu dibawa para sahabat orang Yaghay-nya
melancung ke wilayah Yaghay yang menunjukkan sebuah ikatan
hubungan yang erat atas dasar kepentingan kepala manusia. KelompokISSN:
1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 101
kelompok orang Awyu di wilayah penyangga itu diberikan tengkorak
Esagha salah seorang mantan pemimpin orang Yaghay dari kampung
Toba, tengkorak itu dirayakan luar biasa setelah diturunkan dari atas parapara,
dan tengkorak itu masih utuh dengan rahang bawahnya diberikan
kepada salah satu kelompok Awyu di wilayah penyangga. Rawat
tengkorak ini dengan penuh hormat, kalau terjadi sesuatu, hilang, atau
pecah, tamat riwayat kalian, bila mengalami kesulitan, segera panggil
kami, amanat orang Yaghay. Wilayah penyangga itu dilanggar orang
Yaghay sendiri ketika Pemerintah Jajahan Belanda mulai efektif
mengawasi pengayauan orang Yaghay ke wilayah-wilayah jauh.
3.3. Sumber-sumber Folkloristik
3.3.1. Legenda Matahari dan Bulan
Teme-moqon adalah semesta alam, teme itu langit, dan moqon itu bumi. Asalusul
langit dan bumi tidak dipersoalkan oleh orang Yaghay. Matahari, bulan, dan
meteor dikisahkan sebagai pengalaman sejarah orang Yaghay. Matahari dan
bulan dipasangkan sebagai ipar kawin tukar, dua orang sahabat, dan juga dua
orang lawan. Matahari itu tapaq dibayangkan sebagai roh besar (moke
poqojerep) simbol kebesaran kepala perang (poqoyrade). Bulan itu kamo
dibayangkan sebagai roh besar palsu (moke arepaqatoqomb). Matahari itu
sempurna, sejati, abadi, tegas, dan dapat dipercaya. Bulan cacat, palsu, keropos,
lemah, dan cenderung menipu. Mopon selalu berhasil dalam berburu binatang
buruan kala fajar dan senja, baik kalau saya buat alat penerang dari akar pohon
agar mampu panah binatang buruan di malam hari, pikirnya, pertama dicobanya
akar pohon ronomanup, malam hari dicoba dinyalakan, namun, tidak berhasil,
warnanya terlalu hitam, kedua dicobanya akar pohon jujun, malam hari dicoba
dinyalakan, tidak berhasil juga, warnanya masih hitam, dan ketiga dicobanya
akar pohon mbi, malam hari dicobanya, akar pohon mbi dibalik, sinarnya
mengenai dadanya, dan berhasil. Akar pohon mbi yangsudah dibentuk menjadi
bulan itu dibungkus dengan daun sagu hijau, dan bulan tidak kelihatan
cahayanya. Hari berikutnya Mopon pergi ke hutan, bulan digantungnya di
tengah hutan, seluruh kawasan hutan itu terang benderang, engkau jangan
banyak memancarkan cahayamu, kata Mopon kepada bulan ciptaannya itu,
dibentuknya telinga, wajah, mata, telinga, dan lidah, pulang ke rumah,
dibungkusnya rapi, mengapa kau lama pergi baru pulang, tanya isterinya, saya
ada kerja, jawab Mopon, bulan diisinya di dalam noken, kelihatannya noken itu
sedang terisi seekor babi yang telah dibunuh mati, saya tebang satu batang
pohon sagu, kau sebaiknya tangkap ikan, sambung Mopon, Mopon tebang pohon
sagu, dibuatkan gubuk intaian babi makan sagu yang telah dikupas kulitnya, babi
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 102
datang makan sagu itu, sore hari saya jaga intaian babi itu, kata Mopon,
ditemukan bekas babi makan sagu di intaian itu, dan diambilnya bulan yang
disembunyikan dalam rumahnya. Ia pulang pulang ke rumah hendak mengambil
busur-panahnya, gelap gulita malam ini, hati-hati, jangan sampai babi bunuh
kau, kata orang kampung kepada Mopon, dia pergi, satu ekor babi dipanah siang
hari, sore hari panah satu ekor babi lagi, dan menjelang malam dipanah satu ekor
lagi. Dia masuk ke dalam gubuk intaiannya, bulan diambilnya, disangkutkannya
ke puncak pohon, terang benderang sekitar dusun sagu itu, babi sedang makan
sagu, dipanahnya babi itu, bulan dipindahkannya ke pohon sagu lain,
diletakkannya di situ, satu ekor babi lagi dipanahnya, kembali ke gubuk
intaiannya, ditemukan seekor burung-burung mambruk, berkicau oleh cahaya
bulan, dipanahnya burung-burung mambruk itu, satu ekor lagi dipanahnya,
malam itu dia pulang ke rumah, bulan diambilnya, bulan dibungkus setelah
diikatnya, saya ini, katanya kepada isterinya saat dia ketuk pintu rumah, dapat
babikah, tanya isteri kepadanya, dapat, jawabnya, satu ekor burung mambruk
diberikan kepada isterinya, dan dia pergi tidur ke rumah laki-laki. Pagi harinya,
dia pergi rumah isterinya, burung mambruk dipotong-potong kecil, saudara ipar
laki-laki akan datang, seru Mopon, para saudara ipar, kau, akan datang potong
babi, sambung isterinya, mereka pergi ke tempat babi ditingalkan, babi-babi
dipotong, para saudara ipar laki-laki dari pihak suami mendapat bagian daging
babi, dan para saudara ipar laki-laki dari pihak isteri mendapat bagian daging
babi juga. Ia panah babi dalam gelap, tanya seorang saudara ipar laki-lakinya,
saya panah babi-babi itu dengan mendengar bunyi kunyahan sagu yang
dimakannya, ketika terdengar bunyi kunyahan sasu itu pada rahang, saat itu saya
lepaskan anak panah, jawb Mopon, kalau ipar hendah panah babi dalam gelap,
pakailah pendengaran, jawab Mopon kepada iparnya, pulang ke rumah, dan
daging babi dibagi-bagikan kepada para kerabat laki-laki dan perempuan di
kampung. Hari berikutnya Mopon pergi berburu lagi, babi babi dipanah, dan
juga burung-burung mambruk. Saudara ipar laki-laki kawin tukar banyak kali
saya panah burung, mata panahnya dari papo sangat lemah, dan selalu patah,
tanya saudara ipar laki-laki kawin tukar Mopon kepada Mopon. Hasil buruan
Mopon selalu dibagikan kepada saudara ipar laki-aki kawin tukarnya. Saudara
ipar laki-laki kawin tukar pakai anak panah apa untuk panah binatang buruan,
saya belum pernah memberikan daging binatang buruan kepada keluarga
saudara ipar laki-laki kawin tukar, suami saya selalu pulang tanpa hasil binatang
buruan, gagang anak panah suami saya amat lemah, kata saudara ipar perempuan
kawin tukar kepada Mopon. Amati saudara ipar laki-laki kawin tukarmu pakai
anak panah apa, seru isteri saudara ipar lali-laki kawin tukar Mopon kepada
suaminya. Mopon sembunyikan busur-panahnya dalam rongga batang sagu,
busur-panah dari batang papo yang dibawa pulang ke rumah, dan mata panahmata
panahnya dilumuri dengan darah binatang buruan. Hari berikutnya saudara
ipar laki-laki kawin tukar diajak Mopon berburu babi di gubuk intaian babi,
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 103
saudara ipar laki-laki kawin tukarnya seolah-olah mengantuk, Mopon dengan
amat hati-hati berdiri, mengambil bulan dari dalam noken, saudara ipar laki-laki
kawin tukar mengikuti Mopon dalam kegelapan malam, mendekat ke tempat
gubuk intaian babi Mopon, terang benderang, selama ini saudara ipar laki-lakilaki
kawin tukar membohongi saya, kata saudara ipar laki-laki kawin tukar
Mopon dalam hati, Mopon meletakkan bulan di atas puncak pohon, dalalam
cahaya sinar bulan melangkah, busur-panah dikeluarkannya dari dalam rongga
batang sagu, dan panah banyak babi, burung-burung mambruk, burung-burung
lain, dan kuskus-kuskus kecil, Mopon pulang ke rumah, saudara ipar laki-laki
kawin tukarnya sudah pulang lebih duluan, Mopon membawa pulang daging
binatang buruan, dan malam itu terang oleh bulan yang turut dibawa pulang ke
rumah oleh Mopon. Barangkali Mopon pakai mantera, tanya saudara ipar
perempuan kawin tukar kepada suaminya, saya pakai obor, jawab Mopon, kita
sudah coba berulang-ulang, namun, selalu gagal, babi-babi, burung-burung
mambruk, dan burung-burung lain lari ketakutan. Ambil babi, perhatikan
tandanya, saya tanah tongkat kayu, di atas tongkat kayu itu saya gantung kuskus,
ambil dan bawa pulang ke rumah, seru Mopon kepada saudara ipar laki-laki
kawin tukarnya, binatang buruan dibawa pulang ke rumah, daging diasar di atas
para-para dengan panas bara api, daging babi dan kuskus dipotong menjadi
bagian-bagian kecil oleh saudara ipar laki-laki kawin tukar Mopon sampai
tuntas. Saudara ipar laki-laki kawin tukar, saya telah mengamati saudara ipar
laki-laki kawin tukar menggunakan barang penghasil cahaya seperti obor, mata
saya silau oleh cahaya itu, cahayanya bagus sekali, komentar saudara ipar lakilaki
kawin tukar Mopon, saya gunakan obor jawab Mopon, bagaimana saudara
ipar laki-laki kawin tukar gunakan anak panah papo ini, selidik saudara ipar lakilaki
kawin tukar Mopon, Mopon marah, ambil busur-panah, panah saudara ipar
laki-laki kawin tukarnya, bukan saudara ipar laki-laki kawin tukar yang buat
anak panah itu, sambung Mopon, saudara ipar laki-laki kawin tukar Mopon balas
panah, anak panah kena kulit Mopon, Mopon menyingkir ke hutan, Mopon
keluar dari hutan, membawa pulang seberkas anak panah dari dalam hutan,
dibagi-bagikan anak panah-anak panah itu kepada kaum laki-laki di kampung,
kakak saudara ipar laki-laki kawin tukar telah membohongi kami, kata kaum
laki-laki di kampung itu, kau yang dapat saya, kata Mopon kepada saudara ipar
laki-laki kawin tukarnya, Mopon keluarkan bulan dari dalam noken,
pembungkusnya dibuang, lari dengan bulan, lempar barang itu ke mari ke pohon
sukun, panggil Joqoi kepada Mopon yang sedang membawa lari bulan,
dilemparnya bulan kepada Joqoi, bulan panjat pohon sukun, ke puncak pohon,
berdiam di sana, Joqoi di sebelah bawah pohon sukun, tiba-tiba Joqoi ditutupi
banyak bulu burung, Joqoi teriak, amanat Mopon, namaku akan disebut di manamana,
orang akan memanggil-manggilku dengan kata-kata Mopon kau telah
menciptakan bulan, tolong lemparkan bulan itu ke atas puncak pohon sukun,
Joqoi angkat awan sambil berkata, makin tinggi, makin tinggi, lagi, lebih tinggi,
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 104
ke atas, ke atas, bulan memandang ke bawah, seolah-olah memandang ke dalam
sebuah lubang dalam sambil berkata, namaku akan disebut di mana-mana dan
orang akan manceriterakan kisahku. Mopon beramanat, saya telah ciptakan
bulan agar jangan hanya matahari saja yang berada di sana sendirian, mengingat
bumi gelap, saya menciptakan bulan, akan ada gelap, akan tetapi akan mendapat
terang sinar bulan. Orang-orang memanggil di sana dia, dia indah. Kau harus
terlihat di arah barah barat dan keluar dari sana, dan bertahan saat kau terlihat di
arah timur, nampaknya kau akan mati, dan kaum perempuan akan mengalami
datang bulan.
Ikape seorang informan dari kampung Toba menceriterakan kepada Boelaars
1981 kisah bulan dan matahari. Diam-diam bulan makan daging binatang buruan
milik matahari, saat itu matahari sedang periksa sero di sungai, pulang ke rumah,
daging tidak didapatinya, habis, siapa yang makan daging binatang buruanku,
juga tembakauku hilang, tanya matahari, kemudian matahari pergi ke kebun,
noken diisi pisang, umbi-umbian, dan sayur-sayuran, akan saya iris orang itu
dengan pisau bambu, kata matahari, bambu ditajamkan, kulit bambu dikerat
dengan giginya. Bulan menyelinap ke dalam rumah matahari untuk mencuri,
diam-diam matahari datang, bulan sedang duduk makan daging babi, bunyi
tulang babi kunyahan terdengar matahari, orang ini yang makan makananku,
kata matahari, bulan kaget, lari, masuk hutan, takut matahari, bulan pincang,
salah satu kakinya putus oleh pisau bambu, wajahnya berubah, dan sembur
darah. Saudara ipar laki-laki kawin tukar, saya terangkat, saya ini bulan, kata
bulan. Saya bersinar di siang hari dan panas, amanat matahari, saya bersinar di
malam hari dan dingin, amanat bulan.
Ada lagi kisah matahari dan bulan yang diceriterakan oleh para informen di Kepi
kepada Boelaars. Kamo dan Tapaq sedang menangkap ikan, Tapaq panah ikan
satu ekor ikan mimbak, ikan mimbak itu hanyut dengan anak panah milik Tapaq
ke arah Kamo, ikan mimbak dan anak panah diambil Kamo, Tapaq pulang
duluan ke rumah, Kamo menyusul, orang ini ambil anak panah dan ikanku
dalam air, risau Tapaq, bukan seperti apa yang saudara pikirkan mengenaiku,
ujar Kamo. Tapaq diam, marah karena anak panah dan ikannya diambil Kamo.
Besok kita pergi lagi tangkap ikan, besok kau akan kutunjukkan kalau hari ini
kau temukan anak panahku, ajak Tapaq kepada Kamo. Pagi hari berikutnya
keduanya pergi tangkap ikan. Ini anak panak panah untuk panah megapode hens
(ipaqa), yang satu ini untuk panah ikan, yang satu ini untuk panah kuskus, yang
satu ini untuk panah burung mambruk, yang satu ini untuk panah grouse (oaks),
dan yang satu ini untuk panah burung merpati hutan. Ditunjukkan anak panah
untuk panah babi, untuk panah kasuari, dan untuk panah manusia. Ditunjukkan
juga jenis-jenis tombak untuk bunuh manusia, berturut-turut qoqom, tikem,
qaimon, migit, dan embokende. Pisang-pisang ini dimakan bila masak tanpa
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 105
harus dibakar, ini tebu jangan bakar di api, ini qamank dimakan bersama garam
dari abu umbut pohon sagu, ini umbi iroqo dibakar di api, semuanya telah
kutunjukkan kepadamu, datang, masuk ke dalam rumah, dan ambil busur dan
anak panah-anak panah yang sudah kubuat. Kamo masuk ke dalam rumah,
Tapaq tutup pintu, pintu dipalang, Tapaq bakar rumah, dan Kamo terjebak dalam
rumah. Saudara ipar laki-laki kawin tukar jadilah kau kura-kura (aqao) dengan
dua kaki dan dua tangan, akan saya gemukkan kau, amanat Kamo.
Bagaimanapun, jadilah kau bulan, bersinarlah terang dan dingin, amanat Tapaq.
Kau di kala siang, kau panas, bersinar terang di siang hari, lanjut amanat Kamo.
Mereka akan meletakkan kau dekat gubuk intaian babi di dusun sagu, hari ini
kau ambil anak panahku, pergi, dan berdiri di sana, lanjut amanat Tapaq.
3.3.2. Legenda Jagandi
Menurut Boelaars 1981, bahwa Jagandi meninggalkan Wown di bawah pohon
beringin, sedang memanah burung, adik laki-lakinya mengamatinya dari bawah
pohon, anak panahnya terpanah jauh, jatuh di dalam dusun sagu, Jagandi
pandang lewat robekan daun tempat anak panah tembus, melihat dua dua orang
perempuan muda sedang tokok sagu, Jagandi pergi ambil anak panah itu,
perempuan yang lebih muda maju agak jauh, terlihat ada anak panah,
disembunyikannya anak panah itu dalam daun pohon, barangkali kakak
perempuan dapat anak panah sayakah, tanya Jagandi kepada perempuan yang
lebih muda itu, ada ini, jawab perempuan itu, betulkah, tanya Jagandi, dan betul
kata perempuan itu. Perempuan muda itu menyebut keduanya Joqown-oh,
Jagandi-oh, bagaimana mungkin keduanya tahu nama kami dua, kedua laki-laki
itu bersembunyi, kedua laki-laki mendengar bunyi kulit pohon sagu, Jagandi
mengamati ujung pelepah sagu tempat kedua perempuan itu tokok sagu, dia
berdiri di salah satu ujungnya, kedua perempuan itu merangkulnya, duluan saya
kata perempuan yang lebih tua, duluan saya kata perempuan yang lebih muda,
duluan saya kata yang lebih tua, duluan saya, Jagandi mulai dengan yang lebih
tua, bersihkan diri, dan bercinta dengan dia, kemudian yang lebih muda, kedua
perempuan itu membawa pulang sagu ke rumah, daun sagu digunakan gubuk,
Jagandi ditutup dengan daun pohon, menjelang senja ketiganya pulang ke
kampung, terdengar suara gemuruh di kampung, Jagandi diletakan dalam
bungkusan daun, dibawa masuk ke dalam rumah, disandarkan ke dinding,
burung-burung hasil tangkapan Jagandi dicabuti bulunya agar tidak tercium oleh
para perempuan yang lain, malam hari Jagandi yang terbungkus dibuka, burungburung
dibakar, bau daging burung bakaran sempat tercium oleh seorang
perempuan tua, minta sedikitkah, tanya perempuan tua itu, kedua perempuan
muda itu tertawa, telah melihat Jagandi, kata perempuan tua itu seorang laki-laki
berambut panjang, menjelang fajar Jagandi keluar rumah, para perempuan lain
mempermalukannya, kedua perempuan itu nampaknya punya anak, sepanjang
malam keduanya bercinta dengan dia, kedua perempuan itu merajut ro, gelang
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 106
tangan, dan mengambil ulat sagu. Timbunan ulat sagu tinggi, dimuat dalam
keranjang, Jagandi pergi, para perempuan lain membuat jalan dari rumah ke
sungai ke sekitar Arum ke pelabuhan. Anak-anak Jagandi yang dilahirkan oleh
anjing betina menemui Jagandi ayahnya di pelabuhan, disuruhnya anak-anak itu
pulang, Jagandi meninggalkan sagu grubs dalam kano, pulang ke kampung,
pikul dayung, dan masuk ke rumah laki-laki, menjelang malam menyuruh orangorangnya
mengambilkan gelang tangan, sagu grubs, dan celana rumbai-rumbai,
sago grubs dibaginya di antara para orang laki-laki menurut kontribusi para
perempuan, gelang tangan dipamerkan, orang-orang laki-laki mencoba pakai
gelang-gelang tangan itu, saya pilih perempuan yang membuat gelang tangan ini
jika gelang tangan cocok dengan lengan laki-laki yang mencobanya, para lakilaki
yang lain hati-hati memperhatikan jangan sampai para isteri anjingnya
memperhatikan mereka, para laki-laki itu menghias diri dengan bulu-bulu
burung nuri, kerang-kerang, memegang kapak, busur-panah, dan membawanya
ke rumah laki-laki. Kano-kano dipersiapkan, kano-kano lama dipotong panggalpanggal,
mereka menyuruh anak-anak laki-laki besar ke rumah laki-laki, anakanak
gadis anjing, para laki-laki tunggu hingga para perempuan lelap tertidur,
anak-anak laki-laki naik kano, hati-hati agar kano tidak bunyi oleh kayuhan
dayung dikhawatirkan anak-anak menangis, Jagandi, apakah sudah pilih
perempuan cantik untuk saya, tanya, mereka, Jagandi berjalan di depan, anakanak
menanyakan ke mana para ayahnya pergi ketika kano-kano sudah berada di
tengah sungai, anak-anak meratap, ayah, ayah, ayah, memberitahukan para
ibunya perihal ketiadaan para ayah anak-anak itu, para isteri ke rumah laki-laki,
tidak ditemukan satu orang suami pun, pintu rumah laki-laki tertutup, mereka
mulai teriak, mencari kano, kano-kano yang sudah dihancurkan oleh para
suaminya tenggelam, para isteri anjing berusaha membendung sungai, endapan
sungai naik, hingga kini terbentuk pulau-pulau di tengah sungai, para suami tiba
di pelabuhan Arum, Jagandi menuntun jalan ke kampung Makede, para laki-laki
teriakan pekik, para perempuan berhamburan ke luar, setiap perempuan memilih
pasangannya, dan ini gelang tangan buatanku, kata setiap perempuan mengenali
gelang tangan buatannya sebagai tanda pertunanganan yang dipakai oleh para
calon suami mereka itu. Para isteri anjing tenggelam di sungai dekat Wown,
tinggal di situ untuk selamanya, dan salah satu di antara para suami itu
membawa pergi isteri anjingnya pergi ke kampung Togom di Sungai Pore. Para
isteri baru itu disuruh Jagandi untuk membersihkan genital ke sungai, kembali
ke rumah mereka melakukan coitus, babi-babi yang bersama para perempuan itu
tinggal diusir masuk hutan, babi-babi mencium bau badan laki-laki, menjerit,
hendak bercinta dengan para perempuan itu, para laki-laki muncul di pintu,
panah dilepaskan Jagandi, para laki-laki yang lain menyusul melepaskan anak
panah, ada babi yang mati kena panah, dan yang tidak dapat memanah tepat
mengejar babi-babi itu, Joqown buru babi, panggil saya di hutan sagu dengan
kata-kata ini Joqown apakah kau di depan dan saya di belakangmu, para laki-laki
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 107
itu beranak cucu di Uruwe dan berkumpul di Tamaqae, Jagandi sebarkan
manusia ke empat penjuru mata angin, tanah, tanah hutan kayu besi, arus kuat di
sana, amanatnya, dan dari Tamaqae mereka pergi berkumpul di bukit Qajno.
3.3.3. Legenda Taemenu
Menurut Boelaars 1981, bahwa Taemenu isteri seorang pemburu ulung. Siapa
yang buang barang-barang ini, tanya Taemenu menyaksikan ada jeroan babi,
kasuari, dan binatang lain hanyut di sungai di antara rumput-rumput rawa, di
mana orangnya. Hendak pergi, pohon nipah menghalanginya, Taemenu
menyusuri tepi sungai, anak perempuannya memukul-mukul nipah dengan
tongkat, keduanya berjalan sepanjang hari, malam tiba, dan keduanya tidur. Pagi
harinya lanjutkan perjalanan, dayung kano, putar tanjung, tiba di Tapari,
memandang asap api, itu barangkali mereka yang buang jeroan binatang itu, bau
daging dapat mereka cium dari sini, ujar anak perempuan, kedengaran suara
orang bicara, tengah malam suara itu berhenti, obat disisipkan ke sepotong kayu,
dan suami pergi tidur setelah merokok. Isteri kedua tidur tidur jauh di sudut
rumah, isteri pertamanya tidur dengan suami, dan punya dua anak. Taemenu
berkayuh kano menuju suami, melihat dua kano, satu kano untuk isteri pertama
dan suami, dan satu kano lagi untuk isteri kedua. Saya yang keluar duluan, ujar
Taemenu kepada anaknya, menuju ke tepi sungai, menuju ke rumah, dilihanya
banyak daging asapan di atas para-para pengasapan, obat digunakan untuk
mantera dan mengambil hati suami, masuk ke dalam rumah, sentuh kaki suami
untuk mengetahui apakah suami lelap tidur, kembali kepada anaknya,
diberitahukan bahwa laki-laki itu tidur, kepalanya dibaringkan di pintu tengah,
salah seorang anak perempuannya masukkan tangan di bawahnya, ibunya juga
begitu, diangkatnya, dan dimasukkan ke dalam kano. Daun tembakau suami
dibawa serta, juga gulungan tembakau, busur dan panahnya dimuat ke dalam
kano, dipasang api di haluan kano, berkayuh sepanjang malam, pulang, memuat
kayu bakar di Uwa, dan tidur suaminya seperti di rumah. Kita bertolak, kita
bertolak, seru ibunya, suami bergerak di Tikomqaqae, gerakan tangannya,
menyentuh bagian tengah kano, yang dikiranya menyentuh dinding rumah.
Rumah rusak, ujarnya, tangan sebelah digerakkan, buka mata, menerawang
bintang di langit, tikar diangkat, bertanya kepada Taemenu, siapa kamu, saya
Taemenu kata Taemenu, saya masukkan kamu ke dalam kano, ditatapnya
Taemenu, cantik, ditatapnya anaknya, cantik, menoleh kepada yang tua, cantik
juga, dan menebar senyum kepadanya. Kedua isteri saya dan anak-anak saya
tidak bersama kami, tanya suami, keduanya tertinggal, jawab keduanya, ia
sejenak terdiam, dan pipa rokok saya, tanya suami, ada bersama busurpanahnya,
jawab Taemenu. Laki-laki itu rindu rumah. Kedua isteri dan anak
laki-laki saya yang pertama kamu tidak bawa, tanya suami, dia tidur dengan
ibunya, jawab keduanya, lupakan kedua isterimu, jawab Taemenu, arah kano ke
Joda, bermalam, perjalanan dilanjutkan, dan jalan kaki ke kampungnya
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 108
Taemenu. Laki-laki itu bercinta dengan Taemenu, juga dengan anak-anak
perempuan, dan mereka berdiri dekat kampung Joda. Ini yang kau bilang cari
suami, ujar laki-laki itu, mereka masuk ke dalam rumah, anak perempuan yang
tua katakan pada para saudara laki-lakinya, adik-adik laki-laki, saya serahkan
keputusan pada kalian, laki-laki itu sudah bercinta dengan saya, jawab si bungsu,
jadilah suaminya, dan kita juga sudah kawin. Taemenu dan Toqomor tinggal di
Joda, sanak keluarga Taemenu membawa pulang daging, laki-laki itu pergi
berburu, membawa pulang daging binatang buruan, dan para karabat iparnya
datang, babi-babi, dan kasuari-kasuari dibunuh, pulang ke kampung membawa
pulang daging, dan daging-daging binatang buruan dibagikan kepada para
kerabat di kampung.
3.3.4. Cerita Rakyat tentang “Laki-laki Ajaib dari Boven Digul”
Menurut Boelaars 1981, bahwa Ajre seorang laki-laki ajaib dari Sungai Kao di
Negeri Muyu, berlayar sepanjang Sungai Digul, berdagang ke Negeri Yaghay,
kawin dengan gadis Yaghay, dan mengajarkan banyak keterampilan pada orang
Yaghay. Tidak enak Ajre menyaksikan ulat-ulat di atas atap rumah, jelek untuk
manusia, rumah didirikan, orang Jaghay diajar membangun rumah sehat, cara
merangkai atap dari daun sagu diajarkan kepada para perempuan, dan para
sahabatnya orang-orang Yaghay dipersilahkan masuk merasakan kenyamanan
rumah itu setelah selesai dibangun. Kampung-kampung lain sudah belajar cara
saya membangun rumah, atap kulit babi diganti dengan atap daun sagu, saya
diminta kampung-kampung lain untuk mengajari mereka cara membangun
rumah, tetapi saya sayang kamu, saya ajar kamu cara membangun rumah seperti
ini, kamu sudah serahkan satu orang perempuan isteri saya itu. Dia cari kayu
bakar, dan kulit kayu untuk alas lantai rumah. Dengan seorang temannya masuk
ke dusun temannya, pasang sero di bagian sungai yang dasarnya berpasir,
temannya pulang, dia naik ke hulu sungai yang menyempit, duduk, kulit tangan,
kaki, dan tubuhnya dibuka dengan pisau bambu, pertama kapak batu jatuh dari
anusnya ke dalam air, terguling ke dalam air, gawat, sero bisa rusak, timbul
buih-buih saat tubuhnya digoyang-goyang, kapak-kapak batu berguguran dari
tulang rusuk, punggung, kaki, dan tangannya, kapak-kapak batu hanyut
tersangkut ke sero, lainnya hanyut ke hulu sungai, juga hanyut turun mengikuti
arus ke hilir sungai, tersangkut masuk sero bersama ikan-ikan, Ajre berdiri di
tepi sungai, puas karena kapak-kapak batu sudah keluar terlepas dari dalam
tubuhnya, ada kotoran hanyut ke sero, jangan bergerak, mereka telah
menyerahkan seorang perempuan kepada saya, saya pasang sero di dusun ipar
saya, hardiknya kepada kotoran itu, kotoran itu diam, diambilkan hiasan tubuh di
tempat berlabuhnya, kerang besar dikalungkan ke pinggang, kerang lain
dipasang ke lubang hidung yang teriris, kulit burung kakak tua dipasang di
kepala, dan pinggangnya dikalungkan ikat pinggang rambut manusia. Pulang
rumah para kerabat periparannya menatapnya, ayah dari mana orang itu datang
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 109
kepada kami, tanya isteri Ajre kepada ayahnya, itu dia suamimu jawab ayah
isteri Ajre kepada anak perempuannya, Ajre masuk rumah, mengapa pakai
semua tanda-tanda kebesaran itu menantuku, tanya mertua laki-laki kepada Ajre,
karena beliau pergi ke tempat yang beliau pijak, kapak-kapak batu ada di sana,
sudah saya lahirkan, jawab Ajre, mari kita santap menantu, ujar mertua, kita mau
lihat sero, mari kita makan, minum, merokok, lanjut mertua, air teraduk ketika
mereka sampai di pelabuhan takut kerabatnya, dia ini mertuaku, yang telah
menyerahkan anak perempuannya, ujar Ajre kepada air yang teraduk itu, lihat
mertua, air teraduk, lanjut Ajre kepada mertuanya, kapak-kapak batu kamu
pindah ke hulu sungai, ipar-ipar saya datang, perintah Ajre kepada kapak-kapak
batu itu, dan kapak batu itu kembali ke tempat penyimpanannya. Mereka
berkano ke tempat kapak-kapak batu itu, kano diisi kapak-kapak batu dan ikankan,
dimasukkan ke dalam keranjang, kapak-kapak batu keranjang tersendiri,
ikan-ikan keranjang tersendiri, pulang ke rumah, ikan-ikan diasap, kapak-kapak
batu diasap untuk dikeraskan, Ajre dan isterinya pergi ke kerabat periparannya
keesokan harinya, isteri ceritakan kapak-kapak batu itu kepada para kerabatnya,
orang-orang kampung masuk ke rumah laki-laki saudara laki-laki isteri Ajre,
katanya, adik laki-laki, mari kita pergi, Ajre telah datang pada kami, saya telah
serahkan anak perempuan sulung saya kepadanya, dari mana asal laki-laki itu,
tanya, orang-orang kampung, laki-laki itu datang dari daerah sumber kapak batu
batu di Sungai Kawa (Kao), telah memberikan kepada kami kapak batu, kami
telah menyerahkan adik perempuan saya, jawab, kakak perempuan isteri Ajre,
para laki-laki dan para perempuan datang, kapak batu dicobakan tebang pohon,
menantu saya seorang yang baik, puji, kakak perempuan Ajre. Kakak perempuan
isteri Ajre datang lagi bersama para adik laki-lakinya, masuk ke dalam rumah,
Ajre orang baik itu ada, disapa kakak ipar, mereka duduk, memperhatikan atap
rumah, dia telah menerangkan kepada kami cara membuat rumah ini, kata
mereka yang tinggal bersama Ajre, juga mereka memandangi dinding dari daundaun,
ikan-ikan di asapan tungku itu milikmu, juga ikan-ikan dalam sero, saya
tangkap ikan-ikan itu untukmu, selamat makan, ujar Ajre, mereka makan sagu,
minum air, dan merokok. Kemudian mereka periksa sero ke sungai, sero
terbenam dalam air, saat di pelabuhan, kapak-kapak batu resah dalam air,
mereka ini keluarga isteri saya, mereka telah menyerahkan seorang perempuan
kepada saya, jelas Ajre kepada kapak-kapak batu yang gelisah dalam air itu.
Kapak-kapak batu dilepaskan dari sero, memuatnya ke dalam kano, dan kano
dimuati kapak-kapak batu dan ikan-ikan. Sampai di pelabuhan, ikan-ikan
dikeluarkan dari dalam kano, kapak-kapak batu dikeluarkan, dan masing-masing
diisi ke dalam keranjang, ada jat, bagaraep, dan uj adalah ketiga jenis kapak
batu yang paling bermutu. Keesokan harinya mereka pulang dengan keranjangkeranjang
penuh kapak batu. Dalam mimpi pinggir kapak batumu pecah, jangan
pakai keesokan harinya, ditakutkan kapak batumu patah, bila isterimu baru
melahirkan bayi, jangan angkat kapak batumu, akan patah, bila anda bermalam
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 110
di luar rumah, anda makan babi, bau babi dihilangkan dulu, jangan keluar
rumah, tinggal di dalam rumah, bila anda bunuh buaya, jangan keluar, dan
jangan angkat kapak batu itu, nasehat Ajre tentang pantangan penggunaan
kapak-kapak batu itu. Kano dibuat untuk keluarganya, pohon kayu besar
ditebang, dikeluarkan dari dalam hutan, ditarik melalui air, dan dinaikkan ke
daratan di pemukiman. Dibentuknya haluan kano, tengahnya digali, dan kano
rampung. Dahulu kita gunakan rakit, kemudian kita gunakan kulit pohon sagu
juga kulit pohon lain, dan sekarang dia telah mengajarkan sesuatu yang baru,
komentar, orang-orang kampung. Di manapun anda akan mengalami kematian,
letakkan orang mati dalam kano, buatkan lubang di dasar kano agar cairan dari
daging yang membusuk keluar, ada juga yang kamu kuburkan dalam tanah,
jenazah korban perkelahian dan pengayauan harus diletakkan ke dalam kano,
kamu harus gantung kepala-kepala dari perancah tempat kamu baringkan mereka
dalam kano. Mereka setuju mengayau, pertama mereka selenggarakan pesta
kano baru bersama undangan, daging, ikan, kelapa, dan lain-lain kelengkapan
dihimpun dalam rumah, kemudian mereka berkayuh kano, buah kelapa
dipecahkan, ikan-ikan dibagikan kepada anak-anak, dan mereka bertolak ke
medan perang setelah pekik perang diteriakkan di pelabuhan. Tiba di tempat
musuh yang hendak diperangi, mereka bersembunyi di rawa, berdiri dalam
kano-kano, berlutut perintah Ajre, pada hari berikutnya orang-orang yang
hendak diperangi itu pergi memeriksa sero, diserang, dibunuh, dan kepalakepala
dan tubuh-tubuh korban dimuat dalam kano. Mereka pulang ke kampung,
kedua belah bibir kano ditabuh, mengumandangkan kemenangan, teriakan pekik
perang, para perempuan menari di tepi sungai saat mendengar sorak-sorai
kemenangan itu, para perempuan mengarak para prajurit masuk kampung, namanama
korban yang dibunuh mulai disebut satu per satu, juga nama-nama para
pembunuhnya disebut, dan kepala-kepala korban pengayauan diasap. Saat kamu
serang pihak musuh selalu harus kamu gunakan muslihat dengan sembunyikan
kano-kanomu dalam rumput rawa, nasehat Ajre. Siapkan pesta, bisik Ajre, pesta
disiapkan, tepung sagu dihimpun, babi-babi dibunuh, para tamu diundangan,
gelang tangan dikenakan, pisau-pisau bambu dihiasi dengan hikmat, atribut
kehormatan didistribusikan, para panglima dikenakan sabuk rambut manusia di
pinggang, yang lain dikalungkan pisau bambu terukir di leher, yang lain
salawaku terukir, dan yang lain untaian gigi anjing. Mereka menari, kepala
anak-anak dibasahi, sejumput rambut anak-anak dipotong dengan pisau bambu,
kepada anak-anak itu diserahkan dekorasi dari anyaman daun sagu, babi-babi
dibunuh dalam kandang dan juga yang berkeliaran oleh para undangan sebagai
kehormatan, sebuah pohon ditanam Ajre, katanya, ikatkan kaki-kaki babi-babi
itu di pohon itu, banyak babi dipanah dan dibunuh, babi-babi diletakan di atas
para-para, gemuk babi digantung pada gantungan untuk para undangan
perempuan, daging babi dibagi-bagikan kepada para keluarga dan undangan, dan
gemuk babi pada mata panah diberikan kepada para undangan perempuan. Para
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 111
undangan pulang ke rumahnya masing-masing pada keesokan harinya,
membawa daging babi dan tepung sagu, menyanyikan kisah pengayauan di
negeri musuh, diserang musuh di perjalanan sebagai balas dendam, pihak musuh
selenggarakan pesta kemenangan seperti yang baru diselenggarakan oleh kaum
kerabat periparan Ajre, di hulu sungai Ajre menetap, dan dia tinggal di sana.
4. SAUDARA KEMBAR DARI EDERA (ORANG AWYU)
Orang Awyu mendiami tepi barat Muara Digul tetangga dekat Yaghay, termasuk
masyarakat pemakan sagu, tersebar luas di Tepi Barat Sungai Digul, terdiri dari
beberapa kelompok teritorial yaitu Awyu Laut di Edera, dan Awyu Darat di
Assue-Gondu, Jair di Getentiri, dan Sawi di Kronkel. Dunia Awyu adalah sebuah
perjalanan dari bawah ke atas oleh pesona panggilan Matahari yang hampir
menyerupai penyingkapan rahasia laki-laki dan perempuan, saat mata
perempuan memandangi pohon Hapgon menyaksikan Burung Wangire
menghisap sari pohon Hapgon saat itu terbuka sebuah cakrawala kehidupan
untuk meraih harapan oleh panggilan Matahari, anjing kembali ke bawah pohon
hapgon, orang Awyu mendengarkan Matahari, tampil seorang nabi, dan datang
air bah, sisa keturunan yang selamat dari air bah itu berkembang, tampil seorang
nabi lagi, tidak diacuhkan nasehatnya, dibunuh, tubuhnya menambah populasi
orang Awyu, tubuhnya yang lain membawa perpisahan dan persebaran orang
Awyu ke Digul Atas, tubuh yang lain diambil burung cenderawasih dan burung
tahaisam, tubuh yang lain masuk ke dalam awan, ketika orang Awyu sampai ke
Sungai Kao di Negeri Muyu bahasanya berubah membentuk berbagai dialek
yang diujarkannya, dan orang Sawi menetap di Sungai Sumdup.
Humasumur adalah nama sebuah keluarga Awyu, tinggal di dalam bumi,
Humasumur juga nama suami, bersama beberapa orang anak, hidup
bahagia, setiap tahun isteri melahirkan anak-anak hingga anak-anak
menjadi banyak, suatu hari datang musibah, datang seekor binatang besar
hendak sergap anak-anak Humasumur, saat itu isterinya sedang hamil tua,
Humasumur juga jadi bingung, bagaimana melawan bintang yang tidak
mungkin dilawan, anak-anak dikumpulkan bersama isterinya,
Hamusumur lari ke sana ke mari mencari jalan keluar ke bumi,
didapainya sebuah lubang lewat pohon, anak-anaknya dikeluarkan lewat
lubang itu, perut isteri terlalu besar, dicobanya berulang-ulang
mengeluarkan isterinya lewat lubang itu, Hamusumur putus asa, apa yang
harus diperbuatnya, anak-anak yang di luar sudah ribut, yang lain
menangis, yang lain minta makan, ada yang memperhatikan ayahnya
yang sedang berusaha mengeluarkan ibu anak-anak itu dari dalam lubang,
biarkan aku sendirian tinggal di dalam bumi, jaga anak-anak kita,
bimbing dan hidupi mereka, hanya satu pesanku yang harus kau ingat,
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 112
kau laksanakan sebagai bukti cintamu kepadaku Hamusumur, siapapun
yang mati duluan, jenazahnya harus dikubur, sekarang lebih baik kau
keluar, jaga dan hidupi anak-anak kita, selamat jalan sampai jumpa lagi
dalam bumi ini, amanat istrinya, dan betapa hancur hati Humasumur
meninggalkan isteri tercinta.
Jaman dahulu orang Awyu hanya makan daun-daun pohon, buah-buahan,
dan umbi-umbian, keluarga Yodobak bernasib baik, isteri cantik, ramah,
saleh, Yodobak amat menyayangi isterinya, suatu malam bulan terang,
Yodobak berburu binatang buruan, isteri juga ikut, kepergiannya selama
dua hari, seekor binatang buruanpun tidak ditangkapnya, nasib sial,
barangkali nasib sial itu cobaan roh leluhur, barangkali juga gangguan
roh-roh jahat pikir keduanya, coba lagi malam ini Yodobak, kita berburu
lagi, barangkali dapat satu ekorkah, ajak isterinya, bulan terang, Yodobak
berburu masuk hutan, isteri bersama anak-anaknya tinggal di bevak di
tepi sungai, larut malam, suami belum tiba, isteri yang terjaga tertidur
pulas, isterinya bermimpi sesuatu, terbangun isterinya teringat mimpi
hingga Yodobak pulang, sialan lagi, tanpa seekor binatang buruan, saya
tahu perasaanmu Yodobak, biar saja, jangan susah hati, sekarang saya lagi
yang cari makan, bawa anak-anak pulang ke kampung, jangan menyusul,
saya tidak akan kembali sebelum mendapat bekal yang dijanjikan para
leluhur kita, tekad isterinya, setelah itu isteri Yodobak masuk hutan tanpa
berpang sedikitpun kepada suami dan anak-anaknya, berhari-hari,
berminggu-minggu suami dan anak-anak tercinta menantinya, suatu hati
isteri tiba ke rumah dengan banyak hasil hutan, jangan sentuh barangbarang
ini, takut kita dikutuk roh leluhur, ujar isterinya sambil
meletakkan barang-barang bawaannya, Yodobak menuruti peringatan
isterinya, sejak itu meraka tak kekurangan makanan lagi, Yodobak sendiri
heran atas perubahan nasib keluarganya itu, dari mana isteri saya dapat
makanan yang rasanya seperti ubi namun halus dan kenyal, makan
limpah, ada ubi, ada buah-buah, ada daun-daun, ada daging, ada ikan,
enak lagi, saya tidak tahu apa namanya, mengapa isteri saya merahasiakan
semuanya itu terhadap saya, meraba juga tidak boleh, itu pertanyaan yang
menantang Yodobak, suatu ketika isterinya pergi ke sungai dengan pesan
kepada anak-anaknya agar jangan sekali-kali meraba atau membuka
bungkusan yang didapatnya dahulu, isterinya belum juga kembali, hari
telah tinggi, ingin tahu Yobak memuncak, pelan-pelan mendekat ke
barang larangan isterinya itu, dibukanya bungkusan itu, nampak isinya
seperti warna ubi yang telah dikupas, ada beberapa potong, dicicipinya,
manis rasanya, barang ini yang membuat saya dan anak-anak kenyang,
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 113
untung, dari mana isteri saya dapat barang ini, belum habis pikir
Yodobak, astaga isteri muncul, menangislah isterinya, manusia harus
bekerja keras untuk mendapat kelimpahan makanan, ini kesalahanmu
Yodobak, mulai sekarang kita harus kerja keras untuk menghidupi anakanak
kita, kesal isterinya, setelah mengakhiri ujaran kekesalan itu,
isterinya seperti kerasukan roh jahat, barang itu dipungut, dihamburkan ke
sana ke mari sambil berkata, semoga barang ini tumbuh banyak menjadi
makanan anak cucumu, amanat isterinya, isteri mati, tak sadarkan diri,
meninggal, sedih Yodobak ditinggal sang isteri untuk selamanya, setiap
hari Yodobak kerja keras untuk mendapat makanan seperti yang
diamanatkan isterinya, di kana kiri kampung itu tumbuh pohon-pohon
besar seperti pohon-pohon kelapa, berkembang biak pohon-pohon itu
hampir ke setiap rawa, dimanfaatkan juga oleh orang-orang kampung, dan
menjadi makanan pokok orang Awyu.
DAFTAR PUSTAKA
J.H.M.C. Boelaars, m s c. 1981. Head-Hunters About Themselves An
Ethnographic Report from Irian Jaya, Indonesia, KITLV, The Hague-Martinus
Nijhoff.
Jan Boelaars. 1986. Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Akan Datang.
Jakarta, PT Gramedia.
Jan Boelaars. 1958. Papoea’s aan de Mappi dalam De Fontein, Utrecht.

Pembangunan Ekonomi Rakyat: Sebuah Pemikiran Akademis

Pembangunan Ekonomi Rakyat: Sebuah Pemikiran Akademis
Frans Apomfires23
Abstract
People’s economic development programs in Papua always fail. The writer
argues that the reason for that fail is the lack of anthropological knowledge of
the executor of the programs.
Culturse of the Papuans are varied, and each culture has their own
perception and orientation on how to develop their economic life. Some
people support the programs created by the government, others support the
NGOs programs but some people not really agree with programs by booth
institutions.
The economic programs for the people according to the writer will succed if
the government or NGOs fix the values in people cultural orientation first
before they come with the programs.
1. PENDAHULUAN
Dalam pembahasan ini, kita bersama-sama akan mengikuti uraian yang
merupakan jawaban dan pemikiran akademis terhadap soal-soal tertentu, dimana
jawaban dan pemikiran terhadap soal-soal itu sekaligus menjadi isi dari
pembahasan ini. Saya mulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar
masalah-masalah pembangunan ekonomi kerayatan dan sekaligus menjawabnya
dan pada akhir materi ini saya memberikan rekomendasi dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi rakyat di Papua.
Program pembangunan ekonomi rakyat seperti IDT, Koperasi, PDM-DKE, PPK,
dan yang lainnya yang telah dijalankan Pemerintah, baik yang berhasil bagi
masyarakat sasaran maupun yang tidak, tidak disinggung di sini.
Pembangunan ekonomi rakyat merupakan upaya yang telah menjadi program
penting Pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Membangun ekonomi rakyat tidak hanya terbatas pada memperkernalkan dan
melaksanakan ide-ide dan alat-alat serta teknik-teknik baru dari luar kepada
masyarakat, akan tetapi bagaimana agar masyarakat itu dapat berpartisipasi
23 Staf Dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 82
penuh dalam menumbuhkan-kembangkan potensi yang dimilikinya. Atau,
mampu bersikap mengembangkan dirinya.
Untuk dapat bertahan hidup, semua masyarakat harus membangun sistem
teknologi dan ekonomi. Teknologi suatu masyarakat terdiri dari peralatan,
teknik, dan pengetahuan yang diciptakan anggotanya untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dan keinginan mereka. Ekonomi suatu masyarakat berisi cara-cara
yang diorganisasi secara sosial, dengan cara tersebut barang dan jasa diproduksi
dan didistribusikan. Kesemua ini merupakan budaya atau kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan.
Boeke (1953) menerangkan fenomena penerapan teknologi baru yang lamban
dari petani Indonesia disebabkan oleh nilai social yang dianut mereka yang
menekankan pada pemenuhan kebutuhan social ketimbang kebutuhan ekonomi.
Artinya, keputusan menempatkan sumberdaya bagi petani Indoensia terutama
didikte oleh keinginan untuk memaksimalkan kebutuhan social dan bukan oleh
kebutuhan ekonomi (Sondakh & Sembel24).
Dalam konteks komuniti adat atau kampung di Papua, pembahasan akan
diarahkan pada teknologi dan ekonomi dari suatu komuniti adat atau kampung.
Teknologi dikonsepkan sebagai teknologi subsistensi (teknologi yang secara
langsung berkaitan dengan usaha menopang hidup), yang dibatasi hanya pada
beberapa jenis teknologi subsistensi, yakni berburu dan meramu, hortikultura
dan agraris. Yang menjadi perhatian juga disini adalah sifat-sifat teknologi
subsistensi sekaligus bagaimana proses pergantiannya (evolusinya) dalam
sejarah suatu komuniti adat atau kampung. Dengan begitu, maka pelopor atau
pembijak pembangunan ekonomi rakyat tidak harus memaksakan gagasannya
secara tidak ramah terhadap komuniti adat atau masyarakat sasaran
pembangunan.
2. PEMBANGUNAN EKONOMI RAKYAT
1. Bagaimana membangun ekonomi rakyat?
o Kata bagaimana pada pertanyaan ini memiliki makna: cara atau teknik
yang harus ditempuh. Karena itu, dari perspektif antropologi dalam
rangka pembangunan ekonomi rakyat, maka cara atau teknik yang lebih
dahulu dilakukan mendahului teknik lainnya adalah (a) kajian
antropologis untuk menemukenali siapa rakyat itu, dan apa bentuk dan
24 Dalam Antropologi Indonesia, Majalah Edisi Khusus No.51 Th. XVIII, Januari –
April 1995.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 83
ciri kebudayaannya; (b) membentuk tim pembuat perencana
pembangunan yang terdiri dari ahli berbagai disiplin ilmu serta tokoh
masyarakat sasaran. Apa dan bagaimana cara menemukenali siapa
rakyat dan kebudayaannya itu? Ada dua prosedur yang perlu ditempuh,
yaitu: (1) penelitian mendalam dengan metode observasi dan
wawancara; dan (2) penelitian itu harus dirancang dan dilaksanakan oleh
ahli kemasyarakatan yang sebenarnya secara multidisipliner (psikolog
social, budaya, dan ekonom).
o Pengalaman selama ini di negeri ini, Soal no.1 itu mengundang orang
untuk segera berpikir dan bertindak secara teknis. Memang harus begitu.
Tetapi, ada kasus selama ini dimana hasil yang diinginkan itu tidak
secara maksimal dicapai, bahkan nihil sama sekali. Penyebabnya adalah
dari dua sisi, pertama dari si perancang pembangunan, yang dari luar
masyarakat sasaran. Kedua, dari masyarakat sasaran pembangunan itu
sendiri. Biasanya yang pertama itu menyebabkan adanya yang ke dua.
Mengapa begitu? Kalau orang yang berpikir dan bertindak merancang
program pembangunan itu adalah dari disiplin pemerintahan dan
ekonomi “tulen” (bukan sosio-antropolog) sebagaimana pengalaman
selama ini, maka langsung dibikinkan gebrakan, yakni: paham
teoritisnya dipakai langsung sebagai acuan menyusun kerangka kerja
dan operasional, tanpa mengkaji dahulu siapa masyarakat sasaran, apa
kebudayaannya, dan lain sebagainya. Tetapi nanti setelah terjadi
hambatan budaya atau sosial, barulah sosio-antropolog dimintai solusi,
dimana hal ini juga jarang dilakukan selama ini. Hambatan tadi
kemudian dijadikan hal teknis baru yang lain lagi bagi orang tadi untuk
diproyekkan untuk tahun anggaran berikut.
o Ada kesadaran bahwa pendekatan sosial budaya adalah penting untuk
membuka pintu bagi pekerjaan membangun ekonomi rakyat, akan tetapi
sulit dibuat. Peroalannya menjadi, bentuk pendekatan sosial budaya
yang bagiamanakah yang telah dibuat selama ini? Mengapa tidak
mampu menentukan entri point yang baik?
2. Mengapa budaya komuniti setempat yang mau dibangun harus lebih dulu
kenal?
o Karena, orientasi ekonomi keluarga dari komuniti adat/kampung
berbeda dari perusahaan kapitalis. Keluarga dari komuniti setempat itu
merupakan unit produksi sekaligus konsumen. Perusahaan kapitalis lain
dari itu, biasanya adalah pemroduksi dan pendistribusi untuk
pengembangan lebih luas. Mengenai sikap ekonomi keluarga komuniti
setempat ini, Scott telah menerangkan bahwa, agar bisa bertahan sebagai
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 84
satu unit, maka keluarga tani itu pertama-tama harus memenuhi
kebutuhannya sebagai kebutuhan subsistensi yang tak dapat dikurangi
dan tergantung kepada besar-kecilnya keluarga itu.
o So patterns of subsistence in band. People in band societies live as
hunter-gatherers (also known as foragers), collecting plants and taking
animals from their environment. People living in tribes or chiefdoms
commonly practice horticulture (gardening) and pastoralism (animal
herding) may be is rare.
o Effects on the environment. Hunting and gathering, horticultural, and
may be pastoral ways of life generally make small demands on the
natural environment, because people tend to gather or grow only enough
food and other materials for their basic needs. These nomadic or
seminomadic societies can also move away from depleted areas,
allowing plants to regrow and animals to repopulate.
Agricultural societies can heavily burden the environment, sometimes
endangering their own survival.
3. KEBUDAYAAN SUKU BANGSA PAPUA DAN RAKYAT DI PAPUA
1. Apa kebudayaan dari sukubangsa Papua dan rakyat di Papua?
o Sukubangsa Papua dan rakyat di Papua adalah sangat beragam. Itu
berarti sangat beragam pula budaya atau kebudayaannya.
Pembahasan ini hanya mencakup sukubangsa Papua saja dalam
dimensi etnologis. Rakyat di Papua yang relevan disoroti dari sisi
dimensi sosiologis tidak disinggung di sini.
o Kebudayaan sukubangsa-sukubangsa Papua dapat dirinci ke dalam
pranata-pranata khusus atau merupakan bagian tertentu dari unsurunsur
universal kebudayaannya. Misalnya, (1) pengetahuan tentang
alam sekitar, flora, fauna, bahan mentah, tubuh manusia, sifat dan
tingkah laku sesama, ruang, dan waktu; (2) sistem religi: kosmologi
dan agama baru; (3) organisasi sosial dan kepemimpinan:keluarga
inti monogami, dan poligami; keluarga luas: - pola menetap
neolokal, virilokal, uksorilokal, dan utrolokal; keluarga inti dengan
lingkaran kerabat sepupu yang dipengaruhi asas bilateral; kelompok
kecil dengan jalur patrililineal/matrilineal; komunikasi; struktur
kepemimpinan adat; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi: alat
produksi, senjata, wadah, alat membuat api, pakaian, dan perhiasan,
perumahan, dan alat transportasi; (5) sistem mata pencaharian
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 85
hidup: berburu, bercocok tanam, beternak, berladang, nelayan,
berdagang; dan (6) kesenian: seni rupa: ukir, pahat, dan lukis; seni
suara: tari dan lagu. (7) bahasa: ciri bahasa yang dipakai, variasi
karena perbedaan geografi, karena pelapisan sosial, luas batas
penyebarannya.
o Masing-masing unsur kebudayaan itu menjelma ke dalam tiga
wujud kebudayaan: (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts.
Hubungan unsur budaya dan wujud budaya dapat dilihat bagaimana
muatan wujud itu di dalam setiap unsurnya. Ketiga wujud
kebudayaan itu dalam kenyataannya tidaklah terpisahkan satu
dengan yang lainnya. Sistem budaya mengatur dan memberi arah
kepada sistem sosial dan budaya materil yang diciptakan manusia.
Sebaliknya, kebudayaan materil dapat membentuk suatu lingkungan
tertentu, dan dapat pula mempengaruhi sistem budaya dan sistem
sosial.
d. Skema umum untuk melihat nilai budaya Papua, yaitu dengan skema
orientasi nilai budaya dari Klukhohn, maka seluruh unsur di dalam budaya
sukubangsa-sukubangsa Papua mempunyai nilai yang berorientasi masingmasing,
yakni ada yang ke masa lalu, ada yang kini dan ada yang ke depan.
Komuniti kampung mana sajakah yang memandang bahwa:
1. yang memandang hidup ini buruk akan berupaya memperbaikinya,
sedangkan yang memandang hidup ini sudah baik tak ada upaya
memperbaikinya.
2. yang memandang bahwa kerja adalah untuk nafkah akan puas kalau
nafkah telah terpenuhi dengan suatu pekerjaan, sedangkan yang
memandang bahwa kerja adalah untuk kedudukan dan kehormatan, akan
terus mengembangkan kerjanya untuk mencapai kedudukan dan
kehormatan itu.
3. yang memandang ruang/waktu masa kini cukup baik merasa apa artinya
berupaya untuk meraih yang belum tentu sebaik ini, sedangkan yang
menganggap ruang/waktu masa lalu buruk, akan berusaha meraih yang
lebih baik.
4. yang menganggap alam itu dasyat akan selalu mau takluk kepadanya,
sedangkan menganggap bahwa alam itu bagian dari dirinya akan selalu
mau menjaga keseimbangan dengan alam itu.
5. yang merasa bahwa bergantung kepada sesama itu baik, maka berupaya
untuk mandiri, sedangkan dan bergantung pada tokoh atau atasan itu
baik, maka hanya akan tunduk pada komando sehingga tidak
berkembang.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 86
e. Contoh sukubangsa Papua dengan orientasi nilai tersebut perlu dibuatkan
kajiannya.Selama ini kita masih berpegang pada tulisan dari Boelaars,
Pouwer, Koentjaraningrat, dan Mansoben, yang sebenarnya tidak langsung
secara rinci mambahas mengenai orientasi nilai budaya itu.
4. KESIMPULAN
1. Perilaku ekonomi dari sejumlah komuniti orang Papua diwarnai ekonomi
substantif. Dasar ekonomi ini adalah adanya ketergantung kepada alam dan
sesama (alam dan lingkungan sosialnya), sejauh ia menghasilkan alat-alat
untuk memenuhi kebutuhan materilnya. Dibedakan dari ekonomi formal,
yaitu ekonomi dengan sifat logis, hubungan antara sarana dan tujuan. Ini
merujuk pada situasi pemilikan tertentu, yaitu kegunaan sarana karena
terbatasnya saran itu.
2. Perilaku ekonomi orang Papua yang tradisional itu, dipengaruhi oleh faktor
non ekonomi seperti faktor sosial, tradisi, dan kepercayaan. Kepercayaan
kepada kekuatan magis atau kekuatan gaib sangat besar pengaruhnya dalam
perilaku ini, misalnya dalam memulai perjalanan menangkap ikan, berburu,
atau dalam perjalanan jauh.
3. Aspek ekonomi pada sejumlah komuniti kampung orang Papua telah terbuka
terhadap perekonomian luar (negara dan dunia). Keluhan terhadap naikanya
harga barang modern termasuk minyak tanah misalnya, sebagai bukti dari
keterbukaan itu.
4. Komuniti tradisional orang Papua bukan lamban dalam menerima dan
menerapkan teknologi baru, tetapi kebutuhan ekonomi yang ada di dalam
dirinya adalah sesuai dengan nilai budaya yang dianutnya, yakni
menekankan pada pemenuhan kebutuhan sosial ketimbang kebutuhan
ekonomi. Karena itu, aspek sosial perlu dikembangkan sebagai sarana
penting bagi pengembangan dan peningkatan ekonomi.
Daftar bacaan
Boeke, W.J. 1953. Economics and Economic Policy in Dual Societies, Tjeenk
Willink and Zonen, Haarlem.
Scott, J.C. 1981. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, terjemahan oleh Hasan Basari, LP3ES, Intermasa, Jakarta.

Pemahaman Hak Asasi Manusia Dari Sisi Hukum dan Budaya

Pemahaman Hak Asasi Manusia Dari Sisi Hukum dan Budaya
Frans Reumi*
Abstract
One of the main issue on the Human Rights is understanding the Rights from
the perspectives of law and culture.
In the cultural perspectives according to the author, the rights are more ideal,
more abrstracts. In the positive law perspectives, the Rights is more real. It
has an assurance and standarisation on understanding the Rights.
I. PENDAHULUAN
Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) muncul karena manusia yang satu
menindas, memperbudak manusia yang lain dari masa ke masa, sejak
manusia berada dipermukaan bumi. Perhatian terhadap masalah HAM,
sebenarnya telah dilakukan ribuan tahun yang silam oleh bangsa-bangsa
seperti Jahudi, Yunani, Babylonia, Romawi dan Inggris), dituangkan dalam
Al Quran, Alkitab, bahkan dilakukan dalam masyarakat-masyarakat adat.
Pertentangan atau perlawanan terhadap eksploitasi manusia yang satu
terhadap manusia lainnya, secara khusus dan tertulis, diawali dengan
lahirnya “Magna Charta” di Inggris, 15 Juni 1215. Kelahiran “Magna
Charta”, diikuti dengan pernyataan-pernyataan tentang HAM seperti :
“Hobeas Corpus Act, 1967”; “Bill Of Rights, 1689” ; Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1776 yang kemudian dimasukkan
dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, 17 September 1787;
“Declaration Des Droits De L’Homme et du Cytoyen, 1787” dan
pernyataan-pernyataan lainnya.
Babak baru pada pertengahan abad XX adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dengan Piagammnya, Pernyataan Umum Sedunia Tentang Hak Asasi
Manusia, yang telah dijabarkan dalam berbagai konvensi atau perjanjian
internasional, teristimewa International Convenstion On Civil And Polical
Rights dan International Convention On Economic, Social And Cultural
Rights tahun 1966. Di kawasan Eropa, Afrika, Amerika, dunia Arab juga
diumumkan konvensi dan deklarasi mengenai Hak Asasi Manusia.
* Frans Reumi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 67
Perang dunia kedua telah berakhir, maka terjadi perubahan peta politik
dunia, di mana negara-negara di belahan bumi Afrika, Asia, Timur Tengah,
dan Pasifik berangsur-angsur memperoleh kemerdekaan. Negara-negara
yang baru merdeka ini, sesuai perkembangan zaman mencantumkan
masalah HAM dalam undang-undang dasar negaranya masing-masing,
termasuk Indonesia.
Indonesia dengan Undang-Undang Dasar 1945nya (UUD 1945),
memasukkan masalah HAM di dalam undang-undang dasar tersebut,
walaupun tidak secara mendeteil. Pemerintah menaruh perhatian terhadap
masalah HAM di akhir masa penguasa Orde Baru dengan didirikannya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 1993.
Pemerintah masa reformasi juga mempunyai perhatian yang besar dan
serius terhadap masalah HAM. Wujudnya adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia, yang telah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia, bahkan dalam Kabinet Persatuan
Nasional, Presiden Abdulrachman Wahid telah membentuk suatu
Departemen yang khusus menangani masalah HAM yaitu Menteri Negara
Urusan HAM, kemudian bergabung menjadi satu Departemen dengan
Departemen Kehakiman (Departemen Kehakiman dan HAM).
II. PEMBAHASAN
1. Arti Hak Asasi Manusia
Apa yang dimaksud dengan "hak-hak asasi manusia ? Dengan
paham ini dimaksud hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan
hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya
sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia. Dalam
paham hak asasi termasuk bahwa hak itu tidak dapat dihilangkan atau
dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak
mengakui hak-hak asasi itu. Dengan demikian hak-hak asasi tidak
dapat dituntut di depan hakim. Tetapi, dan itulah yang menentukan,
hak-hak itu tetap dimiliki. Dan karena itu hak-hak asasi seharusnya
diakui. Tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai
manusia itu menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat manusia
belum diakui sepenuhnya. Itulah paham tentang hak-hak asasi manusia
(Franz Magnis Suseno, 1991:121-122).
Melalui hak asasi itu tuntutan moral yang prapositif dapat
direalisasikan dalam hukum positif. Di satu pihak hak-hak asasi
manusia mengungkapkan tuntutan-tuntutan dasar martabat manusia,
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 68
seperti apa yang diperjuangkan oleh Teori Hukum Kodrat. Tetapi di
lain pihak, karena tuntutan-tuntutan itu dirumuskan sebagai hak atau
kewajiban yang konkret dan operasional, tuntutan-tuntutan itu dapat
dimasukkan ke dalam hukum positif sebagai norma-norma dasar
dalam arti bahwa semua norma hukum lainnya tidak boleh
bertentangan dengan mereka. Dengan demikian tuntutan Teori Hukum
Positif terpenuhi, bahwa hanya norma-norma hukum positif boleh
dipergunakan oleh hakim untuk mengambil keputusan. Dari situ
dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak dari tuntutantuntutan
dasar keadilan dan martabat manusia dimasukkan sebagai hak
asasi ke dalam hukum positif, semakin terjamin juga bahwa hukum itu
memang adil dan sesuai dengan martabat manusia (Franz Magnis
Suseno, 1991:122).
2. DASAR PENETAPAN HAK-HAK ASASI
Pertanyaan kedua yang timbul ialah: apa yang menjadi dasar bahwa
sesuatu dianggap merupakan hak asasi? Apakah penetapan suatu
tuntutan sebagai hak asasi mempunyai dasar objektif ? Untuk menjawab
pertanyaan itu kita harus bertolak dari fungsi paham hak asasi. Kita
mengartikan hak-hak asasi sebagai cara untuk mempositifkan
keyakinan-keyakinan prapositif tentang keadilan dan martabat
manusia. Jadi tuntutan Teori Hukum Kodrat agar hukum positif sesuai
dengan standar-standar moral prapositif dipenuhi dengan merumuskan
standar-standar itu dalam bentuk hak konkret yang dapat dimasukkan ke
dalam hukum positif sendiri sebagai jaminan bahwa hukum itu tidak
melanggar norma prapositif itu (Franz Magnis Suseno, 1991:134).
Maka agar sesuatu diakui sebagai hak asasi perlu disepakati perlakuan
macam apa yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan bagaimana
keyakinan tentang martabat manusia dapat dirumuskan sebagai hak ?
Perlakuan terhadap seseorang yang tidak sesuai dengan martabatnya
sebagai manusia, itu diketahui oleh masyarakat. Perlakuan apa yang
akhirnya disepakati sebagai bertentangan dengan martabat manusia
harus disepakati oleh masyarakat. Jadi penetapan suatu tuntutan
sebagai hak asasi merupakan hasil suatu proses dialogal dalam
masyarakat yang sering berlangsung lama. Permulaan proses itu sering
berupa pengalaman negatif, misalnya suatu ketidakadilan, atau
perlakuan yang tak wajar. Pengalaman itu lama-lama dilihat bukan
sebagai peristiwa dalam isolasi melainkan sebagai pelanggaran prinsipil
terhadap apa yang wajar dan adil. Semakin disadari bahwa perlu
pelanggaran itu secara prinsipil dinyatakan sebagai tak adil dan jahat,
dan bahwa segenap orang berhak untuk tidak diperlakukan seperti itu.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 69
Maka disadari bahwa perlakuan macam itu harus ditolak karena
bertentangan dengan martabat manusia.
Akhirnya tercetus rumusan bahwa setiap orang, berdasarkan
martabatnya sebagai manusia, berhak atas perlakuan tertentu, misalnya
atas kemerdekaannya. Jadi hak-hak asasi tidak diciptakan dari udara
kosong, melainkan mengungkapkan sejarah pengalaman sekelompok
orang yang secara mendalam mempengaruhi cara seluruh masyarakat
menilai kembali tatanan kehidupannya dari segi martabat manusia.
Sejarah itu berwujud penderitaan, ketidakadilan, dan pemerkosaan. Atas
pertanyaan: Atas dasar apa tuntutan itu kau tetapkan sebagai hak asasi ?,
mereka menjawab: karena kami tidak tega melihat seorang manusia
diperlakukan tidak seperti itu (Franz Magnis Suseno, 1991:136).
Hak-hak sosial mencerminkan sejarah perjuangan kaum buruh yang
membawa mereka dari keadaan melarat dan terhisap menjadi golongan
masyarakat yang percaya diri dan terhormat. Begitu pula dengan
perjuangan demi hak-hak asasi manusia masa kini lahir dari pengalaman
kezaliman. Setiap hak asasi merupakan hasil perkembangan kesadaran
umum dalam salah satu golongan masyarakat.
3. UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS HAM
Pertanyaan yang barangkali paling menentukan dan sekaligus
problematis: apakah hak-hak asasi harus dianggap berlaku universal
dan dengan mutlak atau secara relatif belaka?
Di satu pihak hak-hak asasi nampaknya mesti berlaku dengan mutlak
dan di mana-mana karena hak-hak itu melekat pada manusia karena ia
manusia dan bukan karena salah satu cirinya yang sektoral atau
regional. Maka hak-hak asasi nampaknya berlaku bagi setiap orang
tanpa kekecualian dan diskriminasi. Anggapan itu secara eksplisit
diungkapkan dalam pembukaan banyak daftar hak-hak asasi. Di lain
pihak kita telah melihat bahwa kesadaran akan hak asasi manusia
selalu timbul dalam situasi sosial tertentu dan diperjuangkan oleh satu
atau beberapa kelas sosial atau golongan tertentu pula. Jadi baik bagi
universalitas maupun bagi relativitas hak-hak asasi manusia terdapat
alasannya (Franz Magnis Suseno, 1991:138).
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 70
4. ISTILAH HAM
a. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM)
1) Istilah Hak Asasi Manusia (HAM)
Istilah HAM berasal dari terjemahan : “Droits de L’Homme”
(Perancis); “Menselijke Rechten, Fundamentele Rechten,
Grond Rechten” (Belanda); “Human Rights” (Inggris). Di
Amerika Serikat sering disebut dengan istilah “Civil Rights”.
2) Pengertian dan Ruang Lingkup HAM
Pernyataan-pernyataan tentang HAM yang begitu banyak, baik
secara internasional maupun nasional, tidak terdapat suatu
definisi yang menggambarkan tentang apa itu HAM, tetapi di
dalam naskah-naskah pernyataan tentang HAM dan pendapat
para sarjana dan pakar dapat dipahami tentang materi atau ruang
lingkup dari Hak Asasi Manusia.
Beberapa rumusan pengertian tentang HAM di bawah ini,
sebagai pedoman atau tuntunan bagi kita dalam mempelajari
masalah HAM lebih lanjut.
a) Dalam buku “Human Rights, Quistions And Answers”,
tertulis :
Human rights could be generally defined as those rights which
are inherent in our nature and without which we can not live as
human beings.
Human rights and fundamental freedom allow us to fully develop
and use our human qualities, our in telligence, our talents and our
science and to satisfy our spiritual and other needs. They are
based on mankind’s increasingly demand for a life in which the
inherent dignity and worth of each human being will receive
respect and protection.
b) Piagam HAM Indonesia merumuskan pengertian Hak Asasi
Manusia sebagai berikut :
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada
diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup,
hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan,
hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan
hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh
diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 71
c) Marbangun Hardjowirogo dalam bukunya, menulis “Hak
asasi manusia adalah hak-hak yang diperlukan manusia bagi
kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat dan hak-hak
itu meliputi hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, demikian
juga hak-hak sipil dan politik”.
d) Penulis buku “Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia”,
menulis : “Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat, juga bukan berdasarkan hukum positif,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia”.
e) Pakar Hukum Humaniter Internasional, C.P.H.
Haryomataram mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut:
Hukum HAM Internasional mencakup semua
peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan
melindungi (protection) dan menjamin (safeguarding)
hak-hak individu apapun status hukum mereka, yaitu :
penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga
negara, orang asing, pria ataupun wanita, pada setiap
saat baik dalam keadaan damai maupun keadaan
perang (atau perang saudara, pemberontakan), baik
dalam wilayah negara sendiri maupun di luar negeri.
Definisi-definisi mengenai HAM sebagaimana terkutip di atas,
ruang lingkupnya meliputi hak-hak sipil (pribadi), ekonomi,
sosial, budaya maupun politik. Penulis lain menambahkannya
dengan hak-hak pembangunan, perdamaian dan hak atas
lingkungan hidup. Apabila hak-hak tersebut dijabarkan, maka
masalah HAM itu luas sekali, mencakup hampir seluruh aspek
kehidupan manusia (akan diuraikan pada bagian selanjutnya).
HAM berlaku untuk semua umat manusia dan tidak mengenal
batas waktu (baik pada masa damai maupun perang).
b. Pengertian HAM
Beberapa rumusan pengertian tentang HAM di bawah ini sebagai
pedoman atau tuntutan bagi kita dalam mempelajari masalah HAM
lebih lanjut.
1) Piagam HAM Indonesia merumuskan pengertian Hak Asasi
Manusia sebagai berikut :
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri
manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 72
kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan
masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau
diganggu gugat oleh siapapun.
2) Marbangun Hardjowirogo dalam bukunya menulis; “Hak-hak
asasi manusia adalah hak-hak yang diperlukan manusia bagi
kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat dan hak-hak itu
meliputi hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, demikian juga
hak-hak sipil dan politik”.
3) Penulis buku “Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia”,
mengatakan : “Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat,
jadi bukan berdasarkan hukum positif, melainkan berdasarkan
martabatnya sebagai manusia”.
Pengertian HAM sebagaimana terkutip di atas, ternyata ruang
lingkupnya luas mencakup hak-hak sipil (pribadi), ekonomi, sosial,
budaya maupun politik. Perincian mengenai masalah HAM
diatur dalam Pernyataan Umum Sedunia tentang Hak Asasi
Manusia, 10 Desember 1948, sebagai berikut :
Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi; bebas dari
perbudakan dan penghambatan; bebas dari penyiksaan atau
perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan
ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan; hak untuk
memperoleh pengakuan umum dimana saja sebagai pribadi; hak
untuk pengampunan hukum yang efektif; bebas dari penangkapan,
penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang; hak untuk
peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak hak untuk praduga
tak bersalah, sampai terbukti bersalah; bebas dari campur tangan
sewenang-wenang terhadap keleluasaan pribadi, keluarga, tempat
tinggal maupun surat-surat; bebas dari serangan terhadap
kehormatan dan nama baik; dan hak atas perlindungan hukum
terhadap serangan semacam itu; bebas bergerak; hak untuk
memperoleh suaka; hak atas suatu kebangsaan; hak untuk menikah
dan membentuk keluarga; hak untuk mempunyai hak milik; bebas
berpikir dan menyatakan pendapat; hak untuk berhimpun dan
berserikat; hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas
akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat; hak atas jaminan
sosial; hak untuk bekerja; hak atas upah yang sama untuk pekerjaan
yang sama … .
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 73
Permasalahan HAM yang lama itu, ruang lingkupnya dapat
dikelompokkan menjadi:
a. hak asasi pribadi;
b. hak asasi ekonomi;
c. hak asasi mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama
dalam keadilan dan pemerintahan;
d. hak asasi politik;
e. hak asasi sosial dan kebudayaan; dan
f. hak asasi perlakuan yang sama dalam tata peradilan dan
perlindungan hukum.
Para penulis ada yang membagi menjadi tiga kelompok saja, yaitu
hak asasi di bidang sipil dan politik; ekonomi, sosial dan
kebudayaan serta hak asasi manusia di bidang pembangunan.
5. SIFAT HAM
Masalah HAM dewasa ini menjadi isu global, sebab bersifat universal
dan transparan.
Masalah HAM bersifat universal, sebab masalah ini terdapat di segala
tempat dan waktu. Pada masa Junani Kuno, Kekaisaran Romawi, bangsa
Mesir, bangsa Jahudi, masyarakat-masyarakat adat, negara-negara
moderen di seluruh dunia, dalam tata krama, norma-norma
kehidupannya, undang-undang dasar negaranya serta peraturan
pelaksanaannya, selalu saja mengandung atau mengatur masalah HAM.
HAM bersifat transparan, sebab apabila terjadi pelanggaran terhadap
salah satu aspek HAM di suatu negara atau pada kawasan dunia tertentu,
maka negara-negara lain atau seluruh dunia akan berbicara atau
mengecamnya seakan-akan terjadi di negaranya masing-masing.
Masalah HAM dapat berpengaruh terhadap hubungan politik, ekonomi,
teknologi dan sebagainya antar negara dan atau kawasan dunia.
Misalnya pada awal tahun 1990an, masyarakat (Ekonomi) Eropa pernah
menolak impor pakaian jadi dari Indonesia dengan alasan upah
karyawan pada pabrik-pabrik pakaian jadi di Indonesia sangat rendah.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 74
6. DASAR HUKUM DAN SUMBER HUKUM HAM
a. Dasar Hukum
1. TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asai
Manusia.
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
3. Keputusan Presiden RI Nomor 129 Tahun 1998 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia.
4. Keputusan Presiden RI Nomor 134 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kementerian Negara.
b. Sumber-Sumber Hukum HAM
1. Sumber-sumber Hukum HAM Nasional :
a. Undang-undang Dasar 1945
b. TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia
c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP
d. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokokpokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah oleh
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
e. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN
f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Kejaksaan
g. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak
h. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian
Negara RI
i. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer
j. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
k. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
l. Peraturan lain yang terkait dan berpengaruh terhadap HAM
c. Sumber-sumber Hukum HAM Internasional :
1. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
2. Deklarasi Universal HAM
3. Konvensi Jenewa 1949
4. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Militer
5. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya
6. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 75
7. Konvensi Internasional tentang Anti Penindasan dan
Penghukuman kejahatan Apartheid
8. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita
9. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia Lainnya
10. Konvensi tentang Pencegahan dan penghukuman kejahatan
Genocide
11. Konvensi Mengenai Status Pengungsi
12. Konvensi tentang Suaka Politik
13. Konvensi tentang Hak-hak Anak
14. Konvensi tentang Kebebasan Berkumpul dan Perlindungan Hak
Berorganisasi
15. Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di
Negara-negara Merdeka
16. Konvensi tentang Lingkungan Hidup
17. Instrumen HAM internasional lainnya yang bersifat universal
7. Perkembangan HAM
Secara umum di dunia internasional pembidangan HAM mencakup hakhak
sipil dan hak-hak politik (generasi I), hak-hak bidang ekonomi,
sosial dan budaya (generasi II) serta hak-hak atas pembangunan
(generasi III). Hak-hak tersebut bersifat individual dan kolektif.
a. Hak-hak sipil mencakup, antara lain :
1) Hak untuk menentukan nasib sendiri
2) Hak untuk hidup
3) Hak untuk tidak dihukum mati
4) Hak untuk tidak disiksa
5) Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
6) Hak atas peradilan yang adil
b. Hak-hak bidang politik, antara lain :
1) Hak untuk menyampaikan pendapat
2) Hak untuk berkumpul dan berserikat
3) Hak untuk mendapat persamaan di depan hukum
4) Hak untuk memilih dan dipilih
c. Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain :
1) Hak untuk bekerja
2) Hak untuk mendapatkan upah yang sama
3) Hak untuk tidak dipaksa bekerja
4) Hak untuk cuti
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 76
5) Hak atas makanan
6) Hak atas perumahan
7) Hak atas kesehatan
8) Hak atas pendidikan
d. Hak-hak bidang budaya, antara lain :
1) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
2) Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
3) Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak
cipta)
e. Hak-hak bidang pembangunan, antara lain :
1) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
2) Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai
8. Pelanggaran HAM
a. Pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh 4 (empat) hal :
1) kesewenangan (abuse of power) yaitu tindakan penguasa atau
aparatur negara terhadap masyarakat di luar atau melebihi batasbatas
kekuasaan dan wewenangnya yang telah ditetapkan dalam
perundang-undangan.
2) Pembiaran pelanggaran HAM (violation of omission) yaitu tidak
mengambil tindakan atas suatu pelanggaran HAM
3) Sengaja melakukan pelanggaran HAM (violation of commision)
yaitu melakukan tindakan yang menyebabkan pelanggaran
HAM
4) Pertentangan antar kelompok masyarakat
b. Penyelesaian Pelanggaran HAM
1) Penyelidikan Pelanggaran HAM
Kewenangan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM hanya
dilakukan oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM)
Penyelesaian hasil penyelidikan :
a) Pelanggaran HAM dapat diselesaikan oleh Komnas HAM
dalam fungsi mediasi (perdamaian, konsultasi, negoisasi,
konsiliasi, saran, rekomendasi dan lain-lain)
b) Pelanggaran HAM berat diteruskan ke Kejaksaan Agung
2) Penyidikan Pelanggaran HAM
Penyidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan
oleh Jaksa Agung atau Tim Penyidik Ad-hoc yang diangkat oleh
dan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
3) Penuntutan Pelanggaran HAM
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 77
Penuntutan pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung atau Jaksa penuntut Umum Ad-hoc yang diangkat oleh
Jaksa Agung
4) Sidang Pengadilan pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum dibentuknya
Pengadilan HAM, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Adhoc.
Pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak dibentuknya
Pengadilan HAM, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
9. HAM dan Budaya1
Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pandangan budaya sangat
identik dengan nilai-nilai budaya dalam struktur sosial masyarakat.
Budaya sebagai sistem kebiasaan, norma, keyakinan dan nilai-nilai yang
dimiliki bersama oleh sekelompok masyarakat yang membicara dengan
bahasa yang sama, agama dan juga hidup dalam atau berasal dari
wilayah (teritorial) yang sama pula. Jadi pandangan budaya tersebut
diatas, terkandung dua makna penting yaitu :
1) Berkenaan dengan makna sosial budaya suatu masyarakat,
keyakinan dan nilai-nilai bersama yang mencerminkan dan
dicerminkan oleh norma-norma (perilaku yang dipebolehkan) dan
kebiasaan ( perilaku riil masyarakat).
2) Berkaitan dengan kelompok sosial riil yang menklaim bahwa dirinya
khas secara budaya.
Ini biasanya adalah kelompok yang memiliki bahasa, agama dan sejarah
yang sama sebagai garis keturunan yang sama (genealogis) baik yang riil
maupun mitos.
Jadi pemahaman budaya menggambarkan nilai-nilai dan praktek-praktek
sosial kelompok nasional atau etnis yang bersangkutan.
Nilai dasar HAM adalah semua manusia lahir dengan hak-hak yang
sama dan mutlak serta dengan kebebasan fundamental. Oleh karena itu
dalam kebudayaan lokal semua pikiran, tindakan, hasil karya dalam
kehidupan masyarakat dijadikan milik melalui praktek belajar pada
setiap kelompok suku-suku bangsa.
1 Naffi Sanggenafa : HAM Dalam Tingkat Budaya. (Makalah) Pelatihan HAM Kepada
Security PT. Freeport Indonesia, Tahun 2000.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 78
Untuk itu, HAM dan kebudayaan harus dipahami, sebab berkaitan
dengan nilai-nilai budaya dan norma-norma ideal pada suku-suku
bangsa yang ada di setiap belahan dunia.
Pada tingkat lokal (masyarakat adat) masalah HAM tidak mendapat
perhatian serius. Pada hal justru banyak hal tidak terungkap karena
“tidak berdaya”. Dan masih dijumpai nilai-nilai budaya setempat yang
tidak mendapat bagian yang layak.
Ada beberapa ciri HAM secara normatif dibandingkan dengan
kebudayaan lokal.2
HAM Nilai Budaya
1) Pernyataan (deklarasi)
tertulis yang diterima oleh
bangsa di dunia
2) Hak-hak dasar keadilan
manusia
3) Hak-hak dasar meliputi :
Politik, Ekonomi, Sosial
Budaya
4) Pandangan bersifat
individual dan tertulis
5) Tidak simbolik
1) Norma-norma diakui bersama dalam
kehidupan kesukuan
2) Biasanya tidak tertulis diakui dan
diwarisi secara turun-temurun
3) Norma terdiri dari : Sosial Budaya,
Ekonomi, dan Politik
4) Pandangan kolektif/bersama
5) Simbolik
III. KESIMPULAN
a. Bahwa masalah pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) selama ini
disoroti dengan cara yang sama kepada semua lapisan masyarakat.
Sehingga dampaknya kini terdapat tendensi kuat untuk menolak setiap
usaha pengsosialisasian HAM secara rasional. Oleh karena prinsipprinsip
umum HAM lebih terfokus pada konsep HAM nasional dan
HAM internasional dari pada HAM lokal (Budaya).
b. Jika HAM nasional, HAM internasional dan HAM lokal (Budaya)
didasarkan atas dasar adanya martabat manusia, maka dapat disimpulkan
bahwa sifat hak-hak manusia itu universal dan transparan, karena
martabat manusia selalu dan dimana-mana sama. Sehingga terjadi
pelanggaran HAM, semua negara akan menyoroti dari segi sifatnya
HAM itu sendiri.
c. Penerimaan HAM tidak merupakan suatu tindakan irasional, karena
dapat diberi suatu pemahaman mendasar secara rasional, oleh karena
2 Naffi Sanggenafa, Ibid, 2000
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 79
HAM menjadi sesuatu yang bersifat tetap, teguh dan universal serta
transparan. Untuk itu HAM selalu dijalankan dalam suatu konteks
historis, kultural dan situasional dalam mengantisipasi HAM secara
dinamis.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Bahar Saafroedin, Hak Asasi Manusia, Analisis Komnas HAM dan Jajaran
HAMKAM/ABRI, Sinar Harapan Jakarta, 1997.
Human Rights Status of International Instruments, United Nations, New York,
1987.
Human Rights A Compilation of International Instrument. United Nations. New
York, 1988.
Hasbani Firsty, Pengakuan Terhadap Hak dan Eksistensi Masyarakat Adat
Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Peratur Perundang-
Undangan. (Dalam Jurnal Hukum Lingkungan) Tahun IV No. 1 September
1997.
Hutauruk M, Tentang dan Sekitar Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga negara.
Penerbit Erlangga. Jakarta, 1985.
Karet M.F, Hak-Hak Asasi Manusia, Suatu Tinjauan Juridis (Makalah), Fakultas
Hukum Uncen, 1998.
Kompisasi Deklarasi Hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum,
Jakarta, 1988.
Marbangun Hardjowirogo. Hak-Hak Manusia, Yayasan Idayu, Jakarta, 1981.
Mulyana W. Kusumah. Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia Suatu Pemahaman
Kritis, Penerbit Alumni Bandung, 1981.
Mohammad Burhan Tsani. Hukum dan Hubungan Internasional. Penerbit
Liberty Yogyakarta, 1990.
Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa Deparlu, Jakarta,
1993.
Reumi Frans dkk, Hukum Adat Suku Amungme dan Kamoro. Fakultas Hukum
Uncen, 1999.
Sanggenafa Naffi, HAM Dalam Tingkat Budaya, (Makalah) Pelatihan HAM
Kepada Security PT. Freeport Indonesia, tahun 2000.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 80
Starke J.G. Pengantar Hukum Internasional, Jilid 2. Penerbit Aksara Persada
Indonesia, Jakarta, 1984.
Majalah Berita Mingguan Tempo, Hak Asasi dan TIM-TIM. Nomor 7 Tahun
XXIII-17 April 1993.
Majalah Berita Mingguan Gatra, Kontraversi Temuan KOMNAS HAM, Nomor
44 Tahun II 1996, 14 September 1996.
Majalah Investigasi dan Analisa, Detektif dan Romantika Nomor 07/XXVIII/28
September 1996.
Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat; Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan,
1994 (makalah).
Kajian Peraturan Perundang-Undangan Indonesia tentang Hak dan Akses
Masyarakat Lokal pada Sumberdaya Hutan; Program Penelitian dan
Pengembangan Antropologi Ekologi Universitas Indonesia; 1995 (makalah).
UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
UU nomor 4 tahun 1982 jo 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
PP nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk
dan Tatacara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
PP nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan.
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 251/Kpts-II/1992 tentang Ketentuan Hak
Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau
Anggotanya di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan.
Instruksi Presiden nomor 1/1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan
Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan,
Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum.

Kebudayaan Suku Sebyar Di Teluk Bintuni Papua (Studi Kasus Desa Tomu)

Kebudayaan Suku Sebyar Di Teluk Bintuni Papua (Studi Kasus Desa Tomu)
Enos H. Rumansara*
Abstract
One reason that cause conflict between tribes, clan or family is the attendance
of companies in their area.
Sebyar tribe is one from 150 tribes in Papua. They inhabitate the the area of
Bintuni in Arandai District where BP, a British mining company, will be
operated.
In the next couple of years the company will be operated with almost 5000
people work on. That condition according to the author will affect the life of
the Sebyar especially people and nature interaction and the Sebyar social
and cultural systems.
The paper tries to show the Sebyar living condition, natural condition and
socio-cultural before the conact with the company.
1. Pendahuluan
Setiap kelompok masayarakat yang mendiami muka bumi memiliki sistem
social dan sistem budaya yang merupakan dasar hidup mereka, sehingga pola
perilaku hidup mereka selalu berpedoman pada system social dan budaya yang
dimilikinya. Sistem social dan budaya setiap kelompok masyarakat selalu
berbeda antara satu kelompok atau suku bangsa dengan suku bangsa lainnya.
Perbedaan tersebut adalah terkait dengan kondisi alam dan atau letak geografis
yang berbeda dari masing-masing kelompok. Perbedaan tersebut terkait dengan
kondosi alam atau letak geografir yang berbeda dari masing-masing wailayah
yang mereka diami.
Suku – suku yang mendiami propinsi Papua juga mengalami hal yang sama.
Ditinjau dari bahasa, masyarakat asli Papua terdiri dari 250 suku yang antara
satu suku dengan suku lainnya berbeda sistem sosial dan budaya walaupun ada
beberapa kesamaaan di dalamnya. Boelaars, Tukar dan laporan penelitian yang
dilakukan oleh "Lavalin Internasional Incorporate “ di Papua. Dalam Laporan
Penelitian dari "Lavalin Internasional Incorporated" yang bekerja sama dengan
* Doktorandus, Magister Antropolgi, Staf pengajar pada Jurusan Antropologi – FISIP
Universitas Cenderawasih, menjabat sebagai Kepala UPT Museum Etnografi Uncen-
Jayapura dan Staf Peneliti Pusat Studi Manusia dan Kebudayaan Papua.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 48
"PT.Hasfarm Dian Konsultan" tentang Rencana Pembangunan Daerah Papua,
sektor Antropologis (1987), mengemukakan bahwa perbedaan system social
dan kebudayaan masyarakat Papua dipengaruhi oleh zona-zona ekologis di
Papua. Ada 4 (empat) zona ekologis utama, yaitu:
(a) Zona Rawa, Pantai dan Sepanjang Aliran sungai; meliputi: daerah
Asmat, Jagai, Awyu, Yagai Citak, Marind-Anim, Mimika / Kamoro
dan Waropen;
(b) Zona Dataran Tinggi; meliputi: meliputi ; orang Dani, Yali, Ngalun,
Amungme, Nduga, Damal, Moni dan orang Ekari / mee;
(c) Zona Kaki Gunung dan Lembah-Lembah Kecil; meliputi : daerah
Sentani, Nimboran, Ayamaru dan orang Muyu;
(d) Zona Dataran Rendah dan Pesisir; meliputi : Sorong sampai Nabire,
Biak dan Yapen.
Empat zona ekologis tersebut di atas, sangat mempengaruhi unsur-unsur budaya
pada kelompok-kelompok etnis / suku bangsa yang mendiami 4 zona ini, seperti :
sistem mata pencaharian sistem peralatan atau teknologi tradisional, sistem religi,
sistem pengetahuan, bahasa dan kesenian.
Kondisi sistem social dan budaya yang dimiliki secara tradisional oleh kelompok
masyarakat asli yang mendiami empat zona tersebut di atas dapat berubah
apabila terjadi suatu akulturasi, yaitu adanya kontak budaya antara budaya asli
dengan budaya asing / luar. Ada tiga factor yang menurut prof. Budi Santoso
dapat mempengaruhi atau merubah suatu kebudayaan yaitu : factor pendidikan,
Industri dan Pariwisata. Selain itu, kehadiran perusahan pada suatu tempat atau
wilayah tertentu dapat mempengaruhi pula kondisi social dan budaya
masyarakat sekitar perusahaan tersebut.
Suku Sebyar adalah salah satu dari 250 suku bangsa (dilihat dari bahasa) di
Papua yang mendiami wilayah operasi LNG Tangguh di Teluk Bintuni,
tepatnya di Kecamatan Arandai – kabupaten Manukwari. Perusahaan Gas ini
akan beroperasi dengan peralatan teknologi canggih dengan melibatkan 5000
pegawai dengan latar belakang budaya yang berbeda satu sama lainnya. Kondisi
demikian diperkirakan akan mempengaruhi kehidupan masyarakat suku Sebyar
terutama yang berhubungan dengan system social dan budaya mereka. Atas
dasar inilah yang mendorong penulis untuk menulis secara garis besar “rona
awal kondisi social budaya suku Sebyar di kecamatan Arandai – Kabupaten
Teluk Bintuni”. Ada pun beberapa aspek yang diuraikan dalam kondisi rona
awal tulisan ini adalah kondisi lingkungan alam, potensi alam dan budaya,
kependudukan dan beberapa unsur kebudayaan suku Sebyar.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 49
2. Lingkungan Alam
2.1. Letak, Batas dan Luas Wilayah
Desa Tomu merupakan salah dari 9 desa dalam wilayah administratif kecamatan
Arandai. Desa ini letaknya di bagian utara dari areal wilayah kecamatan
Arandai. Jarak antara ibu kota Kecamatan dengan Ibu kota desa Tomu kurang
lebih 4 Km yang apabila menggunakan long boat mengikuti sungai ditempuh
dalam waktu 20 menit dan apabila jalan kaki jarak tersebut ditempuh dalam
waktu 35 menit. Desa di lalui sungai / anak sungai Gonggo yang membelah
lokasi pemukiman desa Tomu. Pola pemukimannya bejejer mengikuti bagian
kiri dan kanan dari anak sungai Gonggo. Anak Sungai yang membelah lokasi
pemukiman desa Tomu bermuara pada Sungai Sebyar yang merupakan tempat /
areal terdekat untuk mencari siput (bia), ikan sembilan, udang dan jenis ikan
lainnya.
Desa Tomu merupakan bagian dari wilayah kecamatan Arandai yang mempunya
batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mardey
- Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Taroy dan desa Sebyar Rejosari
- Sebelah Barat berbatasan dengan desa Weriagar
- Sebelah Timur Berbatasan dengan desa Manunggal Karya, Kecap dan
desa Aranday
Luas wilayah desa Tomu secara keseluruhan 79.029,5 Ha. Yang terdiri dari :
- Lokasi Pemukiman …………………… 17 Ha.
- Hutan Kayu dan Sagu …………………….. 21.000 Ha.
- Tanah Tidak Subur / Kritis …………… 13 Ha.
- Padang Alang-Alang ………………….. 800 Ha
- Hutan Bakau …………………………….. 28.000 Ha.
- Lain-lain ………………………………… 29.199,5 Ha
2.2.Topografi dan Iklim
Desa Tomu berada pada ketinggian kurang - lebih 3 - 5 m di atas permukaan air
laut dan lokasi pada dataran rendah di sekitar teluk Bintuni yang kondisi
tanahnya berawa yang lahannya selalu pasang surut mengikuti air laut dengan
jenis tanah Allevium dan Gambut ( 2.500 Ha.) yang di tumbuhi Bakau, Sagu dan
jenis tanaman lainnya hingga sebagian areal menjadi hutan Bakau, sagu dan
lainnya. Hutan Bakau, sagu dan hutan kayu lainnya di lewati sungai-sungai kecil
yang bermuara ke sungai Sebyar dan sungai Weriagar.
Desa Tomu yang merupakan bagian dari kecamatan Arandai yang juga
berada pada kawasan teluk Bintuni memiliki iklim cukup berfariasi
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 50
namun menurut data yang diperoleh pada data monografi desa ( th. 2000 )
menunjukkan bahwa :
- Curah hujan rata-rata per tahun 2 – 500 mm,
- Temperatur bervariasi sekitar 22 – 32’ C.
Musim kemarau dan penghujan tidak ada perbedaan yang mutlak.
2.3.Kondisi Tanah
Desa Tomu memiliki kondisi tanah yang cukup bervariasi. Untuk sementara
Jenis tanahnya yang diketahui dilapangan yaitu : tanah Allevium, tanah Gambut
( 2.500 Ha). Tanah yang mengalami pasang surut 1 : 500 Ha. Selain itu,
menurut data desa ada memiliki 13 Ha tanah kritis.
3. Potensi Desa
Potensi yang dimiliki desa dalam meningkatkan pembangunan ekonomi desa
dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Potensi Budaya
- Masyarakat desa mesih menghargai adat istiadat mereka yang dapat
mendukung semua program, misalnya : masih mengakui pimpinanpimpinan
adat seperti kepala klen, dan telah membentuk satu lembaga
adat yang berdomisili di Ibu Kota Kecamatan.
- Kerjasama antara kerabat dalam Klen-Klen yang ada di desa Tomu
secara tradisional masih dipertahankan. Misalnya, anggota klen
Nawarisa dapat menokok sagu di Dusun sagu milik klen Kosepa;
kerjasa sama dalam melaksanakan upacara adat / perkawinan dan
lainnya.
- Menjalankan Norma Agama secara Baik dan sangat menghargai
pimpinan agama yang ada di desa ( Hasil Pengamatan / wawancara di
lapangan ).
- Memiliki lembaga adat, LKMD, Pemerintah desa, lembaga agama
dan lembaga pendidikan ( SD).
b. Potensi Ekonomi
- Setiap Klen yang ada mempunyai hak milik atas areal / dusun sagu
yang merupakan satu-satunya mata pencaharian utama bagi
masayarakat desa tersebut.
- Setiap Klen memiliki areal hutan kayu yang bernilai ekonomi yang
tinggi.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 51
- Desa memiliki sungai yang penuh denga potensi ( ikan, udang, siput)
serta memiliki areal air tawar yang dapat digunakan untuk usaha /
budidaya ikan tawes, Mas, Nila, Lele, Mujair, udang, kepiting dan
lain-lainya.
- Memiliki obyek wisata yang dapat dikembangkan, misalnya
keindahan alam / sungai, flora dan fauna serta kesenian tradisional
yang ada.
- Memiliki lembaga ekonomi, seperti koperasi, dan usaha nelayan yang
kerjasama dengan beberapa pengusaha udang yanng beroperasi di
Bintuni dan Sorong.
4. Penduduk
4.1. Jumlah
Penduduk desa Tomu sebelum dimekarkan menjadi dua desa berjumlah 733
Orang yang terdiri dari 124 KK. Jumlah tersebut 100 % beragama Islam.
Jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
berikut.
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin, Tahun 2001
No. Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
0 - 4 thn.
5 - 9 thn.
10 - 14 thn.
15 - 19 thn.
20 - 24 thn.
25 - 29 thn.
30 - 34 thn.
35 - 39 thn.
40 - 44 thn.
45 - 49 thn.
50 - 54 thn.
55 - 59 thn.
60 - 64 thn.
65 - ? thn .
78
60
52
32
27
40
24
13
12
13
9
3
7
4
68
73
52
33
31
45
15
22
7
6
4
1
2
1
146
133
104
65
58
85
39
35
19
19
13
4
8
5
J U M L A H 378 360 733
Sumber Data : Hasil Sensus, Maret 2001 ( Tim Peneliti AMDAL di Desa Tomu ).
4.2.Migrasi
Menurut data lapangan migrasi keluar tidak begitu terlihat karena penduduk desa
yang keluar hanya pergi berdagang ke kecamatan Bintuni, Kokas dan Babo.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 52
Selain itu, sebagian masyarakat hanya keluar meninggalkan kampung ke
Margarina ( Tempat mencari udang yang berada di muara sungai Arandai .
Lamanya berdagang dan mencari udang 1 – 2 bulan dan kembali ke desa lagi.
Jumlah orang yang sering melakukan perdagangan sagu ke luar desa sekitar 2 –
10 orang ( 1 – 5 KK ). Begitu juga bagi mereka yang melakukan giatan mencari
udang di Manggarai.
4.3.Tingkat Kelahiran dan Kematian
Tingkat kelahiran yang terjadi di desa Tomu 2 - 4 / bulan. Sedangkan tingkat
kematian 2 – 8 / tahun.
5. Kebudayaan
Setiap etnis / suku bangsa memiliki Kebudayaan, begitu juga dengan orang /
suku Sebyar di desa Tomu kecamatan Arandai. Etnis ini memliki kebudayaan
yang secara turun temurun menjadi pedoman hidup mereka dan hingga saat ini
masih ada, namun mengalami pergeseran nilai akibat kontak dengan dunia luar
terutama agama. Untuk lebih memahami kondisi kebudayaan orang Sebyar
berikut ini akan diuraikan beberapa aspek yang di peroleh datanya di lapangan.
5.1. Sejarah Singkat Asal Usul Suku Sebyar Dan Akulturasi
a. Sejarah Asal Usul Suku Sebyar dan desa Tomu
Orang / suku Sebyar yang mendiami kecamatan Arandai menurut informasi /
data yang diberikan oleh setiap klen yang ada seperti Klen Kosepa, Kaitam,
Nawarisa, Inai dan lainnya mengemukakan hal yang sama, yaitu bersal dari
Gunung Nabi. Gunung Nabi adalah salah satu Gunung yang letaknya di antara
Kecamatan Bintuni dan Babo yang hampir semua etnis yang mendiami sekitar
teluk bintuni menganggapnya Gunung Sakral. Misalnya :
Sejarah asal usul Klen Kosepa
Dahulukala Suku Sebyar (suku Dambad dan suku Kemberan) bersama-sama
dengan suku lainnya, yaitu:
· Suku Kuri,
· Suku Wamesa,
· Suku Iraritu,
· Suku Simuri,
· Suku Manikion dan Kambatin,
Mendiami sepanjang sungai Narawasa disekitar Gunung Nabi. Suku-suku ini
melakukan migrasi karena terjadi Air Bah. Salah satu nenek moyang dari suku
Sebyar melakukan perjalanan meninggalkan tempat tinggalnya di Kuri Wamesa
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 53
sekitar Gunung Nabi dengan menggunakan RAKIT BAMBU ( Kosepa).
Pertama kali nenek moyangnya ( Kosepa) terdampar dengan rakit Bambu di
Sungai Kamaren yaitu sekitar muara Bintuni. Selanjutnya melakukan perjalanan
hingga mendiami lokasi Sasari kemudian bertemu dengan nenek moyang dari
Klen Nawarisa yang duluan mendimi muara sungai Sebyar. Nenek Moyang
Nawariasa mengajak Nenek moyang Kosepa untuk membuka pemukiman baru
yang di berinama Kampung Tomu ( desa Tomu sekarang ). Tomu artinya tempat
bertemu.
Nama desa Tomu diangkat dari nama Kampung Tomu yang artinya tempat
bertemu klen Nawarisa dengan Kosepa, yang selanjut di susul oleh klen-klen
lainnya seperti : Inai dan Klen Kaitam yang tadinya mendiami muara sungai
Sebyar yaitu di Kampung Margarina.
b. Sejarah Akulturasi
Sejarah akulturasi atau sejarah kontak dengan dunia luar, yaitu sejarah dimana
terjadi pertemuan antara kebudayaan suku Sebyar di desa Tomu dengan
kebudayaan luar. Data yang diperoleh dilapangan menunjukkan bahwa kontak
pertama yang terjadi adalah penyebaran agama Kristen yaitu pada tahun 1932
dan kemudian di susul dengan agama Islam yang disebarkan oleh para pedagang
dari Ternate dan Arab yaitu pada tahun 1939. Dan kemudian masuklah
pemerintah Belanda dan kemudian Pemerintah Indonesia yang disertai dengan
perusahaan-perusahan seperti perusahaan kayu, perusahaan Sagu ( Dayanti )
1989, perusahaan Udang, Minyak dan kegiatan Access Map dari ARCO serta
hadirnya warga transmigran dari Jawa di kecamatan Arandai (1989).
5.2. Kepercayaan
Kepercayaan tradisional orang Sebyar yang mendiami desa Tomu hingga saat ini
masih ada dan mempengaruhi pola kehidupan masyarakatnya. Masih adanya
kepercayaan tradisional ini memungkinkan orang Tomu untuk mempertahankan
norma budaya dan adat istiadat mereka sebagai pedoman dalam mejalankan
kehidupannya. Norma kepercayaan tradisional atau norma budaya yang hingga
saat ini ada, dan masih mengatur hubungan antar manusia yang satu dengan
manusia lainnya dan antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Orang / suku Sebyar di desa Tomu masih percaya adanya roh halus, roh nenek
moyang, kekuatan gaib dan benda sakral seperti patung. Kepercayaan tersebut
masih memperkuat norma budaya yang mengatur semua aktifitas kehidupun
mereka. Misalnya, norma budaya yang mengatur hubungan mereka dengan
lingkungan alam yaitu jangan mebakar hutan sagu, jangan menjual tanah adat
tanpa sepengetahuan ketua klen pemiliknya dan larangan-larangan lainnya.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 54
Apabila seseorang warga melanggar larangan tersebut maka orang tersebut akan
mati.
Selain norma budaya yang mengatur hubungan mereka dengan lingkungan alam,
adapula norma budaya yang penjadi pedoman dalam hubungan seseorang
dengan orang lain dan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Misalnya,
norma budaya yang mengtur perkawinan ( exogami klen, besarnya maskawin,
orang yang berhak memberi dan menerima mas kawin dan lain-lainnya ), siapa
pemimpin upacara adat, sistem yang mengatur pola pemilikan tanah, pola
mencari makan dan lain-lainnya. Selin itu, norma budaya yang mengatur tentang
tata cara hidup dalam keluarga dan kelompok / suku mereka. Misalnya, sopan
santun dimana anak muda menghargai orang tua dalam mengemukakan
pendapat, menghargai pimpinan adat dan ketua-ketua klen dan juga mereka
menghargai dan menghormati siapa saja yang dianggapnya sebagai orang baik
atau berbuat hal yang baik untuk mereka.
5.3. Organisasi Sosial Dan Sistem Kekerabatan
a. Rumah Tangga
Dalam pola kehidupan rumah tangga orang Sebyar di desa Tomu terlihat bahwa
kebersamaan ( kehidupan sosial ) dan rasa peduli terhadap saudara-saudaranya
atas dasar hubungan darah dan hubungan perkawinan masih kuat sehingga
apabila ada anggota keluarganya yang kawin tetapi belum punya rumah, maka
kelurga baru ini tinggal bersama orang tuanya. Di dalam sistem ini dapat di
tentukan bahwa masyarakat / suku Sebyar di Tomu menganut sistem patrilokal
dan matrilokal. Karena mereka menganut kedua adat / tersebut maka pada setiap
rumah dapat di huni oleh 2 – 5 KK.
Di dalam mengurus dapur rumah tangga, mereka menggunakan satu tungku
sehingga dapat dikategorikan sebagai keluarga luas. Di dalam rumah tangga
seperti ini terjadi pembagian tugas pada setiap anggota rumah tangga, yaitu :
- Ayah dan anak laki selalu melakukan pekerjaan, seperti :
- Mencari ikan dan udang,
- Berburuh,
- Membangun atau memperbaiki rumah,
- Membuat perahu,
- Menebang sagu.
- Ibu dan anak-anak perempuan selalu melakukan kegiatan atau
pekerjaan , seperti:
- Menokok sagu (pekerjaan ini selalu dibantu oleh laki-laki atau
ayah untuk menebang pohon sagu),
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 55
- Mencari ikan dan udang,
- Memasak,
- menjaga dan merawat anak.
Dua kegiatan yang selalu dikerjakan bersama-sama antara Ayah, Ibu dan anak
laki-laki dan perempuan adalah kegiatan menokok sagu dan mencari ikan/
udang.
b. Prinsip Kekerabatan
Suku Sebyar di Tomu menganut sistem keturunan patrilineal, sehingga hak
waris selalu jatuh kepada anak laki-laki dan anak perempuan hanya memiliki
hak pakai. Namun demikian ada pemberian hak khusus dari orang tua sebagai
rasa kasih sayang kepada anak perempuan berupa sebidang tanah untuk
membangun rumah dan lain-lain. Selain itu, anak / saudara perempuan selalu
dilibatkan dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan adat, terutama
upacara-upacara adat.
c. Kelompok kekerabatan
Sebyar adalah satu kelompok manusia yang di sebut suku. Sebyar artinya Suku
yang menyebar. Suku ini memiliki 26 klen ( data lapangan). Dari 26 klen yang
ada dibagi menjadi dua bagian yaitu: sub suku Dambad dan Sub Suku Kembran.
Klen-klen yang mesuk dalam suku Dambad dan Suku Kembran dapat
dikemukakan sebagai berikut.
Klen-klen Dalam Suku Sebyar
Dibagi Menurut Sub Suku Damban dan Kembran
Klen-klen Damband Klen-klen Kembran
1. Nawarisa
2. Kosepa
3. Kaitam
4. Inai
5. Gegetu
6. Efun
7. Kinder
1. Tabyar
2. Iribaram
3. Urbon
4. Nabi
5. Bauw
6. Braweri
7. Sorowat
8. Hindom
9. Patiran
10. Kutanggas
11. Frabun
12. Rumatan
13. Eren
14. Tonoy
15. Kokop
16. Ibimbong
17. Buranda
18. Kambori
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 56
Klen-klen tersebut di atas tersebar pada 7 desa , termasuk desa Tomu. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada tabel penyebaran klen-klen suku Sebyar menurut
desa berikut ini.
Penyebaran Klen-klen Suku Sebyar
Menurut Desa di Kecamatan Arandai
NAMA DESA NAMA KLEN
1. T o m u 1. Nawarisa
2. Kosepa
3. Kaitam
4. Inai
5. Gegetu
6. Efun
7. Kinder
2. W e r i a g a r
( Sekarang desa Weriagar
dan desa Mogotiran)
1. Bauw
2. Hindom
3. Sorowat
4. Patiran
5. Kutanggas
6. Braweri
7. Frabun
3. Kali Tami 1. Tabyar
2. Iribaram
3. Iriwanas
4. Urbon
5. Nabi
6. Bauw
4. T a r o i 1. Sorowat
2. Bauw
3. Urbon
4. Nabi
5. K e c a p 1. Bauw
2. Rumantan
3. Eren
4. Tonoy
6. Arandai 1. Kokop
2. Imbimbong
3. Buranda
4. Kambori
5. B auw
6. Romantan
7. Kampong Baru 1. Imbimbong
2. Bauw
3. Kokop
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 57
Dari tabel penyebaran tersebut di atas, desa Tomu di diami oleh 7 klen, yaitu :
· Nawarisa,
· Kosepa,
· Kaitam,
· Inai,
· Gegetu,
· Efum,
· Kinder
Klen-klen tersebut masing-masing mengetahui hak ulayat mereka, terutama
dusun sagu yang merupakan mata pencaharian pokok mereka sehingga apabila
salah satu warga yang bukan pemilik menokok sagu di dusun klen lain maka
harus memberitahukan kepada klen pemiliknya. Selain itu, ada hutan / dusun
sagu yang dapat di gunakan oleh ke- 7 ( tujuh ) klen tersebut.
Klen-klen tersebut di atas memiliki kerja sama yang baik dalam semua hal
terutama dalam usaha-usaha menokok sagu, melakukan upacara adat seperti
upacara kawin, membayar maskawin, mengurus orang meninggal, membuat
kelompok nelayan dan koperasi.
d. Istilah Kekerabatan
Untuk melihat hak dan kewajiban seseorang dan hubungan-hubungan
kekerabatan dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat perlu diketahui
struktur sosial dan istilah kekerabatan. Untuk mempermudah pemahaman kita
dapat dilihat pada bagan berikut ini.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 58
BAGAN : ISTILAH KEKERABATAN SUKU DEBYAR
DI DESA TOMU
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12
Ego 13 14
15 16
17
Keterangan Simbol :
= Laki – laki = Saudara
= Perempuan / wanita = kawin
= Laki-laki / Perempuan = keturunan
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 59
Keterangan Istilah pada Bagan :
Nomor
Kode Nama Lokal Istilah
Antropologi.
Bahasa Indonesia
1.
2.
3.
4.
5,11
6
7
8
9,10
12
13
14
15
16
17
Anin
Akawo
Tate
Tatof
Pepe
Nano
Aitakat
Aite
Yayo
Abob
Nakeden
Nakado
Akot Keden
Akot Rabin
Akot Tagar
Fa Fa
Fa Mo
Mo Fa
MoMo
FaSiHa; MoBr
FaSi
FaBr
Fa
Mo; MoSi
MoBrWi
Wi
Si
Da
So
SoSo
- Ayah dari ayah
- Ibu dari ayah
- Ayah dari Ibu
- Ibu dari Ibu
- Suami dari Saudara perempuan
ayah; Saudara laki-laki dari Ibu,
- Saudara perempuan dari ayah,
- Saudara laki-laki dari ayah,
- Ayah,
- Ibu;
- Saudara perempuan ibu,
- Istri dari saudara laki-laki ibu,
- Istri,
- Saudara perempuan
- Anak perempuan,
- Anal laki-laki
- Anak (perempuan / laki-laki) dari
anak laki-laki.
e. Sistem Perkawinan
Suku Sebyar yang mendiami desa Tomu menganut sistem Exogami Klen (
kawin keluar klen). Dalam memperoleh istri orang sbyar mengenal 3 bentuk,
yaitu :
- Minang; yaitu apabila seorang pemuda ingin kawin dengan seorang gadis
maka orang tua dari si pemuda pergi kerumah orang tua si gadis yang
diingininya untuk meminta secara baik. Apabila disetujui maka mereka
menanyakan besar harta Maskawin yang di minta oleh orang tua si Gadis
tersebut. Dengan mengethui besar harta maskawin yang di minta maka
orang tua dari si pemuda menghubungi kerabatnya terutama klennya lalu
mereka mengumpulkan harta maskawin yang dibebankan oleh orang tua si
gadis. Dan kemudian upacara pekawinan ( Arane) untuk mengukuhkan
perkawin tersebut dilaksanakan.
- Pencurahan Tenaga (Kawin Masuk ); perkawinan masuk ini terjadi
apabila si pemuda tidak mempunyai maskawin maka si pemuda harus
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 60
masuk tinggal di tempat tinggalnya si gadis untuk membantu orang tuanya
bekerja mencari nafkah.
- Kawin Tukar; yaitu: perkawinan dimana si pemuda yang mau kawin
tidak mempunyai harta maskawin tetapi mempunyai saudara perempuan
(gadis) sehingga digunakan untuk menukarkan calon istrinya.
Benda-benda Maskawin yang dimiliki dan digunakan dalam perkawinan adat
orang / suku Sebaya di Tomu adalah sebagai berikut :
- Lantaka ( sejata / meriam Portugis),
- Guci
- Piring Porseling besar,
- Piring makan,
- Perahu
- Dan lain-lainnya.
Perkawinan antar klen dalam suku mereka sekarang mengalami perubahan
dimana pemuda / orang Sebyar dapat kawin keluar sukunya. Sekarang Orang
sebyar dapat kawin keluar sukunya, misalnya sekarang orang Sebyar kawin
dengan orang Sorong, Babo dan Jawa.
f. Sistem Kepemimpinan.
Sistem kepemimpinan yang mereka anut adalah sistem kepemimpinan
campuran, yaitu mereka menganggap bahwa yang memimpin mereka adalah
kepala Klen ( seorang yang dianggap tertua dalam klen). Mengapa dianggap
pemimpin karena dialah yang mengetahui asal usul klen, norma budaya dan hak
milik klennya. Di desa Tomu sekarang yang menjadi pemimpin adat atau
pemimpin klen adalah sebagai beriku :
- Klen Nawarisa ,pemimpin adatnya adalah Haji Alim Nawarisa.
- Klen Kosepa , pemimpin adatnya adalah Sale Kosepa.
- Klen Kaitam, pemimpinnya adatnya adalah Salim Kaitam.
- Klen Inai, klen Gegetu, Kinder dan Efun pemimpin adatnya adalah Cereti
Inai. Mengapa demikian ? Karena Gegetu, Kinder dan Efun merupakan
bagian dari Klen Inai.
Kondisi sekarang, mereka mengangkat Kepala Suku yang sebenarnya secara
tradisional tidak ada. Hal yang mendorong masyarakat Sebyar di Tomu dan
Arandai untuk mengangkat seseorang Kepala suku adalah untuk
memperjuangkan aspirasi masyarakat ke Perusahaan dan Pemerintah. Jadi
seseorang yang di angkat sebagai kepala suku adalah orang tersebut harus pintar
bicara dan berani menyuarakan aspirasi masyarakat.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 61
g. Sistem Pemilikan Tanah
Sistem pemilikan tanah, dusun sagu, hutan kayu secara komunal, yaitu hak milik
Klen. Sedangkan hak pakai adalah siapa saja dalam suku Sebyar boleh
memanfaatkan tanah atau hasilnya yang penting menta izin kepada klen pemilik.
Misalnya, salah satu anggota klen Nawarisa dapat menokok sagu pada dusun
sagu milik klen Kosepa, namun sebelunya harus minta izin kepada klen Kosepa.
Karena menurut mereka apabila tidak minta izin maka roh halus yang menjaga
dusun sagu akan mengganggunya pada saat melakukan aktivitas menokok sagu
di dusun tersebut.
Pemilikan tanah, dusun sagu, hutan, laut dan sungai berdasarkan tempat tinggal
dari enek moyang klen. Untuk itu, maka kepala klen sangat penting perannya
dalam menentukan hak ulayat klen berdasarkan cerita atau sejarah asal usul klen
tersebut. Misalnya, Sumur Gas yang berada di Muara Sungai Sebyar berada
pada hak ulayat Klen Nawarisa.
h. Konflik dan Penyelesaiannya
Konflik yang sering terjadi di desa adalah konflik tentang masalah perempuan
dan yang akhir-akhir ini terjadi adalah konflik terhadap perusahaan karena janji
perusahan hingga saat ini belum dipenuhi.
Penyelesaian konflik dalam kebudayaan suku Sebyar harus menghadirkan
kepala-kepala klen yang ada terutama klen yang konflik. Dan sebagai mediator
disini adalah tokoh agama / imam. Apa bila tidak diselesaikan mereka laporkan
ke Kepala desa dan seterusnya ke kecamatan. Sedangkan konflik antara
masyarakat dengan perusahan dapat diselesaikan apabila perusahan menghargai
hak-hak ulayat mereka dan menepati janjinya. Hingga saat ini, orang Tomu
walaupun menerima perusahaan masuk namun mereka masih menuntut
perusahaan untuk membayar hak-hak ulayat mereka yang pernah dirusak oleg
ARCO saat melakukan Access Map dahulu.
6. Sistem Ekonomi
a. Mata Pencaharian
Orang Sebyar di desa Tomu memiliki sistem mata pencaharian hidup sebagai
berikut:
1) Meramu ( Menokok Sagu )
Meramu merupakan mata pencaharian pokok / utama masyarakat suku Sebyar di
desa Tomu. Aktvitas meramu ini di lakukan pada dusun-dusun sagu dan hutan
sagu yang merupakan hak milik klen mereka, dan tidak menutup kemungkinan
untuk meramu di dusun sagu atau hutan sagu milik klen lain. Dalam kegiatan
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 62
meramu ini dilakukan bersama oleh ayah dan ibu ( laki-laki dan perempuan)
dengan pembagian kerja dimana laki-laki yang menebang sedangkan wanita (
ibu atau perempuan besar) yang menokok dan meramasnya hingga menjadi
tepung dan mebawanya pulang ke rumah.
Hasil dari kegiatan menokok sagu ( tepung sagu) ini di isi ke dalam noken dan
menjadi tuman sagu. Sagu Noken dan tuman di bagi dua ada yang dimakan dan
ada yang di jual. Dijual di desa Tomu, Aranday, Sebyar Rejosari harganya
berkisar antara 20.000,- - 25.000,- rupiah. Dan apabila dijual ke Bintuni, Babo
dan Kokas harganya berkisar antara 35.000,- - 50.000,- rupiah.
2) Nelayan ( Menagkap Ikan dan Udang)
Kegiatan nelayan juga merupakan mata pencaharian pokok utama yang
dilakukan oleh masyarakat suku Sebyar. Ada masyarakat yang berangkat
lengkap dengan keluarganya pergi meninggalkan desa ke muara sungai Sebyar (
Manggarina) menangkap udang dan ikan selama 2 – 4 minggu. Kegiatan
menangkap ikan dan Udang juga dilakukan bersama oleh kaum pria maupun
wanita. Dan apa bila diamati secara cermat kegiatan penangkapan udang / ikan
ini pada umumnya dilakukan oleh kaum pria namun kenyataannya yang
dominan untuk menangkap udang adalah perempuan.
Peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan dan udang boleh dikatakan
modern walaun alat transpotasinya sebagian besar masih menggunakan perahu
tradisional. Sadangkan alat menakapnya modern, misalnya, jala, jaring, pancing.
Dan untuk mengawetkannya menggunakan Es batu yang didistribusikan oleh
perusahaan.
Hasil penangkapan ikan dan udang ada jenis yang dimakan dan juga di jual. Ikan
Yu hanya diambil siripnya untuk di jual. Sirip Super harganya Rp. 1.200.000,- /
kg dan Sirip kelas dua harganya Rp. 750.000,- / kg. Sedangkan Udang di jual
ke perusahaan harga nya berkisar antara 25.000,- - 30.000,- rupiah / Kg.
3) Berburu
Kegiatan ini merupakan salah satu sitem mata pencaharian hidup, namun mereka
lakukan hanya dilakukan secara kontemporer dan hanya dilakukan oleh kaum
pria. Jenis binatang yang diburu, antara lain : buaya, rusa, dan berbagai jenis
burung yang berada / hidup di hutan sekitar desa mereka.
b. Lembaga Ekonomi
Lembaga ekonomi yang di desa ada 2 (dua) koperasi, yaitu :
- Koperasi Unit Desa (KUD), lembaga ini sudah macet karena
manejemen keuangannya tidak jelas (data menurut tokoh masyarakat),
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 63
- Koperasi Ayut (TKBM), koperasi bergerak pada bidang usaha kayu.
Koperasi tersebut hingga saat ini masih ada namun untuk sementara belum
lancar usahanya.
Selain itu, ada Kios milik orang bugis di desa Tomu, yang hingga saat ini masih
berjalan baik. Kios tersebut dapat menampung semua kebutuhan masyarakat
desa Tomu
7. Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang telah diuraikan di atas tentang rona awal kondisi
social budaya suku Sebyar yang dilakukan di desa Tomu, kecamatan Arandai
2001 disimpulkan bahwa :
1. Kondisi Alam sekitar desa Tomu-kecamatan Arandai masih banyak areal
hutan yang walaupun telah beroperasi beberapa perusahan22 di kawasan ini,
namun hingga saat ini (2001) Hutan Mangrove masih lebat dan arealnya
cukup luas. Hutan Mangrove hingga kini masih dihuni oleh berbagai jenis
hewan antara lain: udang, kepiting dan berbagai jenis kerang, dan ikan.
Selain itu, terdapat pula jenis jenis hewan lain, seperti burung, buaya, kuskus,
dan kasuari yang hidupnya di hutan di luar Bakau.
2. Sistem mata pencaharian mereka sebagai manusia rawa hingga saat
dilakukan studi masih terlihat, seperti menokok sagu dan mencari ikan, udang
, kerang dan jenis hewan lainnya dengan menggunakan transportasi perahu
masih ada.
3. Hubungan social antar kerabat maupun anggota masyarakat yang berada di
desa Tomu,maupun desa-desa lainnya di kecamatan Arandai sangat baik.
Mereka masih menghargai adat-istiadat mereka, mengakui pimpinan adat
mereka, mengakui hak milik anggota masayarakt secara adat. Selain itu,
hubungan antar agama ( Kristen protestan, Islam dan Katholik) sangat baik.
Hal demikian terlihat dalam kegiatan pembangunan gedung ibadah (Gereja
dan Mesjid) dimana mereka saling membantu saat kerja membangun dan
membersihkannya.
4. Setiap klen yang mendiami desa Tomu memiliki cerita asal usul sama yaitu
mereka berasal dari Kuri Wamesa - Gunung Nabi Bintuni. Sedangkan sejarah
kontak budaya diawali sejak tahun 1932 ( agama Kristen) dan tahun 1939
22 perusahaan kayu dan Sagu (Dayanti 1989). keculi beberapa areal yang pernah dilalalui kegiatan
Access Map dari ARCO.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 64
(agama Islam). Kecuali, beberapa klen dari suku Sebyar yang mendiami desa
Weriagar, Mogotiran, Taroi dan Kali Tami.
5. Suku Sebyar menganut system / prinsip keturunan Patrilineal dan memiliki
25 klen. Klen ini dibagi dalan dua sub suku, yaitu : sub suku Dambad dan
sub suku Kembran yang biasa disebut juga Sebayar Luar. Klen-klen yang
masuk kelompok sub suku Dambad ada 7 klen, yaitu : klen Nawarisa, klen
Kosepa, klen Kaitam, klen Inai, klen Gegetu, klen Efum dan klen Kinder.
Sedangkan, kelompok klen yang masuk sub suku Kembran ada 18 klen, yaitu
: Tabyar, Iribaram, Urbon, Nabi, Bauw, Braweri, Sorowat, Hindom, Patiran,
Kutanggas, Frabun, Rumatan, Eren, Tonoy, Kokop, Ibimbong, Buranda,
Kambori
6. Potensi ekonomi yang hingga saat ini memberikan pendapatan besar adalah
usaha penangkapan udang. Khusus masyarakat Sebyar di desa Tomu
penangkapan dilakukan di Manggarina dekat muara sungai Sebyar. Hasil dari
kegiatan penangkapan udang ini dijual ke beberapa perusahan udang ( Usaha
Nina dan lain-lainnya) yang beroperasi di Teluk Bintuni dengan harga
berkisar anatara Rp. 25.000,00 - Rp. 30.000,00 / 1 kg.
Daftar Kepustakaan
Beanal, Lydya. N., (1999). Arti Tanah Menurut Suku Amungme. Forum
Lorentz, Timika.
Boelaars, Jan. (1992) Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan.
Gramedia. Jakarta.
Griapon, Alexander, dkk., (1986). Nimboran dan Sekitarnya Dalam Relegi:
Antara Dongeng dan Kebenaran. LITBANG GKI. Jayapura.
Godschalk, Jan. A., (1993)., Sela Valley: An Ethnography of a Mek Society in
the Eastern Highlands, Irian Jaya, Indonesia. CIP-Gegevens Koninklijke
Bibliotheek, Den Haag.
Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
Edisi 1,2. (terjemahan). Erlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat, (1993) Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Djambatan. Jakarta.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 65
Laksono, P.M., dkk., (2000) Menjaga Alam Membela Masyarakat : Komunitas
Lokal dan Pemanfaatan Mangrive di Teluk Bintubi. PSAP-UGM dan
KONPHALINDO Yogyakarta.
Mansoben, J.R. (1995), Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta. LIPI.
Jakarta, dan Leiden University, Netherlands.
Pusat Penelitian UNCEN, (1997). Pemetaan Sosial Budaya di Kabupaten
Daerah Tingkat II Merauke, Fakfak, dan Jayawijaya. PUSLIT-UNCEN.
Samaduda, M. dkk., (2000). Profil Kawasan Teluk Berau dan Teluk Bintuni.
UNCEN-YPMD, Jayapura.
Widjojo, Muridan. S., (1997). Orang Kamoro dan Perubahan: Lingkungan
Sosial Budaya di Timika Irian Jaya. LIPI Jakarta.
Walker, Malcoln., dkk. (1987). Regional Development Planning for Irian Jaya.
Anthropology Sector Report. Lavalin International Inc. PT. Hasfarm Dian
Konsultan. Jayapura.
Miedema, Jelle (1986). Pre-capitalism and Cosmology : Description and
Analysis of the Meybrat Fihery and kain Timur Complex. Forish.Pubh.
Dordrecht-Holland /Riverton-USA.
Raharjo, Yufita. (1995). Proseding Seminar : Membangunan Masyarakat Irian
Jaya. LIPI, PPT-LIPI, Jakarta.
Haviland, William .A. (1988) Antropologi (Terjemahan). Erlangga Jakarta.