Showing posts with label Belajar Sastra Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Belajar Sastra Indonesia. Show all posts

Wednesday, 11 April 2012

VIRGINITY TESTS & STRAY MARRIAGES: RUMOURS AND REALITIES OF MARRIAGE PRACTICES IN CONTEMPORARY SAMIN SOCIETY (A STUDY OF THE SAMIN PEOPLE OF KLOPODUWUR, BLORA, CENTRAL JAVA)




Price: $14.00

From the mid – 19th century the Samin people have made a contribution to resistance to Dutch colonial rule in rural Java by their non-violence movement and passive resistance (lijdelijk verset). History also notes that they have a unique culture and system of values which reflect their own local wisdom. However, many negative rumours have become widespread regarding this community. This book explores the marriage practices in Samin society and finds out how Samin society gives meaning to these marriage practices. It examines whether the practice of ‘virginity tests’ and ‘stray marriages’ exist in contemporary Samin society. To know the actual marriage practices of the Samin Klopoduwur, the author during his research used a feminist ethnography approach. Reading this book, the author invites us to enter this community and to look up many interesting aspects, such as their cultures, beliefs, customs and local wisdom.



This eBook is available at:
Lulu Bookstore
Apple iBookstore
Barnes & Noble NOOK
Google play Books
Kindle eBooks amazon
Textbooks
Booko
Smashwords
General eBooks
Createspace
Kobo eBooks
Indogo eBooks
Angus & Robertson Bookstore
Bookworld



This Book is available at:



VIRGINITY TESTS & STRAY MARRIAGES

RUMOURS AND REALITIES OF MARRIAGE PRACTICES IN CONTEMPORARY SAMIN SOCIETY
(A STUDY OF THE SAMIN PEOPLE OF KLOPODUWUR, BLORA, CENTRAL JAVA)




Arif Rohman





Product Details

ISBN
9781291494778
Edition
Second Edition
Published
2 August 2013
Language
English
Pages
60
File Format
ePub
File Size
1.53 MB










Saturday, 26 February 2011

Budaya Pembebasan di Indonesia Sejarah, metode dan bentuk

Budaya Pembebasan di Indonesia Sejarah, metode dan bentuk



Budaya tak sekadar warisan seni dalam kertas berdebu minta dicetak ulang, batu-batu rapuh minta dipugar atau juga gagasan beku nenek-moyang minta dielus atau dikritik bahkan dihancurkan, tapi ia adalah semua dalam material dan immaterial yang cahayanya memancar tanpa diminta atau dijelaskan bahkan. Bukankah kita sering mendengar Bali, pulau dewata, Jawa: halus-lembut, eropa: liberal, soviet: revolusioner, Padang: cinanya Indonesia alias pintar dagang dan lain-lain. Semuanya itu sering disebut Ethos. Dicitrakan dalam karya-karya seni: sastra-sastranya, musik-musiknya, tari-tariannya, rumah-rumahnya, gedung-gedungnya, taman-tamannya, pesta-pestanya, jalan-jalannya, tingkah-lakunya, humor-humornya dan akhirnya kosmos keseluruhan dalam alam pikirannya untuk memahami ontologi keberadaan dirinya dan alam semesta ruang dan waktu tempat ia berdiri hidup, bernafas dan mati. Atau singkatnya Filsafat.

Dalam praktek hidup manusia yang panjang itu sampai juga pada pemahaman masyarakat berkelas: penindas dan kaum tertindas bahkan kesimpulan dari hidupnya: sejarah manusia adalah sejarah perjuangan klas yaitu perjuangan dan pemberontakan antara kaum tertindas kepada kaum penindas. Tanpa penindasan tentu tak akan ada perjuangan pembebasan. Itulah yang menggerakkan roda kemajuan zaman. Pemahaman ini dimulai oleh Hegel dan diteruskan para pengikutnya terutama yang bergerak di lingkaran Hegelian Kiri, termasuk Karl Marx.

Di sini, dimulai peletakan batu fondasi budaya pembebasan. Heine menyatakan dalam syair:

Terimakasih bagi Hegel
Yang mengajari saya
Bahwa Tuhan yang baik
Tidak bermukim di dalam surga
Seperti yang dikatakan nenek
Tapi saya sendiri
Dapat jadi Tuhan yang baik

Bangunan budaya pembebasan pun terus menemukan bentuk. Gerakan pembebasan ini berkait erat dengan perlawanan-perlawanan rakyat dalam berbagai bentuk termasuk seni yang berkehendak membebaskan diri dari sistem penindasan dan penghisapan bahkan menemukan jenis manusia yang menjadi juru-slamat seni dari penindasan Kapitalisme yakni klas pekerja.

Itulah capaian filsafat abad ke-19. Ia seperti menara tinggi yang sanggup melihat capaian kebudayaan masa lalu dan masa depan. Kebudayaan masa lalu yang bagaimana yang harus dimaknai sebagai hasil kemerdekaan manusiawi atau harus dihancurkan karena bermakna anti-manusia dan bagaimana kebudayaan masa depan harus dibangun yaitu budaya yang membebaskan manusia dari sistem penindasan dan penghisapan.

Kearifan pembebasan macam itu sampai juga pada kita yang berada di persimpangan budaya: nusantara. Sneevlit membawa api baru dalam gerakan pembebasan. Ia membangunkan organisasi yang berlawan pada tahun 1914. Membangkit orang-orang pribumi untuk menyadari sistem penindasan dan penghisapan yang berlaku atas negeri dan rakyat nusantara serta melawannya. Hasil dari olahan tangannya adalah Semaun: remaja non akademik yang berkesadaran maju, di bidang ideologi, politik dan organisasi pada usia 13 tahun. Pada usia remaja ini, Semaun telah dipercaya menjadi sekretaris SI cabang Semarang. Tentu ini suatu kemampuan yang ajaib yang tak akan ditemukan pada masa sekarang. Pada masa lalu kalau kita percaya tentu yang dapat menyaingi adalah Yesus yang sanggup berdebat dengan para rabbi Yerusalem pada usia 12 tahun. Obor pembebasan di nusantara ini terus menjalar, meretas jalan pembebasan dan berusaha memahami detail keringat untuk kerja pembebasan yang telah ditempuh para pekerja sebelumnya. Alat-alatnya telah ditaburkan ISDV minimal arah pembebasan manusia secara komprehensif.

***

Tanpa Obor: Kegelapan pun Harus dimaknai

Beberapa orang menolak ada basis budaya pembebasan di Indonesia (di Nusantara). Yang ada melulu budaya pembodohan, penindasan. Semua budaya yang membebaskan datang dari luar yang datang bersama imperialisme: Belanda menghapuskan budaya sutee dan melarang kanibalisme, Inggris menghancurkan pemilikan tanah yang feodal. Bersama mereka juga dibawa nilai-nilai baru: demokrasi, sosialisme, nasionalisme, pendidikan: zending yang kemudian ditiru Muhamaddiyah. Rapat, kongres, pertemuan, notulensi dan vergadering, termasuk teater pun dibawa oleh mereka. Pramoedya juga berada dalam posisi seperti ini. Tapi benarkah begitu? Kalau ukurannya adalah gerakan pembebasan modern dengan cara pikir yang modern: rasionalitas. Tentu pendapat ini dibenarkan. Logika modern sendiri baru dikembangkan Aristoteles pada abad 4 SM. Cara berpikir yang berangkat dari kesimpulan atas perenungan manusia sendiri baru berkembang pada beberapa abad sebelum Aristoteles. Semua itu terjadi di Asia kecil dengan Yunani sebagai bintangnya. Kebudayaan ini meluas bersamaan meluasnya kerajaan Macedonia di bawah Alexander Agung: Helenisme yang sampai juga di India. India kelak menjadi kiblat kebudayaan berabad-abad kerajaan-kerajaan nusantara. Pengaruhnya sampai kini terasa terutama dalam bahasa. Bahkan pernah menguasai bahasanya, Sangskerta dianggap menguasai bahasa dewa, kemudian bahasa yang indah dan menjadi kembangnya bahasa Jawi yang menjadi syarat bila ingin menjadi pujangga.

India memperkenalkan huruf, cara berhitung dan pengaturan masyarakat dan tentu saja cara berpikir dan kepercayaanya. Pram memaknai ini sebagai perubahan dari kondisi komunal purba ke feodalisme sebagai penindasan pertama. Semua ini dipastikan dilakukan dengan cara kekerasan. (Baca Hoa Kiau di Indonesia) Bagaimana ini berjalan belum pernah ada penelitian. Kebanyakan penulis Kebudayan Indonesia, Pengaruh India berlaku dengan perdagangan dan penyebaran agama yang selanjutnya berkembang di masyarakat karena diterima dengan damai. Perlawanan yang ada adalah perlawanan budaya dengan tetap mempertahankan ciri-ciri lokal yang dianggap dikerjakan oleh para genius lokal yang tak ingin larut dalam indianisasi. Misalnya Candi yang berundak, dengan pundennya dianggap budaya asli. Lantas: cara penguburan bujur selatan-utara, bahkan dianggap sebagai simbol perlawanan dan kehati-hatian karena dari utaralah datang kematian dan kehidupan.

Masa-masa gelap di bawah feodalisme ini berlangsung lama tanpa kepemimpinan yang jelas. Tak ada terang budaya yang membebaskan. Intrik-intrik kotor khas feodal berlangsung terus: mulai dari rebutan kerajaan sampai selir. Walau begitu kegelapan ini diterangi dengan: peribahasa, cerita dan dongeng perlawanan tanpa akhir dari para pengembara ksatria yang setia pada rakyat kecil: seperti Joko Umboro, Joko Lelono dan seringkali dengan mengangkat cerita budaya di luar mainstream Kraton: seperti Syech Siti Jenar, Arya Penangsang, Mangir, atau Centhini atau menulis satir dengan nama-nama gelap seperti yang disinyalir dikerjakan oleh Ronggo Warsito. Sampai pada Cipto, Mangir dijadikan tokoh untuk melawan feodalisme Kraton, Ronggo Warsito sampai pada lekra masih harus diteliti dan diterjemahkan syair-syair kerakyatannya. Arya Penangsang oleh Pram melalui Tirto dijadikan tokoh acuan yang memberontak terhadap Kebudayaan yang beku, pedalaman.

Beberapa peribahasa yang dianggap maju, progresif menjelaskan ketertindasan rakyat dan memberi ruang kesadaran untuk melawan misalnya:

Nek awan duweke sing nata nek wengi duweke dursila
Mutiara asli tetap berkilau, meski ditutupi lumpur kebohongan.
Becik ketitik ala ketara
Siapa menanam angin, akan menuai badai
Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, ,
Ada udang dibalik batu
Sedia payung sebelum hujan

Peribahasa-peribahasa ini belum diteliti latar-belakang kemunculannya dan kapan. Cuma alat budaya yang muncul pada masa seperti ini kebanyakan berupa puisi yang kemudian disarikan dalam pepatah dan peribahasa. Atau malah sebaliknya: hanya pesan-pesan bijak.

Melawan Budaya Penjajah

Kedatangan kolonialisme Barat yang padamulanya karena rempah-rempah menimbulkan derita bagi rakyat. Tak seperti Jepang yang berusaha melawan kekuatan Barat dengan pengiriman rakyatnya yang cerdas untuk menimba ilmu di Barat atau dengan usaha menterjemahkan buku-buku barat ke bahasa Jepang secara massal, kaum feodal Indonesia justru bekerja sama dengan kolonial menindas rakyat. Rakyat tanpa kepemimpinan modern melawan dengan caranya sendiri-sendiri. Terkadang bersekutu dengan bangsawan yang kecewa karena tak dapat warisan kekuasaan seperti kaum tani yang rela menjadi prajurit Pangeran Diponegoro 1825-1830.

Perang Diponegoro yang didukung kaum tani ini membekas dalam ingatan rakyat. Terlebih penangkapan Dipo sendiri telah diabadikan dalam lukisan Raden Saleh, seorang pelukis pribumi yang sanggup menguasai teknik melukis Barat. Chairil Anwar pun membangunkan Ode buat Dipo dalam Sajak Diponegoro di tahun 1945. Berbagai perlawanan atau cerita paska perlawanan Diponegoro terus membekas dan menjadi inpirasi para pejuang. Beberapa bahkan bangga menjadi keturunan prajurit Diponegoro: lihat film Dua Ksatria. Prajurit-prajurit Dipo yang kalah perang enggan pulang dan meneruskan dengan caranya sendiri termasuk dengan bentuk-bentuk kesenian. Sebagian lagi menjadi basis bagi kemunculan semi proletar di kota-kota Jawa.

Kedatangan kolonialisme

Peranan Max Havelaar

Diskriminasi sosial yang sangat mencolok misalnya telah menyadarkan Mas Marco akan harga dirinya sebagai manusia. Perlakuan sewenang-wenang di stasiun kereta api dan penempelengan kuli-kuli telah merangsang Marco untuk bergerak. Pembacaannya tentang sejarah dunia, buku-buku Multatuli, Veth dan lain-lain telah ikut mempercepat kesadaran akan kebebasan Indonesia (Soe, dblm)

Kartini: Ibu Budaya Pembebasan
Kartini dalam berbagai surat-suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi bacaan kaum pergerakan sekaligus bahkan memberi arah gerakan, memberi jiwa. Karenanyalah Kartini menjadi sumber inspirasi gerakan budaya pembebasan.

Djawa Dipa 1914, sebuah gerakan anti feodal Jawa yang berkembang menjadi gerakan anti kolonialisme Belanda; dilanjutkan dengan pergulatan Ki Hadjar Dewantara membangun Taman Siswa, gerakan pendidikan modern yang berbasiskan kebudayaan asli (Jawa) bagi rakyat jajahan; dan terakhir tentang pilihan “Barat” dan “Timur” dalam polemik kebudayaan tahun 1930-an. (Supartono)

Selamanja saja hidoep, selamanja
saja aan berichtiar menjerahkan djiwa
saja goena keperloean ra’jat
Boeat orang jang merasa perboetannja baik
goena sesama manoesia, boeat orang seperti
itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes
TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai
Maksoednja jaitoe
HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT
SAMA RATA SAMA KAJA
SEMOEA RA’JAT HINDIA
(Semaoen, 24 Djoeli 1919)

Soe Hok Gie
Di Bawah Lentera Merah, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999
Dan waktu itu juga sering terbaca betapa keadaan orang-orang buangan di Digul. Saya pernah membaca betapa kerasnya watak Mas Marco, Boedisoetjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur jenderal menemui mereka. Padahal pertemuan dengan utusan Hilman itu mungkin akan membebaskan mereka dari neraka Digul. Kadang-kadang saya membaca beberapa segi dari kehidupan tokoh-tokoh komunis ini. Misalnya, tentang kebandelan Mas Marco dan kedermawanan Najoan, kesemuanya sangat menarik hati
Itulah sebabnya maka studi mengenai pemberontakan 1926, harus dimulai dari studi terhadap awal mulanya pergerakan kaum “Marxis” Indonesia. Dan dalam hal ini kita harus mulai dengan Sarekat Islam Semarang. Permulaan abad keduapuluh merupakan salah satu periode yang paling menarik dalam sejarah Indonesia, karena sekitar tahun-tahun itulah terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar di tanah air kita. Pesatnya perkembangan pendidikan Barat, pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat dan mulai digunakan teknologi modern, kesemuanya menimbulkan perubahan sosial di Indonesia. Nilai-nilai tradisional yang telah mengakar di bumi Indonesia, tiba-tiba dikonfrontasikan secara intensif dengan nilai-nilai tradisional mereka dan malah ada yang sudah mulai melepaskannya, walaupun pegangan yang baru belum mereka peroleh. Ketiadaan pegangan menciptakan rangsangan untuk mendapatkan suatu pegangan. Sebagian dari mereka mencarinya di dalam pemikiran-pemikiran Islam, sedang yang lain mencari dengan menggali kembali kebudayaan lama untuk disesuaikan dengan dunia mereka yang modern. Sebagian lainnya lagi mencarinya di dalam alam pemikiran Barat.
Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya. Hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. Demikian juga halnya dengan gerakan sosialistik Sarekat Islam Semarang. Saya pikir, bukanlah hal yang kebetulan saja menghebatnya gerakan-gerakan Samin di tahun 1917, bersamaan waktunya dengan munculnya ide-ide sosialis Sarekat Islam Semarang. Bahkan Sarekat Islam merasa adanya persamaan dasar, walaupun yang satu dicetuskan dalam suasana tradisional, sedang yang lainnya dengan jubah modern. Gerakan komunis bahkan mereka terjemahkan dengan gerakan Saminis.2) Dan jika kaum Saminis menggunakan bahasa Jawa kasar untuk siapa saja, maka dalam masa yang bersamaan kita juga menemui gerakan Jawa Dwipa. Yang satu bergerak di desa, sedang yang lainnya di Surabaya.

Dalam kata pengantarnya mereka menyatakan bahwa haluan Sinar Djawa akan lebih radikal dan terhadap pemerintah mereka akan menilainya secara jujur, sedangkan terhadap kaum kapitalis dan kaum priyayi yang memeras akan mereka musuhi.2)
Tetapi ada pula kelompok yang mengajukan konsepsi Marxistis dalam membahas realitas sosial ini, dan tokoh utamanya adalah Hendricus Fransiscus Marei Sneevliet, ketua ISDV.3) Sneevliet bersama kaum ISDVnya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda dari Sl baik di Semarang (Semaoen, Darsono, dan lain-lain), Jakarta (Alimin dan Muso), Solo (H. Misbach) maupun di kota-kota lainnya.
Dari Sneevliet-lah mereka belajar menggunakan analisis Marxistis untuk memahami realitas sosial yang dialami. Mereka berpendapat bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.
Dengan kekuasaan keuangannya, sejumlah orang berhasil memeras kekayaaan alam Indonesia, sekaligus memeras rakyatnya. Kemiskinan yang lahir sebagai akibatnya menumbuhkan kriminalitas di kalangan rakyat Indonesia dalam bentuk perampokan dan kelaparan.4) Kesengsaraan itu menjadi semakin berat lagi oleh peperangan (Perang Dunia I). Perang ini disebabkan adanya persaingan antara kepentingan kaum kapitalis Eropa (Kapitalis Inggris melawan Jerman). Di dalam analisisnya mereka melihat perkebunan, terutama perkebunan tebu sebagai penyebab kemiskinan yang nyata. Dan cara untuk mengatasinya hanyalah dengan sosialisme, yaitu menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang penting bagi hajat hidup rakyat.
Pernerintah yang seyogyanya memperhatikan kepentingan rakyat terbanyak, tidak memperhatikannya dan malah memihak kepada kaum kapitalis. Menurut mereka pemerintah masa itu mewakili kaum uang.5) Karena itu ia bertentangan dengan kepentingan kaum Kromo, dengan rakyat terbanyak.6) Bahkan para anggota Tweede Kamer sendiri, berkepentingan dengan adanya pabrik-pabrik gula. Mereka mempunyai saham-sahamnya di sana.7) Pemerintah dan para pengusaha tidak memperhatikan rakyat dan bahkan karena mempunyai banyak uang mereka dapat membeli dan menyogok pegawai-pegawai pemerintah.
Tetapi ketika adanya bahaya yang mengancam dari luar. Tanpa malu-malu kaum kapitalis/pemerintah menganjurkan adanya milisi Bumiputra. Padahal milisi ini bertujuan untuk melindungi kapital mereka sendiri, dengan menjadikan orang Indonesia sebagai umpan peluru.12) Secara sarkastis Mas Macro mensajakkan:
Indie Weebaar jang dibitjarakan
Sana sini sama mengatakan
Indie Weerbaar akan memasoekkan
anak Hindia di lobang meriam.13)
Karena itu, demi kepentingan Indonesia sendiri, Indie Weerbaar harus dilawan. Dalam bidang perburuhan pun Pemerintah berpihak kepada kaum majikan. Dan tidak mau peduli pada pihak kaum buruh.
Aksi-Aksi Sarekat Islam Semarang (Mei 1917-Oktober 1918)
Goena apa menoelis soerat
Kalau masih dapat berjoempa
Goena apa dapat Volksraad
Kalau masih koerang Sempoerna
Tindakan-Tindakan Pemerintah
. Marco, musuh tradisional Belanda, hampir-hampir pula dijerat Asisten Residen karena ia menulis sebuah sajak yang dapat ditafsirkan sebagai anjuran mengusir kaum “kafir”.8).l0)

Sastra Liar Yang Membebaskan

Beberapa tahun yang lalu, ketika meneliti koran-koran awal tahun tiga puluhan, saya kadang-kadang membaca berita-berita di sekitar proses pengadilan terhadap kaum komunis. Mereka ini, bukanlah tokoh-tokoh utamanya, melainkan hanya peserta biasa saja. Di dalam mengemukakan alasan mengapa mereka ikut memberontak di tahun-tahun 1926-1927, kebanyakan data menunjukkan kepada sebab-sebab kemiskinan. Biografi “rakyat kecil” ini pun sangat menarik. Terkadang, hanya karena hutang 50 sen, atau karena soal-soal kecil lainnya, mereka berani melawan Belanda. (soe)

Oleh: Rudi

Sunday, 5 December 2010

PERIODE ANGKATAN 2000 (1990-2000)

PERIODE ANGKATAN 2000 (1990-2000)



6.1 Sejarah Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie
lalu K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri, muncul wacana
tentang sastrawan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya
sastra puisi, cerpen maupun novel, yang bertemakan sosial-politik, khususnya seputar
reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik
sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaaan sajak dan
penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan
reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir 1990-an, seiring
dengan jatuhnya Orde Baru. Peristiwa reformasi 1998 banyak melatar belakangi kelahiran
karya-karya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel. Bahkan, penyair yang semula jauh dari
tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noer dan Ahmadun Yosi
Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
6.2 Angkatan 2000 dan Karyanya
Setelah wacana lahirnya sastra Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil
dikukuhkan karena tidak memiliki “juru bicara“, dalam hal ini bisa disebut ikon atau
hal/seseorang yang menjadi pencetus maupun tokoh sentral yang mewakili ciri khas dari
angkatan tersebut, Korrie Layun Rampan pada tahun 2000 melempar wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya
diterbitkan oleh Gramedia Jakarta, tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais,
dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, temasuk mereka yang sudah
mulai menulis sejak 1980-an seperi Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno
Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea
Rosa Herliany.
6.3 Ciri-ciri Periode 2000
a. 1990-an (Angkatan Reformasi)
⇒Isi karya sastra sesuai situasi reformasi;
⇒Bertema sosial-politik, romantik, naturalis;
⇒Produktivitas karya sastra lebih marak lagi, seperti puisi, cerpen, novel;
35
⇒Disebut angkatan reformasi;
⇒Tahun 1998 merupakan puncak dari angkatan 90-an;
⇒Banyak munculnya sastrawan baru yang membawa angin baru dalam
kesusastraan Indonesia, contohnya Ayu Utami yang muncul di akhir 90-an
dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New
York.
b. 2000-an (Angkatan Modern)
⇒Tema sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya sastra;
⇒Banyak muncul kaum perempuan;
⇒Disebut angkatan modern;
⇒Karya sastra lebih marak lagi, termasuk adanya sastra koran, contohnya dalam
H.U. Pikiran Rakyat;
⇒Adanya sastra bertema gender, perkelaminan, seks, feminisme;
⇒Banyak muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami pembaca;
⇒Adanya sastra religi;
⇒Muncul cyber sastra di Internet.
6.4 Biografi Sastrawan dan Karyanya
a. Angkatan Reformasi
•Ahmadun Yosi Herfanda
Lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958
Pendidikan: Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister
Teknologi Informasi pada Univ. Paramadina Mulia, Jakarta, 2005.
Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia ( 1993-1995) dan
Ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (1999-2002), Tahun 2003, bersama cerpenis
Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana menerbitkan Creative Writing Institute.
Ahmadun Pernah menjadi Anggota Dewan Penasihat Majelis penulis Forum Lingkar
Pena.
Contoh karyanya:
RESONANSI INDONESIA
bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nahkoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
36
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa
kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur diladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa
kau dan aku
siapakah kau dan aku ?
jawa,cina,aceh,batak,arab,dayak
sunda,madura,ambon,atau papua ?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa
ya, apalah artinya tembok pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda ?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam asuhan
burung garuda
Jakarta, 1984/1999
•Acep Zamzam Noer
Lahir di Tasik pada tanggal 28 Februari 1960.
Pendidikan: Alumnus Seni Rupa ITB dan Universitas Italia Stranieri, Italia
Kumpulan Puisinya:
•Tamparlah Mukaku, 1982
•Aku Kini Doa, 1986
•Antologi Pesta Sastra, 1987
•Kasidah Sunyi, 1989
•Ketika Kata Ketika Warna, 1995
•Kota Hujan, 1996
•Di Luar Kota, 1997
•Di Atas Umbria, 1999
b. Angkatan 2000
•Justina Ayu Utami
Lahir di Bogor, 21 November 1968.
Pendidikan: Fak. Sastra UI
37
Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan. Tak
lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik di masa Orde Baru, dia ikut
mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia
bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang
pertama yaitu Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus karena gaya
penulisan Ayu yang terbuka bahkan terkesan vulgar, inilah yang membuatnya
menonjol dari pengarang-pengarang lainnya. Selain itu, Saman meraih sayembara
penulisan novel Dewan Kesenia Jakarta 1998, berkat novel itu juga Ayu mendapat
Prince Claus Award 2000 dari Frince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas
di Den Haag Belanda.
Ayu Utami dalam novel Saman berhasil menciptakan representasi
seksualitas. “mengarang bagi saya adalah kesedihan, melibatkan, meleburkan diri
dan menerima kemungkinan yang tak direncanakan.” (Katrin Bandel,
Heteronormatifita dan Falosentrisme).
Dalam novel Saman terdapat tokoh bernama Upi, seorang gadis cacat mental,
tetapi fisik dan estrogen serta progesteronnya tumbuh matang. Dalam novel itu
diceritakan bahwa menurut ibunya Upi beringas sekitar satu minggu menjelang
haid. Upi sering melakukan onani dengan masturbasi menggosokkan
selangkangannya pada pohon, tihang listrik, pagar, sudut tembok. Dia juga gemar
memperkosa binatang (bebek dikempit di pangkal paha dan leher dicekik, Saman
71-72). Ia juga kerap dimanfaatkan oleh lelaki iseng yang ingin menikmati
tubuhnya. Kemudian ada tokoh Romo Wis yang membuatkan rumah buat Upi
yang bisa menjamin aktivitas seksualnya, juga membuatkan patung yang diberi
nama Totem Phallus sebagai analogi pacar Upi dan ia boleh bermasturbasi dengan
patung itu (Saman, 78).
Dalam Saman digambarkan pula fenomena 'revolusi seksual' di kota-kota
besar, di mana terjadi pergeseran nilai-nilai ketika perempuan (justru di golongon
menengah ke atas yang notabene terpelajar) merasa menemukan simbol
kemandirian melalui kebebasan seks. Digambarkan bagaimana perempuan
terpelajar generasi baru seperti tokoh Cok dengan entengnya membawa-bawa
kondom dalam tas sekolah dan asyik berganti-ganti pasangan. Kemudian ada
tokoh Sakuntala yang dengan kesadaran penuh mendekap kebudayan Barat yang
serba permisif yang disimbolkan sebagai raksasa, bahkan dengan penuh kesadaran
Sakuntala merusak selaput daranya sendiri sebagai tanda pemberontakan terhadap
tatanan etika dan moralitas sosial yang dianggap membelenggunya.
38
Sosok-sosok perempuan dalam Saman dan Larung menggambarkan citra
perempuan Indonesia yang memiliki keterpelajaran, intelektual, bahkan sosial
ekonomi yang kuat tetapi tidak dapat melepaskan diri dari carut-marut
kebudayaan Orde Baru yang larut dalam kapitalisme. Para tokoh perempuan
tersebut pada satu sisi mampu meraih kemandirian dan berhasil membongkar
ruang domestik untuk mencapai ruang publik yang amat luas, tetapi di sisi lain
mereka sebenarnya menjadi tumbal kebudayaan yang mengalami depresi dalam
upaya menerjemahkan makna pemberontakan, perlawanan, kebebasan dan
kemandirian. Mereka sebenarnya tetaplah Siti Nurbaya-Siti Nurbaya modern yang
menghadapi Datuk Maringgih baru yang lebih kejam dan canggih, yakni
kapitalisme yang serba permisif dengan bentuknya yang lebih gemerlap, lebih
cerdas, lebih bebas, serta lebih culas.
•Dorotea Rosa Herliany
Lahir di Magelang, 20 Oktober 1963
Pendidikan: FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia
(1987). Ia mendirikan Forum Situs Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong
Budaya. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang, juga ia mendirikan
Indonesia Tera, sebuah kelompok belajar kebudayaan dan masyarakat, lembaga
swadaya non-profit yang bekerja dalam lapangan penelitan, penerbitan, dan
pengembangan jaringan informasi untuk pendidikan dan kebudayaan masyarakat.
Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987),
Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995),
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill the Radio (2001). Kumpulan cerpennya:
Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).
•Afrizal Malna
Lahir di Jakarta, 7 Juni 1957
Pernah mengikuti Poetry International Rotterdam (1996)
Kumpulan puisinya: Abad yang Berlari (1984), Yang Terdiam dalam Microfon
(1990), Kalung dari Teman (1999), Anjing Menyerbu Kuburan (1996).
•Sony Farid Maulana
Lahir di Tasikmalaya, 19 Februari 1962
39
Pendidikan: Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia (1986). Semasa kuliah
sudah menulis puisi yang bertemakan sosial, politik, agama, kesunyian, dan
kesepian. Sekarang menulis puisi, prosa, esai, dan laporan jurnalistik di HU
Pikiran Rakyat Bandung. Puisi-puisinya dibukukan dalam Variasi Parijs Van Java
(2004), Tepi Waktu Tepi Salju (2004), Selepas Kata (2004), Secangkir Teh (2005),
Sehampar Kabut (2006), Angsana (2007). Buku Sehampar Kabut masuk dalam
lima besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006. Contoh puisinya yang dimuat
dalam HU Pikiran Rakyat, Sabtu 28 Juli 2007 (mewakili sastra koran):
SOP BUNTUT
“Tuan, di buncit perutmu apa ada
padang rumput?” sepasang sapi jantan
dan betina bertanya demikian kepadaku.
Hujan kembali membaca akar tumbuhan
yang kering digarang kemarau. Kota disergap
demam ribuan buruh pabrik gulung tikar.
Sepasang sapi jantan dan betina membayang
di kuah sop buntut di restoran hotel bintang lima
yang sering dipajak para pecundang. Dan aku
terkejut. Mana mungkin di perutku yang buncit
ada padang rumput selain hijau padang golf?
Begitulah. Maut mengirim isyarat. Dunia
menggeliat dalam kobaran api hutan bakar
kepala si mislkin dipenggal begal digelap malam
raungnya lenyap ditelan lembut alun musik jazz
di restoran hotel bintang lima. “Tuan apa ada
menu terakhir yang ingin anda santap?”
2006
•Nenden Lilis
Lahir di Garut, 26 September 1971
Kumpulan puisi tunggalnya Negeri Sihir (1999), kumpulan cerpen Dua Tengkorak
Kepala (2000). Pernah membaca puisi di Poetry Festival Belanda (1999)
40
•Seno Gumira Ajidarma
Ayahnya Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo
Pendidikan: IKJ Jurusan Sinematografi
Mengikuti teater alam pimpinan Azwar A. N. Beberapa puisinya pernah dimuat di
Horizon. Kemudian ia menulis cerpen antara lain: “Manusia Kamar” (1988),
“Penembak Misterius” (1993), “Saksi Mata” (1994), “Dilarang Menyanyi di
Kamar Mandi” (1995). Novelnya Matinya Seorang Penari Telanjang (2000).
Pada tahun 1987 ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya “Saksi Mata” ia
mendapat Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997).
•Dewi Lestari ( Dewi Dee )
Lahir di Bandung, 20 januari 1976
Ayah Ibu: Yohan Simanungsong-Turlan Siagian
Pendidikan: Univ. Parahyangan dengan gelar sarjana politik.
Ketiga novelnya yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Akar, dan Petir
mendapat nominasi Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 dan 2003.
1. Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dirilis 16 Pebruari 2001
Beberapa pendapat para tokoh:
Dr. I. Bambang Sugiharto: Sebuah petualangan intelektual yang menerabas
segala sekat disipliner; semacam perselingkuhan visioner yang mempesona
antara fisika, psikologi, religi, mitos, dan fiksi.
Sujiwo Tejo: Mereka yang oleh sebab kebiasaan lama terlalu membedakan
fiksi dan nonfiksi akan kecewa dengan buku ini. Tetapi tidak bagi yang selalu
menyongsong segala hal yang tumbuh.
Jakob Sumarjo: Inilah karya sastra bergaya pop art yang sepenuhnya bermain
di dunia hakiki, menentang nilai-nilai lama dengan mengajukan argumentasi
baru agar pembaca memiliki persepsi baru tentang keberadaannya.
Taufik Ismaail: Salah satu kesegaran baru dalam sastra Indonesia,
penelusuran nilai lewat sains, spiritualitas dan percintaan yang cerdas, unik,
dan mengguncang.
2. Akar dirilis pada tanggal 16 Oktober 2002
Novel ini sempat mengundang kontroversial karena dianggap melecehkan
umat Hindu. Umat Hindu menolak dicantumkannya lambang Omkara/Aum
41
yang merupakan aksara suci Brahman Tuhan Yang Maha Esa dalam Hindu
sebagai cover dalam bukunya. Akhirnya desepakati bahwa lambang Omkara
tidak akan ditampilkan lagi pada edisi ke-2 dan seterusnya.
3. Petir dirilis Januari 2005
Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja ia
memasukan empat tokoh baru dalam Petir. Salah satunya adalah Elekta, tokoh
sentral yang ada di novel tersebut.
4. Filosofi Kopi
6.5 Novelis Lainnya
1. Sitta Karina
Kisah Keluarga Hanafiah
Lukisan Hujan
Imaji Terindah
Pesan dari Bintang
Putri Hujan dan Ksatria Malam
2. Fira Basuki
Jendela-Jendela
Pintu
Atap
Brownies
Novel Suami Gila dan Istri Bawel
3. Adhitya Mulya
Jomblo - Sebuah Komedi Cinta
Gege Mengejar Cinta
Kejar Jakarta
4. Ninit Yunita
Kok Putusin Gue?
5. Donny Dhirgantoro
5 cm
6. Andi Eriawan
Always, Laila - hanya cinta yang bisa
7. Habiburrahman El Shirazy
Ayat-Ayat Cinta
8. Puthut EA
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
42
9. Icha Rahmanti
Cintapuccino
10. Danni Junus
Ei tu ze - Bukan Impian Biasa
11. Remy Sylado
Kerudung Merah Kirmizi
12. Chritian Simamora
Macarin Anjing
13. Yennie Hardiwidjaja
Miss Jutek
14. Andi Eriawan
Ruang Rindu
15. Miranda
Sihir Cinta
16. Ratih Kumala
Tabula Rasa
6.6 Kumpulan Cerpen
1. Habiburrahman El Shirazy
Di Atas Sajadah Cinta
Ketika Cinta Berbuah Surga
2. Tamara Geraldine
Kamu sadar saya punya alasan untuk selingkuh ‘kan, sayang ?
3. Intan Paramadhita
Sihir Perempuan
6.7 Fenomena 1990-2000
a. Supernova
43
Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang tahu kalau Dee (Dewi Lestari) sering
menulis. Tuliasan Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpenya berjudulnya
“Sikat Gigi“ pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah
media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun
1993 ia mengirim tulisan berjudul “Ekspresi” ke majalah Gadis yang saat itu sedang
mengadakan lomba menulis. Ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun
berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul “Rico The Coro” yang dimuat di majalah
Mode. Bahkan kerika masih siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan
untuk buletin sekolah.
Novel pertamanya yang sensasional, Supernova satu: Ksatria, Putri dan Bintang
jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan
terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan
cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan “Supernova Satu” edisi Inggris untuk
menebus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan
menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Supernova pernah masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar
QB World Books. Bersaing dengan para sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad,
Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany dengan Kill
the Radio, Sutarji Calzoum Bachri Hujan Menulis Ayam dan Hamsad Rangkuti Sampah
Bulan Desember.
Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua
berjudul Akar pada 16 Oktober 2002. Novel ini sempat mengundang kontroversial karena
dianggap melecehkan umat Hindu. Umat Hindu menolak dicantumkannya lambang
Omkara/Aum yang merupakan aksara suci Brahman Tuhan Yang Maha Esa dalam Hindu
sebagai cover dalam bukunya. Akhirnya desepakati bahwa lambang Omkara tidak akan
ditampilkan lagi pada edisi ke-2 dan seterusnya.
Lama tak terdengar akhirnya Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova
edisi Petir. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja ia
memesukan 4 tokoh baru dalam Petir. Salah satunya adalah Elekta, tokoh sentral yang ada di
novel tersebut.
b. Sastra Perkelaminan
44
Sejarah pun menggambarkan, kesusastaran yang mengakui seks(ualitas) menjadi
peristiwa kesusastaran yang memancing caci-puji dari wilayah kesusastaran dalam
menjelmakan peristiwa kemasyarakatan yang berbuntut pencekalan, penyensoran, dan
pemberangusan.
Sejarah menawarkan bahwa kesusastaran yang mengusung seks(ualitas) mengandung
eksperimen dalam konteks kesusastaran dan kemasyarakatan. Reaksi-reaksi itu menjadi bukti
bahwa seks(ualitas) maish tabu dikalangan sastra dan masyarakat moderen. Padahal peristiwa
intim antartubuh tampil rileks dan polos dalam kesusastaran Jawa tradisional tanpa penolakan
dari masyarakatnya dan dijunjung sebagai karya adiluhung (Gatoloco dan Centini, misalnya).
Alasan filosofis tak ampuh didakwahkan untuk menginsafkan khalayak yang menuding karya
sastra sebagai pornografi dan juga musykil menuntut karya sastra dipandang melulu melalui
kaca mata estetika. Alasan-alasan itu merupakan cita-cita, idealisme, atau tekad kreativitas
kesusastraan.
Tabiat kreativitas kerap menolak kemapanan nilai demi kebaruan yang radikal,
sedangkan masyarakat meneguhi tradisi, ajaran, dan tata nilai soal moral-kata selama
berabad-abad. Akibatnya komunikasi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) berubah
menjadi konfrontasi.
Kesusastraan yang mengusung seks (ualitas) kerap dipandang sebagai pembrontakan
terhadap kemapanan dalam kesusastraan dan kemasyarakatan. Pemberontakan itu merupakan
isyarat aspiratif kesusastraan yang tak ingin absen mengucapkan kenyataan seks(ualitas).
Walau tahu dihadang ancaman tabu, cita-cita kesusastraan tak mundur atau takluk, sebab
ekspresi seks(ualitas) merupakan unsur kehidupan yang penting, mendasar, dan berharga
sebagaimana politik ataupun agama. Sementara itu kesusastraan dipahami awam sebagai
medium penggali keluhuran, penebar nilai kearifan kolektif. Kesusastraan diharapkan
memenuhi kebutuhan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Sedangkan kesusastraan
modern cenderung menjadi medan eksperimen seni dan cara memandang kenyataan, bukan
pelanggeng keyakinan estetis atau pandangan tertentu. Kesusastraan modern tidak hanya
menggambarkan kanyataan yang indah dan arif, tapi juga kenyataan yang najis dan bejad.
Akibatnya kesusastraan modern kerap dicap sebagai oposisi atau alternatif bagi kemapanan
tradisi, nilai, dan pandangan masyarakat maupun aliran kesusastraan tertentu.
Sejarah aliran kesusastraan merupakan interaksi atau pertarungan antara pandangan
kesusastraan dengan pandangan kemasyarakatan. Sejarah tumbuhnya aliran realisme yang
menginginkan sosok kenyataan yang apa adanya tak bisa lepas dari reaksi terhadap hegemoni
aliran romantisisme yang getol merekam kenyataan yang molek dan tata krama agung kaum
borjuis.
45
Secara politis, realisme mendukung cara pandang kaum proletar, dan romantisisme
mewakili cara pandang kaum borjuis. Kedua aliran itu berakar pada konsep yang
berseberangan dalam memandang kenyataan. Aliran-aliran itu bersaing untuk membentuk
kenyataan sesuai konsepnya masing-masing.
Kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) menyimpan risiko-risiko yang
mengakomodasi kesusastraan dan kemasyarakatan berada dalam interaksi yang rawan.
Sebab, kemapanan nilai kerap serupa lepra yang dihindari kesusastraan yang haus pembauran
dan penjelajahan kreativitas. Dan bagi masyarakat, pemberontakan nilai dalam kesusastraan
dianggap bentuk kreativitas terkutuk yang menyesatkan. Masyarakat ingin kemapanan nilai
dan perlakuan sastra tak bersepakat dengan itu. Maka kepenyairan acap dicitrakan sebagai
dekaden, terkutuk, bid’ah atau subversif karena dianggap mencemari nilai yang suci.
Kreativitas atau pembaruan kesusastraan sering dicap sebagai pemberontakan oleh
otoritas tradisi, moral, politik, dan kekuasaan yang terusik egonya, dan keterusikan itu
menjadi motif pelanggaran, pencekalan, dan pemberangusan.
Sejarah kesusastraan menggambarkan bahwa kontroversi kesusastraan yang
mengusung seks(ualitas) menyelenggarakan pertarungan nilai yang melahirkan
kekeraskepalaan dan kekompromian, pujian, dan cacian, juga pemenang dan pecundang.
Inilah makna yang penting dan berharga dari kesusastraan yang mengusung masalah
seks(ualitas) alias perkelaminan: tak sebatas urusan bagus-buruk sebagai teks, tapi juga
pandangan bajik-bejad dalam konteks masyarakat.***
Sumber: HU. Pikiran Rakyat edisi 17 Maret 2007
Penulis: Binhad Nurrohmat (penyair)
c. Sastra Perempuan Seks
Sekumpulan tulisan yang menyerang sanjung-puji para kritikus terhadap para penulis
perempuan Indonesia mutakhir. Argumentasinya mantap. Dalam lima tahun terakhir ladang
sastra kita ramai oleh gunjingan telah terjadi krisis kritik sastra. Mutu kritik dituding tak bisa
mengimbangi membanjirnya karya sastra sebagai objek kritik dengan tumbuhnya media
massa dan penerbitan. Pendeknya, kritik sastra kita, sebagai sebuah ranah sastra tersendiri,
sudah mati.
Ada yang menuding krisis itu berpangkal karena adanya “politik sastra”. “Politik” itu
berupa kuatnya jaringan personal antara komunitas-komunitas sastra terkemuka (yang di
dalamnya ada kritikus terkemuka juga) dengan para penulis. Penulis yang bisa masuk ke
dalam jaringan-jaringan kritikus arus utama itu akan mendapat tempat dalam ranah sastra
kita.
46
Aktivis sastra cyber, Saut Situmorang, gencar menyuarakan tudingan dan asumsi ini.
Bukan tanpa kebetulan jika istrinya, Katrin Bandel, penulis buku Sastra Perempuan Seks ini,
juga punya asumsi yang sama. “Buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik
sastra semacam itu,” tulis Katrin. Penulis asal Jerman ini menuding para kritikus dalam
jaringan itu telah tidak adil dalam menilai sebuah karya.
Katrin menunjukkan pilih kasih para kritikus itu. Karya yang mendapat tempat dan
sanjung-puji itu secara kualitas, dalam penilaian Katrin, ternyata biasa- biasa saja. Sementara
itu, banyak karya lain yang punya kualitas lebih terlewat dari gunjingan para kritikus di
media massa hanya karena dia tak punya kontak ke jaringan kritikus arus utama itu.
Dan sepanjang delapan tahun ini, sastra kita (terutama novel dan cerita pendek) ramai
oleh tema seputar seks yang ditulis perempuan. Para kritikus arus utama menilai hadirnya
perempuan mengangkat dan membongkar seks dari kotak tabu selama ini sebagai bentuk
pemberontakan perempuan terhadap budaya patriarki—sebuah budaya yang makin kentara
dalam gunjingan yang riuh itu bahwa perempuan memang baru dihargai karena dia
perempuan.
Sebab, belum pernah terdengar ada penulis laki-laki dipuji karena dia terlahir sebagai
laki-laki. Inilah fokus yang mengambil sebagian besar sorotan Katrin terhadap karya sastra
kita dewasa ini. Dia, misalnya, menyoroti dua novel Ayu Utami, Saman dan Larung, yang
dianggap “novel terbaik sependek sejarah sastra Indonesia modern”.
Lalu kemunculan tiba-tiba Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan penulis perempuan
lainnya yang menggarap tema tak jauh dari selangkangan secara telanjang. Para penulis yang
dipuji- puji telah mengenalkan teknik bercerita yang baru ini, di mata Katrin, tak lebih hanya
merumitkan narasi belaka.
Ia menyiapkan argumentasi, merujuk teori, membongkar kelemahan sorotan atas
karya-karya mereka, lalu ia sendiri menunjukkan fakta lain yang mendukung ulasannya. Ada
terasa argumentasi yang mantap, memang, sehingga segala bangunan kritik puja-puji itu
goyah bahkan ambruk.
Yang tampak segera dari tulisan-tulisannya ini adalah usaha menyampaikan
argumentasi sendiri dengan meminimalkan kutipan pemikir-pemikir sebelumnya yang
seringkali dipakai bermegah diri oleh para kritikus lokal generasi terbaru. Penilaian Katrin
semacam ini sah dan wajar saja.
Sebuah karya sastra serupa raksasa tak akan habis sungguhpun dicincang dari
pelbagai sudut. Karya yang berhasil malah akan terus merangsang daya kritis para pembaca.
Tetralogi Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer sudah banyak diulas dari
47
pelbagai segi: politik, nasionalisme, teori komunisme, kejiwaan, sejarah, cerita yang biasa
saja, dan seterusnya.
Alih-alih habis, tetralogi makin mengukuhkan kepengarangan Pramoedya. Ini juga
menunjukkan bahwa baik-buruk mutu sebuah karya ditentukan oleh lompatan waktu, bukan
oleh kritikus yang memuji atau mencacinya. Seorang kritikus adalah seorang pembaca yang
bertanya. Ia mengungkapkan segala aspek yang tak terlihat oleh penikmat sastra biasa. Ia
menyampaikan perspektif dengan, kalau perlu, mencari pijakan teorinya.
Menurut Budi Darma, kritik yang baik adalah kritik yang memberi wawasan. Kritik
yang baik adalah kritik yang bisa membangkitkan siklus mencipta: karya sastra bisa
melahirkan kritik, dan kritik bisa merangsang sebuah karya baru. Dalam perkembangan sastra
Indonesia yang belum menunjukkan keunikannya ini, rangsangan semacam itu sangat perlu.
Budi Darma sendiri sudah mempraktekannya ketika menulis novel Olenka (dan mungkin
Cerita-cerita Orang Bloomington). Secara jujur ia mengaku terinspirasi oleh satu kritik sastra
yang ditulis pengarang Inggris, EM Forster. Kita tidak tahu bagaimana Budi Darma mendapat
ilham menulis cerita sepulang dari Amerika. Cerita-cerita mutakhirnya lebih tertib dan
terarah, tak ada lanturan dan tokoh-tokoh yang kesurupan lagi.
Karena berangkat dari rasa kecewa itu, tulisan-tulisan Katrin yang menyerang kritik
sebelumnya terasa garang dan berapi-api, lalu melupakan sorotan terhadap nilai sebuah karya
sebagai suatu kesatuan. Sebaliknya, tulisan lepas yang membahas novel atau fenomena jauh
lebih subtil dan memberikan perspektif baru. Karena itu, tulisan yang paling menarik dari
buku ini adalah ulasannya soal dukun dan obat dalam sastra Indonesia, tema-tema
pascakolonial, dan sastra siber.
Soal dukun dan obat agaknya ringkasan dari disertasi Katrin di Jurusan Sastra
Indonesia Universitas Hamburg, Jerman. Menarik karena sorotan semacam ini jarang
disentuh oleh kritikus lokal. Lagipula, perdebatan kritik sudah terjadi sejak zaman kuda
bertukar tanduk dengan rusa. Persoalan rendahnya mutu kritik dan kewibawaan kritik selalu
berulang dari generasi ke generasi. Perulangan debat semacam ini, bukankah menunjukkan
bahwa memang ada fenomena dan tren tertentu dalam sastra Indonesia? Barangkali karena
buku ini bukan sekumpulan tulisan dengan kepaduan tema. Katrin telah meniru tabiat
“intelektual publik” Indonesia yang membuat buku dengan mengumpulkan serpihan-serpihan
ide lewat tulisan yang terserak dalam pelbagai berkala.
Karena itu setiap ulasan tentang sebuah tema dalam buku ini terasa tak bebas ruang
geraknya karena terbatas oleh jumlah halaman dan karakter di media massa tempat asalnya.
Seandainya Katrin mau menambah jelas tiap argumentasi, menyelipkan teori yang lebih ajeg
48
untuk mendukungnya, atau memperluas tema sorotan sebelum dibukukan, ke-11 tulisannya
ini bisa jauh lebih berbobot.
Kemungkinan lain, sebuah tulisan dalam buku ini ditulis untuk sebuah tema pada
suatu waktu tertentu dengan mempertimbangkan aktualitas. Meski begitu, buku ini tetap
menarik sebagai sebuah bahan otokritik terhadap arus utama kritik sastra mutakhir kita,
semacam suara lain dalam menimbang sebuah karya. Sebuah otokritik dari seberang, yang
mengingatkan, memberi tempat pada karya yang luput dari pengamatan para kritikus arus
utama itu.
d. Gender dan Ketakutan dalam Sastra
Surabaya, Kamis
Penulis novel dan cerita pendek dari Surabaya, Zoya Herawati, mengemukakan
bahwa karya sastra yang ditulis baik oleh perempuan maupun laki-laki untuk saat ini samasama
merefleksi ketakutan masing-masing.
"Keberanian perempuan dalam sastra adalah ketakutan terhadap ideologi patriarki.
Demikian juga sebaliknya, laki-laki yang selalu digambarkan perkasa, juga sering
menyembunyikan kekurangan dan ketidakmampuan," ucap Zoya dalam diskusi sastra di
Kampus Universitas 17 Agustus Surabaya, Kamis (29/6).
Diskusi bertema Pemberontakan Gender terhadap Hegemoni Bahasa Laki-laki dalam
Karya Sastra yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris itu, juga
menghadirkan Prof. Dr. Sam Abede Pareno dari Universitas Budi Utomo, serta sastrawan
Akhudiat.
Kata Zoya lagi, keberanian yang ditampilkan lewat karya tulis hanyalah keberanian
semu, yang boleh dikata, malah merupakan refleksi dari puncak ketakutan terhadap dominasi
satu atas lainnya. Khusus untuk perempuan, pengarang berkacamata tersebut mengutarakan,
pemberontakan feminis di Indonesia yang dilakukan oleh perempuan pengarang terbatas pada
simbol kelamin belaka, sementara inti dari semangat feminisme mendapat porsi kecil.
Sementara itu, Prof Dr. Sam Abede Pareno, yang dikenal sebagai penyair dan
dramawan, berpendapat bahwa sastra merupakan dunia yang bebas diskriminasi gender.
Sastra dalam arti yang sebenar-benarnya tak boleh diskriminatif.
"Memang, untuk Indonesia, sejak dulu perempuan seolah-olah merupakan objek yang
tiada habisnya. Perempuan lebih banyak diposisikan sebagai tokoh sentral. Bedanya, kalau
dulu menggunakan ’bahasa lelaki’ karena penulisnya pria, sekarang yang muncul adalah
’bahasa wanita’," papar Sam.
49
Lanjut guru besar ilmu komunikasi tersebut, kalau kini muncul karya sastra yang
ditulis oleh perempuan dengan bahasa yang sangat lugas dan apa adanya, itu bukanlah
pemberontakan.
"Pemberontakan adalah perlawanan atas perlakuan yang tidak adil. Padahal,
sastrawan pria pada umumnya justru menampilkan wanita sebagai sesuatu yang indah,
bahkan lebih indah dari aslinya," alasannya. Karena itu, perempuan penulis tampaknya tidak
menghendaki kepalsuan tersebut dan lahirlah dalam karya mereka sosok perempuan sebagai
manusia biasa yang mendambakan kekuasan, harta, dan seks.
Berbagai pengakuan terbuka dalam karya sastra, termasuk dalam novel Petir karya
Dewi Lestari (Dee), bertujuan membebaskan sastra dari kepura-puraan atau kepalsuan. Di
situ digambarkan bahwa perempuan bukan lagi sang dewi yang tanpa cacat.
Masih menurut Sam, sastra yang sejati merupakan karya yang adil, seimbang, dan
menyeluruh. Karena itu, seorang lelaki atau seorang perempuan yang memilih mengabdikan
hidup di bidang sastra harus membebaskan diri dari jenis gendernya.***
Sumber: Antara
Penulis: Ati
e. Sastra Seleb
1. Dewi Lestari
Biografi
TTL : Bandung 20 01 1976
Urutan dalam keluarga : anak ke-4 dari 5 bersaudara
Ayah – Ibu : Yohan Simanungsong - Turlan Siagian
Supernova 1 : Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh
Supernova 2 : Akar
Supernova 3 : Petir
Supernova 4 : Filosofi Kopi
2. Rieke Diah Pitaloka
Biografi
TTL : Garut, 9 Januari 1974
Pendidikan : S1 UI Sastra Balanda
S2 UI Ilmu Filsafat
Karya : Renungan Kloset, dari Cengkeh Sampai Utrecht**
(Merupakan kumpulan puisi pertamanya).
50
Rieke Diah Pitaloka sempat terlibat dalam gerakan prodemokrasi di Indonesia, dan
beberapa puisi dalam bukunya merupakan “laporan langsung” dari demonstrasi yang
diikutinya. Sementara puisi yang lain merupakan pencerminan dari pandangannya
terhadap masalah sosial-politik dan gender. Namun demikian, ia tetaplah seorang
perempuan yang romantis, sehingga tema cinta tetap menjadi bagian dari kumpulan
puisi ini. Contoh karya puisinya:
Note
Ini penting:/ Kalau nanti malam/ Kau bertemu Tuhan/ Tolong tanyakan padanya/
Apakah Adam diciptakan/ Untuk memperkosa Hawa?/ Ini Penting!/
Tebet, 24062001
Setangkai Cinta
Tak perlu bingung/ Begini saja,/ berapa pun jarak kita/ kan kukirim untukmu/
setangkai cinta/ setiap hari/ setuju?/
Sukabumi, 12062001
3. Tamara Geraldine
Kamu sadar saya punya alasan untuk selingkuh ‘kan, sayang? (kumpulan cerpen)
51
DAFTAR PUSTAKA
Alami, Happy. 2001. Sebelas Penyair Terkenal Indonesia. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ambary, Abdullah. 1983. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Djatnika.
Anwar, Chairil.2004. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Budianta, Meilani dkk. 2003. Membaca Sastra. Depok: Indonesia Tera.
Hastuti, Sri P.H..Ringkasan Sejarah Sastra Modern. PT. Intan Wikipedia Indonesia.
Haqani, Luqman. 2005. Ungkapkan Isi Hati Melalui Puisi. Bandung: Pena Media.
Jassin, H.B.1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Gunung
Agung.
Pitaloka, Rieke Diah.2003. Renungan Kloset dari Cengkeh-Utrech. Jakarta: Pustaka Utama.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. 2000. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putrabardin.
Suhendar, M.E.1993. Pendekatan Teori, Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung:
Pionir Jaya.
Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
www.cybersastra.com
www.wikipedia.co.id
52
LAMPIRAN (beberapa sastrawan terkemuka dan karyanya)
Chairil Anwar
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922 — Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal sebagai "Si
Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [1]) adalah penyair terkemuka Indonesia.
Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor
Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.
Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[1] Dia dikuburkan di Taman
Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari
zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Buku-buku
Deru Campur Debu (1949)
Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup
oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998)
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck
53
Terjemahan ke dalam bahasa asing
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa
Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya:
Sharp gravel, Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de
Mallorca, 1962)
Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New
Directions, 1963)
Only Dust: Three Modern Indonesian Poets, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]:
Papua Pocket Poets, 1969)
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton
Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang,
dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina:
Octopus Verlag, 1978)
The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel
(Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Karya-karya tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian
Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta,
1953)
Boen S. Oemarjati, Chairil Anwar: The Poet and his Language (Den Haag: Martinus Nijhoff,
1972).
Abdul Kadir Bakar, Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar (Ujung Pandang:
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas
Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar
(New York, 1976)
Arief Budiman, Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976)
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya,
(Jakarta: Gunung Agung, 1983)
54
Husain Junus, Gaya bahasa Chairil Anwar (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat Djoko Pradopo, Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern" (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1985)
Sjumandjaya, Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar
(Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, Mengenal Chairil Anwar (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, Edisi kritis puisi Chairil Anwar (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
55
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954
56
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
57
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954
58
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957
59
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
60
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
61
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
62
MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
63
W. S. Rendra
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Dialihkan dari W.S. Rendra)
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair
ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di
Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa
kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Masa Kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden
Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa
pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya
adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya
di kota kelahirannya itu.
Pendidikan
Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah
atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar
Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke
Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak
berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam
bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of
Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas
Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Rendra sebagai Sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia
sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama
untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas
64
panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi
yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah
Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat
itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti
terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan
tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-
Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah
pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada
saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk
berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat
bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah
satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan ‘45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an.
Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam
International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival,
New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival
Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal
(1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Bengkel Teater
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di
Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika
kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel
Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam
kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi
basis bagi kegiatan keseniannya.
Penelitian tentang Karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya
terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian
puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry:
1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman
bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras
Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen
Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Penghargaan
Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni
65
dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah
Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam
Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Kontroversi Pernikahan, Masuk Islam dan Julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi.
Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy
Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu
di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru
Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel
Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan
memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua,
dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito
tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah
Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda
Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan
mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka,
memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12
Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra
masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan
bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak
persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito.
Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok
yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa
langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya
merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan
bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding
sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja.
Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka,
Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra
berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung
Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas
Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan
mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan
Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran
Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.
Beberapa Karya
Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Sekda (1977)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
66
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophocles, aslinya berjudul Oedipus Rex)
Kasidah Barzanji
Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa
Prancis: La Guerre de Troie n'aura pas lieu)
Sajak/Puisi
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
67
Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi saya masih suka meminum minuman
keras. Seenaknya saja saya katakan bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu, saya
selalu katakan, kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi
air.
Saya memang telah memilih jalan hidup saya sebagai seniman. Sejak muda, saya
telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian sava dikenal-sebagai "dedengkot"
Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah saya
telah mendapatkan segalanya: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggungtanggung,
dalam kemiskinan sebagai seniman pada waktu itu, saya dapat memboyong
seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi
istri saya yang kedua.
Tetapi justru, melalui perkawinan dengan putri keraton inilah, akhirnya saya
menyatakan diri sebagai seorang muslim. Sebelumnya saya beragama Katolik. Meskipun
dalam rentang waktu yang cukup panjang-setelah memperoleh 4 orang anak--perkawinan
saya kandas. Tetapi, keyakinan saya sebagai seorang muslim tetap terjaga.
Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, saya semakin rajin
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan, jika saya
kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata
Takwa.
Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman. Tetapi
lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap bentuk kezaliman dan
ketidakadilan. Dan, itulah manifestasi dari amar ma'ruf nahi munkar seperti yang selalu
diperintahkan Allah di dalam Al-Qur'an.
Sebagai penyair, saya berusaha konsisten dengan sikap saya. Bagi saga, menjadi
penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan
buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia
adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat
dikalahkan, tetapi tidak dapat disamaratakan dengan tanah begitu saja.
Pergi Haji
Ketika naik haji, apa saja yang saya tenggak terasa seperti minuman keras merek
Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras. Bahkan, air
zamzam pun rasanya seperti Chevas Regal, sampai saya bersendawa, seperti orang yang
selesai meminum minuman keras.
Lirih, saya memohon. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun,
ampun, ampun, ya Allah." Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah,
sehingga saya ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya,
dong!" Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam.
68
Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman
keras lagi. (Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit
Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center
http://www.mualaf.com
Tujuh Dasawarsa Sang Burung Merak
Jakarta - Senin (28/11) semua kursi di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, penuh terisi. Meski panggung hanya didominasi satu warna, hitam, gairah
pengunjung tetap terasa. Ya, malam itu merupakan malam penghormatan bagi sang pemilik
usia, sastrawan besar Indonesia, Willibrordus Surendra Broto Rendra atau Rendra, yang telah
menginjak usia ke-70.
Tujuh puluh tahun memang bukanlah sebuah rentang usia yang pendek. Apalagi bila
sang pemilik usia adalah orang besar seperti Rendra yang mengisi hidupnya untuk mewarnai
kehidupan banyak orang.
Tak ada kue ulang tahun mewah, apalagi pesta yang ingar-bingar malam itu. Namun,
orang-orang yang pernah disentuh hidupnya oleh pemimpin Bengkel Teater ini berusaha
merangkai acara istimewa bagi budayawan kelahiran 7 November 1935 yang kerap dijuluki si
Burung Merak tersebut.
Tak pelak, pembacaan karya-karya monumental sang maestro menjadi sebuah
hidangan nikmat bagi para pengagum, sahabat, dan keluarga dekatnya. Karya-karya yang
dipilih merupakan cermin pemikiran kritis serta pergolakan panjang batin Rendra selama 50
tahun lebih perjalanan kesastraannya.
Dipandu oleh aktor kawakan yang juga jebolan Bengkel teater, Adi Kurdi, acara
dibuka dengan pembacaan puisi Nyanyian Orang Urakan yang dibawakan oleh Ketua Umum
Dewan Kesenian Jakarta, Ratna Sarumpaet.
Kemudian sebuah cerita pendek Gaya Herjan karya Rendra ditampilkan oleh aktor
dan penyair Jose Risal Manua. Dengan gayanya yang khas, Jose mampu menampilkan
kepekaan Rendra terhadap kehidupan manusia sehari-hari seperti yang ia tunjukkan pada
cerpen tersebut.
Sementara itu, kegelisahan Rendra pada kehidupan politik rezim Orde Baru yang ia
tuangkan dalam Panembahan Roso ditampilkan secara apik oleh Butet Kertaradjasa. Ia
membawakan monolog dari sekelumit bagian karya tersebut. Monolog yang ia bawakan tak
berdiri sendiri, tapi bersanding dengan pembacaan dramatic reading oleh Amak Baldjun,
Syu'bah Asa, Chaerul Umam, dan Jose Rizal Manua, para alumni Bengkel teater.
Esai bertajuk Keseimbangan yang dibawakan Adi Kurdi dan sebuah cerpen yang
dibuat pada 1956 berjudul Ia Punya Leher yang Indah dibacakan oleh pemimpin Teater
Koma, N. Riantiarno, pun mengakhiri keseluruhan acara malam itu. Namun, interpretasi baru
Putu Wijaya pada cerpen lama Rendra, Wascha Ah Wascha, menjadi puncak acara malam
itu. Gelak tawa pengunjung tak henti-hentinya mewarnai pembacaan Putu yang nyleneh.
Selamat ulang tahun, Mas Willi. (Koran tempo / Sita)
69
Rendra dimata N. Riantiarno (Pendiri Teater Koma) : Rendra, Dia memang pernah
dikalahkan oleh kekuasaan yang otoriter, tapi, kemudian, ternyata dialah sang pemenang.
Pertama kali saya bertemu langsung dengan W.S. Rendra pada April 1968. Dia baru
pulang dari Amerika Serikat dan membawa oleh-oleh yang bagi aktivis teater Indonesia boleh
dibilang asing. Geger tentu saja. Goenawan Mohamad menyebutnya teater minikata. Itulah
latihan-latihan dasar teater yang memang minim kata, nyaris hanya terdiri atas gerak dan
bunyi.
Waktu itu saya mahasiswa Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan anggota
Teater Populer. Teguh Karya, guru kami, ikut pentas teater minikata. Belakangan, Rendra
mengakui, Teguh Karya adalah dramawan yang berhasil mempengaruhinya sehingga dia
semakin bergiat dalam dunia teater.
Pentas teater minikata digelar di Jakarta pada April 1968. Nomor-nomor yang
disajikan, Bip Bop, Piip, Di Manakah Kau Saudaraku, Rambate-Rate-Rata, dan Vignet
Katakana, sangat memukau. Rendra menjadi bintang yang menawan. Begitu juga Putu
Wijaya, Chaerul Umam, Amak Baldjun, dan Syubah Asa.
Beberapa hari kemudian, Rendra berkenan mengunjungi Teater Populer. Grup kami
sering dicap sebagai teater borjuis, mungkin karena kami berlatih di Hotel Indonesia. Padahal
kami sama miskin dengan seniman-seniman teater lain. Makan siang terpaksa bantingan. Dan
jatah kami hanya sebuah bacang ketan isi daging sapi. Minumnya air putih, langsung dari
keran wastafel hotel.
Dalam pertemuan pada 1968 itu, Rendra mengajak kami melatih gerak kalbu atau
gerak indah. Intinya, dengan mengambil tema tertentu, tubuh bergerak karena dorongan jiwa.
Gerak bisa distimulasi oleh suara musik atau bisa juga oleh suara jiwa kita sendiri. Sama
sekali tak ada pola gerak. Seluruh gerak terjadi secara spontan. Tapi konsentrasi harus penuh
dan hati jujur. Itulah metode latihan tubuh dan jiwa yang ternyata sangat efektif bagi aktor.
Setelah pementasan Bip Bop, Rendra pulang ke Yogyakarta dan berkiprah bersama
Bengkel Teater. Tapi teaternya kemudian dicap oleh penguasa, yang mulai cemas, sebagai
kegiatan berbobot politik dan membahayakan stabilitas nasional.
Sebelum ke Amerika Serikat, pada 1963, Rendra berhasil mementaskan karya Eugene
Ionesco, The Chair, yang dia sadur menjadi Kereta Kencana. Dia juga menggelar Odiphus
karya Sophocles. Yang menarik, setelah Bip Bop, Rendra kembali mementaskan teater yang
bersumber dari naskah. Dia menggelar Isteri Yahudi, Informan, dan Mencari Keadilan,
terjemahan karya Bertolt Brecht. Dan dia menggelar sandiwara yang sarat teks pula, antara
lain pentas ulang Oidipus, Hamlet karya Shakespeare dan Menunggu Godot karya Samuel
Becket.
Bentuk pementasan Bengkel Teater baru mengalami perubahan yang signifikan ketika
Kasidah Barzanzi, Macbeth, Dunia Azwar, dan Lysistrata digelar. Warna lokal jadi bungkus
utama pergelarannya. Dan kekentalan "warna lokal" semakin memancarkan daya tariknya
ketika Rendra mementaskan karya-karya sendiri: Mastodon dan Burung Kondor, Perjuangan
Suku Naga, Sekda, Panembahan Reso, dan Selamatan Anak Cucu.
Sulaiman. Ketika Hamlet dan Kasidah Barzanzi dipentaskan ulang, bentuknya pun
mengalami perubahan yang lebih kental dengan warna lokal, meski siratan isi lakon tetap
sama.
70
Dalam Perjuangan Suku Naga, Sekda, dan Panembahan Reso, bentuk teater rakyat,
ketoprak, dikemas sebagai stilisasi yang sangat berhasil. Segera saja Rendra menjadi ikon.
Living-legend dan trendsetter yang berhasil memberi daya hidup bagi dunia teater (dan
puisi). Lewat kiprah Rendra, teater menjadi lebih prestisius, "berharga", dan milik masyarakat
luas. Teater (dan puisi) juga mulai diperhatikan kaum politikus, malah dianggap memiliki
potensi yang bisa mempengaruhi timbulnya pemikiran baru dalam kebijakan politik
bernegara. Ini perkembangan yang menarik dan penting. Dan kepada Rendra, saya berguru.
Dalam penulisan, saya berguru kepada Asrul Sani, Arifin C. Noer, dan Goenawan
Mohamad. Guru teater saya adalah Teguh Karya dan Rendra. Memang saya belajar langsung
kepada Teguh Karya, yang mengajari cara mempertahankan daya kreatif dalam kehidupan
yang semakin kompetitif. Saya memetik dasar pelajaran manajemen kehidupan kreatif dari
dia. Tapi cara bagaimana membangkitkan daya hidup serta mempertahankan stamina dalam
gejolak arus zaman serta menyiasati kemusykilan politik kebudayaan dalam pemerintahan
yang otoriter, secara tak langsung, saya banyak menyerap dari Rendra.
Pelarangan pentas Teater Koma Suksesi dan Opera Kecoa, juga pelarangan pentas
puisi Rendra, mendorong para seniman pergi ke DPR RI untuk memprotes pada 1991. Dalam
hearing di ruang sidang pleno DPR RI, para seniman bergiliran bicara. Dan Rendra membaca
puisi dengan sangat-sangat bagus. Indah. Memukau. Itulah pembacaan puisi terbagus yang
pernah saya saksikan.
Rendra kini 70 tahun (lahir di Solo, 7 November 1935). Berbagai tindakan bermakna
dan inspiratif telah dia lakukan. Dia pernah dipaksa hidup dalam kemiskinan, terlunta, tanpa
uang, seakan tidak memiliki masa depan pula. Tapi daya hidupnya tak pernah padam. Dia
memang pernah dikalahkan oleh kekuasaan yang otoriter, tapi, kemudian, ternyata dialah
sang pemenang.
Rendra, seniman besar. Milik Indonesia. Permata mulia. Pikiran-pikirannya tajam.
Dia selalu mengungkap apa yang dirasa, tanpa jengah, tanpa rasa takut. Dengan sikap seperti
itu pula dia dicekal dan dipenjara. Tapi dia tak pernah jera. Rendra adalah empu yang
mumpuni. Hingga kini dia terus memberi kontribusi atas berbagai pikiran yang bernas. Kita
seharusnya bersyukur memiliki dia. (Koran Tempo)
71
WS Rendra sebagai Aset Budaya Bangsa
Oleh: Winarta Adisubrata
Belanda, Amerika Serikat, atau bahkan Korea dan Cina mungkin mencatat WS
Rendra sebagai tokoh seni sastra dan drama Indonesia, ketimbang kita bangsa Indonesia
sendiri. Penyair dan dramawan Willy Brordus Surendra Brata, yang pernah dikenal publik
seni drama dan sastra Indonesia sebagai WS Rendra, menyatakan nama depannya WS adalah
Wahyu Suleman (di Solo tempat Rendra dibesarkan WS sering dibaca "Wong Solo".
Sejak duduk di SMP, Rendra naik panggung dengan tiga kapasitas sekaligus: penulis
naskah drama, pemain utama, dan produser. Kita mencatat sandiwara berjudul "Bunga
Semerah Darah" sempat menggegerkan penonton di Solo pada 1951 ketika ia belum duduk di
SMA. Seorang Wunder Kind berani naik panggung dalam sebuah pertunjukan matinee (siang
hari) di gedung wayang orang Sriwedari, dengan sangat mengejutkan penonton, karena si
Anak Ajaib Rendra menampilkan seorang anak gelandangan sebagai pusat kisah dramanya.
Ketika duduk di SMA pada 1952, Rendra sudah mulai bersajak. Beberapa puisinya dimuat di
Gelanggang Siasat (ketika itu redaktur pelaksananya Rivai Apin). Puisinya yang bercorak dan
bernuansa baru di cakrawala sastra Indonesia pasca Angkatan ‘45 antara lain berjudul
"Balada Atmo Karpo" dan "Paman Doblang" yang sangat mampu menandingi balada-balada
penyair Spanyol Federico Garcia Lorca yang diterjemahkan Ramadhan KH.
Kemunculannya ibarat meteor di horizon sastra Indonesia modern yang meniupkan
nafas dan gaya baru dalam bentuk puisi modern, yang keruan saja ketika itu memukau Prof
Dr Teeuw (pengamat sastra modern kita yang berdomisili di negeri Belanda), dan juga
memancing perhatian "Paus Sastra" kita alm H.B. Yassin. Kumpulan puisinya "Sajak-sajak
Duapuluh Lima Perak’ (sebagian berasal dari sajak-sajaknya yang dimuat di cahier (buku
tulis) seni sastra Gelanggang, lampiran di majalah Siasat) dan beberapa kumpulan puisi
Rendra lain mulai diperkenalkan ke berbagai bahasa Barat maupun bahasa Timur lain.
Mendekam di Tahanan
Setelah lulus dari fakultas sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Rendra ke
beberapa negara sosialis Asia (di antaranya Korea dan RRC), kemudian belajar tentang seni
drama di Amerika. Mungkin karena agama yang dipeluknya dan gaya seni sastra Rendra
yang universal serta pilihan naskah-naskah drama yang dipanggungkannya serta
disutradari dan dimainkannya (a.l. Eugene Ionesco, Shakespeare, George Bernard Shaw, John
Galsworthy dan Sophokles), Rendra tidak kena tuding sebagai seniman berhaluan kiri.
Rendra memang tidak pernah terkait dengan lembaga-lembaga kebudayaan dari Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada masa Orde Lama. Karya-karyanya, terutama puisi-puisinya,
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda dan bahasa Eropa lain. Dan tidak mustahil
puisinya juga telah disalin ke bahasa Cina, Korea atau Rusia.
Kelebihan Renda bukan hanya dihargai di negeri sendiri, tetapi juga di negara Barat
dan sosialis, menjadikannya tokoh seni Indonesia modern yang unik, karena selain menulis
puisi dan prosa (seingat saya Rendra juga menulis cerita pendek pada tahun 1950-an untuk
terbitan di Solo dan Yogya), juga mampu naik panggung sekaligus sebagai penulis naskah
drama, produser dan pemain utama.
Sejak 1970-an Rendra banyak manggung di Jakarta, antara lain di Gedung Kesenian,
Gedung Olahraga (Gelora) Bung Karno di Senayan dan Taman Ismail Marzuki.Satu di antara
dramanya berjudul "Burung Kondor" kabarnya diproduksi dengan sponsor Jenderal Sumitro
alm. yang ketika itu menjabat Pangkopkamtib. Namun drama itu dihubung-hubungkan
dengan upaya yang mendekati makar, sehingga Rendra untuk beberapa minggu harus
mendekam di tahanan polisi militer di Pasar Rumput, Jakarta.
72
Patut kita catat keunikan Rendra sebagai penyair dan dramawan dengan
kepiawaiannya naik panggung dan berpuisi yang di Indonesia mengingatkan kepada penyair
Asrul Sani (satu di antara penyair ‘Tiga Menguak Takdir’ dari Angkatan ‘45 yang sangat
dikaguminya), walaupun Asrul sendiri hanya tampil sebagai sutradara pangggung dan
penyusun naskah terjemahan dari Sartre atau Lorca.
Riantiarno
Riantiarno kabarnya merupakan salah seorang ‘anak didik’ dan pemuja Rendra. Karya
dramawan muda yang dimainkan Rendra pekan lalu meyakinkan kita bahwa Rendra telah
berhasil diikuti generasi penerus yang dituntut Rendra bukan sekadar penerus, tetapi sebagai
pemikir dan generasi yang berbuat.
Sesudah lebih dari 50 tahun malang melintang di panggung dan menguntai berjilid –
jilid puisi serta puluhan tahun mengasuh sebuah pedepokan seni drama nun di Cipayung,
Depok, Rendra telah menempa tradisi seni drama dan seni sastra melewati kurun waktu lebih
dari 50 tahun. Memprihatinkan, kenapa hingga sekarang belum ada penerbit yang bersedia
mengumpulkan karya-karya puisi dan naskah dramanya?
Gramedia atau Pradnya Paramitha tentu cukup representatif untuk mewakili kesadaran
berseni sastra dari negeri kita untuk melestarikan karya-karya puisi dan drama Rendra yang
harus dikumpulkan berbagai sumber dan dokumentasi.
Para pengagum Rendra yang sempat bersua dengan dia lewat "Kereta Kencana’
Eugene Ionesco atau "Oedipus’ dari Sophokles (atau ‘Sobrat’ yang baru saja
dipanggungkannya pekan lalu) patut diteruskan dengan upaya menghimpun kembali naskah
drama dan puisi Rendra yang bisa menjadi salah satu sumber inspirasi untuk menjernihkan
kembali falsafah (kehidupan) bangsa yang sudah lama terlena dengan Panca Sila namun
segala centang perentang yang terjadi di negeri selama ini masih jauh dari adab dan budaya
berTuhan apalagi berperikemanusiaan.
Rendra dan pedepokannya patut mendapat perhatian dari pemerintah seta para
filantrop supaya upaya ia tidak sekadar akan lenyap bersama sang waktu. Kita pantas dan
wajib memberi penghargaan kepada Rendra dengan menopang kelestarian pedepokan drama
Rendra, agar tetap lestari meneruskan cita-cita Rendra dalam memperkaya khazanah budaya
bangsa, khususnya di seni drama.
Penulis adalah wartawan senior, teman sekolah WS Rendra di Solo.
73
Beberapa judul sajak karya Rendra
1. Aku Tulis Pamplet Ini
2. Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang
3. Gerilya
4. Gugur
5. Hai, Kamu !
6. Lagu Seorang Gerilya
7. Lagu Serdadu
8. Nota Bele : Aku Kangen
9. Orang-orang Miskin
10. Pamplet Cinta
11. Sajak Anak Muda
12. Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
13. Sajak Bulan Purnama
14. Sajak Burung-Burung Kondor
15. Sajak Joki Tobing untuk Widuri
16. Sajak Ibunda
17. Sajak Kenalan Lamamu
18. Sajak Mata-mata
19. Sajak Matahari
20. Sajak Orang Kepanasan
21. Sajak Peperangan Abimanyu
22. Sajak Pertemuan Mahasiswa
23. Sajak Potret Keluarga
24. Sajak Pulau Bali
25. Sajak Sebatang Lisong
26. Sajak Sebotol Bir
27. Sajak Seonggok Jagung
28. Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon
29. Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
30. Sajak SLA
31. Sajak Tangan
32. Sajak Widuri untuk Joki Tobing
33. Tahanan
74
Kelelawar
Silau oleh sinar lampu lalulintas
aku menunduk memandang sepatu
aku gentayangan bagai kelelawar
tidak gembira
tidak sedih
terapung dalam waktu
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan
sungguh tidak menyangka
begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku
sekarang aku kembali berjalan
Hah,
apakah aku akan menelepon temanku
apakah aku akan makan udang gapit di retoran
aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi
masalah sosial dipoles gincu menjadi metafisika
sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja
hanya kamu yang enak diajak bicara
kakiku melangkah melewati sampah-sampah
Hhh,
aku akan menulis sajak-sajak lagi
rasa berdaya
tidak bias mati begitu saja
ke sini Ma
masuklah ke dalam saku bajuku
daya hidup
menjadi kamu
menjadi harapanku
75
Sajak Joki Tobing Untuk Widuri
Dengan latar belakang gubug-gubug karton,
aku terkenang akan wajahmu.
Di atas debu kemiskinan,
aku berdiri menghadapmu.
Usaplah wajahku, Widuri.
Mimpi remajaku gugur
di atas padang pengangguran.
Ciliwung keruh,
wajah-wajah nelayan keruh,
lalu muncullah rambutmu yang berkibaran
Kemiskinan dan kelaparan,
membangkitkan keangkuhanku.
Wajah indah dan rambutmu
menjadi pelangi di cakrawalaku.
Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak Widuri Untuk Joki Tobing
Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir.
Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
Orang-orang miskin menentang kemelaratan.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,
kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu
karena terlibat aku di dalam napasmu.
Dari bis kota ke bis kota
kamu memburuku.
Kita duduk bersandingan,
menyaksikan hidup yang kumal.
Dan perlahan tersirap darah kita,
melihat sekuntum bunga telah mekar,
dari puingan masa yang putus asa.
Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
76
Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api
Bagaimana mungkin kita bernegara
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana mungkin kita berbangsa
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama ?
Itulah sebabnya
Kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba
Kami berlaga
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa dialami dengan nyata
Mana mungkin itu bisa terjadi
di dalam penindasan dan penjajahan
Manusia mana
Akan membiarkan keturunannya hidup
tanpa jaminan kepastian ?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
Hidup yang diperkembangkan
dan hidup yang dipertahankan
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tua
Aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
Bau apakah yang tercium olehku ?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?
Ataukah ini bau limbah pencemaran ?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini ?
Apakah ini deru perjuangan masa silam
di tanah periangan ?
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
77
karena dikhianati dewa keadilan.
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
dibangunkan oleh mimpi ?
Apakah aku tersentak
Oleh satu isyarat kehidupan ?
Di dalam kesunyian malam
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !
Apakah yang terjadi ?
Darah teman-temanku
Telah tumpah di Sukakarsa
Di Dayeuh Kolot
Di Kiara Condong
Di setiap jejak medan laga. Kini
Kami tersentak,
Terbangun bersama.
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
Apakah kita masih sama-sama setia
Membela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsa
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
Apakah yang terjadi ?
Apakah yang telah kamu lakukan ?
Apakah yang sedang kamu lakukan ?
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
Dari jawaban yang kita berikan.
Hari Kebangkitan Nasional 1990
78
Sajak Burung-burung Kondor
Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani - buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
79
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Yogya, 1973
Potret Pembangunan dalam Puisi
80
Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain...
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa
81
Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku
Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !
82
Sajak Sebatang Lisong
menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
83
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………
kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
RENDRA
( itb bandung - 19 agustus 1978 )
* ) Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan
dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta” yang disutradarai
oleh Sumandjaya.
* ) Diambil dari sumber-sumber terbuka di Internet
84
Sajak Orang Lapar
kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
o Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
o Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
o Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
o Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
o Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu
85
Pramoedya Ananta Toer
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer (Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925 – Jakarta 30 April 2006)
secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra
Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam
lebih dari 41 bahasa asing.
Masa kecil
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam
keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli
Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi
cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga
Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas"
dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya
menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja
sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di
Indonesia.
86
Pasca kemerdekaan Indonesia
Pramoedya semasa muda
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap
ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di
sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada
1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika
kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia.
Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya
Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini
menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian
pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok.
Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang
membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan
kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari
daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti
dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan
pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa
pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan
timur Indonesia.
Penahanan dan masa setelahnya
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama,
selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa
proses pengadilan.
87
13 Oktober 1965 - Juli 1969
Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
November - 21 Desember 1979 di Magelang
Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru. Ia
dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk
menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semifiksi
sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada
pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang
mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional
pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya
diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan
dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan
tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999,
dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2
tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman
neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan
tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik
(1995).
Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26
tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak
setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak,
menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak
pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada
Pramoedya.
88
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu.
Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya,
banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan
Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah
mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958,
jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah
diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan
yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai
korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk
mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi
kreativitas' pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin
penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak
lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat
dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut
membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja
jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi
dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan
suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di
koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau
Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh
Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang
ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya
tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara
internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu
dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.
Masa tua
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan
Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer,
dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi
wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di
89
mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke
Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau
Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan
Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi,
di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis.
Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi
Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga
memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors'
Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke
Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat
usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah
dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit.
Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus
tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81
untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampulsampul
buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah
diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Berpulang
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan
membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru,
penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung,
dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang.
Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April,
sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih
kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan
mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat
dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram
memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan
menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta
rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya
90
menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan
hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun
memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut
terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera
menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga
Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak,
cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya. Kabar meninggalnya
Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka
tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup.
Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya
sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No
26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana
Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad,
Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan
cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah
karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma,
pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram
yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah
untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu
Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
91
Penghargaan
Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas
Michigan tahun 1999
Freedom to Write Award dari PEN American Center,
AS, 1988
Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New
York, AS, 1989
Wertheim Award, "for his meritorious services to the
struggle for emancipation of Indonesian people", dari The
Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature,
and Creative Arts, in recognation of his illuminating with
briliant stories the historical awakening, and modern
experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay
Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his
outstanding contribution to the promotion of tolerance and
non-violance" dari UNESCO, Perancis, 1996
Doctor of Humane Letters, "in recognition of his
remarkable imagination and distinguished literary
contributions, his example to all who oppose tyranny, and
his highly principled struggle for intellectual freedom" dari
Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
Chancellor's distinguished Honor Award, "for his
outstanding literary archievements and for his
contributions to ethnic tolerance and global
understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS,
1999
Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le
Ministre de la Culture et de la Communication Republique,
Paris, Perancis, 1999
92
New York Foundation for the Arts Award, New York,
AS, 2000
Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia
Fukuoka), Jepang, 2000
The Norwegian Authors Union, 2004
Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-lain
Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru,
1978
Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN
Australia Center, 1982
Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
International PEN English Center Award, Inggris, 1992
International PEN Award Association of Writers Zentrum
Deutschland, Jerman, 1999
Bibliografi
Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit
Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali
Bekasi
Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka,
Jakarta, 1949
Keluarga Gerilya (1950)
Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
Bukan Pasarmalam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas
Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam
kumpulan cerpen
93
Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik
dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta,
1953
Gulat di Jakarta (1953)
Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
Korupsi (1954)
Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan
penerbit
Cerita Dari Jakarta (1957)
Cerita Calon Arang (1957)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar
Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di
berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober
1965
Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13
Oktober 1965
Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung,
bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit
sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III
dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar
Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang
Jaksa Agung, 1987
Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang
Jaksa Agung, 1995
94
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung,
1995
Arus Balik (1995)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
Arok Dedes (1999)
Mangir (2000)
Larasati (2000)
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)
Buku tentang Pramoedya dan karyanya
Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum
Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta
Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis,
oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta
Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra,
Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)
95
Sutardji Calzoum Bachri
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka.
Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik
Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji
Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian
sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar
Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian
Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari
kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di
Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City,
Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara
baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan
diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World
(Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda:
Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven,
negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah
South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari
periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas
pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
96
IDUL FITRI
Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia-sia
Telah kulaksanakan puasa ramdhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nunu Ka'bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang: Tardji rindu yang kau wudhukan setiap malam Belumlah cukup untuk
menggerakkan Dia datang Namun si
bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa Takkan kulupa janjiNya Bagi yang
merindu insya-Allah kan
ada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalai
berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut di jalan lurus Jangan kau depakkan lagi aku ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak
arak di warung dunia
Kau biarkan aku menenggak marak cahayaMu di ujung usia
O usia lalai yang berkepanjangan
yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di
trotoir tempat dulu aku
menenggak arak di warung dunia
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illallah aku pakai sepatu siratal mustaqiem akupun lurus menuju
lapangan tempat shlat ied
Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat dan kurayakan
kelahiran kembali di sana
97
MANTERA
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
BATU
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu
beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang
lambai tak sampai. Kau tahu?
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji?
98
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...
NGIAU
Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa
panjang.Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal
Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara
aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan
menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang
mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana
makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang
mana surga.
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi 1973
LUKA
ha ha
KALIAN
pun
99
BAYANGKAN
untuk Salim Said
direguknya
wiski
direguk
direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
di halaman
anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
direguk
direguknya wiski
sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan
1977
GAJAH DAN SEMUT
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979
100
PARA PEMINUM
di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereke berhasil memetik bulan
mereka mneyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
WALAU
walau penyair besar
takkan sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
1979





http://file.upi.edu/Direktori/C%20-%20FPBS/JUR.%20PEND.%20BAHASA%20DAERAH/AGUS%20SUHERMAN/Handout%20Sastra%20Indonesia.pdf