National Disability Insurance Scheme
(NDIS) : Influencing Policy
Untuk
memahami kebijakan mengenai pelayanan-pelayanan bagi penyandang disabilitas di
Australia, kita bisa memulainya dengan melihat perilaku masyarakat pada era
1800-an. Pada era ini masyarakat lebih mengedepankan perspektif medis atau yang
lebih dikenal dengan sebutan institusionalisation.
Dalam perspektif ini, para penyandang disabilitas ditempatkan di
institusi-institusi medis untuk diobati. Dengan kata lain, para penyandang
cacat dianggap penderita penyakit yang harus diobati dan diisolasi dari
masyarakat. Hal ini dapat terlihat jelas dari beberapa fakta yang terjadi di
Australia sebagai berikut :
1. Tahun 1811 : Institusi pertama
didirikan, Castle Hill Asylum, di New
South Wales (NSW).
2. Tahun 1852 : Adelaide Lunatic Asylum didirikan.
3. Tahun 1866 : Royal Victorian Institute untuk tuna
netra didirikan.
Pada tahun 1900-an perhatian
masyarakat terhadap penyandang disabilitas semakin terbangun dengan baik,
terlihat dari beberapa perkembangan sebagai berikut :
1. Tahun 1901 : Terbentuk
Pemerintah Federasi Australia.
2. Tahun 1910 : Diperkenalkan pertama
kali pensiun untuk orang cacat.
3. Tahun 1933 : Kursi roda lipat
dari baja ditemukan.
4. Tahun 1945 : Diperkenalkan
pertama kali tunjangan untuk orang sakit.
5. Tahun 1950-an : Pertama kali
didirikan sheltered workshops untuk anak dengan disabilitas.
Perkembangan ini banyak diwarnaai oleh pengaruh internasional antara
lain : (1) Tahun 1945, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) secara formal didirikan;
dan (2) Tahun 1948, United Nations
Universal Declaration of Human Rights diproklamasikan dan menjadi standard
umum yang ingin dicapai semua orang dan semua bangsa, ditandatangani oleh
Australia.
Pada
tahun 1970-an perspektif sosial atau lebih dikenal dengan konsep de-institutionalisation
mulai berkembang di Australia. Dalam konsep ini, penyandang disabilitas tidak
lagi dianggap sesuatu yang harus diinstitusikan, namun dimanusiakan sebagai
anggota masyarakat yang bisa tinggal dengan keluarga atau di komunitinya. Hal
ini terlihat dari beberapa fakta sebagai berikut:
1. Tahun 1970-an : Kursi roda
elektronik sudah bisa didapatkan di Australia.
2. Tahun 1974 : Commonwealth Government meloloskan Handicapped Person's Assistance Act yang
mengakui orang dengan intelektual disabilitas dan menyediakan landasan untuk
pendanaan.
3. Tahun 1978: Operasi implant cochlear pertama kali di dunia
dilakukan oleh Royal Victorian Eye and
Ear Hospital.
Munculnya perspektif sosial sedikit banyak diwarnai oleh pengaruh
internasional antara lain : (1) Tahun 1971, United
Nations Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons diratifikasi
oleh Australia; (2) Tahun 1972, orang dari Amerika, Wolf Wolfensberger,
mengembangkan prinsip normalization sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan
layanan kemanusiaan serta dalam menetapkan kualitas perencanaan dan layanan
kemanusiaan tersebut, yang digunakan sebagai dasar pembuatan peraturan
perundang-undangan, prinsip-prinsip dan standar pelayanan pemerintah untuk
orang dengan disabilitas di Australia; dan (3) Tahun 1975, United Nations Declaration on the Rights of Disabled Persons, ditandatangani
oleh Australia.
Pada tahun 1980-an Pemerintah Australia melakukan survey dan berusaha
mereview program terkait dengan penyandang disabilitas, serta mulai
mengembangkan layanan berbasis komuniti yang terlihat dari fakta-fakta sebagai
berikut :
1. Tahun 1981 : Survey tentang
penyandang disabilitas dilakuan oleh Australian
Bureau of Statistics.
2. Tahun 1983 : Commonwealth melakuan review mengenai
program-program terkait isu disabilitas.
3. Disability Advisory Council Of Australia (DACA) didirikan.
4. Tahun 1985 : Home and Community Care Program (HACC) sebagai
layanan berbasis komuniti pertama kali diperkenalkan.
5. Diluncurkan National Occupational Health and Safety
Commission Act.
Perkembangan ini juga diwarnai pengaruh internasional yaitu : (1) Tahun 1981,
International Year of Disabled Persons
meningkatkan kesadaran mengenai persoalan disabilitas di Australia; dan (2)
Tahun 1982 – 1993, ditetapkannya United
Nations Decade of Disabled Persons.
Tahun
1990-an adalah tahun dimana masyarakat di Australia menginginkan perubahan
paradigma dari pemerintah yang menyelenggarakan layanan-layanan ke privatisasi layanan atau dikontrakkan. Hal
ini terlihat dari beberapa fakta sebagai berikut :
1. Tahun
1986 : Commonwealth
Disability Services Act (DSA) ditetapkan melalui dukungan semua partai
politik, perubahan focus dari penyediaan layanan ke outcome penyandang
disabilitas.
2. Diluncurkannya
Human Rights and Equal Opportunity Discrimination Act.
3. Tahun
1991 : Commonwealth State Disability Agreement (CSDA)
mengalihkan administrasi untuk layanan penyandang disabilitas (kecuali masalah
pekerjaan dan beberapa program advokasi) dari
Commonwealth ke States dan Territories.
4. Tahun
1992 :
Commonwealth Disability Discrimination Act (DDA) ditetapkan, membuat
sesuatu melanggar hukum jika mendiskriminasi penyandang disabilitas di dunia
pekerjaan, pendidikan, akses untuk mendapatkan akomodasi dan mengungkapkan
aspirasi ke publik.
5. Tahun 1993 : Commonwealth Disability Service Standards
dikembangkan untuk layanan-layanan terkait pekerjaan bagi penyandang
disabilitas didanai oleh Commonwealth
Government.
6. Tahun 1993: Diluncurkan Northern Territory Disability Services Act.
7. Tahun 1999: Ditetapkan Northern Territory Disability Service Standards.
Perubahan-perubahan yang terjadi di Australia pada
tahun 1990-an ini diwarnai oleh pengaruh internasional yaitu tahun 1993 dengan
ditetapkannya United Nations Standard Rules
on the Equalisation of Opportunities for People with Disabilities.
Pada tahun 2000-an kebijakan Pemerintah Australia
sudah mengedepankan whole of life
approach yang terlihat dari fakta-fakta sebagai berikut :
1.
Tahun
2009 : Ditetapkan National Disability Agreement (NDA) yang merupakan wujud komitmen
yang kuat dari Pemerintah Australia, State dan Territory untuk menyediakan
kesempatan-kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dan
menikmati keshidupan ekonomi dan sosialnya. Agreement ini menyediakan framework
bagi pemerintah untuk mendukung penyandang disabilitas.
2. Tahun 2012 : Ditetapkan National Disability Strategy (NDS) oleh Council
of Australian Governments (COAG) yang memuat garis besar kerangka kebijakan
nasional 10 tahunan sebagai pedoman kegiatan pemerintah terkait dengan outcome
yang ingin dicapai dan sebagai pengendali untuk reformasi di masa mendatang
terkait dengan pengarusutamaan dan system layanan khusus disabilitas untuk
meningkatkan outcome bagi penyandang disabilitas, keluarga dan karier mereka. NDS
merepresentasikan sebuah komitmen pemerintah, industry dan komuniti di segala
level untuk bersatu dalam pendekatan nasional terkait pengembangan kebijakan
dan program. Commonwealth, state,
territory dan local governments
telah mengembangkan strategi dalam kemitraan terkait dengan NDS.
3. Bulan Juli 2013 : Akan dilaunching
tahap pertama National Disability Insurance Scheme (NDIS) di South Australia,
Tasmania, ACT, Hunter NSW dan Barwon Victoria. Pemerintah Australia
telah mengalokasikan $ 1 billion untuk mendukung program ini.
a.
Di South Australia, mereka yang akan diujicobakan dalam NDIS adalah anak
usia 0-14 tahun, sehingga diharapkan 4.800 anak dengan disabilitas dapat
tercover untuk tahap pertama.
b.
Di Tasmania, NDIS akan diluncurkan tahap pertama untuk 1.000 orang yang
berumur 15-24 tahun. Pertimbangannya adalah untuk menguji dan meningkatkan
dukungan bagi para pemuda yang berada dalam masa transisi antara sekolah dengan
dunia pekerjaan atau dengan pendidikan tinggi.
c.
Di lokasi lain, ribuan orang dengan kecacatan yang signifikan akan
mendapatkan tunjangan dari NDIS yaitu :
1)
10.000 orang di Hunter NSW seperti Newcastle, Maitland dan Lake
Macquarie.
2) 5.000 orang di Barwon Victoria termasuk
di dalamnya Greater Geelong, Colac-Otway Shire, Borough Queenscliffe dan Surf
Coast Shire.
3) 6,000 orang di ACT.
NDIS memiliki karakteristik dan manfaat sebagai
berikut :
- Pendekatan sepanjang hidup, pendanaan
jangka panjang dan berkelanjutan. Penyandang disabilitas dan keluarganya
akan tenang karena dukungan yang diterimanya akan berubah sesuai dengan
kebutuhan mereka.
- Pilihan dan pengawasan. Orang akan
memilih bagaimana mereka mendapat dukungan dan memiliki control tentang
kapan, dimana, bagaimana mereka menerimanya. Bagi beberapa orang
dimungkinkan untuk mengelola sendiri keuangan mereka.
- Partisipasi ekonomi dan social.
Penyandang disabilitas akan didukung untuk hidup yang lebih bermakna dalam
komuniti mereka dan pengembangan potensi mereka secara penuh.
- Fokus pada intervensi dini. Sistem
akan memiliki cukup sumber dan cukup cerdas untuk investasi dalam
intervensi dini yang sifatnya preventif dibanding hanya menyediakan
dukungan ketika sebuah keluarga mengalami krisis.
4.
Setelah NDIS diharapkan dapat berjalan dengan baik, maka akan
dipertimbangkan konsep National Injury Insurance Scheme (NIIS) masuk
dalam NDIS mengingat tingkat kecelakaan di Australia sangat tinggi. Diharapkan
pada tahun 2020 NIIS sudah dapat diterapkan di Australia.
Terkait dengan kebijakan
penyandang disabilitas di Australia, profesi pekerjaan sosial turut
berkontribusi dalam advokasi untuk penyandang disabilitas yang terkenal dalam
pemikiran-pemikiran yang kritis atau sering disebut dengan radical thinking of social work,
antara lain :
1.
Mendukung
konsep de-institutionalisation atau social perspectives yang memandang bahwa
penyandang disabilitas mempunyai kemampuan, harapan dan pilihan-pilihan dalam
hidupnya dan memilih layanan apa yang tepat untuk dirinya termasuk didalamnya
hidup dalam keluarga dan komuniti dan mendapatkan pekerjaan. Perspektif medis
atau institutionalisation dianggap terlalu mengontrol kehidupan penyandang
disabilitas. Profesi pekerja sosial perlu mendapat apresiasi untuk
kontribusinya dalam proses de-institutionalisation di Australia.
2.
Melakukan
advokasi dalam advisory process yang
melibatkan masyarakat akar rumput terutama penyandang disabilitas itu sendiri
dalam pembuatan keputusan dan penyusunan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
selama ini kurang terakomodasi.
3.
Mengembangkan
assessment tools yang lebih spesifik
dan appropriate untuk penyandang
disabilitas, dan memasukkannya dalam sistem atau skema yang ada (NDIS).
Meskipun pada awalnya banyak yang tidak menyetujui pemikiran-pemikiran
radikalnya, akhirnya profesi ini berhasil meyakinkan pemerintah, masyarakat dan
profesi lain melalui person-centred approach
dalam pelayanan bagi penyandang disabilitas.
Jika
dibandingkan dengan Negara Indonesia, Pemerintah Indonesia telah menandatangani
Convention on the Rights of Persons with
Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada
tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan
kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan
memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat
memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pada waktu menandatangani
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia menandatangani
Konvensi tanpa reservasi. Akan tetapi, tidak menandatangani Optional Protocol
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sebagai negara penandatangan konvensi,
Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini.
Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang
disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas.
Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
1.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
2.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
3.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung;
6.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
7.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
8.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;
9.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran;
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan;
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial;
13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik;
15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan; dan
16. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin.
Akhirnya
ratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas dimunculkan melalui
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dan diundangkan
pada 10 November 2011 lalu.
Ada
beberapa hal penting terkait ratifikasi konvensi tersebut, pertama, pengakuan
bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas merupakan
pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Kedua,
penyandang disabilitas harus memiliki kesempatan untuk secara aktif terlibat
dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program, termasuk
yang terkait secara langsung dengan mereka. Ketiga, pentingnya aksesibilitas
kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan
pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang
disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental.
Terkait
tentang kebutuhan akan jaminan sosial sebagaimana di Australian dengan National Disability Insurance Scheme (NDIS) yang dimilikinya, Pemerintah Indonesia
memiliki “Pekerjaan Rumah” yang cukup berat untuk mewujudkannya karena perlu
diakui bahwa sistem jaminan sosial yang ada di Indonesia saat ini sifatnya
masih random (acak) dan belum
terintegrasi secara holistic layaknya
Australia. Indonesia melalui Kementerian Sosial memiliki beberapa program
jaminan sosial melalui konsep conditional
cash transfer (CCT) seperti : (1) Program Keluarga Harapan (PKH) yang
sasarannya adalah keluarga dengan kategori rumah tangga sangat miskin (RSTM)
dengan peruntukan untuk kesehatan ibu hamil dan anak balita, serta akses
pendidikan untuk anak; (2) Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) yang
diperuntukkan bagi lanjut usia dalam kondisi miskin dan bedridden (sakit-sakitan); (3) Program Jaminan Sosial Orang Dengan Kecacatan
(JSODK) yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas berat; (4) Program
Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang diperuntukkan bagi anak balita, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak terlantar dan anak jalanan, serta anak dengan kecacatan; dan
(5) Program Jaminan Hidup (JADUP) untuk korban bencana baik bencana alam maupun
bencana sosial. Ini belum termasuk program-program dari luar Kementerian Sosial
seperti Program Jaminan Kesehatan (JAMKESMAS), Program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), dan lain sebagainya.
Meskipun untuk mewujudkan jaminan sosial seperti NDIS di Australia, Pemerintah
Indonesia perlu bekerja keras, namun sebenarnya ada peluang yang mungkin bisa dimaksimalkan
sejalan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang saat
ini masih mencari bentuk yang tepat bagi Indonesia. Artinya, jika program jaminan
sosial di Indonesia ke depan arahnya seperti Australia yaitu terintegratif melalui
centre link, maka perlu diadakan pendekatan secara intensif untuk memasukkan issue
disabilitas ke dalam program jaminan sosial yang sedang dalam proses pembuatan.
Perlu kiranya melibatkan profesi Pekerjaan Sosial melalui assosiasi profesi dalam
advokasi dan penyusunan assessment tolos terkait dengan program jaminan sosial dimaksud.
Tentu saja ini tidak lagi semata-mata tugas pemerintah saja, namun juga tugas LSM,
asosiasi penyandang disabilitas, serta seluruh stakeholders di semua lapisan untuk
mendukung dan mengawal program jaminan sosial yang disusun, sehingga ke depan mampu
mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas dan memiliki keberpihakan kepada
mereka.