Friday, 12 November 2010

Tai Lalat

Tai Lalat

(Cerita ulang tahun untuk sahabat Bob Hering)

Pramoedya Ananta Toer

Ada sidikjari, tapi jarang disebut tentang sidikwajah. Dan tailalat tak lain dari bagian sidikmuka. Yang akan kuceritakan padamu bukan tailalat tunggal, tapi kembar, simetrik mengapit batang hidung. Dan itulah satu-satunya yang pernah kulihat dalam hidupku. Awal tahun 1946.

Sebagai pembantu-letnan aku mendapat perintah mengerahkan seksiku menyambut kedatangan serombongan tamu. Di stasiun Cikampek. Hari, tanggal, dan bulan, sudah tak dapat kuingat, setidak-tidaknya sekitar jam 10 pagi.

Keretapi dari Jakarta masuk. Tak ada rombongan tamu yang turun berbondong dari kereta api. Penumpang-penumpang lain turun dan segera meninggalkan perron. Seorang-dua turun, berdiri tenang-tenang di samping gerbong. Salah seorang kudekati. Nah, itulah, tailalat kembar mengapit batang hidungnya, hidung pribumi asli.

“Dari Jakarta, Pak?”, ia hanya tersenyum manis. “Mau ke mana?”

“Yogya.”

“Dalam rombongan?”

“Tidak salah.”

“Tujuan?” ia awasi senjatapi pada pinggangku, mengangguk-angguk, kemudian menepuk-nepuk punggungku.

“Indah ya, sangat indah, usia muda, semua bisa menangani,” ia mengangguk-angguk ria, “bagus, teruskan apa yang telah kami gagal melakukan. Dulu.”

“Apa yang telah gagal Bapak lakukan?”

“Berontak untuk merdeka. Dan kalian, anak-anak muda, sudah bikin tanahair ini merdeka. Tinggal mempertahankan dan mengisinya.”

Mendadak ia menyerang aku dengan pelukan dan ciuman. Keramahannya lenyap. Kurasai airmata menetesi wajahku. Peluit kepala setasiun mengatasi suara hiruk-pikuk setasiun.

“Kami dari rombongan Digulis, dari Australia. Selamat, nak, selamat, kita akan bertemu di tempat lain.”

Ia ciumi lagi aku. Menepuk bahuku, dan melompat naik ke dalam gerbong. Kereta berangkat. Belum lagi sempat kuketahui namanya....

Kembali ke markas resimen kulaporkan, tugas telah selesai kulakukan. Mayorku bangkit dari kursi, melotot, hanya tidak membentak:

“Goblok. Tugas segampang itu tidak mampu kau lakukan. Belajar kau menghargai para pejuang. Selesai!”

Setelah memberi hormat dan balik-kanan-jalan terdengar bentakan dalam diriku sendiri: Goblok! Sebelumnya tak kau katakan, kan, siapa mereka? Tempat tujuan juga bukan Cikampek, kan? Yogya! Ai, bapak tailalat kembar.

Dua puluh tahun telah lewat. Sekarang bukan di medan bebas, apalagi mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sekarang di rutan, rumah tahanan. Salemba di Jakarta.

Sekali di bulan November 1966 datang rombongan tahanan baru, pindahan dari penjara Cipinang, Jakarta juga. Barang tujuh orang. Ha? Salah seorang bertailalat kembar, mengapit batang hidung. Dia? Tak semudah itu menjawab tekateki itu. Pribadi dan rombongan baru harus menjalani kucilan. Sampai berapa hari atau minggu, itu tergantung para penguasa penjara. Nyatanya ia dan rombongannya mendekam di blok E, blok hukuman untuk tapol. Dari blok K, tempatku dikurung, setiap hari kulihat ia dan rombongannya digiring keluar blok E ke ruang pemeriksaan. Bila balik ke bloknya ada saja di antara mereka yang terpincang-pincang, atau dipapah, atau dengan muka lebam, atau mencekam bagian-bagian tubuh yang habis jadi landasan benda tumpul. Dan si tailalat kembar? Sekali waktu terlihat ia kembali ke blok dengan menyeret kaki kanannya. Pemandangan biasa.

Berapa umurnya? Dalam duapuluh tahun belakangan ini memang ada sejumlah tulisan tentang Digul yang kubaca. Jadi kuperkirakan ia dibuang ke Digul dan Australia selama 13 tahun, jadi 43 usianya. Ditambah dengan 20 tahun masa kemerdekaan nasional dan ketiadaan kemerdekaan pribadi sekarang jadi 63 tahun. Patut kalau kekuatannya tidak seutuh tahun 1946 dulu.

Tetap tidak semudah itu menemuinya. Memang semua tapol berhimpun sewaktu appel. Barisan-barisan yang disusun menurut blok masing-masing membuat orang sulit dapat bertemu dengan orang dari blok lain. Setelah appel selesai barisan kembali ke blok masing-masing.

Sebulan kemudian ia dipindahkan dari blok E ke blok L, bersebelahan dengan blokku. Tiga hari kemudian masih juga tak dapat aku bicara dengannya. Pada hari keempat ia meninggalkan blok L menuju ke ruang pemeriksaan.

Sengaja aku tunggu ia pulang. Umur 63 tahun. Dan penganiayaan apa lagi harus ia deritakan?

Ha? Ia pulang ke blok tanpa cedera. Wajahnya ceria, dan, tersenyum panjang, mata nyapu tanah. Sebelum memasuki blok ia tebarkan pandang ke seluruh dan semua blok yang mengelilingi tanah lapang penjara.

Ha? Seorang petugas datang ke bloknya dan membawanya ke kantor pimpinan penjara. Dan sejak itu ia tak pernah kelihatan lagi. Pindah ke penjara lain? Mungkin dibebaskan karena usianya yang sudah lanjut. Mungkin.... Nyatanya tidak. Seorang tapol blok L yang dipindahkan ke blok K jadi saksi karena ia termasuk rombongan yang dipindahkan kemari dari penjara Cipinang.

Si tailalat kembar punya pendapat: ia tak punya kepercayaan pada daya administrasi tuan-tuan baru ini. Ia hendak menguji ketidakpercayaannya. Setelah dipindahkan ke blok L, waktu selesai appel, ia minta pada petugas supaya diinterogasi, karena, katanya, ia belum pernah diperiksa selama ini. Itu sebabnya ia keluar dari bloknya, sendirian, ke ruang permeriksaan. Di sana ia menggunakan nama lain, dan, mengaku pekerjaannya mencari beling di sampahan. (Waktu itu belum dipergunakan kata: pemulung). Ia lulus ujian: punya nama lain dan bebas.

Setelah itu tak ada kabar-beritanya. Seluruh dan semua tapol sibuk dengan kelaparan masing-masing. Tanpa diduga ulah si tailalat membangkitkan inspirasi pada tapol-tapol muda lain. Dengan diam-diam tentu. Dan, tiga tapol muda suatu hari lolos melarikan diri. Seorang di antaranya nampaknya anak Jakarta yang tak pernah keluar dari kotanya. Ia kedapatan sedang nongkrong di pinggir jalan raya menjajakan durian dalam dua keranjang bambu. Tertangkap, dan masuk lagi ke rutan Salemba. Tentu saja setelah melewati penganiayaan. Beberapa lainnya yang dipindahkan ke penjara di Tangerang, juga melarikan diri dan tak pernah tertangkap.

Kemudian seorang lagi melarikan diri melalui gorong-gorong. Waktu selnya diperiksa kedapatan beberapa lembar kertas bertuliskan tangan. Karena soalnya tulisan aku yang dipanggil untuk menjalani pemeriksaan.

Tulis apa saja maunya, perintah petugas di kantor pimpinan rutan. Ia berikan beberapa lembar kertas dan ballpoint. Aku menulis apa saja. Tulisan tegak, perintahnya. Waktu ia datang lagi perintahnya berubah: tulisan miring. Setelah itu: tulisan bebas. Dan akhirnya: cukup! Aku boleh kembali ke blok. Tidak ada apa-apa lagi. Artinya: miring, tegak, atau pun bebas, tulisan yang tertinggal di sel pelarian itu tak ada kesamaannya dengan tulisan tanganku.

Juli 1969 tapol Salemba dipindahkan ke Nusa Kambangan. Sebulan kemudian dikapalkan ke Buru. Dalam kapal para tapol dari seluruh penjara di Jawa dapat bertemu dan berkenalan. Seorang dari Pacitan nampaknuya berminat untuk berkenalan. Sidikwajahnya bukan tailalat. Hanya garis lurus dari ujung atas telinga sampai dagu. Bekas sayatan senjata tajam. Yang seperti itu bukan sesuatu untuk dibicarakan manusia tapol-nya tuan-tuan baru. Setiap orang telah diberi ijasah bekas luka. Dalam masa kerjapaksa di Buru ia menempati Unit I, aku III. Jadi hanya sekali-dua kami dapat bertemu sampai 1978 atau 9 tahun kerjapaksa. Pada tahun itu ia dibebaskan. Dan karena sidikwajahnya ia tidak memilih Pacitan sebagai tempat tinggal, tapi Jakarta.

Tiga tahun setelah aku sendiri dibebaskan dari Buru pada 1979 akhir tanpa kuduga aku bertemu dengan teman dari Pacitan itu. Sekitar hampir jam 5 pagi. Jalan-jalan masih senyap. Yang lalu-lalang hanya sejumlah pelari pagi, termasuk tubuhku. Seorang pemulung sedang duduk di bangku beton menghadapi keranjang sampahnya. Ia tersenyum ramah waktu kudekati. Dan kata-katanya yang mengiris jantungku terdengar.

“Maaf, untuk orang seperti aku ini tidak memerlukan lari pagi.”

Ia harus kerja maka pembicaraan panjang membuatnya gelisah. Dan ternyata ia tinggal di ladang sampah Jalan Raya Pramuka. Sebuah kotak triplek dan seng adalah rumahnya, ditinggalinya bersama seorang kakek, juga pemulung. Hanya beberapa ratus meter dari halte bus tempat kami bercengkerama.

“Kakek lebih siang berangkatnya. Jera digonggong dan disalaki anjing dalam kesepian subuh. Tahu apa dia bilang tentang anjing Jakarta? Kesadaran klasnya cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari tuannya, semua para tuan.”

“Dia bekas tapol?”

“Ya, tapol Salemba, katanya. Lolos pada tahun kedua, katanya.”

“Hari libur sajalah,” kataku. Aku sodorkan uang penggantinya.

Ia nampak agak tenang. Memang tak kutunggu ucapan terima kasihnya yang memang tak pernah ia ucapkan.

“Ia juga dari Pacitan?”

“Bukan, Kebumen.”

“Siapa namanya?”

“Namanya tidak penting. Jangan dibikin dia jadi lebih sulit lagi. Lebih dari tiga perempat hidupnya dia jadi sasaran penindasan.”

“Kalau tertindas lebih dari tiga perempat hidupnya artinya dia bekas Digulis.”

Ia pura-pura tidak dengar.

“Mari sarapan di rumahku.”

“Terimakasih banyak. Lebih baik jangan.”

“Atau kita ke rumahmu? Kan dekat saja?”

“Perjanjian antar kami, aku dan kakek: tidak menerima tamu siapa pun.”

“Mengerti, mengerti. Kalian memang perlu mencurigai siapa pun.”

“Jangankan orang-orang seperti kami. Pemuda-pemuda yang menyorong kemungkinan Proklamasi saja, di mana mereka semua sekarang? Hanya satu saja yang lolos, pernah jadi wakil presiden pula. Dan proklamatornya sendiri, bagaimana pula nasibnya?”

Ia keluarkan uang pemberian dari saku, menghitungnya, dan separoh ia kembalikan.

“Silakan teruskan lari pagi.”

“Satu pertanyaan lagi: apa si kakek punya tailalat di kiri dan kanan batang hidungnya?”

Dalam keremangan subuh nampak ia melotot, suaranya parau: “Jadi bung kenal dia? Maaf saja, lupakan pertemuan ini. Anggap tak pernah terjadi.”

Ia bangkit dan pergi dengan keranjang sampah dari bambu tergantung di belakang punggung.

Tepat jam 10 pagi setelah membaca koran dan menyelesaikan kerja kliping, aku bergegas setengah lari ke ladang sampah jalan raya Pramuka. Ada beberapa kotak triplek dan seng. Satu di antaranya dalam keadaan terbalik. Sikap teman Pacitan itu memberi petunjuk, kotak terbalik itulah rumahnya bersama si kakek. Mereka memang tak mau ditemui dan dikenal.

Dia tak ingin dikenal oleh siapa pun. Baiklah. Maafkan aku. Dan tidak lebih dari sebulan kemudian lewat di depan rumahku seorang pemulung muda, dengan keranjang bambu pada punggung dan besi beton pembalik sampah pada tangan kanannya. Ia berjalan bimbang dengan pandangan menyisiri pinggiran jalan tempat parade tong dan kotak sampah pemukiman. Lain dari para pemulung lain ia berpakaian sobek-sobek dan dekil. Buru-buru aku masuk rumah, mengambil keranjang tempat pakaian bekas dan kuberikan padanya.

“Terimakasih,” ia membungkuk dan pergi membawa keranjang tsb. Sorehari waktu aku membersihkan belakang rumah... ya ampun, keranjang beserta pakaian bekas kami tergeletak di situ. Tak pernah dalam hidupku aku menderita malu seperti ini. Malu: tak mengerti si pemulung tak membutuhkan pakaian bekas. Pakaiannya yang dekil dan sobek-sobek mungkin semacam seragam harian sebagai pemulung. Bukan karena tak punya pakaian! Betapa aku tak tahu duduk perkara sekecil itu! Tak kuat menanggung malu maka kuberitakan pengalaman ini pada seorang sahabat, seorang professor emeritus di seberang lautan. Perasaan malu itu memang mereda, namun tetap mengganggu bila teringat. Jadi, tahu apa kau sebenarnya tentang rakyatmu? Dan semua ini hanya gara-gara teman pemulung dari Pacitan itu.

Nyatanya cerita ini belum habis sampai di sini.

Seorang teman bersama temannya mengajak ke lapangan setir mobil. Temannya adalah instruktur setir mobil. Seperti biasa bicaranya tak terkendali, riuh, dengan tangan, kepala, bahkan kaki memberi tekanan pada suaranya, dan semburan percikan ludahnya menggerimisi wajah lawan-bicaranya.

“Ayohlah,” katanya, “kalahkan traumamu. Dia cuma mobil, tak perlu ada trauma menyopir.”

Memang pernah kuceritakan padanya, dalam bulan pertama pulang dari Buru aku mendapat mobil Datsun. Kubawa seorang instruktur untuk membiasakan menyopir. Maklum sudah puluhan tahun tak pernah pegang kemudi. Waktu Jepang menyerah mobil bergeletakan sepanjang jalan. Siapa pun boleh ambil untuk dirinya asal punya bensin. Seorang pesakitan Cipinang dalam masa kosong kekuasaan membebaskan diri bersama yang lain-lain. Nampaknya ia bekas kriminal berat, pindahan dari penjara Kutaraja, Aceh. Sudah tak dapat kuingat namanya, juga tak kuingat bagaimana kami berkenalan. Dialah, entah bagaimana, bisa mendapatkan bensin. Sebuah Willys Cabriolet ia isi tangkinya. Mesinnya ternyata bagus. Mari, Bung, katanya, belajar nyetir. Kami keliling kota. Beberapa hari kemudian aku telah dapat mengendalikan kereta ajaib itu. Setelah ia yakin aku bisa mengendarainya, wut!, ia hilang tak jelas rimbanya. Dan tak pernah berjumpa lagi. Mobil itu sendiri kemudian juga hilang tak jelas rimbanya waktu kuparkir di pinggir jalan di samping rumah, salahnya bensin dalam tangkinya.

Ini hanya cerita bahwa memang ada pengalaman menyopir padaku. Nampaknya pengalaman secuwil itu membikin aku terlalu percaya diri. Instruktur di sampingku hampir-hampir tak kugubris. Datsun berputar entah berapa puluh kali mengelilingi lapangan.

“Sekarang mundur,” perintahnya.

Waktu itulah kaki tak tahu diri. Yang seharusnya rem diinjaknya, justru gas yang kena. Dalam keadaan mundur kencang pantat mobil menubruk warung dan mesin mati. Wanita penjaga warung yang duduk di bangku kayu, pucat, tak bisa bicara. Seorang polisi lalulintas, yang mengawasi lapangan, lari mendapatkan kami. Dalam keadaan terguncang aku keluar dari mobil. Juga sang instruktur.

Dengan wajah keras ia perintahkan aku memperlihatkan surat-surat kendaraan, dan tentu saja KTP. Matanya melompat-lompat dari kertas-kertas di tangannya pada wajahku. Kemudian, kemudian sekali, mata itu ditujukan pada kakiku.

O, bapak, katanya. Lama sudah kukenal, baru sekali bertemu orangnya. Ia angkat tangan kanannya memberi hormat. Dan sesuai engan tradisi militer Jepang aku membungkuk membalas. Begini saja, ya pak, ganti saja kerugiannya.

Pemilik (atau penjaga) warung itu masih duduk kaku. Maaf, bu, mari kami bawa ke rumahsakit. Ia menggeleng. Seorang lelaki datang dan menengahi. Biar aku sendiri antarkan dia ke dokter. Barangkali suaminya.

Aku berikan kartu namaku. Ganti rugi dan ongkos dokter harap diambil pada alamat ini, kataku. Cukup, pak polisi? Kataku.

Ia mengangguk. Aku salami lelaki itu dan minta maaf. Ia mengangguk. Juga kuularkan tangan pada wanita itu. Kurasai tangannya menggigil.

Trauma nyopir itu begitu mendalamnya sehingga dalam mobil teman dan temannya aku masih tetap waswas, kalah terhadap perasaan sendiri. Tak mampu melihat kembali wanita penjaga warung yang seperti patung batu karena kagetnya. Sebelum mobil memasuki gerbang lapangan latihan nyopir mobil melewati seorang pemulung. Benar, dia teman dari Pacitan dengan sidikwajahnya yang abadi. Keranjang bambu tidak lagi pada punggungnya. Ia berjalan santai menghela gerobak. Di atas tumpukan sampah, tua tanpa daya, kakek dengan tailalat kembarnya.

“Stop!” kupinta pada teman. “Turun sini. Nanti aku pulang sendiri.”

“Masih juga groggy? Trauma tak kunjung habis?”

Tanpa menjawab aku turun, berhenti di pinggir jalan menunggu sejoli ex tapol itu lewat. Dan matahari sudah mulai terasa terik.

“Ai-ai,” tegurku.

Ia berhenti. Tangan tetap memegangi boom gerobak. Dan ia tersenyum. Kakek di atas sampah dalam terobak asyik membaca koran. Bukan tekateki dari mana ia dapatkan kacamata. Sampah memberikan segala-galanya.

“Sudah makan?”

“Nanti sudah.” Nampaknya ia lebih ramah daripada dalam pertemuan di halte bus dulu. Lima kilometer dari tempat ini. Waktu hendak menegur si kakek ia melarang. “Sama sekali tak ada gunanya. Tuli sepenuh tuli.” Ia pinggirkan gerobaknya dan dengan sangat hati-hati menyandarkan boom gerobaknya di atas bibir jambang bung dari beton.

Kakek sama sekali tak memperhatikan kami.

“Lalu apa yang dibacanya?”

“Semua, kecuali iklan penawaran. Yang terpenting baginya iklan jenis lain. Bukan iklan penawaran. Iklan kematian.”

“Ha?”

“Jangan ganggu dia. Lihat saja. Ya, ia sedang membaca iklan kesukaannya. Perhatikan airmukanya.”

Memang kuperhatikan. Ternyata selain berkacamata ia juga menggunakan kaca pembesar di tangan kiri. Jelas pipinya yang sudah kempot itu sedang tersenyum.

“Tersenyum, kan? Itu tanda yang meninggal jauh lebih muda dari dirinya. Kalau dengan geleng-geleng kepala itu tanda yang mati berumur di bawah tiga puluh. Bila ia tercenung tanpa gerak wajah yang mati berumur sekitar seratus tahun.”

“Luar biasa. Betapa kau kenali dia.”

“Sehari-harian aku bersama dia. Berak pun aku yang mengurus.”

Sekarang aku yang tercenung. Mataku berkaca-kaca. Betapa tinggi setiakawan anak Pacitan ini. Suaraku tersekat di tenggorokan waktu aku mencoba bertanya berapa umurnya.

“Dua-tiga tahun lagi dia akan melewati seratus. Seperti itu, dan masih tetap jadi landasan penindasan. Hanya agar beberapa sang gelintir bisa hidup kaya, terlalu kaya, mewah dan berkuasa.”

“Stt!”

“Ya, begini kami. Bung memang bukan bagian dari kami.” Ia angkat boom gerobaknya dan meneruskan perjalanannya. Ia tak mengharapkan percakapan berlanjut. Dan ia berjalan terus tanpa menoleh. Kakek dari Kebumen masih tetap membaca koran bekas. Mereka hilang di tikungan. Tak ada guna mengikuti. Teman Pacitan itu tak ingin diketahui tempat tinggalnya.

Cerita ini mestinya selesai sampai di sini. Nyatanya cerita ini belum mampu mengakhiri dirinya sendiri.

Waktu menggelinding begitu cepatnya. Indonesia, katanya, telah setengah abad merdeka. Memang bukan kemerdekaan bagi orang-orang seperti kami, karena kami hanya batu-batu kerikil buat fondasi kemerdekaan. Tempat kami tetap dalam fondasi. Kemerdekaan itu sendiri tumbuh dan berkembang tanpa pernah mengidahkan fondasinya sendiri.

Limapuluh tahun merdeka pun telah lewat beberapa bulan. Waktu itulah pandangku nanar menggerayangi wajah teman Pacitan, menelusuri bekas sodetan senjata tajam dari telinga sampai dagunya. Memang dia. Seongggok tubuh yang duduk menggelesot di atas lantai stasiun Kota. Ia tak mengenakan seragam pemulung yang sobek-sobek dan dekil. Bahkan rambutnya pun kelimis bersisir. Di atas lantai stasiun memang ada tong-tong sampah, tapi keranjang bambu dan gerobak sampah tidak ada. Lantai kelihatan bersih. Juga tak ada di halaman stasiun. Jadi apa sekarang kerjanya?

Ia tak menyadari sedang aku perhatikan. Kuikuti pandangannya yang berpindah-pindah. Ternyata ia sedang memperhatikan beberapa bocah sedang bekerja menyikat sepatu para calon penumpang keretapi. Kemudian aku duduk di dekatnya di atas lantai. Ia menengok padaku dengan pandang curiga. Kaki dan tangannya disiapkannya untuk bertarung. Tiba-tiba:

“Oh, bung!”

“Mana gerobaknya?”

“Biasa. Dirampas.”

“Dirampas siapa?”

“Siapa lagi?” Dan aku mengangguk mengerti. “Hanya gerobak, kan? Barang sepuluh tahun lalu kusaksikan becak dirampasi. Jerih payah bertahun orang menyisakan rejekinya untuk dapat memilikinya. Jadi rumpon di teluk Jakarta. Tanpa ganti rugi. Eh, buat apa kuungkit? Semua orang tahu.” Aku mengangguk.

Kutebarkan pandang ke luar stasiun. Memang dia tidak menggerutut, namun nada suaranya begitu menyakitinya. Kalimat apa yang selanjutnya diucapkannya aku tak dengar. Pandangku membawaku ke masa empatpuluh delapan tahun yang lalu. Sebagai tapolnya Belanda kami membabati alang-alang sekitar stasiun ini sampai ke pelabuhan Tanjungpriok. Ke selatan sampai ke lapangan Gambir. Dan istana kolonial di Gambir itu sekarang dinamai Istana Merdeka. Waktu pandangku tertebar ke ruang dalam stasiun dengan sendirinya tergambar kembali secercah hidup tigapuluh lima tahun lalu. Dengan beberapa teman kami hendak menghadiri Konferensi Sastra Jawa di Solo. Sedang santai berdiri menunggu keretapi masuk mulutku, mulutku ini, memekik: copet! Seseorang lari sambil menarik belati, kemudian menghilang entah ke mana. Teman yang juga akan menghadiri konferensi itu menghentikan teriakanku sambil memberikan arjoliku.

“Jadi kau masih sempat memikirkan orang-orang seperti kami?” Ia menegur.

“Mana kakekmu?”

“Kakek? Ia sudah tak membaca koran lagi. Juga tak naik gerobak lagi. Tak akan lagi. Sejak dua bulan lalu. Mati, bung, waktu gubuk-gubuk kami diobrak-obrak buat diubah jadi gedung pencakar langit. Dalam suasana tergusur kami, rumpun pemulung mengantarkannya ke lahatnya. Tak perlu sentimen-sentimenanlah. Orang-orang seperti kita yang paling banyak membiayai pembangunannya para hartawan dan kuasawan.”

“Ya, biarpun nama tidak pernah masuk buku mereka.”

“Primitif. Semakin lama semakin primitif. Primitif! Itu umpatan kakek bila menilai keadaan. Pembangunan? Jalan-jalan hanya untuk yang bermobil. Pejalan kaki pun tak berhak menggunakannya. Di tanahair sendiri. Tanpa kaki lima. Primitif, itu umpatannya. Immoral, immoral. Dia tak butuhkan tanggapan orang lain. Usia telah merampas pendengarannya. Primitif! Immoral! Dan setiap matanya menangkap jambang-jambang beton di kakilima, apa dengusnya? Jambang di kakilima... tambahan isi kantong mereka, dari kantong semua, demi untuk menghadang kita... sepertinya dia sedang berpantun. Kalau cuma begitu saja, dengusnya sepanjang jalan, puih, gampang amat jadi immoral, semakin lama semakin primitif!”

Panjangnya omongannya kali ini membuat perhatianku pada kakek tailalat justru jadi padam.

“Jadi, apa kegiatan bung sekarang?”

“Lihat anak-anak penyikat dan penyemir sepatu itu?” kembali matanya gentayangan pada mereka. “Masih di jalur lama, bung, membina mereka. Mengajari mereka baca-tulis. Yang lebih penting: melindungi mereka dari ulah mafia, bocah-bocah berandalan, bocah-bocah jalanan juga, yang memeras mereka.”

“Mereka takut pada bung?”

“Tanda ini,” ia mengusap bekas senjata tajam pada wajahnya, “membuat mereka takut. Tanda ini mereka anggap sebagai ijasah keganasanku. Mudah bagi bung memahami dunia primitif begini, kan? Akhirnya aku ketularan kakek juga: primitif! Primitif!”

“Nampaknya sekarang bung lebih ramah padaku.”

“Setidak-tidaknya kakek tidak lebih terluka karena mulutku.”

“Dia tak pernah tanya tentang buangan di Buru?”

“Ya, waktu masih bisa dengar sedikit-sedikit. Juga kuceritakan di Buru juga ada bekas Digulis, tapol tertua, dengan hanya satu harapan: mati dan dikuburkan di Jawa. Dia termasuk rombongan pertama yang dibebaskan. Harapannya hanya separoh terpenuhi: dikuburkan di Jawa memang, tapi mati waktu kapal belum lagi merapat di Tanjungperak.”

Di antara lalulalang pasang-pasang kaki, lelaki dan perempuan, suling kereta dan hiruk-pikuk pekerja pengangkut barang, muncul seorang bocah. Tanpa bicara ia sodorkan dua teh botol dingin pada kami.

Teman dari Pacitan itu menghapus matanya. Dan:

“Tanpa didikan orangtua — memang dia tak punya — tanpa disuruh, sebagian rejeki pagi ia suguhkan pada kita.”

“Nampaknya bung memang dicintai mereka,” dan nampaknya ia terharu atas pujian itu. “Memang cuma teh botol, setidak-tidaknya bung telah mulai menuai yang bung tebarkan.” Ia masih terdiam. “Jangan membisu terlalu lama. Kata-katamu tentang kakek penting bagiku. Memang cuma kata-kata, kita hanya bisa ngomong, lebih tidak. Tapi kata-kata, dengan kekuatannya yang khusus, akan mengembara dari kuping ke kuping, dan akan hidup selama-lamanya, selama ummat manusia tidak menjadi tuli semuanya. Dan biar pun tuli mendadak semua, kan masih ada pemahat, pematung, pelukis, dan pengarang, yang tanpa berucap bisa mengatakan?”

“Kursus bung terlalu bertele.”

“Pembisuan bung terlalu bertele.”

Ia nikmati teh botolnya dengan pipa penyedot. Dan botolku sudah kosong.

“Waktu ia cukup mengerti, di Buru kita dikenakan kerjapaksa sambil cari makan sendiri, kalau sakit obat-obatan pun harus beli sendiri kontan menyembur sumpah-serapahnya: primitif! primitif. Hanya otak primitif mampu buat aturan seperti itu.”

Pustaka tentang Digul membuat kepalaku terangguk-angguk. Ya, para Digulis dijamin makannya setiap bulan. Yang sakit mendapat perawatan lebih baik daripada di Jawa. Dan asal mereka mau bekerja di ladang, mereka dapat sepuluh sen setiap jam, setara tiga kilogram beras. Yang bersedia kerja dalam mesin kolonial lebih banyak lagi dapatnya.

“Dan tanpa pengadilan,” ia teruskan semburan kata kakek tailalat, “belasan tahun tanpa pengadilan. Semasa kolonial, 3 hari ditahan tanpa perkara jelas sudah bisa menuntut ganti rugi. Dibunuhi pula, malah tanpa ada komisi penyelidikan. Otak primitif. Diharuskan hafal Pancasila lagi. Di Digul, aparat kolonial itu menghormati pendirian dan sikap politik dan pribadi para buangan. Primitif! Primitif!”

“Stop. Setidaknya aku sudah mulai banyak tahu tentang kakek yang tak pernah mengenalku.”

Ia habiskan teh botol di tangannya. Dan bocah penyikat sepatu itu datang lagi mengambil botol-botol kosong.

“Boleh aku menengok kuburan kakek?”

“Tak usahlah. Seratus tahun, satu abad jadi landasan penindasan. Jangan, jangan ganggu dia. Kau takkan tahu tempatnya.”

Tiba-tiba ia melompat bangun, berjalan cepat menuju ke suatu pilar stasiun. Dari gerak tangannya nampak ia sedang mengusir seorang pemuda berkuncir berseragam jean. Dan pemuda yang diusirnya tidak langsung pergi. Dari gerak tangannya nampak ia mengancam. Teman dari Pacitan itu mengangguk menerima tantangannya. Setelah lawan-bicaranya pergi baru ia kembali menghampiri.

“Bung sendirian. Bagaimana kalau dia membawa teman-temannya?”

“Mereka dibuat primitif oleh keadaan. Kalau toh kalah dan mati, setidak-tidaknya terhormat sebagai warganegara Indonesia.”

Ia ulurkan tangannya memberi salam dan pergi.




Jakarta, 10 Juli 1996




Source:
http://dpyoedha.multiply.com/journal/item/322




Hatiku selembar daun...

No comments: