Friday, 12 November 2010

HATI - HATI TERHADAP DOKTER (DOKTER VS PONARI)

HATI - HATI TERHADAP DOKTER (DOKTER VS PONARI)



From: <.....@transtv. co.id>
Subject: HATI - HATI TERHADAP DOKTER...
Date: Tuesday, March 24, 2009, 1:14 PM

Kasus nich, pantes aja Ponari laris manis..

ketika dokter indonesia sudah "menjual" hati nuraninya, kemanakah
kita bila sakit?

halo rekan-rekan.

Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai seorang dokter justru
meminta rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak
Irwan Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu, yaitu mengenai 'caveat
venditor' (produsen/penyedia jasa berhati-hatilah) .

Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit demam
berdarah (DBD). Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu RS
swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD saya temani sampai
masuk ke
kamar perawatan & tiap hari saya tunggui, jadi sangat saya tau
perkembangan kondisinya.

Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak
mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat, nggak demam,
nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas. Mulai di UGD sudah
'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada
petugas di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an &
pertanyaan dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' .
Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil
trombositnya tetap sama, 82 ribu.

Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember
lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu
saya tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang
harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal
dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali.
Obat ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.

Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal
besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung & biasanya obatnya pasti
ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak tepat untuk DBD. Jadi resep
nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke teman yang
praktik di RS tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus
& pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore
selalu ada di RS.

Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa lab
macam-macam, setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya
minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.

Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite
& nggak
komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Saya
diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya
langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron  suntik, obat
mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi. Padahal
Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali.
Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak sakit
lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah
ngomong kalau dia sudah punya banyak.

Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya
lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak.
Akhirnya saya hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.

Pas saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya
mana?', saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu.
Perawatnya malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya

beritau bahwa saya dokter & saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak
obat-obat itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station
& diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh
kepala perawat.

Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang tandatangani,
itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung.
Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia
berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.

Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit
DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal
& sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia
ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang
lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya
ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan
saja dulu terapinya', visite nggak sampai 3 menit saya hitung.

Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak
komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan.
Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang. Saya
jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata
pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh
obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin' untuk membeli
obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah
'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien
sementara kadang kala keluarga
sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visit.


Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya
yang dokter
supaya nggak dapat pengobatan sembarangan?
Abang juga merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak
dia perlukan & jadi racun di tubuhnya.

Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang
dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota
kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak
obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.

Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan
masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN.
Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar
berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.

rgds

Billy

No comments: