Showing posts with label Serat Darmagandhul Full. Show all posts
Showing posts with label Serat Darmagandhul Full. Show all posts

Friday, 12 November 2010

DARMAGANDHUL (1)

DARMAGANDHUL (1)



Kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak dan runtuhnya
Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Awal mulanya Orang Jawa
Meninggalkan Agama Buddha dan Beralih pada Agama Islam

K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.
Cap-capan ingkang kaping sêkawan 1959
Toko Buku "Sadu-Budi" Sala.

BÊBUKA.
Sinarkara sarjunireng galih, myat carita dipangikêtira, kiyai
Kalamwadine, ing nguni anggêguru, puruhita mring Raden Budi,mangesthi
amiluta, duta rehing guru, sru sêtya nglampahi dhawah,panggusthine
tan mamang ing lair batin, pinindha lir Jawata.

Satuduhe Raden Budi êning, pan ingêmbun pinusthi ing cipta, sumungkêm
lair batine, tan etung lêbur luluh, pangesthine ing awal akhir,
tinarimeng Bathara, sasêdyanya kabul, agung nugraheng Hyang Suksma,
sinung ilham ing alam sahir myang kabir, dumadya auliya.
Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi, pan biyasa mituhu susêtya, mring
dhawuh wêling gurune, kêdah mêdharkên kawruh, karya suka pirêneng
jalmi, mring sagung ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai Kalamwadi
ngarang, sinung aran srat Darmagandhul jinilid, sinung têmbang

macapat.
Pan katêmben amaos kinteki, têmbang raras rum sêya prasaja, trêwaca
wijang raose, mring tyas gung kumacêlu, yun darbeya miwah nimpêni,
pinirit tinuladha, lêlêpiyanipun, sawusnya winaos tamat, linaksanan
tinêdhak tinurun sungging, kinarya nglipur manah.
Pan sinambi-sambi jagi panti, sasêlanira ngupaya têdha, kinarya cagak
lênggahe, nggennya dama cinubluk, mung kinarya ngarêm-arêmi,
tarimanireng badan, anganggur ngêthêkur, ngêbun-bun pasihaning Hyang,
suprandene tan kalirên wayah siwi, sagotra minulyarja.
Wus pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah kumambang karseng Hyang,
ing lokhilmakful tulise, panitranira nuju, ping trilikur ri Tumpak
manis, Ruwah Je warsanira, Sancaya kang windu, masa Nêm ringkêlnya
Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: wuk guna ngesthi Nata
(taun Jawa 1830).

[Bagian Pembukaan tidak diterjemahkan karena penterjemah tidak paham
bahasa Jawa klasik]

DARMAGANDHUL.

Pada suatu hari bertanyalah Darmagandhul pada Kalamwadi sebagai
berikut, "Asal mulanya bagaimana, kok orang Jawa meninggalkan Agama
Buddha dan berubah menganut Agama Islam?"

Jawabannya Ki Kalamwadi, "Saya sendiri juga tidak begitu mengerti,
tapi saya sudah pernah diberi tahu oleh guru saya, selain itu guru
saya itu juga bisa dipercaya, [Beliau] menceritakan asal mulanya
orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berganti menganut agama
Rasul (Islam)."

Darmagandhul bertanya, "Bagaimana kalau begitu ceritanya?"

Ki Kalamwadi lalu berkata lagi, "Hal ini sesungguhnya juga perlu
diungkapkan agar orang yang tidak tahu asal mulanya menjadi tahu."

Pada zaman kuno, Kerajaan Majapahit itu namanya Kerajaan Majalengka,
sedangkan nama Majapathit itu, hanya sebagai perumpamaan, tetapi bagi
yang belum tahu ceritanya, Majapahit itu telah merupakan namanya
semenjak awal. (1) Di Kerajaan Majapahit yang berkuasa sebagai Raja
adalah Prabu Brawijaya.

Pada saat itu, Sang Prabu sedang dimabuk asmara, ia menikah dengan
Putri Cempa, (2) karena Putri Cempa itu beragama Islam, maka saat
sedang berdua-duaan, Sang Putri [selalu] berbicara pada sang Raja,
mengenai agama Islam. Tiap kali berkata-kata, tidak ada hal lain yang
dibicarakan, selain mengagung-agungkan agama Islam, sehingga
menyebabkan tertariknya hati Sang Prabu akan agama Islam.

Tidak berama lama datanglah pengikut Putri Cempa yang bernama Sayid
Rakhmat ke Majalengka. Ia minta izin pada sang raja, untuk menggelar
penyebaran agama Rasul (Islam).

Sang Prabu juga mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid Rakhmat itu.
Sayid Rakhmat lalu mendirikan sebuah desa kecil (dukuh) di
Ngampeldenta, Surabaya. Ia mengajar agama Islam di sana. Selanjutnya
makin banyak para ulama dari seberang yang datang. Para ulama dan
para maulana itu beramai-ramai menghadap sang raja di Majalengka,
serta sama-sama meminta desa kecil di daerah pesisir.

Permintaan tersebut juga dikabulkan oleh Sang Raja. Lama-lama
perkampungan kecil semacam itu makin menjamur, orang Jawa makin
banyak yang beragama Islam.

Sayid Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah menganut agama
Islam. Tempat menetapnya berada di Benang (juga disebut Bonang -
penterjemah), Tuban. Sayid Kramat itu adalah pemuka agama yang
berasal dari Arab, atau tempat kelahirannya Nabi Muhammad, sehingga
dapat menjadi gurunya para penganut agama Islam. Banyak orang Jawa
yang berguru pada Sayid Kramat. Orang Jawa di pesisir utara, baik
bagian barat maupun timur, sama-sama meninggalkan agama Buddha dan
berpindah masuk Islam. Dari Blambangan ke arah barat hingga Banten,
banyak orang yang telah mematuhi perkataan Sayid Kramat.

Pada saat itu agama Buddha telah dianut di tanah Jawa selama seribu
tahun, para penganutnya menyembah pada Budi Hawa. Budi adalah Zat
dari Hyang Widdhi, sedangkan Hawa itu adalah kehendak hati. Manusia
itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menjalankan, tetapi
budi yang mengubah segalanya.

Raja Brawijaya memiliki putra dari seorang putri berkebangsaan Cina.
Putranya itu lahir di Palembang, dan diberi nama Raden Patah.

Tatkala Raden Patah sudah dewasa, ia mengunjungi ayahnya. Ia
memiliki saudara lain ibu yang bernama Raden Kusen. Setibanya di
Majalengka Sang Prabu bingung hatinya untuk memberi nama pada
puteranya. Sebab menurut tradisi leluhur Jawa yang beragama Buddha,
putra raja yang lahir di gunung, disebut Bambang.

Kalau menurut ibunya, namanya adalah Kaotiang, yaitu kalau dalam
bahasa Arab disebut Sayid atau Sarib. Sang Prabu lalu memanggip para
patih dan pegawai kerajaan. Mereka diminta pendapatnya di dalam
memberikan nama bagi putranya itu. Patih berkata bahwa kalau menurut
leluhur zaman dahulu, anak raja itu seharusnya diberi nama Bambang,
tetapi karena ibunya berkembangsaan Cina, maka seharusnya disebut
Babah, yang artinya lahirnya ada di negara lain.

Pendapat sang patih tersebut juga disepakati oleh para pegawai
kerajaan. Oleh karenanya sang raja mengumumkan bahwa putranya itu
yang lahir di Palembang, diberi nama Babah Patah. Hingga sampai
sekarang, orang yang berdarah campuran Cina dan Jawa diberi nama
Babah.

Babah Patah, takut kalau tidak mematuhi sabda bapaknya, karena itu
bersikap seolah-olah senang. Padahal ia tidak benar-benar senang-
senang diberi nama Babah.

Kemudian Babah Patah diangkat menjadi bupati di Demak, untuk
mengepalai para bupati di pesisir Demak ke arah barat. Babah Patah
lalu diperintahkan untuk berguru di Ngampelgadhing, yang kebetulan
dikepalai oleh Kyai Ageng Ngampel.

Ketika waktunya telah tiba, ia pindah ke Demak, yakni ke desa
Bintara. Sebetulnya Babah Patah telah beragama Islam saat di
Palembang. Oleh sebab itu, tatkala telah berada di Demak, ia
diperintahkan untuk melestarikan agamanya. Sedangkan Raden Kusen
diangkat menjadi adipati di Terung, dan diberi gelar Raden Arya
Pecattandha.

Makin lama agama Rasul makin menyebar luas, para ulama menjadi ingin
memiliki gelar, dimana kemudian mereka digelari Sunan. Sunan itu
artinya budi, pohon pengetahuan kesadaran pada yang baik dan buruk.
Jika buah budi itu menyadari akan kebaikan, maka ia wajib menuntut
ilmu lahir dan bathin. Pada saat itu para ulama masih memiliki hati
yang baik, belum memiliki keinginan buruk, masih menahan diri dari
makan dan tidur.

Sang Prabu Brawijaya jadi jatuh hati, para ulama itu dikiranya
Buddha, tetapi kok disebut Sunan. Tingkah laku mereka masih menahan
diri dari makan dan tidur. Apabila mengikuti rasul, maka mereka
[seharusnya] bukan menahan diri dari makan dan tidur, melainkan hanya
menuruti hawa nafsu keinginan. Tatkala kebiasaan menahan diri dari
makan dan tidur telah rusak, tetapi Prabu Brawijaya telah terlanjur
memberikan angin. Makin lama agama rasul makin menyebar.

Pada saat itu ada peristiwa-peristiwa yang aneh yang tidak masuk
akal. Peristiwa-peristiwa tersebut diketahui dari ingatan semata.
Apabila membaca atau mendengar, maka perlu dipertimbangkan benar dan
tidaknya. Tetapi karena sampai sekarang masih ada peninggalannya,
maka menurut pendapatku hal tersebut benar-benar terjadi.

Pada saat itu Sunan Benang bersiap-siap untuk mengunjungi Kediri,
yang mengantarnya hanya dua orang sahabat. Ketika tiba di utara
Kediri, yaitu di tanah Kertasana, mereka terhalang oleh air. Sungai
Brantas saat itu kebetulan sedang banjir. Sunan Benang dan dua orang
sahabatnya sama-sama menyeberang, dan ketika telah tiba di seberang
ia mencari tahu apakah orang di sana telah beragama Islam, ataukah
masih menganut agama Budi.

Menurut Ki Bandar, orang di sana agamanya Kalang, bukan Buddha namun
mirip, sedangkan agama Rasul masih sedikit sekali tersebarnya. Orang
di sana yang sebagian besar beragama Kalang memuliakan Bandung
Bandawasa. Bandung dianggap nabi mereka. Pada saat hari perayaan
keagamaan mereka bersama-sama makan enak dan bersenang-senang di
rumah. Sunan Benang berkata, "Jika begitu maka orang di sini sama-
sama beragama Gedhah, Gedhah itu tidak hitam ataupun putih. Tempat
ini pantas disebut Kutha Gedhah."

Ki Bandar menjawab, "Baik, yang mulia, saya yang menjadi saksi."
Tempat di bagian utara Kediri namanya mulai sekarang adalah Kutha
Gedhah." Hingga saat ini masih disebut dengan Kutha Gedhah, tetapi
orang jarang mengetahui asal mula nama tersebut.

Sunan Benang berkata pada sahabatnya, "Carilah air minum di desa,
sungai masih banjir dan airnya keruh. Jika diminum maka akan
menyebabkan sakit perut. Selain itu sudah waktunya salat Lohor. Saya
mau wudhu untuk salat"

Salah seorang sahabatnya lalu pergi ke desa mencari air minum. Ia
sampai di desa Pathuk dan menjumpai rumah yang nampaknya tidak ada
prianya. Yang ada hanya seorang gadis perawan menjelang dewasa,
dimana saat itu ia sedang menenun. Sahabat Sunan Benang mendekat
serta berkata perlahan, "Mbok Nganten (panggilan terhadap wanita
dalam bahasa Jawa), saya minta air minum yang bening dan bersih."
Gadis perawan itu terkejut mendengar suara pria, ketika menoleh ia
melihat seorang pria yang nampaknya mirip santri. Gadis perawan
tersebut salah sangka, ia mengira orang tersebut ingin menggodanya,
maka dijawabnya dengan perkataan kotor, "Anda menyeberang sungai
datang kemari untuk minta air minum. Di sini tidak ada air minum,
selain air kencing saya yang bening, jika Anda ingin meminumnya."

Sang santri yang mendengar ucapan kotor itu pergi tanpa pamit dan
jalannya dicepat-cepatkan. Ia menggerutu dalam hati dan menceritakan
pengalamannya di hadapan Sunan Bonang. Ketika mendengar hal itu Sunan
Bonang marah sekali, ia kemudian mengucapkan sumpah serapah pada
warga desa tersebut. Tempat itu dikutuk agar susah mendapatkan air,
para gadisnya akan terlambat menikah dan demikian pula kaum
perjakanya. Sesudah kutukan tersebut diucapkan aliran Sungai Brantas
menjadi kecil. Aliran sungai yang pada mulanya besar itu menyimpang
dan membanjiri desa, sawah, dan ladang. Banyak desa yang rusak karena
diterjang aliran sungai yang berpindah alirannya. Sungai yang pada
mulanya deras alirannya itu menjadi surut. Hingga saat ini tempat
tersebut menjadi susah air serta gadis dan perjakannya terlambat
menikah. Sunan Benang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.

Pada waktu itu ada seorang makhluk halus bernama Nyai Plencing,
yakni makhluk halus yang berdiam di sumur Tanjungtani. Anak cucunya
para berkeluh kesah padanya, mereka melaporkan tindakan orang bernama
Sunan Benang yang kegemarannya menyiksa para makhluk halus serta
memamerkan kesaktiannya. Sungai yang mengalir di Kediri dijadikan
surut airnya serta berpindah alirannya ke arah lain yang tidak
seharusnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah, dan ladang yang
rusak. Semua itu akibat ulah Sunan Bonang.

Sunan Bonang juga mengutuk orang di sana, gadis dan perjaka akan
terlambat kimpoi. Sunan Benang itu kegemarannya bertindak salah. Anak
cucu Nyai Plencing bersama-sama memohon Nyai Plencing agar bersedia
menyantet Sunan Benang sampai mati dan tidak menganggu mereka lagi.
Nyai Plencing yang mendengar keluh kesan anak cucunya itu, segera
pergi menjumpai Sunan Benang. Tetapi makhluk-makhluk halus tersebut
tidak dapat mendekati Sunan Benang, karena tubuh mereka serasa panas
terbakar.

Makhluk-makhluk halus itu lalu lari ke Kediri. Ketika tiba di sana
mereka melaporkan pada rajanya segala hal yang mereka alami. Raja
makhluk halus itu berdiam di Selabale, namanya adalah Buta Locaya.
Selabale itu letaknya ada di kaki gunung Wilis. Buta Locaya itu
adalah patih Sri Jayabaya, dulu namanya adalah kyai Daha dan memiliki
adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha itu asal usulnya ada di Kediri.
Pada saat Sri Jayabaya tiba di sana, nama Kyai Daha itu dijadikan
nama negara dan ia kemudian diberi nama Buta Locaya dan dijadikan
patih oleh Sang Prabu Jayabaya.

Buta itu artinya buteng atau bodoh, Lo itu artinya kamu, caya
artinya bisa dipercaya. Sehingga Kyai Buta Locaya itu artinya bodoh,
tetapi kawan yang setia dan patuh pada pimpinannya. Oleh karena itu
ia dijadikan patih. Yang pertama kali bergelar kyai adalah Kyai Daha
dan Kyai Daka. Kyai itu artinya mengayomi anak cucu dan orang-orang
yang berada di kanan-kirinya.

Sang raja lalu menuju ke rumah Kyai Daka. Di sana Sang Prabu
Jayabaya beserta seluruh pengikut dan pengawalnya disambut dengan
meriah, sehingga sang raja sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka
dijadikan nama desa dan selain itu ia diberi gelar Kyai Tunggulwulung
serta diangkat menjadi panglima perang.

Ketika Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu
Pagedhongan telah moksha, maka Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung
juga ikut moksha. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus
seluruh Jawa. Pusat kerajannya ada di laut selatan dan digelari Ni
Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan dan
daratan serta juga kanan kiri Tanah Jawa bersama-sama takluk pada Ni
Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale,
sedangkan Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut. Ia mengawasi dan
dan lahar agar supaya saat lahar keluar tidak merusak desa dan lain
sebagainya.

Waktu itu Kyai Buta Locaya sedang duduk di singgasananya yang
dialasi kasur permadani. Datang mengahadap patihnya bernama
Megamendhung dan dua putra tertuanya juga hadir. Yang lebih tua
bernama Panji Sektiguna dan adiknya bernama Sarilaut.

Buta Locaya sangat terkejut dengan laporan Nyai Plencing mengenai
tingkah polah Sunan Benang yang merusak tanah di utara Kediri. Ia
mengatakan bahwa Sunan Benang yang merusak itu orang dari Tuban yang
berkelana ke Kediri. Nyai Plencing mengisahkan penderitaan para
makhluk halus dan manusia.

Buta Locaya mendengar laporan Nyai Plencing itu menjadi sangat
marah. Wajahnya menjadi merah padam bagaikan api. Ia segera memanggil
anak-anaknya dan juga para makhluk halus jin serta peri. Ia mengajak
mereka melawan Sunan Benang. Para makhluk halus itu bersiap-siap
untuk perang. Mereka berjalan secepat angin, tidak berapa lama mereka
tiba di utara desa Kukum, di sana Buta Locaya beralih wujud menjadi
manusia yang bernama Kyai Sumbre. Ia kemudian berdiri di tengah
jalan, di bawah pohon sambi, menghadang perjalanan Sunan Benang dari
utara.

Tidak lama kemudian, Sunang Bonang datang dari arah utara. Ia sudah
mengetahui bahwa yang berdiri di bawah pohon itu rajanya makhluk
halus yang terlah bersiap-siap untuk menganggu dirinya. Dimana hal
itu diketahui dari hawa panas yang keluar dari makhluk halus
tersebut. Para makhluk halus yang berjumlah banyak tersebut bersama-
sama menyingkir jauh-jauh karena tidak tahan dengan hawa kekuatan
Sunan Bonang. Namun Sunan Bonang juga tidak tahan berada di dekat
Kyai Sumbre, karena kemanapun Sunan Bonang menyingkir, maka Kyai
Sumbre ada di tempat itu pula.

Dua orang sahabat Sunan Bonang pingsan, karena kedinginan. Mereka
tidak tahan terkena hawa kekuatan Kyai Sumbre.

Sunan Bonang menegur Kyai Sumbre, "Buta Locaya! Kamu menghadang
jalanku, serta menyamar sebagai Sumbre. Apa kamu cari mati?"

Buta Locaya terkejut bukan main, karena Sunan Bonang mengetahui
namanya, sehingga ia merasa ketahuan rahasianya. Lalu bertanyalah ia
pada Sunan Bonang, "Darimana Anda dapat mengetahui bahwa saya adalah
Buta Locaya?"

Sunan Bonang berkata, "Aku tidak tertipu, aku tahu bahwa engkau
adalah rajanya para makhluk halus di Kediri, namamu adalah Buta
Locaya."

Kyai Sumbre menjawab pada Sunan Bonang, "Anda itu orang mana, kok
tingkah lakunya tidak sopan, beda dengan adat istiadat Jawa. Seperti
belalang saja [loncat sini loncat sana."

Sunan Bonang berkata lagi, "Aku orang Arab, namaku adalah Sayid
Kramat, sedangkan rumah saya ada di Bonang, Tuban. Aku ke Kediri
karena ingin melihat peninggalan istana Sang Prabu Jayabaya. Istana
tersebut dulunya berada di mana?"

Buta Locaya menjawab, "Di sebelah timur itu, yakni di desa Menang,
semua peninggalan telah musnah, istana serta tempat pesanggrahan juga
telah tiada lagi. Istana dan taman istana Bagendhawati milik Ni Mas
Ratu Pagedhongan juga telah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga telah
sirna, yang tertinggal adalah nama desa itu. Semua itu musnah
tertimbun tanah pasir dan lahar dari gunung Kelut.

Sekarang saya hendak bertanya, Anda menyiksa anak cucu Adam,
mengucapkan sesuatu yang tidak patut diucapkan. [Mengutuk] orang
menjadi perawan dan perjaka tua, dan juga mengubah nama menjadi Kutha
Gedhah, memindah aliran sungai, dan selanjutnya mengutuk bahwa di
daerah ini akan susah air. Itu namanya tindakan yang tidak berguna,
menyiksa orang lain yang tak bersalah, menyebabkan susahnya kehidupan
orang lain. Lelaki susah menemukan jodohnya. Tindakan itu
bertentangan dengan titah dari Latawalhujwa. Semua itu berasal dari
kutukan Anda, begitu besarnya kesusahan orang yang kebanjiran. sungai
Kediri berubah alirannya dan menerjang desa, hutan, sawah, berapa
banyak yang rusak. Sedangkan di sini, Anda kutuk selamanya susah air,
sungainya surut. Anda itu hanya menyiksa orang lain yang tidak
bersalah."

Sunan Bonang berkata, "Tempat ini aku ganti namanya menjadi Kutha
Gedhah, karena orang di sini agamanya tidak hitam tidak putih,
tepatnya agama biru, yakni agama Kalang. Aku kutuk susah air, karena
saya minta air minum tidak boleh. Oleh karenanya, air sungainya saya
rubah alirannya. Semua yang berada di sini saya kutuk susah air. Saya
mengutuk agar orang di sini menjadi perawan dan perjaka tua, karena
tidak bersedia memberikan saya air minum, yaitu gadis perawan kurang
ajar itu."

Buta Locaya berkata lagi, "Itu namanya orang yang tanpa
pertimbangan. Kesalahan tidak seberapa, dan selain itu hanya satu
orang yang bersalah, tetapi Anda telah membuat susah orang banyak
sekali. Tidak sesuai dengan hukumannya. Anda itu namanya membuat
susah orang banyak. Seandainya diketahui yang memiliki negara, maka
Anda akan dihukum melarat sekali, karenanya merusak tanah. Sudah
begini saja, Anda tarik kembali kutukan Anda. Di sini menjadi
melimpah air kembali, sehingga bisa untuk bercocok tanah. Pria dan
wanita dapat kembali menikah pada usia mudah, sesuai dengan titah
dari Hyang Manon. Anda itu bukan Narendra (gelar Wisnu, mungkin yang
dimaksud Tuhan - penterjemah), tetapi kok datang-datang mengharubiru
agama. Itu namanya orang berengsek."

Sunan Bonang berkata, "Meskipun kamu laporkan Raja Majalengka saya
tidak takut."

Buta Locaya setelah mendengar bahwa Sunan Bonang tidak takut pada
Raja Majalengka menjadi makin marah, kata-katanya menjadi
keras, "Anda itu jelas sekali tidak mencerminkan seseorang yang
bijaksana dan berbudi luhur, melainkan lebih tepat lagi disebut
dengan gelandangan (bahasa asli apabila diterjemahkan secara harafiah
adalah orang yang tinggal dalam rumah bambu- penterjemah). Beraninya
hanya mengandalkan kesaktiannya. Bersikaplah rendah hati sehingga
dikasihi oleh Hyang Widdhi, dikasihi oleh sahabat, dan bukannya
bertindak semau-maunya sendiri dengan tidak melihat kesalahannya. Itu
namanya orang jahat yang tidak menimbang dulu permasalahannya. Di
tanah Jawa ini, khan banyak orang yang kesaktiannya melebihi Anda,
namun semuanya itu berbudi luhur dan tidak berusaha mengungguli para
dewa. Mereka sama sekali tidak menyiksa orang lain tanpa melihat
kesalahannya terlebih dahulu. Mengapa Anda meniru Aji Saka, muridnya
Ijajil?

Aji Saka menjadi raja tanah Jawa, tetapi tiga tahun kemudian pergi
meninggalkannya, sumber air yang ada di Medhang juga dibawanya pergi.
Aji Saka orang dari India, sedangkan Anda adalah orang Arab, karena
itu sama-sama tidak menghargai sesama manusia. Sama-sama membuat
sulit air. Anda itu mengaku-ngaku sebagai Sunan, khan seharusnya
berbudi luhur, menciptakan kebajikan bagi orang banyak, tetapi kok
malah tingkah lakunya seperti itu. Anda itu seperti iblis tingkah
lakunya. Tidak tahan digoda oleh anak kecil, lalu bangkit nafsu
angkara murkanya. Sunan macam apa itu?

Kalau memang Anda sudah Sunan secara lahir bathin, maka seharusnya
berbudi luhur. Anda menyiksa orang tanpa dosa, yaitu karena Anda
dihina. Sehingga dengan demikian setelah ini Anda pantas masuk neraka
jahanam. Kalau sudah mati, Anda akan tinggal di sana. Dimasukkan
kawah air panas yang asapnya melimpah-limpah. Saya ini termasuk
golongan makhluk halus, dan berbeda dengan kalian yang manusia.
Karenanya saya ini masih ingat dengan kesejahteraan umat manusia. Ya
sudah, apa yang sudah rusak saya minta untuk diperbaikik kembali.
Sungai yang surut dan tempat yang rusak diterjang banjir, saya minta
dikembalikan seperti asal mulanya. Jika Anda tidak bersedia
mengembalikannya, semua orang Jawa yang sudah masuk Islam akan saya
santet agar mati semua. Saya tentu juga akan minta bala bantuan dari
Ratu Ayu Anginangin di laut selatan."

Sunan Bonang setelah mendengar nasehat Buta Locaya jadi menyadari
kesalahannya karena telah menyebabkan kesengsaraan banyak orang, maka
berkatalah ia, "Buta Locaya, saya ini Sunan, tidak dapat menarik
kembali ucapanku yang sudah keluar, besok jika telah genap lima ratus
tahun, maka sungai ini kembali seperti semula."

Buta Locaya setelah mendengar penolakan Sunan Bonang menjadi marah
kembali, ia mengancam Sunan Bonang, "Harus dikembalikan sekarang
juga, jika tidak bisa, maka Anda saya tahan di sini."

Sunan Bonang berkata pada Buta Locaya, "Sudah, kamu tidak perlu
mengajari aku, aku pamit mau ke Magetan, buah sambi ini aku sebut
cacil, karena kok seperti anak kecil berkelahi. Makhluk halus dan
manusia berkelahi mengadu pengetahuan masalah rusaknya tanah, serta
kesengsaraan manusia dan makhluk halus. Saya akan minta pada Tuhan,
buah sambi akan menjadi dua warna, dagingnya menjadi masam, bijinya
agar keluar minyaknya. Asam itu menjadi lambang ulat masam, karena
makhluk halus bertengkar dengan manusia. Minyak artinya makhluk halus
menghalangi perginya manusia. Pada masa mendatang jadilah saksi kalau
saya bertengkar dengan kamu. Dan mulai saat ini, tempat ini yang
utara namanya desa Singkah, sedangkan yang di sini namanya Sumbre.
Sedangkan tempat berkumpulnya pasukanmu di bagian selatan namanya
dewa Kawanguran."

Setelah berkata demikian, Sunan Bonang lalu melompat ke timur
sungai. Hingga saat ini di Kutha Gedhah ada desa bernama Kawanguran,
Sumbre, dan Singkal. Kawanguran artinya pengetathuan. Singkah artinya
menemukan akal budi.

Buta Locaya mengikuti perginya Sunan Bonang. Sunan Bonang tiba di
desa Bogem, di sana ia melihat ada patung kuda yang berbadan satu
tetapi berkepala dua. Letaknya ada di bawah pohon trenggulun. Buah
trenggulun itu banyak sekali hingga menggunung tinggi. Sunan Bonang
lalu menghancurkan kepala patung kuda itu.

Setelah melihat Sunan Bonang menghancurkan kepala patung kuda, maka
bangkit kembali kemarahan Buta Locaya. Ia berkata, "Itu adalah
peninggalan sang Prabu Jayabaya, sebagai lambang tekadnya wanita
Jawa. Besok di jaman Nusa Srenggi, siapa saja yang melihat patung itu
akan sama-sama memahami tekad para wanita Jawa."

Sunan Bonang menjawab, "Kamu itu bangsa makhluk halus, kok berani
bertengkar dengan manusia. Itu namanya makhluk halus sombong."

Buta Locaya berkata, "Lalu kenapa memangnya? Anda Sunan, saya raja."

Sunan Bonang berkata, "Buah trenggulun ini aku namakan kenthos,
sehingga menjadi peringatan di masa mendatang kalau aku bertengkar
dengan makhluk halus sombong masalah rusaknya patung."

Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga sekarang, buah trenggulun namanya
kenthos, karena berasal dari sabda Sunan Bonang. Itu adalah
pemberitahuan dari guruku Raden Budi Sukardi."

Sunan Bonang lalu pergi ke arah utara. Pada saat itu telah waktunya
salat asar dan ia hendak menunaikan ibadah salat. Di luar desa itu
ada sumur, tetapi tidak ada ember untuk menimba air, karena itu Sunan
Bonang menggulingkan sumur itu sehingga ia bisa menggambil air dari
dalamnya.

Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga saat ini sumur itu disebut sumur
Gumuling. Sunan Bonang yang menggulingkannya. Itu katanya Raden Budi
guruku, entah benar entah tidak."

Setelah salat maka Sunan Bonang meneruskan perjalanannya, dan tiba
di desa Nyahen. Di sana ada patung raksasa wanita yang terletak di
bawah pohon dadap. Pada saat itu kebetulan pohon dadapnya sedang
banya bunganya dan banyak yang berjatuhan di kanan dan kirinya patung
raksasa itu sehingga nampak merah merona. Sunan Bonang melihat arca
yang tingginya 16 kaki dan lingkarnya 10 kaki. Apabila diangkat orang
800 juga masih belum terangkat. Bahu kanan patung tersebut
dihancurkan oleh Sunan Bonang dan selain itu dahinya juga dirusak.

Buta Locaya mengetahui tindakan Sunan Bonang merusak patung itu,
timbul amarahnya kembali, "Anda itu benar-benar orang brengsek.
Patung bagus-bagus kok dirusak tanpa sebab. Patung itu adalah
peninggalan Sang Prabu Jayabaya, lalu mengapa Anda rusak?"

Jawaban Sunan Bonang, "Arca ini saya rusak supaya jangan disembah-
sembah oleh orang banyak, supaya jangan dimantrai. Yang menyembah
patung itu namanya kafir. Lahir dan bathinnya tersesat."

Buta Locaya mengomel lagi, "Orang Jawa itu khan sudah tahu, bahwa
itu hanya sebuah arca batu, tidak punya daya apa-apa, tidak punya
kekuasaan apa, bukan Hyang Labawalhujwa, karena itu dimantrai dan
diberi sesajian, supaya para makhluk halus yang dulunya tinggal di
tanah atau kayu - karena tanah dan kayu itu dimanfaatkan bagi
manusia - maka para makhluk halus itu diberi tempat tinggal di dalam
arca. Anda itu tahu nggak sih?

Sudah wajar kalau para makhluk halus tinggal di gua dan patung.
Selain itu mereka makan bau harum. Makhluk halus itu apabila makan
bau harum, badannya terasa segar. Mereka betah tinggal di patung-
patung batu yang berada di tempat sepi atau yang berada di depan
pohon besar. Apakah Anda sudah pernah merasakan hidup di alam makhluk
halus yang berbeda dengan alam manusia? Mereka yang hidup di dalam
patung baru, Anda siksa, jadi karena itu Anda patut disebut orang
jahil. Orang yang gemar berbuat seenaknya sendirinya terhadap sesama
makhluk Tuhan. Lebih baik orang Jawa yang menghormati patung demi
menguntungkan para makhluk halus, dibandingkan dengan orang Arab yang
menyembah Ka'bah. Wujudnya juga tugu batu, sehingga seharusnya mereka
juga sesat."

Sunan Bonang menjawab, "Ka'bah itu ada karena jasanya Nabi Ibrahim,
di situ terletak pusatnya bumi. Dibangun tugu dan disembah orang
banyak. Siapa saja yang bersujud pada Ka'bah, Allah akan mengampuni
dosanya selama hidup di dunia."

Buta Locaya menjawab dengan marah, "Buktinya apa kalau mereka
beroleh pengampunan dosa dari Tuhan, memperoleh pengampunan dari
semua kesalahan. Apakah sudah memperoleh tanda tangan dan cap dari
Tuhan?"

Sunan Bonang berkata lagi, "Itu semua disebut dalam kitabku. Besok
kalau meninggal akan beroleh kemuliaan."

Buta Locaya menjawab dengan tidak senang hati, "Ketahuilah,
kemuliaan yang ada di dunia ini sudah ternoda, orang tersesat
menyembah tugu batu, ketika mereka sudah melakukan kejahatan. Di
Gunung Kelut banyak batu besar-besar hasil ciptaan Tuhan, kesemuanya
itu terwujud berdasarkan Sabda Allah, itulah yang sesungguhnya lebih
pantas disembah. Berdasarkan izin Yang Maha Kuasa, seluruh umat
manusia harus mengetahui mengenai Ka'bah sejati, tubuh manusia itulah
Ka'bah sejati. Sejati karena ciptaannya Yang Maha Kuasa. Inilah yang
harus diperhatikan. Siapa yang sadar akan asal usulnya, mengetahui
akal budinya, yaitu yang sanggup dijadikan suri tauladan.

Meskipun siang dan malam menjalankan salat, tetapi apabila
pikirannya gelap, pengetahuannya amburadul, menyembah tugu batu yang
dibuat nabi. Nabi itu khan juga manusia kekasih Allah, diberi wahyu
sehingga menjadi pandai dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
Sedangkan yang membangun arca batu itu adalah Prabu Jayabaya, yang
juga merupakan kekasih Allah. Ia juga menerima wahyu mulia, juga
banyak pengetahuannya dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
Anda berpedoman pada kitab, sedangkan orang Jawa berpedoman pada
sastra kuno, petuah dari leluhur sendiri. Lebih baik mempercayai
sastra kuno dari leluhur sendiri yang peningggalannya masih dapat
disaksikan. Orang mempercayai kitab Arab, padahal belum tahu keadaan
di sana, entah benar entah salahnya, hanya percaya perkataannya para
penipu.

Anda menjual kemuliaannya negeri Mekah. Padahal saya tahu seperti
apa sebenarnya Mekah. Tanahnya panas, susah air, tanaman tidak bisa
tubuh, serta jarang hujan. Orang yang sanggup bernalar akan menyebut
Mekah itu negeri celaka. Malah banyak orang yang diperjual-belikan
sebagai budak. Anda itu orang durhaka. Saya minta untuk pergi dari
sini, negeri Jawa yang suci dan mulia, cukup hujan dan air, apa yang
ditanam dapat tumbuh, yang pria tampan, yang wanita cantik. Bicaranya
juga luwes. Kalau Anda bicara masalah pusatnya jagad, maka tempat
yang saya duduki inilah yang merupakan pusat jagad. Silakan Anda
ukur, bila salah pukullah saya.

Anda itu seperti orang tidak waras, pertanda kurang nalar, kurang
memakan pengetahuan akal budi, senang menyiksa orang lain. Yang
membuat arca itu Maha Prabu Jayabaya, yang kesaktiannya melebihi
Anda. Anda apa sanggup mengetahui apa yang akan terjadi? Sudahlah,
saya minta Anda pergi saja dar sini. Jika tidak mau pergi dari sini,
maka akan saya panggilkan adik saya dari Gunung Kelut. Anda saya
keroyok apa bisa menang? Lalu akan saya bawa ke dalam kawah Gunung
Kelut. Apakah Anda tidak sengsara? Apakah Anda ingin berdiam dalam
batu seperti saya? Kalau mau silakan datang ke Selabale, jadi murid
saya!"

Sunan Bonang berkata, "Saya tidak mau mengikuti perkataanmu, wahai
setan iblis."

Buta Locaya menjawab, "Meskipun saya makhluk halus, tetapi raja
makhluk halus. Mulia dan abadi selamatnya. Anda belum tentu mulia
seperti saya. Niat Anda buruk, gemar menyiksa orang lain. Oleh karena
itu Anda datang ke tanah Jawa. Di Arab Anda tergolong orang hina.
Jika Anda orang mulia maka tidak akan pergi meninggalkan Arab, karena
salah maka melarikan diri dari sana. Buktinya di sni membuat onar,
menghina adat istiadat orang lain, menghina agama, merusak barang
yang bagus, mengharubiru agama leluhur kuno. Raja wajib menyiksa dan
membuang Anda."

Sunan Bonang berkata, "Pohon dadap ini bunganya aku beri nama
celung, buahnya kledhung, karena aku kalah nalar dan kalah
pembicaraan. Jadilah saksi bila aku bertengkar dengan raja makhluk
halus dan kalah pengetahuan serta nalar."

Oleh karena itu hingga sekarang, buah dadap, namanya kledhung,
bunganya dinamakan celung.

Sunan Bonang lalu berpamitan, "Sudah saya akan pulang ke Bonang."

Buta Locaya menjawab dengan marah, "Ya sudah, pergilah cepat-cepat.
Di sini membuat susah saja. Makin lama makin membuat susah saja.
Membuat susah air, menyebabkan kekeringan." Sunan Bonang meninggalkan
tempat itu dan Buta Locaya beserta pasukannya juga pulang
meninggalkan tempat itu.

Tak Setuju Serbu Majapahit, Syech Siti Jenar Dibunuh

Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang adanya
surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi
kerusakan di wilaya itu akibat ulah Sunan Bonang.
Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya.

Setelah tiba, Sang Patih melaporkan semua yang telah terjadi.
Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu
kemana.

Berikut babak lanjutan dari Serat Darmogandhul.

Saking murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di
Pulau Jawa pergi.
Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan
meyebarkan agama Islam.
Apabila menolak akan dibunuh.

Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Patihnya, karena ulama Giripura
telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan
kerajaan sendiri.
Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu.
Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.

Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang
mengajak Sunan Giri ke Demak.
Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak dan mengajak menyerbu
ke Majalengka.

Kata Sunan Bonang,
" Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur
103 tahun.
Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja.
Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.

Jangan sampai ketahuan.
Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang.
Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya."

Provokasi

Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti
saran Sunan Bonang.

" Saya takut merusak negeri Majalengka.
Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagian
dan kebaikan di dunia.
Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski
beragama Budha atau pun kafir."

Mendengan jawaban demikian, Sunan Bonang berkata,
" Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir.
Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.

Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar.
Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading.
Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang
dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam.

Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang.
Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam.
Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.

Tuhan masih cinta kepadamu.
Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu.
Buktinya, kamu diberi nama Babah.

Babah itu artinya tidak baik.
Hidup hanya untuk mati.
Benih Jawa yang dibawa Putri Cina.

Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan
raksasa.
Itu memutus cinta namanya.
Ayahmu tetap berhati tidak baik.

Karena itu, balaslah dengan halus.
Pokoknya jangan kelihatan.
Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya."

Kemudian, Sunan Giri menyambung,
" Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku
tidak menghadap ke Majalengka.
Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
anjing.

Banyak orang Cina yang datang ke Jawa.
Di Giri banyak yang ku-Islamkan.
Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan
surga.

Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu.
Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka
berzikir.
Katanya, sakit ayan pagi dan sore.
Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini."

Jawab sang Adipati Demak,
" Ayahanda memburu tuan itu betul.
Karena tuan Sunan mendirikan kraton.
Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih
berkuasa.
Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak
meyadari makan minum di Pulau Jawa."

Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
"Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi.
Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan
kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua.
Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging.

Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja.
Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga.
Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir.
Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu
sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan
menghilangkan agama Budha."

Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan
mau merusak Majalengka.
Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena
kafir.

Syech Siti Jenar Dibunuh

Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara
datang semua ke Demak.
Berkumpul untuk mendirikan masjid.
Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru didirikan.
Usai sembahyang pintu masjid ditutup.

Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak
akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit.
Bila semua setuju akan segera dimulai.
Semua sunsn dan bupati setuju.

Hanya Syech Siti Jenar yang tidak.
Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar.
Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa
bergelar Senapai Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama Patih
Mangkurat.

Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang
berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati.
Berjalan berarakan seprti Grebeg Maulud.
Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung,
para sunan dan para ulama.

Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia.
Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan.
Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.

Terjadi Peperangan

Alkisah, sepulang dari Giri sang Patih melaporkan hasil penaklukan terhadap
Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena.
Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang.
Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang
berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.

Dalam berperang mereka lincah seperti belalang.
Sementara pasukan Majapahit menembaki.
Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima
peluru.

Senapati Setyasena menemui ajal.

Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung.
Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan
Majapahit.
Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri
ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.

Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu
Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah
Kertosono.
Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat
melawan dengan perang.

Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
dikirim ke Demak.
Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat
terkenal dengan Menak Tanjangpura ) mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah
Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.

Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam
mendukung.
Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar
Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi
Surya Alam di Bintoro.

Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah
kepada Patih cara menghadap kepada raja.
Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan
wuku Prabangkat.
Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.

(bersambung)

DARMAGANDHUL (2)


Darmagandhul (2)

Darmagandhul (2)



Lanjutan...


Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja.
Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat
itu.

Mendengan laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut.
Diam membisu, lama tak berkata.
Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki
kemauan seperti itu
Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.

Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka.
Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin.
Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.

Pikiran sang raja sangat gelap.
Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi
hutan.

Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
para ulama serta bupati tega melawan Majapahit.
Patih pun menjawab tak mengerti.
Ki Patih juga heren, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi
kebaikan membalas dengan kejahatan.

Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya
sendiri.
Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah
terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyeberkan
agama Islam.
Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Islam.

" Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba.
Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi orang-orang
kucir, karena tak tahu kebaikan.
Kuberi kebaikan membalas dengan kejahatan."

Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad.
Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi.
Terkenal sampai sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.

Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang
Prabu meminta pertimbangan dari Patih.
Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara
peperangan.
Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Raja
telah lanjut usia.

Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja.
Jangan sampai merusak bala pasukan.
Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra
yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.

Setelah memerintahkan demikian, sang prabu meloloskan diri pergi ke Bali
diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong.
Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana.
Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.

Adipati Pengging dan Ponorogo

Sang Patih diperintahkan untuk memanggil adipati Pengging dan Adipati Ponorogo, karena putranya Raden Gugur di Majapahit masih kecil, belum saatnya maju perang. Setelah memberi perintah demikian, Sang Prabu kemudian pamit hendak mengungsi ke Bali. Ia diiringkan dua abdi terkasih, Sabdapalon dan Nayagenggong.

Ketika Sang Prabu memberi perintah demikian, wadyabala Demak sudah membuat abrisan mengepung negara, maka terburu-buru perjalanannya. Wadya Demak kemudian perang dengan pasukan Majapahit. Para Sunan sendiri yang memimpin peperangan. Patih Majapahit mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati Nayaka Majapahit delapan orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai. Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu. Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu, prajuritnya banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka yang mengamuk semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti mati tegelempang. Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah peperangan, bertanding dengan Sunan Kudus. Ketika sedang ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk. Ia menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.

Patih Majapahit tidak mempan senjata apapun, seperti tugu baja, tidak ada senjata yang bisa menggores tubuhnya, siapa pun yang diterjang bubar berlarian, yang menghadang terjungkal mampus. Bangkai manusia tumpang tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan. Jatuhnya peluru seperti hujan jatuh di batu watu. Sunan Ngundung menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung balas ditombak, tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan Majapahit lama-lama habis. Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya Patih Majapahit gugur. Tetapi kuwedane musnah dan meninggalkan suara, “Ingat-ingat orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas kejahatan, tega merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan pembunuhan. Kelak kubalas, kuajari kalian benar salah, kutiup kepala kalian, kucukur rambut kalian bersih-bersih.”

Setewasnya Patih Majapahit, para Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu sudah tidak ada, yang ada hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri diajak menyingkir ke Bonang. Para prajurit Demak kemudian masuk ke istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang kampung tidak ada yang berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam istana, membakari semua buku-buku ajaran Buddha. Orang-orang di sekeliling istana bubar, beteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke gunung dan hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan orang Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu Pangrasa.

Pesantren Ampelgading Kabupaten Terung

Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an. Sebagian pasukan dan para Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jambuningrat sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati berganti-ganti menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun. Beliau meminta restu, agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong.

Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”

Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”

Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi raja memangku tanah Jawa dan semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para Sunan. Mengapa negara majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.

Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.

Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buddha. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi.

Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu bukan patokanmu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?

Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku lihat?”

Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja koq dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok diturut perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam maerah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu nanti tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”

Nyai Ageng Ampel

Nyai Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan, sampa iia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.

Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmara dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.

Nyai Ageng Ampel masih meneruskan gejolak amarahnya, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”

Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabil tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.

Prabu Jimbun kembali ke Demak

Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah. Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buddha sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang. Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Suanan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya.

Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta (pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.

Mendengar hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa (sedikit,red) menyesal dan bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Tetapi (karena gengsi dan sudah kepalang tanggung,red.) rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patih, karena tidak mau pindah agama Islam. Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita itu pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan.

Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.

Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa.

Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.



Redaksi: Kisah selanjutnya menceritakan mengenai Sunan Kalijaga yang diutus Prabu Jimbun mencari ayahnya dan membujuknya dengan cara baik-baik, mungkin dengan pertimbangan bahwa ayahnya masih memiliki kekuatan, yaitu kedua anak lainnya Adipati Ponorogo dan Adipati Penging masih berkuasa di wilayahnya masing-masing dan kalau sampai Prabu Brawijaya berhasil sampai ke Bali, maka ia dapat meminta bantuan raja Bali untuk menyerang balik. Dari sumber lain, ditemukan Sunan Kalijaga adalah seorang petapa yang sering bertapa di sekitar sungai-sungai, dan mempunyai perangai yang halus. Secara pribadi redaksi berpendapat bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang NEGOSIATOR JUARA DUNIA!!!

Ganti yang diceritakan, perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari Prabu Brawijaya, hanya diiringkan dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.

Sunan Kalijaga sang negosiator ulung

Perjalanan Prabu Brawijaya sampailah di Blambangan, Kaena merasa lelah kemudian berhenti di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid! Kamu datang ada apa? Apa perlunya mengikuti aku?”

Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu. Beliau memohon ampul atas kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri, disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah. Adapun ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak, tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya. Karena itu ptra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena itulah hambah yang lemah ini diutus yntuk mencari dimana Paduka berada. Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di bumi. Jika Paduka berkenan pulang, putra Paduka akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati. Itu pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana, menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton d tanah Jawa, diminta dengan tulus.”

Sang Prabu Brawijaya bersabda, “Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyng buntut! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!”

Setelah mendengar bersabda Sag Prabu demikian, Sunan Kalijaga meraasa sangat bersalah karena telah ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Namun yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut, “Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena semua telah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke mana?”

Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya. Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja. Aku juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan meninggalkan tata cara yang mulia.”

Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugerah, Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang Islam tertumpas dalam peperangan.”

Akhirnya Sunan Kalijaga berkata pelan, “Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi perang besar. Apakah tidak sayang Negeri Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka, kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka. Jika terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang berkelahi terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya.”

“Ini semua kehendak Dewata Yang Maha Lebih. Aku ini raja binatara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang para leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja, menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti?”

Mendengar kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu.

Sang Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan air mata. Berat sabdanya, “Sahid! Duduklah dahulu. Kupikirkan baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya, karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si patah menghadap kepadaku, bencinya tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok dengan ilalang kering.”

Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air.” Sunan Kalijaga memendam senyum (kemenangan,red ) dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”

PERDEBATAN TEOLOGIS PRABU BRAWIJAYA

Sang Prabu berkata, “Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan “ Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “

Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, “Manusia yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab. Badan manusia itu bayangan Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian.”

Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabil hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.

Perdebatan dengan Sabdapalon dan Nayageggong

Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, “Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”

Sabdapalon berkata dengan sedih (shock berat), “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha, Baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Jawa artinya tahu. Mau menerima berarti Jawan. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka kelak,” Kata Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan.

Redaksi: Menurut ajaran Buddha mengenal adanya reinkarnasi, jadi Sabdapalon ini telah berkali-kali bereinkarnasi dan selalu menjadi seorang patih di tanah Jawa. Bandingkan dengan reinkarnasi dari para Lama di Tibet

Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata, karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal: (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi.

Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”

Sabdopalon berkata dengan sedih (putus asa), “Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makaman kubur, kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang. Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa. Ruh idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi. Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang Ibrahm, arthinya kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kurubran rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya. Orang tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja. Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya. Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!”

Prabu berkata “Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur”.

Sabdapalon bertutur “Itu pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia.”

Sang Prabu menjawab, “Ciptaku menempel pada orang yang lebih.”

Sabdopalon berkata, “Itu manusia tersesat,seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada awal mulanya lagi.”

Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku melum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak.”

“Itu matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.”

Sang Prabu, “Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.”

Sabdopalon menyambung, “Itulah matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”

Sang Prabu berkata, “Aku akan muksa dengan ragaku.”

Sabdopalon tersenyum, “Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan demit.”

Sang Prabu, “Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”

Sabdopalon, “Paduka meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai manusia. Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati.”

Sang Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”

Sabdopalon berkata, “Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam bear. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat? Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya anusia sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.

Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging, sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata. Jika akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah dipaksa.

Paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjenga Nabi Musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat. Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup. Orang yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang baik, melebihi yang sudah tua.Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang berasal dari ruh idhafi.

Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.

Awal mula Kiblat empat

Awal mula kiblat empat, yaitu timur (Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara (Lor) adalah demikian. Wetan artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya bapa kelonan; kidul artinya istri didudul di tengah perutnya; lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah selesai. Artinya pur: jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari ibunya, bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia, berupa cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.

Raga itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu tadi, yang menunjukkan tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah, manusia rebah. Maka harus bertujua, senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.

Jika pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik dari yang lama. Raga manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya sudah hancur. Jika suksma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskupun suksma manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk, meskupun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.

Ketika Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta menjadi manusia. Maka bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan menyebut jituok artinya hanya puji tok.
Dewa yang membuat cahaya bersinar meliputi badan. Cahya artinya incengan aneng cengelmu. Jiling itu puji eling kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan artinya salang. Pundak itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip. Ula-ula, ulatana, laleren gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup mati.

Lempeng kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan buruk. Mata artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu. Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu bunyi serat tadi. Jika Paduka mencela, siapa yang membuat raga? Siapa yang memberi nama? Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya kepada takdirGusti, dan murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur, kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.

Tuhan yang Sejati

Jika Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri. Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.”

Sang Prabu bertanya, “Di mana Tuhan yang Sejati?”
Sabdopalon berkata, “ Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini.”

“Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” tanya Prabu
Sabdopalon berkata dengan sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”

“Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buda lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit.”

“Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”

Sunan Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia. Ia akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buda.

Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber baunya wangi.

Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu, “Itu kesaktian apa? Kesaktian kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri. Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba menyesal telah mengasuh Paduka. Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi, Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba, Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa keudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang membuat bumi dan langit. Apa cacadnya agama Buda, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti.
Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama. Besok apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Buda lagi, dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buda.”


(bersambung)


Darmagandhul (3)

Darmaghandul (3)

Darmaghandul (3)


Lanjutan...

Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha, Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.

Sabdapalon berkata sambil meludah, “Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak.” Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.

“Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.”

Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.

Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang; red: bandingkan pencapaian kedua orang ini dengan kisah para arahat pada jaman Sakyamuni Buddha)

Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,”Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”

Prabalingga karo Bangerwarih

Sunan Kalijaga kemudian diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya hilang, besok, orang Jawa akan meninggalkan agama Islam kembali ke agama Kawruh. Sunan Kalijaga kemudian membuat dua buah tabung bambu, yang satu diisi air tawar, satunya diisi air sumber. Air sumber tadi untuk pertanda, jika bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan kembali ke agama Kawruh. Tabung setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan dan dibawa dua orang sahabatnya.

Prabu Brawiaya kemudian pergi, diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang sahabatnya. Malam harinya istirahat di Sumberwaru. Esok harinya tabung itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian segera melanjutkan perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai di Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana. Pagi harinya air dicium masih wangi. Sang Prabu kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Sesudah matahari tenggelam mereka telah sampai di Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana. Esok harinya tabung air dicium masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan sampai matahari tenggelam.

Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat semalam. Esok paginya air itu dilihat lagi. Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa harum. Tetapi tinggal sedikit, karena kerap diminum di jalan. Sedangkan air sumber setelah dicium baunya menjadi bacin (=busuk), lalu dibuang. Sang Prabu kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Prabalingga di besuk namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih. Di sini besok menjadi tempat untuk perkumpulan orang-orang yang mencari pengetahuan kepintaran dan kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa tertutup dengan perbawa tetangga.”

Sang Prabu kemudian segera meneruskan perjalanan, agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis bercucuran air mata. Sang Prabu kemudian berkata,” Jangan menangis, sudahlah semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua peristiwa ini sudah ditulis dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan ditolak. Sudah kewajiban orang hidup sabar dan menerima.”

Nyai Ageng Ampel kemudian berkata kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang sudah diceritakan di depan. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil Prabu Jimbun. Nyai Ampel mengutus santri ke Demak dengan membawa surat. Sesampai di Demak, surat disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun. Tidak lama kemudian Prabu Jimbun berangkat menghadap ke Ampel.

Putra raja Majapahit, yang bernama Raden Bondan Kejawan di Tarub, mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak, malah Sang Prabu meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana larinya. Merasa tidak enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit. Raden Bondan Kejawan menyamar untuk mencari berita dimana ayahandanya. Sesampai di Surabaya ia mendengar berita bahwa Sang Prabu ada di Ampel, tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan kemudian menghaturkan sembah bhakti.

Sang Prabu bertanya, “Siapa yang menyembah ini?”

Raden Bondan Kejawan berkata, “Hamba putra Paduka, Bondhan Kejawan.” Sang Prabu kemudian merangkul putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah. Beliau merasa sudah akan pulang kepada jaman kelanggengan. Kata beliau kepada Sunan Kalijaga demikian, “Sahid, mendekatlah kemari, aku sudah akan kembali ke jaman kelanggengan, buatlah surat ke Penging dan Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku sudah terima hancurnya Majalengka. Jangan ada perang berebut tahtaku, semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci, jangan ada perang, karena hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat dan kerusakan tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai perang setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah.”

Kembali ke Alam Kalanggengan

Sunan Kalijaga kemudian menulis surat. Setelah selesai kemudian ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian diberikan kepada Adipati Pengging dan Ponorogo.

Sang Prabu kemudian berkata, “Sahid, setelah aku tidak ada, pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku. Aku titip anak kecil ini. Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya, besok anak ini yang bisa menurunkan bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke alam kalanggengan, kuburkan aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun kuburanku kuberi nama Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ Raja Putri Cempa. Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin dengan lain bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain.”

Sunan Kalijaga kemudian menjawab, “Apakah Sang Prabu tidak memberi izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?”

Sang Prabu berkata, “Ya, kuberi izin, tetapi hanya berhenti tiga keturunan.” Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa artinya nama kuburan Sang Prabu.

“Sastra artinya tulisan, wulan artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya seperti cahaya rembulan. Apabila masih kemilau cahaya rembulan, nanti orang Jawa ingat Jawa bahwa kematianku sudah memeluk agama Islam. Maka kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan oleh si Patah, serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti ini. Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan, Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia tega kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan kawin dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang lain bangsa tadi bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku memberi wasiat jangan mengangkat panglima perang orang yang lain bangsa. Karena akan menginjak Gustinya, dalam berperang mendua hati. Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah.”

Sang Prabu setelah bersabda demikian ,tangannya kemudian bersedekap, terus wafat. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.

Sampai sekarang terkenal bahwa yang dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa. Adapun sebenarnya Putri Cempa itu wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di Karang Kemuning. Setelah tiga hari wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan Sultan Bintara(= Raden Patah) baru datang di Ampelgading dan bertemu Nyai Ageng Ampel.

Nyai Ageng berkata, “Celaka kamu Jimbun, tidak melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem serta minta izin olehnya menjadi raja, serta minta ampunan semua kesalahan yang sudah terjadi.”

Prabu Jimbun berkata kepada Nyai Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir. Barang yang sudah terlanjur hanya bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel tiga hari dan kemudian pulang kembali ke Demak.
Diceritakan Adipati Pengging dan Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di Pengging dan Raden Batara Katong, sudah mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan menyamar menghadap kepada Sang Prabu waktu Hari Raya. Adapun Prabu Brawijaya dan putra Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan tidak ketahuan besembunyi dimana. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo sangat marah. Keduanya kemudian menyiapkan sebuah pasukan hendak menyerang Demak, membela ayah merebut tahta. Para prajurit sudah siap senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat. Tiba-tiba datang utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat. Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti api, dan kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri, mudah-mudahan jangan hidup lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak mau menghadap ke Demak, karena gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.

Sekalaning Majapahit

Adapun menurut pendapat yang lain, matinya Adipati Pengging dan Ponorogo karena ditenung oleh Sunan Giri, agar jangan mengganggu di belakang hari. Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu disembunyikan, tidak seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya. Semua itu untuk menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya. Apabila dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh para pujangga bijaksana menjadi demikian:
“Karena Karomah para wali, keris Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang menyengati orang Majapahit. Mahkota Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan pelana kuda prajurit Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus.”
“Peti dari Palembang ada di tengah perang dibuka keluar demit-nya, orang Majapahit geger karena ditenung demit. Sang Prabu Brawijaya wafat mikraj.”

Kemudian Kyai Kalamwadi bertutur kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, “Namun semua tadi hanya pasemon(=kiasan). Adapun kenyataannya, cerita hancurnya Majapahit itu seperti yang kuceritakan tadi. Negara Majapahit itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak karena digerogoti tikus? Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan angker banyak demitnya. Bubarnya demit apabila hitannya dirusak oleh manusia untuk dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon, dan demit, SIAPA YANG PERCAYA?

Apabila orang percaya Majapahit hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu artinya orang tadi tidak tajam pikirannya. Cerita yang demikian tadi ANEH DAN TIDAK MASUK AKAL. Tidak cocok lahir batin. Maka hanya untuk pasemon (= kiasan). Apabila diterangkan dengan jelas maka artinya membuka rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar orang berpikir sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
Tikus itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan berkembang biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas merusak.
Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang. Adapun tala artinya mentala ‘tega’ meusak Majapahit, siapa yang mendengar pasti marah.

Adapun demit diberi wadahi peti dari Palembang, setelah dibuka berbunyi menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang, yaitu ganti agama. Peti artinya wadah yang tertutup untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit itu juga TUKANG SANTET.
Adapun jelasnya demikian, Hancurnya Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada tantangan apa-apa, menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg. Mereka dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung sudah membantu Adipati Demak.

Sejak Jaman Kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogoti tikus saja, bubarnya orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancuran tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak. Mereka semua memberontak dengan licik.

Keajaiban Alam

Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi, “Guruku Raden Budi Sukardi meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul itu belum ada yang memakai kuncir. Setelah negara pindah ke Demak, keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada burung kuntul memakai kuncir. Prabu Brawijaya disindir, Kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir.

Kebo artinya kerbau, yakni raja kaya, Kombang artinya diam tapi suaranya riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir ketika Majapahit hancur. Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan dengan perang. Adapun tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman ‘terbiasa’, babi hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika sampai di Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi pangkat, artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak habis pikir.

Adapun kuntul memakai kuncir itu pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada Sang Prabu, karena agamanya Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti Allah memberi pasemon gitok kuntul kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu, ibumu putri Cina, tidak boleh menghina kepada orang lain beragama. Sang Prabu Jimbun itu berasal dari tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu Jimbun besar hati menginginkan tahta raja, ingin cepat kaya sesuai sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari sifat Sang Arya Damar, karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum darah, sifatnya sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak Allah, tidak hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui kesalahannya, tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui kesalahannya, dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki membalas kejahatan.
Adapun adanya orang Cina datang di tanah Jawa itu dongengnya demikian, Pada jaman kuno, ketika santri Jawa belum banyak pengetahuannya, setelah mati sukmanya terbawa angin kemudian tumbuh di tanah Cina, maka sekarang kembali ke tanah Jawa menjadi sukmanya orang Cina tadi. Jadi mereka itu tadinya banyak yang sukma Jawa.

( .... isi serat selanjutnya (wejangan Ki Kalamwadi untuk perumah tangga, penjelasan kitab manik Maya, sedikit kisah kediri ) sudah tidak ada hubungannya dengan kisah majapahit.

Darmagandhul matur: “kiyai! Kang diarani agama Srani iku kang kaya apa?”
Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake: “Kang diarani agama Srani iku têgêse sranane ngabêkti: têmên-têmên ngabêkti marang Pangeran, ora nganggo nêmbah brahala, mung nêmbah marang Allah, mula sêbutane Gusti Kanjêng Nabi ‘Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, mangkono kang kasêbut ing kitab Anbiya”.
Banjure pangandikane kiyai Kalamwadi.
Sultan Dêmak waskitha ing gaib, rumaos kadukan dening Kang Maha Kuwasa, mula banjur ngrumaosi kabeh kaluputane, nuli sowan andêdagan ana ing pasareyane ingkang rama, barêng wis antara têlung dina lawase, kaprênah pusêring kuburan tanpa sangkan thukul wit-witan warna papat, siji warnane irêng sêmu abang dalah godhong sarta kêmbange, loro wit sarta kêmbange putih godhonge sêdhêngan, têlu wit kang godhonge ngrêmbuyut mubêng kaya payung, papat wit kang godhonge lêmbut sarta mawa êri, lan wêktu iku sajroning pasareyane Sang Prabu kêprungu ana swara dumêling, mangkene ujaring swara: “Êntek katrêsnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah digêtak kaya kucing, sanajan matiya ing tata-kalairane, nanging lah eling-elingên ing besuk, yen wis agama kawruh, ing têmbe bakal tak-walês, tak-ajar wêruh ing nalar bênêr lan luput, pranatane mêngku praja, mangan babi kaya dhek jaman Majapahit.”
Sultan Dêmak mirêng swara dumêling kang surasane mangkono iku, ing batos bangêt kaduwung marang apa kang wis dilampahi, mula nganti suwe njêgrêg ora bisa ngandika, ngrumaosi klirune dene nuruti rêmbuge para Sunan kabeh, nganti wani mungsuh ingkang rama sarta ngrusak Majapahit. Iya wiwit titi masa iku anane wit-witan warna papat kang padha thukul ana ing kuburan, dadi pasêmon kabeh, iya iku Tlasih, Sêmboja, Turugajah lan Gêtakkucing. Mula nganti tumêka saprene wit Sêmboja panggonane ana ing kuburan, kêmbang Tlasih kanggo ngirim para lêluhur, godonge Gêtakkucing yen kasenggol banjur obah, godhonge uga banjur mingkup kaya dene godhong Gêtakkucing.
Sawise mangkono, Sultan Dêmak banjur kondur, sakondure saka pasareyane ingkang rama, bangêt panalangsane ing dalêm batos, tansah ngrumaosi ing kalêpatane.
Sunan Kalijaga uga waskitha ing gaib yen sinêmonan dening Kang Maha Kuwasa, mula uga bangêt panalangsane sarta ngrumaosi kaluputane, mula banjur mangagêm sarwa wulung, beda karo para Wali liyane isih padha manganggo sarwa putih. Kabeh mau ora padha ngrumasani kaluputane, mung Sunan Kalijaga piyambak rumaos yen kadukan dening Kang Maha Kuwasa, mula bangêt mrêtobate, wasana banjur pinaringan pangapura dening Allah, sinêmonan wiwit anane orong-orong githoke tumêka ing punuk disêsêli tataling kayu jati, mungguh karêpe: punukmu panakna, sajatining ‘ilmu iku ora susah maguru marang wong ‘Arab, ‘ilmuning Gusti Allah wis ana ing githokmu dhewe-dhewe,wujude puji thok, nanging dudu puji jatining kawruh, kang ngawruhi sajatining urip, urip dadi wayangan Dzating Pangeran, manusa bisa apa, mobah mosik mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake, sabda iku mêtu saka ing karêp, karêp mêtu saka ing budi, budi iku Dzate Kang Maha Agung, agung iku wis samêkta, tanpa kurang tan wuwuh, tanpa luwih sarta ora arah ora ênggon.
Kiyai kalamwadi nutugake caritane: “Kandhane guruku Rahaden Budi Sukardi mangkene: mungguh kang katarima, muji marang Allah iku, iku sindhenan Dharudhêmble. Têmbung dhar iku têgêse wudhar, ru iku têgêse ruwêt sulit lan rungsit, dene dhêmble têgêse dhêmbel dadi siji, yen wis sumurup têpunge sarat sari’at tarekat hakekat lan ma’rifat, iku mau wis muji tanpa ngucap, sarak iku sarate ngaurip, iya iku nampik milih iktiyar lan manggaota, sari’at iku saringane kawruh agal alus, tarekat iku kang nimbang lan nandhing bênêr lan luput, hakekat iku wujud, wujud karsaning Allah, kang ngobahake sarta ngosikake rasane budi, wêruh ora kasamaran ing sawiji-wiji. Yen kowe wis ngrêti marang têgêse Dharudhêmble, mêsthi wis marêm marang kawruhmu dhewe. Mangan woh kawruh lan budi, sêmbahe kaya wêsi kang dilabuh ana ing gêni ilang abange mung rupa siji, kang muji lan kang dipuji wis nunggal dadi sawiji, dhêmble wujud siji. Yen kowe wis bisangawruhi surasane kang tak-kandhakake iki, jênênge munajad. Saupama wong nulup manuk, yen ra wêruh prênahe manuke, masa kênaa, ênggone nulup mung ngawur. Yen kawruhe wong pintêr ora angel yen disawang, mêtune saka ing utêk”.
Darmagandhul matur, nyuwun ditêrangake bab ênggone Nabi Adam lan Babu Kawa padha kêsiku dening Pangeran, sabab saka ênggone padha dhahar wohe kayu Kawruh kang ditandur ana satêngahing taman Pirdus. Ana maneh kitab kang nêrangake, kang didhahar Nabi Adam lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun têrange, yen ing kitab Jawa caritane kapriye, kang nyêbutake kok mung kitab ‘Arab lan kitabe wong Srani.
Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kitabe wong Jawa ora nyêbutake bab mangkono iku, dene Sajarah Jawa iya ana kang nyêbutake turun Adam, iya kitab Manik Maya.
Kiyai Kalamwadi banjur ngandhakake: “Sawise buku-buku pathokan agama Buddha diobongi, amarga mundhak ngrêribêdi agama Rasul, sanadyan buku kang padha disimpêni dening para wadya, iya dipundhut banjur diobongi, nalika sabêdhahe Majapahit, sapa kang durung gêlêm nganggo agama Islam banjur dijarah rajah, mula wong-wong ing kono padha wêdi marang wisesaning Ratu. Dene wong-wong kang wis padha gêlêm salin agama Rasul, banjur padha diganjar pangkat utawa bumi sarta ora padha nyangga pajêg, mulane wong-wong ing Majapahit banjur padha ngrasuk agama Islam, amarga padha melik ganjaran. Ing wêktu iku Sunan Kalijaga, kagungan panggalih, caritane lêluhure supaya aja nganti pêdhot, banjur iyasa wayang, kanggo gantine kitab-kitab kuna kang wis padha diobongi. Ratu Mataram uga mangun carita sajarahe para lêluhur Jawa, buku-buku sakarine, kang isih padha disimpên uga padha dipundhut kabeh, nanging wis padha amoh, Sang Nata ing Mataram andangu para wadya, nanging wis padha ora mênangi, wiwit Kraton Gilingwêsi nganti tumêka Mataram wis ora kasumurupan caritane, buku-buku asli saka ing Dêmak lan Pajang padha dipriksa, nanging tinêmu tulisan ‘Arab, kitab Pêkih lan Taju-salatina apa dene Surya-Alam kang kanggo pikukuh, mula Sang Prabu ing Mataram kewran panggalihe ênggone kagungan karsa iyasa babad carita tanah Jawa. Sang Prabu banjur dhawuh marang para pujangga, andikakake padha gawe layang Babad Tanah Jawa, ananging sarehne kang gawe Babad mau ora ngêmungake wong siji bae, mula ora bisa padha gaweyane, kang diênggo pathokan layang Lokapala, mungguh caritane kaya kang kasêbut ing ngisor iki”.
Wayahe Nabi Adam iya iku putrane Nabi Sis, arane Sayid Anwar. Sayid Anwar didukani ingkang rama lan ingkang eyang, amarga wani- wani mangan wohe wit kayu Budi sêngkêrane Pangeran kang tinandur ana ing swarga. Ciptane Sayid Anwar supaya kuwasane bisa ngiribi kaya dene kuwasane Pangeran, ora narima yen mung mangan who Kawruh lan woh Kuldi bae, nanging wohe kayu Budi kang disuwun. Sayid Anwar miwiti yasa sarengat dhewe, ora karsa ngagêm agamane ingkang rama lan ingkang eyang, dadi murtat sarta nampik agamane lêluhure, mangkono uga karsa ngakoni yen turune Adam sarta Sis, pangraose Sayid Anwar iku dadi saka dadine piyambak, mung waranane bae saka Adam lan Sis, dadine saka budi hawaning Pangeran. Ênggone Kagungan pamanggih mangkono mau diantêpi bangêt, jalaran mangkene: asal suwung mulih marang sêpi, bali marang asale maneh. Sarehne Sayid Anwar banjur lunga nuruti karêping atine, lakune mangetan nganti tumêka ing tanah Dewani, ana ing kono banjur kêtêmu karo ratuning jin arane Prabu Nuradi, Sayid Anwar ditakoni iya banjur ngandharake lêlakone kabeh, wusanane Sayid Anwar diêpek mantu sarta dipasrahi kaprabon, ngratoni para jin, jêjuluk Prabu Nurcahya, wiwit jumênênge Prabu Nurcahya, jênênge nagara banjur diêlih dadi aran nagara Jawa. Misuwure, kang jumênêng Nata, Jawa jawi ngrêti kawruh agal alus. Sawise iku Sang Prabu banjur nganggit sastra mung salikur aksara, saucaping wong Jawa bisa kaucap, dijênêngake Sastra Endra Prawata. Têmbung Jawa, ditêgêsi: nguja hawa, karsane Sang Prabu: bisaa rowa, saturun-turune bisaa jumênêng Nata mêngkoni tanah Jawa. Sang Prabu putrane siji pêparab Sang Hyang Nurrasa, uga dhaup karo putri jin putrane mung siji iya iku Sang Hyang Wênang. Sang Hyang Wênang uga dhaup karo putri jin, dene putrane uga mung siji kakung pêparab Sang Hyang Tunggal, krama oleh putri jin. Sang Hyang Tunggal pêputra Sang Hyang Guru, kabeh mau turune Sang Hyang Nurcahya, kang padha didhahar woh wit kayu Budi. Sang Hyang Guru kagungan pangraos yen kuwasane padha karo Gusti Allah, mula banjur iyasa kadhaton ana pucaking Mahameru, sarta ngakoni yen purwaning dumadi mêtune asal saka budi hawa nêpsu. Aran Dewa ngaku misesani mujudake sipat roh, agamane Buddha budi, mangeran digdayane sarta ngaku Gusti Allah. Sêdya kang mangkono mau iya diideni dening Kang Maha Kuwasa, sarta kalilan nimbangi jasane Kang Maha Kuwasa. Dewa iku wêrdine ana loro têgêse: budi hawa, sarta: wadi dawa, mulane agamane Buddha. Sêbutan Dewi: têgêse: dening wadining wadon iku bisa ngêtokake êndhas bocah.
Darmagandhul didhawuhi nimbang mungguh kang bênêr kang êndi, mangan woh wit kayu Kawruh, apa wit kayu Budi, apa woh wit Kuldi?
Saka panimbange Darmagandhul, kabeh iku iya bênêr, sênêngan salah siji êndi kang disênêngi, diantêpi salah siji aja nganti luput. Yen kang dipangan woh wit kayu Budi, agamane Buddha budi, panyêbute marang Dewa; manawa mangan woh wit kawruh, pênyêbute marang Kangjêng Nabi ‘Isa, agamane srani, yen sênêng mangan woh wit kayu Kuldi, agamane Islam, sambate marang nabi panutan; iya iku Gusti Kangjêng Nabi Rasul; dene yen dhêmên Godhong Kawruh Godhong Budi, panêmbahe marang Pikkong, sarta manut sarake Sisingbing lan Sicim; salah sijine aja nganti luput. Yen bisa woh-wohan warna têlu iku mau iya dipangan kabeh, yen wong ora mangan salah sijine woh mau, mêsthine banjur dadi wong bodho, uripe kaya watu ora duwe kêkarêpan lan ora mangrêti marang ala bêcik. Dene mungguh bêcike wong urip iku mung kudu manut marang apa alame bae, dadi ora aran siya-siya marang uripe, yen Kalifah dhahar woh Budi, iya melu mangan woh Budi, yen Kalifah dhahar woh kawruh, iya melu mangan who kawruh, yen kalifah dhahar woh Kuldi, iya melu mangan woh Kuldi. Dene prakara bênêr utawa lupute, uki Kalifah kang bakal tanggung. Sarehne diênut wong akeh, dadi Panutan kudu kang bênêr, amarga wong dadi Panutan iku saupama têtuwuhan minangka wite. Yen wong ora gêlêm manut marang kang bênêre kudu diênut, iku kaya dene iwak kang mêtu saka ing banyu. Saupama woh ora gêlêm nempel wit, mêsthi dadi glundhungan kang tanpa dunung. Awit saka iku, mulane wong iku kudu ngelingi marang agamane kang nurunake, amarga sanadyan saupama ana salahe, Gusti Allah mêsthi paring pangapura. Darmagandhul matur nyuwun têrange agama Rasul lan liya-liyane, mungguh kang dadi bedane apa?
Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake beda-bedane, yen saka dhawuhe kang Maha Kuwasa, manusa didhawuhi muja marang agamane. Nanging banjur akeh kang kliru muja marang barang kang katon, kaya ta kêris, tumbak, utawa liya-liyane barang. Kang kaya mangkono mau ngrusakake agama, amarga banjur mangeran marang wujud, satêmah lali marang Pangerane, amarga maro tingal marang barang rêrupan. Wong urip iku kudu duwe gondhelan agama, amarga yen ora duwe agama mêsthi duwe dosa, mung bae dosane mau ana kang sathithik lan ana kang akeh. Dene kang bisa nyirnakake (nyudakake) dosa iku, mung banyu suci, iya iku tekad suci lair batin. Kang diarani banyu tekad suci iku kang êning, iya iku minangka aduse manusa, bisa ngrêsiki lair batine. Yen wong luwih, ora ngarêp-arêp munggah swarga, kang digoleki bisaa nikmat mulya punjula saka sapadhane, aja nganti nêmu sangsara, bisaa duwe jênêng kang bêcik, sinêbut kang utama, bisaa nikmat badan lan atine, mulya kaya maune, kaya nalika isih ana ing alam samar, ora duwe susah lan prihatin. Lawang swarga iku prêlu dirêsiki, dirêngga ing tekad kang utama, supaya aja ngrêribêdi ana ing donyane, bisaa slamêt lair batine. Kang diarani lawang swarga lan lawang nêraka iku, pancadan kang tumuju marang kabêgjan utawa kacilakan. Yen bêcik narik raharja, yen ala ngundhuh cilaka, mula pangucap kang ala, mêsthi mlêbu yomani. Yen bêcik, bisa tampa ganjaran.
Darmagandhul matur maneh, nyuwun têrange, manusa ing dunya wujude mung lanang lan wadon, dadine kok banjur warna-warna, ana Jawa, ‘Arab, Walanda lan Cina. Dene sastrane kok uga beda-beda. Iku maune kêpriye, dalah têgêse sarta cacahing aksarane kok uga beda-beda. Geneya kok ora nganggo aksara warna siji bae?
Kyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kabeh-kabeh mau wis dadi karsane Kang Maha Kuwasa. Mula aksarane digawe beda-beda, supaya para kawulane padha mangan woh wit kayu Budi lan woh wit kayu Kawruh, amarga manusa diparingi wahyu kaelingan, bisa mêthik who Kawruh lan woh Budi, pamêthike sapira sagaduke. Gusti Allah uga iyasa sastra, nanging sastrane nglimputi ing jêro, lan manut wujud, iya iku kang diarani sastra urip, manusa ora bisa anggayuh, sanadyan para Auliya sarta para Nabi ênggone nggayuh iya mung sagaduke. Woh wit Kawruh lan woh wit Budi ditandhani nganggo sipat wujud, dicorek ana ing dluwang, nganggo mangsi supaya wong bisa wêruh, mula jênênge dalwang, têgêse mêtu wangune, mangsi têgêse mangsit, dadi yen dalwang ditrapi mangsi, mêsthi banjur mêtu wangune, mangsit mangan kawruh, mula jênêng kalam, amarga kawruhe anggawa alam. Sastra warna-warna paringe kang Maha-Kuwasa, iku wajib dipangan, supaya sugih pangrêten lan kaelingan, mung wong kang ora ngrêti sastra paringe Gusti Allah, mêsthi ora mangêrti marang wangsit. Auliya Gong Cu kumênthus niru sastra tulisan paringe Gusti allah, nanging panggawene ora bisa, sastrane unine kurang, dadi pelon, para Auliya panggawene sastra dipathoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh bangêt cacahe, nanging unine pelo, amarga Auliya kang nganggit kêsusu mangan woh Kawruh, ing mangka iya kudu mangan woh wit kayu Budi. Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa. Ewadene mêksa nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu wajibe, kêsusu tampa panglulu nganggit sastra kang nganti tanpa etungan cacahe, jênênge sastra godhong. Godhonge wit Budi lan wit Kawruh, dipêthik saka sathithik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo sastra, mulane aksarane nganti ewon. Auliya Cina kêsiku, amarga arêp gawe sastra urip kaya yasane Gusti Allah. Auliya Jawa ênggone mangan woh wit kayu Budi nganti warêg, mula ênggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Auliya Arab ênggone mangan woh wit kayu Kuldi akeh bangêt. Dene ênggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Nanging yen sastra yasane Gusti Allah, dadine saka sabda, wujude dadi dhewe, mulane unine iya cêtha, sastrane ora ana kang padha.
Darmagandhul banjur didhawuhi nimbang, mungguh anggitane para Auliya kabeh mau kang mratandhani asor luhuring budine kang êndi?
Saka panimbange Darmagandhul, kabeh mau iya bênêr, nanging anggêr mêtu saka budi. Dene kang gawe aksara mung sathithik, nanging wis bisa nyukupi, iku mratandhani yen luwih pintêr tinimbang karo liya-liyane.
Kiyai Kalamwadi ngandika: “Yen manusa arêp wêruh sastrane Gusti Allah, tulisan mau ora kêna ditonton nganggo mripat lair – kudu ditonton nganggo mripat batin. Yen mangkono iya bisa katon, Gusti Allah iku mung sawiji, nanging Dzate nyarambahi sakabehing wujud. Yen ndêlêng kudu nganggo ati kang bêning, ora kêna kacampuran pikiran kang warna-warna, sarta kudu kang mêlêng ênggone mawas, supaya ora bisa kliru karo kanyatane”.
Kiyai Kalamwadi lênggah diadhêp garwane aran Endhang Prêjiwati. Darmagandhul sarta para cantrik iya padha marak. Kiyai Kalamwadi paring piwulang marang garwane, dadi nêtêpi jênênge priya kudu mulang muruk marang rabine. Dene kang diwulangake, bab kawruh kasunyatan sarta kawruh kang kanggo yen wis tumêka ing pati, ing wong sêsomahan iku. Kang wadon diupamakake omah, sanadyan kahanane wis sarwa bêcik. Nanging sabên dinane isih kudu dipiyara lan didandani. Saka pangandikane Kiayi Kalamwadi, wong iku yen dipitakoni, satêmêne ragane wis bisa mangsuli, sabab ing kono wis ana pangandikane Gusti Allah paring piwulang, nanging ora mêtu ing lesan, mung paring sasmita kang wis ditulis ana saranduning badan sakojur.
Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Sarehne aku iku wong cubluk, dadi ora bisa aweh piwulang kang endah, aku mung arêp pitakon marang ragamu, amarga ragamu iku wis bisa sumaur dhewe”.
Banjure pangandika kiyai Kalamwadi kaya ing ngisor iki. Tanganmu kiwa iku wis anggawa têgês dhewe, lan wis dadi piwulang kang bêcik lan nyata, kang anuduhake yen ragamu iku wujude kiwa, mung hawa kang katon. Têmbung ki: iku têgêse iki, wa: têgêse wêwadhah, ragamu iku di’ibaratake prau, prau dadi ‘ibarate wong wadon, wong têgêse ngêlowong, wadon têgêse mung dadi wadhah, dene isine mung têlung prakara, iya iku: “kar-ri-cis”. Yen prau wis isi têlung prakara iku, wong wadon wis kêcukup butuhe, dadi ora goreh atine. Dene têgêse kar-ri-cis iku mangkene.
1. Kar, têgêse dakar, iya iku yen wong lanang wis bisa nêtêpi lanange, mêsthi wong wadon atine marêm, wusanane dadi nêmu slamêt ênggone jêjêdhowan.
2. Ri, têgêse pari, iya iku kang minangka pangane wong wadon, yen wong lanang wis bisa nyukupi pangane, mêsthi wong wadon bisa têntrêm ora goreh.
3. Cis, têgêse picis, utawa dhuwit, ya iku yen wong lanang wis bisa aweh dhuwit kang nyukupi, mêsthi wong wadon bisa têntrêm, tak baleni maneh, cis têgêse bisa goreh atine.
Kosok baline yen wong lanang ora bisa aweh momotan têlung prakara mau, wong wadon bisa goreh atine. Tangan têngên têgêse etungên panggawemu, sabên dina sudiya,
sanggup dadi kongkonan, wong wadon wis dadi wajibe ngrewangi kang lanang anggone golek sandhang pangan.
Bau têgêse kanthi, gênahe wong wadon iku dadi kanthine wong lanang, tumrap nindakake samubarang kang prêlu.
Sikut têgêse singkurên sakehing panggawe kang luput. Ugêl-ugêl têgêse sanadyan tukar padu, nanging yen isih padha trêsnane iya ora bisa pêdhot. Epek-epek têgêse ngêpek-ngêpek jênênge kang lanang, awit wong wadon iku yen wis laki, jênênge banjur melu jênênge kang lanang. Iya iku kang diarani warangka manjing curiga, warangkane wanita, curigane jênênge wong lanang.
Rajah (ing epek-epek) têgêse wong wadon iku panganggêpe marang guru-lakine dikaya dene panganggêpe marang raja.
Driji têgêse drêjêg utawa pagêr, iya iku idêrana jiwamu nganggo pagêr kautaman, wanita iku kudu andarbeni ambêk kang utama, dene driji kabeh mau ana têgêse dhewe-dhewe.
Jêmpol têgêse êmpol, yen wanita dikarsakake dening priyane, iku kang gampang gêtas rênyah kaya dene êmpoling klapa.
Driji panuduh têgêse wanita nglakonana apa sapituduhe kang priya.
Driji panunggul, têgêse wanita wajib ngunggulake marang priyane, supaya nyupangati bêcik.
Driji manis, têgêse wanita kudu duwe pasêmon utawa polatan kang manis, wicarane kudu kang manis lan prasaja.
Jênthik, têgêse wong wadon iku panguwasane mung sapara limane wong lanang, mula kudu sêtya tuhu marang priyane.
Kuku têgêse ênggone rumêksa marang wadi, paribasane aja nganti kêndho tapihe.
Mungguh pikikuhe wong jêjodhowan iku, wanita kudu sêtya marang lakine sarta nglakoni patang prakara, iya iku: pawon, paturon, pangrêksa, apa dene kudu nyingkiri padudon.
Wong jêjodhowan yen wis nêtêpi kaya piwulang iki, mêsthi bisa slamêt sarta akeh têntrême.
Kiyai Kalamwadi banjur paring pangandika maneh, dene kang dipangandikakake bab pikukuhe wong jêjodhowan. Saka pangandikane kiyai Kalamwadi, wong jêjodhowan iku pikukuhe kudu duwe ati eling, aja nganti tumindak kang ora bênêr. Mungguh pikukuhe wong laki-rabi iku, dudu dunya lan dudu rupa, pikukuhe mung ati eling. Wong jêjodhowan, yen gampang luwih gampang, nanging yen angel, angele ngluwihi. Wong jêjodhowan itu luput pisan kêna pisan, yen wis luput, ora kêna tinambak ing rajabrana lan rupa. Wanita kudu tansah eling yen winêngku ing priya, yen nganti ora eling, lupute banjur ngambra-ambra, amargi yen wanita nganti cidra, iku ugi ngilangake Pangerane wong jêjodhowan, dene kang diarani cidra iku ora mung jina bae, nanging samubarang kang ora prasaja iya diarani cidra, mula wanita kudu prasaja lair batine, amarga yen ora mangkono bakal nandhang dosa rong prakara, kang sapisan dosa marang kang lanang, kapindhone dosa marang Gusti Allah, kang mangkono iku mêsthi ora bisa nêmu lêlakon kang kapenak. Mula ati, kudu tansah eling, amarga tumindaking badan mung manut karêping ati, awit ati iku dadi ratuning badan. Wong jêjodhowan di’ibaratake prau kang gêdhe, lakuning prau manut satang lan kêmudhine, sanadyan satange bênêr, yen kêmudhine salah, prau ora bêcik lakune. Wong lanang iku lakuning satang, dene kang wadon ngêmudheni, sanadyan bêcik ênggone ngêmudheni, nanging yen kang nyatang ora bênêr, lakune prau iya ora bisa jêjêg, sarta bisa têkan kang disêdya, amarga kang padha nglakokake padha karêpe, dadi têgêse, wong jêjodhowan, kudu padha karêpe, mula kudu rukun, rukun iku gawe karaharjan sarta mahanani katêntrêman, ora ngêmungake wong jêjodhowan kang rukun bae, kang oleh katêntrêmaning ati, sanadyan tangga têparone iya melu têntrêm, mula wong rukun iku bêcik bangêt.
Kowe tak-pituturi, mungguh dalane kamulyan iku ana patang prakara:
(1) Mulya saka jênêng.
(2) Mulya saka bandha.
(3) Mulya saka sugih ‘ilmu.
(4) Mulya saka kawignyan.
Kang diarani mulya saka jênêng, iku wong kang utama, bisa oleh kabêgjan kang gêdhe, nanging kabêgjane mau ora mung kanggo awake dhewe, kapenake uga kanggo wong akeh liyane. Dene kang mulya saka ing bandha, lan mulya saka ênggone sugih ‘ilmu, lan mulya saka kapintêran, iku ana ngêndi bae, iya akeh rêgane.
Mungguh dalane kasangsaran uga ana patang prakara:
(1) Rusaking ati, manusa iku yen pikire rusak, ragane mêsthi iya melu rusak.
(2) Rusaking raga, iya iku wong lara.
(3) Rusaking jênêng, iya iku wong mlarat.
(4) Rusaking budi, iya iku wong bodho, cupêt budine, wong bodho lumrahe gampang nêpsune.
Kang diarani tampa kanugrahing Gusti Allah, iya iku wong kang sêgêr kawarasan sarta kacukupan, apa dene têntrêm atine.
Wong urip kang kêpengin bisaa dadi wong utama, duweya jênêng kang bêcik, kanggo têtuladhan marang wong kang padha ditinggal ing têmbene”.
Ki Darmagandhul matur lang nyuwun ditêrangake bab anane wong ing jaman kuna karo wong ing jaman saiki, iku satêmêne pintêr kang êndi, amarga wong akeh panêmune warna-warna tumrape bab iku.
Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Wong kuna lan wong saiki, iku satêmêne iya padha pintêre, mung bae tumrape wong ing jaman kuna, akeh kang durung bisa mujudake kapintêrane, mula katone banjur kaya dene ora pintêr. Ana dene wong ing jaman saiki ênggone katon luwih pintêr iku amarga bisa mujudake kapintêrane. Wong ing jaman kuna kapintêrane iya wis akeh, dene kang mujudake iya iku wong ing jaman saiki. Saupama ora ana kapintêrane wong ing jaman kuna, mêsthi bae tumrape wong ing jaman saiki ora ana kang kanggo têtuladhan, amarga kahanan saiki iya akeh kang nganggo kupiya kahanan ing jaman kuna. Wong ing jaman saiki ngowahi kahanan kang wis ana, êndi kang kurang bêcik banjur dibêcikake. Wong ing jaman saiki ora ana kang bisa nganggit sastra, yen manusa iku rumasa pintêr, iku têgêse ora rumasa yen kawula, mangka uripe manusa mung sadarma nglakoni, mung sadarma nganggo raga, dene mobah mosik, wis ana kang murba. Yen kowe arêp wêruh wong kang pintêr têmênan, dununge ana wong wadon kang nutu sabên dina, tampahe diiseni gabah banjur diubêngake sadhela, gabah kang ana kabur kabeh, sawise, banjur dadi beda-beda, awujud bêras mênir sarta gabah, nuli mung kari ngupuki bae, sabanjure dipilah-pilah. Têgêse: bêras yen arêp diolah kudu dirêsiki dhisik, miturut kaya karêpe kang arêp olah-olah. Yen kowe bisa mangreh marang manusa, kaya dene wong wadon kang nutu mau, ênggone nyilah-nyilahake bêras aneng tampah, kowe pancen wong linuwih, nanging kang mangkono mau dudu kawadjibanmu, awit iku dadi kawajibane para Raja, kang misesa marang kawulane. Dene kowe, mung wajib mangrêti tataning praja supaya uripmu aja kongsi dikul dening sapadhaning manusa, uripmu dadi bisa slamêt, kowe bakal dadi têtuwa, kêna kanggo pitakonan tumraping para mudha bab pratikêle wong ngawula ing praja. Mula wêlingku marang kowe, kowe aja pisan- pisan ngaku pintêr, amarga kang mangkono mau dudu wajibing manusa, yen ngrumasani pintêr, mundhak kêsiku marang Kang Maha Kuwasa, kaelokane Gusti Allah, ora kêna ginayuh ing manusa, ngrumasanana yen wong urip iku mung sadarma, ana wong pintêr isih kalah pintêr karo wong pintêr liyane, utawa uga ana wong pintêr bisa kasoran karo wong kompra, bodho pintêring manusa iku saka karsane Kang Maha Kuwasa, manusa anduweni apa, bisane apa, mung digadhuhi sadhela dening Kang Maha Kuwasa, yen wis dipundhut, kabeh mau bisa ilang sanalika, saka kalangkungane Gusti Allah, yen kabeh mau kapundhut banjur diparingake marang wong kompra, wong kompra banjur duwe kaluwihan kang ngungkuli kaluwihane wong pintêr. Mula wêlingku marang kowe, ngupayaa kawruh kang nyata, iya iku kawruh kang gandheng karo kamuksan”.
Ki Darmagandhul banjur matur maneh, nyuwun têrange bab tilase kraton Kêdhiri, iya iku kratone Sang Prabu Jayabaya. Kiyai Kalamwadi ngandika: “Sang Prabu Jayabaya ora jumênêng ana ing Kêdhiri, dene kratone ana ing Daha, kaprênah sawetane kali Brantas. Dene yen Kêdhiri prênahe ana sakuloning kali Brantas lan sawetaning gunung Wilis, ana ing desa Klotok, ing kono iku ana bata putih, iya iku patilasane Sri Pujaningrat. Dene yen patilasane Sri Jayabaya ika ana ing daha, saikine jênênge desa Mênang, patilasane kadhaton wis ora katon, amarga kurugan ing lêmah lahar saka gunung Kêlut, patilasan-patilasan mau wis ilang kabeh, pasanggrahan Wanacatur lan taman Bagendhawati uga wis sirna, dene pasanggrahan Sabda, kadhatone Ratu Pagêdhongan uga wis sirna. Kang isih mung rêca yasane Sri Jayabaya, iya iku candhi Prudhung, Têgalwangi, prênahe ing sa-lor-wetane desa Mênang, lan rêca buta wadon, iya iku rêca kang diputung tangane dening Sunan Benang nalika lêlana mênyang Kêdhiri, rêca mau lungguhe madhêp mangulon, ana maneh rêca jaran awak siji êndhase loro, panggonane ana ing desa Bogêm, wêwêngkon dhistrik Sukarêja, mula Sri Jayabaya yasa rêca, mangkene caritane, (kaya kang kapratelakake ing ngisor ini)”.
Ing Lodhaya ana buta wadon ngunggah-unggahi Sang Prabu Jayabaya, nanging durung nganti katur ing ngarsa Prabu, buta wadon wis dirampog dening wadya cilik-cilik, buta wadon banjur ambruk, nanging durung mati, barêng ditakoni, lagi waleh yen sumêdya ngunggah-unggahi Sang Prabu. Sang Prabu banjur mriksani putri buta mau, barêng didangu iya matur kang dadi sêdyane. Sang Prabu banjur paring pangandika mangkene: “Buta! andadekna sumurupmu, karsaning Dewa Kang Linuwih, aku iku dudu jodhomu, kowe dak-tuturi, besuk sapungkurku, kulon kene bakal ana Ratu, nagarane ing Prambanan, iku kang pinasthi dadi jodhomu, nanging kowe aja wujud mangkono, wujuda manusa, aran Rara Jonggrang”.
Sawise dipangandikani mangkono, putri buta banjur mati. Sang Prabu banjur paring pangandika marang para wadya, supaya desa ing ngêndi papan matine putri buta mau dijênêngake desa Gumuruh. (11) Ora antara suwe Sri Jayabaya banjur jasa rêca ana ing desa Bogêm. Rêca mau wujud jaran lagaran awak siji êndhase loro, kiwa têngên dilareni. Patihe Sang Prabu kang aran Buta Locaya sarta Senapatine kang aran Tunggulwulung padha matur marang sang Prabu, kang surasane nyuwun mitêrang kang dadi karsa-Nata, ênggone Sang Prabu yasa rêca mangkono mau, apa mungguh kang dadi karsane. Sang Prabu banjur paring pangandika, yen ênggone yasa rêca kang mangkono itu prêlu kanggo pasêmon ing besuk, sapa kang wêruh marang wujude rêca iku mêsthi banjur padha mangrêti kang dadi tekade wong wadon ing jaman besuk, yen wis jaman Nusa Srênggi. Bogêm têgêse wadhah bangsa rêtna-rêtna kang adi, têgêse wanita iku bangsa wadhah kang winadi. Laren (12) kang ngubêngi jaran têgêse iya sêngkêran. Dene jaran sêngkêran iya iku ngibaratake wong wadon kang disêngkêr. Sirah loro iku dadi pasêmone wong wadon ing jaman besuk, kang akeh padha mangro tingal, sanadyan ora kurang ing panjagane, iya bisa cidra, lagaran, iku têgêse tunggangan kang tanpa piranti. Ing jaman besuk, kang kêlumrah wong arêp laki-rabi, ora nganggo idine wong tuwane, margane saka lagaran dhisik, yen wis mathuk pikire, iya sida diêpek rabi, nanging yen ora cocog, iya ora sida laki-rabi.
Sang Prabu ênggone yasa candhi, prêlu kanggo nyêdhiyani yen ana wadyabala kang mati banjur diobong ana ing kono, supaya bisa sirna mulih marang alam sêpi. Yen pinuju ngobong mayit, Sang Prabu uga karsa rawuh ngurmati.
Kang mangkono iku wis dadi adate para raja ing jaman kuna. Mula kang dadi panyuwunku marang Dewa, muga Sang Prabu karsa yasa candhi kanggo pangobongan mayit, kaya adate Raja ing jaman kuna, amarga aku iki anak dhalang, aja suwe-suwe kaya mêmêdi, duwe rupa tanpa nyawa, bisaa mulih marang asale.
Samuksane Sang Prabu Jayabaya, Patih Buta Locaya sarta Senapati Tunggulwulung, apa dene putrane Sang Prabu kang kêkasih Ni Mas Ratu Pagêdhongan, kabeh banjur padha andherek muksa.
Buta Locaya banjur dadi ratuning dhêdhêmit ing Kêdhiri. Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, dene Ni Mas Ratu Pagêdhongan banjur dadi ratuning dhêdhêmit ana ing sagara kidul, asmane ratu Anginangin.
Ana kêkasihe Sang Prabu Jayabaya, jênênge Kramatruna, nalika Sri Jayabaya durung muksa, Kramatruna didhawuhi ana ing sêndhang Kalasan. Sawise têlung atus taun, putrane Ratu ing Prambanan, kêkasih Lêmumbardadu iya Sang Pujaningrat, jumênêng Nata ana ing Kêdhiri, kadhatone ana sakuloning bangawan (3), kêdhi têgêse wong wadon kang ora anggarap sari, dene dhiri iku têgêse anggêp, kang paring jênêng iku Rêtna Dewi Kilisuci, dicocogake karo adate Sang Rêtna piyambak, amarga Sang Rêtna Dewi Kilisuci iku wadat, sarta ora anggarap sari. Dewi Kilisuci nyawabi nagarane, aja akeh gêtihe wong kang mêtu. Mula Kêdhiri iku diarani nagara wadon, yen nglurug pêrang akeh mênange, nanging yen dilurugi apês. Kang kêlumrah pambêkane wanita ing Kêdhiri iku gêdhe atine, amarga kasawaban pambêkane Sang Rêtna Dewi Kilisuci. Dene Rêtna Dewi Kilisuci iku sadhereke sêpuh Nata ing Jênggala. Sang Rêtna mau tapa ana ing guwa
Selamangleng, sukune gunung Wilis.
WUWUHAN KATÊRANGAN.
Kanjeng Susuhunan Ampeldênta pêputra ratu Fatimah, patutan saka Nyai Agêng Bela. Ratu Fatimah krama oleh pangeran Ibrahim, ing Karang Kumuning Satilare Pangeran Karang Kumuning. Ratu Fatimah banjur tapa ana ing manyura, karo Pangeran Ibrahim Ratu Fatimah pêputra putri nama Nyai Agêng Malaka, katêmokake Raden Patah.
Raden Patah (Raden Praba), putrane Prabu Brawijaya patutan saka putri Cêmpa kang katarimakake marang Arya Damar Adipati ing Palembang, barêng Raden Patah wis jumênêng Nata, jêjuluk Sultan Syah ‘Alam Akbar Siru’llah Kalifatu’lRasul Amiri’lMu’minin Rajudi’l’Abdu’l Hamid Kak, iya Sultan Adi Surya ‘Alam ing Bintara (Dêmak).
Putri Cêmpa nama Aranawanti (Ratu Êmas) kagarwa Prabu Brawijaya, pêputra têlu:
[1] Putri nama Rêtna Pambayun, katrimakake marang Adipati Andayaningrat ing Pêngging, nalika jaman pambalelane nagara Bali marang Majapahit.
[2] Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati ing Madura.
[3] Isih timur rêmên marang laku tapa, nama Raden Gugur, barêng muksa kasêbut nama Sunan Lawu.
Panênggak Putri Cêmpa nama Pismanhawanti kagarwa putrane Jumadi’l Kubra I, patutan saka ibu Sitti Fatimah Kamarumi, isih têdhake Kangjêng Nabi Mukammad, asma Maulana Ibrahim, dêdalêm ana ing Jeddah, banjur pindhah ing Cêmpa, dadi Imam ana ing Asmara tanah ing Cêmpa, banjur kasêbut nama Maulana Ibrahim Asmara, iku kang pêputra Susuhunan Ampeldênta Surabaya. Dene putra Cêmpa kang waruju kakung, nama Awastidab, wus manjing Islam, nyakabat marang maulana Ibrahim, jumênêng Raja Pandhita ing Cêmpa anggênteni ingkang rama, pêputra siji kakung kêkasih Raden Rachmat. Kang ibu putri Cêmpa (garwa Maulana Ibrahim), pêputra Sayid ‘Ali
Rachmat, ngêjawa nama Susuhunan Katib ing Surabaya, dêdalêm ing Ampeldênta, kasêbut Susuhunan Ampeldênta. Cêmpa iku kutha karajan ing India buri (Indo china).
Sayid Kramat kang kasêbut ing buku iki pêparabe Susuhunan ing Bonang (Sunan Benang).
TAMAT
KATRANGAN:
(1) Kulon kutha Majakêrta lêt +/- 10 km.
(2) Pêlabuhane saiki aran: “Haipong”.
(3) Lor Stasiyun: Surabayakota “Sêmut”.
(4) Benang = Bonang ing Karêsidhenan Rêmbang.
(5) Tarik.
(6) Kulon kutha Kêdhiri.
(9) Akire Mênang didêgi pabrik gula arane iya pabrik Mênang,
stasiyune ing Gurah antarane Kêdhiri - Pare +/- 7 km. saka Kêdhiri.
(10) Kidul Majaagung lêt +/- 15-16 km. Saiki dicêluk desa Ngrimbi.
(11) Ing sacêlakipun pabrik Mênang, wontên dhusun nama Guruh.
1. mbok manawi ewah-ewahan saking Gumêrah-Gumuruh.
2. Gurah = gusah.
3. ngrêsiki gorokan.
(12) Laren = kalenan.
(13) Bangawan = Brantas.


Darmaghandul (1)












Source:
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=37753