Monday, 20 December 2010

Pajak dan Wong "Samin"

Pajak dan Wong "Samin"



Berikut ini adalah dialog antara petugas pajak dengan seorang suku Samin tahun 1914:
Petugas :"Kamu masih hutang 90 persen kepada negara "
Samin :"Saya tidak hutang kepada negara "
Petugas:"Tapi kamu mesti membayar pajak"
Samin :"Wong Sikep (orang Samin) tak mengenal Pajak"
Petugas:"Apa kamu gila atau pura-pura Gila?"
Samin :"Saya tidak gila, dan tidak pura2 gila"
Petugas:"Kamu biasanya bayar pajak, mengapa sekarang tidak? "
Samin :Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Mengapa negara tidak habis-habisnya minta uang?"
Petugas:"Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak punya cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik".
Samin :"Kalau menurut kami, jika keadaan jalan itu tidak baik, kami bisa membetulkannya sendiri. "
Petugas :"Jadi kamu tidak membayar pajak? "
Samin :"Wong Sikep tak mengenal pajak'

Ajaran saminisme tersebar antara lain di daerah Blora, Kudus, Pati, Rembang dan Bojonegoro.
Ajaran saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan orang Samin yang dipelopori Samin Surontiko (nama aslinya Raden Kohar) tidak dilaksanakan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Misalnya perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Sekitar tahun 1900an, gerakan Samin mulai menjadi perhatian pemerintah kolonial. Mereka mulai meresahkan Belanda oleh karena secara terang-terangan menolak membayar pajak, melawan politik etis, kerja paksa dan lainnya. Meskipun tokoh gerakan ini ditahan Belanda dan di buang ke luar pulau Jawa (1907), gerakan-gerakan mereka masih terasa hingga tahun 1930-an.. Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering memcuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.
Apa yang dikemukakan dimuka. baik orang Samin pada tahun 1914, saya yakin merupakan ekspresi mendalam yang berkaitan dengan problem kewarganegaraan kita. Sejak semula, sejak Samin dikenal sebagai "pembangkangan kaum tani abad ke-19'', masalah pajak menjadi sorotan penting dalam aksi pergulatan mereka. Bahkan sampai kini perdebatan dan perbincangan mengenai pajak masih menjadi sikap mereka dalam melakukan "counter" terhadap perilaku pemerintah yang tidak benar.
Bagi orang Samin, negara adalah sebuah bentuk dari persekutuan dua kepentingan untuk mencapai cita-cila bersama. atau bisa dimaknai sebagai kontrak dua kepentingan yang didasari oleh sikap saling menguntungkan (negoro iku uneg-unege wong loro). Jadi, jika ternyata dalam perjalanan berikutnya, bentuk dan kebijakan negara tidak merepresentasikan dari yang dibuat oleh dua kepentingan tersebut maka batal lah semua kesepakatan untuk mengakui kedaulatan negara. Karena kontrak dua kepentingan itu tidak diakui lagi, maka batal pula kewajiban satu pihak (masyarakat) untuk mengeluarkan kewajibannya memberikan pajak kepada pihak negara.
Berkaitan dengan kondisi di negeri kita selama ini pengelolaaan pajak di Indonesia masih sangat amburadul. Disamping ketidakmarnpuan birokrasi mengelola pajak secara baik, masyarakat sendiri tidak memahami makna penting pajak dalam kehidupan bemegara Ujungnya, di satu sisi KKN, terus terjadi di lingkup birokrasi, , departemen pengelola pajak, masyarakat sendiri tidak banyak yang tahu sebetulnya untuk apa berbagai pajak ditimpakan kepada mereka Akibatnya. sambil KKN terjadi secara berulang-ulang tanpa ada penyelesaian yang jelas, rnasyarakat sendiri untuk beberapa konteks ada yang sukses membangun koalisi dengan oknum birokrasi untuk "menilep" pajak sesuai dengan yang harus dia tanggung, namun pada sisi lain, beberapa masyarakat yang kntis, sambil tetap membayar pajak kepada negara (karena takut direpresi tentara), memaknai pajak sebagai upeti ("pungutan liar"), mirip seperti negara feodal yang memungut upeti dari rakyatnya pada zaman kerajaan (seperti yang kita lihat dari sedikit gambaran masyarakat Samin di atas).
Semoga saja dengan pembenahan secara bertahap yang sedang dilakukan Departemen Keuangan melalui salah satunya dengan modernisasi pelayanan perpajakan dan remunerasi dapat dijadikan langkah awal dalam perbaikan manajemen keuangan RI di masa yang akan datang, demikian pula dengan upaya SBY untuk memberantas korupsi di kalangan pejabat daerah dapat mendorong pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik lagi, sehingga KKN bisa lenyap dari bumi nusantara.
Dengan demikian tidak akan muncul lagi gerakan ”pembrontakan” samin jilid 2 atas gugatannya kepada negara soal pajak beserta penggunaannya.

No comments: