Monday, 20 December 2010

Bersetubuh, Puncak Hidup Paling Penting

Bersetubuh, Puncak Hidup Paling Penting



Dalam penelusuran reporter Nuansa Budaya, ternyata masyarakat Samin --mereka lebih terhormat dan tersanjung dengan sebutan Sadulur Sikep (sikep, jawa : bergumul)--, tidak punya agama maupun aliran kepercayaan animisme dan dinamisme seperti pada umumnya. Terbukti selama reporter NB disana tidak ada semacam ritual maupun artefak yang membuktikan bahwa mereka punya agama.
Mereka berkeyakinan bahwa pada dasarnya manusia hidup hanya untuk madep sikep. Bersetubuh dengan sesama untuk untuk menjalin talian kekeluargaan. Tak ada yang lebih penting dari puncak hidup selain bersetubuh dengan pasangannya. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Tarno, tokoh yang dituakan di masyarakat Samin, “ora bedo Islam, Kristen, Budha opo Hindu yao nek wong lanang wong wedok madepsemeleh neng ranjang yo mesti nyikep loro karone pancen kuwi sing dikarepno.” (Tidak ada bedanya Islam, Kristen, Budha atau Hindu. Kalao laki-laki dan perempuan di ranjang, pasti nyikep --bergumul, dan itu yang diharapkan.)
Ajaran Samin pada intinya lebih menjelaskan kerangka cita-cita kemanusiaan. Menurut Kyai Samin Surosentiko, perkawinan adalah wadah prima bagi manusia untuk belajar, karena melalui lembaga ini manusia mengalami yang namanya kesunyataan. Perkawinan tidak hanya menghasilkan keturunan, tapi juga untuk menegaskan hakekat ketuhanan, berhubungan antara pria dan wanita, rasa sosial dan kekeluargaan, serta tanggung jawab.
Keyakinan orang Samin sejalan dengan konsep tasawuf Islam seperti yang diajarkan Ronggowarsito. Ilmu seperti ini hanya mungkin kita pahami jika kita sudah sampai pada maqam ma’rifat. Masyarakat Samin justru menafsirkannya sebagai semacam kedirian yang sempurna. Kedudukan ingsun, secara definitive menunjukkan konsep teologinya. Pengagungan diri sebagai sentral hayati, ditengah kosmos, seakan suatu rasa kumingsun namun tidak sebenarnya.

No comments: