Sebab Udara Makin Alpa
disebabkan gerhana
riwayatku yang gasang
menggayuti pepohonan tubuhmu
pengetahuanku yang semesum guntur
menembusi hutan
gigiti pentilmu
seraya memekik
tiba-tiba aku dij`vu
arwahku manyun
meniadakan gemintang
kobarkan geludhuk.
di mana-mana langit hanya mendung!
segenap wisik pertempuranbermula dari pelirku.
keremajaanmu menjelma luka
luka kering
bangkitkan pesona kejahatanku
sajakku demikian murung
menyangkali tahajud abad semak
semak berperdu
aku pagut lehermu
ruhku tersesat di kota berhantu
menyabitkan parang
tusukkan belatung.
telah raib keteduhan
bahkan sorga
adalah liur pemabuk
yang memerahkan darahku.
“tataplah angkasa!”
dan lidahku yang cekak akan terasa banal
senantiasa mencuri bulan
yang kau sembunyikan
di sela selangkanganmu
sebab udara makin alpa
meski kelak seluruh laut pasang
dan bumi hanya tinggal kubur
tanpa lumpur
mari kubuka duburmu
kematianku pucat, melenguh
serupa mitos percintaan
yang terbunuh kelam
dan senantiasa diusung dendam tahun-tahun
aku telanjang di kegelapan
serupa perusuh
nafasku lebus
mengurapi gugusan bintang
yang kau sematkan di dadamu
Puisi Indra Tjahyadi
Showing posts with label Puisi Populer. Show all posts
Showing posts with label Puisi Populer. Show all posts
Monday, 21 March 2011
FRAGMENTASI 191299
FRAGMENTASI 191299
Lewat keheningan yang tak
Dibasuh Sorga
Kuurai serobu dzikir dan kata-kata
Yang tak diinginkan Tuhan. Kegelapan menjelma
Guntur yang meledak di utara. Lalu
Dari reruntuhan gedung-gedung dan menara
Seperti tarian-tarian lelawa
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Kerinduan-kerinduanku tak ubahnya
Patung-patung retak di taman
Taman. Harapan-harapanku serupa trowongan
Trowongan pengap dengan seribu pengemis
Yang tertidur di dadanya
Seperti persetubuhan antara musim dan derita
Dengan anak-anak kunang yang melingkarinya
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Seperti daun-daun yang runtuh
Dan dikuyupkan hujan
Aku adalah seribu tahun dalam penampakan
Bening yang merindukan Isa. Dan
Di antara barisan-barisan lumut yang ditumbuhi
Dinding-dinding rengat, menjelma sajak
Sajak lindap yang membekap dan begitu bebal
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Dikekalkan dari timbunan mayat
Dan anyir darah
Demikianlah, kuamini diriku, begitu perih
Dan terlunta. Dan pada seribu ledakan taufan
Menjeritkan seluruh persalinan gagak
Gagak. Seperti keriuhan para perusuh atau kota
Yang dibalur bara, dengan matanya yang bulat bejat
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
1999.
Lewat keheningan yang tak
Dibasuh Sorga
Kuurai serobu dzikir dan kata-kata
Yang tak diinginkan Tuhan. Kegelapan menjelma
Guntur yang meledak di utara. Lalu
Dari reruntuhan gedung-gedung dan menara
Seperti tarian-tarian lelawa
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Kerinduan-kerinduanku tak ubahnya
Patung-patung retak di taman
Taman. Harapan-harapanku serupa trowongan
Trowongan pengap dengan seribu pengemis
Yang tertidur di dadanya
Seperti persetubuhan antara musim dan derita
Dengan anak-anak kunang yang melingkarinya
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Seperti daun-daun yang runtuh
Dan dikuyupkan hujan
Aku adalah seribu tahun dalam penampakan
Bening yang merindukan Isa. Dan
Di antara barisan-barisan lumut yang ditumbuhi
Dinding-dinding rengat, menjelma sajak
Sajak lindap yang membekap dan begitu bebal
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
Dikekalkan dari timbunan mayat
Dan anyir darah
Demikianlah, kuamini diriku, begitu perih
Dan terlunta. Dan pada seribu ledakan taufan
Menjeritkan seluruh persalinan gagak
Gagak. Seperti keriuhan para perusuh atau kota
Yang dibalur bara, dengan matanya yang bulat bejat
Tapi, kesunyian alangkah mengerikannya
1999.
PANEMBRAMA
PANEMBRAMA
Di antara tabir tebing kelam
Dan ceruk jurang malam
Kubayangkan
Lekuk liuk tubuhmu yang sintal
Dadamu yang gumpal
Serta putik puting susumu yang terjal
Bagai pilar-pilar penyangga menara
Kesunyianku berdamai
Dengan seluruh luka dan lidah-lidah halilintar
Berdentam-dentam di penjuru mega
Berjuntaian bagai jenggot-jenggot kilat
Menjelma isyarat-isyarat tajam
Yang membakar awan
Dan seluruh gugusan cakrawala
Kenangan dan harapanku menjemput
Segenap ratap, juga harum aroma
Nafasmu yang swarga
Dan ketika bias binar bulan pucat, membentur
Dinding dan sekalian tembok-tembok plaza
Berusaha menginsyafi muram
Tapi selalu gagal meramalkan wajah malammu yang lindap
Lumut, akar dan rerumputan
Menyerap tuba keterasinganku yang pekat
Melesakkannya ke dalam farji bumi
Yang adas, lantas mendetakkannya kembali
Sebagai ribuan gempa
Di mana pelir penguk langit muncrat
Memuntabkan sperma, juga maki darahku yang laknat
Aku ingin sekali memberinya nama
Dengan seluruh hasrat
Dan kesendirianku yang bejat
Memeluk gerak gerah kesyahwatanmu yang giras
Membiarkan seluruh Maut bertandak
Bertayub dengan kafan dan seluruh kematian
Hingga mataku buta dan mayatku remuk berceceran
1999.
Puisi Indra Tjahyadi
Di antara tabir tebing kelam
Dan ceruk jurang malam
Kubayangkan
Lekuk liuk tubuhmu yang sintal
Dadamu yang gumpal
Serta putik puting susumu yang terjal
Bagai pilar-pilar penyangga menara
Kesunyianku berdamai
Dengan seluruh luka dan lidah-lidah halilintar
Berdentam-dentam di penjuru mega
Berjuntaian bagai jenggot-jenggot kilat
Menjelma isyarat-isyarat tajam
Yang membakar awan
Dan seluruh gugusan cakrawala
Kenangan dan harapanku menjemput
Segenap ratap, juga harum aroma
Nafasmu yang swarga
Dan ketika bias binar bulan pucat, membentur
Dinding dan sekalian tembok-tembok plaza
Berusaha menginsyafi muram
Tapi selalu gagal meramalkan wajah malammu yang lindap
Lumut, akar dan rerumputan
Menyerap tuba keterasinganku yang pekat
Melesakkannya ke dalam farji bumi
Yang adas, lantas mendetakkannya kembali
Sebagai ribuan gempa
Di mana pelir penguk langit muncrat
Memuntabkan sperma, juga maki darahku yang laknat
Aku ingin sekali memberinya nama
Dengan seluruh hasrat
Dan kesendirianku yang bejat
Memeluk gerak gerah kesyahwatanmu yang giras
Membiarkan seluruh Maut bertandak
Bertayub dengan kafan dan seluruh kematian
Hingga mataku buta dan mayatku remuk berceceran
1999.
Puisi Indra Tjahyadi
GEHENNA
GEHENNA
Aku berjalan ke arah matahari
Arak-arakan rama bagai larungan sampan di atas sungai
Styx yang merah. Dari puing-puing bekas
Gereja, kulihat bangkai-bangkai awan
Seperti lembaran-lembaran langit yang dilimpahi arwah
Dan warna gerimis yang padam. Tapi selalu gagal
Membaca aroma tanah, seperti letak puting
Susumu yang tegak bagai pilar-pilar bara dalam kobaran api
Atau pelukan sungai yang membawamu pada gerhana
Ada darah, bunyi-bunyi senapan seperti ledakan
Pada ambal yang payah. Dalam kegelapan
Yang mengubah dunia jadi Maut dan cahaya. Jadi ceceran ingus
Dari para pejalan yang kehilangan rumah dan peta-peta:
O engkaukah suara, gumpal-gumpal payudara yang melukis tahun
Dalam impian lazuardi dan sperma, dengan cuaca-cuaca
Yang tercekik dan tertahan pada laju taufan dan ombak, seperti rasa
sedih
Atau bahasa-bahasa kangkung yang menjadi isyarat lain bagi perdu:
Semacam anyelir atau pikiran-pikiran yang beracun
Barangkali mataku terlampau cemburu pada sesuatu yang tak ada
Dan lewat letupan-letupan sayap yang menghisap kupu-kupu
Dan seratus kunang, seperti seratus kata sunyi yang terbakar kelamin
Atau aku yang terus berjalan ke arah matahri
Meski harapan hanyalah manik-manik yang menutup musim dan menjadi
Sebuah kerabunan bagi hening: padang, di mana Kristus dan Judas
Bertukar tangkap dalam sepi, ketika salju mencair
Dan seluruh bumi terangkat, seperti bayang-bayang orang suci, sebelum
engkau
Tersadar dan aku menemukan jalan untuk kembali
1998-1999.
Puisi Indra Tjahyadi
Aku berjalan ke arah matahari
Arak-arakan rama bagai larungan sampan di atas sungai
Styx yang merah. Dari puing-puing bekas
Gereja, kulihat bangkai-bangkai awan
Seperti lembaran-lembaran langit yang dilimpahi arwah
Dan warna gerimis yang padam. Tapi selalu gagal
Membaca aroma tanah, seperti letak puting
Susumu yang tegak bagai pilar-pilar bara dalam kobaran api
Atau pelukan sungai yang membawamu pada gerhana
Ada darah, bunyi-bunyi senapan seperti ledakan
Pada ambal yang payah. Dalam kegelapan
Yang mengubah dunia jadi Maut dan cahaya. Jadi ceceran ingus
Dari para pejalan yang kehilangan rumah dan peta-peta:
O engkaukah suara, gumpal-gumpal payudara yang melukis tahun
Dalam impian lazuardi dan sperma, dengan cuaca-cuaca
Yang tercekik dan tertahan pada laju taufan dan ombak, seperti rasa
sedih
Atau bahasa-bahasa kangkung yang menjadi isyarat lain bagi perdu:
Semacam anyelir atau pikiran-pikiran yang beracun
Barangkali mataku terlampau cemburu pada sesuatu yang tak ada
Dan lewat letupan-letupan sayap yang menghisap kupu-kupu
Dan seratus kunang, seperti seratus kata sunyi yang terbakar kelamin
Atau aku yang terus berjalan ke arah matahri
Meski harapan hanyalah manik-manik yang menutup musim dan menjadi
Sebuah kerabunan bagi hening: padang, di mana Kristus dan Judas
Bertukar tangkap dalam sepi, ketika salju mencair
Dan seluruh bumi terangkat, seperti bayang-bayang orang suci, sebelum
engkau
Tersadar dan aku menemukan jalan untuk kembali
1998-1999.
Puisi Indra Tjahyadi
MANAL PRALAYA
MANAL PRALAYA
Aku tak lagi berhadapan
Dengan harapan, kiranya. Menjelma
Kesenyapan yang dibawa jarak
Dan kematian. Serupa kerikil dan jalan
Jalan raya, hatiku pun penuh pengemis
Dan para pengamen
Membingkai kemiskinan, menyimpan
Kebencian pada mobil-mobil yang berjalan
Aku pulung segenap ganja
Dan bangkai-bangkai lelaki tanpa kepala
Memberitahu, bagaimana Maut bergerak
Mengayun-ayunkan kapak dan parang-parang juga
Aku sadar jika segala peristiwa
Telah menjelma hantu
Dan burung-burung yang melintasi selokan
Menemui bulan, juga gerhana penuh darah
Berserakan. Segenap gagasan jadi berledakan
Di kemaluanku, menyaksikan gedung-gedung
Tumbuh dan dibakar penduduk, di matamu
Menggali-gali kubur, menjilat-jilat gemuruh
Yang melumuri badai dan ratusan geludhuk
Semacam retakan-retakan batu yang terlempar
Ke arahmu, Neraka datang bersamaku
Berputar-putar, mencumbu pelacur-pelacur tua
Yang mesum. Seolah bersetubuh
Menciptakan bayang-bayang kabut dari kutu-kutu
Rambutmu yang harum, mengenyot puting-puting
Payudaramu, memilin klentit-klentit
Vaginamu yang penguk: di mana maling-maling ayam
Digantung, diarak sepanjang kampungmu
Sepanjang kampungku
1998.
Puisi Indra Tjahyadi
Aku tak lagi berhadapan
Dengan harapan, kiranya. Menjelma
Kesenyapan yang dibawa jarak
Dan kematian. Serupa kerikil dan jalan
Jalan raya, hatiku pun penuh pengemis
Dan para pengamen
Membingkai kemiskinan, menyimpan
Kebencian pada mobil-mobil yang berjalan
Aku pulung segenap ganja
Dan bangkai-bangkai lelaki tanpa kepala
Memberitahu, bagaimana Maut bergerak
Mengayun-ayunkan kapak dan parang-parang juga
Aku sadar jika segala peristiwa
Telah menjelma hantu
Dan burung-burung yang melintasi selokan
Menemui bulan, juga gerhana penuh darah
Berserakan. Segenap gagasan jadi berledakan
Di kemaluanku, menyaksikan gedung-gedung
Tumbuh dan dibakar penduduk, di matamu
Menggali-gali kubur, menjilat-jilat gemuruh
Yang melumuri badai dan ratusan geludhuk
Semacam retakan-retakan batu yang terlempar
Ke arahmu, Neraka datang bersamaku
Berputar-putar, mencumbu pelacur-pelacur tua
Yang mesum. Seolah bersetubuh
Menciptakan bayang-bayang kabut dari kutu-kutu
Rambutmu yang harum, mengenyot puting-puting
Payudaramu, memilin klentit-klentit
Vaginamu yang penguk: di mana maling-maling ayam
Digantung, diarak sepanjang kampungmu
Sepanjang kampungku
1998.
Puisi Indra Tjahyadi
PADA MATAMU YANG BENING
PADA MATAMU YANG BENING
Pada matamu yang bening
Tahajud daun-daun
Kuinsyafi dalam luka dan batu-batu
Bunyi-bunyi guruh meluap dan membutakan diamku
Bau-bau hujan seperti birahi-birahi musim
Yang menggeram dengan kapak dan sekalian palu
Dan ketika kilatan-kilatan petir memecut
Membakar langit dan pohon-pohon Randu
Seperti radang kesunyian yang melesatkan bara
Dan tombak-tombak unggun
Ribuan anggur kureguk
Lewat geliat gelubat kabut yang memeriahkan sedu
Seperti peronda-peronda kota
Yang selalu bertanggung jawab
Pada setiap hening dan lelehan-lelehan salju
Dari setiap sakit yang tak tersmbuhkan
Atau kudeta-kudeta panjang yang bergerak lambat
Seperti kristal nafasmu. Tapi belati-belati rindu
Adalah genangan-genangan darah yang mengombak pada bibirmu
Memerah seperti gincu, meledak seperti rastusan peluru
Akar-akar membasah, tapi waktu seperti kemaluan
Bumi yang rapuh. Kini, aku pun mencapai
Kebeningan kelabu. Dan jejak-jejak kaktus merancak
Menusuk kakiku, kubiarkan setiap pesta angin
Mengajariku bercakap dengan ratusan bangkai atau patung
Patung batu, mengajakku setubuh di samping ambalmu
Mengikhlaskan seratus pembunuhan seperti permainan marak
Dari cahaya dan kepompong-kepompong embun:
Tempat di mana sajak-sajak bermula dan para pejalan
Menyaksikan bendera-bendera dikibarkan seperti gelombang rambutmu
1998.
Puisi Indra Tjahyadi
Pada matamu yang bening
Tahajud daun-daun
Kuinsyafi dalam luka dan batu-batu
Bunyi-bunyi guruh meluap dan membutakan diamku
Bau-bau hujan seperti birahi-birahi musim
Yang menggeram dengan kapak dan sekalian palu
Dan ketika kilatan-kilatan petir memecut
Membakar langit dan pohon-pohon Randu
Seperti radang kesunyian yang melesatkan bara
Dan tombak-tombak unggun
Ribuan anggur kureguk
Lewat geliat gelubat kabut yang memeriahkan sedu
Seperti peronda-peronda kota
Yang selalu bertanggung jawab
Pada setiap hening dan lelehan-lelehan salju
Dari setiap sakit yang tak tersmbuhkan
Atau kudeta-kudeta panjang yang bergerak lambat
Seperti kristal nafasmu. Tapi belati-belati rindu
Adalah genangan-genangan darah yang mengombak pada bibirmu
Memerah seperti gincu, meledak seperti rastusan peluru
Akar-akar membasah, tapi waktu seperti kemaluan
Bumi yang rapuh. Kini, aku pun mencapai
Kebeningan kelabu. Dan jejak-jejak kaktus merancak
Menusuk kakiku, kubiarkan setiap pesta angin
Mengajariku bercakap dengan ratusan bangkai atau patung
Patung batu, mengajakku setubuh di samping ambalmu
Mengikhlaskan seratus pembunuhan seperti permainan marak
Dari cahaya dan kepompong-kepompong embun:
Tempat di mana sajak-sajak bermula dan para pejalan
Menyaksikan bendera-bendera dikibarkan seperti gelombang rambutmu
1998.
Puisi Indra Tjahyadi
MEMAJANG LANGIT
MEMAJANG LANGIT
Kupajang langit
Malaikat-malaikat merintih
Dalam tidur yang sepi
Bulan terbakar
Dan sajak-sajak lahir dari kebencian
Matahari. Aku tarik segenap luka
Dan bau busuk orang mati
Nafasku jadi buruk
Dan dipenuhi niat jahat yang suci
Aku ubah bumi jadi puing-puing
Bersekutu dengan iblis
Atau bayang-bayang hantu di malam hari
Aku tapaki jurang-jurang kegelapan
Yang ditorehkan burung-burung hering
Menatap kekuasaan dengan mata
Yang bengis. Kubiarkan
Lumpur-lumpur melompat dan banjir
Yak terbendung lagi. Menyeret mobil-mobil
Dengan darah dan seratus keringat musim:
O betapa khidmat kelicikan mengubah hari
Jadi sungai-sungai sampah yang pesing
Ada bangkai-bangkai tikus
Dan para pengemis yang memberi makan
Kucing-kucing kurus. Seolah membuka-buka
Mimpi, meneteki tanah dengan seribu
Kebosanan yang keji
Ketika gelap sedemikian gaib
Dan bunyi hujan menjelma pesta
Dari seribu kematian yang picik
Aku berpegang teguh pada angin, mencari-cari
Maut pada segenap ranjang yang sedih
Dan dalam segenap hasrat yang paling jijik
Berlingkaran seperti seekor cacing
Menghisap puting-puting anyir
Dari pelacur-pelacur tua yang bunting
1998.
Puisi Indra Tjahyadi
Kupajang langit
Malaikat-malaikat merintih
Dalam tidur yang sepi
Bulan terbakar
Dan sajak-sajak lahir dari kebencian
Matahari. Aku tarik segenap luka
Dan bau busuk orang mati
Nafasku jadi buruk
Dan dipenuhi niat jahat yang suci
Aku ubah bumi jadi puing-puing
Bersekutu dengan iblis
Atau bayang-bayang hantu di malam hari
Aku tapaki jurang-jurang kegelapan
Yang ditorehkan burung-burung hering
Menatap kekuasaan dengan mata
Yang bengis. Kubiarkan
Lumpur-lumpur melompat dan banjir
Yak terbendung lagi. Menyeret mobil-mobil
Dengan darah dan seratus keringat musim:
O betapa khidmat kelicikan mengubah hari
Jadi sungai-sungai sampah yang pesing
Ada bangkai-bangkai tikus
Dan para pengemis yang memberi makan
Kucing-kucing kurus. Seolah membuka-buka
Mimpi, meneteki tanah dengan seribu
Kebosanan yang keji
Ketika gelap sedemikian gaib
Dan bunyi hujan menjelma pesta
Dari seribu kematian yang picik
Aku berpegang teguh pada angin, mencari-cari
Maut pada segenap ranjang yang sedih
Dan dalam segenap hasrat yang paling jijik
Berlingkaran seperti seekor cacing
Menghisap puting-puting anyir
Dari pelacur-pelacur tua yang bunting
1998.
Puisi Indra Tjahyadi
Saturday, 26 February 2011
CINTAKU DI ANDALUSIA
CINTAKU DI ANDALUSIA
hari kau dilahirkan
matahari tentu akan berduka
oleh munculnya tandingan
dari dirinya lebih bercahaya
kembang mawar kembang anyelir
demikian pun cengkeh yang wangi,
menyertai bibirmu
ketika kau tersenyum
matamu, wahai si kulit sawomatangku
demikian bijak bestari
pembunuhmu pun merunduk
memberikan salut
wajahmu bernama
Sierra Morena
dan matamu, para pencuri
yang melintasinya
- dengan gerangan apa
wajah kau basuh maka warna kencana?
- kubasuh dia dengan air jernih
selebihnya tuhanlah yang lakukan
nafasmu, nafasmu bunga
nafas limau, mungil:
di dadamu ada
sebuah limau semarak bunga
aku tak tahu gimana dan pabila
ia datang ke kalbu
cercah api pelan menyala
tapi tak nampak lidah cahayanya
sebuah derita lembut kecil
di sini kupunyai bernama cinta
dari mana gerangan ia masuk tiba
maka sampai tak terasa?
bukan salahku tentu saja
kalau mawar jadi milikmu
sedangkan wanginya berasal dari diriku
kau menatapku dan kau kupandang
kepalamu merunduk, demikianpun aku:
tak tahu apa yang kau harapkan
akupun tak tahu apa yang kutunggu
para pastur padaku berkata
agar aku jangan mencintaimu
kepadanya kukatakan: “ah, pasturku
andaikan kau melihatnya…!”
andaikan cinta yang kukandung ini
menjelma jadi gandum
di sevilla tak kan ada
lumbung tak menyimpannya
kalau kau berangkat perang
gantungkan fotoku di dada
ketika peluru melanda abang
kita terbunuh bersama-sama
kau memandangku dan kau kupandang
sedang apa yang ingin kau bilang
melalui pandang
kudengar dengan terang
kau adalah cinta pertamaku
kaulah yang mengajarku cinta
tapi jangan ajarkan aku lupa
yang tak ingin kutahu
kalau kau ingin melupakan aku
lebih baik kau membunuhku
yang kuminta adalah kematian
samasekali bukan melupakan
bawalah hatiku ke sana ;
kalau mau bunuh saja, jika bisa;
tapi karena kau juga di dalamnya ,
membunuhnya kau ikut binasa.
ambillah belati kecil ini,
buka dadaku maka wajahmu
di situ kau dapati
sempurna tertata rapi.
ambillah jeruk ini, o perempuan
demi cinta kepadamu kuberikan
tapi jangan belah dengan belati
kerna jantungku di dalamnya ada.
kulempar ke langit sebuah limau
ingin tahu apakah ia berobah merah;
naik hijau dan jatuhpun hijau;
seperti harapanku warna hijau
pada laut kucari limau
tapi laut tak punya;
ke dalam air tangan kucelup
harapan memberiku rasa hidup.
kalau boleh mencintaimu
wangikan diriku dengan pandan
penghapus semerbak
cinta-cintamu semula
kau satu dan juga dua
juga tiga dan empatpuluh
kau juga bagai gereja
di mana berbondong orang tiba
pinjamkan matamu kepadaku
hingga mataku jadi empat
karena dengan dua aku tak bisa
menangiskan duka-petaka
gitar yang kupetik ini
punya mulut dan bisa bicara;
hanya yang kurang adalah mata
yang membantuku untuk menangis.
terasa ada perih di dada, ku tak tahu di mana,
lahir dari mana pun aku juga alpa;
ketika sembuh akupun lupa
penyembuhnya pun aku tak tahu siapa.
kuterjuni air
dalam sepinggang
tunanganku dibawa orang
dan dingin tiba-tiba menyusup belulang
ketidakmungkinan membunuhku
aku terbunuh oleh ketidakmungkinan;
ketidakmungkinan pun sampai tepian
ketidakmungkinan yang kurindukan.
"Coplas. Poemes de l'Amour Andalou", Edition
Allia, Paris,1998.
hari kau dilahirkan
matahari tentu akan berduka
oleh munculnya tandingan
dari dirinya lebih bercahaya
kembang mawar kembang anyelir
demikian pun cengkeh yang wangi,
menyertai bibirmu
ketika kau tersenyum
matamu, wahai si kulit sawomatangku
demikian bijak bestari
pembunuhmu pun merunduk
memberikan salut
wajahmu bernama
Sierra Morena
dan matamu, para pencuri
yang melintasinya
- dengan gerangan apa
wajah kau basuh maka warna kencana?
- kubasuh dia dengan air jernih
selebihnya tuhanlah yang lakukan
nafasmu, nafasmu bunga
nafas limau, mungil:
di dadamu ada
sebuah limau semarak bunga
aku tak tahu gimana dan pabila
ia datang ke kalbu
cercah api pelan menyala
tapi tak nampak lidah cahayanya
sebuah derita lembut kecil
di sini kupunyai bernama cinta
dari mana gerangan ia masuk tiba
maka sampai tak terasa?
bukan salahku tentu saja
kalau mawar jadi milikmu
sedangkan wanginya berasal dari diriku
kau menatapku dan kau kupandang
kepalamu merunduk, demikianpun aku:
tak tahu apa yang kau harapkan
akupun tak tahu apa yang kutunggu
para pastur padaku berkata
agar aku jangan mencintaimu
kepadanya kukatakan: “ah, pasturku
andaikan kau melihatnya…!”
andaikan cinta yang kukandung ini
menjelma jadi gandum
di sevilla tak kan ada
lumbung tak menyimpannya
kalau kau berangkat perang
gantungkan fotoku di dada
ketika peluru melanda abang
kita terbunuh bersama-sama
kau memandangku dan kau kupandang
sedang apa yang ingin kau bilang
melalui pandang
kudengar dengan terang
kau adalah cinta pertamaku
kaulah yang mengajarku cinta
tapi jangan ajarkan aku lupa
yang tak ingin kutahu
kalau kau ingin melupakan aku
lebih baik kau membunuhku
yang kuminta adalah kematian
samasekali bukan melupakan
bawalah hatiku ke sana ;
kalau mau bunuh saja, jika bisa;
tapi karena kau juga di dalamnya ,
membunuhnya kau ikut binasa.
ambillah belati kecil ini,
buka dadaku maka wajahmu
di situ kau dapati
sempurna tertata rapi.
ambillah jeruk ini, o perempuan
demi cinta kepadamu kuberikan
tapi jangan belah dengan belati
kerna jantungku di dalamnya ada.
kulempar ke langit sebuah limau
ingin tahu apakah ia berobah merah;
naik hijau dan jatuhpun hijau;
seperti harapanku warna hijau
pada laut kucari limau
tapi laut tak punya;
ke dalam air tangan kucelup
harapan memberiku rasa hidup.
kalau boleh mencintaimu
wangikan diriku dengan pandan
penghapus semerbak
cinta-cintamu semula
kau satu dan juga dua
juga tiga dan empatpuluh
kau juga bagai gereja
di mana berbondong orang tiba
pinjamkan matamu kepadaku
hingga mataku jadi empat
karena dengan dua aku tak bisa
menangiskan duka-petaka
gitar yang kupetik ini
punya mulut dan bisa bicara;
hanya yang kurang adalah mata
yang membantuku untuk menangis.
terasa ada perih di dada, ku tak tahu di mana,
lahir dari mana pun aku juga alpa;
ketika sembuh akupun lupa
penyembuhnya pun aku tak tahu siapa.
kuterjuni air
dalam sepinggang
tunanganku dibawa orang
dan dingin tiba-tiba menyusup belulang
ketidakmungkinan membunuhku
aku terbunuh oleh ketidakmungkinan;
ketidakmungkinan pun sampai tepian
ketidakmungkinan yang kurindukan.
"Coplas. Poemes de l'Amour Andalou", Edition
Allia, Paris,1998.
CINTA YANG SIA-SIA
CINTA YANG SIA-SIA
malam menolak tiba
kau pun tak datang
sedang aku tak bisa menjelang
tapi aku kan berangkat juga
kendati pelipisku mesti makan matahari kalajengking.
dan belakangan kau menyusul datang
dengan lidah dibakar hujan garam
siang menolak datang
kau luput dari pandang
sedang aku juga terhalang
tapi aku akhirnya datang juga
menyerahkan ke tunanetra anyelirku yang cedera
malam dan siang menolak datang
akhirnya aku mati untukmu
dan kau pun mati untukku
jangan bawa kenanganmu
biarkan ia sendiri di hatiku
gemetar pepohonan céri putih
dalam martir bulan januari
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
setangkai leli langka kupersembahkan
bagai hadiah bagi hati yang beku
di taman saban malam, mataku
ibarat dua ekor anjing perkasa
sepanjang malam mengepung meronda
pojok demi pojok dan segala bisa
angin terkadang bagaikan
kembang tulip kengerian
dialah kembang tulip duka
kerna pagi beku musim dingin
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
kabut menyelimut keheningan
lembah kelabu tubuhmu
di bawah lengkung perjumpaan dahulu
belukar racun sekarang menghutan
tapi tinggalkan untukku kenanganmu
biarkan sendiri ia di situ di kalbuku
Federico Garcia Lorca,”Poésies III. 1926-1936″, Gallimard, Paris,
1954,hlm.155.
malam menolak tiba
kau pun tak datang
sedang aku tak bisa menjelang
tapi aku kan berangkat juga
kendati pelipisku mesti makan matahari kalajengking.
dan belakangan kau menyusul datang
dengan lidah dibakar hujan garam
siang menolak datang
kau luput dari pandang
sedang aku juga terhalang
tapi aku akhirnya datang juga
menyerahkan ke tunanetra anyelirku yang cedera
malam dan siang menolak datang
akhirnya aku mati untukmu
dan kau pun mati untukku
jangan bawa kenanganmu
biarkan ia sendiri di hatiku
gemetar pepohonan céri putih
dalam martir bulan januari
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
setangkai leli langka kupersembahkan
bagai hadiah bagi hati yang beku
di taman saban malam, mataku
ibarat dua ekor anjing perkasa
sepanjang malam mengepung meronda
pojok demi pojok dan segala bisa
angin terkadang bagaikan
kembang tulip kengerian
dialah kembang tulip duka
kerna pagi beku musim dingin
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
kabut menyelimut keheningan
lembah kelabu tubuhmu
di bawah lengkung perjumpaan dahulu
belukar racun sekarang menghutan
tapi tinggalkan untukku kenanganmu
biarkan sendiri ia di situ di kalbuku
Federico Garcia Lorca,”Poésies III. 1926-1936″, Gallimard, Paris,
1954,hlm.155.
Sunday, 20 February 2011
Puisi yang Cepat Berakhir
Puisi yang Cepat Berakhir
SEPANJANG apakah puisi harus ditulis? Tak ada ketentuan, kecuali untuk puisi-puisi yang memili bentuk tetap. Haiku misalnya. Puisi yang tidak tiga baris, dan tidak 17 suku kata dalam bahasa Jepang, pasti tak bisa disebut haiku. Kalau pantun pasti dia harus empat baris. Sebait gurindam isinya harus dua baris.
PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.
TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.
BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.
1.
Malam Lebaran
Sajak Sitor Situmorang
Bulan di atas kuburan.
2.
Luka
Sajak Sutardji Calzhoum Bachri
Ha ha!
3.
Tuan
Sajak Sapardi Djoko Damono
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
4.
Kepada Puisi
Sajak Joko Pinurbo
Kau adalah mata, aku airmatamu.
SEPANJANG apakah puisi harus ditulis? Tak ada ketentuan, kecuali untuk puisi-puisi yang memili bentuk tetap. Haiku misalnya. Puisi yang tidak tiga baris, dan tidak 17 suku kata dalam bahasa Jepang, pasti tak bisa disebut haiku. Kalau pantun pasti dia harus empat baris. Sebait gurindam isinya harus dua baris.
PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.
TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.
BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.
1.
Malam Lebaran
Sajak Sitor Situmorang
Bulan di atas kuburan.
2.
Luka
Sajak Sutardji Calzhoum Bachri
Ha ha!
3.
Tuan
Sajak Sapardi Djoko Damono
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
4.
Kepada Puisi
Sajak Joko Pinurbo
Kau adalah mata, aku airmatamu.
Thursday, 6 January 2011
AKU BISA MENULIS PUISI PALING SEDIH MALAM INI
AKU BISA MENULIS PUISI PALING SEDIH MALAM INI
aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
misalnya, menulis: “malam penuh bintang,
dan bintang bintang itu, biru, menggigil di kejauhan.”
angin malam berkelit di langit sambil bernyanyi.
aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
aku pernah mencintainya, dan kadang-kadang dia pernah mencintaiku juga.
di malam-malam seperti ini, aku rangkul dia dalam pelukan.
aku ciumi dia berkali kali di bawah langit tak berbatas.
dia pernah mencintaiku, kadang-kadang aku pun mencintainya.
bagaimana mungkin aku tak akan mencintai matanya yang besar dan tenang itu?
aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
kerna aku tak memilikinya. kerna aku kehilangan dia.
kerna malam begitu mencekam, begitu mencekam tanpa dirinya.
dan puisiku masuk dalam jiwa seperti embun pada rumputan.
tak apa kalau cintaku tak bisa di sini menahannya.
malam penuh bintang dan tak ada di sini dia.
begitulah. di kejauhan, seseorang menyanyi. di kejauhan.
jiwaku mati kini tanpa dia.
kerna ingin menghadirkannya di sini, mataku mencarinya.
hatiku mencarinya dan tak ada di sini dia.
malam yang itu itu juga, yang membuat putih pohonan yang itu itu juga.
kami, yang dulu satu, tak lagi satu kini.
aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi betapa cintanya aku dulu padanya.
suaraku menggapai angin hanya untuk menyentuh telinganya.
milik orang lain. dia akan jadi milik orang lain. seperti dia dulu
milik ciuman ciumanku.
suaranya, tubuhnya yang kecil. matanya yang memandang jauh.
aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi mungkin aku mencintainya.
cinta begitu singkat dan lupa begitu lama.
kerna di malam malam seperti ini dulu aku rangkul dia dalam pelukan,
jiwaku mati kini tanpa dirinya.
mungkin ini luka terakhir yang dibuatnya,
dan ini puisi terakhir yang kutulis untuknya.
PABLO NERUDA
-terjemahan Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/journal/item/41/aku_bisa_saja_menulis_puisi_paling_sedih_malam_ini_Pablo_Neruda
aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
misalnya, menulis: “malam penuh bintang,
dan bintang bintang itu, biru, menggigil di kejauhan.”
angin malam berkelit di langit sambil bernyanyi.
aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
aku pernah mencintainya, dan kadang-kadang dia pernah mencintaiku juga.
di malam-malam seperti ini, aku rangkul dia dalam pelukan.
aku ciumi dia berkali kali di bawah langit tak berbatas.
dia pernah mencintaiku, kadang-kadang aku pun mencintainya.
bagaimana mungkin aku tak akan mencintai matanya yang besar dan tenang itu?
aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
kerna aku tak memilikinya. kerna aku kehilangan dia.
kerna malam begitu mencekam, begitu mencekam tanpa dirinya.
dan puisiku masuk dalam jiwa seperti embun pada rumputan.
tak apa kalau cintaku tak bisa di sini menahannya.
malam penuh bintang dan tak ada di sini dia.
begitulah. di kejauhan, seseorang menyanyi. di kejauhan.
jiwaku mati kini tanpa dia.
kerna ingin menghadirkannya di sini, mataku mencarinya.
hatiku mencarinya dan tak ada di sini dia.
malam yang itu itu juga, yang membuat putih pohonan yang itu itu juga.
kami, yang dulu satu, tak lagi satu kini.
aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi betapa cintanya aku dulu padanya.
suaraku menggapai angin hanya untuk menyentuh telinganya.
milik orang lain. dia akan jadi milik orang lain. seperti dia dulu
milik ciuman ciumanku.
suaranya, tubuhnya yang kecil. matanya yang memandang jauh.
aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi mungkin aku mencintainya.
cinta begitu singkat dan lupa begitu lama.
kerna di malam malam seperti ini dulu aku rangkul dia dalam pelukan,
jiwaku mati kini tanpa dirinya.
mungkin ini luka terakhir yang dibuatnya,
dan ini puisi terakhir yang kutulis untuknya.
PABLO NERUDA
-terjemahan Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/journal/item/41/aku_bisa_saja_menulis_puisi_paling_sedih_malam_ini_Pablo_Neruda
Friday, 12 November 2010
Aku
Aku
-Chairil Anwar-
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
I
If my time should come
I'd like no one to entice me
Not even you
No need for those sobs and cries
I am but a wild animal
Cut from its kind
Though bullets should pierce my skin
I shall still strike and march forth
Wounds and poison shall I take aflee
Aflee
'Til the pain and pang should dissapear
And I should care even less
I want to live for another thousand years
Ik
Als mijn tijd gekomen is
wil ik van niemand rouw
Ook niet van jou
Niks geen gesnik en gesnotter
Ik ben een eenling geworden
Uitgestoten uit de horde
Laat kogels mijn huid doorboren
Ik blijf tekeergaan en schoppen
Wonden en gif voer ik mee op mijn vlucht
Vlucht
Tot de schrijnende pijn zal verdwijnen
En ik zal er nog minder om geven
Ik wil nog duizend jaar leven
-Chairil Anwar-
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
I
If my time should come
I'd like no one to entice me
Not even you
No need for those sobs and cries
I am but a wild animal
Cut from its kind
Though bullets should pierce my skin
I shall still strike and march forth
Wounds and poison shall I take aflee
Aflee
'Til the pain and pang should dissapear
And I should care even less
I want to live for another thousand years
Ik
Als mijn tijd gekomen is
wil ik van niemand rouw
Ook niet van jou
Niks geen gesnik en gesnotter
Ik ben een eenling geworden
Uitgestoten uit de horde
Laat kogels mijn huid doorboren
Ik blijf tekeergaan en schoppen
Wonden en gif voer ik mee op mijn vlucht
Vlucht
Tot de schrijnende pijn zal verdwijnen
En ik zal er nog minder om geven
Ik wil nog duizend jaar leven
KARAWANG BEKASI
KARAWANG BEKASI
-Chairil Anwar-
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
-Chairil Anwar-
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
TAPI
TAPI
-Sutardji Calzoum Bachri-
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
-Sutardji Calzoum Bachri-
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
BATU
BATU
-Sutardji Calzoum Bachri-
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?
batu risau
batu pukau batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
-Sutardji Calzoum Bachri-
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?
batu risau
batu pukau batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
HERMAN
HERMAN
-Sutardji Calzoum Bachri-
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
-Sutardji Calzoum Bachri-
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
TANGAN
TANGAN
-Sutardji Calzoum Bachri-
seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam
seharusnya tangan bukan segumpal jari menulis sia se kedar duri menulis luka mengusap mata namun gerimis tak juga reda
walau lengkap tangan buntung walau hampir tangan bun tung walau satu tangan buntung walau setengah tangan buntung yang copot tangan buntung yang lepas tangan buntung yang buntung tangan buntung
segala buntung segala tak tangan hanya jam yang lengkap tangan menunjuk entah kemana
-Sutardji Calzoum Bachri-
seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam
seharusnya tangan bukan segumpal jari menulis sia se kedar duri menulis luka mengusap mata namun gerimis tak juga reda
walau lengkap tangan buntung walau hampir tangan bun tung walau satu tangan buntung walau setengah tangan buntung yang copot tangan buntung yang lepas tangan buntung yang buntung tangan buntung
segala buntung segala tak tangan hanya jam yang lengkap tangan menunjuk entah kemana
WALAU
WALAU
-Sutardji Calzoum Bachri-
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
-Sutardji Calzoum Bachri-
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
Tuhan Sembilan Senti…
Tuhan Sembilan Senti…
-Taufiq Ismail-
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-
perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
Bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
-Taufiq Ismail-
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-
perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
Bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Doa
Doa
-Chairil Anwar-
Tuhan ku
Dalam termangu
Ku sebut nama Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Mu penuh seluruh
Tuhan ku
Cahaya Mu
Panas suci bagai kerdip lilin
Di kelam sunyi
Tuhan ku
Aku hilang bentuk
Kembara di negeri asing
Tuhan ku
Pintu Mu ku ketuk
Aku tak bisa berpaling
A Prayer
Dear God
In desolation
I said your name
So that this pain heals
Though it is hard
Remembering You with all my heart and soul
Dear God
Your light
(is) Warm and aglow like the flicker of a candle
On a quiet balmy night
Dear God
I lost myself
A stranger travelling in this strange land
Dear God
Here I am knocking on Your door
And I can no longer turn my face away (from You)
-Chairil Anwar-
Tuhan ku
Dalam termangu
Ku sebut nama Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Mu penuh seluruh
Tuhan ku
Cahaya Mu
Panas suci bagai kerdip lilin
Di kelam sunyi
Tuhan ku
Aku hilang bentuk
Kembara di negeri asing
Tuhan ku
Pintu Mu ku ketuk
Aku tak bisa berpaling
A Prayer
Dear God
In desolation
I said your name
So that this pain heals
Though it is hard
Remembering You with all my heart and soul
Dear God
Your light
(is) Warm and aglow like the flicker of a candle
On a quiet balmy night
Dear God
I lost myself
A stranger travelling in this strange land
Dear God
Here I am knocking on Your door
And I can no longer turn my face away (from You)
Subscribe to:
Posts (Atom)