Saturday, 19 February 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1976 TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1976
TENTANG
NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang
pengobatan dan ilmu pengetahuan;
b. bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan
tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama;
c. bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan
narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama dan
bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan
kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat
dan merupakan bahaya besar bagi peri kehidupan manusia dan
kehidupan negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial,
budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang
membangun;
d. bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan
narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau ilmu
pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahayabahaya
yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari
penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika perlu ditetapkan Undang-undang
tentang narkotika yang baru, sebagai pengganti Verdoovende
Middelen Ordonnantie(Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) yang
telah tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan
perkembangan zaman;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131,
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);
3. Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1942);
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 245, Tambahan lembaran Negara Nomor 2289);
5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kejaksaan (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 254, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2298);
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2580);
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
(Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2805);
8. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);
9. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039);
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang
mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085)
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
MEMUTUSKAN :
DENGAN MENCABUT VERDOOVENDE MIDDELEN ORDONNANTIE (STBL. 1927 NO.
278 JO NO. 536) SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DAN DITAMBAH.
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
1. Narkotika adalah :
a. bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 13;
b. garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;
c. bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang
belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina
atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai
narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat
ketergantungan yang menigikan seperti Morfina atau Kokaina;
d. campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan
yang tersebut dalam huruf a, b, dan c,
2. Tanaman Papaver adalah tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji,
buah dan jeraminya.
3. Opium Mentah adalah getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkusan dan pengangkutan tanpa memperhatikan
kadar morfinanya.
4. Opium Masak adalah :
a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui
suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan,
pemanasan dan peragian, dengan atau tanpa penambahan bahanbahan
lain, dengan maksud merobahnya.menjadi suatu ekstrak
yang cocok untuk pemadatan;
b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa
memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau
bahan lain;
c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
5. Opium Obat adalah opium mentah yang telah mengalami pengolahan
sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam
bentuk lain, atau dicampur dengan zat-zat netral sesuai dengan syarat
farmakope.
6. Morfina adalah alkaloida utama dari opium, dengan rumus kimia
C17H19NO3.
7. Tanaman Koka adalah tanaman dari semua genus Erythroxylon dari
keluarga Erythroxylaceae.
8. Daun Koka adalah daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam
bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae, yang menghasilkan kokaina secara langsung atau
melalui perubahan kimia.
9. Kokaina Mentah adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun Koka
yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan Kokaina.
10. Kokaina adalah Metil ester 1-bensoil ekgonina dengan rumus kimia
C17H21NO4,
11. Ekgonina adalah 1-ekgonina dengan rumus kimia C9H15NO3H20 dan ester
serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Kokaina.
12. Tanaman Ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus
Cannabis, termasuk biji dan buahnya.
13. Damar Ganja adalah damar yang diambil dari tanaman Ganja, termasuk
hasil pengolahannya, yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.
14. Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah daratan dan perairan Indonesia
beserta udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia, instalasi
di landas kontinen, demikian juga kapal atau pesawat udara berbendera
Indonesia yang berada di Wilayah lain dan tempat-tempat yang menurut
ketentuan yang berlaku termasuk wilayah Indonesia.
15. Impor, adalah memasukkan narkotika ke dalam wilayah Indonesia,
termasuk memuat atau menyimpannya di dalam pesawat udara atau
kapal berbendera Indonesia di luar negeri yang akan atau sedang menuju
Indonesia.
16. Ekspor adalah mengeluarkan obat-obatan yang mengandung narkotika
dari wilayah Indonesia, termasuk memuat atau menyimpannya di dalam
pesawat udara atau kapal berbendera Indonesia yang akan atau sedang
meninggalkan Indonesia.
17. Sertifikat Impor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh
Menteri Kesehatan mengenai, nama, jenis atau sifat dan jumlah atau
berat narkotika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir
dan eksportir, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa
impor tersebut hanya untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan
ilmu pengetahuan.
18. Sertifikat Ekspor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh atau
atas nama pemerintah negara pengekspor mengenai nama, jenis atau
sifat dan jumlah atau berat narkotika yang disetujui untuk diekspor,
nama dan alamat eksportir dan importir, jangka waktu pelaksanaan
ekspor dan lain-lainnya.
19. Izin Impor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan
setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengimpor
narkotika.
20. Izin Ekspor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri
Perdagangan setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk
mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika.
21. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang berbadan
hukum yang memiliki izin usaha perdagangan besar dari Menteri
Perdagangan dan memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan.
22. Pabrik Farmasi adalah perusahaan nasional berbadan hukum yang
memproduksi, mengolah dan atau merakit narkotika serta memiliki izin
khusus dari Menteri Kesehatan.
23. Transito adalah pengangkutan narkotika melalui dan singgah di
Indonesia, dengan atau tanpa pindahnya sarana pengangkutan, antara 2
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
(dua) negara lain.
24. Alat Angkutan adalah setiap alat yang dapat mengangkut narkotika baik
di darat, di air atau di udara.
25. Nakhoda adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya dari suatu
kapal atau kendaraan air lainnya.
26. Kapten Penerbang adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya
dari suatu pesawat udara.
27. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan alat pengangkutan di
darat.
28. Dokter adalah dokter umum, dokter ahli, dokter gigi dan dokter hewan
yang berdasarkan peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
menjalankan praktek pengobatan sesuai dengan bidang kedokterannya.
29. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis
akibat penggunaan atau penyalahgunaan narkotika.
30. Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu
narkotika hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat
menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilannya,
pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.
Pasal 2
Menteri Kesehatan berwenang menetapkan :
i. alat-alat penyalahgunaan narkotika;
ii. bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan
narkotika;
sebagai barang dibawah pengawasan.
BAB II
NARKOTIKA UNTUK KEPENTINGAN PENGOBATAN
DAN ATAU TUJUAN ILMU PENGETAHUAN
Pasal 3
(1) Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau
tujuan ilmu pengetahuan.
(2) Menteri Kesehatan berwenang menetapkan narkotika tertentu yang
sangat berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan
atau tujuan ilmu pengetahuan.
Pasal 4
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan
kepada lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan dapat
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam,
menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan, ataupun menguasai
tanaman Papaver, Koka dan Ganja.
(2) Lembaga yang menanam Papaver, Koka dan Ganja wajib membuat
laporan tentang luas tanaman, hasil tanaman dan sebagainya yang akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 5
(1) a. Menteri Kesehatan memberikan izin kepada apotik untuk
membeli, meracik, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk
persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan. menyerahkan,
mengirimkan dan membawa atau mengangkut narkotika untuk
kepentingan pengobatan;
b. Menteri Kesehatan memberikan izin kepada dokter untuk
membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk
persediaan, menguasai, menyalurkan, menyerahkan, mengirim,
membawa atau mengangkut dan menggunakan narkotika untuk
kepentingan pengobatan.
(2) a. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pabrik farmasi
tertentu untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan
untuk persediaan, menguasai, memproduksi, mengolah, merakit,
menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirim dan membawa
atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan atau
tujuan ilmu pengetahuan;
b. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pedagang
besar farmasi tertentu untuk membeli, menyediakan, memiliki
atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menjual,
menyalurkan, menyerahkan, mengirim dan membawa atau
mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan dan
membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan
pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
c. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada rumah sakit
untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk
persediaan, menguasai, menyerahkan, mengirim, membawa atau
Mengangkut dan menggunakan narkotika untuk kepentingan
pengobatan;
d. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada lembaga ilmu
pengetahuan dan lembaga pendidikan untuk membeli dari
pedagang besar farmasi, menyediakan, memiliki atau menyimpan
untuk persediaan, menguasai dan menggunakan narkotika untuk
tujuan ilmu pengetahuan;
e. lzin khusus selain yang tersebut dalam pasal ini diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pasal 6
(1) Apotik, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi dapat membeli narkotika
dari importir pedagang besar farmasi tersebut dalam Pasal 9.
(2) Ketentuan-ketentuan tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh
apotik, pabrik farmasi, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga
pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Yang dapat menyalurkan narkotika kepada pihak-pihak yang dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) hanyalah apotik.
(2) Apotik dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang
sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter.
Pasal 8
(1) Narkotika dapat dipergunakan untuk pengobatan penyakit hanya
berdasarkan resep dokter.
(2) Ketentuan-ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penderita
penyakit yang memerlukan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 9
Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan, narkotika
hanya dapat diimpor ke Indonesia oleh satu importir pedagang besar farmasi
setelah memperoleh keputusan Menteri Kesehatan dan mendapat izin impor
dari Menteri Perdagangan.
Pasal 10
(1) Mengimpor narkotika yang dimaksud dalam Pasal 9 atau mentransito
narkotika harus disertai sertifikat impor yang dikeluarkan oleh Menteri
Kesehatan.
(2) Sertifikat impor dapat diberikan, setelah diterima permohonan tertulis
yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
(3) Kepada instansi Bea dan Cukai yang bersangkutan dan kepada
Pemerintah negara yang mengekspor diserahkan masing-masing satu
eksemplar tembusan sertifikat impor.
Pasal 11
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Impor atau transito yang dimaksud dalam Pasal 10 harus disertai sertifikat
ekspor atau salinannya yang sah yang dikeluarkan oleh atau atas nama
Pemerintah negara yang mengekspor.
Pasal 12
(1) Setelah narkotika tiba dan diterima, importir yang bersangkutan wajib
melaporkannya kepada Menteri Kesehatan.
(2) Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuknya memberikan catatan
sebagai tanda pengesahan di bagian belakang dari sertifikat ekspor atau
salinannya yang sah tentang nama, jenis atau sifat dan jumlah atau
berat narkotika yang benar-benar diimpor menurut kenyataan.
Pasal 13
(1) Setelah terlaksananya impor, maka sertifikat ekspor yang telah diberi
catatan seperti dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), oleh Menteri
Kesehatan dikirim kepada Pemerintah negara yang mengekspor.
(2) Menteri Kesehatan memberitahukan kepada Pemerintah negara yang
mengekspor, apabila sertifikat impor telah daluwarsa dengan dilampiri
dokumen-dokumen yang bersangkutan.
Pasal 14
Ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 15
Impor Narkotika dan ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika dilakukan
melalui pelabuhan internasional atau melalui perlabuhan internasional atau
melalui pelabuhan lain dengan izin khusus dari Menteri Kesehatan.
Pasal 16
Narkotika yang ada pada apotik, pedagang besar farmasi, pabrik farmasi,
rumah sakit, persediaan para dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, harus disimpan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 17
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Menteri Kesehatan berkewajiban tiap tahun takwim menyusun rencana
kebutuhan narkotika untuk tujuan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan.
Pasal 18
(1) Importir yang dimaksud dalam Pasal 9 berkewajiban untuk menyusun dan
mengirimkan laporan bulanan kepada Menteri Kesehatan mengenai
pemasukan dan pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya,
dengan tembusan kepada Menteri Perdagangan.
(2) Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, lembaga
ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang dimaksud dalam Pasal 5,
berkewajiban untuk menyusun dan mengirimkan laporan bulanan kepada
Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan pengeluaran narkotika yang
ada dalam penguasaannya. ,
(3) Jika dianggap perlu, dokter dapat diwajibkan untuk menyusun dan
mengirimkan laporan kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan
dan penggunaan narkotika yang ada dalam penguasaannya,
Pasal 19
Bentuk dan isi laporan dimaksud dalam Pasal 18 dibuat sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri-Kesehatan.
BAB III
PENGANGKUTAN NARKOTIKA
Pasal 20
(1) Pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nakhoda,
kapten penerbang atau pengemudi tentang jenis dan jumlah narkotika
yang akan diangkut untuk diimpor atau diekspor maupun ditransito.
(2) Sebelum mengangkut narkotika para nakhoda, kapten penerbang atau
pengemudi wajib meminta dari pemilik atau pemuat narkotika-sertifikat
impor atau sertifikat ekspor.
Pasal 21
(1) Pengangkutan narkotika di dalam negeri melalui udara, air, atau darat,
selain harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan, juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
umum yang berlaku bagi pengangkutan melalui udara, air atau darat.
(2) Muatan narkotika harus disimpan pada kesempatan pertama di dalam
peti besi (kluis) atau tempat lain di dalam kapal dengan disegel
bersama-sama oleh nakhoda dan pemilik atau pemuatnya.
(3) Nakhoda membuat suatu berita acara tentang adanya muatan narkotika
yang diangkutnya
(4) Jika sebuah kapal mempunyai narkotika sebagai muatan dan atau
sebagai persediaan dalam apotik kapal, nakhoda berkewajiban untuk
segera setelah tiba di suatu pelabuhan melaporkan hal ini kepada dinas
kesehatan setempat.
(5) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama
oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat Bea dan Cukai.
(6) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa
hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan
pengamanan dan pada kesempatan pertama kapal singgah di pelabuhan
segera melaporkan dan menyerahkan persoalan tersebut kepada yang
berwajib.
(7) Ketentuan lain yang berhubungan dengan pengangkutan narkotika diatur
lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 22
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (7)
berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan di udara dan bagi
pengemudi untuk pengangkutan di darat.
BAB IV
PERBUATAN-PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 23
(1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam
persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver,
tanaman Koka atau tanaman Ganja.
(2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,
mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
(3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau
untuk persediaan atau menguasai narkotika.
(4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau
mentransito narkotika.
(5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk
dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.
(6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain
atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.
(7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.
Pasal 24
Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan
dilarang.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN
DI DEPAN PENGADILAN
Pasal 25
(1) Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain
untuk diajukan ke Pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan
penyelesaian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
(2) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan terhadap
tindak pidana yang menyangkut narkotika dilakukan menurut ketentuanketentuan
yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam Undangundang
ini.
Pasal 26
Penyidik berhak untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui
pos dan alat-alat perhubungan lainnya, yang dicurigai mempunyai hubungan
dengan perkara-perkara yang menyangkut narkotika yang sedang dalam
penyidikan.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pasal 27
Narkotika yang didapati dalam penyidikan atau contohnya diperiksa di
laboratorium pemeriksaan yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 28
Di depan Pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara
yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau
hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Pasal 29
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam kejahatan yang menyangkut
narkotika serta hasilnya dapat dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Perampasan narkotika dan alat yang digunakan serta hasilnya yang bukan
kepunyaan siterdakwa tidak dilakukan apabila hak-hak pihak ketiga yang
beriktikad baik akan terganggu.
(3) Jika dalam keputusan perampasan narkotika dan alat yang digunakan
dalam kejahatan termasuk milik pihak ketiga yang beriktikad baik,
pemilik dapat mengajukan kepada Pengadilan yang bersangkutan
keberatan terhadap perampasan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan setelah pengumuman keputusan Hakim.
(4) Narkotika yang dinyatakan dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) menjadi milik negara, dan metal cara yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan dan Jaksa Agung digunakan untuk keperluan negara atau
segera dimusnahkan.
Pasal 30
Selain kepada penyidik umum yang mempunyai wewenang dalam penyidikan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kepada pejabat kesehatan
tertentu dapat diberi wewenang penyidikan terbatas.
BAB VI
GANJARAN (PREMI)
Pasal 31
Kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang
menyangkut narkotika, diberi ganjaran yang akan diatur dengan Peraturan
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pemerintah.
BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA DAN USAHA PENANGGULANGANNYA
Pasal 32
(1) Orang tua atau Wali dari seorang pecandu narkotika yang belum cukup
umur wajib melaporkan pecandu tersebut kepada pejabat yang ditunjuk
oleh Menteri Kesehatan dan wajib membawanya ke rumah sakit atau
kepada dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan dan
perawatan yang diperlukan.
(2) Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri kepada
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(3) Syarat-syarat untuk melaksanakan ketentuan tersebut dalam ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 33
Hakim dalam memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (7)
dapat memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan dan
perawatan atas biaya sendiri.
Pasal 34
(1) Pengobatan dan perawatan pecandu narkotika serta rehabilitasi bekas
pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi.
(2) Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang lembaga rehabilitasi yang
tersebut dalam ayat (1), termasuk pendirian cabang-cabangnya di
tempat-tempat yang diperlukan, ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Dalam menyelenggarakan rehabilitasi diikut sertakan sebanyak mungkin
lembaga-lembaga dalam masyarakat yang berhubungan dengan masalah
itu, baik milik Pemerintah maupun swasta.
Pasal 35
Guna menanggulangi penyalahgunaan narkotika Pemerintah dapat mengadakan
kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain atau badan
internasional yang menangani masalah ini.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (1) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka
atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas
juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman
Papaver.
(2) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (2) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh
juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka
atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh
juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika
lainnya.
(3) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau
tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas
juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika
lainnya.
(4) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggitingginya
Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(5) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggitingginya
Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(6) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (6) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau
tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas
juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika
lainnya.
(7) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (7) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun
apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman
Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(8) Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan
tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya atau
yang dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1
(satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
Pasal 37
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat
(1) sampai dengan ayat (7) dipidana dengan pidana penjara yang sama dengan
pidana penjara bagi tindak pidananya.
Pasal 38
Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diancam
dengan pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan
ayat (7) ditambah dengan sepertiganya, dengan ketentuan selama-lamanya 20
(dua puluh) tahun.
Pasal 39
(1) Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan
ayat (7) dapat ditambah dengan sepertiga, jika terpidana ketika
melakukan kejahatan, belum lewat 2 (dua) tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya.
(2) Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat (1) diancam
dengan pidana denda, maka pidana denda tersebut dikalikan dua.
Pasal 40
Dokter yang dengan sengaja melanggar Pasal 24 dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Pasal 41
Importir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah)'
Pasal 42
(1) Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter,
lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2),
ayat (3) dan Pasal 19, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya
1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
2) Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam
tanaman Papaver, Koka dan Garija yang tidak melaksanakan kewajiban
membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dipidana
dengan pidana kuningan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah).
Pasal 43
Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan Pasal 22, dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggitingginya
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 44
Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal-pasal 40, 41, 42 dan 43 dapat dikenakan pidana tambahan yang berupa
pencabutan hak seperti diatur dalam Pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ayat (1) ke 1 dan ke 6.
Pasal 45
Barang siapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang
menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5
(lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta
rupiah).
Pasal 46
Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang
menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5
(lima) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah).
Pasal 47
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam
pemeriksaan di depan Pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut
dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu)
tahun.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pasal 48
Barang siapa yang mengetahui tentang adanya narkotika yang tidak sah dan
tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib dipidana dengan pidana
kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.
1.000.000, (satu juta rupiah).
Pasal 49
Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya
atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta
tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi
perintah melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai
pemimpin atau penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun
terhadap kedua-duanya.
Pasal 50
Semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut dalam Bab VIII Undangundang
ini adalah kejahatan, kecuali yang tersebut dalam Pasal 47 adalah
pelanggaran.
Pasal 51
(1) Terhadap warganegara asing yang melakukan tindak pidana yang
menyangkut narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah
Indonesia.
(2) Warganegara asing yang pernah melakukan tindak pidana yang
menyangkut narkotika, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri,
dilarang memasuki wilayah Indonesia.
Pasal 52
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat
dicantumkan ancaman pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu)
tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 53
Untuk tindak pidana yang tidak diatur di dalam Undang-undang ini diperlakukan
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Selama peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam
Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang narkotika
yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 1976
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1976
TENTANG
NARKOTIKA
UMUM
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum
Undang-undang ini berlaku, ialah Verdoovende Middelen Ordonnantie
(Staatsblad 1927 No. 278 jo No. 536) yang telah diubah dan ditambah, beserta
peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut,
berhubung dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan
dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya
penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan
kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang pembuatan obat-obatan,
ternyata tidak cukup memadai untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Peraturan perundang-undangan tersebut tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman karena yang diatur didalamnya hanyalah mengenai
perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu dikenal
dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang
pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak
diatur.
Narkotika merupakan salah satu obat yang diperlukan dalam dunia pengobatan,
demikian juga dalam bidang penelitian untuk tujuan pendidikan,
pengembangan ilmu dan penerapannya. Meskipun ada bahayanya, namun masih
dapat dibenarkan penggunaan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan
atau tujuan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu
pengetahuan, maka dalam Undang-undang ini dibuka kemungkinan untuk
mengimpor narkotika, mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika,
menanam, memelihara Papaver, Koka dari Ganja.
Disamping manfaatnya tersebut, narkotika apabila disalah gunakan atau salah
pemakaiannya, dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan
bagi perorangan serta menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai
kebudayaan. Karena itu penggunaan narkotika hanya dibatasi untuk
kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
Penyalahgunaan pemakaian narkotika dapat berakibat jauh dan fatal serta
menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada narkotika untuk
kemudian berusaha agar senantiasa memperoleh narkotika itu dengan segala
cara, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama maupun hukum yang
berlaku.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Dalam pada itu tidak mustahil, kalau penyalahgunaan narkotika adalah
merupakan salah satu sarana dalam rangka kegiatan subversi.
Di dalam Undang-undang ini diatur pelbagai masalah yang berhubungan dengan
narkotika, meliputi pengaturan mengenai :
1. Ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika.
2. Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti:
penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas,
pengangkutan serta penggunaan narkotika.
3. Ketentuan tentang wajib lapor bagi orang atau badan yang melakukan
kegiatan-kegiatan sebagai tersebut dalam angka 2.
4. Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di depan Pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan
narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur
dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan
Pengadilan, memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang
berlaku.
Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan khusus, tidak berarti
bahwa hak azasi tersangka/terdakwa tidak dijamin atau dilindungi,
bahkan diusahakan sedemikian rupa, sehingga penyimpangan dan
pengaturan khusus itu tidak merupakan penghapusan seluruh hak azasi
tersangka/terdakwa, melainkan hanya pengurangan yang terpaksa
dilakukan demi menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya yang
ditimbulkan karena penyalahgunaan narkotika.
Ketentuan tersebut antara lain ialah, bahwa dalam pemeriksaan di
depan Pengadilan, saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan
perkara yang sedang dalam pemeriksaan dilarang dengan sengaja
menyebut nama, alamat atau hal lain yang memberi kemungkinan dapat
diketahui identitas pelapor (Pasal 28).
5. Ketentuan yang mengatur tentang pemberian ganjaran (premi).
6. Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika.
7. Ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam
penanggulangan masalah yang ditimbulkan oleh narkotika.
Guna memberikan efek preventif yang lebih tinggi terhadap dilakukannya
tindak pidana tersebut, demikian pula untuk memberikan keleluasaan kepada
alat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana tersebut secara
efektif, maka ditentukan ancaman hukuman yang diperberat bagi pelaku tindak
pidana, lebih-lebih dalam hal perbuatan tersebut dilakukan terhadap atau
ditujukan kepada anak-anak dibawah umur.
Karena Indonesia merupakan negara peserta dari Konvensi Tunggal Narkotika
1961, beserta Protokol yang Mengubahnya, maka ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini telah pula disesuaikan dengan hal-hal yang diatur di dalam
Konvensi tersebut.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dalam pasal ini dimuat pengertian dan istilah-istilah teknis yang
digunakan dalam Undang-undang ini, antara lain mengenai tanamantanaman
dari zat-zat yang termasuk ke dalam pengertian narkotika.
Bahan-bahan dan sediaan-sediaan serta campuran-campurannya tersebut
dapat diubah atau ditambah oleh Menteri Kesehatan disesuaikan dengan
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang obat-obatan.
Pasal ini memungkinkan Menteri Kesehatan menetapkan bahan-bahan
yang dapat dipakai sebagai pengganti narkotika, baik yang berasal dari
tanaman maupun yang dibuat secara sintetis sebagai narkotika.
Pengangkutan yang dimaksud dalam Nomor 23 dan 24, termasuk
membawa, menyimpan dan menyediakan.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan alat-alat yang dapat dipergunakan untuk
penyalahgunaan narkotika adalah alat-alat pemadatan, alat suntik dan
alat-alat lainnya yang dipergunakan dengan berbagai cara untuk
memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia.
Pasal 3
Dalam rangka mencegah dan melindungi bahaya-bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh akibat buruk yang sangat merugikan bagi perorangan
dan merupakan bahaya bagi perikehidupan manusia dan kehidupan
negara, Pemerintah perlu diberi wewenang untuk menetapkan berbagai
narkotika tertentu sebagai narkotika yang dilarang digunakan dalam
pengobatan dan ilmu pengetahuan, seperti Diasetil Morfina (Heroina)
dan lain-lain.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Pemberian izin khusus ini dimaksudkan untuk memperketat pengawasan
terhadap peredaran dan penggunaan narkotika. Apotik dan dokter yang
karena pekerjaannya dapat dianggap harus diperkenankan menerima,
menyimpan dan menyerahkan narkotika untuk keperluan pengobatan
tidak memerlukan izin khusus melainkan izin biasa.
Izin bagi dokter tidak merupakan izin tersendiri melainkan merupakan
bagian dari izin melakukan pekerjaan dokter (acte van toelating). Hal ini
berlaku bagi dokter-dokter yang belum memiliki izin pada waktu mulai
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
berlakunya Undang-undang ini. Dokter yang telah mempunyai izin
tersebut diatas pada waktu berlakunya Undang-undang ini dianggap
telah mempunyai izin yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) sub b dan
tunduk pada ketentuan-ketentuan bagi dokter sebagai-mana diatur
dalam Undang-undang ini.
Yang dimaksud rumah sakit dalam pasal ini meliputi unit-unit kesehatan
lainnya.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Maksudnya untuk menjamin pengawasan yang ketat agar resep dokter
tidak disalahgunakan.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Untuk mengimpor narkotika secara khusus diperlukan izin impor dari
Menteri Perdagangan setelah memperoleh keputusan Menteri Kesehatan,
karena Menteri Kesehatan mengetahui kebutuhan nasional akan
narkotika.
Mengingat pentingnya impor narkotika dan untuk pengetatan maka
keputusan hanya dapat dilakukan oleh Menteri Kesehatan sendiri.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Setelah importir menerima pengiriman narkotika, ia harus segera
memeriksa apakah jenis, mutu dan jumlah atau bobot narkotika yang
diterimanya telah sesuai dengan yang tersebut dalam sertifikat ekspor.
Pasal 13
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pasal 14
Yang dapat diekspor hanyalah obat-obatan yang mengandung narkotika.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan pelabuhan internasional dalam pasal ini adalah
pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional.
Pasal 16
Maksud pasal ini ialah untuk mengamankan narkotika agar tidak dengan
mudah digunakan oleh orang yang tidak berhak.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Maksud adanya kewajiban untuk menyusun dan mengirim laporan adalah
agar Menteri Kesehatan setiap waktu dapat mengetahui tentang
persediaan narkotika yang terdapat pada importir dan pedagang besar
farmasi.
Laporan tersebut berupa daftar catatan yang disusun secara terperinci.
Agar dapat dicegah penyalahgunaan narkotika, maka tembusan laporan
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini selain disampaikan kepada
Menteri Perdagangan disampaikan pula kepada Jaksa Agung dan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 19
Bentuk dan isi laporan ditentukan oleh Menteri Kesehatan agar terdapat
keseragaman.
Pasal 20
Yang dapat diekspor hanyalah obat-obatan yang mengandung narkotika.
Pasal 21 dan Pasal 22
Pasal ini berintikan jaminan bahwa pengangkut baik di darat, di air
maupun di udara, bertanggungjawab dan wajib menempuh prosedur
yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu-lintas narkotika di
Indonesia.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Maksudnya untuk mencegah penyalahgunaan pemakaian narkotika dan
agar semata-mata diberikan hanya kepada penderita yang memerlukan
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
pengobatan dan atau untuk keperluan pengobatan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ketentuan pasal ini mengatur, bahwa hanya surat-surat dan kiriman
melalui dinas pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang dicurigai atau
diduga keras berhubungan langsung dengan tindak pidana narkotika
dapat dibuka untuk diperiksa.
Pasal 27
Laboratorium pemeriksa adalah laboratorium Pemerintah seperti
Laboratorium Farmasi Nasional, Laboratorium kriminil dan lain-lain dan
narkotika yang didapati dalam penyelidikan disimpan dengan segel
dalam tempat tertentu dengan disaksikan oleh tersangka.
Pasal 28
Pasal ini dimaksud untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor,
ialah mereka yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak
pidana narkotika, agar supaya pelapor tidak takut-takut akan diketahui
nama dan alamatnya yang mungkin akan membahayakan
keselamatannya, apabila ia dikenal oleh umum.
Karena sangat diharapkan laporan-laporan tentang tindak pidana
narkotika yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan, maka
perlulah diberikan perlindungan terhadap para pelapor tersebut yang
sungguh-sungguh akan membantu usaha pemeriksaan tindak pidana
narkotika.
Supaya perlindungan ini dapat dijamin, maka saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan wajib
merahasiakan nama, alamat atau hal-hal yang memungkinkan
diketahuinya pelapor, baik dalam fase pemeriksaan pendahuluan
maupun di depan Pengadilan.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Maksud dari pasal ini ialah memberikan wewenang penyidikan terbatas,
karena keahliannya dapat membantu dalam memperlancar pemeriksaan.
Wewenang penyidikan yang diberikan kepada pejabat kesehatan meliputi
:
a. Menyita atau memerintahkan penyerahan semua barang-barang
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan dengan penyalahgunaan narkotika.
b. Minta memperlihatkan semua dokumen-dokumen yang menurut
pandangan mereka diperlukan untuk menjalankan tugas dengan
baik.
c. Memasuki semua tempat yang diperlukan untuk menjalankan
tugas dengan baik. Mereka yang menjalankan tugas ini dapat
minta bantuan pejabat-pejabat lain yang mempunyai wewenang.
Pasal 31
Pasal ini maksudnya untuk memberikan gairah bagi berhasilnya
penyidikan tindak pidana narkotika yang sangat tertutup dan pelik
masalahnya.
Pasal 32
Untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya
narkotika, dalam hal ini khusus pecandu narkotika, maka diperlukan
pengikut sertaan masyarakat dan disamping itu orang tua/wali guna
meningkatkan pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
Pasal 33
Hakim dalam memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 36
ayat (7) dapat :
a. Memerintahkan yang bersalah itu dimasukkan dalam lembaga
rehabilitasi pecandu narkotika dengan tidak memidananya, dan
atau
b. memidana yang bersalah.
Pasal ini berdasarkan pikiran bahwa pecandu narkotika itu selain orang
yang melanggar ketentuan Pasal 23 ayat (7), juga merupakan korban
penyalahgunaan narkotika.
Pasal 34
Oleh karena pengobatan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan
narkotika tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab Pemerintah
akan tetapi juga merupakan tanggungjawab masyarakat pada umumnya
maka dipandang perlu adanya lembaga rehabilitasi tersebut.
Pasal ini dimaksudkan untuk lebih menjamin koordinasi di dalam usaha
pengawasan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika,
mengingat bahwa masalah ini menyangkut berbagai segi sosial dan
melibatkan berbagai instansi Pemerintah dan Swasta secara fungsionil.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Menurut pasal ini percobaan melakukan tindak pidana narkotika,
diancam dengan pidana yang sama dengan tindak pidananya, karena
dianggap bahwa percobaan itu sendiri sudah berbahaya.
Pasal 38
Pasal ini dimaksudkan untuk lebih melindungi generasi muda yang akan
datang, mengingat bahwa kelompok masyarakat yang paling rawan
terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika adalah anak-anak yang
belum cukup umur, maka orang yang menyebabkan terjerumusnya anakanak
tersebut perlu dijatuhi hukuman yang lebih berat lagi. Pemidanaan
terhadap pembujukan dilakukan apabila perbuatan tersebut telah
mempunyai akibat.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45 dan Pasal 46
Pasal-pasal ini maksudnya untuk memperlancar proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan
Pasal 47
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi pelapor.
Pasal 48
Maksud dari pasal ini agar setiap tindak pidana narkotika tidak terluput
dari penyidikan.
Pasal 49
Ketentuan pasal ini adalah untuk mencakup kemungkinan dalam hal
tindak pidana narkotika dilakukan oleh badan hukum, perseroan,
perserikatan orang yang lainnya, atau yayasan, maka terhadap badanbadan
tersebut maupun pengurusnya dapat dikenakan pidana.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud pengusiran disini adalah pengusiran setelah yang
bersangkutan selesai menjalani pidana.
Ayat (2)
Ayat ini untuk mencegah kemungkinan orang yang bersangkutan
mengulangi lagi melakukan tindak pidana narkotika di Indonesia.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
ditjen Peraturan Perundang-undangan

No comments: