Monday, 20 December 2010

Samin: Perlawanan dan Ajarannya

Samin: Perlawanan dan Ajarannya



Setelah menonton film Lari dari Blora, pertanyaan yang muncul tentang Samin adalah: “Samin, siapakah atau apakah dia itu? Benarkah bahwa orang Samin adalah orang yang primitif, secara sosial lemah, polos, aneh, dan antek PKI?” Di sini, disajikan suatu bahasan mengenai Samin, dari segi perlawanannya terhadap Kolonial dan juga tentang ajarannya.

Samin: Perlawanan dan Ajarannya
Tentang Samin Surosentiko: Sang Pendiri
Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya The Samin Movement (1960), menuliskan bahwa ajaran Samin bertumbuh pada tahun 1890-an dan berakar di Randublatung, sebuah kota kecamatan yang dikelilingi hutan jati, 25 kilometer sebelah tenggara kota Blora. Ajaran ini disebarkan oleh Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar. Ia seorang Pangeran -putra dari Raden Surowijaya- yang merasa muak dengan pemerintahan Kolonial. Ia lantas menyamar dan masuk di kalangan rakyat pedesaan. Ia menghimpun kekuatan rakyat melawan pemerintah Kolonial dengan cara yang khusus. Nama “Samin” dipilih karena ia menganggap nama itu adalah nama yang bernafaskan kerakyatan.
Tahun 1890, Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya dan dalam waktu singkat menjadi pengikutnya. Saat itu, pemerintah Kolonial Belanda masih membiarkan ajaran Samin yang mereka anggap sebagai aliran kebatinan biasa dan tidak berbahaya bagi keberadaan pemerintah kolonial. Tahun 1903, Residen Rembang mencatat jumlah pengikut Samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro berjumlah 722 orang. Mereka sangat giat mengembangkan ajaran Samin sehingga pada tahun 1907, jumlah orang Samin bertambah menjadi sekitar 5.000 orang. Perkembangan pesat ini membuat pemerintah Kolonial Belanda waspada. Mereka mulai menangkapi dan memenjarakan para pengikut Samin. Pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil, bergelar Prabu Panembahan Suryangalam. Selang 40 hari, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap, Samin beserta delapan pengikutnya dibuang ke luar Jawa. Beliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.
Perlawanan: Memilih antara Kekerasan dan “Halus”
Suku Samin dengan ajaran Saminisme tumbuh sebagai sebuah gerakan perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah rakyat yang digunakan untuk memperluas hutan jati (”Samin: ajaran kebenaran yang nyleneh”, tulisan Sugeng). Pada awal mula kelahirannya, Saminisme memang tumbuh dari suatu kesadaran untuk melawan penjajahan. Sang pendiri, Samin Surosentiko, merasa bahwa gerakan perlawanan terhadap penjajah yang memakai sarana kekerasan selalu berakhir dengan kegagalan. Dari pengamatan tersebut, ia mencoba membentuk suatu gerakan perlawanan yang tidak menggunakan sarana kekerasan fisik (semodel konsep Ahimsa-nya Gandhi). Inilah model perlawanan secara “halus”, non-fisik (kultural).
Gerakan perlawanan secara halus ini telah menarik hati banyak orang di sekitarnya. Banyak orang ingin bergabung dengan kelompok Samin Surosentiko ini. Dengan semakin banyaknya orang yang bergabung, terbentuklah suatu komunitas baru. Inilah generasi awal Saminisme. Dari gerakan yang mulanya bersifat perlawanan inilah, Samin Surosentiko mulai mengembangkan semacam ajaran sebagai prinsip-prinsip dasar yang dipakai sebagai falsafah hidup mereka, sekaligus juga sebagai landasan (filosofis) perlawanan tersebut. Ajaran inilah yang digeluti, dikembangkan, dan “tersebar” ke mana-mana. Ajaran ini boleh dibilang berfungsi sebagai semacam prinsip dasar pembentuk falsafah hidup orang Samin, dalam kerangka besar perlawanan tanpa kekerasan (yang pada awalnya mereka kumandangkan pada pemerintahan kolonial).
Maka, untuk mengerti bagaimana kaitan antara ajaran Samin dengan perlawanan mereka sendiri, perlulah terlebih dahulu memahami konsep-konsep ajaran Saminisme.
Perumusan Ajaran
Ajaran Saminise sebenarnya sangatlah sederhana. Namun, perlu diingat bahwa pandangan Samin ini berada dalam mainstream Jawa. Ada latar belakang Jawa tertentu yang melandasi pemikiran orang Samin ini. Menurut Takashi Siraishi, ada tiga pokok yang bisa dimunculkan:
Konsep sentral dalam agama Adam adalah urip (hidup) di mana di dalamnya ditunjuk semua esensi dari bentuk-bentuk hidup itu sendiri. Hidup terwujud dalam aneka wujud (bentuk), namun dapat dibagi menjadi dua bagian: wong (manusia) dan sandang pangan (makanan dan pakaian). Untuk wong, ada dua tipe yakni lanang (lelaki) dan wedok (perempuan). Sementara tiap wong, memiliki nama semisal Suto atau Nojo. Tempat di mana wong tinggal (Semarang atau Bandung misalnya), adalah sekadar sebutan, karena faktanya hanya ada satu tempat di mana wong tinggal, yakni bumi ini.
Bagi orang Samin, semua aktivitas di dunia pada dirinya memiliki dua tujuan hidup: tatane wong (yaitu menghasilkan wong dengan jalan sikep rabi-hubungan seksual-) dan toto nggaoto (yaitu menghasilkan sandang pangan dengan mengolah tanah). Kedua hal ini sangat mempengaruhi pandangan mereka tentang hidup, keutamaan, dan dambaan mereka akan dunia yang ideal. Dalam tatane wong, tugas lelaki adalah “menanam” dan perempuan bersalin. Ide tentang dua jalan itu secara tepat dirumuskan dalam ungkapan “Jen bengi tatane wong, jen rino toto nggaoto”. Maka, hidup wong sikep itu mengikuti Adam, yang ditafsirkan dari kata damel (adam = dam = damel), yaitu mengolah tanah di waktu siang dan melaksanakan tatane wong di malam hari. Dua pokok inilah yang harus menjadi prinsip fundamental wong sikep.
3. Selain itu, tentang wong, ada dua jenis: wong jowo yang jujur, tidak jahat, tidak menipu, dan wong jawal yang gila dan jahat. Maka, wong sikep harus hidup seturut agama Adam dan menjadi wong jowo. Ide ini diafirmasi dengan ide karma yang menyatakan bahwa setiap perbuatan akan memiliki konsekwensinya sendiri-sendiri.
Yang utama dari ajaran ini tetap dua tujuan hidup yang sudah disebut di atas. Tatane wong dan toto nggaoto adalah yang primer, sementara yang lain sifatnya sekunder.
Mengapa ajaran ini bisa menjadi landasan yang kuat untuk perlawanan? Karena, seturut kepercayaan orang Samin, tanah jawa adalah tanah mereka. Tanah ini adalah hak mereka sebagai keturunan Adam dan Pandawa. Kalau ada pihak luar yang mewajibkan mereka untuk membayar pajak, misalnya, sudah mengindikasikan bahwa mereka membayar di atas tanah mereka sendiri. Hal ini sekaligus mengandaikan bahwa tanah mereka disewakan atau digadaikan. Seakan mereka mengontrak. Orang Samin tidak setuju hal itu, terutama terhadap adanya pajak. Maka, tidak ada yang boleh ”mengatur” mereka dalam mengolah tanah, dan oleh karenanya tidak ada kelas di antara mereka. Semua sederajat untuk menjalankan aktivitasnya demi pemenuhan tujuan hidup yang mereka pegang.
Agama Adam, dalam hal ini memiliki peranan yang kuat. Bisa disimak dalam efek yang dikeluarkannya terhadap orang Samin, sbb: tidak ada Negara melainkan relasi perkawinan (konjugal), tidak ada sikep (yakni orang yang punya “saham” dalam kehidupan desa dan wajib membayar pajak) melainkan wong sikep yang berkewajiban memeluk istri dan tanahnya, semuanya bersifat sekunder selama seseorang menjaga janjinya dan tidak campur tangan urusan sesama, tidak ada pajak, tidak ada ronda (selain ronda dengan istrinya sendiri di malam hari), tak ada kaula, tak ada Gusti, tak ada raja (Karena semua itu hanya kata-kata dengan maupun tanpa referensi. Semua kembali pada wong yang menentukan apakah kata-kata itu bermakna atau tidak). Dalam dunia wong sikep disadari bahwa hierarki berada dalam ambang kehancuran, eksistensi Negara terhapus, dan otoritas adalah kekosongan belaka.

No comments: