Tuesday, 16 November 2010

Batu di Pekarangan Rumah

Batu di Pekarangan Rumah

Cerpen Sapardi Djoko Damono



Waktu aku masih kecil ada sebuah batu agak besar tergeletak di salah satu sudut belakang pekarangan rumah kami. Batu itu bundar, bagian atasnya agak rata, hitam legam. Aku suka duduk di atasnya jika teman-teman sudah pulang ke rumah masing-masing sehabis bermain di pekarangan rumah kami itu. Aku sayang sekali pada batu itu sebab ia pendiam meskipun tampaknya tidak berkeberatan jika diajak bicara mengenai apa saja. Jika sedang sendirian malam-malam, sehabis bermain gobak sodor atau jamuran, aku suka duduk di atasnya melepaskan lelah sambil menunjukkan rasa sayangku padanya. Kutanyakan kapan ia lahir sebagai batu, kenapa ia berada di situ, siapa yang telah membawanya ke pekarangan rumah kami, dan kenapa ia lebih suka membisu. Aku tidak mengharapkannya menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu sebab toh seandainya dijawab aku tidak akan bisa memahaminya. la memiliki bahasa lain tetapi tampaknya memahami sepenuhnya makna setiap pertanyaanku. Aku sangat menyayanginya dan merasa seperti kehilangan kawan untuk berbagi perasaan ketika harus pergi meninggalkan rumah demi mata pencaharian, mengembara dari kota ke kota.

Hari ini aku pulang untuk mengiringkan dan menyampaikan salam pisah kepada ibuku yang selalu aku bayangkan sebagai seorang dewi itu. Beliau meninggal dengan sangat tenang kemarin tanpa meninggalkan pesan apa pun. Namun aku merasa bahwa ada sesuatu yang harus kulakukan sehabis pemakamannya, yakni melihat apakah batu itu masih ada di tempatnya yang dulu. Aku yakin dulu Ibu suka diam-diam menyaksikanku duduk di situ sampai larut malam. Batu yang agak besar dan hitam legam itu ternyata memang masih di situ, diam saja seperti menunggu kedatanganku. Malam itu suasana sepi setelah semua keluarga dan tamu yang menyampaikan bela sungkawa meninggalkan rumah kami. Aku dan batu itu berdua saja: aku duduk di atasnya dan sama sekali tidak berniat mengajukan pertanyaan seperti waktu masih kecil dulu itu. la tetap pendiam. Dan aku yakin bahwa sekarang ia pun sama sekali tidak berminat berbagi perasaan denganku karena tidak lagi mampu menguasai kosa kata bahasaku.***




Kalam, No. 19, th. 2003

No comments: