Tuesday 16 November 2010

Balada Cinta Ferdi dan Firda

Balada Cinta Ferdi dan Firda

Cerpen Jujur Pranoto




Di ketinggian kamar di lantai delapan hotel berbintang lima, Firda menyibak vitrage, memandang ke luar jendela kaca yang sebagian permukaan luarnya berembun. Nampak di bawah sana lidah-lidah air laut menghantam garis pantai, berdebur-debur keras, tapi suaranya tak mampu menyusup ke dalam kamar, hingga kesunyian suite room ini sama sekali tak terusik. Sampai suatu saat terdengar suara seorang pria bertanya dengan nada lembut.

Nggak suka ya, menginap di sini?”

Firda menoleh sesaat, tersenyum tipis dan kembali melihat ke luar. ”Suka juga,” jawabnya datar.

”Suasana di sini hampir sama dengan yang di pantai Kuta.”

”Ya.”

”Bedanya waktu itu kamu enjoy sekali….”

Firda terdiam sesaat. Ia merasa bahwa Ferdi telah membaca suasana hatinya secara tepat. Sementara Ferdi sendiri lalu bangkit dari tempat tidur, mengencangkan tali kimono dan berjalan menghampiri Firda. Memeluknya dari belakang. Di luar penglihatan Ferdi, Firda memejamkan mata dan menghela napas panjang. Dan Ferdi ternyata merasakannya. ”Ada apa, Firda?”

Firda tidak segera menjawab. ”… Kenapa kamu mengajak aku ke sini?”

”Kamu sendiri pernah bilang bosan terus-terusan ke motel murahan.”

”Tapi kata orang hotel, kamar ini biasa disewa pasangan pengantin baru untuk berbulan madu.”

”So what ?”

”… Bukan berarti kamu mau mengajak aku berbulan madu, kan?”

Ferdi tersenyum lebar. ”Setiap ketemu kita berbulan madu.”

”Aku serius.”

Senyum Ferdi memudar. Perasaannya lembut berdesir. Dan dalam pikirannya pun muncul berbagai dugaan dan kecurigaan. ”Kamu bosan ya, kita begini-begini aja ?”

Firda menggeleng.

”Jadi kenapa…?”

”… Bulan depan aku mau nikah.”

Tangan Ferdi perlahan merenggang, melepaskan pelukan pada pinggang Firda. Dan Firda tak berusaha mencegahnya. Juga ketika Ferdi perlahan berjalan menjauh, duduk di sofa depan pesawat televisi yang menyiarkan CNN dengan volume suara rendah, nyaris tak terdengar. Rangkaian berita pengeboman kereta bawah tanah di London, berikut bursa saham yang terguncang, berlalu begitu saja tanpa perhatian. Di luar penglihatan Firda ia mengambil sebuah amplop coklat dari dalam laci, yang sesungguhnya akan diberikannya kepada Firda sebagai kejutan tengah malam. Hati-hati isi amplop itu dikeluarkannya sebagian. Dan nampaklah sebuah sertifikat rumah atas nama Firda.

”Sudah lama kamu pacaran sama calon suamimu?”

”Nggak pernah pacaran. Tapi sudah lama kenal. Tetangga dekat.”

”Kerja apa dia?”

”Guru SMP.”

”Oh…. Guru yang beruntung.”

”Kenapa beruntung?”

”Karena bisa mendapatkan istri secantik kamu.”

Firda terdiam. ”Mungkin aku yang beruntung masih ada laki-laki yang mau jadi suamiku,” bisiknya dalam hati.

”Setelah kamu kawin kita masih bisa ketemu lagi?”

Firda tak menjawab. Karena ia begitu takut memberikan jawaban yang salah.

Ferdi lalu hati-hati mengembalikan sertifikat tadi ke dalam laci. Ia tak berminat mengulangi pertanyaannya, sebab ia tak ingin memojokkan Firda untuk harus mengungkap sebuah janji. Sebuah janji yang pada gilirannya akan membelenggu diri Ferdi pula. Maka pertanyaan itu pun dibiarkannya mengambang dan tak pernah terjawab. Sampai Firda mengajak pulang meski kamar sudah telanjur di-booking untuk dua malam. Sampai keduanya berada di satu mobil dalam perjalanan pulang.

Sedan Mercy warna abu-abu metalik bermesin 3.600 cc berhenti di tempat gelap, beberapa belas meter menjelang sebuah halte bus yang sepi. Di dalam mobil ini Firda hendak membuka pintu, tapi tertahan oleh sentuhan tangan Ferdi berikut pertanyaan yang diucapkannya.

”Kali ini boleh aku antar kamu sampai rumah?”

”Jangan…!”

”Aku ingin berkenalan dengan orangtua kamu.”

”Kita sudah sepakat untuk membatasi hubungan hanya antara kita saja.”

”Meskipun ada kemungkinan setelah ini kita… akan lebih jarang bertemu?”

”Apalagi.”

Ferdi terdiam. Ia agak menyesal telah mengucap pertanyaan yang salah. Sementara itu Firda lalu mencium pipi Ferdi dan berbisik lembut. ”Maafin aku, ya….”

Ferdi merasa ada sesuatu yang tertahan di kerongkongannya. Sampai ia tak mampu berkata apa-apa dan membiarkan Firda keluar dari mobil. Baru setelah Firda menjauh dan nyaris tiba di ujung sebuah gang kecil, Ferdi seperti tersadar dari keterpukauannya, buru-buru membuka laci dashboard, mengambil amplop kecil berisi selembar cek dan lari ke luar mengejar Firda. ”Tunggu!”

Firda menahan langkah dan menoleh.

Ferdi menghampirinya dan menyerahkan amplop kecil itu kepada Firda. ”Tolong kamu terima. Kemarin aku sudah janji mau ngasih ini ke kamu.”

”Nggak usah…. Kontrak rumah sudah lunas sampai tahun depan.”

”Kalau begitu bisa kamu pakai buat apa saja. Cetak undangan, sewa gedung, biaya katering…. Semuanya pasti perlu biaya yang nggak sedikit.”

Firda terdiam. Dan tetap terdiam ketika Ferdi memasukkan amplop itu langsung ke saku belakang celana hipster-nya.

”Jangan segan-segan kontak aku kalau masih perlu bantuan.”

Firda menjawab dengan pelukan erat. Dan Ferdi menyambutnya sepenuh hati. Mungkin hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu berapa lama mereka berpelukan seperti itu. Sampai kemudian keduanya berpisah, saling melambaikan tangan, dan Firda berjalan lunglai meninggalkan Ferdi, berbelok memasuki gang, dan akhirnya lenyap selepas tikungan. Beberapa saat kemudian mobil yang dibawa Ferdi pun perlahan bergerak menjauh dan menjauh….

Malam itu suasana di rumah Firda tidak seperti biasanya. Beberapa sepatu dan sandal bertebaran di teras, sementara pintu ruang tamu masih terbuka meski jam sudah menunjuk pukul sebelas. Rupanya ada beberapa paman dan bibi Firda datang dari kampung bersama anak-anak mereka, ingin mengikuti acara lamaran keluarga calon suami Firda yang rencananya akan berlangsung lusa.

”Firda biasa pulang kerja jam berapa?” si paman bertanya.

”Minggu ini dia dapet giliran masuk sore, pulangnya antara jam dua belas jam satu,” jawab ibu Firda.

”Malam sekali, ya.”

”Namanya juga kerja di restoran. Restoran di hotel berbintang lagi, yang bukanya dua puluh empat jam.”

”Yang penting gajinya lumayan,” si bibi menimpali.

”Bukan lumayan lagi,” kata ibu Firda. ”Dia sudah mampu jadi pengganti ayahnya. Semua keperluan sehari-hari dia yang biayain. Termasuk kontrak rumah dan uang sekolah adik-adiknya.”

”Memang gajinya berapa?”

”Gajinya mah sekitar delapan ratus. Tapi uang lemburnya tinggi, katanya. Waktu baru dua bulan kerja saja saya lihat tabungannya sudah lima juta lebih. Jauh betul dengan ayahnya yang sampai pensiun nggak pernah bisa nabung.”

”Jangan-jangan dia sudah jadi manajer.”

”Ah, belum. Karyawati biasa. Tapi kelihatannya dia memang sedang dipersiapkan atasannya untuk naik pangkat buat pegang jabatan. Tiga bulan terakhir ini dia sering ikut macam-macam training. Manajemen, bahasa Inggris, komputer, kepribadian…. Kadang di Jakarta, tapi lebih seringnya di Bandung.”

”Berat juga ya, sampai harus ke Bandung segala.”

”Berat sekali juga enggak. Soalnya kalau training di Bandung pasti menginap barang semalam. Jadi masih ada waktu buat rekreasi, belanja-belanja, beli oleh-oleh buat yang di Jakarta. Bulan lalu malah di Bali sampai seminggu.”

”Semuanya dibiayai kantor?”

”Bukan cuma dibiayai, tapi juga dikasih uang saku!”

”Hebat sekali!!?”

”Makanya saya sendiri suka terharu, nggak mengira Firda sekarang sudah jadi tulang punggung keluarga. Saya cuma bisa bersyukur dan bersyukur pada Yang Mahakuasa, ’Ya, Alloh… terima kasih atas segala kemudahan yang sudah Kau berikan kepada kami…’.”

Pagi hari Ferdi membuka mata dan kecewa menemukan dirinya tergolek di ranjang di kamar rumahnya. Jam dinding menunjuk setengah tujuh, yang berarti sebentar lagi istrinya akan memanggilnya untuk sarapan. Ia pun bangkit hendak keluar kamar, tapi lalu tertahan oleh dering telepon yang terletak di meja lampu. ”Halo?”

”Bisa bicala sama eyang Feldianto?”

Ferdi tersenyum. ”Ini siapa, sih, pagi-pagi sudah nelpon pakai suara genit?”

”Aku Icha, cucunya eyang Feldi.”

Ferdi tertawa. ”Ada apa, sayang?”

”Ental siang jangan lupa, ya, dateng ke lumahku. Aku kan ulang tahun.”

”Oh, ya. Pasti. Eyang nggak mungkin lupa.”

”Dah, eyaaang.”

”Dadaah.” Ferdi menutup gagang telepon. Senyumnya seketika memudar. ”Hampir lupa…!” katanya dalam hati.

”Siapa yang nelpon?”

Ferdi kaget dan menoleh, melihat istrinya yang baru saja muncul di pintu kamar. ”Icha. Ngundang ke ulang tahunnya nanti siang.”

”Icha sendiri yang nelpon???”

”Iya.”

”Ya, ampun! Baru mau tiga tahun sudah pinter banget.”

”Anak sekarang….”

”Eh, Astrid sudah nemuin Papa?”

”Belum. Ada apa?”

Belum lagi ibunya menjawab, seorang gadis cantik berumur dua puluh lima tahun muncul dan langsung masuk ke kamar. ”Hai, Pa!”

Si ibu tersenyum penuh arti dan pergi meninggalkan ayah-anak ini. ”Minta sendiri gih sama Papa.”

Ferdi bertanya-tanya. ”Mau minta apa, sih?”

”Mmm…. kado perkawinan.”

”Kado kok minta. Tergantung papa dong, mau ngasih apa.”

”Soalnya gini, Pa. Mathias sudah pasti mau dikasih kado mobil sama orangtuanya. Maksudku, Papa jangan ngasih aku mobil juga.”

”Terus, kamu pengin dikasih kado apa?”

”Mmm… rumah.”

Ferdi tertegun. ”Rumah…?”

”Soalnya aku sama Mathias sudah sepakat setelah kawin nanti nggak mau tinggal di pondok mertua indah.”

Setelah berpikir beberapa saat, berangsur wajah Ferdi kembali cerah dan bahkan kemudian tertawa. ”Tenang aja. Sudah papa siapin.”

”Ah yang bener, Pa.”

”Kamu suka, kan, rumah di Bukit Kayangan?”

”Suka banget! Memang papa sudah beli???”

”Sudah.”

Astrid sesaat terkesima, lalu menghambur mendekati ayahnya dan mencium pipinya berkali-kali. ”Thanks, Pa! Makasih banget!!!”

”Buat kamu, apa sih yang nggak papa kasih.”

”Tapi rumahnya sudah ada atau kita harus nunggu dibangun dulu?”

”Sudah ada. Tinggal masukin furniture sama ngurus balik nama.”

Astrid heran. ”Kok pakai balik nama segala…?”




Jakarta, 26 Juli 2005

No comments: