Dua Puisi Pablo Neruda
Diterjemahkan Saut Situmorang
I.
Kita bahkan kehilangan senja ini
Kita bahkan kehilangan senja ini.
Tak ada yang melihat kita jalan bergandengan tangan
sementara malam yang biru ambruk ke dunia.
Kulihat dari jendelaku
pesta matahari tenggelam di puncak puncak pegunungan yang jauh.
Kadang sepotong matahari
terbakar seperti sebuah uang koin di antara tanganku.
Aku mengenangmu dengan jiwaku tergenggam
dalam kesedihanku yang sudah sangat kau tahu itu.
Di mana kau waktu itu?
Ada siapa lagi di situ?
Bilang apa dia?
Kenapa cinta mendatangiku tiba tiba
di saat aku sedih dan merasa kau betapa jauhnya?
Terjatuh buku yang biasanya dibaca setelah senja tiba
Dan mantelku tergulung seperti seekor anjing terluka di dekat kakiku.
Selalu, selalu kau mengabur lewat malam
menuju ke mana senja pergi menghapus patung patung.
II.
Kalau kau lupakan aku
Kumau kau mengerti
satu hal ini.
Kau tahu semua ini:
kalau aku memandang
bulan kristal, memandang ranting merah
musim gugur yang bergerak lambat di jendelaku,
kalau kusentuh
di dekat perapian
abu lembut halus
atau tubuh keriput kayu api,
semuanya ini membawaku padamu,
seolah semua yang ada,
aroma, cahaya, logam,
adalah kapal kapal kecil
yang berlayar
menuju pulau pulaumu yang menungguku itu.
Jadi
kalau sedikit demi sedikit kau berhenti mencintaiku
sedikit demi sedikit aku akan berhenti mencintaimu.
Kalau tiba tiba
kau melupakanku
jangan lagi cari aku,
karena aku pasti sudah akan melupakanmu.
Kalau kau pikir lama dan membosankan
angin musim
yang berhembus dalam hidupku,
dan kau putuskan
untuk meninggalkanku di pantai
hati dimana akarku berada,
ingatlah
hari itu juga,
detik itu juga,
aku akan melepaskan tanganku
dan akarku akan berlayar
mencari negeri baru.
Tapi
kalau setiap hari,
setiap detik,
kau rasa kau memang ditakdirkan untukku
dengan kemesraan yang tak terkira,
kalau setiap hari sebuah bunga
merambat naik ke bibirmu mencariku,
ah cintaku, kekasihku,
dalam diriku semua api itu akan terbalas,
dalam diriku tak ada yang akan padam atau terlupakan,
cintaku hidup dari cintamu, kekasihku,
dan selama kau hidup cintaku akan terus dalam rangkulanmu
tanpa meninggalkanku.
Showing posts with label Saut Situmorang. Show all posts
Showing posts with label Saut Situmorang. Show all posts
Monday, 21 March 2011
Sajak-Sajak Pablo Neruda
Sajak-Sajak Pablo Neruda
Diterjemahkan Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Nyanyian buat Sierra Maestra
Kalau biasanya keheningan yang diharapkan dari kita saat meninggalkan
tempat sanak saudara kita dikuburkan,
maka aku minta satu menit yang riuh rendah,
sekali ini saja suara seluruh Amerika,
hanya satu menit nyanyian riuh rendah
aku minta untuk menghormati Sierra Maestra.
Marilah kita lupakan sebentar manusia:
saat ini marilah kita hormati tanah ini
yang menyembunyikan dalam gunung gunungnya yang misterius
bara api yang akan membakar padang padang prairie.
Aku merayakan hutan hutan kecil perkasa
yang mendiami bukit bukit batu karang,
malam yang penuh suara bisikan tak terartikan,
dengan kerlap kerlip cahaya bintang bintang,
keheningan telanjang hutan hutan,
misteri bangsa bangsa yang tak berbendera:
sampai semuanya mulai berdenyut,
lalu meledak jadi api membara seperti api unggun.
Lelaki lelaki berjanggut gagah perkasa turun
untuk menciptakan damai di seluruh negeri,
sekarang segalanya cerah tapi dulu
segalanya suram di Sierra Maestra:
itulah makanya kumohon satu menit saja
untuk menyanyikan Nyanyian Protes ini.
Aku mulai dengan kata kata ini
semoga diikuti di seluruh benua Amerika
“Bukalah matamu bangsa bangsa yang dihina
Sierra Maestra ada di mana mana.”
*) Sierra Maestra adalah daerah perbukitan di Kuba yang menjadi pusat perlawanan gerilyawan Komunis pimpinan Fidel Castro dan Che Guevara yang akhirnya menumbangkan kekuasaan diktator militer dukungan Amerika Serikat, Batista, di tahun 1959.
***
Kawan Itu
Kemudian Sandino memasuki hutan
dia tembakkan peluru peluru keramatnya
melawan para pelaut penyerbu
yang dilatih dan dibayar oleh New York:
bumi terbakar hangus, suara suara tembakan bergema di daunan:
orang Yankee itu tak menyangka apa yang akan terjadi:
dia berpakaian terlalu rapi untuk perang
sepatu dan senjatanya mengkilap
tapi segera dia mengerti
siapa Sandino dan Nicaragua:
kuburan buat para perampok berambut pirang:
di udara, pohon, jalan, air
pasukan gerilya Sandino di mana mana
bahkan di whiskey yang sedang dibuka,
mereka habisi dengan kematian kilat
para tentara Louisiana yang gagah perkasa itu
yang biasa menggantung mati orang orang Negro
dengan keberanian luar biasa:
duaribu laki laki berkerudung sibuk
mengurusi satu laki laki Negro, seutas tali dan sebuah pohon.
Segalanya berbeda di sini:
Sandino menyerang dan menunggu,
Sandino datang bersama malam,
dia adalah cahaya dari laut yang membunuh,
Sandino adalah menara penuh bendera,
Sandino adalah senapan penuh harapan.
Ini adalah pelajaran berbeda,
di West Point pelajaran dilakukan dengan bersih:
mereka tak pernah diajarkan di sekolah
bahwa siapa yang membunuh bisa juga dibunuh:
orang orang Amerika Serikat ini tidak pernah diajarkan
bahwa kita mencintai negeri tercinta kita yang sedih ini
dan kita akan mempertahankan bendera kita
yang dengan sakit dan cinta kita ciptakan.
Kalau mereka tidak mempelajari ini di Philadelphia
mereka mempelajarinya dengan darah di Nicaragua:
pemimpin rakyat menunggu di sana:
Augusto C. Sandino namanya.
Dan dalam nyanyian ini abadi namanya
penuh keagungan seperti sebuah ledakan tiba tiba
yang memberikan kita api dan cahaya
dalam melanjutkan perjuangannya.
(Diterjemahkan dari buku “Song of Protest, Poems by Pablo Neruda”, New York, 1976)
Diterjemahkan Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Nyanyian buat Sierra Maestra
Kalau biasanya keheningan yang diharapkan dari kita saat meninggalkan
tempat sanak saudara kita dikuburkan,
maka aku minta satu menit yang riuh rendah,
sekali ini saja suara seluruh Amerika,
hanya satu menit nyanyian riuh rendah
aku minta untuk menghormati Sierra Maestra.
Marilah kita lupakan sebentar manusia:
saat ini marilah kita hormati tanah ini
yang menyembunyikan dalam gunung gunungnya yang misterius
bara api yang akan membakar padang padang prairie.
Aku merayakan hutan hutan kecil perkasa
yang mendiami bukit bukit batu karang,
malam yang penuh suara bisikan tak terartikan,
dengan kerlap kerlip cahaya bintang bintang,
keheningan telanjang hutan hutan,
misteri bangsa bangsa yang tak berbendera:
sampai semuanya mulai berdenyut,
lalu meledak jadi api membara seperti api unggun.
Lelaki lelaki berjanggut gagah perkasa turun
untuk menciptakan damai di seluruh negeri,
sekarang segalanya cerah tapi dulu
segalanya suram di Sierra Maestra:
itulah makanya kumohon satu menit saja
untuk menyanyikan Nyanyian Protes ini.
Aku mulai dengan kata kata ini
semoga diikuti di seluruh benua Amerika
“Bukalah matamu bangsa bangsa yang dihina
Sierra Maestra ada di mana mana.”
*) Sierra Maestra adalah daerah perbukitan di Kuba yang menjadi pusat perlawanan gerilyawan Komunis pimpinan Fidel Castro dan Che Guevara yang akhirnya menumbangkan kekuasaan diktator militer dukungan Amerika Serikat, Batista, di tahun 1959.
***
Kawan Itu
Kemudian Sandino memasuki hutan
dia tembakkan peluru peluru keramatnya
melawan para pelaut penyerbu
yang dilatih dan dibayar oleh New York:
bumi terbakar hangus, suara suara tembakan bergema di daunan:
orang Yankee itu tak menyangka apa yang akan terjadi:
dia berpakaian terlalu rapi untuk perang
sepatu dan senjatanya mengkilap
tapi segera dia mengerti
siapa Sandino dan Nicaragua:
kuburan buat para perampok berambut pirang:
di udara, pohon, jalan, air
pasukan gerilya Sandino di mana mana
bahkan di whiskey yang sedang dibuka,
mereka habisi dengan kematian kilat
para tentara Louisiana yang gagah perkasa itu
yang biasa menggantung mati orang orang Negro
dengan keberanian luar biasa:
duaribu laki laki berkerudung sibuk
mengurusi satu laki laki Negro, seutas tali dan sebuah pohon.
Segalanya berbeda di sini:
Sandino menyerang dan menunggu,
Sandino datang bersama malam,
dia adalah cahaya dari laut yang membunuh,
Sandino adalah menara penuh bendera,
Sandino adalah senapan penuh harapan.
Ini adalah pelajaran berbeda,
di West Point pelajaran dilakukan dengan bersih:
mereka tak pernah diajarkan di sekolah
bahwa siapa yang membunuh bisa juga dibunuh:
orang orang Amerika Serikat ini tidak pernah diajarkan
bahwa kita mencintai negeri tercinta kita yang sedih ini
dan kita akan mempertahankan bendera kita
yang dengan sakit dan cinta kita ciptakan.
Kalau mereka tidak mempelajari ini di Philadelphia
mereka mempelajarinya dengan darah di Nicaragua:
pemimpin rakyat menunggu di sana:
Augusto C. Sandino namanya.
Dan dalam nyanyian ini abadi namanya
penuh keagungan seperti sebuah ledakan tiba tiba
yang memberikan kita api dan cahaya
dalam melanjutkan perjuangannya.
(Diterjemahkan dari buku “Song of Protest, Poems by Pablo Neruda”, New York, 1976)
INCEST
INCEST
Saut Situmorang
(Di sebuah kamar hotel di pinggir Danau Toba. Menjelang subuh. Awal 1990an.)
… Jadi … dia kawin dengan saudara laki lakinya lalu diusir dari negerinya lalu berpisah dari saudara laki lakinya itu lalu kawin dengan anak laki lakinya?
Hm.
?
?
Bukan main.
Hm. Bukan main.
Luar biasa.
Hm. Luar biasa.
Ini merupakan sebuah plot yang luar biasa buat sebuah cerita. Lebih dramatik daripada nasib Jokasta. Dan lebih kontemporer.
Hm. Lebih up-to-date. Lebih feminis.
Coba bayangkan. Seorang perempuan muda jatuh cinta sama abang kandungnya, berhubungan seks dengannya, bunting, ketahuan keluarganya, diusir dan dikejar kejar dari negerinya, pisah dari abang kandungnya, melahirkan seorang putra, membesarkan putranya, pisah dari putranya, jatuh cinta sama seorang laki laki muda dan berhubungan seks dengannya yang ternyata adalah putranya yang dulu pisah darinya.
Hm. Keturunan mereka sampai sekarang malah masih ada! Bahkan jumlahnya seperti pasir di pantai dan bintang bintang di malam tak berawan.
?
?
Kau sudah tidur?
Hm.
Entah kenapa, aku tak bisa memejamkan mataku lagi malam ini. Pikiranku, ah mungkin lebih tepat khayalanku, mengembara jauh ke luar kamar menembus malam menembus siang ke suatu tempat di masa lalu, ke sebuah kampung kecil di pinggir sebuah danau besar…
Hm. Sebuah danau besar yang dipagari barisan gunung terjal yang dihuni manusia manusia kasar…
dan aku lihat seorang perempuan muda, masih belasan tahun umurnya, sedang termenung seorang diri sambil kedua tangannya yang mungil tak henti menggeser geser benang di alat tenun di depannya…
hanya suara angin yang memain mainkan daun bambu di sekeliling kampung yang terdengar, hanya suara ombak kecil air danau yang mengguling gulingkan dirinya di pasir pantai…
kedua matanya yang besar yang hitam seperti kosong seperti buta di wajahnya yang menyunggingkan senyum kekanak kanakannya…
sayup sayup terdengar…
dan kedua tangannya yang mungil tak henti menggeser geser benang di alat tenun di depannya…
?
?
Kau sudah tidur? Entah kenapa aku tak bisa memejamkan mataku lagi malam ini.
Hm. Entah kenapa.
?
?
Jadi, dia tidak tahu kalau laki laki muda itu putranya sendiri?
Hm.
Laki laki muda itu sendiri? Dia tidak tahu kalau perempuan muda itu ibunya sendiri?
Hm.
?
?
Tiba tiba kedua tangannya mendadak berhenti bekerja dan kedua matanya jadi hidup, jadi gugup…
Tiba tiba terdengar suara teriakan burung burung enggang dari pucuk pucuk pohon di hutan hutan…
Wajah itu tiba tiba muncul di mulut pintu…
Suara suara orang berteriak teriak dan memaki maki tiba tiba pecah dari lembah gunung…
Wajah yang dicintainya!
Suara suara orang marah!
Ah.
Ah.
?
?
Kau masih belum tidur, kan?
Hm.
?
?
Aku selalu sulit tertidur tiap kali teringat ceritanya itu.
?
Entah apa yang timbul di hatinya waktu rahasia itu diketahuinya akhirnya.
?
Mungkin dia menangis. Mungkin dia lari keluar dari rumah dan meratapi langit yang biru yang seperti atap rumah jatuh di balik gunung di ujung danau mengurungnya selamanya.
?
Mungkin dia cuma diam saja dan terus melanjutkan tenunannya sebelum kelahiran bayinya tiba…
Hm. Kelahiran bayinya yang keturunannya sampai sekarang masih ada.
?
?
Sungguh kuat dia! Semuda itu dengan perut sebesar itu dikejar kejar seperti binatang liar.
Hm. Dikejar kejar seperti binatang liar oleh manusia manusia kasar.
Tapi untunglah dia selamat!
Hm. Untunglah mereka gagal.
Kau belum tidur, kan?
Hm.
Jadi, dia akhirnya punya anak sembilan?
Hm. Sampai sekarang masih ada. Sebanyak pasir di pantai dan bintang bintang di malam tak berawan…
Tapi aku takut! Aku tiba tiba merasa sangat takut. Bayangkan dikejar kejar seperti binatang liar!
?
Ah, kau belum tidur, kan? Aku selalu sulit tertidur tiap kali rasa takut itu muncul dalam diriku.
?
Kau masih belum tidur, kan?
Hm.
?
?
Aku pikir ini merupakan sebuah plot yang luar biasa buat sebuah cerita. Kau setuju, kan?
?
?
?
Kau masih belum tidur, kan?
Hm.
?
?
Dan harimau itu…
?
Seekor harimau tiba tiba saja muncul di depan pintu rumah yang secara darurat dia dirikan di tengah hutan…
?
Waktu itu anak laki lakinya itu baru saja lahir dan saudara laki lakinya pergi entah kemana.
?
Kau belum tidur, kan?
?
Harimau itulah yang membawakan makanan mereka sehari harinya.
?
Perempuan malang. Entah apa yang dipikirkannya waktu itu.
?
?
?
?
?
?
?
Ah, aku ingat sekarang! Rumah itu! Aku ingat ada satu beringin besar di depan rumah itu! Ya, beringin itu subur dan lebat daunnya dan akar akarnya menjuntai juntai sampai ke tanah. Di situlah anak itu dulu main main dengan harimaunya!
Oh, Ompu Mulajadi Nabolon!
Oh, aku ingat lagi! Di situ jugalah, di bawah beringin tua itu kesembilan anak itu sering main main sementara dia sibuk memikirkan rencana rumah barunya!
Oh!
Ah, Sariburaja, kau masih ingat, kan! Kau masih belum tidur, kan!
Wellington, Awal Winter 1992
(Sebuah tafsir atas kisah kelahiran Marga Lontung di Batak)
Saut Situmorang
(Di sebuah kamar hotel di pinggir Danau Toba. Menjelang subuh. Awal 1990an.)
… Jadi … dia kawin dengan saudara laki lakinya lalu diusir dari negerinya lalu berpisah dari saudara laki lakinya itu lalu kawin dengan anak laki lakinya?
Hm.
?
?
Bukan main.
Hm. Bukan main.
Luar biasa.
Hm. Luar biasa.
Ini merupakan sebuah plot yang luar biasa buat sebuah cerita. Lebih dramatik daripada nasib Jokasta. Dan lebih kontemporer.
Hm. Lebih up-to-date. Lebih feminis.
Coba bayangkan. Seorang perempuan muda jatuh cinta sama abang kandungnya, berhubungan seks dengannya, bunting, ketahuan keluarganya, diusir dan dikejar kejar dari negerinya, pisah dari abang kandungnya, melahirkan seorang putra, membesarkan putranya, pisah dari putranya, jatuh cinta sama seorang laki laki muda dan berhubungan seks dengannya yang ternyata adalah putranya yang dulu pisah darinya.
Hm. Keturunan mereka sampai sekarang malah masih ada! Bahkan jumlahnya seperti pasir di pantai dan bintang bintang di malam tak berawan.
?
?
Kau sudah tidur?
Hm.
Entah kenapa, aku tak bisa memejamkan mataku lagi malam ini. Pikiranku, ah mungkin lebih tepat khayalanku, mengembara jauh ke luar kamar menembus malam menembus siang ke suatu tempat di masa lalu, ke sebuah kampung kecil di pinggir sebuah danau besar…
Hm. Sebuah danau besar yang dipagari barisan gunung terjal yang dihuni manusia manusia kasar…
dan aku lihat seorang perempuan muda, masih belasan tahun umurnya, sedang termenung seorang diri sambil kedua tangannya yang mungil tak henti menggeser geser benang di alat tenun di depannya…
hanya suara angin yang memain mainkan daun bambu di sekeliling kampung yang terdengar, hanya suara ombak kecil air danau yang mengguling gulingkan dirinya di pasir pantai…
kedua matanya yang besar yang hitam seperti kosong seperti buta di wajahnya yang menyunggingkan senyum kekanak kanakannya…
sayup sayup terdengar…
dan kedua tangannya yang mungil tak henti menggeser geser benang di alat tenun di depannya…
?
?
Kau sudah tidur? Entah kenapa aku tak bisa memejamkan mataku lagi malam ini.
Hm. Entah kenapa.
?
?
Jadi, dia tidak tahu kalau laki laki muda itu putranya sendiri?
Hm.
Laki laki muda itu sendiri? Dia tidak tahu kalau perempuan muda itu ibunya sendiri?
Hm.
?
?
Tiba tiba kedua tangannya mendadak berhenti bekerja dan kedua matanya jadi hidup, jadi gugup…
Tiba tiba terdengar suara teriakan burung burung enggang dari pucuk pucuk pohon di hutan hutan…
Wajah itu tiba tiba muncul di mulut pintu…
Suara suara orang berteriak teriak dan memaki maki tiba tiba pecah dari lembah gunung…
Wajah yang dicintainya!
Suara suara orang marah!
Ah.
Ah.
?
?
Kau masih belum tidur, kan?
Hm.
?
?
Aku selalu sulit tertidur tiap kali teringat ceritanya itu.
?
Entah apa yang timbul di hatinya waktu rahasia itu diketahuinya akhirnya.
?
Mungkin dia menangis. Mungkin dia lari keluar dari rumah dan meratapi langit yang biru yang seperti atap rumah jatuh di balik gunung di ujung danau mengurungnya selamanya.
?
Mungkin dia cuma diam saja dan terus melanjutkan tenunannya sebelum kelahiran bayinya tiba…
Hm. Kelahiran bayinya yang keturunannya sampai sekarang masih ada.
?
?
Sungguh kuat dia! Semuda itu dengan perut sebesar itu dikejar kejar seperti binatang liar.
Hm. Dikejar kejar seperti binatang liar oleh manusia manusia kasar.
Tapi untunglah dia selamat!
Hm. Untunglah mereka gagal.
Kau belum tidur, kan?
Hm.
Jadi, dia akhirnya punya anak sembilan?
Hm. Sampai sekarang masih ada. Sebanyak pasir di pantai dan bintang bintang di malam tak berawan…
Tapi aku takut! Aku tiba tiba merasa sangat takut. Bayangkan dikejar kejar seperti binatang liar!
?
Ah, kau belum tidur, kan? Aku selalu sulit tertidur tiap kali rasa takut itu muncul dalam diriku.
?
Kau masih belum tidur, kan?
Hm.
?
?
Aku pikir ini merupakan sebuah plot yang luar biasa buat sebuah cerita. Kau setuju, kan?
?
?
?
Kau masih belum tidur, kan?
Hm.
?
?
Dan harimau itu…
?
Seekor harimau tiba tiba saja muncul di depan pintu rumah yang secara darurat dia dirikan di tengah hutan…
?
Waktu itu anak laki lakinya itu baru saja lahir dan saudara laki lakinya pergi entah kemana.
?
Kau belum tidur, kan?
?
Harimau itulah yang membawakan makanan mereka sehari harinya.
?
Perempuan malang. Entah apa yang dipikirkannya waktu itu.
?
?
?
?
?
?
?
Ah, aku ingat sekarang! Rumah itu! Aku ingat ada satu beringin besar di depan rumah itu! Ya, beringin itu subur dan lebat daunnya dan akar akarnya menjuntai juntai sampai ke tanah. Di situlah anak itu dulu main main dengan harimaunya!
Oh, Ompu Mulajadi Nabolon!
Oh, aku ingat lagi! Di situ jugalah, di bawah beringin tua itu kesembilan anak itu sering main main sementara dia sibuk memikirkan rencana rumah barunya!
Oh!
Ah, Sariburaja, kau masih ingat, kan! Kau masih belum tidur, kan!
Wellington, Awal Winter 1992
(Sebuah tafsir atas kisah kelahiran Marga Lontung di Batak)
Labels:
Saut Situmorang
INDONESIA-INGGRIS
INDONESIA-INGGRIS
Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Di sebuah koran daerah, dalam kolom bertajuk “Gaya Hidup”, saya membaca sebuah laporan menarik tentang pemakaian bahasa Indonesia terkini yang penuh didekorasi kata-kata bahasa Inggris. Menarik karena saya baru tahu setelah membaca laporan tersebut betapa parahnya sudah gejala gado-gado Indonesia-Inggris ini dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari terutama di kota-kota besar Indonesia. Tapi saya juga merasa geli membaca contoh-contoh bahasa Indonesia-Inggris yang disebutkan dalam laporan tersebut. Berikut ini saya kutipkan dua contohnya:
“Suatu pagi di sebuah ruang kuliah salah satu perguruan tinggi negeri . . . terdengar suara perempuan asyik menjelaskan materi kuliah. Di tengah kuliah ia bertanya, ’Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang get lost?’ Ketika tak ada yang menjawab, dosen cantik ini melanjutkan kuliahnya. Berarti tak ada mahasiswanya yang ‘tersesat’ alias get lost. Maksudnya tentu saja bukan tersesat dalam rimba tak bertuan, tapi tidak mengerti penjelasan materi kuliahnya. Nada (20), sebut saja begitu, salah seorang mahasiswanya berbisik, ’Bu dosen ini kalau ngajar memang begitu. Penuh istilah bahasa Inggris. Tapi enak, kesannya keren abis . . . .’”
Apa yang membuat saya jadi geli membaca laporan di atas justru adalah terjemahan yang dilakukan wartawan laporan tersebut yang seolah-olah membantu pembaca untuk mengerti arti/maksud istilah “get lost” yang dipakai dosen cantik tadi tapi malah memperparah kesalahkaprahan makna. Tidak ada dalam bahasa Inggris istilah “get lost” untuk menyatakan “tidak mengerti” atau “tidak paham” apalagi dalam konteks peristiwa yang dilaporkan di atas. Kata yang biasanya dipakai adalah kata sederhana “understand”, bukan “get lost”. Jadi, dalam sebuah suasana berbahasa Inggris yang baik dan benar, dosen cantik tadi mestinya bertanya, ”Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang still don’t understand?” kalau memang bahasa gado-gado ini masih akan dipakai. Atau, kalau memang mau gaul berbahasa Inggris, dia bisa bilang, ”Ok, do you all get it?” Tidak pernah kata “get” akan disandingkan dengan kata “lost” untuk menanyakan apakah sebuah informasi, sebuah pernyataan, apalagi sebuah materi kuliah sudah dipahami atau tidak. Istilah “get lost” yang dipakai dosen tersebut adalah sama sekali tidak benar alias salah karena arti sebenarnya bukan “tidak mengerti” tapi justru memang “tersesat” arah seperti yang disebutkan wartawannya! Dan lebih parah lagi, istilah “get lost” juga biasanya dipakai (secara “gaul”!) untuk memaki seseorang yang kita anggap menjengkelkan seperti pada ekspresi, “Get lost!”!
Contoh berikutnya adalah pemakaian bahasa Indonesia-Inggris di kalangan remaja:
“Di sebuah mal . . . serombongan pelajar sebuah sekolah menengah umum . . . berhenti sejenak di depan sebuah toilet. Salah seorang meninggalkan rombongan. Remaja putri tersebut pamit, ‘Aku pipis dulu ya . . .’ Seorang temannya berteriak, ‘As soon as possible ya. Filmnya udah mau main nih.’ Rupanya rombongan pelajar ini akan menonton film di bioskop yang terletak di seberang mereka.”
Pada contoh ini kembali kita melihat kesalahkaprahan idiomatik dilakukan begitu wajar sehingga terkesan memang tidak salah alias tepat pemakaian frase “as soon as possible” yang arti bahasa Indonesianya memang bisa jadi “cepeten ya”. Untuk konteks peristiwa kedua ini (“pipis”), kata yang tepat dipakai sebenarnya adalah “quick” atau “hurry”, bukan “as soon as possible”. Jadi kalimatnya mestinya, “Be quick ya” atau “Hurry up lah” seperti dalam bahasa Melayu Malaysia. Ketidakpahaman atas fungsi “as soon as” dalam contoh ini mirip dengan kesalahkaprahan atas fungsi “get” pada contoh pertama di atas.
Persoalannya sekarang adalah kenapa gejala pemakaian frase Inggris yang salah-kaprah macam ini bisa terjadi dan menjadi euforia di kalangan orang-orang kota besar di Indonesia, yaitu kalangan yang ironisnya adalah yang berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi, kelompok yang dianggap terpelajar dan intelektual? Apakah isu (melorotnya) nasionalisme berbahasa bisa dijadikan faktor penyebabnya, atau hanya sekedar biar terkesan keren abis (atau “biar salah asal gaya”) seperti yang diklaim banyak pemakainya?
Alif Danya Munsyi, salah seorang alter ego Remy Sylado, seorang komentator Indonesia-Inggris yang paling vokal dalam tulisan-tulisannya seperti yang dikumpulkan dalam bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), saking terlalu bersemangatnya melancarkan kritiknya, telah melupakan dua hal penting dalam tulisan-tulisannya tersebut. Pertama, saking terlalu banyaknya dia memakai kata-kata “baru” yang tidak pernah dijelaskannya berasal dari bahasa apa, dari bahasa daerah atau dari bahasa asing seperti Arab dan Sanskerta, sehingga membingungkan paling tidak saya sebagai pembacanya, Munsyi mbeling ini justru telah melakukan apa yang dia dengan gencar lawan sebagai “penyakit menular” dalam bahasa Indonesia kontemporer dengan idiosinkrasi pilihan-katanya. Kalau orang lain kena virus nginggris, dia sendiri teridap penyakit sinonimisme, terlalu obsesif dengan padanan-kata non-baku yang centang-perenang. (Apa mungkin ada relasi psikologis antara sinonimismenya ini dengan obsesinya dengan pseudonym!)
Kedua, rasisme terhadap bahasa Inggris. Kenapa rupanya kalau bahasa Indonesia memperkaya kosa-katanya dari kosa-kata bahasa Inggris ketimbang dari bahasa daerah atau Sanskerta? Kenapa harus dianggap sebagai “seperti keranjang sampah kata-kata bahasa Inggris”? (Bahasa Inggris sendiri dan rata-rata bahasa di Eropa terlalu banyak “meminjam” dari bahasa “asing” Junani dan Latin tapi malah membuatnya berkembang pesat!) Bukankah justru karena hegemoni bahasa Inggris secara global maka akan lebih mudah bagi pemakai bahasa Indonesia untuk mengerti kata-kata “pinjaman” dari bahasa Inggris daripada kalau “meminjam” dari bahasa daerah tertentu yang saya yakin akan lebih asing bagi pemakai bahasa Indonesia yang tidak terbiasa dengan bahasa daerah tersebut? Dan Sanskerta? Untuk apa bernostalgia dengan bahasa asing yang sudah lama mati ini! Yang menjadi persoalan dalam gejala bahasa Indonesia-Inggris bukanlah keberadaan Inggris dalam tubuh bahasa Indonesia tapi ke-bukan-inggrisan “bahasa Inggris”-nya. Bahasa Indonesia-Inggris bukanlah sebuah pidjinisasi atau blasteranisasi seperti Singaporean-English (Singlish) atau Jamaican-English (seperti “Inglan Is a Bitch”-nya penyair reggae Linton Kwesi Johnson) yang merupakan gejala “the empire writes back” yang cerdas dan politis tapi sebaliknya merupakan peristiwa “bagai rusa masuk kampung” karena habitat hidupnya di hutan tropis sudah sangat menyusut. Kalau hibriditas pada pidjinisasi merupakan resistensi identitas dalam arena survival of the fittest hukum rimba pascakolonial, maka Indonesia-Inggris hanyalah sekedar lanjutan dari internalisasi inlanderisasi doang. Window shopping disangka bener-bener shopping! Tapi mengusulkan untuk mempadankan kata-kata Inggris ke dalam lafaz Indonesia adalah sama seperti memaksakan pemakaian dubbing ketimbang subtitle untuk film-film asing yang diputar di Indonesia. Demi alasan “nasionalisme bahasa”, disamping telah merampas hak penonton untuk mengalami nuansa bahasa percakapan bahasa asing yang dipakai film asing yang sedang ditonton, dubbing justru telah membuat film tersebut kehilangan unsur paling pentingnya sebagai “film asing” yaitu bahasanya yang asing itu!
Pemakaian kata-kata atau frase atau istilah bahasa Inggris dalam konteks wacana akademis-spesialis, Kritik Sastra misalnya, adalah sebuah gejala yang bisa diterima. Terminologi akademis tersebut bisa membantu pembaca/pendengar untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan, terutama karena makna spesialisnya (bukan idioskrinkratis!) sudah dipahami bersama oleh penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Pemakaian terminologi akademis-spesialis juga akan memberi nuansa tekstual kepada isi tulisan atau pembicaraan.
Membuat peraturan-peraturan yang idiosinkratik atas bahasa berdasarkan klaim-klaim yang juga idiosinkratik adalah sebuah sikap yang tidak memandang bahasa, sebuah produk budaya, sebagai sebuah organisme hidup. Seolah-olah bahasa tidak punya konteks ekstra-linguistik. Padahal perkembangan sebuah bahasa lebih banyak ditentukan oleh kondisi pemakaiannya ketimbang oleh ketepatan-ketepatan gramatikal belaka. Pengetahuan seseorang yang mengklaim dirinya “munsyi” atas etimologi satu-dua kata pun tak ada artinya dibanding frekuensi pemakaian satu-dua kata tersebut di masyarakat penggunanya. Dalam konteks bahasa Indonesia-Inggris yang salah kaprah seperti pada kedua contoh di awal esei saya ini, bukan peristiwa nginggris-nya yang mesti diejek-ejek dengan sikap patronising tapi bagaimana kesalahkaprahan itu bisa dikoreksi, terutama lewat media massa yang memang paling potensial untuk merealisasikannya. Karena alasannya sederhana saja: Kalau kita menginginkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, sudah pantas kalau kita juga berbahasa Indonesia-Inggris yang baik dan benar. Idiosinkrasi centang-perenang dalam berbahasa (apapun, termasuk tulisan) memang memualkan.
Diambil dari buku “Politik Sastra” ([sic] 2009)
Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Di sebuah koran daerah, dalam kolom bertajuk “Gaya Hidup”, saya membaca sebuah laporan menarik tentang pemakaian bahasa Indonesia terkini yang penuh didekorasi kata-kata bahasa Inggris. Menarik karena saya baru tahu setelah membaca laporan tersebut betapa parahnya sudah gejala gado-gado Indonesia-Inggris ini dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari terutama di kota-kota besar Indonesia. Tapi saya juga merasa geli membaca contoh-contoh bahasa Indonesia-Inggris yang disebutkan dalam laporan tersebut. Berikut ini saya kutipkan dua contohnya:
“Suatu pagi di sebuah ruang kuliah salah satu perguruan tinggi negeri . . . terdengar suara perempuan asyik menjelaskan materi kuliah. Di tengah kuliah ia bertanya, ’Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang get lost?’ Ketika tak ada yang menjawab, dosen cantik ini melanjutkan kuliahnya. Berarti tak ada mahasiswanya yang ‘tersesat’ alias get lost. Maksudnya tentu saja bukan tersesat dalam rimba tak bertuan, tapi tidak mengerti penjelasan materi kuliahnya. Nada (20), sebut saja begitu, salah seorang mahasiswanya berbisik, ’Bu dosen ini kalau ngajar memang begitu. Penuh istilah bahasa Inggris. Tapi enak, kesannya keren abis . . . .’”
Apa yang membuat saya jadi geli membaca laporan di atas justru adalah terjemahan yang dilakukan wartawan laporan tersebut yang seolah-olah membantu pembaca untuk mengerti arti/maksud istilah “get lost” yang dipakai dosen cantik tadi tapi malah memperparah kesalahkaprahan makna. Tidak ada dalam bahasa Inggris istilah “get lost” untuk menyatakan “tidak mengerti” atau “tidak paham” apalagi dalam konteks peristiwa yang dilaporkan di atas. Kata yang biasanya dipakai adalah kata sederhana “understand”, bukan “get lost”. Jadi, dalam sebuah suasana berbahasa Inggris yang baik dan benar, dosen cantik tadi mestinya bertanya, ”Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang still don’t understand?” kalau memang bahasa gado-gado ini masih akan dipakai. Atau, kalau memang mau gaul berbahasa Inggris, dia bisa bilang, ”Ok, do you all get it?” Tidak pernah kata “get” akan disandingkan dengan kata “lost” untuk menanyakan apakah sebuah informasi, sebuah pernyataan, apalagi sebuah materi kuliah sudah dipahami atau tidak. Istilah “get lost” yang dipakai dosen tersebut adalah sama sekali tidak benar alias salah karena arti sebenarnya bukan “tidak mengerti” tapi justru memang “tersesat” arah seperti yang disebutkan wartawannya! Dan lebih parah lagi, istilah “get lost” juga biasanya dipakai (secara “gaul”!) untuk memaki seseorang yang kita anggap menjengkelkan seperti pada ekspresi, “Get lost!”!
Contoh berikutnya adalah pemakaian bahasa Indonesia-Inggris di kalangan remaja:
“Di sebuah mal . . . serombongan pelajar sebuah sekolah menengah umum . . . berhenti sejenak di depan sebuah toilet. Salah seorang meninggalkan rombongan. Remaja putri tersebut pamit, ‘Aku pipis dulu ya . . .’ Seorang temannya berteriak, ‘As soon as possible ya. Filmnya udah mau main nih.’ Rupanya rombongan pelajar ini akan menonton film di bioskop yang terletak di seberang mereka.”
Pada contoh ini kembali kita melihat kesalahkaprahan idiomatik dilakukan begitu wajar sehingga terkesan memang tidak salah alias tepat pemakaian frase “as soon as possible” yang arti bahasa Indonesianya memang bisa jadi “cepeten ya”. Untuk konteks peristiwa kedua ini (“pipis”), kata yang tepat dipakai sebenarnya adalah “quick” atau “hurry”, bukan “as soon as possible”. Jadi kalimatnya mestinya, “Be quick ya” atau “Hurry up lah” seperti dalam bahasa Melayu Malaysia. Ketidakpahaman atas fungsi “as soon as” dalam contoh ini mirip dengan kesalahkaprahan atas fungsi “get” pada contoh pertama di atas.
Persoalannya sekarang adalah kenapa gejala pemakaian frase Inggris yang salah-kaprah macam ini bisa terjadi dan menjadi euforia di kalangan orang-orang kota besar di Indonesia, yaitu kalangan yang ironisnya adalah yang berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi, kelompok yang dianggap terpelajar dan intelektual? Apakah isu (melorotnya) nasionalisme berbahasa bisa dijadikan faktor penyebabnya, atau hanya sekedar biar terkesan keren abis (atau “biar salah asal gaya”) seperti yang diklaim banyak pemakainya?
Alif Danya Munsyi, salah seorang alter ego Remy Sylado, seorang komentator Indonesia-Inggris yang paling vokal dalam tulisan-tulisannya seperti yang dikumpulkan dalam bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), saking terlalu bersemangatnya melancarkan kritiknya, telah melupakan dua hal penting dalam tulisan-tulisannya tersebut. Pertama, saking terlalu banyaknya dia memakai kata-kata “baru” yang tidak pernah dijelaskannya berasal dari bahasa apa, dari bahasa daerah atau dari bahasa asing seperti Arab dan Sanskerta, sehingga membingungkan paling tidak saya sebagai pembacanya, Munsyi mbeling ini justru telah melakukan apa yang dia dengan gencar lawan sebagai “penyakit menular” dalam bahasa Indonesia kontemporer dengan idiosinkrasi pilihan-katanya. Kalau orang lain kena virus nginggris, dia sendiri teridap penyakit sinonimisme, terlalu obsesif dengan padanan-kata non-baku yang centang-perenang. (Apa mungkin ada relasi psikologis antara sinonimismenya ini dengan obsesinya dengan pseudonym!)
Kedua, rasisme terhadap bahasa Inggris. Kenapa rupanya kalau bahasa Indonesia memperkaya kosa-katanya dari kosa-kata bahasa Inggris ketimbang dari bahasa daerah atau Sanskerta? Kenapa harus dianggap sebagai “seperti keranjang sampah kata-kata bahasa Inggris”? (Bahasa Inggris sendiri dan rata-rata bahasa di Eropa terlalu banyak “meminjam” dari bahasa “asing” Junani dan Latin tapi malah membuatnya berkembang pesat!) Bukankah justru karena hegemoni bahasa Inggris secara global maka akan lebih mudah bagi pemakai bahasa Indonesia untuk mengerti kata-kata “pinjaman” dari bahasa Inggris daripada kalau “meminjam” dari bahasa daerah tertentu yang saya yakin akan lebih asing bagi pemakai bahasa Indonesia yang tidak terbiasa dengan bahasa daerah tersebut? Dan Sanskerta? Untuk apa bernostalgia dengan bahasa asing yang sudah lama mati ini! Yang menjadi persoalan dalam gejala bahasa Indonesia-Inggris bukanlah keberadaan Inggris dalam tubuh bahasa Indonesia tapi ke-bukan-inggrisan “bahasa Inggris”-nya. Bahasa Indonesia-Inggris bukanlah sebuah pidjinisasi atau blasteranisasi seperti Singaporean-English (Singlish) atau Jamaican-English (seperti “Inglan Is a Bitch”-nya penyair reggae Linton Kwesi Johnson) yang merupakan gejala “the empire writes back” yang cerdas dan politis tapi sebaliknya merupakan peristiwa “bagai rusa masuk kampung” karena habitat hidupnya di hutan tropis sudah sangat menyusut. Kalau hibriditas pada pidjinisasi merupakan resistensi identitas dalam arena survival of the fittest hukum rimba pascakolonial, maka Indonesia-Inggris hanyalah sekedar lanjutan dari internalisasi inlanderisasi doang. Window shopping disangka bener-bener shopping! Tapi mengusulkan untuk mempadankan kata-kata Inggris ke dalam lafaz Indonesia adalah sama seperti memaksakan pemakaian dubbing ketimbang subtitle untuk film-film asing yang diputar di Indonesia. Demi alasan “nasionalisme bahasa”, disamping telah merampas hak penonton untuk mengalami nuansa bahasa percakapan bahasa asing yang dipakai film asing yang sedang ditonton, dubbing justru telah membuat film tersebut kehilangan unsur paling pentingnya sebagai “film asing” yaitu bahasanya yang asing itu!
Pemakaian kata-kata atau frase atau istilah bahasa Inggris dalam konteks wacana akademis-spesialis, Kritik Sastra misalnya, adalah sebuah gejala yang bisa diterima. Terminologi akademis tersebut bisa membantu pembaca/pendengar untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan, terutama karena makna spesialisnya (bukan idioskrinkratis!) sudah dipahami bersama oleh penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Pemakaian terminologi akademis-spesialis juga akan memberi nuansa tekstual kepada isi tulisan atau pembicaraan.
Membuat peraturan-peraturan yang idiosinkratik atas bahasa berdasarkan klaim-klaim yang juga idiosinkratik adalah sebuah sikap yang tidak memandang bahasa, sebuah produk budaya, sebagai sebuah organisme hidup. Seolah-olah bahasa tidak punya konteks ekstra-linguistik. Padahal perkembangan sebuah bahasa lebih banyak ditentukan oleh kondisi pemakaiannya ketimbang oleh ketepatan-ketepatan gramatikal belaka. Pengetahuan seseorang yang mengklaim dirinya “munsyi” atas etimologi satu-dua kata pun tak ada artinya dibanding frekuensi pemakaian satu-dua kata tersebut di masyarakat penggunanya. Dalam konteks bahasa Indonesia-Inggris yang salah kaprah seperti pada kedua contoh di awal esei saya ini, bukan peristiwa nginggris-nya yang mesti diejek-ejek dengan sikap patronising tapi bagaimana kesalahkaprahan itu bisa dikoreksi, terutama lewat media massa yang memang paling potensial untuk merealisasikannya. Karena alasannya sederhana saja: Kalau kita menginginkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, sudah pantas kalau kita juga berbahasa Indonesia-Inggris yang baik dan benar. Idiosinkrasi centang-perenang dalam berbahasa (apapun, termasuk tulisan) memang memualkan.
Diambil dari buku “Politik Sastra” ([sic] 2009)
DICARI: KRITIK(US) SASTRA INDONESIA
DICARI: KRITIK(US) SASTRA INDONESIA
Saut Situmorang
http://apsas.multiply.com/
Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” di mana dia melaporkan tentang “rasa heran”nya atas hasil “analisis” dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya! Walaupun Teeuw mengatakan tidak bermaksud mengkritik “mutu” analisis para dosen sastra kita atas sajak “Salju” Subagio Sastrowardoyo dan “Cocktail Party” Toeti Heraty tersebut, dan malah memutuskan untuk “membela”nya dengan alasan adalah sah bila terjadi interpretasi-jamak atas sebuah karya sastra, bukankah kita pantas untuk jadi was-was: Kalau para dosen sastra sendiri, yang konon sehari-harinya bergelut dengan sastra sebagai sebuah ilmu pengetahuan akademis, mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A Teeuw, bagaimana lagi kualitas para mahasiswanya yang kelak di kemudian hari mungkin jadi penulis tentang sastra, sastrawan atau malah dosen sastra? Beginikah sosok dunia sastra modern kita?
Yang lebih ironis lagi, kita malah sangat sering mendengar atau membaca tentang adanya “krisis” dalam sastra modern Indonesia. Maksudnya tentu saja “krisis” dalam dunia karya seni sastra, apa itu puisi, cerpen atau novel. Sastrawan Indonesia dikatakan “jalan di tempat”, karena karya mereka begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan lokal tema/topiknya, tidak cerdas pemakaian bahasanya. Sebagai satu-satunya cara menyembuhkan “krisis” ini sastrawan Indonesia modern/kontemporer dianjurkan untuk berobat ke luar negeri, kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin. The West is the best, seperti kata Jim Morrison dari The Doors!
Saat ini banyak orang menulis di sastra Indonesia, baik sebagai sastrawan maupun “pengamat” sastra. Penyair merupakan kelompok yang paling banyak jumlah anggotanya. Lihat saja misalnya para penyair yang mendominasi buku Korrie Layun Rampan yang berjudul seram itu: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Besarnya jumlah seniman sastra, penyair, cerpenis dan novelis, yang ada di Indonesia saat ini membuat isu “krisis sastra” tadi masih bisa dipertanyakan kembali kebenarannya. Soal “kecenderungan” pemilihan tema/topik karya yang terlalu “sosiologis” ataupun “keseragaman” gaya penulisan karya, bagi saya, tidaklah bisa dijadikan alasan untuk begitu saja mengatakan sastra Indonesia mengalami “krisis”. Bukankah kedua hal ini juga yang merupakan ciri-khas utama Realisme-Magis (Magic-Realism) sastra Amerika Latin yang dipuji-puji setinggi langit di Indonesia itu! Secara pribadi saya sangat puas dengan karya-karya sastrawan kita, apa itu puisi, cerpen atau novel, termasuk drama. Walau sejarah sastra modern kita masih muda, kita sudah memiliki monumen-monumen sastra dalam semua genre sastra yang ada. Puisi para penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Toeti Heraty, Afrizal Malna dan Wiji Thukul saja, misalnya, tidak malu kita untuk mengklaimnya sebagai produk-produk terbaik sastra modern Indonesia. Begitu pula dengan karya fiksi seperti Belenggu, Atheis, novel-novel eksperimental Iwan Simatupang, tetralogi novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, novel-novel “geisha” Ahmad Tohari, cerita silat Kho Ping Hoo, dan cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, dan Seno Gumira Ajidarma. Drama modern kita juga telah menghasilkan dramawan dan teater yang tidak kalah mutunya dengan apa yang dimiliki negeri lain. Justru yang mesti diungkapkan adalah fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai munculnya antologi CD puisi cyberpunk/Internet Cyberpuitika yang kontroversial itu di awal Agustus 2002, hanya mengenal satu “krisis” saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra. Besarnya rasa pesona segelintir “kritikus sastra” Indonesia pada para novelis Realis-Magis Amerika Latin sementara melecehkan fenomena yang sama pada karya sastra Indonesia, bagi saya, membuktikan adanya krisis kritik(us) sastra ini. Saya mencurigai “pengetahuan” mereka tentang apa yang membuat mereka terpesona itu, apalagi kalau diingat bahwa “pengetahuan” mereka tersebut mereka peroleh hanya melalui versi terjemahan dan bukan bahasa aslinya. Faktor “kecerdasan bahasa” yang mereka klaim dimiliki oleh para novelis Realis-Magis Amerika Latin tapi konon absen dalam fiksi Indonesia kurang meyakinkan justru karena mereka hanya mampu membaca para Realis-Magis tersebut dalam versi terjemahan bahasa Inggris. Dan kita tahu, versi terjemahan sebuah karya sastra (bagaimanapun minimnya tingkat pencideraan pengarangnya) tidak cukup untuk dijadikan bahan sebuah studi yang bersifat “kritik sastra”, apalagi dalam studi yang disebut sebagai “Comparative Literature”, kecuali untuk Translation Studies. Bagi saya, apa yang ditemukan oleh A Teeuw sekitar duapuluhan tahun lalu itu masih tetap merupakan persoalan utama dunia sastra kita saat ini.
Krisis Kritik(us) Sastra Indonesia
Kebanyakan “sejarawan” sastra Indonesia akan setuju bahwa secara formal sastra modern berbahasa Indonesia lahir dengan terbentuknya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka di awal abad 20. Periodesasi sejarah sastra modern Indonesia juga biasanya dimulai dari masa ini, yang dikenal dengan nama “Angkatan Balai Pustaka”. Walaupun terdapat beberapa penulis tentang sastra modern Indonesia yang mempertanyakan ketepatan pemilihan waktu lahirnya sastra modern berbahasa Indonesia ini, terutama dalam perspektif Studi Pascakolonial yang memandang periode sebelum berdirinya Balai Pustaka sebagai sebuah “sejarah yang hilang” dalam genealogi sastra Indonesia, namun secara umum “Angkatan Balai Pustaka” masih diakui sebagai angkatan sastrawan pertama dalam sejarah sastra modern Indonesia. Sampai awal abad 21 ini “diperkirakan” sudah ada sekitar 7 angkatan sastrawan modern Indonesia, dengan “Angkatan Sastrawan 2000” sebagai tambahan terakhir untuk sastrawan kontemporer Indonesia.
Terlepas dari perdebatan soal hari lahir sastra Indonesia di atas, bukankah periodesasi sastra modern Indonesia dalam beberapa angkatan itu dengan jelas merujuk ke sosok “sastrawan” atau “pengarang” sastra berbahasa Indonesia, bukan “kritikus” sastra Indonesia! Dari periodesasi historis itu bisa juga diamati bahwa sastra modern Indonesia hanya memiliki sastra Indonesia, hanya memiliki karya seni sastra berupa puisi, cerpen, novel dan naskah drama saja. Dan jumlah karya seni sastra yang sudah diproduksi itu sangat banyak serta pengarangnya pun sangat banyak. Tidak semua memang dari karya seni sastra itu berhasil lulus testing mutu untuk bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra modern Indonesia, tapi yang berhasil dan menjadi klasik dan keramat dalam sejarah sastra modern Indonesia yang pendek umurnya itu telah juga berhasil “menciptakan” sebuah sastra-nasional baru sebagai warga baru sastra dunia. Tanpa monumen-monumen karya seni sastra ini, tidak ada itu sesuatu yang disebut orang sebagai “sastra modern Indonesia”, sastra modern dalam bahasa Indonesia.
Bagi saya, periodesasi sejarah itu menunjukkan tidak adanya “kritik sastra” apalagi “tradisi kritik sastra” mendampingi perjalanan sejarah sastra modern berbahasa Indonesia yang usianya pendek itu. Fakta ini sangat menyedihkan mengingat bukankah “kritik sastra” itu semacam pasangan hidup bagi karya seni sastra supaya yang terakhir ini, mengutip seorang penulis dari Bandung yang mengklaim tidak ada krisis kritik(us) sastra dalam sastra Indonesia, tidak hidup kesepian, halusinasif dan kering meranggas!
Di Indonesia ada semacam pendapat umum bahwa segala sesuatu yang berbicara tentang karya sastra, puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai “kritik” sastra. Satu buku tebal yang khusus membahas puisi penyair tertentu adalah “kritik” sastra. Satu buku yang berisi kumpulan esei-lepas tentang sastra yang pernah dimuat di koran atau majalah adalah “kritik” sastra. Bahkan resensi buku sastra pun adalah sebuah karya “kritik” sastra. Dan tentu saja semua penulis yang menulis tentang sastra adalah “kritikus” sastra, malah para redaktur sastra koran edisi Minggu di seluruh Indonesia pun termasuk “kritikus” sastra!
Memukul rata dalam generalisasi pemakaian istilah “kritik/kritikus sastra” seperti ini tentu sah-sah saja kalau diingat bagaimana pengertian istilah “kritik” dalam pemakaian sehari-hari di Indonesia. Ada kritik membangun, ada pula kritik tak-membangun alias merusak. Kalau seseorang “dinasehati” oleh kawannya, dikatakannya dia itu dikritik. Kalau ada penyair baca sajak yang pamflet, dia dibilang mengkritik. Dan seterusnya, dan seterusnya . . . Tapi sudah tepatkah pemakaian istilah ini untuk merujuk kepada sebuah aktivitas pembacaan teks sastra yang bersifat sebagai sebuah studi kritis? Maksud saya, sudah tepatkah pemakaian istilah “kritik/kritikus” untuk menyebut tulisan-tulisan dan penulis-penulis kita yang menulis tentang sastra seperti yang umum dilakukan saat ini?
Setelah membaca tulisan-tulisan yang disebut “kritik sastra” Indonesia sejak zaman Balai Pustaka sampai penerbitan buku Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia saja, misalnya, saya menemukan sangat banyak tulisan yang sangat tidak memuaskan dan tidak pantas untuk disebut sebagai “kritik sastra”. Sebagian besar dari tulisan “kritik sastra” tadi sebenarnya lebih pantas dimasukkan dalam kategori tulisan “Apresiasi” atau “Komentar” sastra saja karena, seperti kata penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot atas isu yang sama, “dikerjakan dengan cara yang tidak semestinya, dipisah-pisah seperti daun sayuran [...] jadi mirip sebuah tipe kuliah-sastra populer, di mana drama dan novel diceritakan kembali ceritanya, motif-motif para karakternya diterangjelaskan, hingga membuat karya sastra itu sangat gampang bagi kaum pemula”. Hal yang sama juga terjadi pada “analisis” puisi yang kebanyakan pseudo-studi-tekstual, pseudo-strukturalis, dengan tekanan hanya pada “makna” kata-kata tertentu atau metafor pada puisi yang sedang dibicarakan, untuk menceritakan kembali alur narasi atau moral puisi, tak lebih dan tak kurang, hingga memberi kesan betapa gampangnya puisi untuk dimengerti! Dan memang banyak dari buku-buku “kritik sastra” Indonesia memiliki Kata Pengantar yang selalu memuat kalimat disklaimer apologis seperti ini: “Buku ini memuat hal-hal yang mudah dipahami, karena dimaksudkan bagi para pemula atau remaja pencinta sastra”!
Menulis tentang karya sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang haram. Malah pantas diacungi jempol tanda kagum karena tujuannya yang mulia untuk membuat para pemula atau remaja mencintai sastra secara dewasa, bukan sekedar cinta monyet yang akan berlalu setelah masa pubertas mereka selesai. Persoalannya adalah terlalu banyak orang yang menulis bagi para pemula dan remaja pencinta sastra hingga para pencinta sastra yang lain yang tidak pemula dan tidak remaja lagi jadi terlupakan! Para penulis tentang karya sastra bagi para pemula dan remaja pencinta sastra ini sepertinya segan untuk menulis bagi mereka yang bukan pemula dan bukan remaja lagi! Akibatnya, para “kritikus” ini terus-terusan mengulang kembali menulis buku-buku “kritik” tentang sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra sampai jumlah buku-buku mereka mirip katalog perpustakaan ramainya, dan dengan variasi judul buku yang luarbiasa imajinatifnya pula, seperti Jejak Langkah Sastra Indonesia, Wajah Sastra Indonesia, Suara Pancaran Sastra, Katarsis dan yang semacam itu.
Kalau dihitung-hitung berapakah jumlah buku yang pernah ditulis yang berisi analisis kritis (critical analysis) atas karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Idrus, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardoyo, Ahmad Tohari, Toeti Heraty, Nh Dini, Kho Ping Hoo, Afrizal Malna atau Wiji Thukul saja? Apakah nama-nama ini tidak pantas untuk dibahas secara kritis dan serius? Atau memang para “kritikus” sastra Indonesia tidak sanggup untuk meng“kritik” karya-karya mereka, seperti para dosen sastra yang dilaporkan A Teeuw itu?
Seandainyapun eksistensi “kritik sastra” Indonesia mau dianggap ada, maka eksistensinya itu hanyalah sebuah eksistensi yang hidup-segan-mati-tak-mau belaka. Banyak memang penulis Indonesia yang menulis tentang sastra Indonesia, apa itu tentang sebuah karya sastra atau seorang sastrawan, tapi mayoritas tulisan-tulisan yang ada ini, apa itu berupa esei-lepas di koran atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi, sangat tidak memuaskan isinya untuk bisa disebut sebagai “kritik sastra”. Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan asersif yang sangat umum merupakan ciri-khas esei-lepas tentang sastra di majalah atau koran, sementara hasil penelitian akademis kesarjanaan begitu kaku dan dogmatis dalam “penerapan” teori-teori sastra yang dipakainya dengan mengorbankan elaborasi pembahasan yang mendalam dan orisinal. Keluwesan atau kecerdasan berbahasa dalam mengekspresikan isi pembahasan juga rata-rata absen dan merupakan kelemahan tipikal baik “kritik jurnalistik” maupun “kritik akademis” di atas. Tapi secara umum, bagi saya, tulisan-tulisan lepas tentang sastra modern Indonesia di media massa cetak seperti majalah dan koran jauh lebih bermutu karena lebih menarik isi dan bahasa ungkapnya (walau masih begitu banyak bisa ditemukan pemakaian istilah asing atau kutipan dari penulis asing yang cuma sekedar dekorasi teks belaka) dibanding hasil-hasil penelitian akademis kesarjanaan, meskipun untuk bisa pantas dikategorikan sebagai “kritik sastra” seperti yang dipahami di Barat masih jauh dari memuaskan. Kumpulan esei-lepas Subagio Sastrowardoyo berjudul Sosok Pribadi Dalam Sajak, yang berisikan esei-esei tentang beberapa penyair modern Indonesia yang pernah ditulisnya untuk majalah sastra di Indonesia, merupakan tipe analisis interpretatif-evaluatif yang serius dalam bahasa ungkap yang cerdas dan luwes. Begitu pula sebuah esei kata pengantar yang ditulis Ignas Kleden untuk YEL, buku kumpulan cerpen Putu Wijaya. Kalau tulisan kedua orang ini, misalnya, kita bandingkan dengan “kritik akademis” yang menjelma jadi buku seperti Chairil Anwar ?Sebuah Pertemuan, maka akan jelas terlihat mana yang pantas untuk disebut, dan bagi saya merupakan, “kritik(us) sastra” yang sebenarnya.
Pengalaman saya waktu melakukan riset perpustakaan untuk penulisan tesis pascasarjana saya atas Chairil Anwar di Selandia Baru di pertengahan tahun 1990an menunjukkan betapa parahnya krisis kritik sastra yang melanda sastra modern Indonesia. Setelah begitu lama meninggal dunia ternyata hanya HB Jassin, A Teeuw, Boen S Oemarjati dan Subagio Sastrowardoyo saja yang pernah benar-benar melakukan “studi kritis” atas sastrawan terbesar yang pernah dikenal sastra modern Indonesia ini! Tulisan-tulisan lepas di koran dan majalah Indonesia, khususnya, dan skripsi kesarjanaan tentang Chairil Anwar memang banyak, tapi kebanyakan cuma repetisi mandul tak orisinal tentang Chairil, apa sebagai “binatang jalang”, sebagai seorang “eksistensialis”, sebagai seorang “pembaharu” atau sebagai seorang “pahlawan nasional” malah. Herannya lagi, justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku hingga memberikan satori-teks atau tekstasi pada pembacanya kebanyakan peneliti asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan lainnya! Saya bisa bayangkan, dengan sangat prihatin, seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika Serikat maka sudah puluhan buku, tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.
Siapa Kritikus Sastra
Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.
Bisa dilihat bahwa “teori” punya arti penting dalam kedua kategori kritik sastra di atas. Sebuah pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan baru bisa sah disebut sebagai “kritik sastra” kalau dilakukan berdasarkan “prinsip-prinsip teori” yang mendasari identifikasi dan analisis sastra. Dalam kata lain, tiap pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan supaya berhak disebut sebagai sebuah pembicaraan “kritik sastra” tidak bisa tidak memiliki seperangkat “teori” analisis, interpretasi dan evaluasi yang berlaku universal. Sebuah “kritik sastra” tidak bisa dilakukan hanya tergantung pada kata hati belaka!
Improvisasi juga bisa dilakukan atas macam “tipe” kritik berdasarkan teori atau ilmu pengetahuan apa yang dipakai dalam menganalisis karya sastra untuk mengetahui pengaruh atau sebab-sebab yang menentukan ciri-ciri tertentu dari karya tersebut. Makanya kita juga mengenal “kritik sejarah”, “kritik biografi”, “kritik sosiologi”, “kritik Marxis”, “kritik psikologi”, “kritik psikoanalisis”, “kritik arketipe atau mitos”, “kritik feminisme” atau “kritik pascakolonial”.
Apa kriteria bagi seseorang untuk berhak disebut sebagai seorang “kritikus” sastra? Disamping keahlian khusus/pengetahuan yang komprehensif atas sebuah genre sastra yang dipilih untuk dikritisi, bukankah sebuah sikap “profesional dan kritis” juga mesti dimiliki oleh seorang kritikus sastra, hingga nanti tulisan-tulisan kritisnya tentang sebuah karya sastra ataupun seorang sastrawan tidak terjebak pada sebuah emosionalisme yang amatiran. Suka atau tidak sukanya “perasaan” seorang kritikus terhadap seorang sastrawan yang sedang dibicarakannya, posisinya sebagai seorang “kritikus” menuntut agar “penilaian” terhadap karya sastrawan tersebut dilakukan menurut etika kritik yang berlaku universal – kritis, adil dan jujur. Karakter pribadi seorang sastrawan, misalnya, apalagi bila kebetulan tidak sesuai dengan standar moral ideal sang kritikus, jangan sampai mempolusi cara menilai karya seninya. Karakter pribadi seorang seniman tidak relevan untuk dijadikan tolak ukur penilaian karyanya, apalagi kalau dijadikan sebagai alasan pelecehan mutu pencapaian karya tersebut. Kritiklah karya sang seniman karena karyanya itulah esensi kesenimanan seorang seniman. Karya adalah identitas eksistensial seorang seniman. Bagaimana kita bisa “mempercayai” pendapat seorang “kritikus”, misalnya, yang tanpa terlebih dulu melakukan “textual study” dan sebagainya yang serius dan menyeluruh atas sebuah karya sastra, seenak perutnya sendiri membuat sebuah vonis menjatuhkan melalui pernyataan-pernyataan asersif yang tidak “kritis” dan “emosional”, apalagi yang tendensius-politis seperti yang umum terjadi di Indonesia!
Untuk bisa diterima sebagai sebuah karya “kritik”, sebuah pembahasan atas sebuah karya sastra atau seorang sastrawan harus dilakukan dengan landasan teori analisis yang jelas. Seorang penulis yang menulis bahwa sajak-sajak seorang penyair tertentu adalah karya seni bermutu tinggi atau sajak-sajak yang berhasil karena “menyenangkan” obsesi-obsesi pribadi si penulis tersebut belumlah bisa disebut sebagai seorang “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebuah “kritik” sastra. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang penulis menulis bahwa karya seorang sastrawan tertentu bukan karya seni karena tidak “berkomunikasi” dengannya tidak bisa juga disebut sebagai “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebagai sebuah “kritik” sastra. Untuk bisa disebut sebagai “kritikus”, seorang penulis tidak bisa “hanya” sekedar “menyimpulkan” pendapatnya saja. Seorang “kritikus” sastra tidak bisa membuat sebuah analisis yang kritis hanya tergantung pada kata hatinya saja, seperti kebanyakan terjadi di Indonesia. Karena kata hati dan rasa bingung saja tidak cukup. Seorang “kritikus” sastra mesti punya landasan teori analisis yang meyakinkan sebelum bisa meyakinkan pembacanya. Dan teori itu sendiri harus diterapkan dalam tahap-tahap pembahasan yang, paling tidak, masuk akal, logis dan ilmiah. Baru setelah prosedur analisis karya sastra seperti ini dilakukan, “pembacaan” yang dilakukannya tadi berhak untuk disebut sebagai sebuah “kritik” sastra, tidak persoalan setuju atau tidak setuju kita para pembacanya nanti dengan kesimpulan “pembacaan” si “kritikus” sastra tersebut.
Kementahan analisis hingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dipamerkan kepada kita baru-baru ini dengan penerbitan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Penyusunnya Korrie Layun Rampan memberikan alasan penerbitan buku tersebut keyakinannya bahwa telah terjadi sebuah revolusi estetika dalam sastra kontemporer Indonesia, yang, menurutnya, bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, oleh 3 sastrawan dalam 3 genre sastra yang berbeda: Afrizal Malna dalam puisi, Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen, dan Ayu Utami dalam novel! Sebagai pembaca bukunya yang judulnya terkesan sensasional itu, saya mengharapkan dia akan membeberkan argumentasinya atas tesisnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra tersebut. Saya ternyata mesti kecewa karena Korrie Layun Rampan tidak mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang orisinal yang tidak diketahui publik pembaca sastra Indonesia sebelumnya tentang ketiga sastrawan yang disebutnya sebagai pembaharu estetika penulisan sastra modern Indonesia itu. Begitu juga dengan keberaniannya untuk menyatakan bahwa para sastrawan lain dalam bukunya itu sekedar meneruskan apa yang telah dilakukan ketiga nama di atas tadi, tanpa “pembuktian” dalam bentuk studi perbandingan atau apapun. Setelah membaca bukunya itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa seorang “kritikus” sastra seperti Korrie Layun Rampan, yang di Indonesia mungkin paling banyak menulis buku sastra dan tentang sastra itu, gagal melakukan sesuatu yang sudah sangat pantas dilakukan oleh seorang editor buku yang berpretensi hendak memperkenalkan/mengungkapk
an adanya sebuah “revolusi estetika” dalam dunia sastra kontemporer Indonesia. Sementara kelatahannya untuk ikut-ikutan berbahasa Indonesia “posmo” ala Afrizal Malna hanya menambah kecurigaan saya saja atas kedalaman pengetahuannya tentang sastra.
Kalau kita bicara soal “perubahan dalam estetika kesenian”, apa yang kita maksud dengan istilah ini? Sebuah perbedaan gaya pengucapan? Sebuah perbedaan orientasi pemikiran? Keduanyakah? Apakah eksplorasi atas “ambiguitas kata”, atas “makna umum dan tersirat” dari kata, tanpa mesti membuat struktur kalimat jadi tidak baku ala puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, tidak bisa juga dikatakan sebagai sebuah “perubahan dalam estetika kesenian”? Kalau Afrizal Malna, yang disebut Korrie Layun Rampan sebagai pemimpin Angkatan 2000 itu, dikatakan melakukan sebuah “perubahan dalam estetika kesenian” karena memilih kata dari lingkungan sehari-hari hingga menciptakan (kesan) habitat keseharian kehidupan kita, bagaimanakah dengan apa yang dilakukan oleh penyair-buruh Wiji Thukul? Bukankah idiom-idiom puisi Wiji Thukul jauh lebih dekat dengan “lingkungan sehari-hari” atau “habitat keseharian” Indonesia, paling tidak bagi kalangan buruh dari mana dia berasal, ketimbang intelektualisme benda-benda Afrizal Malna? Kenapa Korrie Layun Rampan sampai “lupa” untuk membicarakan puisi Wiji Thukul yang jauh lebih terkenal di Indonesia dibanding puisi Afrizal Malna itu? Apa arti dari peristiwa “lupa” seorang editor yang konon juga “kritikus” sastra macam begini?
“Pemilihan” nama-nama sastrawan lainnya untuk “menemani” ketiga “pembaharu estetika kesenian” sastra kontemporer Indonesia di atas juga tidak diberikan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan (kecuali bahwa rata-rata mereka pernah ditulis di media massa oleh Korrie Layun Rampan!), termasuk “dilupakannya” beberapa nama sastrawan yang sudah cukup dikenal di Indonesia, seperti para sastrawan yang ada di pulau Bali. Kelemahan khas “politik sastra” seperti ini jadi makin tragis lagi dengan munculnya seorang novelis baru dalam sastra kontemporer Indonesia, tidak lama setelah buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia terbit, yang novelnya Supernova diklaim banyak “kritikus” sebagai jauh lebih inovatif lebih segar lebih seksi kalau tak mau dibilang lebih intelektual daripada Saman yang dijagokan Korrie Layun Rampan!
Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tergantung pada kata hati saja semacam ini juga sangat kental mewarnai tulisan jurnalistis “esei koran” seorang Nirwan Dewanto. Walaupun bukan diterbitkan di sebuah halaman seni koran Minggu, sebuah eseinya yang paling tipikal menunjukkan esensi dirinya sebagai hanya sebuah “antologi asersi” belaka adalah yang ditulisnya untuk majalah berita mingguan Tempo edisi khusus “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003. Dalam esei berjudul “Pinurbo dan Dinar” itu, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam ini memulai tulisannya dengan bahasa yang sangat khas:
“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”
Lihatlah betapa hanya dalam satu paragraf saja Nirwan Dewanto sudah membuat begitu banyak kesimpulan dan dia sebagai pembuat kesimpulan diposisikannya sebagai seseorang yang “tahu”, sang pengamat ajaib, yang berdiri di luar lingkaran mediokritas masyarakatnya! Seorang Zarathustra posmo yang tiba-tiba memutuskan untuk membuka jendela menara gadingnya, tanpa mesti turun ke bumi di bawah, dan terpesona pada narsisismenya sendiri! Ajaib, memang, masih ada yang merasa begitu yakin sudah meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya!!!
Sekarang baiklah kita ikuti jalan argumen yang ditawarkannya sebagai alasan bagi apa yang akan saya sebut sebagai accusation/defense paragraf pertamanya itu. Puisi Indonesia kontemporer (yang ditulis “para penyair muda usia itu”), katanya sambil meminjam istilah Asrul Sani, masih “puisi emosi” yaitu yang menunjukkan bahwa “[k]etimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, [para penyair muda usia itu] terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka”. Absennya orisinalitas merupakan dosa-asal puisi kontemporer kita. Saya berkhayal: setelah Chairil Anwar, setelah Sutardji Calzom Bachri, setelah Afrizal Malna, tak ada lagi Puisi Indonesia. Yang ada hanya mediokritas “[ke]abstrak[an] dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan”. Menurutnya, puisi kontemporer kita adalah puisi yang “gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang”, “Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa”. Demikianlah accusation Nirwan Dewanto.
Tapi untunglah masih ada “para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. [Yang] masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera”. Joko Pinurbo adalah “antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes”, menurut Nirwan Dewanto, karena “[i]a berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik”, sementara mayoritas penyair (kontemporer) “hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika”.
Bagi Nirwan Dewanto, sekaligus sebagai defense-nya, pemakaian “bahasa sehari-hari dengan frase yang terang” dan “kalimat [tidak] patah-patah yang [tidak] mengabaikan logika” adalah ciri-utama berhasil-tidaknya puisi, penting-tidaknya sebuah kumpulan sajak/penyair. Dan ditambah dengan mesti hadirnya “humor dan main-main”, kisah “alegori” serta “parodi”. Walaupun demikian, Nirwan Dewanto masih melihat adanya tiga kekurangan pada puisi Joko Pinurbo: kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.
Betapa susahnya menjadi penyair di Indonesia! Betapa otoriternya seorang ketua redaksi jurnal kebudayaan Indonesia! Hanya dalam lima paragraf, puisi kontemporer Indonesia “dibedah”, dimaki-maki, diangkat sedikit untuk kemudian dibanting dengan keras karena kalimatnya kurang tajam, repetisinya sering berlebihan dan kosakatanya kurang kaya! Dan semuanya itu ditutup dengan kalimat patronising ala seorang empu puisi yang sudah menghasilkan berpuluh buku puisi dan buku tentang puisi: “Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri”. Ternyata lagi-lagi obat “krisis puisi” Indonesia mesti dibeli di luar negeri! The West is the best!
Kalau Nirwan Dewanto mau sedikit jujur terhadap dirinya sendiri, apalagi mempertimbangkan hobinya/kemampuannya hanya menulis “esei koran” yang narsisistik, dia justru terus menerus melakukan apa yang dia anggap merupakan ciri umum sastra kontemporer kita, yaitu “[m]erosot berbahasa: artinya memudar [...] kemampuan [...] berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri [dan] [y]ang lisan mengalahkan tulisan, [dalam arti] basa-basi menaklukkan apa yang rasional [kritis]”, dalam mudahnya dia membuat kesimpulan-kesimpulan mentah yang final tentang karya produk bukan-komunitas-sastranya, tanpa pernah sanggup membuktikannya lewat kritik “close reading” teks dalam bentuk tulisan non-jurnalistik, sementara hanya berbasa-basi puja-puji terhadap produk Komunitas Utan Kayu dari mana dia berasal (ingat, misalnya, klaimnya bahwa Ayu Utami terlahir bukan dari tradisi sastra Indonesia!). Sehingga hanya “kesedang-sedangan, ketakcemerlangan” (dalam repetisi-repetisi bentuk dan isi yang sangat membosankan yang tak lebih dari sekedar pamer daftar bacaan belaka alias name dropping) yang jadi “hasil terbaik” dari reportase bacaannya atas apa yang memang sudah umum dianggap sebagai “kanon sastra internasional” di luar sana yang dengan selektif-heroik dipakainya untuk sebuah “bacaan” pseudo-comparative literature. Saya tentu saja bisa juga menuntut dari dia untuk juga tidak “bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri” dalam menulis esei-eseinya karena “[...] saya merasa lara dan terkutuk sebab [...] tak banyak [esei] sastra[nya] dalam bahasa nasional kita [...] yang layak dikenang”, lantaran begitu banyak ide tulisan-tulisannya itu “sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu”nya belaka. Satu contoh: Pernahkah dia benar-benar mengelaborasi di mana negatifnya “kelisanan” dan positifnya “keberaksaraan” (dua konsep yang didaur-ulangnya tanpa kritis dari Sapardi Djoko Damono) dalam kebudayaan Indonesia itu?
Tingkat absurditas dan komikal yang sudah dicapai oleh mediokritas pemikiran kritis yang merajalela dalam dunia sastra Indonesia akan dengan gamblang ditunjukkan oleh contoh berikut ini. Saya pernah membaca sebuah buku “kritik sastra” yang ditulis oleh seorang “kritikus sastra” pedalaman dimana di salah satu bab bukunya itu dia mengajak pembaca untuk “membuktikan” kemantraan puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri dengan membacakannya ke buaya!
Absennya cara berpikir kritis dalam membaca karya sastra yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya “krisis kritik sastra” di Indonesia lebih banyak bisa dilihat dipamerkan secara menyolok di media massa cetak Indonesia, khususnya koran terbitan Jakarta. Awal bulan Mei 2001 Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sebuah yayasan nirlaba yang dikelola sebuah komunitas sastrawan Internet Indonesia, menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi cyberpunk, yaitu puisi yang dikirim oleh para penyairnya baik ke mailing-list penyair@yahoogroups.com maupun situs sastra www.cybersastra.net yang dikelola YMS, berjudul Graffiti Gratitude. Penerbitan buku puisi cyberpunk ini ternyata menimbulkan skandal media massa cetak khususnya koran dengan Graffiti Gratitude sebagai objek “pengadilan puisi”, baik oleh para penyair Indonesia sendiri yang puisinya tidak ada dalam kumpulan ini maupun oleh para “pengamat/kritikus” sastra Indonesia. “Mutu” puisi-puisi yang ada dalam Graffiti Gratitude merupakan satu topik serangan favorit dan, terkait dengan ini, isu tentang “estetika baru” macam apa yang direpresentasikan oleh pemakaian istilah “puisi cyber” pada kulit depan buku juga menjadi isi serangan umum para penghujatnya. Seorang wartawan sebuah majalah berita di Jakarta, Bersihar Lubis, mengklaim bahwa para penyair cyberpunk telah “mengkhianati” hakekat dirinya sendiri karena telah menerbitkan dalam bentuk buku puisi-puisi yang seharusnya dibiarkan tetap berada dalam dunia cyberspace di Internet, sementara seorang “kritikus sastra” yang sekaligus dosen sastra dari Jakarta, Maman S Mahayana, menyatakan bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka!
Kalau “pengadilan puisi” atas Graffiti Gratitude ini dilakukan dengan jujur dan adil, walau tidak mesti secara kritis sekalipun, peristiwa media massa cetak ini tentu akan jadi menarik dan perlu. Paling tidak, sebuah “polemik sastra” bisa terjadi dan lalulintas ide atau konsep soal puisi akan berjalan dari kedua belah pihak, pihak Internet dan pihak media cetak. Harapan yang lugu ini ternyata cuma tinggal harapan yang lugu belaka. “Pengadilan puisi” yang diciptakan oleh media massa cetak Indonesia itu ternyata cuma sebuah pameran penghinaan dan ketidakmampuan untuk bahkan melakukan sebuah “pengadilan” yang baik atas Graffiti Gratitude. Bagi mereka yang memilih “mutu puisi” sebagai sasaran serangan, terlihat dengan jelas ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam cara mereka “membaca” buku Graffiti Gratitude. Fokus mereka cuma sajak-sajak yang memang jelas bagi pembaca sastra awam sekalipun tidak berhasil menjadi puisi. Mereka sama sekali tidak membaca sajak-sajak lainnya yang bagus-bagus dan berhasil jadi puisi. “Politik pembacaan selektif” macam ini tentu saja hanya menimbulkan rasa curiga beralasan di kalangan penyair cyberpunk bahwa rasa cemburu atau iri hati karena tidak ikut serta dalam antologi Graffiti Gratitude merupakan alasan utama “pengadilan puisi” amatiran ini. Bukankah sesuatu yang sangat wajar kalau dalam sebuah antologi-bersama akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Bukankah sesuatu yang sangat wajar juga bila dalam sebuah antologi-tunggal pun akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Kenapa sajak-sajak yang gagal ini yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah keseluruhan isi buku yang justru dijadikan standar ukuran “mutu” keseluruhan antologi tersebut!
Sementara itu mereka yang “menuntut” lahirnya sebuah “estetika baru” dengan munculnya sastra cyberpunk juga melakukan sebuah tuntutan yang tidak jujur dan tidak adil. Kenapa mereka tidak melakukan hal yang sama atas “sastra koran”, “sastra majalah”, atau “sastra antologi” yang umur eksistensinya jauh lebih lama dibanding sastra cyberpunk tapi isi dan gaya produk-produk ketiganya sama sekali tidak menunjukkan “perbedaan estetika” antara satu medium dari medium yang lainnya itu! Demikian pula dengan mereka yang mengklaim bahwa penerbitan puisi cyberpunk dalam bentuk buku adalah sebuah pengkhianatan eksistensial. Betapa lucu dan mengada-ada pernyataan ini! Bukankah apa yang diklaim ini relevan juga untuk diajukan pada “sastra koran”, “sastra majalah” dan “sastra lisan” tapi, anehnya, tidak pernah dilakukan. Kenapa hanya pada sastra cyberpunk klaim yang kalau memang ada kebenarannya ini tiba-tiba dilontarkan! Sekarang saya mau bantu para eksistensialis sastra Indonesia ini untuk memperluas cakupan klaim mereka itu: Kenapa sastra koran, sastra majalah dan sastra lisan mesti dibukukan? Kenapa tidak dibiarkan saja sastra-sastra ini pada medium asalnya masing-masing? Bukankah hal ini sebuah pengkhianatan eksistensial? Pertanyaan yang bernada sama bisa juga disodorkan kepada “kritikus sastra” Maman S Mahayana. Apakah sebenarnya “penyair” atau “sastrawan” itu? Apakah ada relevansi teoritis antara “produktivitas” dan identitas seorang sastrawan? Kenapa Chairil Anwar yang cuma menulis sekitar 70an puisi itu bisa disebut “penyair” sementara bukankah Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja dikenal hanya berdasarkan satu novel belaka?
Bagi saya, “pengadilan puisi” atas buku kumpulan puisi cyberpunk Graffiti Gratitude oleh media massa cetak Indonesia ini cuma menguatkan kepercayaan saya bahwa “krisis kritik sastra” di Indonesia bukan saja ada tapi malah sangat parah kondisinya.
Di koran Pikiran Rakyat Bandung di bulan Agustus dan September 2002 terjadi “polemik” atas sebuah produk terakhir dari komunitas sastra cyberpunk Indonesia di bawah naungan YMS. Produk yang menimbulkan persoalan kali ini adalah sebuah antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang dinamakan CYBERpuitika. Antologi puisi digital ini dikatakan “multimedia” karena setiap teks puisi di dalamnya dikolase dengan teks visual berupa lukisan atau fotografi dan teks musik. Perkawinan ketiga teks yang mewakili tiga jenis seni yang berbeda ini ternyata menimbulkan suara-suara sumbang yang menuduh bahwa “teks” puisi dalam CYBERpuitika telah dikorbankan statusnya sebagai sebuah “karya seni” karena disandingkan dengan teks visual dan teks musik! Bahkan lebih hebat lagi karena sudah keluar dari konteks “polemik” koran tersebut, ada seorang penyair “senior” lokal dengan lagak seorang “kritikus” selebritis menulis bahwa “dosa” sastra Indonesia di Internet adalah “kebebasan” yang diberikannya bagi “penulis pemula” untuk menulis sastra, seolah-olah seseorang itu baru bisa menulis sastra atau disebut sebagai “sastrawan” kalau sudah mendapat “restu” dari dia! Dengan nada tulisan yang sangat patronising alias sok tahu dan merasa diri sendiri sudah menjadi sastrawan besar Indonesia, penyair pedalaman yang megalomaniak ini mengejek dunia sastra Internet – yang tidak diketahuinya sedikitpun apa dan bagaimana itu – sebagai cuma sekedar “labirin main-main”, sebuah “arena play-group dan play-station” para penulis “pemula” belaka! (Istilah ejekan yang umum dipakai untuk menyerang keberadaan sastra cyberpunk Indonesia, terutama karena kebebasan yang diberikannya kepada siapa saja untuk menulis sastra tanpa mempermasalahkan “jam terbang” karier kepenulisan seseorang, adalah “tong sampah”. Maksud dari istilah yang diciptakan redaktur sastra koran Republika Ahmadun Y Herfanda ini adalah bahwa karya-karya sastra yang disebut sastra cyberpunk Indonesia itu secara umum merupakan karya-karya yang dikirim ke, tapi gagal lolos seleksi untuk bisa muncul di, koran-koran Minggu Indonesia!) Walau pretensi “polemik” media cetak koran itu adalah “diskusi kritis”, apa yang mampu ditawarkannya ternyata hanya merupakan sederetan “pseudo” belaka: pseudo-polemik, pseudo-kritik, pseudo-kritikus dan akhirnya pseudo-sastrawan-senior. Tidak adanya pengetahuan tentang sastra Internet yang disebut “sastra cyberpunk”, tidak adanya pengetahuan tentang hakekat “teks” tulisan dalam dunia Internet yang disebut “hyper-text” dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui jaringan “hyper-link” (dan bahkan absennya pemahaman tentang arti istilah “teks” dalam pemakaian sehari-hari dalam wacana kebudayaan saat ini) dan tidak adanya pengetahuan tentang seni kolase (collage art) yang menggabung-gabungkan berbagai bentuk seni menjadi satu seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyberpunk Indonesia di Bandung untuk introspeksi. Mereka “merasa” mereka sudah tahu semuanya!
Persoalan “krisis kritik(us)” tidak hanya terjadi di dunia sastra saja tapi di keseluruhan dunia seni Indonesia. Kalau kita mau sedikit rendah hati, tidak kelewat defensif dan esensialis narsisistik dan belajar dari kenyataan di luar Indonesia terutama di Barat (seperti yang selama ini selalu dilontarkan para “kritikus” lokal khususnya terhadap sastrawan Indonesia dalam konteks rendahnya mutu karya seni sastra kita dibanding karya sastra Barat) maka akan terlihatlah betapa parahnya krisis yang sedang dialami dunia seni kita. Di Barat semua cabang seni yang ada – sastra, teater, seni rupa, musik, tari, film atau fotografi – memiliki tulisan-tulisan “kritik” yang tidak lagi sekedar apresiasi atau pengantar atas sebuah karya seni atau seorang seniman belaka tapi sudah mencapai kualitas mempengaruhi arah perkembangan seni itu sendiri. Dan tidak setiap penulis tentang seni akan dianggap atau bersedia menganggap dirinya sebagai “kritikus” seni, seperti yang biasa terjadi di Indonesia. Arti istilah “kritik(us)” tidak dianggap main-main karena adanya pertanggungjawaban profesional diharapkan dari para “kritikus” yang menulis “kritik” seni, karena “kritikus” adalah sebuah “profesi” sama seperti pengacara atau dokter gigi. Seorang Clement Greenberg, misalnya, tidak bisa dipisahkan kehadirannya dengan gerakan seni rupa Ekspresionisme Abstrak di Amerika Serikat yang diperkenalkan dan dibelanya di tahun 1940an, di masa publik seni rupa Amerika Serikat sendiri masih terperangkap dalam euforia Cubisme Picasso. Seorang diri dia berhasil menjatuhkan pamor mapan Cubisme di New York tahun 1940an dan menggantikannya dengan sebuah gerakan seni lokal yang tidak dianggap apa-apa sebelumnya karena asal-usul lokalnya itu (bukan made-in-Paris, seperti Cubisme), yaitu Ekspresionisme Abstrak, atau Abstract Expressionism. Kontribusi pemikiran dalam memperkenalkan dan membela Ekspresionisme Abstrak (bukan “Abstrak” Ekspresionis seperti yang biasa disalah-terjemahkan di Indonesia!) yang dilakukan Clement Greenberg terutama lewat esei-esei kritisnya mungkin dapat kita sejajarkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh kritikus HB Jassin atas Chairil Anwar dalam sastra modern kita. Orisinalitas pemikiran seperti yang direpresentasikan kedua kritikus seni ini secara umum absen dalam dunia seni kita dan fakta inilah yang merupakan alasan utama kenapa saya menganggap tidak ada tradisi kritik(us) seni dalam dunia seni terutama sastra Indonesia. Di dunia sastra Anglo-Saxon yang berbahasa Inggris, esei-esei penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot begitu berpengaruh hingga memungkinkan munculnya sebuah gerakan kritik sastra baru di sastra Amerika Serikat, yaitu New Criticism yang berusaha membuat kritik sastra menjadi sebuah sains sama seperti sosiologi atau sejarah. Di negeri Inggris, kritikus sastra FR Leavis melakukan hal yang sama lewat tulisan-tulisan kritik sastranya yang membuatnya menjadi semacam “paus sastra” dunia sastra Inggris. Belum lagi kalau kita juga mempertimbangkan sumbangan para “teoritikus/kritikus” asal Prancis yang mendominasi wacana pemikiran intelektual kontemporer internasional seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Julia Kristeva dan Jean Baudrillard! Sementara India yang sama seperti Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga itu harum namanya di dunia intelektual internasional dengan sumbangan pemikiran yang dikenal sebagai Kritik Subaltern atau Kritik Pascakolonial. Kapan para “kritikus” Indonesia bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi peradaban manusia!
Krisis “kritik(us)” sastra di Indonesia jauh lebih parah kondisinya daripada “krisis ekonomi” yang, konon, melanda negeri realisme-magis yang terus-menerus dibanjiri dengan mobil mewah, sepeda motor asal Cina dan HP model terakhir ini. Dan masih belum ada tanda-tanda zaman bahwa krisis “kritik(us)” sastra ini akan berakhir dalam waktu dekat. Mungkin penyebab utama terjadinya krisis ini adalah kebiasaan yang umum terjadi di Indonesia bahwa setiap orang yang menulis tentang sesuatu akan dengan mudah langsung saja dianggap sebagai “pakar” sesuatu itu, tanpa ada kekritisan untuk paling tidak “menyangsikan” kebenaran yang dikandung tulisan “pakar” tersebut. Siapa saja menulis “tentang” sastra, misalnya, apalagi kalau dia itu sudah lebih dulu dikenal sebagai sastrawan atau dosen sastra, maka jadi “pakar” atau “kritikus sastra”lah dia. “Kepasrahan” menerima seperti ini kayaknya sudah membudaya hingga hilanglah bekas-bekas “kekritisan” pemikiran yang mungkin pernah ada. Sementara mereka-mereka yang disebut sebagai “pakar/kritikus” itu sendiri nampaknya tidak memiliki problem moral dan intelektual atas sebutan yang diberikan kepada mereka, walau mereka tahu betul bagaimana kebenaran dari realitas intelektual mereka masing-masing.
Ketimbang “menuntut” suatu sikap “I Think, Therefore I Am A Critic” dari mereka-mereka yang mengaku/diakui sebagai “kritikus” sastra Indonesia, kita kayaknya sudah sangat puas dengan sekedar sikap “I Feel (Good), Therefore You Are An Artist” belaka dari mereka! Akibatnya, begitu besarnya rasa percaya diri para “kritikus” ini hingga kalau ada orang yang berani mempertanyakan jatidiri mereka sebagai “kritikus” langsung saja dijawab, seperti yang dilakukan Maman S Mahayana dalam sebuah tulisannya di Kompas beberapa tahun lalu yang berpretensi merespons esei saya tentang krisis kritik(us) sastra, bahwa yang bertanya itu “apriori terhadap kritik” sastra Indonesia. Atau si penanya hanya memiliki “pemahaman yang fragmentaris atas hakikat dan fungsi kritik” sastra! Malah dianjurkannya lagi supaya jangan menyalahkan lantai kalau tak pandai berdansa! Salsa, anyone!
Kalau seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sudah berkali-kali menjadi nominasi pemenang hadiah sastra paling bergengsi di dunia, yaitu Hadiah Nobel, bukankah sesuatu yang sangat wajar dan tidak keterlaluan kalau kita juga mengharapkan ada “kritikus sastra” Indonesia yang benar-benar bisa menghasilkan karya “kritik” atas karya sastra Indonesia dan tidak melulu melakukan “penceritaan kembali” atas apa yang sudah retak di luar sana?
Saut Situmorang
http://apsas.multiply.com/
Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” di mana dia melaporkan tentang “rasa heran”nya atas hasil “analisis” dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya! Walaupun Teeuw mengatakan tidak bermaksud mengkritik “mutu” analisis para dosen sastra kita atas sajak “Salju” Subagio Sastrowardoyo dan “Cocktail Party” Toeti Heraty tersebut, dan malah memutuskan untuk “membela”nya dengan alasan adalah sah bila terjadi interpretasi-jamak atas sebuah karya sastra, bukankah kita pantas untuk jadi was-was: Kalau para dosen sastra sendiri, yang konon sehari-harinya bergelut dengan sastra sebagai sebuah ilmu pengetahuan akademis, mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A Teeuw, bagaimana lagi kualitas para mahasiswanya yang kelak di kemudian hari mungkin jadi penulis tentang sastra, sastrawan atau malah dosen sastra? Beginikah sosok dunia sastra modern kita?
Yang lebih ironis lagi, kita malah sangat sering mendengar atau membaca tentang adanya “krisis” dalam sastra modern Indonesia. Maksudnya tentu saja “krisis” dalam dunia karya seni sastra, apa itu puisi, cerpen atau novel. Sastrawan Indonesia dikatakan “jalan di tempat”, karena karya mereka begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan lokal tema/topiknya, tidak cerdas pemakaian bahasanya. Sebagai satu-satunya cara menyembuhkan “krisis” ini sastrawan Indonesia modern/kontemporer dianjurkan untuk berobat ke luar negeri, kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin. The West is the best, seperti kata Jim Morrison dari The Doors!
Saat ini banyak orang menulis di sastra Indonesia, baik sebagai sastrawan maupun “pengamat” sastra. Penyair merupakan kelompok yang paling banyak jumlah anggotanya. Lihat saja misalnya para penyair yang mendominasi buku Korrie Layun Rampan yang berjudul seram itu: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Besarnya jumlah seniman sastra, penyair, cerpenis dan novelis, yang ada di Indonesia saat ini membuat isu “krisis sastra” tadi masih bisa dipertanyakan kembali kebenarannya. Soal “kecenderungan” pemilihan tema/topik karya yang terlalu “sosiologis” ataupun “keseragaman” gaya penulisan karya, bagi saya, tidaklah bisa dijadikan alasan untuk begitu saja mengatakan sastra Indonesia mengalami “krisis”. Bukankah kedua hal ini juga yang merupakan ciri-khas utama Realisme-Magis (Magic-Realism) sastra Amerika Latin yang dipuji-puji setinggi langit di Indonesia itu! Secara pribadi saya sangat puas dengan karya-karya sastrawan kita, apa itu puisi, cerpen atau novel, termasuk drama. Walau sejarah sastra modern kita masih muda, kita sudah memiliki monumen-monumen sastra dalam semua genre sastra yang ada. Puisi para penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Toeti Heraty, Afrizal Malna dan Wiji Thukul saja, misalnya, tidak malu kita untuk mengklaimnya sebagai produk-produk terbaik sastra modern Indonesia. Begitu pula dengan karya fiksi seperti Belenggu, Atheis, novel-novel eksperimental Iwan Simatupang, tetralogi novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, novel-novel “geisha” Ahmad Tohari, cerita silat Kho Ping Hoo, dan cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, dan Seno Gumira Ajidarma. Drama modern kita juga telah menghasilkan dramawan dan teater yang tidak kalah mutunya dengan apa yang dimiliki negeri lain. Justru yang mesti diungkapkan adalah fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai munculnya antologi CD puisi cyberpunk/Internet Cyberpuitika yang kontroversial itu di awal Agustus 2002, hanya mengenal satu “krisis” saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra. Besarnya rasa pesona segelintir “kritikus sastra” Indonesia pada para novelis Realis-Magis Amerika Latin sementara melecehkan fenomena yang sama pada karya sastra Indonesia, bagi saya, membuktikan adanya krisis kritik(us) sastra ini. Saya mencurigai “pengetahuan” mereka tentang apa yang membuat mereka terpesona itu, apalagi kalau diingat bahwa “pengetahuan” mereka tersebut mereka peroleh hanya melalui versi terjemahan dan bukan bahasa aslinya. Faktor “kecerdasan bahasa” yang mereka klaim dimiliki oleh para novelis Realis-Magis Amerika Latin tapi konon absen dalam fiksi Indonesia kurang meyakinkan justru karena mereka hanya mampu membaca para Realis-Magis tersebut dalam versi terjemahan bahasa Inggris. Dan kita tahu, versi terjemahan sebuah karya sastra (bagaimanapun minimnya tingkat pencideraan pengarangnya) tidak cukup untuk dijadikan bahan sebuah studi yang bersifat “kritik sastra”, apalagi dalam studi yang disebut sebagai “Comparative Literature”, kecuali untuk Translation Studies. Bagi saya, apa yang ditemukan oleh A Teeuw sekitar duapuluhan tahun lalu itu masih tetap merupakan persoalan utama dunia sastra kita saat ini.
Krisis Kritik(us) Sastra Indonesia
Kebanyakan “sejarawan” sastra Indonesia akan setuju bahwa secara formal sastra modern berbahasa Indonesia lahir dengan terbentuknya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka di awal abad 20. Periodesasi sejarah sastra modern Indonesia juga biasanya dimulai dari masa ini, yang dikenal dengan nama “Angkatan Balai Pustaka”. Walaupun terdapat beberapa penulis tentang sastra modern Indonesia yang mempertanyakan ketepatan pemilihan waktu lahirnya sastra modern berbahasa Indonesia ini, terutama dalam perspektif Studi Pascakolonial yang memandang periode sebelum berdirinya Balai Pustaka sebagai sebuah “sejarah yang hilang” dalam genealogi sastra Indonesia, namun secara umum “Angkatan Balai Pustaka” masih diakui sebagai angkatan sastrawan pertama dalam sejarah sastra modern Indonesia. Sampai awal abad 21 ini “diperkirakan” sudah ada sekitar 7 angkatan sastrawan modern Indonesia, dengan “Angkatan Sastrawan 2000” sebagai tambahan terakhir untuk sastrawan kontemporer Indonesia.
Terlepas dari perdebatan soal hari lahir sastra Indonesia di atas, bukankah periodesasi sastra modern Indonesia dalam beberapa angkatan itu dengan jelas merujuk ke sosok “sastrawan” atau “pengarang” sastra berbahasa Indonesia, bukan “kritikus” sastra Indonesia! Dari periodesasi historis itu bisa juga diamati bahwa sastra modern Indonesia hanya memiliki sastra Indonesia, hanya memiliki karya seni sastra berupa puisi, cerpen, novel dan naskah drama saja. Dan jumlah karya seni sastra yang sudah diproduksi itu sangat banyak serta pengarangnya pun sangat banyak. Tidak semua memang dari karya seni sastra itu berhasil lulus testing mutu untuk bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra modern Indonesia, tapi yang berhasil dan menjadi klasik dan keramat dalam sejarah sastra modern Indonesia yang pendek umurnya itu telah juga berhasil “menciptakan” sebuah sastra-nasional baru sebagai warga baru sastra dunia. Tanpa monumen-monumen karya seni sastra ini, tidak ada itu sesuatu yang disebut orang sebagai “sastra modern Indonesia”, sastra modern dalam bahasa Indonesia.
Bagi saya, periodesasi sejarah itu menunjukkan tidak adanya “kritik sastra” apalagi “tradisi kritik sastra” mendampingi perjalanan sejarah sastra modern berbahasa Indonesia yang usianya pendek itu. Fakta ini sangat menyedihkan mengingat bukankah “kritik sastra” itu semacam pasangan hidup bagi karya seni sastra supaya yang terakhir ini, mengutip seorang penulis dari Bandung yang mengklaim tidak ada krisis kritik(us) sastra dalam sastra Indonesia, tidak hidup kesepian, halusinasif dan kering meranggas!
Di Indonesia ada semacam pendapat umum bahwa segala sesuatu yang berbicara tentang karya sastra, puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai “kritik” sastra. Satu buku tebal yang khusus membahas puisi penyair tertentu adalah “kritik” sastra. Satu buku yang berisi kumpulan esei-lepas tentang sastra yang pernah dimuat di koran atau majalah adalah “kritik” sastra. Bahkan resensi buku sastra pun adalah sebuah karya “kritik” sastra. Dan tentu saja semua penulis yang menulis tentang sastra adalah “kritikus” sastra, malah para redaktur sastra koran edisi Minggu di seluruh Indonesia pun termasuk “kritikus” sastra!
Memukul rata dalam generalisasi pemakaian istilah “kritik/kritikus sastra” seperti ini tentu sah-sah saja kalau diingat bagaimana pengertian istilah “kritik” dalam pemakaian sehari-hari di Indonesia. Ada kritik membangun, ada pula kritik tak-membangun alias merusak. Kalau seseorang “dinasehati” oleh kawannya, dikatakannya dia itu dikritik. Kalau ada penyair baca sajak yang pamflet, dia dibilang mengkritik. Dan seterusnya, dan seterusnya . . . Tapi sudah tepatkah pemakaian istilah ini untuk merujuk kepada sebuah aktivitas pembacaan teks sastra yang bersifat sebagai sebuah studi kritis? Maksud saya, sudah tepatkah pemakaian istilah “kritik/kritikus” untuk menyebut tulisan-tulisan dan penulis-penulis kita yang menulis tentang sastra seperti yang umum dilakukan saat ini?
Setelah membaca tulisan-tulisan yang disebut “kritik sastra” Indonesia sejak zaman Balai Pustaka sampai penerbitan buku Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia saja, misalnya, saya menemukan sangat banyak tulisan yang sangat tidak memuaskan dan tidak pantas untuk disebut sebagai “kritik sastra”. Sebagian besar dari tulisan “kritik sastra” tadi sebenarnya lebih pantas dimasukkan dalam kategori tulisan “Apresiasi” atau “Komentar” sastra saja karena, seperti kata penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot atas isu yang sama, “dikerjakan dengan cara yang tidak semestinya, dipisah-pisah seperti daun sayuran [...] jadi mirip sebuah tipe kuliah-sastra populer, di mana drama dan novel diceritakan kembali ceritanya, motif-motif para karakternya diterangjelaskan, hingga membuat karya sastra itu sangat gampang bagi kaum pemula”. Hal yang sama juga terjadi pada “analisis” puisi yang kebanyakan pseudo-studi-tekstual, pseudo-strukturalis, dengan tekanan hanya pada “makna” kata-kata tertentu atau metafor pada puisi yang sedang dibicarakan, untuk menceritakan kembali alur narasi atau moral puisi, tak lebih dan tak kurang, hingga memberi kesan betapa gampangnya puisi untuk dimengerti! Dan memang banyak dari buku-buku “kritik sastra” Indonesia memiliki Kata Pengantar yang selalu memuat kalimat disklaimer apologis seperti ini: “Buku ini memuat hal-hal yang mudah dipahami, karena dimaksudkan bagi para pemula atau remaja pencinta sastra”!
Menulis tentang karya sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang haram. Malah pantas diacungi jempol tanda kagum karena tujuannya yang mulia untuk membuat para pemula atau remaja mencintai sastra secara dewasa, bukan sekedar cinta monyet yang akan berlalu setelah masa pubertas mereka selesai. Persoalannya adalah terlalu banyak orang yang menulis bagi para pemula dan remaja pencinta sastra hingga para pencinta sastra yang lain yang tidak pemula dan tidak remaja lagi jadi terlupakan! Para penulis tentang karya sastra bagi para pemula dan remaja pencinta sastra ini sepertinya segan untuk menulis bagi mereka yang bukan pemula dan bukan remaja lagi! Akibatnya, para “kritikus” ini terus-terusan mengulang kembali menulis buku-buku “kritik” tentang sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra sampai jumlah buku-buku mereka mirip katalog perpustakaan ramainya, dan dengan variasi judul buku yang luarbiasa imajinatifnya pula, seperti Jejak Langkah Sastra Indonesia, Wajah Sastra Indonesia, Suara Pancaran Sastra, Katarsis dan yang semacam itu.
Kalau dihitung-hitung berapakah jumlah buku yang pernah ditulis yang berisi analisis kritis (critical analysis) atas karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Idrus, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardoyo, Ahmad Tohari, Toeti Heraty, Nh Dini, Kho Ping Hoo, Afrizal Malna atau Wiji Thukul saja? Apakah nama-nama ini tidak pantas untuk dibahas secara kritis dan serius? Atau memang para “kritikus” sastra Indonesia tidak sanggup untuk meng“kritik” karya-karya mereka, seperti para dosen sastra yang dilaporkan A Teeuw itu?
Seandainyapun eksistensi “kritik sastra” Indonesia mau dianggap ada, maka eksistensinya itu hanyalah sebuah eksistensi yang hidup-segan-mati-tak-mau belaka. Banyak memang penulis Indonesia yang menulis tentang sastra Indonesia, apa itu tentang sebuah karya sastra atau seorang sastrawan, tapi mayoritas tulisan-tulisan yang ada ini, apa itu berupa esei-lepas di koran atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi, sangat tidak memuaskan isinya untuk bisa disebut sebagai “kritik sastra”. Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan asersif yang sangat umum merupakan ciri-khas esei-lepas tentang sastra di majalah atau koran, sementara hasil penelitian akademis kesarjanaan begitu kaku dan dogmatis dalam “penerapan” teori-teori sastra yang dipakainya dengan mengorbankan elaborasi pembahasan yang mendalam dan orisinal. Keluwesan atau kecerdasan berbahasa dalam mengekspresikan isi pembahasan juga rata-rata absen dan merupakan kelemahan tipikal baik “kritik jurnalistik” maupun “kritik akademis” di atas. Tapi secara umum, bagi saya, tulisan-tulisan lepas tentang sastra modern Indonesia di media massa cetak seperti majalah dan koran jauh lebih bermutu karena lebih menarik isi dan bahasa ungkapnya (walau masih begitu banyak bisa ditemukan pemakaian istilah asing atau kutipan dari penulis asing yang cuma sekedar dekorasi teks belaka) dibanding hasil-hasil penelitian akademis kesarjanaan, meskipun untuk bisa pantas dikategorikan sebagai “kritik sastra” seperti yang dipahami di Barat masih jauh dari memuaskan. Kumpulan esei-lepas Subagio Sastrowardoyo berjudul Sosok Pribadi Dalam Sajak, yang berisikan esei-esei tentang beberapa penyair modern Indonesia yang pernah ditulisnya untuk majalah sastra di Indonesia, merupakan tipe analisis interpretatif-evaluatif yang serius dalam bahasa ungkap yang cerdas dan luwes. Begitu pula sebuah esei kata pengantar yang ditulis Ignas Kleden untuk YEL, buku kumpulan cerpen Putu Wijaya. Kalau tulisan kedua orang ini, misalnya, kita bandingkan dengan “kritik akademis” yang menjelma jadi buku seperti Chairil Anwar ?Sebuah Pertemuan, maka akan jelas terlihat mana yang pantas untuk disebut, dan bagi saya merupakan, “kritik(us) sastra” yang sebenarnya.
Pengalaman saya waktu melakukan riset perpustakaan untuk penulisan tesis pascasarjana saya atas Chairil Anwar di Selandia Baru di pertengahan tahun 1990an menunjukkan betapa parahnya krisis kritik sastra yang melanda sastra modern Indonesia. Setelah begitu lama meninggal dunia ternyata hanya HB Jassin, A Teeuw, Boen S Oemarjati dan Subagio Sastrowardoyo saja yang pernah benar-benar melakukan “studi kritis” atas sastrawan terbesar yang pernah dikenal sastra modern Indonesia ini! Tulisan-tulisan lepas di koran dan majalah Indonesia, khususnya, dan skripsi kesarjanaan tentang Chairil Anwar memang banyak, tapi kebanyakan cuma repetisi mandul tak orisinal tentang Chairil, apa sebagai “binatang jalang”, sebagai seorang “eksistensialis”, sebagai seorang “pembaharu” atau sebagai seorang “pahlawan nasional” malah. Herannya lagi, justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku hingga memberikan satori-teks atau tekstasi pada pembacanya kebanyakan peneliti asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan lainnya! Saya bisa bayangkan, dengan sangat prihatin, seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika Serikat maka sudah puluhan buku, tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.
Siapa Kritikus Sastra
Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.
Bisa dilihat bahwa “teori” punya arti penting dalam kedua kategori kritik sastra di atas. Sebuah pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan baru bisa sah disebut sebagai “kritik sastra” kalau dilakukan berdasarkan “prinsip-prinsip teori” yang mendasari identifikasi dan analisis sastra. Dalam kata lain, tiap pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan supaya berhak disebut sebagai sebuah pembicaraan “kritik sastra” tidak bisa tidak memiliki seperangkat “teori” analisis, interpretasi dan evaluasi yang berlaku universal. Sebuah “kritik sastra” tidak bisa dilakukan hanya tergantung pada kata hati belaka!
Improvisasi juga bisa dilakukan atas macam “tipe” kritik berdasarkan teori atau ilmu pengetahuan apa yang dipakai dalam menganalisis karya sastra untuk mengetahui pengaruh atau sebab-sebab yang menentukan ciri-ciri tertentu dari karya tersebut. Makanya kita juga mengenal “kritik sejarah”, “kritik biografi”, “kritik sosiologi”, “kritik Marxis”, “kritik psikologi”, “kritik psikoanalisis”, “kritik arketipe atau mitos”, “kritik feminisme” atau “kritik pascakolonial”.
Apa kriteria bagi seseorang untuk berhak disebut sebagai seorang “kritikus” sastra? Disamping keahlian khusus/pengetahuan yang komprehensif atas sebuah genre sastra yang dipilih untuk dikritisi, bukankah sebuah sikap “profesional dan kritis” juga mesti dimiliki oleh seorang kritikus sastra, hingga nanti tulisan-tulisan kritisnya tentang sebuah karya sastra ataupun seorang sastrawan tidak terjebak pada sebuah emosionalisme yang amatiran. Suka atau tidak sukanya “perasaan” seorang kritikus terhadap seorang sastrawan yang sedang dibicarakannya, posisinya sebagai seorang “kritikus” menuntut agar “penilaian” terhadap karya sastrawan tersebut dilakukan menurut etika kritik yang berlaku universal – kritis, adil dan jujur. Karakter pribadi seorang sastrawan, misalnya, apalagi bila kebetulan tidak sesuai dengan standar moral ideal sang kritikus, jangan sampai mempolusi cara menilai karya seninya. Karakter pribadi seorang seniman tidak relevan untuk dijadikan tolak ukur penilaian karyanya, apalagi kalau dijadikan sebagai alasan pelecehan mutu pencapaian karya tersebut. Kritiklah karya sang seniman karena karyanya itulah esensi kesenimanan seorang seniman. Karya adalah identitas eksistensial seorang seniman. Bagaimana kita bisa “mempercayai” pendapat seorang “kritikus”, misalnya, yang tanpa terlebih dulu melakukan “textual study” dan sebagainya yang serius dan menyeluruh atas sebuah karya sastra, seenak perutnya sendiri membuat sebuah vonis menjatuhkan melalui pernyataan-pernyataan asersif yang tidak “kritis” dan “emosional”, apalagi yang tendensius-politis seperti yang umum terjadi di Indonesia!
Untuk bisa diterima sebagai sebuah karya “kritik”, sebuah pembahasan atas sebuah karya sastra atau seorang sastrawan harus dilakukan dengan landasan teori analisis yang jelas. Seorang penulis yang menulis bahwa sajak-sajak seorang penyair tertentu adalah karya seni bermutu tinggi atau sajak-sajak yang berhasil karena “menyenangkan” obsesi-obsesi pribadi si penulis tersebut belumlah bisa disebut sebagai seorang “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebuah “kritik” sastra. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang penulis menulis bahwa karya seorang sastrawan tertentu bukan karya seni karena tidak “berkomunikasi” dengannya tidak bisa juga disebut sebagai “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebagai sebuah “kritik” sastra. Untuk bisa disebut sebagai “kritikus”, seorang penulis tidak bisa “hanya” sekedar “menyimpulkan” pendapatnya saja. Seorang “kritikus” sastra tidak bisa membuat sebuah analisis yang kritis hanya tergantung pada kata hatinya saja, seperti kebanyakan terjadi di Indonesia. Karena kata hati dan rasa bingung saja tidak cukup. Seorang “kritikus” sastra mesti punya landasan teori analisis yang meyakinkan sebelum bisa meyakinkan pembacanya. Dan teori itu sendiri harus diterapkan dalam tahap-tahap pembahasan yang, paling tidak, masuk akal, logis dan ilmiah. Baru setelah prosedur analisis karya sastra seperti ini dilakukan, “pembacaan” yang dilakukannya tadi berhak untuk disebut sebagai sebuah “kritik” sastra, tidak persoalan setuju atau tidak setuju kita para pembacanya nanti dengan kesimpulan “pembacaan” si “kritikus” sastra tersebut.
Kementahan analisis hingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dipamerkan kepada kita baru-baru ini dengan penerbitan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Penyusunnya Korrie Layun Rampan memberikan alasan penerbitan buku tersebut keyakinannya bahwa telah terjadi sebuah revolusi estetika dalam sastra kontemporer Indonesia, yang, menurutnya, bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, oleh 3 sastrawan dalam 3 genre sastra yang berbeda: Afrizal Malna dalam puisi, Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen, dan Ayu Utami dalam novel! Sebagai pembaca bukunya yang judulnya terkesan sensasional itu, saya mengharapkan dia akan membeberkan argumentasinya atas tesisnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra tersebut. Saya ternyata mesti kecewa karena Korrie Layun Rampan tidak mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang orisinal yang tidak diketahui publik pembaca sastra Indonesia sebelumnya tentang ketiga sastrawan yang disebutnya sebagai pembaharu estetika penulisan sastra modern Indonesia itu. Begitu juga dengan keberaniannya untuk menyatakan bahwa para sastrawan lain dalam bukunya itu sekedar meneruskan apa yang telah dilakukan ketiga nama di atas tadi, tanpa “pembuktian” dalam bentuk studi perbandingan atau apapun. Setelah membaca bukunya itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa seorang “kritikus” sastra seperti Korrie Layun Rampan, yang di Indonesia mungkin paling banyak menulis buku sastra dan tentang sastra itu, gagal melakukan sesuatu yang sudah sangat pantas dilakukan oleh seorang editor buku yang berpretensi hendak memperkenalkan/mengungkapk
an adanya sebuah “revolusi estetika” dalam dunia sastra kontemporer Indonesia. Sementara kelatahannya untuk ikut-ikutan berbahasa Indonesia “posmo” ala Afrizal Malna hanya menambah kecurigaan saya saja atas kedalaman pengetahuannya tentang sastra.
Kalau kita bicara soal “perubahan dalam estetika kesenian”, apa yang kita maksud dengan istilah ini? Sebuah perbedaan gaya pengucapan? Sebuah perbedaan orientasi pemikiran? Keduanyakah? Apakah eksplorasi atas “ambiguitas kata”, atas “makna umum dan tersirat” dari kata, tanpa mesti membuat struktur kalimat jadi tidak baku ala puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, tidak bisa juga dikatakan sebagai sebuah “perubahan dalam estetika kesenian”? Kalau Afrizal Malna, yang disebut Korrie Layun Rampan sebagai pemimpin Angkatan 2000 itu, dikatakan melakukan sebuah “perubahan dalam estetika kesenian” karena memilih kata dari lingkungan sehari-hari hingga menciptakan (kesan) habitat keseharian kehidupan kita, bagaimanakah dengan apa yang dilakukan oleh penyair-buruh Wiji Thukul? Bukankah idiom-idiom puisi Wiji Thukul jauh lebih dekat dengan “lingkungan sehari-hari” atau “habitat keseharian” Indonesia, paling tidak bagi kalangan buruh dari mana dia berasal, ketimbang intelektualisme benda-benda Afrizal Malna? Kenapa Korrie Layun Rampan sampai “lupa” untuk membicarakan puisi Wiji Thukul yang jauh lebih terkenal di Indonesia dibanding puisi Afrizal Malna itu? Apa arti dari peristiwa “lupa” seorang editor yang konon juga “kritikus” sastra macam begini?
“Pemilihan” nama-nama sastrawan lainnya untuk “menemani” ketiga “pembaharu estetika kesenian” sastra kontemporer Indonesia di atas juga tidak diberikan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan (kecuali bahwa rata-rata mereka pernah ditulis di media massa oleh Korrie Layun Rampan!), termasuk “dilupakannya” beberapa nama sastrawan yang sudah cukup dikenal di Indonesia, seperti para sastrawan yang ada di pulau Bali. Kelemahan khas “politik sastra” seperti ini jadi makin tragis lagi dengan munculnya seorang novelis baru dalam sastra kontemporer Indonesia, tidak lama setelah buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia terbit, yang novelnya Supernova diklaim banyak “kritikus” sebagai jauh lebih inovatif lebih segar lebih seksi kalau tak mau dibilang lebih intelektual daripada Saman yang dijagokan Korrie Layun Rampan!
Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tergantung pada kata hati saja semacam ini juga sangat kental mewarnai tulisan jurnalistis “esei koran” seorang Nirwan Dewanto. Walaupun bukan diterbitkan di sebuah halaman seni koran Minggu, sebuah eseinya yang paling tipikal menunjukkan esensi dirinya sebagai hanya sebuah “antologi asersi” belaka adalah yang ditulisnya untuk majalah berita mingguan Tempo edisi khusus “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003. Dalam esei berjudul “Pinurbo dan Dinar” itu, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam ini memulai tulisannya dengan bahasa yang sangat khas:
“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”
Lihatlah betapa hanya dalam satu paragraf saja Nirwan Dewanto sudah membuat begitu banyak kesimpulan dan dia sebagai pembuat kesimpulan diposisikannya sebagai seseorang yang “tahu”, sang pengamat ajaib, yang berdiri di luar lingkaran mediokritas masyarakatnya! Seorang Zarathustra posmo yang tiba-tiba memutuskan untuk membuka jendela menara gadingnya, tanpa mesti turun ke bumi di bawah, dan terpesona pada narsisismenya sendiri! Ajaib, memang, masih ada yang merasa begitu yakin sudah meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya!!!
Sekarang baiklah kita ikuti jalan argumen yang ditawarkannya sebagai alasan bagi apa yang akan saya sebut sebagai accusation/defense paragraf pertamanya itu. Puisi Indonesia kontemporer (yang ditulis “para penyair muda usia itu”), katanya sambil meminjam istilah Asrul Sani, masih “puisi emosi” yaitu yang menunjukkan bahwa “[k]etimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, [para penyair muda usia itu] terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka”. Absennya orisinalitas merupakan dosa-asal puisi kontemporer kita. Saya berkhayal: setelah Chairil Anwar, setelah Sutardji Calzom Bachri, setelah Afrizal Malna, tak ada lagi Puisi Indonesia. Yang ada hanya mediokritas “[ke]abstrak[an] dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan”. Menurutnya, puisi kontemporer kita adalah puisi yang “gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang”, “Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa”. Demikianlah accusation Nirwan Dewanto.
Tapi untunglah masih ada “para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. [Yang] masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera”. Joko Pinurbo adalah “antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes”, menurut Nirwan Dewanto, karena “[i]a berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik”, sementara mayoritas penyair (kontemporer) “hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika”.
Bagi Nirwan Dewanto, sekaligus sebagai defense-nya, pemakaian “bahasa sehari-hari dengan frase yang terang” dan “kalimat [tidak] patah-patah yang [tidak] mengabaikan logika” adalah ciri-utama berhasil-tidaknya puisi, penting-tidaknya sebuah kumpulan sajak/penyair. Dan ditambah dengan mesti hadirnya “humor dan main-main”, kisah “alegori” serta “parodi”. Walaupun demikian, Nirwan Dewanto masih melihat adanya tiga kekurangan pada puisi Joko Pinurbo: kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.
Betapa susahnya menjadi penyair di Indonesia! Betapa otoriternya seorang ketua redaksi jurnal kebudayaan Indonesia! Hanya dalam lima paragraf, puisi kontemporer Indonesia “dibedah”, dimaki-maki, diangkat sedikit untuk kemudian dibanting dengan keras karena kalimatnya kurang tajam, repetisinya sering berlebihan dan kosakatanya kurang kaya! Dan semuanya itu ditutup dengan kalimat patronising ala seorang empu puisi yang sudah menghasilkan berpuluh buku puisi dan buku tentang puisi: “Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri”. Ternyata lagi-lagi obat “krisis puisi” Indonesia mesti dibeli di luar negeri! The West is the best!
Kalau Nirwan Dewanto mau sedikit jujur terhadap dirinya sendiri, apalagi mempertimbangkan hobinya/kemampuannya hanya menulis “esei koran” yang narsisistik, dia justru terus menerus melakukan apa yang dia anggap merupakan ciri umum sastra kontemporer kita, yaitu “[m]erosot berbahasa: artinya memudar [...] kemampuan [...] berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri [dan] [y]ang lisan mengalahkan tulisan, [dalam arti] basa-basi menaklukkan apa yang rasional [kritis]”, dalam mudahnya dia membuat kesimpulan-kesimpulan mentah yang final tentang karya produk bukan-komunitas-sastranya, tanpa pernah sanggup membuktikannya lewat kritik “close reading” teks dalam bentuk tulisan non-jurnalistik, sementara hanya berbasa-basi puja-puji terhadap produk Komunitas Utan Kayu dari mana dia berasal (ingat, misalnya, klaimnya bahwa Ayu Utami terlahir bukan dari tradisi sastra Indonesia!). Sehingga hanya “kesedang-sedangan, ketakcemerlangan” (dalam repetisi-repetisi bentuk dan isi yang sangat membosankan yang tak lebih dari sekedar pamer daftar bacaan belaka alias name dropping) yang jadi “hasil terbaik” dari reportase bacaannya atas apa yang memang sudah umum dianggap sebagai “kanon sastra internasional” di luar sana yang dengan selektif-heroik dipakainya untuk sebuah “bacaan” pseudo-comparative literature. Saya tentu saja bisa juga menuntut dari dia untuk juga tidak “bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri” dalam menulis esei-eseinya karena “[...] saya merasa lara dan terkutuk sebab [...] tak banyak [esei] sastra[nya] dalam bahasa nasional kita [...] yang layak dikenang”, lantaran begitu banyak ide tulisan-tulisannya itu “sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu”nya belaka. Satu contoh: Pernahkah dia benar-benar mengelaborasi di mana negatifnya “kelisanan” dan positifnya “keberaksaraan” (dua konsep yang didaur-ulangnya tanpa kritis dari Sapardi Djoko Damono) dalam kebudayaan Indonesia itu?
Tingkat absurditas dan komikal yang sudah dicapai oleh mediokritas pemikiran kritis yang merajalela dalam dunia sastra Indonesia akan dengan gamblang ditunjukkan oleh contoh berikut ini. Saya pernah membaca sebuah buku “kritik sastra” yang ditulis oleh seorang “kritikus sastra” pedalaman dimana di salah satu bab bukunya itu dia mengajak pembaca untuk “membuktikan” kemantraan puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri dengan membacakannya ke buaya!
Absennya cara berpikir kritis dalam membaca karya sastra yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya “krisis kritik sastra” di Indonesia lebih banyak bisa dilihat dipamerkan secara menyolok di media massa cetak Indonesia, khususnya koran terbitan Jakarta. Awal bulan Mei 2001 Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sebuah yayasan nirlaba yang dikelola sebuah komunitas sastrawan Internet Indonesia, menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi cyberpunk, yaitu puisi yang dikirim oleh para penyairnya baik ke mailing-list penyair@yahoogroups.com maupun situs sastra www.cybersastra.net yang dikelola YMS, berjudul Graffiti Gratitude. Penerbitan buku puisi cyberpunk ini ternyata menimbulkan skandal media massa cetak khususnya koran dengan Graffiti Gratitude sebagai objek “pengadilan puisi”, baik oleh para penyair Indonesia sendiri yang puisinya tidak ada dalam kumpulan ini maupun oleh para “pengamat/kritikus” sastra Indonesia. “Mutu” puisi-puisi yang ada dalam Graffiti Gratitude merupakan satu topik serangan favorit dan, terkait dengan ini, isu tentang “estetika baru” macam apa yang direpresentasikan oleh pemakaian istilah “puisi cyber” pada kulit depan buku juga menjadi isi serangan umum para penghujatnya. Seorang wartawan sebuah majalah berita di Jakarta, Bersihar Lubis, mengklaim bahwa para penyair cyberpunk telah “mengkhianati” hakekat dirinya sendiri karena telah menerbitkan dalam bentuk buku puisi-puisi yang seharusnya dibiarkan tetap berada dalam dunia cyberspace di Internet, sementara seorang “kritikus sastra” yang sekaligus dosen sastra dari Jakarta, Maman S Mahayana, menyatakan bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka!
Kalau “pengadilan puisi” atas Graffiti Gratitude ini dilakukan dengan jujur dan adil, walau tidak mesti secara kritis sekalipun, peristiwa media massa cetak ini tentu akan jadi menarik dan perlu. Paling tidak, sebuah “polemik sastra” bisa terjadi dan lalulintas ide atau konsep soal puisi akan berjalan dari kedua belah pihak, pihak Internet dan pihak media cetak. Harapan yang lugu ini ternyata cuma tinggal harapan yang lugu belaka. “Pengadilan puisi” yang diciptakan oleh media massa cetak Indonesia itu ternyata cuma sebuah pameran penghinaan dan ketidakmampuan untuk bahkan melakukan sebuah “pengadilan” yang baik atas Graffiti Gratitude. Bagi mereka yang memilih “mutu puisi” sebagai sasaran serangan, terlihat dengan jelas ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam cara mereka “membaca” buku Graffiti Gratitude. Fokus mereka cuma sajak-sajak yang memang jelas bagi pembaca sastra awam sekalipun tidak berhasil menjadi puisi. Mereka sama sekali tidak membaca sajak-sajak lainnya yang bagus-bagus dan berhasil jadi puisi. “Politik pembacaan selektif” macam ini tentu saja hanya menimbulkan rasa curiga beralasan di kalangan penyair cyberpunk bahwa rasa cemburu atau iri hati karena tidak ikut serta dalam antologi Graffiti Gratitude merupakan alasan utama “pengadilan puisi” amatiran ini. Bukankah sesuatu yang sangat wajar kalau dalam sebuah antologi-bersama akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Bukankah sesuatu yang sangat wajar juga bila dalam sebuah antologi-tunggal pun akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Kenapa sajak-sajak yang gagal ini yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah keseluruhan isi buku yang justru dijadikan standar ukuran “mutu” keseluruhan antologi tersebut!
Sementara itu mereka yang “menuntut” lahirnya sebuah “estetika baru” dengan munculnya sastra cyberpunk juga melakukan sebuah tuntutan yang tidak jujur dan tidak adil. Kenapa mereka tidak melakukan hal yang sama atas “sastra koran”, “sastra majalah”, atau “sastra antologi” yang umur eksistensinya jauh lebih lama dibanding sastra cyberpunk tapi isi dan gaya produk-produk ketiganya sama sekali tidak menunjukkan “perbedaan estetika” antara satu medium dari medium yang lainnya itu! Demikian pula dengan mereka yang mengklaim bahwa penerbitan puisi cyberpunk dalam bentuk buku adalah sebuah pengkhianatan eksistensial. Betapa lucu dan mengada-ada pernyataan ini! Bukankah apa yang diklaim ini relevan juga untuk diajukan pada “sastra koran”, “sastra majalah” dan “sastra lisan” tapi, anehnya, tidak pernah dilakukan. Kenapa hanya pada sastra cyberpunk klaim yang kalau memang ada kebenarannya ini tiba-tiba dilontarkan! Sekarang saya mau bantu para eksistensialis sastra Indonesia ini untuk memperluas cakupan klaim mereka itu: Kenapa sastra koran, sastra majalah dan sastra lisan mesti dibukukan? Kenapa tidak dibiarkan saja sastra-sastra ini pada medium asalnya masing-masing? Bukankah hal ini sebuah pengkhianatan eksistensial? Pertanyaan yang bernada sama bisa juga disodorkan kepada “kritikus sastra” Maman S Mahayana. Apakah sebenarnya “penyair” atau “sastrawan” itu? Apakah ada relevansi teoritis antara “produktivitas” dan identitas seorang sastrawan? Kenapa Chairil Anwar yang cuma menulis sekitar 70an puisi itu bisa disebut “penyair” sementara bukankah Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja dikenal hanya berdasarkan satu novel belaka?
Bagi saya, “pengadilan puisi” atas buku kumpulan puisi cyberpunk Graffiti Gratitude oleh media massa cetak Indonesia ini cuma menguatkan kepercayaan saya bahwa “krisis kritik sastra” di Indonesia bukan saja ada tapi malah sangat parah kondisinya.
Di koran Pikiran Rakyat Bandung di bulan Agustus dan September 2002 terjadi “polemik” atas sebuah produk terakhir dari komunitas sastra cyberpunk Indonesia di bawah naungan YMS. Produk yang menimbulkan persoalan kali ini adalah sebuah antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang dinamakan CYBERpuitika. Antologi puisi digital ini dikatakan “multimedia” karena setiap teks puisi di dalamnya dikolase dengan teks visual berupa lukisan atau fotografi dan teks musik. Perkawinan ketiga teks yang mewakili tiga jenis seni yang berbeda ini ternyata menimbulkan suara-suara sumbang yang menuduh bahwa “teks” puisi dalam CYBERpuitika telah dikorbankan statusnya sebagai sebuah “karya seni” karena disandingkan dengan teks visual dan teks musik! Bahkan lebih hebat lagi karena sudah keluar dari konteks “polemik” koran tersebut, ada seorang penyair “senior” lokal dengan lagak seorang “kritikus” selebritis menulis bahwa “dosa” sastra Indonesia di Internet adalah “kebebasan” yang diberikannya bagi “penulis pemula” untuk menulis sastra, seolah-olah seseorang itu baru bisa menulis sastra atau disebut sebagai “sastrawan” kalau sudah mendapat “restu” dari dia! Dengan nada tulisan yang sangat patronising alias sok tahu dan merasa diri sendiri sudah menjadi sastrawan besar Indonesia, penyair pedalaman yang megalomaniak ini mengejek dunia sastra Internet – yang tidak diketahuinya sedikitpun apa dan bagaimana itu – sebagai cuma sekedar “labirin main-main”, sebuah “arena play-group dan play-station” para penulis “pemula” belaka! (Istilah ejekan yang umum dipakai untuk menyerang keberadaan sastra cyberpunk Indonesia, terutama karena kebebasan yang diberikannya kepada siapa saja untuk menulis sastra tanpa mempermasalahkan “jam terbang” karier kepenulisan seseorang, adalah “tong sampah”. Maksud dari istilah yang diciptakan redaktur sastra koran Republika Ahmadun Y Herfanda ini adalah bahwa karya-karya sastra yang disebut sastra cyberpunk Indonesia itu secara umum merupakan karya-karya yang dikirim ke, tapi gagal lolos seleksi untuk bisa muncul di, koran-koran Minggu Indonesia!) Walau pretensi “polemik” media cetak koran itu adalah “diskusi kritis”, apa yang mampu ditawarkannya ternyata hanya merupakan sederetan “pseudo” belaka: pseudo-polemik, pseudo-kritik, pseudo-kritikus dan akhirnya pseudo-sastrawan-senior. Tidak adanya pengetahuan tentang sastra Internet yang disebut “sastra cyberpunk”, tidak adanya pengetahuan tentang hakekat “teks” tulisan dalam dunia Internet yang disebut “hyper-text” dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui jaringan “hyper-link” (dan bahkan absennya pemahaman tentang arti istilah “teks” dalam pemakaian sehari-hari dalam wacana kebudayaan saat ini) dan tidak adanya pengetahuan tentang seni kolase (collage art) yang menggabung-gabungkan berbagai bentuk seni menjadi satu seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyberpunk Indonesia di Bandung untuk introspeksi. Mereka “merasa” mereka sudah tahu semuanya!
Persoalan “krisis kritik(us)” tidak hanya terjadi di dunia sastra saja tapi di keseluruhan dunia seni Indonesia. Kalau kita mau sedikit rendah hati, tidak kelewat defensif dan esensialis narsisistik dan belajar dari kenyataan di luar Indonesia terutama di Barat (seperti yang selama ini selalu dilontarkan para “kritikus” lokal khususnya terhadap sastrawan Indonesia dalam konteks rendahnya mutu karya seni sastra kita dibanding karya sastra Barat) maka akan terlihatlah betapa parahnya krisis yang sedang dialami dunia seni kita. Di Barat semua cabang seni yang ada – sastra, teater, seni rupa, musik, tari, film atau fotografi – memiliki tulisan-tulisan “kritik” yang tidak lagi sekedar apresiasi atau pengantar atas sebuah karya seni atau seorang seniman belaka tapi sudah mencapai kualitas mempengaruhi arah perkembangan seni itu sendiri. Dan tidak setiap penulis tentang seni akan dianggap atau bersedia menganggap dirinya sebagai “kritikus” seni, seperti yang biasa terjadi di Indonesia. Arti istilah “kritik(us)” tidak dianggap main-main karena adanya pertanggungjawaban profesional diharapkan dari para “kritikus” yang menulis “kritik” seni, karena “kritikus” adalah sebuah “profesi” sama seperti pengacara atau dokter gigi. Seorang Clement Greenberg, misalnya, tidak bisa dipisahkan kehadirannya dengan gerakan seni rupa Ekspresionisme Abstrak di Amerika Serikat yang diperkenalkan dan dibelanya di tahun 1940an, di masa publik seni rupa Amerika Serikat sendiri masih terperangkap dalam euforia Cubisme Picasso. Seorang diri dia berhasil menjatuhkan pamor mapan Cubisme di New York tahun 1940an dan menggantikannya dengan sebuah gerakan seni lokal yang tidak dianggap apa-apa sebelumnya karena asal-usul lokalnya itu (bukan made-in-Paris, seperti Cubisme), yaitu Ekspresionisme Abstrak, atau Abstract Expressionism. Kontribusi pemikiran dalam memperkenalkan dan membela Ekspresionisme Abstrak (bukan “Abstrak” Ekspresionis seperti yang biasa disalah-terjemahkan di Indonesia!) yang dilakukan Clement Greenberg terutama lewat esei-esei kritisnya mungkin dapat kita sejajarkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh kritikus HB Jassin atas Chairil Anwar dalam sastra modern kita. Orisinalitas pemikiran seperti yang direpresentasikan kedua kritikus seni ini secara umum absen dalam dunia seni kita dan fakta inilah yang merupakan alasan utama kenapa saya menganggap tidak ada tradisi kritik(us) seni dalam dunia seni terutama sastra Indonesia. Di dunia sastra Anglo-Saxon yang berbahasa Inggris, esei-esei penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot begitu berpengaruh hingga memungkinkan munculnya sebuah gerakan kritik sastra baru di sastra Amerika Serikat, yaitu New Criticism yang berusaha membuat kritik sastra menjadi sebuah sains sama seperti sosiologi atau sejarah. Di negeri Inggris, kritikus sastra FR Leavis melakukan hal yang sama lewat tulisan-tulisan kritik sastranya yang membuatnya menjadi semacam “paus sastra” dunia sastra Inggris. Belum lagi kalau kita juga mempertimbangkan sumbangan para “teoritikus/kritikus” asal Prancis yang mendominasi wacana pemikiran intelektual kontemporer internasional seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Julia Kristeva dan Jean Baudrillard! Sementara India yang sama seperti Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga itu harum namanya di dunia intelektual internasional dengan sumbangan pemikiran yang dikenal sebagai Kritik Subaltern atau Kritik Pascakolonial. Kapan para “kritikus” Indonesia bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi peradaban manusia!
Krisis “kritik(us)” sastra di Indonesia jauh lebih parah kondisinya daripada “krisis ekonomi” yang, konon, melanda negeri realisme-magis yang terus-menerus dibanjiri dengan mobil mewah, sepeda motor asal Cina dan HP model terakhir ini. Dan masih belum ada tanda-tanda zaman bahwa krisis “kritik(us)” sastra ini akan berakhir dalam waktu dekat. Mungkin penyebab utama terjadinya krisis ini adalah kebiasaan yang umum terjadi di Indonesia bahwa setiap orang yang menulis tentang sesuatu akan dengan mudah langsung saja dianggap sebagai “pakar” sesuatu itu, tanpa ada kekritisan untuk paling tidak “menyangsikan” kebenaran yang dikandung tulisan “pakar” tersebut. Siapa saja menulis “tentang” sastra, misalnya, apalagi kalau dia itu sudah lebih dulu dikenal sebagai sastrawan atau dosen sastra, maka jadi “pakar” atau “kritikus sastra”lah dia. “Kepasrahan” menerima seperti ini kayaknya sudah membudaya hingga hilanglah bekas-bekas “kekritisan” pemikiran yang mungkin pernah ada. Sementara mereka-mereka yang disebut sebagai “pakar/kritikus” itu sendiri nampaknya tidak memiliki problem moral dan intelektual atas sebutan yang diberikan kepada mereka, walau mereka tahu betul bagaimana kebenaran dari realitas intelektual mereka masing-masing.
Ketimbang “menuntut” suatu sikap “I Think, Therefore I Am A Critic” dari mereka-mereka yang mengaku/diakui sebagai “kritikus” sastra Indonesia, kita kayaknya sudah sangat puas dengan sekedar sikap “I Feel (Good), Therefore You Are An Artist” belaka dari mereka! Akibatnya, begitu besarnya rasa percaya diri para “kritikus” ini hingga kalau ada orang yang berani mempertanyakan jatidiri mereka sebagai “kritikus” langsung saja dijawab, seperti yang dilakukan Maman S Mahayana dalam sebuah tulisannya di Kompas beberapa tahun lalu yang berpretensi merespons esei saya tentang krisis kritik(us) sastra, bahwa yang bertanya itu “apriori terhadap kritik” sastra Indonesia. Atau si penanya hanya memiliki “pemahaman yang fragmentaris atas hakikat dan fungsi kritik” sastra! Malah dianjurkannya lagi supaya jangan menyalahkan lantai kalau tak pandai berdansa! Salsa, anyone!
Kalau seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sudah berkali-kali menjadi nominasi pemenang hadiah sastra paling bergengsi di dunia, yaitu Hadiah Nobel, bukankah sesuatu yang sangat wajar dan tidak keterlaluan kalau kita juga mengharapkan ada “kritikus sastra” Indonesia yang benar-benar bisa menghasilkan karya “kritik” atas karya sastra Indonesia dan tidak melulu melakukan “penceritaan kembali” atas apa yang sudah retak di luar sana?
Sajak-Sajak Saut Situmorang
Sajak-Sajak Saut Situmorang
SABULAN
Hujan tumpah dari
langit
bagai Danau Toba
jebol
tanggulnya
dan
menghanyutkan
semuanya,
hutan,
batu batu
gunung,
rumah rumah,
dan jerit anak anak ketakutan,
masuk ke
dalam mimpi
tidurku
yang tak kan
terbangun
lagi
oleh lonceng
gereja
di Minggu pagi
senyum lembut
daun bambu di
sekitar kampungku…
Kuburkanlah mayatku dengan tulus doamu
Jogja, Mei 2010
CINTA
1.
Hidup hanyalah menunda jarak perpisahan sebelum cinta kau mengerti…
Di kota ini cinta bicara dalam metafora yang berbeda. Perahu dan bintang di laut malam adalah kekasih yang dipisah semenanjung kecil penuh nyiur yang melambai salam perpisahan dan selamat datang. Hidup cuma gelombang ombak di pasir pantai, panjang pendek tapi tak pernah meninggalkan karang tempat camar camar membangun sarang musim hujannya.
2.
Di antara tetes air hujan di atap rumah yang terus menerus mengingatkan pada makin larutnya malam dan suara desir kipas angin yang membawa dingin malam ke dalam rumah, kata kata bergolak panas ingin berteriak ke kaku garis garis dinding kamar: Berikan aku metafora untuk menaklukkan kebosanan! Kata kata seperti kucing jantan sendiri di bawah wuwungan rumah mencari birahi yang lenyap dalam gelap malam. Sesekali terdengar lirih keluh kereta api di stasiunnya yang jauh. Kalau kau mendengar tetes hujan di atap rumahmu malam ini, kau rasakankah birahi malam di kaca jendela yang berkabut basah? Suara keluh kereta yang jauh seperti zikir doa yang sia sia memberi sepi makna. Malam makin larut, tetes hujan makin hanyut dalam birahi kata yang memanggil manggil metafora dalam sebuah nama, namamu, Cinta.
SABULAN
Hujan tumpah dari
langit
bagai Danau Toba
jebol
tanggulnya
dan
menghanyutkan
semuanya,
hutan,
batu batu
gunung,
rumah rumah,
dan jerit anak anak ketakutan,
masuk ke
dalam mimpi
tidurku
yang tak kan
terbangun
lagi
oleh lonceng
gereja
di Minggu pagi
senyum lembut
daun bambu di
sekitar kampungku…
Kuburkanlah mayatku dengan tulus doamu
Jogja, Mei 2010
CINTA
1.
Hidup hanyalah menunda jarak perpisahan sebelum cinta kau mengerti…
Di kota ini cinta bicara dalam metafora yang berbeda. Perahu dan bintang di laut malam adalah kekasih yang dipisah semenanjung kecil penuh nyiur yang melambai salam perpisahan dan selamat datang. Hidup cuma gelombang ombak di pasir pantai, panjang pendek tapi tak pernah meninggalkan karang tempat camar camar membangun sarang musim hujannya.
2.
Di antara tetes air hujan di atap rumah yang terus menerus mengingatkan pada makin larutnya malam dan suara desir kipas angin yang membawa dingin malam ke dalam rumah, kata kata bergolak panas ingin berteriak ke kaku garis garis dinding kamar: Berikan aku metafora untuk menaklukkan kebosanan! Kata kata seperti kucing jantan sendiri di bawah wuwungan rumah mencari birahi yang lenyap dalam gelap malam. Sesekali terdengar lirih keluh kereta api di stasiunnya yang jauh. Kalau kau mendengar tetes hujan di atap rumahmu malam ini, kau rasakankah birahi malam di kaca jendela yang berkabut basah? Suara keluh kereta yang jauh seperti zikir doa yang sia sia memberi sepi makna. Malam makin larut, tetes hujan makin hanyut dalam birahi kata yang memanggil manggil metafora dalam sebuah nama, namamu, Cinta.
Ekstasi Puisi
Ekstasi Puisi
Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Di saat sedang membaca puisi, terutama kalau puisi yang sedang saya baca itu mampu menimbulkan apa yang oleh si pemikir Junani Kuno Aristoteles disebut sebagai “katharsis”, yaitu semacam rasa nikmat ekstasi-tekstual, atau tekstasi, saya selalu dikonfrontasi oleh sebuah pertanyaan: Kenapa bisa timbul tekstasi tersebut? Apa yang menyebabkannya?
Tapi perlu buru-buru saya tambahkan bahwa “rasa nikmat ekstasi-tekstual” atau “tekstasi” itu tidak terjadi karena saya kebetulan membaca puisi seorang penyair yang sudah terkenal. Maksud saya, terkenal-tidaknya “nama” seorang penyair, bagi saya, tidak otomatis menimbulkan katarsis dalam peristiwa pembacaan yang saya lakukan. Reputasi biografis seorang penyair terkenal paling-paling cuma menambah rasa suspense, atau harapan-untuk-kejutan, yang lebih besar saja bagi kemungkinan terjadinya sebuah katarsis. Bahkan tidak jarang banyak sajak para penyair terkenal ternyata hanya mampu untuk tidak menimbulkan respons apa-apa pada diri saya, kecuali rasa mual tekstual, setelah membacanya, sehingga membuat saya heran kok sajak beginian bisa keluar dari imajinasi seorang yang terkenal. Malah sangat sering membuat saya menggerutu, apa sebenarnya yang membuat si penyair bisa terkenal. Sebaliknya, tidak jarang ada sajak penyair keroco, penyair sekedar, bahkan penyair pemula yang justru membuat saya terangsang secara tekstual, dan menimbulkan katarsis tadi. Jadi, belajar dari pengalaman, ternyata dalam dunia kepenyairan, dalam dunia kang-ouw puisi, nama bukanlah merek yang bisa menjamin atau menentukan mutu, seperti di dunia kapitalisme konsumer. Kembali ke pertanyaan di awal esei saya ini, lantas apa yang menyebabkan sebuah puisi bisa menimbulkan katarsis setelah membacanya?
Jawaban akademis yang biasanya diberikan adalah apa yang dalam teori sastra disebut sebagai faktor “kesastraan” (literariness) sebuah teks puisi. Faktor kesastraan sebuah teks puisi tak lebih tak kurang adalah unsur-unsur linguistik yang diyakini merupakan elemen-elemen paling penting dalam anatomi teks, yakni pola-pola bunyi dan sintaksisnya seperti repetisi, aliterasi, rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya, termasuk juga kadar sering munculnya kata-kata kunci atau imaji-imaji tertentu. Inilah yang disebut sebagai “alat artistik” (bahasa) puisi itu yang fungsinya bukan sebagai hiasan-tambahan bagi makna puisi, tapi justru menyebabkan perombakan total bahasa di tingkat semantik, bunyi dan sintaksisnya. Singkatnya, faktor kesastraan inilah yang membuat bahasa teks puisi dianggap unik, berbeda, dari bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Atau dalam kata lain, inilah bedanya bahasa puitis dari bahasa prosais itu.
Bagi saya sendiri, kesastraan bahasa puisi seperti yang diungkapkan kaum Formalis Rusia di atas masih belum cukup untuk membuat sebuah puisi berhasil menjadi puisi, mampu menciptakan katarsis. Ada faktor lain di luar faktor linguistik (pola persajakan/versifikasi, misalnya) yang juga memiliki fungsi artistik yang tidak kalah pentingnya dalam membuat “sebuah sajak menjadi” (dalam istilah Chairil Anwar). Faktor lain ini adalah apa yang oleh kaum Kritik Baru Amerika disebut sebagai “relasi timbal-balik yang kompleks antara aspek-aspek ironi, paradoks, dan metafor dari makna bahasa sebuah puisi, serta pengorganisasian ketiganya di sekitar sebuah ‘tema’ kemanusiaan yang penting”. Kombinasi dari kedua pandangan inilah, bagi saya, yang menjadi hakekat “kesastraan” sebuah puisi, yang memungkinkannya untuk menimbulkan ekstasi-tekstual pada pembacanya. Paling tidak, di sisi lain, kedua definisi “kesastraan” puisi ini mesti disadari seseorang yang ingin melakukan sebuah close-reading atas puisi, sebuah pembacaan yang mendetil dan jelas atas kompleksitas antar-relasi dan ambiguitas dari unsur-unsur yang membangun sebuah karya.
Kombinasi kedua pandangan di atas biasanya akan kita temukan dalam sajak yang menjadi. Dan sajak yang menjadi ini biasanya adalah sajak yang bercerita, sajak yang memiliki sebuah topik pembicaraan, bisa tentang percintaan, kelahiran, kematian, matahari dan bulan, atau ketuhanan, yaitu pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman, mengutip Chairil lagi, dan tidak sekedar berindah-indah dengan permainan kata atau dengan musikalitas kesamaan bunyi kata. Bagi selera saya sendiri, semua sajak Chairil dan sajak-sajak Rendra dalam kumpulan Blues untuk Bonnie adalah sajak-sajak bercerita yang menjadi.
Kematangan penguasaan bahasa (dalam phrasing diksi dan irama metrikalnya) dan intensitas penghayatan pengalaman hidup merupakan dua hal yang tak dapat ditawar-tawar bagi seseorang yang ingin menjadi seorang penyair yang menjadi. Kemampuan teknis yang matang untuk menceritakan pengalaman hidup yang dengan intens dihayati adalah ciri utama puisi Chairil dan puisi Rendra di atas. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai imajinasi itu. Satu saja dari kedua persyaratan utama untuk menjadi penyair yang menjadi ini tidak dimiliki, maka apa yang kita hadapi bukanlah sebuah imajinasi tapi khayalan kosong belaka. Dan penyair yang bisanya hanya berkhayal belaka bukanlah seorang penyair yang menjadi, tapi cuma seseorang yang menjadi penyair sekedar, malah mungkin, tanpa disadarinya sendiri, cuma seseorang yang menjadi penyair gagal.
Karena, seperti yang diyakini Chairil sendiri:
“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.
Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya. Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penyair, menjadi sebagian dari dia, suka dan dukanya sendiri kepunyaannya, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).”
Kalau kita perhatikan pernyataan kredo puisi Chairil yang sengaja saya kutip dengan panjang itu maka terlihatlah betapa bagi Chairil penghayatan kehidupan yang intens (alam dan penghidupan sekeliling, hasil-hasil seni lain, pikiran-pikiran orang lain) merupakan unsur utama sajak yang menjadi itu. Begitu juga dengan kematangan teknik, yang dengan khas disebut Chairil sebagai “tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran”. Hidupnya istilah-istilah yang dipakai Chairil dalam kutipan di atas, tidak bisa tidak, menunjukkan betapa bagi dirinya sebuah sajak yang menjadi itu bukanlah sebuah sajak yang asal-jadi. Intensitas adalah segalanya. Itulah sebabnya bagi dia sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, suatu dunia baru, yang indah serta mengharukan, dan dunia itu menjadi kepunyaan penyair itu sendiri. Dan memang intensitas penghayatan kehidupan dan kematangan berbahasalah yang kita alami setiap kali kita membaca puisi Chairil. Pengalaman pembacaan macam inilah yang menimbulkan katarsis, tekstasi, atau rasa yang indah serta mengharukan itu.
Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Di saat sedang membaca puisi, terutama kalau puisi yang sedang saya baca itu mampu menimbulkan apa yang oleh si pemikir Junani Kuno Aristoteles disebut sebagai “katharsis”, yaitu semacam rasa nikmat ekstasi-tekstual, atau tekstasi, saya selalu dikonfrontasi oleh sebuah pertanyaan: Kenapa bisa timbul tekstasi tersebut? Apa yang menyebabkannya?
Tapi perlu buru-buru saya tambahkan bahwa “rasa nikmat ekstasi-tekstual” atau “tekstasi” itu tidak terjadi karena saya kebetulan membaca puisi seorang penyair yang sudah terkenal. Maksud saya, terkenal-tidaknya “nama” seorang penyair, bagi saya, tidak otomatis menimbulkan katarsis dalam peristiwa pembacaan yang saya lakukan. Reputasi biografis seorang penyair terkenal paling-paling cuma menambah rasa suspense, atau harapan-untuk-kejutan, yang lebih besar saja bagi kemungkinan terjadinya sebuah katarsis. Bahkan tidak jarang banyak sajak para penyair terkenal ternyata hanya mampu untuk tidak menimbulkan respons apa-apa pada diri saya, kecuali rasa mual tekstual, setelah membacanya, sehingga membuat saya heran kok sajak beginian bisa keluar dari imajinasi seorang yang terkenal. Malah sangat sering membuat saya menggerutu, apa sebenarnya yang membuat si penyair bisa terkenal. Sebaliknya, tidak jarang ada sajak penyair keroco, penyair sekedar, bahkan penyair pemula yang justru membuat saya terangsang secara tekstual, dan menimbulkan katarsis tadi. Jadi, belajar dari pengalaman, ternyata dalam dunia kepenyairan, dalam dunia kang-ouw puisi, nama bukanlah merek yang bisa menjamin atau menentukan mutu, seperti di dunia kapitalisme konsumer. Kembali ke pertanyaan di awal esei saya ini, lantas apa yang menyebabkan sebuah puisi bisa menimbulkan katarsis setelah membacanya?
Jawaban akademis yang biasanya diberikan adalah apa yang dalam teori sastra disebut sebagai faktor “kesastraan” (literariness) sebuah teks puisi. Faktor kesastraan sebuah teks puisi tak lebih tak kurang adalah unsur-unsur linguistik yang diyakini merupakan elemen-elemen paling penting dalam anatomi teks, yakni pola-pola bunyi dan sintaksisnya seperti repetisi, aliterasi, rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya, termasuk juga kadar sering munculnya kata-kata kunci atau imaji-imaji tertentu. Inilah yang disebut sebagai “alat artistik” (bahasa) puisi itu yang fungsinya bukan sebagai hiasan-tambahan bagi makna puisi, tapi justru menyebabkan perombakan total bahasa di tingkat semantik, bunyi dan sintaksisnya. Singkatnya, faktor kesastraan inilah yang membuat bahasa teks puisi dianggap unik, berbeda, dari bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Atau dalam kata lain, inilah bedanya bahasa puitis dari bahasa prosais itu.
Bagi saya sendiri, kesastraan bahasa puisi seperti yang diungkapkan kaum Formalis Rusia di atas masih belum cukup untuk membuat sebuah puisi berhasil menjadi puisi, mampu menciptakan katarsis. Ada faktor lain di luar faktor linguistik (pola persajakan/versifikasi, misalnya) yang juga memiliki fungsi artistik yang tidak kalah pentingnya dalam membuat “sebuah sajak menjadi” (dalam istilah Chairil Anwar). Faktor lain ini adalah apa yang oleh kaum Kritik Baru Amerika disebut sebagai “relasi timbal-balik yang kompleks antara aspek-aspek ironi, paradoks, dan metafor dari makna bahasa sebuah puisi, serta pengorganisasian ketiganya di sekitar sebuah ‘tema’ kemanusiaan yang penting”. Kombinasi dari kedua pandangan inilah, bagi saya, yang menjadi hakekat “kesastraan” sebuah puisi, yang memungkinkannya untuk menimbulkan ekstasi-tekstual pada pembacanya. Paling tidak, di sisi lain, kedua definisi “kesastraan” puisi ini mesti disadari seseorang yang ingin melakukan sebuah close-reading atas puisi, sebuah pembacaan yang mendetil dan jelas atas kompleksitas antar-relasi dan ambiguitas dari unsur-unsur yang membangun sebuah karya.
Kombinasi kedua pandangan di atas biasanya akan kita temukan dalam sajak yang menjadi. Dan sajak yang menjadi ini biasanya adalah sajak yang bercerita, sajak yang memiliki sebuah topik pembicaraan, bisa tentang percintaan, kelahiran, kematian, matahari dan bulan, atau ketuhanan, yaitu pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman, mengutip Chairil lagi, dan tidak sekedar berindah-indah dengan permainan kata atau dengan musikalitas kesamaan bunyi kata. Bagi selera saya sendiri, semua sajak Chairil dan sajak-sajak Rendra dalam kumpulan Blues untuk Bonnie adalah sajak-sajak bercerita yang menjadi.
Kematangan penguasaan bahasa (dalam phrasing diksi dan irama metrikalnya) dan intensitas penghayatan pengalaman hidup merupakan dua hal yang tak dapat ditawar-tawar bagi seseorang yang ingin menjadi seorang penyair yang menjadi. Kemampuan teknis yang matang untuk menceritakan pengalaman hidup yang dengan intens dihayati adalah ciri utama puisi Chairil dan puisi Rendra di atas. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai imajinasi itu. Satu saja dari kedua persyaratan utama untuk menjadi penyair yang menjadi ini tidak dimiliki, maka apa yang kita hadapi bukanlah sebuah imajinasi tapi khayalan kosong belaka. Dan penyair yang bisanya hanya berkhayal belaka bukanlah seorang penyair yang menjadi, tapi cuma seseorang yang menjadi penyair sekedar, malah mungkin, tanpa disadarinya sendiri, cuma seseorang yang menjadi penyair gagal.
Karena, seperti yang diyakini Chairil sendiri:
“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.
Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya. Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penyair, menjadi sebagian dari dia, suka dan dukanya sendiri kepunyaannya, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).”
Kalau kita perhatikan pernyataan kredo puisi Chairil yang sengaja saya kutip dengan panjang itu maka terlihatlah betapa bagi Chairil penghayatan kehidupan yang intens (alam dan penghidupan sekeliling, hasil-hasil seni lain, pikiran-pikiran orang lain) merupakan unsur utama sajak yang menjadi itu. Begitu juga dengan kematangan teknik, yang dengan khas disebut Chairil sebagai “tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran”. Hidupnya istilah-istilah yang dipakai Chairil dalam kutipan di atas, tidak bisa tidak, menunjukkan betapa bagi dirinya sebuah sajak yang menjadi itu bukanlah sebuah sajak yang asal-jadi. Intensitas adalah segalanya. Itulah sebabnya bagi dia sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, suatu dunia baru, yang indah serta mengharukan, dan dunia itu menjadi kepunyaan penyair itu sendiri. Dan memang intensitas penghayatan kehidupan dan kematangan berbahasalah yang kita alami setiap kali kita membaca puisi Chairil. Pengalaman pembacaan macam inilah yang menimbulkan katarsis, tekstasi, atau rasa yang indah serta mengharukan itu.
Politik Kanonisasi Sastra
Politik Kanonisasi Sastra
Saut Situmorang
http://www.facebook.com/note.php?note_id=45356609697
Dalam dunia sastra Indonesia banyak pengarang sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra, yang konon universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi, itu memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra. Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi para pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tsb, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim”.
Bagi para pengarang yang tidak berbakat alam – jumlah mereka sangat sedikit di Indonesia – istilah “kanon sastra” tentu bukan merupakan sebuah istilah eksotis-filosofis kayak “substansi” sastra atau sastra “sublim”. Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.
Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Apakah karena puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis?
Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini para pengarang bakat alam yang romantik itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?
Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan seperti dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia dimana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tsb tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana. Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah, misalnya, membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibatnya terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai Sastra Indonesia itu.
***
Istilah “kanon”, atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata bahasa Junani Kuno, yaitu kanon, yang berarti sebuah “buluh” atau sebuah “tongkat” yang dipakai sebagai alat pengukur. Istilah ini di kemudian hari memiliki makna tambahan yaitu “peraturan” atau “hukum” dan makna ini yang akhirnya menjadi makna utamanya dalam bahasa-bahasa modern Eropa. Dalam konteks kritik sastra, istilah “kanon” menjadi sebuah istilah penting setelah dipakai di abad 4 M dalam merujuk ke daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel dan para theolog awal agama tsb. Di sini istilah “kanon” memiliki arti sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana atau teks-teks tertentu mana yang dianggap lebih pantas untuk dilestarikan dibanding yang lainnya. Teks-teks dan pengarang-pengarang yang gagal masuk kanon Bibel tsb (disebut “apokrifa” dalam tradisi Kristen) tidak berhasil karena alasan dogma: para pemimpin agama Kristen awal harus memutuskan “ajaran-ajaran” mana yang harus diajarkan kepada para pengikutnya. Para pembuat kanon Bibel di awal berkembangnya agama Kristen ini tidak begitu peduli dengan “keindahan” teks-teks yang mereka pilih atau sifat universalitasnya. Yang paling penting bagi mereka adalah bahwa teks-teks tsb “sesuai” dengan standar komunitas mereka, atau dengan “peraturan/hukum” mereka. Tujuan utama mereka lebih kepada memisahkan mana yang ortodoks dan mana yang bidah.
Dalam konteks sastra banyak kritikus sastra di luar Indonesia yakin bahwa seleksi atas karya-karya sastra untuk “kanonisasi” – yaitu karya-karya yang disebut sebagai karya “klasik” itu – terjadi sama seperti pada kanon Bibel. Para kritikus ini yakin bahwa di balik pretensi “objektivitas” penilaian mutu karya terdapat sebuah agenda politik terselubung, yaitu eksklusi atas banyak kelompok dari representasi dalam kanon sastra. Sebuah contoh yang paling sering disebutkan adalah fakta lebih sedikitnya jumlah sastrawan (jenis kelamin) perempuan dalam kanon sastra. Atau begitu sedikitnya jumlah pengarang non-Eropa (bukan kulit putih) dalam kanon sastra berbahasa Inggris, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah karya para sastrawan yang tidak masuk kanon sastra ini – sastrawan perempuan dan sastrawan bukan kulit putih – memang lebih rendah mutunya dibanding karya-karya kanon? Bagaimana menentukan tinggi-rendahnya “mutu” sastra? Apa itu “mutu” sastra?
***
Di sastra Indonesia persoalan “mutu” sebuah karya sastra selalu dikaitkan dengan sifat “universal” yang dianggap dimiliki oleh sebuah karya yang “bermutu”. Sebuah karya yang dianggap “bermutu” tinggi pasti juga akan “universal” pengakuan atas “mutu” yang dimilikinya itu. Perbedaan konteks budaya dan waktu/zaman, misalnya, dianggap tidak berlaku atas sebuah karya yang “bermutu”. “Mutu” sebuah karya berbanding lurus dengan “universalitas” pengakuan atasnya, demikianlah keyakinan kebanyakan sastrawan Indonesia. “Mutu” itu sendiri sangat diyakini sudah inheren dimiliki oleh setiap karya sastra yang dianggap “berhasil”. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan para pengarang bakat alam yang romantik itu sebagai “substansi” atau “sublimitas” karya sastra.
Kalau memang benar “substansi” sastra itu ada dan keberadaannya tidak dipengaruhi sama sekali oleh faktor-faktor dari luar teks sastra, maka bagaimana, misalnya, menjelaskan tentang “kegagalan” para sastrawan dunia seperti Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, James Joyce, DH Lawrence, Virginia Woolf, Ezra Pound, Bertolt Brecht, George Orwell, Paul Eluard, Jorge Luis Borges… sampai Pramoedya Ananta Toer untuk “memenangkan” Hadiah Nobel Sastra, hadiah sastra paling bergengsi di planet ini? Apakah “substansi” karya sastra mereka lebih buruk “sublimitas”nya dibanding para sastrawan pemenang Nobel Sastra? Atau seperti yang pernah dipertanyakan oleh sastrawan Eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, waktu menolak menerima Hadiah Nobel Sastra 1964 yang “dimenangkan”nya: Dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet dulu, kenapa sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak mendapat Hadiah Nobel Sastra? (Kasus Sartre sendiri unik. Sebenarnya yang seharusnya mendapat Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu adalah penyair Komunis asal Chile, Pablo Neruda. Tapi “status” Neruda sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Chile dan bahwa Neruda pada tahun 1953 dianugrahi Hadiah Stalin untuk puisinya telah membuat badan intelijen Amerika Serikat CIA panas-dingin dan melalui lembaga “kebudayaan” yang dibentuknya pada 1950 dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, yaitu “Congress for Cultural Freedom”, telah berhasil mempengaruhi Panitia Nobel untuk tidak memilih Neruda tahun 1964 itu. Ironisnya, Sartre yang “dimenangkan” Panitia Nobel justru menolak menerima Hadiah Nobelnya! (lihat: Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War (Granta Books, 2000) karya Frances Stonor Saunders.)
Di dunia ini intelektual manakah yang belum pernah mengenal penyair cum dramawan Inggris bernama William Shakespeare? Walaupun belum tentu pernah membaca karya aslinya, setiap orang yang menganggap dirinya “berbudaya” pasti paling tidak akan mengaku pernah mendengar nama sastrawan yang hidup di paroh kedua abad 16 Inggris ini. Justru di sinilah persoalannya. Karya-karya Shakespeare tidak dibaca luas tapi keuniversalan namanya fenomenal. Mungkin Shakespeare adalah contoh dari sastra yang punya “substansi” dan “sublim” itu. Tapi benarkah karya-karya Shakespeare yang terbaik sekalipun memang secara “estetika” sempurna tidak bercacat?
Ternyata munculnya apa yang dikenal sebagai Teori Sastra Pascakolonial sebagai akibat terbitnya buku Orientalism (1978) karya pengarang kelahiran Palestina, Edward Said, telah menyebabkan terjadinya “pembacaan-ulang” atas para sastrawan kanon Barat termasuk Shakespeare. Dan hasilnya: Shakespeare adalah seorang sastrawan rasis dalam karya-karyanya yang tokoh-tokohnya “berkulit berwarna”, seperti The Merchant of Venice (1596), Othello (1604), dan The Tempest (1611).
Hal yang sama terjadi juga atas Joseph Conrad, yang dianggap salah seorang novelis terbesar Inggris. Karya-karya bekas pelaut kelahiran Polandia ini banyak mengambil setting cerita di negeri-negeri yang pernah dia singgahi seperti Afrika, Indonesia dan Amerika Latin. Sebuah novel pendeknya yang dianggap salah satu novel terdahsyat dalam bahasa Inggris yaitu Heart of Darkness (1902) yang bersetting di pedalaman Afrika di tepi Sungai Kongo dicaci-maki dengan keras oleh novelis besar Afrika Chinua Achebe sebagai sebuah novel jelek karena sangat rasisnya dalam menggambarkan orang kulit hitam Afrika. Beberapa novel lain Conrad seperti Almayer’s Folly (1895) dan Lord Jim (1900) mengambil latar-cerita di Kalimantan dan Jawa periode kolonialisme Belanda. Tentu akan menarik sekali untuk mengetahui bagaimana reaksi pembaca kontemporer Indonesia asal Kalimantan dan Jawa dalam menanggapi penggambaran orang-orang lokal kedua daerah tsb dalam kedua novel Conrad itu.
Di Indonesia sendiri kita juga memiliki banyak contoh dari terjadinya apa yang saya sebut sebagai politik kanonisasi sastra ini. Seperti nama William Shakespeare di dunia internasional, di Indonesia siapakah intelektual kita yang tidak pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer! Bagi mereka yang serius membaca karya sastra Indonesia akan mengerti bahwa dari keseluruhan fiksi yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh Pram (ataupun oleh para novelis Indonesia lainnya) maka seri-novel yang dihasilkannya selama menjalani hukuman-tanpa-pengadilan rejim Orde Baru di Pulau Buru yang terkenal dengan nama Tetralogi Buru itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan karya terbaik Pram dan salah satu karya terbaik fiksi dalam sejarah sastra Indonesia. Justru karena Tetralogi Buru inilah nama Pram berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Tapi apa yang terjadi dengan seri-novel ini di Indonesia sendiri? Kita semua tahu karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tetralogi Buru dilarang di Indonesia! Selama rejim militer Suharto berkuasa, siapa saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara (dan disiksa lagi!) sebagai seorang subversif atau pengkhianat bangsa dan negara!
Setelah rejim Suharto jatuh dan tidak berkuasa lagi, publikasi dan pemilikan atas Tetralogi Buru tidak lagi mengakibatkan penangkapan dan pemenjaraan tapi larangan atasnya tetap berlaku. Larangan yang masih terus berjalan itu adalah larangan untuk mempelajarinya secara formal di sekolah dan perguruan tinggi.
Kalau kita tanya apa sebenarnya alasan yang membuat Tetralogi Buru harus dilarang padahal keempat novel itu merupakan sebuah gugatan kritis seorang sastrawan Indonesia atas (sejarah) kolonialisme Belanda di Indonesia, maka jawaban klise yang terus menerus didaur-ulang/direproduksi oleh penguasa Republik ini adalah bahwa pengarangnya seorang Komunis! Kalau kita tanya lagi apa bukti Pram itu seorang Komunis, maka jawabannya… tidak ada jawaban! (Kita, misalnya, masih belum bertanya soal apa sebenarnya “kesalahan” Komunis dalam sejarah Indonesia! Atau, apa sebenarnya Komunis itu sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengannya dilarang di negeri komunal dan gotong royong ini.) Dari Kasus Pram ini kita bisa melihat betapa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.
Contoh lain adalah reputasi majalah sastra Horison selama masih dengan sangat aktif dieditori oleh HB Jassin, tokoh legendaris yang dianggap sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Bagi para sastrawan Indonesia yang masih waras otaknya pada periode yang saya maksudkan (terutama pada tahun 1970an), apalagi yang baru mulai menulis sastra, dimuatnya karya di Horison bisa dikatakan setara dengan memenangkan Hadiah Nobel Sastra bagi sastrawan dunia. Sebuah pencapaian “artistik/estetik” yang paling tinggi! Sebuah pengakuan/pembaptisan legitimasi gelar kesastrawanan! Makanya pemberian gelar mentereng “Paus Sastra Indonesia” tadi kepada Jassin! Selera HB Jassin menentukan “bermutu-tidaknya” karya sastra Indonesia pada zamannya. Bisa dikatakan HB Jassin bukan cuma “Paus Sastra Indonesia” tapi justru Sastra Indonesia itu sendiri! Tak ada “sastra(wan)” Indonesia di luar HB Jassin! Hanya mereka yang menulis novel pop, cerpen pop dan lirik lagu pop saja yang tidak peduli pada keangkeran nama Horison dan HB Jassinnya.
Karena “eksperimentasi bentuk” merupakan “estetika” kaum Humanis Universal, kaum Manikebuis, yang direpresentasikan oleh sosok Jassin ini, maka hanya karya-karya apolitis yang eksperimental secara formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah cenderung konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia, seperti fiksi Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji Calzoum Bachri. Karena dunia teater Indonesia sangat dipengaruhi sastra Indonesia, maka efek Jassinisne ini juga merebak ke teater Indonesia dan jadi kanon teater pulalah para sastrawan Horison seperti Putu Wijaya dan Arifin C Noor.
Maka sepilah sastra kita, atau sangat minimlah sastra kita dari karya-karya yang tidak peduli pada eksperimen bentuk, yaitu karya-karya yang mementingkan isi, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan sosial-politik masyarakatnya.
Maka tidak kenallah kebanyakan dari kita karya-karya para pengarang Lekra, para pengarang yang berbeda “estetika”, berbeda “ideologi” sastra dari para pengarang Horison, para pengarang Manikebuis di atas.
Maka rendahlah penilaian kita atas karya-karya yang Lekrais, karya-karya yang mementingkan isi ketimbang eksperimen bentuk, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan kontemporer masyarakatnya, karya-karya yang realis.
Selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa, berpolitik adalah kata haram dalam segala kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan sastra kita. Seni haram berpolitik, karena akan mengingatkan pada periode Polemik Lekra-Manikebu. Karena “politik bukan lagi panglima kehidupan” termasuk kehidupan sastra, maka a-politik alias anti-politik sekarang menjadi panglima. Dalam konteks teks sastra, bermain-main dengan eksperimen bentuk merupakan perwujudan paling ideal, paling tinggi, dari konsep seni a-politis ini. Ketimbang melakukan “seni untuk kehidupan” maka sastrawan Indonesia yang menjadi sastrawan Horison, yang menjadi kanon sastra, memilih ideologi berkesenian “seni untuk seni”, art for art’s sake, l’art pour l’art. Dalam kata lain, “Estetisisme adalah Panglima”. Cirinya: Sastra (seni) adalah yang paling adiluhung nilainya di antara semua produk manusia, karena otonom mandiri dan tidak mempunyai relevansi (moral dan praktikal) dan referensi di luar dirinya sendiri. Kesempurnaan bentuk adalah segalanya.
Fetishisme atau pemberhalaan pada (eksperimen) bentuk inilah yang menyebabkan Dami N Toda dengan sangat terkenal membaptis Sutardji Calzoum Bachri sebagai setara dengan Chairil Anwar dalam kebesarannya (pencapaian artistiknya), yaitu dengan membuat pernyataan metaforis “kalau Chairil adalah mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri puisi Indonesia”. (Saut Situmorang mungkin cuma jerawat puisi Indonesia!) Makanya dianggap tidak sedahsyat pencapaian puisi-mantra Sutardjilah pencapaian epik Rendra dalam Blues untuk Bonnie yang dipublikasikannya dalam periode yang sama dengan sajak-sajak Sutardji.
Inilah “tradisi” kritik sastra Indonesia selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa. Selama rejim sastra apolitis Horison Manikebuis berkuasa. Inilah zaman keemasan ideologi estetisisme dalam sejarah sastra Indonesia. Inilah ideologi politik kanonisasi sastra Indonesia.
Dan efeknya masih terus dengan kuat mencengkram isi kepala para sastrawan Indonesia sampai detik ini!
Buktinya adalah keyakinan para sastrawan bakat alam kita seperti yang saya singgung di awal esei saya ini: bahwa sastra itu otonom, bebas nilai, hanya tergantung pada “substansi”nya saja untuk menjadi baik atau buruk, dan universal.
Seperti yang sudah saya buktikan di atas, politik kanonisasi sastra kita selama berkuasanya rejim sastra Horison Manikebuis tidak seobjektif, senetral seperti yang disiratkan ideologi estetisisme para sastrawan bakat alam di atas. Politik seleksi sangat mempengaruhi diakui-tidaknya sebuah karya sastra sebagai karya yang berhasil atau bermutu. Eksperimentasi bentuk sebagai standar selera utama rejim sastra Horison Manikebuis telah mengakibatkan hilangnya pluralitas “estetika” dan mendominasinya sastra non-realis apolitis dalam sastra kontemporer kita.
Makanya mendominasilah saat ini apa yang oleh media massa Jakarta disebut sebagai “Sastrawangi”. Sastra yang ditulis oleh perempuan-perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa tsb dan yang cuma bicara tentang apa-apa saja yang dilakukan oleh para perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa. Seksualitas, konon, adalah isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Seksualitas dalam prosa para Sastrawangi ini bahkan diklaim merupakan aksi pembebasan dari penindasan yang dialami perempuan Indonesia yang terkutuk hidup dalam masyarakat patriarkal bernama Indonesia!
Tubuh adalah Jalan Keselamatan Perempuan Indonesia, menurut para Sastrawangi ini. Makanya berseTubuh melululah mereka dalam prosa mereka! BerseTubuh adalah Pembebasan! Perempuan adalah sama di mana-mana, universal, teriak mereka. Karena itulah seksualitas yang konon merupakan persoalan perempuan muda di kota-kota besar Indonesia adalah juga persoalan perempuan (muda dan tua) di mana-mana termasuk di desa-desa. Tubuh, seksualitas dan perempuan adalah satu bagi para Sastrawangi ini. Seperti teks sastra para Estetis, para Horison Manikebuis, dan para bakat alamis, maka bagi para Sastrawangi tidak ada hal lain di luar Tritunggal “Tubuh-Seksualitas-Perempuan”. Tidak ada persoalan kemiskinan perempuan, tidak ada persoalan pendidikan perempuan yang rendah, tidak ada persoalan jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, bahkan tidak ada persoalan tubuh perempuan yang jelek gembrot berjerawat bagi para Sastrawangi yang konon cantik menurut media massa ini. Aku ngeseks maka aku ada, begitulah kira-kira kredo mereka!
Non-realisme prosa para Sastrawangi ini dapat kita lihat dari betapa sempitnya (dunia) “perempuan” diartikan dalam teks mereka. Betapa sunyinya teks mereka dari para perempuan “biasa” yang tiap hari kita temui di pasar ikan sayur mayur becek berlumpur, di toko-toko kelas bawah, di pabrik-pabrik, di dapur rumah-rumah gedongan kelas menengah ke atas, di sekolah-sekolah menengah di kota-kota kecil dan pedesaan… Siapakah yang paling “perempuan” antara para Sastrawangi dan para perempuan (muda dan tua) “biasa” yang menjadi tetangga rumah kita (the women next door)?
Apolitisme prosa para Sastrawangi ini, ironisnya, malah dianggap sangat politis oleh para sastrawan laki-laki tua Horison Manikebuis! Justru para apolitis tua, para Patriark inilah yang pertama-tama mengklaim betapa “sadar politik jender” para Sastrawangi tsb! Cuma karena para Sastrawangi ini berani buka-bukaan dalam prosa mereka, juga dengan pakaian mereka!
Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tsb, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya?
Kalau fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena dinilai dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya, tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?
Internalisasi ideologi “seni untuk seni”, seni yang apolitis, seni Horison Manikebuis, seni Humanisme Universal, telah begitu kuat dalam diri mayoritas sastrawan, dan juga pembaca sastra, kontemporer Indonesia. Makanya terasa wajarlah, normallah ideologi tsb bagi kita. Seniman tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah “berkarya” itupun bukan sebuah sikap politik. Tak ada faktor di luar teks sastra yang mempengaruhi baik-buruknya mutu teks, demikianlah keyakinan umum dalam Sastra Indonesia.
Politik sastra juga dilakukan oleh koran Kompas dengan seri-antologi Cerpen Pilihan Kompas dan kelompok Teater Utan Kayu (TUK). Penerbitan tahunan seri-antologi Kompas tsb telah berhasil membentuk opini publik sastra yang positif atasnya. Saat ini seri-antologi tsb sudah berhasil masuk dalam kanon cerpen Indonesia dan para cerpenisnya pun sudah dianggap cerpenis “bermutu” Indonesia. Dua faktor yang paling mempengaruhi interpretasi dan resepsi atas seri-antologi tsb adalah pertama, reputasi Kompas sendiri sebagai koran nasional yang paling besar oplahnya dan paling banyak dibaca kaum intelektual kota besar kita. Faktor jurnalistiknya sebagai koran kaum intelektual nasional tidak bisa tidak diperhitungkan. Kedua adalah strategi pemakaian (Kritik) Kata Pengantar dan Kata Penutup yang rata-rata ditulis oleh nama-nama yang dianggap “otoritas” sastra Indonesia. Keberadaan Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para otoritas sastra tsb telah mempengaruhi bagaimana pembacanya harus membaca seri-antologi itu. “Kesastraan” (literariness) dari seri-antologi itu terjamin sudah oleh keberadaan tulisan para otoritas sastra tsb.
TUK adalah satu-satunya kelompok “Teater” di sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk mendominasi dunia sastra kita. Bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa embrio kelompok Teater yang tidak pernah mementaskan produksi teater ini lahir setelah memudarnya zaman keemasan majalah Horison (dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta), setelah pecahnya Kelompok Horison Manikebuis menjadi Kelompok Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis dkk. Kita tentu masih ingat bahwa Kelompok Goenawan Mohamad sempat menerbitkan satu edisi majalah Horison versi mereka sebelum akhirnya memulai penerbitan majalah Kalam yang kemudian menjadi ikon TUK itu. “Kemenangan” dan publikasi novel salah seorang anggota TUK, Ayu Utami, Saman, merupakan peristiwa bersejarah pertama dalam politik sastra TUK. “Kemenangan” naskah “fragmen” novel ini sendiri di sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998 masih bisa dipersoalkan “kebenaran”nya. Lalu, manipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer di sampul belakang novel yang diterbitkan itu, yang menjadi seolah-olah memuji tinggi novel tsb. Terakhir “kemenangan” Ayu Utami – “karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” seperti tertulis di halaman belakang novelnya Larung – atas Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000 padahal terjemahan bahasa Belanda (atau bahasa lainnya) novel satu-satunya yang pernah ditulisnya saat itu, Saman, belum ada, sehingga sangat masuk akal kalau menimbulkan pertanyaan bagaimana para juri Prince Claus Award “tahu” tentang kehebatan novel tsb. Siapakah yang menjadi “narasumber” kehebatan novel tsb? Kalau komentar pengarang sekaliber Pram saja tidak malu-malu mereka manipulasi di dalam negeri sendiri, bagaimana di luar negeri sana lagi?!
Politik sastra TUK makin dipercanggih dengan berhasilnya TUK “memindahkan” festival (lebih tepat disebut expo sastra kolonial) bernama Winternachten di Den Haag, Belanda ke Indonesia yang akhirnya diganti namanya menjadi Utan Kayu International Literary Biennale. Promosi tentang “internasionalisme” acara baca-sastra mereka ini ternyata ampuh dalam mempesona kebanyakan sastrawan muda Indonesia yang, bisa dipahami, berambisi besar untuk cepat-cepat go international. Seandainya saja para pengarang muda kita ini tidak begitu buta akan peta sastra internasional kontemporer yang sebenarnya tentu mereka tidak akan begitu saja terpedaya dengan klaim “internasional” pada nama acara sastra TUK ini dan sadar bahwa yang “internasional” hanyalah nama dan asal pesertanya saja. Di luar itu, tak ada yang “internasional” di acara Utan Kayu International Literary Biennale.
Seperti pada kasus Cerpen Pilihan Kompas, Biennale Sastra TUK pun akhirnya dianggap menjadi jalan menuju kanon sastra Indonesia. Seperti yang dengan penuh percaya diri pernah diungkapkan Direkturnya, Sitok Srengenge, bahwa sastrawan Indonesia baru dianggap sebagai sastrawan Indonesia setelah diundang dalam acara sastra TUK semacam Biennalenya yang “internasional” itu. Kita memang dianggap sangat kampungan pergaulan kita oleh Sitok Srengenge sampai legitimasi kita sebagai Sastrawan Indonesia pun harus berijasah “TUK” dulu baru sah diakui.
Politik sastra TUK tidak berhenti hanya pada penyelenggaraan Biennale Sastra yang merupakan legitimasi kesastraan sastrawan Indonesia (bagi para sastrawan “internasional”nya itu tentu saja, dan sebaliknya) seperti yang dinyatakan Sitok Srengenge di atas tapi juga meluas ke penguasaan media massa yang punya posisi penting dalam percaturan sastra kontemporer kita. Kompas pun akhirnya berhasil dirangkul melalui Hasif Amini yang menggantikan Sutardji Calzoum Bachri sebagai redaktur rubrik puisinya. Kita tentu saja bisa bertanya: Kok Hasif Amini? Apa kredensial orang ini dalam hal puisi padahal dia tidak dikenal sebagai penyair ataupun sastrawan malah? Seperti Sutardji, dia bukan wartawan Kompas, tapi “diundang” dari luar. Fakta inilah yang membuat kita berhak mempertanyakan alasan pemilihan Hasif Amini yang orang TUK itu dibanding orang lain dan fakta bahwa reputasi jurnalistik Kompas akan sangat mempengaruhi resepsi pembaca atas puisi-puisi yang dimuat tiap Minggu, seperti pada kasus cerpen Kompas.
Politik kanonisasi sastra TUK memiliki dua wajah. Di dalam Indonesia, TUK berusaha membentuk jaringan ideologis dimana pusat pengaruh legitimasi identitas kesastrawanan pengarang Indonesia ada di tangannya, disadari atau tidak oleh sastrawan yang terjaring di dalamnya. Biennale Sastra TUK, posisi Hasif Amini di Kompas Minggu sampai keterlibatan TUK dalam seleksi siapa sastrawan lokal yang pantas ikut acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali merupakan prakteknya. Sementara ke luar Indonesia, TUK berusaha menciptakan identitas-diri sebagai satu-satunya institusi sastra(wan) yang paling representatif mewakili sastra(wan) Indonesia, demi berbagai maksud dan tujuan. Pembentukan jaringan pengaruh atau politik kanonisasi sastra di dalam Indonesia sangat penting artinya bagi strategi “hubungan internasional” TUK ini.
Sekarang timbul pertanyaan: Kenapa TUK harus melakukan semua ini? Apakah demi tujuan luhur untuk (di dalam Indonesia) mengangkat mutu dan (di luar Indonesia) derajat sastra(wan) Indonesia? Sejarah yang akan membuktikan saya benar atau salah.
Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa “substansi” sastra adalah ukuran karya sastra, karena “substansi” sastra adalah “estetika” sastra yang “sublim”, sastra yang menjadi itu.
Marilah kita mulai belajar dewasa dalam bersastra.
Jogja, Oktober 2007
Saut Situmorang
http://www.facebook.com/note.php?note_id=45356609697
Dalam dunia sastra Indonesia banyak pengarang sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra, yang konon universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi, itu memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra. Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi para pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tsb, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim”.
Bagi para pengarang yang tidak berbakat alam – jumlah mereka sangat sedikit di Indonesia – istilah “kanon sastra” tentu bukan merupakan sebuah istilah eksotis-filosofis kayak “substansi” sastra atau sastra “sublim”. Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.
Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Apakah karena puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis?
Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini para pengarang bakat alam yang romantik itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?
Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan seperti dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia dimana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tsb tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana. Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah, misalnya, membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibatnya terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai Sastra Indonesia itu.
***
Istilah “kanon”, atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata bahasa Junani Kuno, yaitu kanon, yang berarti sebuah “buluh” atau sebuah “tongkat” yang dipakai sebagai alat pengukur. Istilah ini di kemudian hari memiliki makna tambahan yaitu “peraturan” atau “hukum” dan makna ini yang akhirnya menjadi makna utamanya dalam bahasa-bahasa modern Eropa. Dalam konteks kritik sastra, istilah “kanon” menjadi sebuah istilah penting setelah dipakai di abad 4 M dalam merujuk ke daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel dan para theolog awal agama tsb. Di sini istilah “kanon” memiliki arti sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana atau teks-teks tertentu mana yang dianggap lebih pantas untuk dilestarikan dibanding yang lainnya. Teks-teks dan pengarang-pengarang yang gagal masuk kanon Bibel tsb (disebut “apokrifa” dalam tradisi Kristen) tidak berhasil karena alasan dogma: para pemimpin agama Kristen awal harus memutuskan “ajaran-ajaran” mana yang harus diajarkan kepada para pengikutnya. Para pembuat kanon Bibel di awal berkembangnya agama Kristen ini tidak begitu peduli dengan “keindahan” teks-teks yang mereka pilih atau sifat universalitasnya. Yang paling penting bagi mereka adalah bahwa teks-teks tsb “sesuai” dengan standar komunitas mereka, atau dengan “peraturan/hukum” mereka. Tujuan utama mereka lebih kepada memisahkan mana yang ortodoks dan mana yang bidah.
Dalam konteks sastra banyak kritikus sastra di luar Indonesia yakin bahwa seleksi atas karya-karya sastra untuk “kanonisasi” – yaitu karya-karya yang disebut sebagai karya “klasik” itu – terjadi sama seperti pada kanon Bibel. Para kritikus ini yakin bahwa di balik pretensi “objektivitas” penilaian mutu karya terdapat sebuah agenda politik terselubung, yaitu eksklusi atas banyak kelompok dari representasi dalam kanon sastra. Sebuah contoh yang paling sering disebutkan adalah fakta lebih sedikitnya jumlah sastrawan (jenis kelamin) perempuan dalam kanon sastra. Atau begitu sedikitnya jumlah pengarang non-Eropa (bukan kulit putih) dalam kanon sastra berbahasa Inggris, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah karya para sastrawan yang tidak masuk kanon sastra ini – sastrawan perempuan dan sastrawan bukan kulit putih – memang lebih rendah mutunya dibanding karya-karya kanon? Bagaimana menentukan tinggi-rendahnya “mutu” sastra? Apa itu “mutu” sastra?
***
Di sastra Indonesia persoalan “mutu” sebuah karya sastra selalu dikaitkan dengan sifat “universal” yang dianggap dimiliki oleh sebuah karya yang “bermutu”. Sebuah karya yang dianggap “bermutu” tinggi pasti juga akan “universal” pengakuan atas “mutu” yang dimilikinya itu. Perbedaan konteks budaya dan waktu/zaman, misalnya, dianggap tidak berlaku atas sebuah karya yang “bermutu”. “Mutu” sebuah karya berbanding lurus dengan “universalitas” pengakuan atasnya, demikianlah keyakinan kebanyakan sastrawan Indonesia. “Mutu” itu sendiri sangat diyakini sudah inheren dimiliki oleh setiap karya sastra yang dianggap “berhasil”. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan para pengarang bakat alam yang romantik itu sebagai “substansi” atau “sublimitas” karya sastra.
Kalau memang benar “substansi” sastra itu ada dan keberadaannya tidak dipengaruhi sama sekali oleh faktor-faktor dari luar teks sastra, maka bagaimana, misalnya, menjelaskan tentang “kegagalan” para sastrawan dunia seperti Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, James Joyce, DH Lawrence, Virginia Woolf, Ezra Pound, Bertolt Brecht, George Orwell, Paul Eluard, Jorge Luis Borges… sampai Pramoedya Ananta Toer untuk “memenangkan” Hadiah Nobel Sastra, hadiah sastra paling bergengsi di planet ini? Apakah “substansi” karya sastra mereka lebih buruk “sublimitas”nya dibanding para sastrawan pemenang Nobel Sastra? Atau seperti yang pernah dipertanyakan oleh sastrawan Eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, waktu menolak menerima Hadiah Nobel Sastra 1964 yang “dimenangkan”nya: Dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet dulu, kenapa sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak mendapat Hadiah Nobel Sastra? (Kasus Sartre sendiri unik. Sebenarnya yang seharusnya mendapat Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu adalah penyair Komunis asal Chile, Pablo Neruda. Tapi “status” Neruda sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Chile dan bahwa Neruda pada tahun 1953 dianugrahi Hadiah Stalin untuk puisinya telah membuat badan intelijen Amerika Serikat CIA panas-dingin dan melalui lembaga “kebudayaan” yang dibentuknya pada 1950 dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, yaitu “Congress for Cultural Freedom”, telah berhasil mempengaruhi Panitia Nobel untuk tidak memilih Neruda tahun 1964 itu. Ironisnya, Sartre yang “dimenangkan” Panitia Nobel justru menolak menerima Hadiah Nobelnya! (lihat: Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War (Granta Books, 2000) karya Frances Stonor Saunders.)
Di dunia ini intelektual manakah yang belum pernah mengenal penyair cum dramawan Inggris bernama William Shakespeare? Walaupun belum tentu pernah membaca karya aslinya, setiap orang yang menganggap dirinya “berbudaya” pasti paling tidak akan mengaku pernah mendengar nama sastrawan yang hidup di paroh kedua abad 16 Inggris ini. Justru di sinilah persoalannya. Karya-karya Shakespeare tidak dibaca luas tapi keuniversalan namanya fenomenal. Mungkin Shakespeare adalah contoh dari sastra yang punya “substansi” dan “sublim” itu. Tapi benarkah karya-karya Shakespeare yang terbaik sekalipun memang secara “estetika” sempurna tidak bercacat?
Ternyata munculnya apa yang dikenal sebagai Teori Sastra Pascakolonial sebagai akibat terbitnya buku Orientalism (1978) karya pengarang kelahiran Palestina, Edward Said, telah menyebabkan terjadinya “pembacaan-ulang” atas para sastrawan kanon Barat termasuk Shakespeare. Dan hasilnya: Shakespeare adalah seorang sastrawan rasis dalam karya-karyanya yang tokoh-tokohnya “berkulit berwarna”, seperti The Merchant of Venice (1596), Othello (1604), dan The Tempest (1611).
Hal yang sama terjadi juga atas Joseph Conrad, yang dianggap salah seorang novelis terbesar Inggris. Karya-karya bekas pelaut kelahiran Polandia ini banyak mengambil setting cerita di negeri-negeri yang pernah dia singgahi seperti Afrika, Indonesia dan Amerika Latin. Sebuah novel pendeknya yang dianggap salah satu novel terdahsyat dalam bahasa Inggris yaitu Heart of Darkness (1902) yang bersetting di pedalaman Afrika di tepi Sungai Kongo dicaci-maki dengan keras oleh novelis besar Afrika Chinua Achebe sebagai sebuah novel jelek karena sangat rasisnya dalam menggambarkan orang kulit hitam Afrika. Beberapa novel lain Conrad seperti Almayer’s Folly (1895) dan Lord Jim (1900) mengambil latar-cerita di Kalimantan dan Jawa periode kolonialisme Belanda. Tentu akan menarik sekali untuk mengetahui bagaimana reaksi pembaca kontemporer Indonesia asal Kalimantan dan Jawa dalam menanggapi penggambaran orang-orang lokal kedua daerah tsb dalam kedua novel Conrad itu.
Di Indonesia sendiri kita juga memiliki banyak contoh dari terjadinya apa yang saya sebut sebagai politik kanonisasi sastra ini. Seperti nama William Shakespeare di dunia internasional, di Indonesia siapakah intelektual kita yang tidak pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer! Bagi mereka yang serius membaca karya sastra Indonesia akan mengerti bahwa dari keseluruhan fiksi yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh Pram (ataupun oleh para novelis Indonesia lainnya) maka seri-novel yang dihasilkannya selama menjalani hukuman-tanpa-pengadilan rejim Orde Baru di Pulau Buru yang terkenal dengan nama Tetralogi Buru itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan karya terbaik Pram dan salah satu karya terbaik fiksi dalam sejarah sastra Indonesia. Justru karena Tetralogi Buru inilah nama Pram berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Tapi apa yang terjadi dengan seri-novel ini di Indonesia sendiri? Kita semua tahu karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tetralogi Buru dilarang di Indonesia! Selama rejim militer Suharto berkuasa, siapa saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara (dan disiksa lagi!) sebagai seorang subversif atau pengkhianat bangsa dan negara!
Setelah rejim Suharto jatuh dan tidak berkuasa lagi, publikasi dan pemilikan atas Tetralogi Buru tidak lagi mengakibatkan penangkapan dan pemenjaraan tapi larangan atasnya tetap berlaku. Larangan yang masih terus berjalan itu adalah larangan untuk mempelajarinya secara formal di sekolah dan perguruan tinggi.
Kalau kita tanya apa sebenarnya alasan yang membuat Tetralogi Buru harus dilarang padahal keempat novel itu merupakan sebuah gugatan kritis seorang sastrawan Indonesia atas (sejarah) kolonialisme Belanda di Indonesia, maka jawaban klise yang terus menerus didaur-ulang/direproduksi oleh penguasa Republik ini adalah bahwa pengarangnya seorang Komunis! Kalau kita tanya lagi apa bukti Pram itu seorang Komunis, maka jawabannya… tidak ada jawaban! (Kita, misalnya, masih belum bertanya soal apa sebenarnya “kesalahan” Komunis dalam sejarah Indonesia! Atau, apa sebenarnya Komunis itu sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengannya dilarang di negeri komunal dan gotong royong ini.) Dari Kasus Pram ini kita bisa melihat betapa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.
Contoh lain adalah reputasi majalah sastra Horison selama masih dengan sangat aktif dieditori oleh HB Jassin, tokoh legendaris yang dianggap sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Bagi para sastrawan Indonesia yang masih waras otaknya pada periode yang saya maksudkan (terutama pada tahun 1970an), apalagi yang baru mulai menulis sastra, dimuatnya karya di Horison bisa dikatakan setara dengan memenangkan Hadiah Nobel Sastra bagi sastrawan dunia. Sebuah pencapaian “artistik/estetik” yang paling tinggi! Sebuah pengakuan/pembaptisan legitimasi gelar kesastrawanan! Makanya pemberian gelar mentereng “Paus Sastra Indonesia” tadi kepada Jassin! Selera HB Jassin menentukan “bermutu-tidaknya” karya sastra Indonesia pada zamannya. Bisa dikatakan HB Jassin bukan cuma “Paus Sastra Indonesia” tapi justru Sastra Indonesia itu sendiri! Tak ada “sastra(wan)” Indonesia di luar HB Jassin! Hanya mereka yang menulis novel pop, cerpen pop dan lirik lagu pop saja yang tidak peduli pada keangkeran nama Horison dan HB Jassinnya.
Karena “eksperimentasi bentuk” merupakan “estetika” kaum Humanis Universal, kaum Manikebuis, yang direpresentasikan oleh sosok Jassin ini, maka hanya karya-karya apolitis yang eksperimental secara formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah cenderung konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia, seperti fiksi Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji Calzoum Bachri. Karena dunia teater Indonesia sangat dipengaruhi sastra Indonesia, maka efek Jassinisne ini juga merebak ke teater Indonesia dan jadi kanon teater pulalah para sastrawan Horison seperti Putu Wijaya dan Arifin C Noor.
Maka sepilah sastra kita, atau sangat minimlah sastra kita dari karya-karya yang tidak peduli pada eksperimen bentuk, yaitu karya-karya yang mementingkan isi, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan sosial-politik masyarakatnya.
Maka tidak kenallah kebanyakan dari kita karya-karya para pengarang Lekra, para pengarang yang berbeda “estetika”, berbeda “ideologi” sastra dari para pengarang Horison, para pengarang Manikebuis di atas.
Maka rendahlah penilaian kita atas karya-karya yang Lekrais, karya-karya yang mementingkan isi ketimbang eksperimen bentuk, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan kontemporer masyarakatnya, karya-karya yang realis.
Selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa, berpolitik adalah kata haram dalam segala kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan sastra kita. Seni haram berpolitik, karena akan mengingatkan pada periode Polemik Lekra-Manikebu. Karena “politik bukan lagi panglima kehidupan” termasuk kehidupan sastra, maka a-politik alias anti-politik sekarang menjadi panglima. Dalam konteks teks sastra, bermain-main dengan eksperimen bentuk merupakan perwujudan paling ideal, paling tinggi, dari konsep seni a-politis ini. Ketimbang melakukan “seni untuk kehidupan” maka sastrawan Indonesia yang menjadi sastrawan Horison, yang menjadi kanon sastra, memilih ideologi berkesenian “seni untuk seni”, art for art’s sake, l’art pour l’art. Dalam kata lain, “Estetisisme adalah Panglima”. Cirinya: Sastra (seni) adalah yang paling adiluhung nilainya di antara semua produk manusia, karena otonom mandiri dan tidak mempunyai relevansi (moral dan praktikal) dan referensi di luar dirinya sendiri. Kesempurnaan bentuk adalah segalanya.
Fetishisme atau pemberhalaan pada (eksperimen) bentuk inilah yang menyebabkan Dami N Toda dengan sangat terkenal membaptis Sutardji Calzoum Bachri sebagai setara dengan Chairil Anwar dalam kebesarannya (pencapaian artistiknya), yaitu dengan membuat pernyataan metaforis “kalau Chairil adalah mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri puisi Indonesia”. (Saut Situmorang mungkin cuma jerawat puisi Indonesia!) Makanya dianggap tidak sedahsyat pencapaian puisi-mantra Sutardjilah pencapaian epik Rendra dalam Blues untuk Bonnie yang dipublikasikannya dalam periode yang sama dengan sajak-sajak Sutardji.
Inilah “tradisi” kritik sastra Indonesia selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa. Selama rejim sastra apolitis Horison Manikebuis berkuasa. Inilah zaman keemasan ideologi estetisisme dalam sejarah sastra Indonesia. Inilah ideologi politik kanonisasi sastra Indonesia.
Dan efeknya masih terus dengan kuat mencengkram isi kepala para sastrawan Indonesia sampai detik ini!
Buktinya adalah keyakinan para sastrawan bakat alam kita seperti yang saya singgung di awal esei saya ini: bahwa sastra itu otonom, bebas nilai, hanya tergantung pada “substansi”nya saja untuk menjadi baik atau buruk, dan universal.
Seperti yang sudah saya buktikan di atas, politik kanonisasi sastra kita selama berkuasanya rejim sastra Horison Manikebuis tidak seobjektif, senetral seperti yang disiratkan ideologi estetisisme para sastrawan bakat alam di atas. Politik seleksi sangat mempengaruhi diakui-tidaknya sebuah karya sastra sebagai karya yang berhasil atau bermutu. Eksperimentasi bentuk sebagai standar selera utama rejim sastra Horison Manikebuis telah mengakibatkan hilangnya pluralitas “estetika” dan mendominasinya sastra non-realis apolitis dalam sastra kontemporer kita.
Makanya mendominasilah saat ini apa yang oleh media massa Jakarta disebut sebagai “Sastrawangi”. Sastra yang ditulis oleh perempuan-perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa tsb dan yang cuma bicara tentang apa-apa saja yang dilakukan oleh para perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa. Seksualitas, konon, adalah isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Seksualitas dalam prosa para Sastrawangi ini bahkan diklaim merupakan aksi pembebasan dari penindasan yang dialami perempuan Indonesia yang terkutuk hidup dalam masyarakat patriarkal bernama Indonesia!
Tubuh adalah Jalan Keselamatan Perempuan Indonesia, menurut para Sastrawangi ini. Makanya berseTubuh melululah mereka dalam prosa mereka! BerseTubuh adalah Pembebasan! Perempuan adalah sama di mana-mana, universal, teriak mereka. Karena itulah seksualitas yang konon merupakan persoalan perempuan muda di kota-kota besar Indonesia adalah juga persoalan perempuan (muda dan tua) di mana-mana termasuk di desa-desa. Tubuh, seksualitas dan perempuan adalah satu bagi para Sastrawangi ini. Seperti teks sastra para Estetis, para Horison Manikebuis, dan para bakat alamis, maka bagi para Sastrawangi tidak ada hal lain di luar Tritunggal “Tubuh-Seksualitas-Perempuan”. Tidak ada persoalan kemiskinan perempuan, tidak ada persoalan pendidikan perempuan yang rendah, tidak ada persoalan jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, bahkan tidak ada persoalan tubuh perempuan yang jelek gembrot berjerawat bagi para Sastrawangi yang konon cantik menurut media massa ini. Aku ngeseks maka aku ada, begitulah kira-kira kredo mereka!
Non-realisme prosa para Sastrawangi ini dapat kita lihat dari betapa sempitnya (dunia) “perempuan” diartikan dalam teks mereka. Betapa sunyinya teks mereka dari para perempuan “biasa” yang tiap hari kita temui di pasar ikan sayur mayur becek berlumpur, di toko-toko kelas bawah, di pabrik-pabrik, di dapur rumah-rumah gedongan kelas menengah ke atas, di sekolah-sekolah menengah di kota-kota kecil dan pedesaan… Siapakah yang paling “perempuan” antara para Sastrawangi dan para perempuan (muda dan tua) “biasa” yang menjadi tetangga rumah kita (the women next door)?
Apolitisme prosa para Sastrawangi ini, ironisnya, malah dianggap sangat politis oleh para sastrawan laki-laki tua Horison Manikebuis! Justru para apolitis tua, para Patriark inilah yang pertama-tama mengklaim betapa “sadar politik jender” para Sastrawangi tsb! Cuma karena para Sastrawangi ini berani buka-bukaan dalam prosa mereka, juga dengan pakaian mereka!
Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tsb, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya?
Kalau fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena dinilai dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya, tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?
Internalisasi ideologi “seni untuk seni”, seni yang apolitis, seni Horison Manikebuis, seni Humanisme Universal, telah begitu kuat dalam diri mayoritas sastrawan, dan juga pembaca sastra, kontemporer Indonesia. Makanya terasa wajarlah, normallah ideologi tsb bagi kita. Seniman tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah “berkarya” itupun bukan sebuah sikap politik. Tak ada faktor di luar teks sastra yang mempengaruhi baik-buruknya mutu teks, demikianlah keyakinan umum dalam Sastra Indonesia.
Politik sastra juga dilakukan oleh koran Kompas dengan seri-antologi Cerpen Pilihan Kompas dan kelompok Teater Utan Kayu (TUK). Penerbitan tahunan seri-antologi Kompas tsb telah berhasil membentuk opini publik sastra yang positif atasnya. Saat ini seri-antologi tsb sudah berhasil masuk dalam kanon cerpen Indonesia dan para cerpenisnya pun sudah dianggap cerpenis “bermutu” Indonesia. Dua faktor yang paling mempengaruhi interpretasi dan resepsi atas seri-antologi tsb adalah pertama, reputasi Kompas sendiri sebagai koran nasional yang paling besar oplahnya dan paling banyak dibaca kaum intelektual kota besar kita. Faktor jurnalistiknya sebagai koran kaum intelektual nasional tidak bisa tidak diperhitungkan. Kedua adalah strategi pemakaian (Kritik) Kata Pengantar dan Kata Penutup yang rata-rata ditulis oleh nama-nama yang dianggap “otoritas” sastra Indonesia. Keberadaan Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para otoritas sastra tsb telah mempengaruhi bagaimana pembacanya harus membaca seri-antologi itu. “Kesastraan” (literariness) dari seri-antologi itu terjamin sudah oleh keberadaan tulisan para otoritas sastra tsb.
TUK adalah satu-satunya kelompok “Teater” di sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk mendominasi dunia sastra kita. Bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa embrio kelompok Teater yang tidak pernah mementaskan produksi teater ini lahir setelah memudarnya zaman keemasan majalah Horison (dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta), setelah pecahnya Kelompok Horison Manikebuis menjadi Kelompok Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis dkk. Kita tentu masih ingat bahwa Kelompok Goenawan Mohamad sempat menerbitkan satu edisi majalah Horison versi mereka sebelum akhirnya memulai penerbitan majalah Kalam yang kemudian menjadi ikon TUK itu. “Kemenangan” dan publikasi novel salah seorang anggota TUK, Ayu Utami, Saman, merupakan peristiwa bersejarah pertama dalam politik sastra TUK. “Kemenangan” naskah “fragmen” novel ini sendiri di sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998 masih bisa dipersoalkan “kebenaran”nya. Lalu, manipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer di sampul belakang novel yang diterbitkan itu, yang menjadi seolah-olah memuji tinggi novel tsb. Terakhir “kemenangan” Ayu Utami – “karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” seperti tertulis di halaman belakang novelnya Larung – atas Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000 padahal terjemahan bahasa Belanda (atau bahasa lainnya) novel satu-satunya yang pernah ditulisnya saat itu, Saman, belum ada, sehingga sangat masuk akal kalau menimbulkan pertanyaan bagaimana para juri Prince Claus Award “tahu” tentang kehebatan novel tsb. Siapakah yang menjadi “narasumber” kehebatan novel tsb? Kalau komentar pengarang sekaliber Pram saja tidak malu-malu mereka manipulasi di dalam negeri sendiri, bagaimana di luar negeri sana lagi?!
Politik sastra TUK makin dipercanggih dengan berhasilnya TUK “memindahkan” festival (lebih tepat disebut expo sastra kolonial) bernama Winternachten di Den Haag, Belanda ke Indonesia yang akhirnya diganti namanya menjadi Utan Kayu International Literary Biennale. Promosi tentang “internasionalisme” acara baca-sastra mereka ini ternyata ampuh dalam mempesona kebanyakan sastrawan muda Indonesia yang, bisa dipahami, berambisi besar untuk cepat-cepat go international. Seandainya saja para pengarang muda kita ini tidak begitu buta akan peta sastra internasional kontemporer yang sebenarnya tentu mereka tidak akan begitu saja terpedaya dengan klaim “internasional” pada nama acara sastra TUK ini dan sadar bahwa yang “internasional” hanyalah nama dan asal pesertanya saja. Di luar itu, tak ada yang “internasional” di acara Utan Kayu International Literary Biennale.
Seperti pada kasus Cerpen Pilihan Kompas, Biennale Sastra TUK pun akhirnya dianggap menjadi jalan menuju kanon sastra Indonesia. Seperti yang dengan penuh percaya diri pernah diungkapkan Direkturnya, Sitok Srengenge, bahwa sastrawan Indonesia baru dianggap sebagai sastrawan Indonesia setelah diundang dalam acara sastra TUK semacam Biennalenya yang “internasional” itu. Kita memang dianggap sangat kampungan pergaulan kita oleh Sitok Srengenge sampai legitimasi kita sebagai Sastrawan Indonesia pun harus berijasah “TUK” dulu baru sah diakui.
Politik sastra TUK tidak berhenti hanya pada penyelenggaraan Biennale Sastra yang merupakan legitimasi kesastraan sastrawan Indonesia (bagi para sastrawan “internasional”nya itu tentu saja, dan sebaliknya) seperti yang dinyatakan Sitok Srengenge di atas tapi juga meluas ke penguasaan media massa yang punya posisi penting dalam percaturan sastra kontemporer kita. Kompas pun akhirnya berhasil dirangkul melalui Hasif Amini yang menggantikan Sutardji Calzoum Bachri sebagai redaktur rubrik puisinya. Kita tentu saja bisa bertanya: Kok Hasif Amini? Apa kredensial orang ini dalam hal puisi padahal dia tidak dikenal sebagai penyair ataupun sastrawan malah? Seperti Sutardji, dia bukan wartawan Kompas, tapi “diundang” dari luar. Fakta inilah yang membuat kita berhak mempertanyakan alasan pemilihan Hasif Amini yang orang TUK itu dibanding orang lain dan fakta bahwa reputasi jurnalistik Kompas akan sangat mempengaruhi resepsi pembaca atas puisi-puisi yang dimuat tiap Minggu, seperti pada kasus cerpen Kompas.
Politik kanonisasi sastra TUK memiliki dua wajah. Di dalam Indonesia, TUK berusaha membentuk jaringan ideologis dimana pusat pengaruh legitimasi identitas kesastrawanan pengarang Indonesia ada di tangannya, disadari atau tidak oleh sastrawan yang terjaring di dalamnya. Biennale Sastra TUK, posisi Hasif Amini di Kompas Minggu sampai keterlibatan TUK dalam seleksi siapa sastrawan lokal yang pantas ikut acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali merupakan prakteknya. Sementara ke luar Indonesia, TUK berusaha menciptakan identitas-diri sebagai satu-satunya institusi sastra(wan) yang paling representatif mewakili sastra(wan) Indonesia, demi berbagai maksud dan tujuan. Pembentukan jaringan pengaruh atau politik kanonisasi sastra di dalam Indonesia sangat penting artinya bagi strategi “hubungan internasional” TUK ini.
Sekarang timbul pertanyaan: Kenapa TUK harus melakukan semua ini? Apakah demi tujuan luhur untuk (di dalam Indonesia) mengangkat mutu dan (di luar Indonesia) derajat sastra(wan) Indonesia? Sejarah yang akan membuktikan saya benar atau salah.
Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa “substansi” sastra adalah ukuran karya sastra, karena “substansi” sastra adalah “estetika” sastra yang “sublim”, sastra yang menjadi itu.
Marilah kita mulai belajar dewasa dalam bersastra.
Jogja, Oktober 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)