Friday, 12 November 2010

Kisah Tentang Sang Buddha

Kisah Tentang Sang Buddha


Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru, ketika Beliau berdiam di Jetavana. Pada suatu ketika Sang Guru baru kembali dari berpindapata yang diiringi dengan lima ratus muridNya, masuk ke Vihara Jetavana. Pada waktu itu pula Raja mengunjungi vihara dan mengundang Sang Guru untuk menjadi tamunya di istana. Keesokan harinya, Raja menyiapkan persembahan dana yang luar biasa besarnya untuk Sang Guru dan murid-muridNya, beliau juga mengundang penduduk dengan berkata :

"Undanglah mereka datang ke sini dan lihatlah persembahan dana yang telah saya persiapkan untuk Sang Guru."

Penduduk lalu berdatangan dan melihat persembahan yang dipersiapkan oleh Raja.

Keesokan harinya, penduduk mengundang Sang Guru untuk menjadi tamu mereka, dan mereka menyiapkan persembahan-persembahan, lalu mengundang Raja dengan berkata :

"Undanglah Raja datang ke sini dan lihatlah persembahan dana yang telah kami persiapkan untuk Sang Guru."

Ketika Raja melihat persembahan yang dipersiapkan oleh penduduk, ia berpikir ;

"Rakyatku ini mempersembahkan dana lebih besar dari yang aku persembahkan kepada Sang Guru; saya akan memberi persembahan dana kembali untuk yang ke dua kalinya."

Kemudian Raja mempersiapkan persembahan dana pada keesokan harinya; ketika penduduk melihat persembahan yang dipersiapkan Raja, mereka juga menyiapkan persembahan untuk hari berikutnya.

Demikianlah, Raja berkeinginan untuk mengalahkan rakyatnya, dan rakyatnya juga tidak mau kalah dalam mempersembahkan dana kepada Sang Guru dan murid-muridNya. Enam kali berturut-turut penduduk meningkatkan persembahannya menjadi seratus kali dan seribu kali banyaknya, mereka mempersembahkan dana dalam jumlah yang amat besar. Ketika Raja menyadari apa yang mereka lakukan, ia berpikir :

"Kalau saya tidak dapat mempersembahkan dana lebih besar dari apa yang mereka persembahkan, bagaimana saya dapat mempertahankan kehidupan saya ?"

Kemudian ia berbaring, memikirkan jalan keluarnya. Ketika ia sedang berbaring sambil termenung dan berpikir, Ratu Mallika menghampirinya dan bertanya dengan penuh keheranan:

"Yang Mulia, mengapa Baginda berbaring di sini? Apa yang membuatmu kelihatan sangat risau dan susah hati ?"

Raja menjawab:

"Isteriku, tidakkah kamu tahu?"

"Yang Mulia, saya tidak tahu."

Kemudian Raja menceritakan masalah ini. Ratu Mallika lalu berkata :

"Yang Mulia, jangan menjadi resah; pernahkah Baginda mendengar atau melihat bahwa seorang Raja, penguasa seluruh negara, seharusnya dapat memenangkan masalah ini ? Saya akan mengatur persembahan itu ?"

Demikianlah ucapan Ratu Mallika, dia berbicara demikian karena dia ingin mempersembahkan dana yang jumlahnya tiada tara. Kemudian dia berkata kepada Raja :

"Yang Mulia, inilah rencanaku. Perintahkanlah untuk membangun sebuah pavilion yang indah di tengah-tengah lapangan. Bangunlah pula pavilion yang melingkarinya dari kayu Sala yang terbaik, dan tempat duduk untuk lima ratus bhikkhu. Buatlah lima ratus payung putih yang indah, dan latihlah lima ratus gajah untuk sambil berdiri dengan diam di belakang ke lima ratus bhikkhu, sambil memegang payung dengan belalainya. Buatlah delapan atau sepuluh perahu yang terbuat dari emas, dan tempatkanlah di tengah-tengah pavilion. Di antara ke dua bhikkhu, tempatkanlah seorang prajurit wanita yang duduk dan menebarkan wewangian. Tempatkanlah pula sejumlah prajurit wanita memegang kipas di tangannya, yang berdiri dan mengipasi dua bhikkhu. Tempatkanlah para prajurit wanita lainnya dengan membawa wewangian di tangannya, berdiri di dalam perahu emas. Tempatkanlah prajurit wanita yang lain, membawa rangkaian bunga lili biru yang disemprot dengan wewangian, di dalam perahu emas, dan persembahkanlah dupa kepada para bhikkhu. Sekarang penduduk yang tidak mempunyai anak yang menjadi prajurit wanita ataupun payung putih ataupun gajah, itu berarti mereka tidak dapat mengalahkanmu. Inilah yang harus Baginda lakukan sebagai seorang Raja yang Besar."

Raja berkata dengan gembira :

"Bagus, bagus, isteriku! Rencanamu sungguh luar biasa."

Raja lalu memerintahkan kepada pegawainya, segala sesuatu yang diusulkan oleh Ratu Mallika. Setelah semua dilaksanakan, ternyata kekurangan seekor gajah untuk memayungi seorang bhikkhu. Ketika Raja memeriksa semuanya, ia berkata kepada Ratu Mallika :

"Isteriku, kita kekurangan seekor gajah untuk memayungi seorang bhikkhu. Apa yang harus saya lakukan ?"

"Apa yang Baginda katakan ? Tidak ada lima ratus ekor gajah ?"

"Ya, isteriku. Yang tersisa adalah gajah-gajah yang liar, dan kalau gajah itu melihat para bhikkhu, mereka akan mengamuk seperti angin ribut."

"Yang Mulia, saya tahu dimana gajah liar itu ditempatkan yang dapat membuatnya berdiri dengan diam dan memegang payung di belalainya."

"Dimana kita akan tempatkan gajah itu ?"

"Di sebelah Yang Mulia Angulimala."

Raja melakukan apa yang dikatakan isterinya. Seekor gajah muda melipat ekornya di antara ke dua kakinya, menurunkan kedua telinganya, menutup matanya dan berdiri dengan diam. Orang-orang memandang gajah itu dengan keheranan dan berpikir :

"Bagaimana mungkin gajah liar itu dapat berdiri dengan diam ?"

Raja menanti Sang Buddha dengan para muridNya dengan penuh rasa bahagia. Setelah Beliau beserta murid-muridnya tiba, Raja memberikan penghormatan dan berkata:

"Yang Mulia, semua barang-barang ini, baik yang berharga maupun tidak berharga, saya persembahkan semuanya untuk Bhikkhu Sangha."

Dengan persembahan dana yang dilaksanakan pada hari ini, harta sebanyak empat belas laksa diserahkan dalam satu hari. Empat macam harta yang amat berharga dipersembahkan kepada Sang Guru, sebuah payung putih, sebuah dipan untuk beristirahat, sebuah panggung dan sebuah penunjang kaki. Tidak seorangpun yang mempersembahkan dana kepada Sang Buddha dapat menyamai apa yang dipersembahkan oleh Raja, karena itu persembahan ini terkenal dengan 'Persembahan Dana Yang Tiada Tara'. Persembahan dana yang tiada tara ini terjadi pada semua Buddha, dan seorang wanita yang mengatur semua persembahan ini.

Raja mempunyai dua orang menteri bernama Kala dan Junha. Menteri Kala berpikir:

"Lihat, bagaimana harta Raja berkurang! Dalam satu hari, harta sebanyak empat belas laksa digunakan! Dan para bhikkhu ini, setelah berpesta dengan dana sebanyak itu, akan langsung pulang, berbaring, dan tidur! Bagaimana mungkin harta Raja dibuang seperti ini !"

Tetapi, Menteri Junha berpikir:

"Oh, luar biasa dana yang dipersembahkan oleh Raja! Tidak seorangpun yang dapat menempati posisi Raja dalam mempersembahkan dana ini ! Lebih jauh lagi, tidak seorangpun yang dapat melampaui persembahan dana ini untuk kebahagiaan semua mahluk. Untuk saya, saya amat berterima kasih dan berbahagia atas semua persembahan yang disampaikan oleh Raja kepada Sang Buddha."

Ketika Sang Guru menyelesaikan makannya, Raja mengambil mangkukNya, dengan harapan Beliau akan menyampaikan anumodana. Sang Buddha berpikir::

'Raja telah mempersembahkan dananya yang luar biasa ini, seperti sebuah gelombang yang amat besar. Apakah yang dipikirkan orang-orang yang ada di sini, apakah dipenuhi oleh keyakinan atau tidak ?'

Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirkan oleh kedua menteri itu, Beliau segera menyadari :

"Apabila Saya mengucapkan anumodana atas dana yang dipersembahkan ini, maka kepala Kala akan terbelah menjadi tujuh bagian, dan Junha akan memperoleh Pengertian Dhamma Yang Mulia.

Karena kebodohan dari Kala, maka Sang Buddha hanya mengucapkan sebuah syair yang terdiri dari empat baris untuk menghormati Raja, yang berdiri di hadapannya setelah mempersembahkan dananya itu. Setelah itu Beliau bangkit dari duduknya dan kembali ke vihara.

Para bhikkhu bertanya kepada Yang Mulia Angulimala:

"Saudara, tidakkah kamu takut ketika kamu melihat gajah liar berdiri di sampingmu, memegang payung putih ?"

"Tidak saudara, saya tidak takut."

Para bhikkhu berkata kepada Sang Guru:

"Yang Mulia, Angulimala berbohong."

Sang Guru lalu berkata:

"Para bhikkhu, Angulimala tidak takut. Untuk bhikkhu seperti anakKu ini yang telah mencapai Tingkat Kesucian, telah menghapuskan segala kekotoran dan tidak lagi mempunyai ketakutan."

Setelah berkata demikian, Beliau mengucapkan syair di dalam Brahmana Vagga :

"Ia yang Mulia, Agung, Pahlawan,
Pertapa Agung, Penakluk.
Orang Tanpa Nafsu, Murni, Telah Mencapai Penerangan,
Maka ia Kusebut seorang Brahmana.

Raja sangat kecewa. Ia berpikir :

"Setelah saya mempersembahkan dana yang begitu besar, dan saya berdiri di hadapan Sang Guru, Sang Guru melalaikan ucapan anumodana atas dana yang saya persembahkan, tetapi hanya mengucapkan satu syair saja, bangkit dari duduk dan pergi. Anumodana itu diucapkan untuk dana yang dipersembahkan dengan tepat, mungkin saya mempersembahkan dana yang tidak tepat; dan untuk barang-barang yang sesuai untuk dipersembahkan, mungkin saya mempersembahkan barang-barang yang tidak sesuai. Karena itu Sang Guru marah kepada saya, biasanya Beliau selalu mengucapkan anumodana kepada setiap orang yang mempersembahkan dana kepadaNya."

Dengan pemikiran seperti ini, Raja pergi menuju vihara, menghormat kepada Sang Guru dan berkata :

"Yang Mulia, apakah saya gagal mempersembahkan dana yang telah saya serahkan, atau kesalahan dalam mempersembahkan, atau dana itu tidak tepat, ataukah barang-barang yang saya persembahkan tidak sesuai ?"

"Raja Mulia, mengapa anda bertanya demikian ?"

"Yang Mulia, tidak mengucapkan anumodana atas segala persembahan yang saya berikan."

"Raja Mulia, hadiah yang kamu persembahkan tentu saja sesuai; Pemberian Dana Yang Tiada Tara, seperti yang kamu persembahkan, hanya dapat dipersembahkan kepada Seorang Buddha; persembahan seperti itu akan sulit untuk dilakukan untuk kedua kalinya."

"Tetapi, Yang Mulia, mengapa tidak mengucapkan anumodana atas dana yang saya persembahkan ?"

"Karena ada pemikiran orang-orang yang tidak murni, Raja Mulia."

"Yang Mulia, kesalahan apa yang dilakukan orang-orang itu?"

Sang Guru lalu menceritakan kepada Raja, pemikiran dari kedua menterinya dan memberitahukan kepadanya akibat yang akan diterima Kala apabila Beliau mengucapkan anumodana.

Raja lalu bertanya kepada Kala:

"Apakah benar, Kala, engkau berpikir seperti itu ?"

"Benar, Yang Mulia," jawab Kala.

Kemudian Raja berkata :

"Saya tidak pernah mengambil milikmu untuk saya. Di mana kesalahan saya?
Pergilah ! Apa yang saya berikan, saya berikan. Sekarang, pergilah dari kerajaanku !"

Setelah Kala diusir dari kerajaannya, Raja memanggil Junha, dan bertanya :

"Apakah benar, Junha, pemikiranmu seperti itu ?"

"Benar, Yang Mulia," jawab Junha.

"Kamu berbuat baik, paman," jawab Raja.

"Saya puas. Terimalah hadiah dariku dan persembahkanlah dana seperti yang saya lakukan selama tujuh hari."

Setelah berdana selama tujuh hari, Raja berkata kepada Sang Guru:

"Yang Mulia, lihatlah apa yang telah dilakukan oleh orang bodoh itu, sesudah saya mempersembahkan dana itu, ia memukul saya."

Sang Buddha menjawab:

"Ya Raja Mulia; orang bodoh tidak bergembira dengan dana yang dipersembahkan orang lain, dan di masa yang akan datang akan memperoleh hukumannya. Tetapi orang bijaksana, ikut bergembira atas dana yang dipersembahkan orang lain dan akan menuju surga."

Setelah berkata demikian sang Buddha mengucapkan syair:

"Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke Alam Surga. Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati. Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi, Dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya."


Source:
http://www.indocina.net/viewtopic.php?f=22&t=21472&start=45





Hatiku selembar daun...

No comments: