Wednesday, 10 November 2010

ETNOBOTANI PISANG SUKU KARON: Studi tentang Ekologi Pangan Pokok

ETNOBOTANI PISANG SUKU KARON: Studi tentang Ekologi Pangan Pokok

Djekky R. Djoht
Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Sekretaris Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih


Abstract
Karon people live in the north part of the head of the bird of Papua
island. They live along the shore and the remote places of the area.
The area where the Karon live is in the Sausapor and Aifat districts
in Sorong regency.
The Karon mostly a farmer with the main crop is banana. They
knew 21 varieties of banana (Musa paradisiacal) and they divide the
banana as banana that can eat freshly (Musa paradisiacal van
spentum) and bananas that have to be cook before eaten (Musa
paradisiacal formatipica)


A. PENDAHULUAN
Pisang bagi Orang Karon merupakan sumber makanan utama (pokok)
dalam pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Oleh karena itu pisang
menjadi penting dan fokus utama dalam kebudayaan Swiden
Agriculturenya.
Dalam Artikel ini akan diulas mengenai: Pisang : Pandangan Beberapa
Suku Di Indonesia, Etnografi kebudayaan Karon dan Pandangan dan
pemanfaatan pisang bagi suku Karon.


B. PISANG: PANDANGAN BEBERAPA SUKU DI INDONESIA
Pemanfaatan pisang sebagai penghasil buah,sumber vitamin dan
mineral, telah lama dikenal masyarakat Indonesia. Dan pisang adalah
tanaman asli Indonesia. Namun demikian pisang juga digunakan sebagai
obat tradisional, anyam-anyaman, dan dalam upacara-upacara adat.
1. Pisang sebagai sumber bahan pangan
Pisang umumnya digolongkan sebagai sumber vitamin dan mineral,
sama halnya dengan buah-buahan lainnya. Daging buah pisang
mengandung 70% air, 27% karbohidrat, 0,5% serat, 1,2% protein, dan
0,31% lemak. Disamping itu, daging tersebut juga mengandung unsurunsur
K, Na, serta vitamin-vitamin A, C, Tiamin, ribovlavin dan niasin
(Espino et al. 1991). Buah pisang disuguhkan dalam aneka hidangan.
Ada yang berupa buah segar, pisang goreng, pisang rebus, kripik pisang
dan ada pula yang disuguhkan dalam bentuk kue.
Beberapa suku di Indonesia seperti suku Batak, Minangkabau, Melayu,
Jawa, Sunda menggunakan jantung pisang digunakan sebagai sayur.
Ada juga yang disuguhkan dalam bentuk gulai santan.

2. Sumber Bahan Obat-obatan
Heyne (1988) melaporkan bahwa air perasan rimpang pisang berkasiat
untuk beberapa penyakit seperti diare, dan pencegahan pendarahan
waktu melahirkan. Di Sulawesi Utara perasan batang pisang Jaki (Musa
acuminata Colla var. tomentosa), yang terlebih dahulu
dibakar/dipanaskan kemudian digunakan untuk obat luka baru.
Sedangkan daging buahnya yang ditumbuk dengan sepotong kunyit
digunakan untuk obat gonone, sejenis kutu. Pucuknya sesudah dicacah
dan tambah air sedikit, dipanaskan diatas tiga buah batu yang terlebih
dahulu dibakar, digunakan untuk obat telapak kaki yang pecah-pecah
dengan jalan mencelupkannya kedalam cacahan tersebut. Hati bongkol
pisang goroho (Musa ABB) yang sudah busuk, dibungkus dengan daun
pisang dipanaskan di atas api, lalu ditempelkan pada borok yang
menahun. Getah bersama buah pisang goroho yang sudah dicacah,
digunakan untuk obat ‘muntah ular’ (Herpes) dengan jalan
menempelkannya pada kulit yang terserang.

3. Sumber Pakan Ternak
Di Jawa Timur, yaitu di Nongkojajar, batang pisang serta umbutnya
setelah dicacah, diberikan pada sapi perah terutama pada musim
kemarau pada waktu rumput mulai berkurang. Katanya pemberian
batang pisang tersebut, tidak mengurangi produksi susu sapi tersebut.

4. Upacara Adat
Pada beberapa suku di Jawa dan Sumatera, pada waktu mendirikan
rumah ditambatkan sebatang pisang dibumbungan rumah. Ini suatu
perwujudan harapan agar penghuni rumah baru tersebut kelak
dikaruniai banyak anak, karena banyak anak simbolnya banyak rejeki.
Dalam perkawinan baik pada suku Sunda atau Jawa, pada pintu gerbang
tempat upacara selalu dihiasi dengan sebatang pisang dengan buahnya,
tebu dan seikat padi. Ini adalah perlambang kesejahteraan, kesuburan
dan kemegahan. Sedangkan dalam upacara peminangan, sesisir pisang
selalu diikutsertakan sebagai persembahan. Dan suatu kebiasaan di
masyarakat suku Bali, Sunda, sajen untuk para arwah selalu disuguhkan
dalam racikan daun pisang, atau suatu wadah yang dialasi dengan daun
pisang.

C. ETNOGRAFI KARON
1. Nomencultur
Orang Karon berdomisili didaerah kepala burung Papua, yaitu diwilayah
kecamatan Sausapor kabupaten Sorong. Orang Karon tinggal didaerah
pesisir pantai dan pedalaman daerah tersebut.
Mengenai Nomenculture suku bangsa ini menyebut dirinya dengan
istilah Yenden. Dalam bahasa Karon, Yenden berarti “orang yang
datang dari Pedalaman”, sedangkan istilah Karon berasal dari bahasa
Biak yang berarti “Orang dari Pedalaman” (Sanggenafa, 1984; 30-31)1
Dalam tulisan ini nama Karon dipakai untuk menyebut suku bangsa ini
karena nama tersebut sudah menjadi populer dikalangan suku-suku
bangsa tetangganya dan juga sudah lasim dipakai oleh kalangan ahli
1 Sebutan Karon tidak disenangi oleh suku karon karena berarti merendahkan
antropologi.2 untuk membedakan suku bangsa ini dengan suku bangsa
lain yang berdomisili di daerah kepala burung papua.
2. Ekologi Pangan
Mata pencaharian orang Karon mengenal beberapa jenis pekerjaan yaitu
Sifting Cultivation, Menangkap Ikan dan berburu-meramu. Kegiatan
menangkap ikan merupakan mata pencarian sampingan karena tidak
setiap saat penduduk mencari ikan di laut. Pekerjaan ini hanya dilakukan
purna waktu saja. Tehnik menangkap ikan yang sering dipergunakan
adalah memancing di pinggiran pantai atau melau dengan
menggunakan perahu.Pada malam hari orang Karon juga melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan harpun dan lampu petromaks
untuk menarik ikan karena cahaya yang dipancarkan dari lampu
tersebut. Hasil penangkapan ikan dipakai untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari dan sering juga dijual.
Kegiatan berburu juga merupakan mata pencarian sampingan karena
dilakukan waktu senggang saja, ketika kegiatan perladangan pada tahap
perawatan tanaman. Kegiatan berburu bisanya dilakukan bersamaan
dengan meramu atau mengambil buah-buahan dan sayuran yang
dijumpai dalam perjalan perburuan.
Berburu dilakukan oleh dua sampai empat orang laki-laki yang terdiri
dari anggota kerabat sendiri, tetapi lebih banyak dilakukan sendirian.
Metode yang dipakai untuk menangkap binatang buruan adalah
menggunakan anjing penggiring binatang buruan. Anjing-anjing ini
akan mengejar binatang buruan sampai binatang tersebut lelah, dan
pemburu selalu mengikuti kemana anjing mengejar binatang tersebut
dan membunuhnya. Metode lain menangkap binatang buruan adalah
dengan metode perangkap. Orang karon mengenal beberapa jenis
perangkap binatang yaitu Jerat Tali, perangkap burung dan perangkap
lubang.
Jenis binatang yang diburu antara lain: Babi, kangguru pohon, lau-lau,
kasuari dan berbagai macam burung.
2 Beberapa karangan antropologi yang memakai nama Karon adalah: AA Bruyn: Het Land der Karons
(1879), T.A. Hae: Paham Hidup menurut Suku Karon Dori (1981), Naffi Sanggenafa: Sistem Tukar
Menukar Kain Timor Pada Orang Karon di Daerah Kepala Burung Papua (1982)
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
Kegiatan perladangan dilakukan secara berpindah-pindah3 setelah dua
sampai tiga kali panen, ladang ditinggalkan kemudian membuka ladang
baru. Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan ladang sampai panen,
sebelum ditinggalkan tergantung pada keadaan tanah dan umur jenis
tanaman. Jika tanah yang diolah sudah kurang subur untuk ditanami dan
tanaman sudah panen, maka ladang akan ditinggalkan dan akan
membuka ladang baru. Pada umumnya ladang diolah satu sampai dua
tahun kemudian ditinggalkan. Sebelum ditinggalkan biasanya ditanam
tanaman sukun dan mangga sebelum ditinggalkan sebagai tanda
pemilikan, sebab setelah beberapa tahun mereka akan membuka tempat
itu sebagai ladang yang baru lagi. Proses pembukaan ladang dilakukan
dengan membersihkan semak-semak dan menebang pohon-pohon besar,
setelah beberapa minggu dibakar pohon-pohon yang telah ditebang..
Hasil pembakaran dibiarkan selama beberapa hari sebagai penyubur
tanah, kemudian ladang dibersihkan. Pekerjaan seperti tersebut di atas
dilakukan oleh laki-laki. Para wanita bertugas mencari bibit tanaman,
menanam bibit, membersihkan dan merawat tanaman. Memanen hasil
ladang biasanya dilakukan bersama.
Sebelum ladang dibuka biasanya ada upacara memohon ijin penebangan
pohon dan penggunaan tanah agar tidak diganggu oleh mahkluk halus
yang disebut Yekbase yaitu mahkluk halus yang menjaga tanah dan
Yekyau, yaitu mahkluk halus yang menjaga tumbuh-tumbuhan. Upacara
ini disebut Upacara Yesombur.
Jenis Tanaman yang ditanam diladang adalah pisang, singkong, tebu,
tebu lilin, gedi, ubu jalar, keladi, pepaya, tembakau dan labu.


3. Organisasi Sosial
a. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang lebih luas pada orang Karon adalah suatu
kelompok kekerabatan yang keanggotaannya disusut melalui garis orang
laki-laki atau berdasarkan prinsip keturunan Patrilinial. Kelompok
kekerabatan seperti ini dalam bahasa Karon disebut Wis. Fungsi dari
Wis ini masih tampak dalam adat perkawinan karena orang masih
3 Ladang berpindah dalam Antropologi disebut dengan beberapa istilah yaitu Slash and Burn Agricuture,
Swiden Agriculture, dan Shifting Cultivation (Koentjaraningrat, 1985; 41)
mengidahkan suatu larangan untuk kawin dengan anggota Wis yang
sama, pembayaran mas kawin, serta dalam aktivitas sehari-hari seperti
tolong-menolong dalam pembuatan rumah, kebun, dan lain-lain.
Selain Wis, ada kelompok kekerabatan yang sangat penting dan juga
terdapat pada masyarakat lain di dunia, yaitu Nuclear Family yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Kelompok kekerabatan seperti ini
dalam bahasa Karon disebut Rus. Fungsi Rus adalah merupakan suatu
kelompok kekerabatan dimana pada dasarnya individu dapat menikmati
bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya dan
merupakan kelompok dimana individu itu waktu masih anak-anak
mendapat pengasuhan dan permulaan dari pendidikan, selain itu juga
berfungsi sebagai kelompok sosial yang menjalankan ekonomi rumah
tangga sebagai kesatuan. Rus ini biasanya tidak tinggal sendiri dalam
satu rumah tetapi bersama-sama dengan kaum kerabat suami seperti
saudara laki-laki suami yang belum menikah, orang tua suami dan kaum
kerabat yang lain.
b. Sistem Kepemimpinan Tradisional
Pemimpin yang tertinggi dalam sistem kepemimpinan tradisional orang
Karon disebut Yekwesu. Dialah yang memimpin Wis secara keseluruhan
dalam satu kampung. Kekuasaan Yekwesu ini meliputi berbagai lapangan
kehidupan masyarakat seperti hukum adat dan sosial ekonomi. Ia juga
mendamaikan pertengkaran-pertengkaran mengenai tanah, pelanggaran adat,
dan menyatakan perang dan damai ketika belum masuknya pemerintah
belanda dan Indonesia. Tetapi fungsi ini sekarang sudah diambil alih
pemerintahan formal.
Ia mendapat kehormatan yang besar dari anggotanya. Setiap Wis
mempunyai pemimpin yang disebut Yehos. Para Yehos ini yang membantu
Yekwesu dalam menjalankan Pemerintahan.
Seorang bisa menjadi Yekwesu adalah atas usahanya sendiri. Dia harus kaya
dalam arti mempunyai banyak kain timor, tetapi harus juga berani,
bijaksana, dermawan dan pandai berdiplomasi. Tetapi persyaratan yang
paling dominan jika seorang jadi Yekwesu adalah memiliki banyak kain
timor (kaya).
Pengangkatan Yekwesu dilakukan dengan berkumpulnya para Yehos untuk
membahas, siapa yang berhak dan patut menjadi Yekwesu. Setelah
mendapat calon Yekwesu, mereka mengukuhkannya lalu diumumkan serta
disebarkan pada setiap warga.

4. Religi
Orang Karon pada saat ini umumnya sudah beragama Kristen, tetapi banyak
juga dari mereka masih memakai unsur-unsur kepercayaan dari religi
mereka yang asli.Kepercayaan mereka yang terpenting adalah kepercayaan
kepada roh-roh yang menempati pohon besar, batu, goa dan gunung atau
dengan kata lain mereka percaya pada roh-roh yang ada disekitar tempat
tinggalnya. Roh-roh ini disebut Gui yaitu roh orang mati dan Dugui roh
mahkluk halus yang bukan berasal dari roh manusia tetapi sebelumnya
memang sudah ada.
Orang Karon percaya bahwa ada sesuatu kekuatan yang membuat manusia
bisa bergerak dan hidup. Kekuatan itu oleh orang karon disebut Gen. Gen
menurut orang Karon bersifat abadi, artinya tidak bisa musnah atau mati.
Jika manusia mati gen ini terlepas dari tubuh dan menjadi burung Ndarat
yang terbang kian kemari di hutan dan lambat laun menjadi Gui. Itulah
sebabnya orang Karon sangat menghormati dan menganggap burung Ndarat
sakral, sehingga tidak boleh dibunuh atau mengucapkan kata-kata kotor
pada burung tersebut sebab mereka percaya akan fatal akibatnya seperti
sakit yang tidak bisa disembuhkan atau akan terjadi suatu musibah pada
dirinya.
Orang Karon percaya bahwa Gui bisa berbuat baik dan berbuat jahat pada
manusia. Itulah sebabnya untuk menjaga hubungan baik dengan Gui orang
Karon selalu memperhatikan kebersihan dan memberi penerangan setiap
malam pada kuburan orang mati. Menurut mereka kalau kuburan itu bersih
dan tidak gelap maka Gui akan senang dan tidak mengganggu, malah
membantu mereka.
Orang Karon juga mengenal bermacam-macam bentuk roh mahkluk halus
yang khusus, dimana masing-masing mempunyai namanya sendiri.

4.1. Kepercayaan pada Suanggi (Yendas)
Suatu kepercayaan lain yang dalam kebudayaan Karon adalah kepercayaan
kepada seorang tokoh sihir yang jahat dalam masyarakatnya. Tokoh
semacam ini disebut Yendas. Tiap-tiap orang yang berkelakuan dan sepak
terjang yang agak aneh seperti menyendiri, jarang bergaul dengan orang
lain, sering keluar malam ketika orang sedang tidur, dapat dipersalahkan
sebagai Yendas. Orang Karon beranggapan bahwa Yendas dapat pergi pada
malam hari, datang ke rumah penduduk lalu membunuh orang dirumah itu,
kemudian menghidupkannya kembali. Beberapa hari kemudian orang itu
akan mati seperti kecelakaan saja, misalnya digigit babi, jatuh dari pohon
atau kecelakaan-kecelakaan lain sehingga penduduk tidak curiga bahwa ia
mati karena kecelakaan bukan dibunuh Yendas. Gejala-gejala mati karena
dibunuh Yendas adalah seluruh tubuh membengkak dan mata terbuka.
Asumsi-asumsi seperti tersebut di atas yang diceritakan dan disebarkan
diantara para warga itu biasanya menimbulkan suasana syakwasangka
seperti ragu-ragu, ketakutan, pokoknya suasana yang tidak sehat dalam
masyarakat. Suasana yang tidak sehat itu bisa sedemikian meluap sehingga
orang bertindak merusak seperti Yendas didatangi, dipukul sampai mati atau
diadili dengan sumpah.

D. ETNOBOTANI PISANG SUKU KARON
Pisang dalam bahasa Karon disebut Weu. Nama Botani tanaman pisang
adalah Musa paradisiaca. Weu adalah makanan pokok orang Karon karena
merupakan makanan yang disajikan setiap hari, oleh karena itu pisang
paling banyak ditanam dikebun-kebun orang karon. Setiap kebun orang
Karon selalu dan pasti ada tanaman pisang4.
1. Identifikasi Musa paradisiaca
Weu merupakan tanaman asli Asia tenggara termasuk Indonesia.Tanaman
ini kemudian tersebar ke berbagai daerah di dunia seperti daerah-daerah
sekitar Laut Tengah, Amerika Selatan, Amerika Tengah, Afrika Barat dan
Madagaskar (Munajin. 1983; 3).
4 Dari pengamatan peneliti pada 10 kebun orang Karon, pisang merupakan tanaman utama dan paling
banyak ditanam dibandingkan dengan jenis tanaman lain.
Weu merupakan tanaman
berumpun dengan akar
rimpang, tinggi bervariasi
antara 3,5 meter sampai 7
meter, batang merupakan semu
yang terdiri dari pelepah daun,
daun berbentuk lanset
memanjang dan mudah koyak.
Panjang daun bervariasi antara satu sampai tiga meter. Buahnya tandan dan
bertangkai, pada ujung tandan terdapat bunga yang merupakan bakal buah
dan berumah, daun pelindung bunga berwarna merah tua serta mudah
rontok. Bentuk buah beraneka ragam.
2. Varitas Musa paradisiaca
Dalam Ilmu botani pisang dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
a. Pisang yang dimakan buahnya setelah masak atau pisang masak segar.
Nama botaninya Musa paradisiaca van
spientum.
b. Pisang yang dimakan buah setelah direbus atau digoreng atau pisang
rebus/goreng. Nama botaninya adalah Musa paradisiaca formatipica
(Munajin. 1988; 6).
Golongan pisang masak segar jika dimakan setelah masak dipohon terasa
nikmat, sebaliknya jika dibakar, direbus atau digoreng tidak terasa nikmat.
Sedangkan golongan pisang rebus atau goreng, akan lebih nikmat rasanya
setelah masak dipohon kemudian direbus atau digoreng (Munajin. 1988;7).
Kedua golongan pisang tersebut di atas masing-masing mempunyai jenisjenis
tertentu. jenis tanaman Weu yang diuraikan dalam tulisan ini bukan
menurut kategori botani tetapi menurut kategori kebudayaan Karon.
Kebudayaan Karon menggolongkan Weu kedalam 21 jenis. Orang Karon
membedakan 21 jenis weu dari bentuk dan warna buah, serta ciri-ciri
khusus.
Tabel 1.
Daftar Jenis Weu dan Ciri-ciri Botani menurut
Kebudayaan Karon
No Nama
Lokal
Nama Lain Ciri
1 Busye Dewaka Bentuk buah gemuk, pendek, bulat. Masih
mudah berwarna hijau setelah masak
berwarna kuning, jumlah sisir bisa sampai 10
sisir
2 Nggaris Tanduk Kecil Bentuk buah seperti tanduk sapi dan
berukuran 25-30 cm serta bulat warna buah
waktu muda hijau setelah masak kuning,
jumlah sisir bisa mencapai 10 sisir
3 Rah Tanduk Besar Sama dengan Nggaris hanya ukurannya lebih
besar
4 Kuit Ambon Bentuk buah melengkung seperti Weu
Nggaris namun ukurannya kecil. Masih muda
berwarna hijau dan setelah masak hijau
kekuning-kuningan. Jumlah sisir dalam
tandan sampai 12 sisir.
5 Raja Raja Bentuk buah bulat lurus dan ukurannya lebih
kecil dari weu kuit, masih muda berwarna
hijau setelah masak berwarna kuning. Jumlah
sisr dalam tandan sampai 8 buah.
6 Bofuf Abu-abu Bentuk buah seperti Weu busye hanya
ukuranya lebih kecil, masih muda berwarna
hijau setelah masak berwarna kuning, jumlah
sisir dalam tandan sampai 8 sisir.
7 Mber Masak cepat Bentuk buah seperti weu raja tetapi
melengkung, ukuran lebih panjang dan besar,
umur panen lebih cepat dari jenis pisang yang
lain yaitu 9 bulan. Waktu muda buahnya
berwarna hijau tua setelah matang berwarna
hijau kekuning-kuningan. Jumlah sisir dalam
tandan bisa mencapai 10 sisir.
8 Ndau - Bentuk buah seperti weu kuit tetapi lebih
panjang, buah berwarna hijau muda setelah
masak berwarna hijau kekuning-kuningan.
Jumlah sisir dalam tandan lebih banyak dari
jenis weu yang lain, yaitu 16 sisir, rasa
buahnya jika sudah masak manis-manis asam.
9 Sion - Bentuk dan warna buah seperti weu Ndau
hanya ukurannya pendek dan kecil, jumlah
sisir dalam tandan sampai 10 sisir, rasa buah
Gambar 1. Musa Paradisiaca (Weu)
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
seperti pisang ambon.
10 Net Nona Ukuran pohon paling kecil dari jenis weu
yang lain, bentuk buah lurus dan pendek,
warna buah masih muda hijau setelah masak
berwarna kuning muda. Jumlah sisir dalam
tandan paling banyak 10 sisir.
11 Mbrim Sepatu Bentuk buah seperti kubus memanjang dan
lurus, warna buah masih muda berwarna hijau
setelah masak berwarna kuning. Jumlah sisir
dalam tandan paling banyak 12 sisir.
12 Sasup Jarum Bentuk buah seperti Weu Kuit hanya lebih
gemuk, warna buah hijau setelah masak
berwrna hijau kekuning-kuningan. Jumlah
sisir dalam tandan paling banyak 8 sisir.
13 Vot Susu Bentuk dan warna buah seperti weu net hanya
ukurannya lebih besar dan panjang. Jumlah
sisir dalam tandan paling banyak 8 sisir.
14 Sanbuer Merah Batang pohon dan tangkai daun berwarna
merah keungu-unguan, bentuk buah gemuk
tidak melengkung, warna buah masih muda
merah, setelah masak berwarna merah
kekuning-kuningan. Jumlah sisir paling
banyak 10 sisir.
15 San
Bobokur
Hijau Bentuk buah dan ukuran sama seperti weu
sanbuer yang membedakan adalah warna
buahnya yaitu hijau setelah masak berwarna
hijau kekuning-kuningan.
16 Pih Tongka Langit Bentuk dan warna buah seperti weu kuit ,
jumlah sisir dalam tandan sampai 8 sisir.
Tandan tidak mengarah kebawah tetapi ke
atas.
17 Kui - Bentuk dan warna buah sama seperti weu
mbrim hanya ukurannya lebih kecil serta
jumlah tandan lebih sedikit yaitu sampai 10
sisir.
18 Jewai - Warna batang dan tangkai daun serta bentuk
dan warna buah sama dengan Weu san buer
hanya ukurannya lebih kecil, jumlah sisir
paling banyak 10 sisir.
19 Yekwam Gaba-gaba Bentuk dan warna buah seperti weu raja
hanya ukurannya lebih besar, Jumlah sisir
bisa mencapai 10 sisir.
20 Yu Noken Ukuran pohon dan bentuk buah sama dengan
weu net, ukuran buah lebih panjang dari weu
net, warna buah masih muda hijau setelah
masak berwarna hijau kekuning-kuningan.
21 Makum - Bentuk buah seperti weu raja, masih muda
berwarna hijau setelah matang berwarna
kuning. Rasa buahnya sepat jika belum terlalu
masak, jumlah sisir bisa sampai 10 sisir.
3. Budidaya dan Panen Weu
Penanaman Weu diambil dari anakannya dikebun lama. Pekerjaan
mengambil weu ditangani wanita. Cara menanam anakan weu adalah
tanah dikebun dibuat lubang sedalam ± 40 cm setelah itu anakan weu
dimasukan kedalam lubang tersebut, kemudian ditutup dengan tanah
bekas galian lubang tersebut.
Pemeliharaan tanaman weu pada awal ditanam sering dikunjungi dan
dibersihkan, setelah itu jarang dibersihkan.
Weu dapat dipanen setelah berumur 9 sampai 12 bulan. Pemetikan
tanaman Weu dapat diakukan bersama-sama oleh wanita maupun lakilaki.
Laki-laki menebang pohon weu dan kemudian wanita memikul
pisang ke rumah. Sering juga pekerjaan ini dilakukan oleh pria saja atau
wanita saja.
4. Pasca Panen Weu
Jenis-jenis weu tertentu dipetik setelah masak. Weu jenis ini biasanya
dimakan langsung setelah dipetik dari pohonnya. Sebab kalau direbus
atau dibakar rasanya kurang enak, jika dibandingkan dengan makan
segar. Sebaliknya ada jenis pisang yang kurang enak jika dimakan
setelah masak segar, lebih enak kalau sudah direbus atau dibakar. Jenis
pisang ini biasanya dipetik setelah masak di atas pohon.
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
Tabel 2
Jenis Pisang yang dimakan masak segar dan
yang dimakan setelah direbus/dibakar
Makan Masak Segar Makan Rebus/Bakar
Kuit Mbusye
Raja Nggaris
Bofuf Rah
Ney Mber
Sasup Ndau
Vot Siwon
Pih Mbrim
Yu San buer
Kui
Jeawi
Makum
Yekman




DAFTAR PUSTAKA

Afriastini. 1990. Daftar Jenis Nama Tanaman, Jakarta. Penebar Swadaya.
Djekky R. Djoht. 1992. Etnobotani Orang Karon, Suatu Tinjauan
Tentang Pengetahuan dan Pemanfaatan Tumbuh-tumbuhan di Desa
Sausapor Kecamatan Sausapor Kabupaten Sorong, Skripsi
Antropologi Uncen, Jayapura.
Kaslan A. Tohir. 1984. Bercocok Tanam Tanaman Buah-buahan, Jakarta,
Pradnya Paramita.
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian
Rakyat, Jakarta.
Lembaga Biologi Nasional LIPI. 1980. Buah-buahan, Jakarta, Balai
Pustaka.
Naffi Sanggenafa. 1982. Sistem Tukar Menukar Kain Timor Pada Orang
Karon di Daerah Kepala Burung Papua. Skripsi Universitas Indonesia,
Jakarta.

No comments: