Friday, 12 November 2010

Darmaghandul (3)

Darmaghandul (3)


Lanjutan...

Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha, Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.

Sabdapalon berkata sambil meludah, “Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak.” Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.

“Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.”

Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.

Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang; red: bandingkan pencapaian kedua orang ini dengan kisah para arahat pada jaman Sakyamuni Buddha)

Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,”Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”

Prabalingga karo Bangerwarih

Sunan Kalijaga kemudian diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya hilang, besok, orang Jawa akan meninggalkan agama Islam kembali ke agama Kawruh. Sunan Kalijaga kemudian membuat dua buah tabung bambu, yang satu diisi air tawar, satunya diisi air sumber. Air sumber tadi untuk pertanda, jika bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan kembali ke agama Kawruh. Tabung setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan dan dibawa dua orang sahabatnya.

Prabu Brawiaya kemudian pergi, diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang sahabatnya. Malam harinya istirahat di Sumberwaru. Esok harinya tabung itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian segera melanjutkan perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai di Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana. Pagi harinya air dicium masih wangi. Sang Prabu kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Sesudah matahari tenggelam mereka telah sampai di Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana. Esok harinya tabung air dicium masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan sampai matahari tenggelam.

Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat semalam. Esok paginya air itu dilihat lagi. Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa harum. Tetapi tinggal sedikit, karena kerap diminum di jalan. Sedangkan air sumber setelah dicium baunya menjadi bacin (=busuk), lalu dibuang. Sang Prabu kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Prabalingga di besuk namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih. Di sini besok menjadi tempat untuk perkumpulan orang-orang yang mencari pengetahuan kepintaran dan kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa tertutup dengan perbawa tetangga.”

Sang Prabu kemudian segera meneruskan perjalanan, agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis bercucuran air mata. Sang Prabu kemudian berkata,” Jangan menangis, sudahlah semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua peristiwa ini sudah ditulis dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan ditolak. Sudah kewajiban orang hidup sabar dan menerima.”

Nyai Ageng Ampel kemudian berkata kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang sudah diceritakan di depan. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil Prabu Jimbun. Nyai Ampel mengutus santri ke Demak dengan membawa surat. Sesampai di Demak, surat disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun. Tidak lama kemudian Prabu Jimbun berangkat menghadap ke Ampel.

Putra raja Majapahit, yang bernama Raden Bondan Kejawan di Tarub, mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak, malah Sang Prabu meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana larinya. Merasa tidak enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit. Raden Bondan Kejawan menyamar untuk mencari berita dimana ayahandanya. Sesampai di Surabaya ia mendengar berita bahwa Sang Prabu ada di Ampel, tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan kemudian menghaturkan sembah bhakti.

Sang Prabu bertanya, “Siapa yang menyembah ini?”

Raden Bondan Kejawan berkata, “Hamba putra Paduka, Bondhan Kejawan.” Sang Prabu kemudian merangkul putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah. Beliau merasa sudah akan pulang kepada jaman kelanggengan. Kata beliau kepada Sunan Kalijaga demikian, “Sahid, mendekatlah kemari, aku sudah akan kembali ke jaman kelanggengan, buatlah surat ke Penging dan Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku sudah terima hancurnya Majalengka. Jangan ada perang berebut tahtaku, semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci, jangan ada perang, karena hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat dan kerusakan tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai perang setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah.”

Kembali ke Alam Kalanggengan

Sunan Kalijaga kemudian menulis surat. Setelah selesai kemudian ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian diberikan kepada Adipati Pengging dan Ponorogo.

Sang Prabu kemudian berkata, “Sahid, setelah aku tidak ada, pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku. Aku titip anak kecil ini. Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya, besok anak ini yang bisa menurunkan bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke alam kalanggengan, kuburkan aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun kuburanku kuberi nama Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ Raja Putri Cempa. Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin dengan lain bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain.”

Sunan Kalijaga kemudian menjawab, “Apakah Sang Prabu tidak memberi izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?”

Sang Prabu berkata, “Ya, kuberi izin, tetapi hanya berhenti tiga keturunan.” Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa artinya nama kuburan Sang Prabu.

“Sastra artinya tulisan, wulan artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya seperti cahaya rembulan. Apabila masih kemilau cahaya rembulan, nanti orang Jawa ingat Jawa bahwa kematianku sudah memeluk agama Islam. Maka kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan oleh si Patah, serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti ini. Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan, Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia tega kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan kawin dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang lain bangsa tadi bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku memberi wasiat jangan mengangkat panglima perang orang yang lain bangsa. Karena akan menginjak Gustinya, dalam berperang mendua hati. Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah.”

Sang Prabu setelah bersabda demikian ,tangannya kemudian bersedekap, terus wafat. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.

Sampai sekarang terkenal bahwa yang dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa. Adapun sebenarnya Putri Cempa itu wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di Karang Kemuning. Setelah tiga hari wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan Sultan Bintara(= Raden Patah) baru datang di Ampelgading dan bertemu Nyai Ageng Ampel.

Nyai Ageng berkata, “Celaka kamu Jimbun, tidak melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem serta minta izin olehnya menjadi raja, serta minta ampunan semua kesalahan yang sudah terjadi.”

Prabu Jimbun berkata kepada Nyai Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir. Barang yang sudah terlanjur hanya bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel tiga hari dan kemudian pulang kembali ke Demak.
Diceritakan Adipati Pengging dan Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di Pengging dan Raden Batara Katong, sudah mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan menyamar menghadap kepada Sang Prabu waktu Hari Raya. Adapun Prabu Brawijaya dan putra Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan tidak ketahuan besembunyi dimana. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo sangat marah. Keduanya kemudian menyiapkan sebuah pasukan hendak menyerang Demak, membela ayah merebut tahta. Para prajurit sudah siap senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat. Tiba-tiba datang utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat. Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti api, dan kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri, mudah-mudahan jangan hidup lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak mau menghadap ke Demak, karena gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.

Sekalaning Majapahit

Adapun menurut pendapat yang lain, matinya Adipati Pengging dan Ponorogo karena ditenung oleh Sunan Giri, agar jangan mengganggu di belakang hari. Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu disembunyikan, tidak seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya. Semua itu untuk menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya. Apabila dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh para pujangga bijaksana menjadi demikian:
“Karena Karomah para wali, keris Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang menyengati orang Majapahit. Mahkota Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan pelana kuda prajurit Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus.”
“Peti dari Palembang ada di tengah perang dibuka keluar demit-nya, orang Majapahit geger karena ditenung demit. Sang Prabu Brawijaya wafat mikraj.”

Kemudian Kyai Kalamwadi bertutur kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, “Namun semua tadi hanya pasemon(=kiasan). Adapun kenyataannya, cerita hancurnya Majapahit itu seperti yang kuceritakan tadi. Negara Majapahit itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak karena digerogoti tikus? Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan angker banyak demitnya. Bubarnya demit apabila hitannya dirusak oleh manusia untuk dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon, dan demit, SIAPA YANG PERCAYA?

Apabila orang percaya Majapahit hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu artinya orang tadi tidak tajam pikirannya. Cerita yang demikian tadi ANEH DAN TIDAK MASUK AKAL. Tidak cocok lahir batin. Maka hanya untuk pasemon (= kiasan). Apabila diterangkan dengan jelas maka artinya membuka rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar orang berpikir sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
Tikus itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan berkembang biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas merusak.
Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang. Adapun tala artinya mentala ‘tega’ meusak Majapahit, siapa yang mendengar pasti marah.

Adapun demit diberi wadahi peti dari Palembang, setelah dibuka berbunyi menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang, yaitu ganti agama. Peti artinya wadah yang tertutup untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit itu juga TUKANG SANTET.
Adapun jelasnya demikian, Hancurnya Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada tantangan apa-apa, menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg. Mereka dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung sudah membantu Adipati Demak.

Sejak Jaman Kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogoti tikus saja, bubarnya orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancuran tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak. Mereka semua memberontak dengan licik.

Keajaiban Alam

Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi, “Guruku Raden Budi Sukardi meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul itu belum ada yang memakai kuncir. Setelah negara pindah ke Demak, keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada burung kuntul memakai kuncir. Prabu Brawijaya disindir, Kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir.

Kebo artinya kerbau, yakni raja kaya, Kombang artinya diam tapi suaranya riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir ketika Majapahit hancur. Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan dengan perang. Adapun tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman ‘terbiasa’, babi hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika sampai di Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi pangkat, artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak habis pikir.

Adapun kuntul memakai kuncir itu pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada Sang Prabu, karena agamanya Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti Allah memberi pasemon gitok kuntul kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu, ibumu putri Cina, tidak boleh menghina kepada orang lain beragama. Sang Prabu Jimbun itu berasal dari tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu Jimbun besar hati menginginkan tahta raja, ingin cepat kaya sesuai sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari sifat Sang Arya Damar, karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum darah, sifatnya sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak Allah, tidak hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui kesalahannya, tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui kesalahannya, dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki membalas kejahatan.
Adapun adanya orang Cina datang di tanah Jawa itu dongengnya demikian, Pada jaman kuno, ketika santri Jawa belum banyak pengetahuannya, setelah mati sukmanya terbawa angin kemudian tumbuh di tanah Cina, maka sekarang kembali ke tanah Jawa menjadi sukmanya orang Cina tadi. Jadi mereka itu tadinya banyak yang sukma Jawa.

( .... isi serat selanjutnya (wejangan Ki Kalamwadi untuk perumah tangga, penjelasan kitab manik Maya, sedikit kisah kediri ) sudah tidak ada hubungannya dengan kisah majapahit.

Darmagandhul matur: “kiyai! Kang diarani agama Srani iku kang kaya apa?”
Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake: “Kang diarani agama Srani iku têgêse sranane ngabêkti: têmên-têmên ngabêkti marang Pangeran, ora nganggo nêmbah brahala, mung nêmbah marang Allah, mula sêbutane Gusti Kanjêng Nabi ‘Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, mangkono kang kasêbut ing kitab Anbiya”.
Banjure pangandikane kiyai Kalamwadi.
Sultan Dêmak waskitha ing gaib, rumaos kadukan dening Kang Maha Kuwasa, mula banjur ngrumaosi kabeh kaluputane, nuli sowan andêdagan ana ing pasareyane ingkang rama, barêng wis antara têlung dina lawase, kaprênah pusêring kuburan tanpa sangkan thukul wit-witan warna papat, siji warnane irêng sêmu abang dalah godhong sarta kêmbange, loro wit sarta kêmbange putih godhonge sêdhêngan, têlu wit kang godhonge ngrêmbuyut mubêng kaya payung, papat wit kang godhonge lêmbut sarta mawa êri, lan wêktu iku sajroning pasareyane Sang Prabu kêprungu ana swara dumêling, mangkene ujaring swara: “Êntek katrêsnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah digêtak kaya kucing, sanajan matiya ing tata-kalairane, nanging lah eling-elingên ing besuk, yen wis agama kawruh, ing têmbe bakal tak-walês, tak-ajar wêruh ing nalar bênêr lan luput, pranatane mêngku praja, mangan babi kaya dhek jaman Majapahit.”
Sultan Dêmak mirêng swara dumêling kang surasane mangkono iku, ing batos bangêt kaduwung marang apa kang wis dilampahi, mula nganti suwe njêgrêg ora bisa ngandika, ngrumaosi klirune dene nuruti rêmbuge para Sunan kabeh, nganti wani mungsuh ingkang rama sarta ngrusak Majapahit. Iya wiwit titi masa iku anane wit-witan warna papat kang padha thukul ana ing kuburan, dadi pasêmon kabeh, iya iku Tlasih, Sêmboja, Turugajah lan Gêtakkucing. Mula nganti tumêka saprene wit Sêmboja panggonane ana ing kuburan, kêmbang Tlasih kanggo ngirim para lêluhur, godonge Gêtakkucing yen kasenggol banjur obah, godhonge uga banjur mingkup kaya dene godhong Gêtakkucing.
Sawise mangkono, Sultan Dêmak banjur kondur, sakondure saka pasareyane ingkang rama, bangêt panalangsane ing dalêm batos, tansah ngrumaosi ing kalêpatane.
Sunan Kalijaga uga waskitha ing gaib yen sinêmonan dening Kang Maha Kuwasa, mula uga bangêt panalangsane sarta ngrumaosi kaluputane, mula banjur mangagêm sarwa wulung, beda karo para Wali liyane isih padha manganggo sarwa putih. Kabeh mau ora padha ngrumasani kaluputane, mung Sunan Kalijaga piyambak rumaos yen kadukan dening Kang Maha Kuwasa, mula bangêt mrêtobate, wasana banjur pinaringan pangapura dening Allah, sinêmonan wiwit anane orong-orong githoke tumêka ing punuk disêsêli tataling kayu jati, mungguh karêpe: punukmu panakna, sajatining ‘ilmu iku ora susah maguru marang wong ‘Arab, ‘ilmuning Gusti Allah wis ana ing githokmu dhewe-dhewe,wujude puji thok, nanging dudu puji jatining kawruh, kang ngawruhi sajatining urip, urip dadi wayangan Dzating Pangeran, manusa bisa apa, mobah mosik mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake, sabda iku mêtu saka ing karêp, karêp mêtu saka ing budi, budi iku Dzate Kang Maha Agung, agung iku wis samêkta, tanpa kurang tan wuwuh, tanpa luwih sarta ora arah ora ênggon.
Kiyai kalamwadi nutugake caritane: “Kandhane guruku Rahaden Budi Sukardi mangkene: mungguh kang katarima, muji marang Allah iku, iku sindhenan Dharudhêmble. Têmbung dhar iku têgêse wudhar, ru iku têgêse ruwêt sulit lan rungsit, dene dhêmble têgêse dhêmbel dadi siji, yen wis sumurup têpunge sarat sari’at tarekat hakekat lan ma’rifat, iku mau wis muji tanpa ngucap, sarak iku sarate ngaurip, iya iku nampik milih iktiyar lan manggaota, sari’at iku saringane kawruh agal alus, tarekat iku kang nimbang lan nandhing bênêr lan luput, hakekat iku wujud, wujud karsaning Allah, kang ngobahake sarta ngosikake rasane budi, wêruh ora kasamaran ing sawiji-wiji. Yen kowe wis ngrêti marang têgêse Dharudhêmble, mêsthi wis marêm marang kawruhmu dhewe. Mangan woh kawruh lan budi, sêmbahe kaya wêsi kang dilabuh ana ing gêni ilang abange mung rupa siji, kang muji lan kang dipuji wis nunggal dadi sawiji, dhêmble wujud siji. Yen kowe wis bisangawruhi surasane kang tak-kandhakake iki, jênênge munajad. Saupama wong nulup manuk, yen ra wêruh prênahe manuke, masa kênaa, ênggone nulup mung ngawur. Yen kawruhe wong pintêr ora angel yen disawang, mêtune saka ing utêk”.
Darmagandhul matur, nyuwun ditêrangake bab ênggone Nabi Adam lan Babu Kawa padha kêsiku dening Pangeran, sabab saka ênggone padha dhahar wohe kayu Kawruh kang ditandur ana satêngahing taman Pirdus. Ana maneh kitab kang nêrangake, kang didhahar Nabi Adam lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun têrange, yen ing kitab Jawa caritane kapriye, kang nyêbutake kok mung kitab ‘Arab lan kitabe wong Srani.
Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kitabe wong Jawa ora nyêbutake bab mangkono iku, dene Sajarah Jawa iya ana kang nyêbutake turun Adam, iya kitab Manik Maya.
Kiyai Kalamwadi banjur ngandhakake: “Sawise buku-buku pathokan agama Buddha diobongi, amarga mundhak ngrêribêdi agama Rasul, sanadyan buku kang padha disimpêni dening para wadya, iya dipundhut banjur diobongi, nalika sabêdhahe Majapahit, sapa kang durung gêlêm nganggo agama Islam banjur dijarah rajah, mula wong-wong ing kono padha wêdi marang wisesaning Ratu. Dene wong-wong kang wis padha gêlêm salin agama Rasul, banjur padha diganjar pangkat utawa bumi sarta ora padha nyangga pajêg, mulane wong-wong ing Majapahit banjur padha ngrasuk agama Islam, amarga padha melik ganjaran. Ing wêktu iku Sunan Kalijaga, kagungan panggalih, caritane lêluhure supaya aja nganti pêdhot, banjur iyasa wayang, kanggo gantine kitab-kitab kuna kang wis padha diobongi. Ratu Mataram uga mangun carita sajarahe para lêluhur Jawa, buku-buku sakarine, kang isih padha disimpên uga padha dipundhut kabeh, nanging wis padha amoh, Sang Nata ing Mataram andangu para wadya, nanging wis padha ora mênangi, wiwit Kraton Gilingwêsi nganti tumêka Mataram wis ora kasumurupan caritane, buku-buku asli saka ing Dêmak lan Pajang padha dipriksa, nanging tinêmu tulisan ‘Arab, kitab Pêkih lan Taju-salatina apa dene Surya-Alam kang kanggo pikukuh, mula Sang Prabu ing Mataram kewran panggalihe ênggone kagungan karsa iyasa babad carita tanah Jawa. Sang Prabu banjur dhawuh marang para pujangga, andikakake padha gawe layang Babad Tanah Jawa, ananging sarehne kang gawe Babad mau ora ngêmungake wong siji bae, mula ora bisa padha gaweyane, kang diênggo pathokan layang Lokapala, mungguh caritane kaya kang kasêbut ing ngisor iki”.
Wayahe Nabi Adam iya iku putrane Nabi Sis, arane Sayid Anwar. Sayid Anwar didukani ingkang rama lan ingkang eyang, amarga wani- wani mangan wohe wit kayu Budi sêngkêrane Pangeran kang tinandur ana ing swarga. Ciptane Sayid Anwar supaya kuwasane bisa ngiribi kaya dene kuwasane Pangeran, ora narima yen mung mangan who Kawruh lan woh Kuldi bae, nanging wohe kayu Budi kang disuwun. Sayid Anwar miwiti yasa sarengat dhewe, ora karsa ngagêm agamane ingkang rama lan ingkang eyang, dadi murtat sarta nampik agamane lêluhure, mangkono uga karsa ngakoni yen turune Adam sarta Sis, pangraose Sayid Anwar iku dadi saka dadine piyambak, mung waranane bae saka Adam lan Sis, dadine saka budi hawaning Pangeran. Ênggone Kagungan pamanggih mangkono mau diantêpi bangêt, jalaran mangkene: asal suwung mulih marang sêpi, bali marang asale maneh. Sarehne Sayid Anwar banjur lunga nuruti karêping atine, lakune mangetan nganti tumêka ing tanah Dewani, ana ing kono banjur kêtêmu karo ratuning jin arane Prabu Nuradi, Sayid Anwar ditakoni iya banjur ngandharake lêlakone kabeh, wusanane Sayid Anwar diêpek mantu sarta dipasrahi kaprabon, ngratoni para jin, jêjuluk Prabu Nurcahya, wiwit jumênênge Prabu Nurcahya, jênênge nagara banjur diêlih dadi aran nagara Jawa. Misuwure, kang jumênêng Nata, Jawa jawi ngrêti kawruh agal alus. Sawise iku Sang Prabu banjur nganggit sastra mung salikur aksara, saucaping wong Jawa bisa kaucap, dijênêngake Sastra Endra Prawata. Têmbung Jawa, ditêgêsi: nguja hawa, karsane Sang Prabu: bisaa rowa, saturun-turune bisaa jumênêng Nata mêngkoni tanah Jawa. Sang Prabu putrane siji pêparab Sang Hyang Nurrasa, uga dhaup karo putri jin putrane mung siji iya iku Sang Hyang Wênang. Sang Hyang Wênang uga dhaup karo putri jin, dene putrane uga mung siji kakung pêparab Sang Hyang Tunggal, krama oleh putri jin. Sang Hyang Tunggal pêputra Sang Hyang Guru, kabeh mau turune Sang Hyang Nurcahya, kang padha didhahar woh wit kayu Budi. Sang Hyang Guru kagungan pangraos yen kuwasane padha karo Gusti Allah, mula banjur iyasa kadhaton ana pucaking Mahameru, sarta ngakoni yen purwaning dumadi mêtune asal saka budi hawa nêpsu. Aran Dewa ngaku misesani mujudake sipat roh, agamane Buddha budi, mangeran digdayane sarta ngaku Gusti Allah. Sêdya kang mangkono mau iya diideni dening Kang Maha Kuwasa, sarta kalilan nimbangi jasane Kang Maha Kuwasa. Dewa iku wêrdine ana loro têgêse: budi hawa, sarta: wadi dawa, mulane agamane Buddha. Sêbutan Dewi: têgêse: dening wadining wadon iku bisa ngêtokake êndhas bocah.
Darmagandhul didhawuhi nimbang mungguh kang bênêr kang êndi, mangan woh wit kayu Kawruh, apa wit kayu Budi, apa woh wit Kuldi?
Saka panimbange Darmagandhul, kabeh iku iya bênêr, sênêngan salah siji êndi kang disênêngi, diantêpi salah siji aja nganti luput. Yen kang dipangan woh wit kayu Budi, agamane Buddha budi, panyêbute marang Dewa; manawa mangan woh wit kawruh, pênyêbute marang Kangjêng Nabi ‘Isa, agamane srani, yen sênêng mangan woh wit kayu Kuldi, agamane Islam, sambate marang nabi panutan; iya iku Gusti Kangjêng Nabi Rasul; dene yen dhêmên Godhong Kawruh Godhong Budi, panêmbahe marang Pikkong, sarta manut sarake Sisingbing lan Sicim; salah sijine aja nganti luput. Yen bisa woh-wohan warna têlu iku mau iya dipangan kabeh, yen wong ora mangan salah sijine woh mau, mêsthine banjur dadi wong bodho, uripe kaya watu ora duwe kêkarêpan lan ora mangrêti marang ala bêcik. Dene mungguh bêcike wong urip iku mung kudu manut marang apa alame bae, dadi ora aran siya-siya marang uripe, yen Kalifah dhahar woh Budi, iya melu mangan woh Budi, yen Kalifah dhahar woh kawruh, iya melu mangan who kawruh, yen kalifah dhahar woh Kuldi, iya melu mangan woh Kuldi. Dene prakara bênêr utawa lupute, uki Kalifah kang bakal tanggung. Sarehne diênut wong akeh, dadi Panutan kudu kang bênêr, amarga wong dadi Panutan iku saupama têtuwuhan minangka wite. Yen wong ora gêlêm manut marang kang bênêre kudu diênut, iku kaya dene iwak kang mêtu saka ing banyu. Saupama woh ora gêlêm nempel wit, mêsthi dadi glundhungan kang tanpa dunung. Awit saka iku, mulane wong iku kudu ngelingi marang agamane kang nurunake, amarga sanadyan saupama ana salahe, Gusti Allah mêsthi paring pangapura. Darmagandhul matur nyuwun têrange agama Rasul lan liya-liyane, mungguh kang dadi bedane apa?
Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake beda-bedane, yen saka dhawuhe kang Maha Kuwasa, manusa didhawuhi muja marang agamane. Nanging banjur akeh kang kliru muja marang barang kang katon, kaya ta kêris, tumbak, utawa liya-liyane barang. Kang kaya mangkono mau ngrusakake agama, amarga banjur mangeran marang wujud, satêmah lali marang Pangerane, amarga maro tingal marang barang rêrupan. Wong urip iku kudu duwe gondhelan agama, amarga yen ora duwe agama mêsthi duwe dosa, mung bae dosane mau ana kang sathithik lan ana kang akeh. Dene kang bisa nyirnakake (nyudakake) dosa iku, mung banyu suci, iya iku tekad suci lair batin. Kang diarani banyu tekad suci iku kang êning, iya iku minangka aduse manusa, bisa ngrêsiki lair batine. Yen wong luwih, ora ngarêp-arêp munggah swarga, kang digoleki bisaa nikmat mulya punjula saka sapadhane, aja nganti nêmu sangsara, bisaa duwe jênêng kang bêcik, sinêbut kang utama, bisaa nikmat badan lan atine, mulya kaya maune, kaya nalika isih ana ing alam samar, ora duwe susah lan prihatin. Lawang swarga iku prêlu dirêsiki, dirêngga ing tekad kang utama, supaya aja ngrêribêdi ana ing donyane, bisaa slamêt lair batine. Kang diarani lawang swarga lan lawang nêraka iku, pancadan kang tumuju marang kabêgjan utawa kacilakan. Yen bêcik narik raharja, yen ala ngundhuh cilaka, mula pangucap kang ala, mêsthi mlêbu yomani. Yen bêcik, bisa tampa ganjaran.
Darmagandhul matur maneh, nyuwun têrange, manusa ing dunya wujude mung lanang lan wadon, dadine kok banjur warna-warna, ana Jawa, ‘Arab, Walanda lan Cina. Dene sastrane kok uga beda-beda. Iku maune kêpriye, dalah têgêse sarta cacahing aksarane kok uga beda-beda. Geneya kok ora nganggo aksara warna siji bae?
Kyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kabeh-kabeh mau wis dadi karsane Kang Maha Kuwasa. Mula aksarane digawe beda-beda, supaya para kawulane padha mangan woh wit kayu Budi lan woh wit kayu Kawruh, amarga manusa diparingi wahyu kaelingan, bisa mêthik who Kawruh lan woh Budi, pamêthike sapira sagaduke. Gusti Allah uga iyasa sastra, nanging sastrane nglimputi ing jêro, lan manut wujud, iya iku kang diarani sastra urip, manusa ora bisa anggayuh, sanadyan para Auliya sarta para Nabi ênggone nggayuh iya mung sagaduke. Woh wit Kawruh lan woh wit Budi ditandhani nganggo sipat wujud, dicorek ana ing dluwang, nganggo mangsi supaya wong bisa wêruh, mula jênênge dalwang, têgêse mêtu wangune, mangsi têgêse mangsit, dadi yen dalwang ditrapi mangsi, mêsthi banjur mêtu wangune, mangsit mangan kawruh, mula jênêng kalam, amarga kawruhe anggawa alam. Sastra warna-warna paringe kang Maha-Kuwasa, iku wajib dipangan, supaya sugih pangrêten lan kaelingan, mung wong kang ora ngrêti sastra paringe Gusti Allah, mêsthi ora mangêrti marang wangsit. Auliya Gong Cu kumênthus niru sastra tulisan paringe Gusti allah, nanging panggawene ora bisa, sastrane unine kurang, dadi pelon, para Auliya panggawene sastra dipathoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh bangêt cacahe, nanging unine pelo, amarga Auliya kang nganggit kêsusu mangan woh Kawruh, ing mangka iya kudu mangan woh wit kayu Budi. Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa. Ewadene mêksa nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu wajibe, kêsusu tampa panglulu nganggit sastra kang nganti tanpa etungan cacahe, jênênge sastra godhong. Godhonge wit Budi lan wit Kawruh, dipêthik saka sathithik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo sastra, mulane aksarane nganti ewon. Auliya Cina kêsiku, amarga arêp gawe sastra urip kaya yasane Gusti Allah. Auliya Jawa ênggone mangan woh wit kayu Budi nganti warêg, mula ênggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Auliya Arab ênggone mangan woh wit kayu Kuldi akeh bangêt. Dene ênggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Nanging yen sastra yasane Gusti Allah, dadine saka sabda, wujude dadi dhewe, mulane unine iya cêtha, sastrane ora ana kang padha.
Darmagandhul banjur didhawuhi nimbang, mungguh anggitane para Auliya kabeh mau kang mratandhani asor luhuring budine kang êndi?
Saka panimbange Darmagandhul, kabeh mau iya bênêr, nanging anggêr mêtu saka budi. Dene kang gawe aksara mung sathithik, nanging wis bisa nyukupi, iku mratandhani yen luwih pintêr tinimbang karo liya-liyane.
Kiyai Kalamwadi ngandika: “Yen manusa arêp wêruh sastrane Gusti Allah, tulisan mau ora kêna ditonton nganggo mripat lair – kudu ditonton nganggo mripat batin. Yen mangkono iya bisa katon, Gusti Allah iku mung sawiji, nanging Dzate nyarambahi sakabehing wujud. Yen ndêlêng kudu nganggo ati kang bêning, ora kêna kacampuran pikiran kang warna-warna, sarta kudu kang mêlêng ênggone mawas, supaya ora bisa kliru karo kanyatane”.
Kiyai Kalamwadi lênggah diadhêp garwane aran Endhang Prêjiwati. Darmagandhul sarta para cantrik iya padha marak. Kiyai Kalamwadi paring piwulang marang garwane, dadi nêtêpi jênênge priya kudu mulang muruk marang rabine. Dene kang diwulangake, bab kawruh kasunyatan sarta kawruh kang kanggo yen wis tumêka ing pati, ing wong sêsomahan iku. Kang wadon diupamakake omah, sanadyan kahanane wis sarwa bêcik. Nanging sabên dinane isih kudu dipiyara lan didandani. Saka pangandikane Kiayi Kalamwadi, wong iku yen dipitakoni, satêmêne ragane wis bisa mangsuli, sabab ing kono wis ana pangandikane Gusti Allah paring piwulang, nanging ora mêtu ing lesan, mung paring sasmita kang wis ditulis ana saranduning badan sakojur.
Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Sarehne aku iku wong cubluk, dadi ora bisa aweh piwulang kang endah, aku mung arêp pitakon marang ragamu, amarga ragamu iku wis bisa sumaur dhewe”.
Banjure pangandika kiyai Kalamwadi kaya ing ngisor iki. Tanganmu kiwa iku wis anggawa têgês dhewe, lan wis dadi piwulang kang bêcik lan nyata, kang anuduhake yen ragamu iku wujude kiwa, mung hawa kang katon. Têmbung ki: iku têgêse iki, wa: têgêse wêwadhah, ragamu iku di’ibaratake prau, prau dadi ‘ibarate wong wadon, wong têgêse ngêlowong, wadon têgêse mung dadi wadhah, dene isine mung têlung prakara, iya iku: “kar-ri-cis”. Yen prau wis isi têlung prakara iku, wong wadon wis kêcukup butuhe, dadi ora goreh atine. Dene têgêse kar-ri-cis iku mangkene.
1. Kar, têgêse dakar, iya iku yen wong lanang wis bisa nêtêpi lanange, mêsthi wong wadon atine marêm, wusanane dadi nêmu slamêt ênggone jêjêdhowan.
2. Ri, têgêse pari, iya iku kang minangka pangane wong wadon, yen wong lanang wis bisa nyukupi pangane, mêsthi wong wadon bisa têntrêm ora goreh.
3. Cis, têgêse picis, utawa dhuwit, ya iku yen wong lanang wis bisa aweh dhuwit kang nyukupi, mêsthi wong wadon bisa têntrêm, tak baleni maneh, cis têgêse bisa goreh atine.
Kosok baline yen wong lanang ora bisa aweh momotan têlung prakara mau, wong wadon bisa goreh atine. Tangan têngên têgêse etungên panggawemu, sabên dina sudiya,
sanggup dadi kongkonan, wong wadon wis dadi wajibe ngrewangi kang lanang anggone golek sandhang pangan.
Bau têgêse kanthi, gênahe wong wadon iku dadi kanthine wong lanang, tumrap nindakake samubarang kang prêlu.
Sikut têgêse singkurên sakehing panggawe kang luput. Ugêl-ugêl têgêse sanadyan tukar padu, nanging yen isih padha trêsnane iya ora bisa pêdhot. Epek-epek têgêse ngêpek-ngêpek jênênge kang lanang, awit wong wadon iku yen wis laki, jênênge banjur melu jênênge kang lanang. Iya iku kang diarani warangka manjing curiga, warangkane wanita, curigane jênênge wong lanang.
Rajah (ing epek-epek) têgêse wong wadon iku panganggêpe marang guru-lakine dikaya dene panganggêpe marang raja.
Driji têgêse drêjêg utawa pagêr, iya iku idêrana jiwamu nganggo pagêr kautaman, wanita iku kudu andarbeni ambêk kang utama, dene driji kabeh mau ana têgêse dhewe-dhewe.
Jêmpol têgêse êmpol, yen wanita dikarsakake dening priyane, iku kang gampang gêtas rênyah kaya dene êmpoling klapa.
Driji panuduh têgêse wanita nglakonana apa sapituduhe kang priya.
Driji panunggul, têgêse wanita wajib ngunggulake marang priyane, supaya nyupangati bêcik.
Driji manis, têgêse wanita kudu duwe pasêmon utawa polatan kang manis, wicarane kudu kang manis lan prasaja.
Jênthik, têgêse wong wadon iku panguwasane mung sapara limane wong lanang, mula kudu sêtya tuhu marang priyane.
Kuku têgêse ênggone rumêksa marang wadi, paribasane aja nganti kêndho tapihe.
Mungguh pikikuhe wong jêjodhowan iku, wanita kudu sêtya marang lakine sarta nglakoni patang prakara, iya iku: pawon, paturon, pangrêksa, apa dene kudu nyingkiri padudon.
Wong jêjodhowan yen wis nêtêpi kaya piwulang iki, mêsthi bisa slamêt sarta akeh têntrême.
Kiyai Kalamwadi banjur paring pangandika maneh, dene kang dipangandikakake bab pikukuhe wong jêjodhowan. Saka pangandikane kiyai Kalamwadi, wong jêjodhowan iku pikukuhe kudu duwe ati eling, aja nganti tumindak kang ora bênêr. Mungguh pikukuhe wong laki-rabi iku, dudu dunya lan dudu rupa, pikukuhe mung ati eling. Wong jêjodhowan, yen gampang luwih gampang, nanging yen angel, angele ngluwihi. Wong jêjodhowan itu luput pisan kêna pisan, yen wis luput, ora kêna tinambak ing rajabrana lan rupa. Wanita kudu tansah eling yen winêngku ing priya, yen nganti ora eling, lupute banjur ngambra-ambra, amargi yen wanita nganti cidra, iku ugi ngilangake Pangerane wong jêjodhowan, dene kang diarani cidra iku ora mung jina bae, nanging samubarang kang ora prasaja iya diarani cidra, mula wanita kudu prasaja lair batine, amarga yen ora mangkono bakal nandhang dosa rong prakara, kang sapisan dosa marang kang lanang, kapindhone dosa marang Gusti Allah, kang mangkono iku mêsthi ora bisa nêmu lêlakon kang kapenak. Mula ati, kudu tansah eling, amarga tumindaking badan mung manut karêping ati, awit ati iku dadi ratuning badan. Wong jêjodhowan di’ibaratake prau kang gêdhe, lakuning prau manut satang lan kêmudhine, sanadyan satange bênêr, yen kêmudhine salah, prau ora bêcik lakune. Wong lanang iku lakuning satang, dene kang wadon ngêmudheni, sanadyan bêcik ênggone ngêmudheni, nanging yen kang nyatang ora bênêr, lakune prau iya ora bisa jêjêg, sarta bisa têkan kang disêdya, amarga kang padha nglakokake padha karêpe, dadi têgêse, wong jêjodhowan, kudu padha karêpe, mula kudu rukun, rukun iku gawe karaharjan sarta mahanani katêntrêman, ora ngêmungake wong jêjodhowan kang rukun bae, kang oleh katêntrêmaning ati, sanadyan tangga têparone iya melu têntrêm, mula wong rukun iku bêcik bangêt.
Kowe tak-pituturi, mungguh dalane kamulyan iku ana patang prakara:
(1) Mulya saka jênêng.
(2) Mulya saka bandha.
(3) Mulya saka sugih ‘ilmu.
(4) Mulya saka kawignyan.
Kang diarani mulya saka jênêng, iku wong kang utama, bisa oleh kabêgjan kang gêdhe, nanging kabêgjane mau ora mung kanggo awake dhewe, kapenake uga kanggo wong akeh liyane. Dene kang mulya saka ing bandha, lan mulya saka ênggone sugih ‘ilmu, lan mulya saka kapintêran, iku ana ngêndi bae, iya akeh rêgane.
Mungguh dalane kasangsaran uga ana patang prakara:
(1) Rusaking ati, manusa iku yen pikire rusak, ragane mêsthi iya melu rusak.
(2) Rusaking raga, iya iku wong lara.
(3) Rusaking jênêng, iya iku wong mlarat.
(4) Rusaking budi, iya iku wong bodho, cupêt budine, wong bodho lumrahe gampang nêpsune.
Kang diarani tampa kanugrahing Gusti Allah, iya iku wong kang sêgêr kawarasan sarta kacukupan, apa dene têntrêm atine.
Wong urip kang kêpengin bisaa dadi wong utama, duweya jênêng kang bêcik, kanggo têtuladhan marang wong kang padha ditinggal ing têmbene”.
Ki Darmagandhul matur lang nyuwun ditêrangake bab anane wong ing jaman kuna karo wong ing jaman saiki, iku satêmêne pintêr kang êndi, amarga wong akeh panêmune warna-warna tumrape bab iku.
Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Wong kuna lan wong saiki, iku satêmêne iya padha pintêre, mung bae tumrape wong ing jaman kuna, akeh kang durung bisa mujudake kapintêrane, mula katone banjur kaya dene ora pintêr. Ana dene wong ing jaman saiki ênggone katon luwih pintêr iku amarga bisa mujudake kapintêrane. Wong ing jaman kuna kapintêrane iya wis akeh, dene kang mujudake iya iku wong ing jaman saiki. Saupama ora ana kapintêrane wong ing jaman kuna, mêsthi bae tumrape wong ing jaman saiki ora ana kang kanggo têtuladhan, amarga kahanan saiki iya akeh kang nganggo kupiya kahanan ing jaman kuna. Wong ing jaman saiki ngowahi kahanan kang wis ana, êndi kang kurang bêcik banjur dibêcikake. Wong ing jaman saiki ora ana kang bisa nganggit sastra, yen manusa iku rumasa pintêr, iku têgêse ora rumasa yen kawula, mangka uripe manusa mung sadarma nglakoni, mung sadarma nganggo raga, dene mobah mosik, wis ana kang murba. Yen kowe arêp wêruh wong kang pintêr têmênan, dununge ana wong wadon kang nutu sabên dina, tampahe diiseni gabah banjur diubêngake sadhela, gabah kang ana kabur kabeh, sawise, banjur dadi beda-beda, awujud bêras mênir sarta gabah, nuli mung kari ngupuki bae, sabanjure dipilah-pilah. Têgêse: bêras yen arêp diolah kudu dirêsiki dhisik, miturut kaya karêpe kang arêp olah-olah. Yen kowe bisa mangreh marang manusa, kaya dene wong wadon kang nutu mau, ênggone nyilah-nyilahake bêras aneng tampah, kowe pancen wong linuwih, nanging kang mangkono mau dudu kawadjibanmu, awit iku dadi kawajibane para Raja, kang misesa marang kawulane. Dene kowe, mung wajib mangrêti tataning praja supaya uripmu aja kongsi dikul dening sapadhaning manusa, uripmu dadi bisa slamêt, kowe bakal dadi têtuwa, kêna kanggo pitakonan tumraping para mudha bab pratikêle wong ngawula ing praja. Mula wêlingku marang kowe, kowe aja pisan- pisan ngaku pintêr, amarga kang mangkono mau dudu wajibing manusa, yen ngrumasani pintêr, mundhak kêsiku marang Kang Maha Kuwasa, kaelokane Gusti Allah, ora kêna ginayuh ing manusa, ngrumasanana yen wong urip iku mung sadarma, ana wong pintêr isih kalah pintêr karo wong pintêr liyane, utawa uga ana wong pintêr bisa kasoran karo wong kompra, bodho pintêring manusa iku saka karsane Kang Maha Kuwasa, manusa anduweni apa, bisane apa, mung digadhuhi sadhela dening Kang Maha Kuwasa, yen wis dipundhut, kabeh mau bisa ilang sanalika, saka kalangkungane Gusti Allah, yen kabeh mau kapundhut banjur diparingake marang wong kompra, wong kompra banjur duwe kaluwihan kang ngungkuli kaluwihane wong pintêr. Mula wêlingku marang kowe, ngupayaa kawruh kang nyata, iya iku kawruh kang gandheng karo kamuksan”.
Ki Darmagandhul banjur matur maneh, nyuwun têrange bab tilase kraton Kêdhiri, iya iku kratone Sang Prabu Jayabaya. Kiyai Kalamwadi ngandika: “Sang Prabu Jayabaya ora jumênêng ana ing Kêdhiri, dene kratone ana ing Daha, kaprênah sawetane kali Brantas. Dene yen Kêdhiri prênahe ana sakuloning kali Brantas lan sawetaning gunung Wilis, ana ing desa Klotok, ing kono iku ana bata putih, iya iku patilasane Sri Pujaningrat. Dene yen patilasane Sri Jayabaya ika ana ing daha, saikine jênênge desa Mênang, patilasane kadhaton wis ora katon, amarga kurugan ing lêmah lahar saka gunung Kêlut, patilasan-patilasan mau wis ilang kabeh, pasanggrahan Wanacatur lan taman Bagendhawati uga wis sirna, dene pasanggrahan Sabda, kadhatone Ratu Pagêdhongan uga wis sirna. Kang isih mung rêca yasane Sri Jayabaya, iya iku candhi Prudhung, Têgalwangi, prênahe ing sa-lor-wetane desa Mênang, lan rêca buta wadon, iya iku rêca kang diputung tangane dening Sunan Benang nalika lêlana mênyang Kêdhiri, rêca mau lungguhe madhêp mangulon, ana maneh rêca jaran awak siji êndhase loro, panggonane ana ing desa Bogêm, wêwêngkon dhistrik Sukarêja, mula Sri Jayabaya yasa rêca, mangkene caritane, (kaya kang kapratelakake ing ngisor ini)”.
Ing Lodhaya ana buta wadon ngunggah-unggahi Sang Prabu Jayabaya, nanging durung nganti katur ing ngarsa Prabu, buta wadon wis dirampog dening wadya cilik-cilik, buta wadon banjur ambruk, nanging durung mati, barêng ditakoni, lagi waleh yen sumêdya ngunggah-unggahi Sang Prabu. Sang Prabu banjur mriksani putri buta mau, barêng didangu iya matur kang dadi sêdyane. Sang Prabu banjur paring pangandika mangkene: “Buta! andadekna sumurupmu, karsaning Dewa Kang Linuwih, aku iku dudu jodhomu, kowe dak-tuturi, besuk sapungkurku, kulon kene bakal ana Ratu, nagarane ing Prambanan, iku kang pinasthi dadi jodhomu, nanging kowe aja wujud mangkono, wujuda manusa, aran Rara Jonggrang”.
Sawise dipangandikani mangkono, putri buta banjur mati. Sang Prabu banjur paring pangandika marang para wadya, supaya desa ing ngêndi papan matine putri buta mau dijênêngake desa Gumuruh. (11) Ora antara suwe Sri Jayabaya banjur jasa rêca ana ing desa Bogêm. Rêca mau wujud jaran lagaran awak siji êndhase loro, kiwa têngên dilareni. Patihe Sang Prabu kang aran Buta Locaya sarta Senapatine kang aran Tunggulwulung padha matur marang sang Prabu, kang surasane nyuwun mitêrang kang dadi karsa-Nata, ênggone Sang Prabu yasa rêca mangkono mau, apa mungguh kang dadi karsane. Sang Prabu banjur paring pangandika, yen ênggone yasa rêca kang mangkono itu prêlu kanggo pasêmon ing besuk, sapa kang wêruh marang wujude rêca iku mêsthi banjur padha mangrêti kang dadi tekade wong wadon ing jaman besuk, yen wis jaman Nusa Srênggi. Bogêm têgêse wadhah bangsa rêtna-rêtna kang adi, têgêse wanita iku bangsa wadhah kang winadi. Laren (12) kang ngubêngi jaran têgêse iya sêngkêran. Dene jaran sêngkêran iya iku ngibaratake wong wadon kang disêngkêr. Sirah loro iku dadi pasêmone wong wadon ing jaman besuk, kang akeh padha mangro tingal, sanadyan ora kurang ing panjagane, iya bisa cidra, lagaran, iku têgêse tunggangan kang tanpa piranti. Ing jaman besuk, kang kêlumrah wong arêp laki-rabi, ora nganggo idine wong tuwane, margane saka lagaran dhisik, yen wis mathuk pikire, iya sida diêpek rabi, nanging yen ora cocog, iya ora sida laki-rabi.
Sang Prabu ênggone yasa candhi, prêlu kanggo nyêdhiyani yen ana wadyabala kang mati banjur diobong ana ing kono, supaya bisa sirna mulih marang alam sêpi. Yen pinuju ngobong mayit, Sang Prabu uga karsa rawuh ngurmati.
Kang mangkono iku wis dadi adate para raja ing jaman kuna. Mula kang dadi panyuwunku marang Dewa, muga Sang Prabu karsa yasa candhi kanggo pangobongan mayit, kaya adate Raja ing jaman kuna, amarga aku iki anak dhalang, aja suwe-suwe kaya mêmêdi, duwe rupa tanpa nyawa, bisaa mulih marang asale.
Samuksane Sang Prabu Jayabaya, Patih Buta Locaya sarta Senapati Tunggulwulung, apa dene putrane Sang Prabu kang kêkasih Ni Mas Ratu Pagêdhongan, kabeh banjur padha andherek muksa.
Buta Locaya banjur dadi ratuning dhêdhêmit ing Kêdhiri. Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, dene Ni Mas Ratu Pagêdhongan banjur dadi ratuning dhêdhêmit ana ing sagara kidul, asmane ratu Anginangin.
Ana kêkasihe Sang Prabu Jayabaya, jênênge Kramatruna, nalika Sri Jayabaya durung muksa, Kramatruna didhawuhi ana ing sêndhang Kalasan. Sawise têlung atus taun, putrane Ratu ing Prambanan, kêkasih Lêmumbardadu iya Sang Pujaningrat, jumênêng Nata ana ing Kêdhiri, kadhatone ana sakuloning bangawan (3), kêdhi têgêse wong wadon kang ora anggarap sari, dene dhiri iku têgêse anggêp, kang paring jênêng iku Rêtna Dewi Kilisuci, dicocogake karo adate Sang Rêtna piyambak, amarga Sang Rêtna Dewi Kilisuci iku wadat, sarta ora anggarap sari. Dewi Kilisuci nyawabi nagarane, aja akeh gêtihe wong kang mêtu. Mula Kêdhiri iku diarani nagara wadon, yen nglurug pêrang akeh mênange, nanging yen dilurugi apês. Kang kêlumrah pambêkane wanita ing Kêdhiri iku gêdhe atine, amarga kasawaban pambêkane Sang Rêtna Dewi Kilisuci. Dene Rêtna Dewi Kilisuci iku sadhereke sêpuh Nata ing Jênggala. Sang Rêtna mau tapa ana ing guwa
Selamangleng, sukune gunung Wilis.
WUWUHAN KATÊRANGAN.
Kanjeng Susuhunan Ampeldênta pêputra ratu Fatimah, patutan saka Nyai Agêng Bela. Ratu Fatimah krama oleh pangeran Ibrahim, ing Karang Kumuning Satilare Pangeran Karang Kumuning. Ratu Fatimah banjur tapa ana ing manyura, karo Pangeran Ibrahim Ratu Fatimah pêputra putri nama Nyai Agêng Malaka, katêmokake Raden Patah.
Raden Patah (Raden Praba), putrane Prabu Brawijaya patutan saka putri Cêmpa kang katarimakake marang Arya Damar Adipati ing Palembang, barêng Raden Patah wis jumênêng Nata, jêjuluk Sultan Syah ‘Alam Akbar Siru’llah Kalifatu’lRasul Amiri’lMu’minin Rajudi’l’Abdu’l Hamid Kak, iya Sultan Adi Surya ‘Alam ing Bintara (Dêmak).
Putri Cêmpa nama Aranawanti (Ratu Êmas) kagarwa Prabu Brawijaya, pêputra têlu:
[1] Putri nama Rêtna Pambayun, katrimakake marang Adipati Andayaningrat ing Pêngging, nalika jaman pambalelane nagara Bali marang Majapahit.
[2] Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati ing Madura.
[3] Isih timur rêmên marang laku tapa, nama Raden Gugur, barêng muksa kasêbut nama Sunan Lawu.
Panênggak Putri Cêmpa nama Pismanhawanti kagarwa putrane Jumadi’l Kubra I, patutan saka ibu Sitti Fatimah Kamarumi, isih têdhake Kangjêng Nabi Mukammad, asma Maulana Ibrahim, dêdalêm ana ing Jeddah, banjur pindhah ing Cêmpa, dadi Imam ana ing Asmara tanah ing Cêmpa, banjur kasêbut nama Maulana Ibrahim Asmara, iku kang pêputra Susuhunan Ampeldênta Surabaya. Dene putra Cêmpa kang waruju kakung, nama Awastidab, wus manjing Islam, nyakabat marang maulana Ibrahim, jumênêng Raja Pandhita ing Cêmpa anggênteni ingkang rama, pêputra siji kakung kêkasih Raden Rachmat. Kang ibu putri Cêmpa (garwa Maulana Ibrahim), pêputra Sayid ‘Ali
Rachmat, ngêjawa nama Susuhunan Katib ing Surabaya, dêdalêm ing Ampeldênta, kasêbut Susuhunan Ampeldênta. Cêmpa iku kutha karajan ing India buri (Indo china).
Sayid Kramat kang kasêbut ing buku iki pêparabe Susuhunan ing Bonang (Sunan Benang).
TAMAT
KATRANGAN:
(1) Kulon kutha Majakêrta lêt +/- 10 km.
(2) Pêlabuhane saiki aran: “Haipong”.
(3) Lor Stasiyun: Surabayakota “Sêmut”.
(4) Benang = Bonang ing Karêsidhenan Rêmbang.
(5) Tarik.
(6) Kulon kutha Kêdhiri.
(9) Akire Mênang didêgi pabrik gula arane iya pabrik Mênang,
stasiyune ing Gurah antarane Kêdhiri - Pare +/- 7 km. saka Kêdhiri.
(10) Kidul Majaagung lêt +/- 15-16 km. Saiki dicêluk desa Ngrimbi.
(11) Ing sacêlakipun pabrik Mênang, wontên dhusun nama Guruh.
1. mbok manawi ewah-ewahan saking Gumêrah-Gumuruh.
2. Gurah = gusah.
3. ngrêsiki gorokan.
(12) Laren = kalenan.
(13) Bangawan = Brantas.


Darmaghandul (1)












Source:
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=37753

No comments: