Sunday, 20 February 2011

Sepucuk Surat

Sepucuk Surat


Ketika Pakemon sedang membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia.

“Saya mengantar ini, Pak,” kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon.

“Dari siapa?” tanya Pakemon.

“Tidak tahu Pak. Saya cuma disuruh antar.”

Pakemon mengira, itulah sepucuk surat yang ditunggu-tunggunya dua puluh tahun. Ternyata surat itu dari Pak Presdir almarhum.

“Apa Bapak ingin tidak melayat?” kata sang kurir sebelum meninggalkan rumah Pakemon. “Jenazah beliau disemayamkan di rumah duka.”

“Kapan dimakamkan?”

“Sore ini, Pak.”

Surat itu mengingatkan Pakemon pada masa silamnya. Masa silam yang kelabu.

Pakemon telah menunggu sepucuk surat sejak dua puluh tahun lalu. Namun, dua puluh tahun Pakemon menunggu, dua puluh tahun pula ia menunggu sia-sia.

Kalau Pakemon bertanya pada Bagian PSDM kantornya, selalu terdengar jawaban standar, “Sedang diproses, Pak.”

“Jadi, kapan saya bisa pensiun?”

“Terus terang, saya juga tidak tahu, Pak. Saya cuma tukang tik, Pak. Kalau sudah ada perintah dari atasan saya untuk mengetik es-ka pensiun dini Bapak, tentu segera saya kirimkan kepada Bapak,” kata salah seorang pegawai PSDM.

“Maaf, dengan siapa saya bicara ini?”

“Dengan Ani, Pak.”

Pada kesempatan lain, yang menerima telepon Pakemon adalah Neni. Jawabannya serupa tapi tak sama, “Es-ka-nya sedang diproses, Pak.”

“Jadi, kapan es-ka pensiun dini saya keluar?” kata Pakemon dengan nada tinggi.

“Saya tidak tahu, Pak. Pokoknya, saya sudah serahkan ke sekretaris Pak Presdir. Silakan tanya sekretaris Presdir, Pak.”

Ketika Pakemon bertanya pada Weni, sekretaris Presdir, muncul jawaban,

“Es-ka-nya sudah saya masukkan Pak ke map ’Surat-Surat yang Harus Ditandatangani Presdir’, Pak.”

“Lantas?”

“Saya ’nunggu ditandatangani Bapak Presdir. Setelah itu, baru saya kirim ke Bapak.”

Pakemon sudah hafal jawaban itu semua.

“Sedang diproses, Pak.”

“Sudah diserahkan ke Pak Presdir, Pak.”

“Pak Presdir belum menandatanganinya, Pak.”

“Pak Presdir masih sibuk.”

“Pak Presdir sedang rapat.”

“Pak Presdir sedang ke luar kota.”

“Pak Presdir sedang cuti.”

“Pak Presdir sedang liburan ke Eropa.”

Ajaibnya, jawaban itu sama dari bulan ke bulan. Sama dari tahun ke tahun. Lebih ajaib lagi, itu sudah berlangsung dua puluh tahun. “Tidak masuk akal,” pikir Pakemon.

Salah satu yang disukai Presdir pada Pakemon adalah kehematannya. Pakemon kesohor sebagai orang yang superhemat. Dalam soal uang, ia selalu berpihak pada kepentingan perusahaan. Kalau sudah soal hitung-hitungan, Pakemon mirip pemilik perusahaan.

“Setiap sen yang dikeluarkan perusahaan sepertinya dikeluarkan dari kantong Pakemon sendiri,” komentar para karyawan secara bisik-bisik.

Komentar lain pada Pakemon, “Kita tidak tahu persis apakah Pak Pakemon itu hemat atau pelit….”

Dalam soal disiplin, Pak Presdir juga salut pada Pakemon. Tak ada karyawan yang mampu menandingi Pakemon. Meskipun jam kerja dimulai 7.30 pagi, Pakemon sudah berada di mejanya pukul 6.30. Akibatnya bisa ditebak: para karyawan pun ikut-ikutan datang pagi dan merasa malu kalau masuk lebih dari pukul 7.30.

Pulangnya pun begitu. Meski jam kantor berakhir 16.30, Pakemon selalu pulang pukul 17.30. Akibatnya pun bisa diduga: para karyawan pun ikut-ikutan pulang mendekati 17.30 dan merasa rikuh pulang pukul 16.30 teng.

Tak mengherankan kalau Pakemon dipercaya Presdir menduduki jabatan direktur keuangan perusahaan MNC itu pada usia 30 tahun.

Itu juga sebabnya, Pakemon terpilih menjadi karyawan teladan selama beberapa tahun berturut-turut. Namun, itu pula sumber protes para karyawan terhadap Presdir.

“Pemilihan karyawan teladan tak perlu diteruskan, Pak,” kata mereka.

“Kenapa?” tanya Presdir.

“Lha, kalau caranya begitu, yang terpilih dari tahun ke tahun cuma Pakemon melulu, Pak,” kata yang satu.

“Kalau begitu, Pakemon saja yang kerja, Pak,” kata yang lain.

“Kita-kita ini berhenti saja semua, Pak,” kata yang lain lagi.

Sejak itu, pemilihan karyawan teladan pun ditiadakan.

Kalau bertemu dengan Pakemon, pastilah kau akan iri secara diam-diam atau terang-terangan. Bukan karena istrinya bekas peragawati. Bukan pula karena Pakemon mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah unggulan (bayarannya dengan dollar Amerika). Bukan pula karena ia memiliki rumah bagus (Lt 1000m²/Lb 500 m²) di kompleks perumahan paling bergengsi. Bukan pula karena ia memiliki vila di daerah pegunungan (yang dikunjunginya setiap akhir pekan dan hari libur lainnya). Juga bukan karena Pakemon memiliki mobil-mobil made in Germany (BMW paling gres untuk dirinya sendiri; Mercy seri terbaru untuk kegiatan istrinya; Opel Blazer untuk antar jemput kedua anaknya).

Bukan itu.

Pakemon mencapai semua itu pada usia 40 tahun!

Itulah yang menyebabkan Pakemon telah merasa di puncak kariernya. Pakemon rupanya sangat tahu diri. Tak mungkin lagi ia naik ke atas….

“Menjadi salah satu direktur saja sudah di luar impianku,” kata Pakemon pada suatu hari pada istrinya.

Pakemon sangat mensyukuri kedudukan yang diperolehnya di perusahaan MNC itu. Ia tidak ingin lagi lebih dari itu.

“Tapi, kamu kan masih muda, Mas,” sahut istrinya.

“Maksudmu?”

“Kamu masih mempunyai peluang jadi presdir.”

“Jadi p-r-e-s-d-i-r?”

“Ya, jadi p-r-e-s-d-i-r!”

Pakemon yang tak punya ambisi apa-apa ketika melamar di perusahaan MNC itu (“yang penting aku dapat pekerjaan dan bisa hidup”), serasa berada di awang-awang. Jadi presdir? Ah, tidak. Tidak!

Pakemon sangat tahu diri.

“Ah, itu tak mungkin, Pak,” kata Pakemon kepada Presdir pada suatu audienasi. Pakemon sengaja minta waktu untuk menghadap.

“Lalu rencana Saudara selanjutnya apa?”

“Kalau kita sudah di atas, tentu tak ada jalan lain kecuali turun secara terhormat dan sopan.”

Rupanya, Presdir kurang paham maksud Pakemon.

“Maksud Saudara bagaimana?”

“Saya ingin pensiun saja, Pak.”

“P-e-n-s-i-u-n?”

“Ya, pensiun, Pak,” kata Pakemon dengan kalem. “Pensiun dini….”

“Pensiun pada usia empat-puluh tahun?”

“Betul, Pak.”

“Saudara sudah yakin?”

“Yakin, Pak.”

Setelah membaca basa-basi pada awal surat, Pakemon membaca inti surat Presdir itu.

Sebetulnya, saya sangat senang dengan reputasi Anda di perusahaan.

Sayangnya, Anda terlalu cepat berpuas diri. Buktinya, Anda meminta pensiun pada usia 40 tahun, justru saat usia Anda sedang produktif.

Coba Anda bayangkan. Kalau Anda saya perkenankan pensiun dini, tentu saja banyak orang kelak yang akan meminta pensiun dini. Itu preseden buruk, Saudara! Apa jadinya perusahaan yang saya bangun ini dengan susah payah?

Kini usia Anda sudah 60 tahun. Saatnya untuk pensiun. Ya, pensiun normal.

Pensiunlah dengan tenang. SK-nya sudah saya tanda tangani. Silakan ambil di PSDM.

Di bawahnya masih ada kata-kata berikut.

Jangan dendam pada saya. Itu tak baik.

Dua baris terakhir berbunyi:

Anda telah menunggu 20 tahun.

Maaf.

Setelah tanda tangan Pak Presdir, masih ada NB yang berbunyi: Saya ingin menyampaikan satu hal pada Anda. Sebenarnya, saya menjagokan Saudara sebagai kandidat pengganti saya kelak. Sayangnya, Saudara bersikukuh minta pensiun dini.

Istri Pakemon yang mengetahui adanya surat Pak Presdir itu dan telah membacanya berusaha menghibur Pakemon.

“Sudahlah, Pap. Nggak usah dipikir lagi ulah Presdirmu itu.”

Pakemon tak bereaksi. Ia masih merasa sakit hati pada Pak Presdir. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Dibiarkan menunggu dua puluh tahun. Tak digaji. Tak diberi pesangon. Cuma dianggap non-aktif!

“Lupakah saja surat pensiun dini itu, Pap.”

Pakemon menarik napas panjang. Ia perhatikan surat Presdir itu. Dibacanya lagi. Namun, sakit hatinya tak hilang-hilang jua; malah makin menancap lebih dalam. Kenapa dia biarkan aku menunggu dua puluh tahun? Kenapa aku harus menanti dua puluh tahun tanpa kabar? Kenapa aku dipingpong ke sana kemari hanya untuk sepucuk surat?

“Toh semua sudah berlalu, Pap, buat apa dipikiri?”

Pakemon mengangkat cangkir dari tatakannya, kemudian menyeruput kopi arabika kesukaannya. Ditaruhnya surat Presdir di meja di hadapannya, kemudian diteruskannya membaca koran pagi.

Ketika istri Pakemon mengajak, “Ayo kita melayat, Mas!” Pakemon tampak bergeming. Pakemon belum tahu, apakah ia akan melayat atau tidak.

Jakarta, 8-9-2003



Pamusuk Eneste

No comments: