Saturday, 19 February 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINTS ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBSTANCES, 1988 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1988)

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 17, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3673)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINTS ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBSTANCES, 1988
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1988)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, adil, bersahabat, tertib, dan damai;
b. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, perlu dilakukan upaya secara terus-menerus termasuk di bidang keamanan dan ketertiban serta di bidang kesejahteraan rakyat dengan memberikan perhatian khusus terhadap bahaya dan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
c. bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika dapat mengancam kehidupan individu, ketahanan nasional, bangsa, dan negara Indonesia serta merupakan malasah bersama yang dihadapi bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia yang harus ditanggulangi serta diberantas bersama dalam bentuk upaya penegakan hukum, baik dalam skala nasional maupun internasional melalui kerjasama bilateral, regional atau multilateral;
d. bahwa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 merupakan penegasan dan penyempurnaan atas prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol 1972 yang telah mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961, serta Konvensi Psikotropika 1971, sehingga menjadi sarana yang lebih efektif dalam memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika;
e. bahwa Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, oleh karena itu telah menandatangani United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) di Wina, Austria pada tanggal 27 Maret 1989 dan telah pula meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 dan Konvensi Psikotropika 1971, dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e dipandang perlu mengesahkan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) dengan Undang-undang;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1) Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATION CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBSTANCES, 1988 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1988).

Pasal 1
Mengesahkan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) dengan Reservation (Persyaratan) terhadap Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) yang bunyi lengkap Persyaratan itu dalam bahasa Inggeris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia serta salinan naskah asli United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) dalam bahasa Inggeris serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang.

Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 24 Maret 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Maret 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

MOERDINO

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 3673 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 17)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBSTANCES, 1988
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
TENTANG PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1988)

UMUM

Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan pembangunan nasional dalam suasana aman, ternteram, tertib, dan dinamis baik dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pengendalian terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Dalam mengantisipasi adanya gangguan dan ancaman tersebut, Indonesia turut serta dalam upaya meningkatkan kerjasama antar negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, dengan memberi perhatian khusus terhadap penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dengan tidak mengabaikan manfaatnya di bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan.
Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umunya, saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya pemakaian secara tidak sah bermacam-macam narkotika dan Psikotropika.
Kekhawatiran ini semakin dipertajam akibat meluasnya peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara selanjutnya, karena generasi muda adalah penerus cita-cita bangsa dan negara pada masa mendatang.
Peningkatan peredaran gelap narkotika dan prikotropika tidak terlepas dari kegiatan organisas-organisasi kejahatan trans-nasional yang beroperasi di berbagai negara dalam suatu jaringan kejahatan internasional. Karena keuntungan yang sangat besar, organisasi kejahatan tersebut berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan dan mengembangan terus usaha peredaran gelap narkotika dan psikotropika dengan cara menyusup, mencampuri, dan merusak struktur pemerintahan, usaha perdagangan, dan keuangan yang sah serta kelompok-kelompok berpengaruh dalam masyarakat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, telah diadakan berbagai kegiatan yang bersifat internasional termasuk konferensi yang telah diadakan baik di bawah nauangan Liga Bangsa-bangsa maupun di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Diawali dengan upaya Liga bangsa-Bangsa pada 1909 di Shanghai, Cina telah diselanggarakan persidangan yang membicarakan cara-cara pengawasan perdagangan gelap obat bius. selanjutnya pada persidangan Opium Commission (Komisi Opium) telah dihasilkan traktat pertama mengenai pengawasan obat bius, yaitu Internasional Opium Convention (konvensi internasional tentang Opium) di Den Haag, Belanda pada tahun 1912.
Di bawah nauangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah dihasilkan Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 (Konvensi Tunggal Narkotika 1961) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 30 Maret 1961, dan telah diubah dengan 1972 Protocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 (protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi Tunggal narkotika 1961) dan Convention on Psychotropic Substances, 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) di Wina, Austria pada tanggal 25 Maret 1972, dan terakhir adalah United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988).
Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 serta Protokolnya dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 dan Konvensi Psikotropika 1971 dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Sejalan dengan cita-cita bangsa di atas, dan komitmen Pemerintah dan rakyat untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam setiap usaha memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, Indonesia memandang perlu meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Praffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotropika, 1988) dengan Undang-undang. Undang-undang ini akan memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk mengambil langkah-langkah dalam uapaya mencegah dan memeberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotik dan psikotropika.

POKOK-POKOK PIKIRAN
YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI

Didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta kenyataan bahwa anak-nak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi, dan perdaganggan gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988. Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, antara lain, sebagai berikut:
1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, protokol 1972 Tentang perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
4. Perlunya memperuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjsama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

POKOK-POKOK ISI KONVENSI

1. Ruang Lingkup Konvensi
Konvensi bertujuan untuk meningkatkan kerjsama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai Konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas tidak mencampuri urusan yang pada hakekatnya merupakan masalah dalam negeri masing-masing.

2. Kejahatan dan Sanksi
Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, Negara-negara Pihak dari Konvensi akan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika, Pengertian peredaran mencakup berbagai kegiatan dari awal sekali, yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalulintas, pengedaran, sampai ke pemakaiaannya, termasuk untuk pemakaian pribadi.
Terhadap kejahatan tersebut di atas, dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh dapat dibuktikan sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu pelakunya dapat dikenakan pembinaan, purnarawat, rehabilitasi, atau reintegrasi sosial.
Para pihak menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), merupakan kejahatan serius, seperti:
a. keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota;
b. keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara internasional;
c. keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukannya kejahatan tersebut;
d. penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku;
e. kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabtannya;
f. menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan;
g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga dan kegiatan sosial;
h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing Pihak;
Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam Konvensi ini adalah jenis-jenis kejahatan yang menurut sistem hukum nasional negara pihak dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana.

3. Yurisdiksi
Negara harus mengambil tindakan yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pelaku atau tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah, di atas kapal atau di dalam pesawat udara Negara Pihak tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh orang yang bertempat tinggal di wilayah tersebut.
Masing-masing Pihak harus mengambil juga tindakan apabila diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), jika tersangka pelaku kejahatan berada di dalam wilayahnya dan tidak diekstradisikan ke Pihak lain.

4. Perampasan
Para Pihak dapat merampas narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi.
Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dari Negara pihak berwenang untuk memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolaknya dengan alasan kerahasiaan bank.
Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas. Apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional Negara Pihak.

5. Ekstradisi
Kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini termasuk kejahatan yang dapat diekstradisikan dalam perjanjian ekstradisi yang diadakan di antara para Pihak.
Apabila Para Pihak tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang termasuk dalam lingkup berlakunya pasal ini.

6. Bantuan Hukum Timbal Balik
Para Pihak akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penuntutan, dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini.
Bantuan Hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan:
a. mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang;
b. memberikan pelayanan dokumen hukum;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan;
d. memeriksa benda dan lokasi;
e. memberikan informasi dan alat bukti;
f. memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catatannya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau
g. mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau benda lain untuk kepentingan pembuktian;

7. Pengalihan Proses Acara
Dibukanya kemungkinan bagi Negara Pihak untuk mengalihkan proses acara dari negara satu ke negara lain, jika pengalihan proses acara tersebut dipandang perlu untuk kepentingan pelaksanaan peradilan yang lebih baik.

8. Kerja Sama Peningkatan Penegakan Hukum
Para Pihak harus saling bekerjasama secara erat, sesuai dengan sistem hukum dan sistem administrasi masing-masing, dalam rangka meningkatkan secara efektif tindakan penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, antara lain:
a. membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas masing-masing yang berwenang, untuk memudahkan pertukaran informasi;
b. saling kerjasama dalam melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini;
c. membentuk tim gabungan;
d. menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan;
e. mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau personil lainnya termasuk pabean yang bertugas memberantas kejahatan tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini; dan
f. merencanakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang dirancang untuk meningkatkan keahlian.

9. Kerja Sama Oganisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara Transit
Para Pihak harus bekerjasama langsung atau melalui organisasi internasional atau regional yang berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit, khususnya negara-negara berkembang, yang membutuhkan bantuan melalui program kerjasama teknik guna mencegah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait.

10. Penyerahan yang Diawasi
Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, Para Pihak dapat mengambil berbagai tindakan yang perlu dalam batas kemampuannya untuk menggunakan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan Persetujuan atau Pengaturan yang disepakati bersama oleh masing-masing pihak, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya.
Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya diawasi telah disetujui, atas persetujuan Para Pihak yang bersangkutan, dapat diperiksa, dan dibiarkan lewat dengan membiarkan narkotika atau psikotropika tetap utuh, dikeluarkan atau diganti seluruhnya atau sebagian.

11. Bahan-bahan yang Sering Digunakan dalam Pembuatan Secara Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Laporan tersebut disampaikan kepada Para Pihak dan Komisi melalui Sekretaris Jenderal untuk mendapatkan tanggapan.
Berdasarkan tanggapan tersebut, melalui kerjasama, Para Pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan dalam mencegah penyalahgunaan bahan-bahan yang termasuk Tabel I dan II tersebut.

12. Pembasmian Tanaman Gelap Narkotika dan Peniadaan Permintaan Gelap narkotika dan Psikotropika
Dalam Konvensi ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan memberantas tanaman yang mengandung narkotika dan psikotropika yang ditanam di dalam wilayahnya masing-masing, serta mendorong kerjasama untuk meningkatkan efektifitas pembasmian meliputi dukungan pembinaan desa terpadu yang mengarah pada pembinaan alternatif ekonomis yang lebih baik daripada melakukan penanaman secara gelap tanaman tersebut. para pihak juga harus mempermudah pertukaran ilmiah, teknik, dan pelaksanaan penelitian.

13. Pengangkutan Komersial
Sehubungan dengan pengangkutan komersial, Konvensi ini mengharuskan para Pihak untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna menjamin agar angkutan komersial tidak digunakan untuk melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan mengambil tindakan pencegahan dan pengamanan serta mengadakan kerjasama di antara pejabat yang berwenang dan pabean.

14. Dokumen Perdagangan dan pemasangan Label Ekspor Dokumen perdagangan seperti faktur, surat muatan kargo, dokumen pabean, surat pengangkutan, dan pengapalan lainnya serta pemasangan label ekspor narkotika dan psikotropika yang sudah akan didokumentasikan secara baik. Di dalam label ekspor tersebut harus dicantumkan nama narkotika dan psikotropika, jumlah yang diekpor serta nama dan alamat eksportir dan importir.

15. Lalu Lintas Gelap melalui Laut
Di dalam Konvensi ini ditetapkan bahwa Para Pihak harus bekerjasama untuk memberantas lalu lintas gelap melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional atas perjanjian yang berlaku antara Para Pihak, Negara Bendera dapat memberi izin kepada Negara Peminta untuk, inter alia, memasuki dan memeriksa kapal serta mengambil tindakan yang diperlukan menyangkut kapal, orang dan muatan dalam kapal, jika terbukti terlibat dalam peredaran gelap.
Tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat terbang militer atau kapal laut atau pesawat terbang lain yang diberi tanda dengan jelas sebagai kapal laut atau pesawat terbang pemerintah.

16. Kerja Sama Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Para Pihak harus bekerjasama untuk memberantas peredaran gelap narkotika melalui laut, di pelabuhan bebas, di zona perdagangan bebas, atau dengan menggunakan sarana pengangkutan konvensional atau jasa pos.
Para Pihak harus berusaha untuk menetapkan dan menyelenggarakan sistem pengawasan di wilayah pelabuhan dan dermaga, pelabuhan udara, dan pos pengawasan perbatasan di Zona perdagangan bebas daan pelabuhan bebas.

17. Tindakan yang Lebih Ketat untuk Mencegah atau Memberantas Peredaran Gelap Narkotika Negara-negara Pihak dapat mengambil tndakan yang lebih ketat daripada yang diatur dalam Konvensi ini, jika tindakan itu memang diperlukan untuk mencegah atau memberantas peredaran gelap narkotika.

18. Perselisihan
Perselisihan yang timbul di antara Para Pihak dalam meanfsirkan atau menerapkan Konvensi ini, akan diselesaikan melalui negoisasi, pemeriksaan, mediasi, konsoliasi, arbitrasi, atau cara penyelesaian perselisihan dengan jalan damai yang mereka pilih.
Jika Perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, dengan permintaan salah satu Pihak yang berselisih, permasalahnnya dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Jika pihak di dalam perselisihan adalah suatu organisasi integrasi ekonomi regional, melalui Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat dimintakan Pendapat (Advisory Opinion) Mahkamah Internasional sebagai putusan yang mengikat.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli Konvensi ini dalam bahasa Inggeris. Diajukannya Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) Konvensi berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak.

Pasal 2
Cukup jelas
LAMPIRAN

PENSYARATAN TERHADAP
PASAL 32 AYAT (2) DAN AYAT (3)
KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN
PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA 1988

Republik Indonesia, walaupun melakukan aksesi terhadap dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 tidak berarti terikat pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3), dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran dan penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) Pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan Para Pihak yang bersengketa.
LAMPIRAN

RESERVATION ON
ARTICLE 32 PARAGRAPHS (2) AND (3)
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1988

The Republic of Indonesia, while acceding to United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 does not consider if self bound by the provision of Article 32 Paragraphs (2) and (3), and takes the position that dispute relating to the interpretaion and application on the Convention which have not been settled through the channel provided for in Paragraph (1) of the said Article, may be referred to the International Court of Justice only with the concent of all the Parties to the dispute.

No comments: