Wednesday 17 November 2010

Gadis Pengigau

Gadis Pengigau

Cerpen Hamsad Rangkuti



WAKTU mengenang 100 hari wafatnya Umar Kayam; di bangku pengunjung, aku teringat guyon-guyon segarnya, si cerpenis besar itu. Satu di antara guyon itu, yang sangat kuingat, dan selalu kuusahakan untuk aku terapkan; sering menyelamatkanku dari kondisi terdesak. Misalnya, pada waktu anak sakit yang harus segera dibawa ke dokter, atau tiba-tiba harus mentraktir teman makan, atau mendadak dibutuhkan untuk urusan pemicu lahirnya sebuah karya. Guyon itu dia ucapkan pada waktu mengambil honorarium cerpennya di Balai Budaya. Menurutnya, mata uang itu ada jenis kelaminnya. Uang perempuan dan uang lelaki. Uang perempuan untuk perempuan di rumah. Uang lelaki untuk disembunyikan di dalam dompet. Honorarium itu, katanya waktu itu, adalah uang lelaki.

Godaan di hari tua selalu saja datang. Dia datang malam-malam, mengendap begitu saja masuk ke kehidupan yang rapuh. Aku didatangi lelaki itu usai acara itu. Ia rupanya mengundang seorang wanita muda ke tempat itu dan dia tidak bisa mengantarnya pulang. Dia tahu kalau aku searah pulang dengan kereta, lalu begitu saja dia minta kesediaanku sebagai teman perjalanan.

Di stasiun kereta, kami menunggu kereta datang. Wanita muda itu menceritakan siapa dirinya dan apa pula cita-citanya. Dia rupanya tahu siapa aku, penulis yang dia kenal. Kelihatannya dia ingin masuk lebih dalam ke dunia seni. Laki-laki yang tak bisa mengantarnya pulang itu adalah seorang penyair sementara dia ingin jadi pengarang. Maka, dia merasa beruntung; menurut dia, bisa berkenalan dengan pengarang yang sudah dia kenal namanya, malam-malam begini.

Aku adalah orang yang suka pada malam. Wanita muda yang datang begitu saja dalam malam-malam seperti ini mengundang rasa berdebar. Jantung tuaku tak pernah berhenti berdebar setiap ada dering telepon. Apalagi wanita muda seperti ini datang malam-malam dalam ujud nyata, bukan hanya sekadar suara.

Kereta api itu datang dengan penumpang yang berdesak. Para penumpang mulai berdiri di peron dalam kelompok-kelompok kecil mendekati pintu kereta. Mereka adalah para pekerja toko. Wanita muda itu tidak mau berdesak-desakan. Dia meminta supaya menunggu kereta berikutnya. Kereta itu pun berlalu meninggalkan kami. Dari sinilah awal kehidupan malamku berlangsung bagaikan fiksi. Peron tiba-tiba menjadi sunyi. Kereta itu adalah kereta terakhir. Kami terjebak dalam kesunyian peron.

"Mungkin itu tadi kereta terakhir?" katanya senyum. Agak aneh. Tak tampak kegelisahan di air mukanya. Mungkinkah wanita itu sudah telanjur keluar ditarik laki-laki itu dari dunia ruang terbatas, dengan lingkungan kecil manusia. Apakah dia telah menjadi liar, dalam batas-batas yang wajar. Malam ini dia bersandar pada tiang, memandang kesunyian dengan wajah tanpa ekspresi. Dua jalur rel dalam cahaya lampu yang lemah terentang di belakangnya, tak jauh dari tempat dia berdiri. Langit kota menyungkup jalan-jalan yang murung. Mobil melintas satu-satu. Lampu jalanan tampak seperti mata tua yang mengantuk. Angin malam yang berembun mengembus roknya. Mataku mengikuti embusan angin itu dan berhenti menatap roknya yang tersingkap; putih pahanya tampak tak begitu sempurna dalam remang cahaya yang tak menguntungkan. Dengan gugup ia buru-buru menurunkan ujung rok itu dan berkata: dingin; untuk menghilangkan kegugupan dan rasa malu. Mataku melirik mencuri wajahnya, memandang leher jenjangnya dan turun ke bawahnya, berhenti sejenak di tepi gaunnya yang berleher terbuka, menyeruak ke dalam, di antara buah dadanya. Kulitnya halus dan kencang. Kemudaan bersembunyi di bawah gaun itu.

"Aku tadi seharusnya memakai celana panjang. Tetapi, dia menginginkan aku memakai rok."

"Oh, sudah sampai begitu dia mendiktemu?"

Stasiun sudah tak berpenghuni. Lampu stasiun satu per satu dipadamkan. Inilah saat melihat pojok-pojok gelap pelataran peron. Dari sudut-sudut gelap tikus-tikus bermunculan mencari remah-remah penumpang. Rel memanjang bagaikan tangga bambu yang panjang menakutkan. Langit tampak pucat. Awan bagaikan pelupuk mata menutup mata dunia, bulan bulat penuh.

"Mungkin kereta sudah habis."

"Mungkin. Lalu bagaimana?"

"Aku tak biasa pulang malam. Apa masih ada bus? Untuk taksi mungkin terlalu mahal." Katanya gelisah. Dia telah masuk lagi ke dunianya yang sempit, dunia ruang terbatas, dengan lingkungan kecil manusia. Dia tampak gelisah dan tidak menunjukkan dia dari dunia liar. Aku mengingat-ingat jumlah uang di dalam dompet. Perjalanan pulang cukup jauh. Untuk sebuah taksi tentu terlalu mahal. Tetapi, kalau sudah terpaksa apa boleh buat. Uang lelaki ada di dalam dompet.

"Sebelum sakit, aku biasa pulang malam. Malam adalah bagian dari hidupku. Aku sudah terbiasa dengan malam. Malam adalah milik orang-orang yang terjaga. Jangan khawatir. Pukul segini masih ada bus ke Kampung Rambutan. Kita coba dulu menunggu bus. Kalau sudah sampai di sana, sudah gampang. Kau naik bus ke arah rumahmu, aku naik bus ke arah rumahku? Kalau terpaksa, bila tidak ada bus, kita naik taksi. Bagaimana?"

"Tunggu sebentar," katanya.

Dia berlari ke bilik telepon. Mungkin dia mencoba menghubungi laki-laki itu, meminta agar mengantarnya pulang dengan mobilnya. Tetapi, dia muncul dengan wajah lesu. Dia bersungut mengatakan kalau lelaki itu tidak sempat. Menurut laki-laki itu, tempat tinggal wanita itu malam-malam begini menjadi sangat jauh, untuk pulang lagi ke rumahnya. Dalam percakapan telepon saku, lelaki itu bilang kalau dia telah mempercayakan semuanya kepadaku. Dia tidak ingin menarik kepercayaan itu. Mungkin dia berdalih.

"Sudah sampai di mana hubungan kalian?" tanyaku.

"Dia mengajak tidur di hotel malam ini, tidak usah pulang."

"Mengapa ditolak?"

"Aku bukanlah wanita yang bersarang dalam pikiran kotornya."

Mungkin ini adalah bus terakhir, mungkin juga tidak. Kami naik. Hanya ada dua bangku yang kosong. Satu di depan. Satu di belakang. Aku suruh dia duduk di depan, aku duduk di belakang. Sebelum bus sampai di terminal terakhir penumpang yang duduk di sebelahnya turun. Dia bergeser ke tepi jendela. Itu kuartikan isyarat agar aku pindah duduk ke sebelahnya. Hangat tubuhnya menjalar ke tubuhku. Mungkin begitu pula sebaliknya.

"Aku tidak mau pulang. Sudah terlalu malam. Apa kata tetangga nanti. Para peronda itu selalu menyindir dengan kata-kata kasar."

"Apa perlu kuantar?"

"Tidak usah."

"Kalau tidak pulang, di mana kau mau tidur."

"Di halte. Atau di terminal"

"Sangat berbahaya untuk seorang gadis seperti kau."

"Biarin. Biar dia tahu. Dia nanti pasti menelepon ke rumah. Aku ingin tahu apa reaksi dia. Bapak pulang saja."

"Oh, tidak bisa begitu. Bapak telah merasa bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak tega rasanya membiarkanmu tidur seorang diri di terminal"

"Kalau begitu temani saya. Kita bergadang di terminal sampai pagi."

"Kalau tidak pulang, nanti apa kata keluargamu?"

"Aku akan bilang menginap di rumah teman."

"Di mana rumah temanmu? Biar kuantar."

"Tak usah. Sudah terlalu malam. Tak baik mengetuk pintu orang larut malam begini."

"Jadi, bagaimana?"

"Ya, begitu. Bapak pulang. Saya menginap di terminal."

"Tidak bisa begitu. Aku sudah telanjur merasa bertanggung jawab padamu."

"Kalau begitu kita bergadang di terminal sampai pagi. Dia pasti menelepon ke rumah Bapak. Dan apa reaksi dia kalau dia tahu ternyata Bapak juga tidak pulang. Aku akan mengarang cerita padanya. Kita tidur di hotel."

"Jangan begitu. Itu fitnah."

"Kalau begitu Bapak pulang saja. Saya tidak apa-apa kok tidur di terminal. Anggap saja menunggu mobil luar kota yang berikutnya."

"Aku sebenarnya tidak pernah tidak pulang malam."

"Bapak mau kan? Kita bergadang di terminal. Minum kopi sampai pagi? Katanya seniman. Pengarang. Seniman kan akrab dengan dunia malam."

"Tetapi, Bapak tidak pernah tidak pulang. Tidak pernah tidak tidur di rumah. Setiap malam, setiap aku terjaga tengah malam, selama tiga puluh tiga tahun, yang tampak adalah wajah istri. Ingin rasanya aku ada malam yang ganjil di antara ribuan malam dalam kehidupanku. Begitu terbangun tengah malam, bukan wajah istri yang terlihat di sisiku, tetapi wajah wanita lain di tempat tidur yang berbeda."

"Cobalah malam ini. Di bangku Terminal Kampung Rambutan. Anggaplah ini malam yang ganjil di antara ribuan malam kehidupan Bapak. Begitu terbangun tengah malam, ada wanita lain yang tidur di samping Bapak. Aku orangnya. Bagaimana? Bapak setuju? Katanya seniman."

Aku mulai tertarik. Bagaimana mau jadi pengarang besar kalau tidak berani bertualang seperti Hemingway?

"Tunggu dulu. Biar kutelepon ke rumah."

"Pakai menelepon segala. Betul-betul Bapak ini golongan STI."

"Apa itu STI?"

"Suami takut istri."

"Bukan itu masalahnya. Soalnya sejak Bapak sakit berat, belum pernah keluar rumah sampai jauh malam seperti malam ini. Apalagi tidak pulang."

"Sudah, telepon sana. Bikin alasan yang tepat. Masa pengarang tidak bisa bikin karangan kepada istri. Bisanya hanya kepada pembaca. Ayo, telepon sana. Kita bergadang sampai pagi."

Aku pergi ke bilik telepon. Kubayangkan istriku dengan mata mengantuk mengangkat gagang telepon.

"Halo. Bisa bicara dengan Ibu Hajjah Nurwindasari?"

"Enggak lucu, ah! Di mana kau? Sudah pukul berapa ini? Kau kan baru sembuh dari sakit beratmu. Lupa kau satu bulan di rumah sakit? Tiga bulan di kursi roda? Tiga bulan memakai tongkat? Baru dilepas mengenang 100 hari Umar Kayam sudah macam-macam. Ayo cepat pulang. Nasi sudah dingin nih. Sudah sedingin hidung kucing. Ayo cepat pulang!"

"Tunggu dulu. Dengar dulu. Ini ada Nashar."

Aku sengaja masuk ke dunia bisnisnya. Bisnis lukisan. Bisnis lukisan yang digelutinya akhir-akhir ini sudah cukup maju. Dia bahkan sudah bermain di kalangan atas para kolektor. Dia sudah sampai ke Bali, Yogya, Surabaya, dan Bandung dalam urusan lukisan. Nashar sengaja kusinggung, sebab dia sedang mencari lukisan Nashar. Mengapa para kolektor mencari lukisan Nashar kepadanya, karena aku dulu pernah tinggal bersama pelukis itu di Balai Budaya. Banyak lukisan Nashar yang kubeli semampuku. Maka ketika karya Nashar melejit, para peminat banyak yang menelepon ke rumah. Dan sudah banyak lukisan Nashar dijual istriku dengan harga tinggi. Bahkan, sekarang pun dia sedang mencari lukisan Nashar

"Apa hubungan Nashar dengan malam-malam begini?"

"Itu dia. Yang punya lukisan Nashar itu esok pagi akan ke luar kota selama seminggu. Kalau tidak malam ini diambil, kita harus menunggu seminggu lagi."

"Esok pagi kan bisa."

"Subuh dia harus sudah ada di bandara. Jadi, tidak mungkin esok pagi. Rumahnya jauh. Di Tangerang."

"Ya, sudah. Asal hati-hati saja. Amati yang benar lukisan itu. Lukisan Nashar sudah banyak yang dipalsu."

"Ya. Aku mengerti."

"Ya, sudah. Jaga dirimu. Hati-hati. Jangan lupa makan norit. Ingat, empedumu sudah tidak ada. Ingat pesan dokter Handrawan Nadesul, hindari angin malam. Turuti itu. Kecuali kalau kau mau paru-parumu digenangi air lagi. Satu lagi pesan penting: Jangan bawa lukisan palsu ke rumah."

"Oke sayang. Selamat tidur."

Aku gandeng wanita itu.

"Malam panjang telah tiba," Kataku kepadanya.

"Ke mana kita?"

"Terserah."

"Bukankah Bapak yang tahu tentang malam."

"Ya, aku tahu. Aku tahu bagaimana caranya menghabiskan malam. Kita ke Bandung. Kita naik bus AC. Kita anggap saja bus itu hotel mewah yang berjalan."

"Tetapi, kita tidak bisa melunjur."

"Maksudmu mau tidur di hotel?"

"Oh, tidak. Aku belum siap menguji iman."

"Melunjur atau tidak, sama saja kalau kita mengantuk. Oke? Kita ke Bandung."

Kami duduk tiga bangku di belakang sopir, di dinding sebelah kiri. Dia duduk di tepi jendela, aku di sebelahnya. Udara dingin mesin penyejuk berembus menyegarkan badan. Kami makan makanan kecil bergula. Kami betul-betul menikmati malam. Tak ada yang dipikirkan. Kecuali hangat tubuh mengalir di antara kami. Menjelang tengah malam dia tertidur. Dalam tidurnya dia mengigau.

"Untuk menghapus jejak fitnah kau datangi pemilik kios buku itu. Kau ajak serta teman-temanmu. Kau lakukan teror. Kau paksa pemilik kios buku itu membuat secarik pembenaran. Kau bilang tidak untuk disebarluaskan. Hanya untuk disimpan. Pemilik kios itu ketakutan. Takut keberadaan kios itu akan dimacam-macami".

"Kaubilang kautelah bergaul puluhan tahun denganku. Kaubanyak tahu tentang diriku. Tentu yang kaumaksud adalah aib pada diriku. Apa kaukira aku tidak tahu tentang aib pada dirimu? Mau kau aku buka corengan arang di seluruh muka kita? Biar orang tahu semuanya? Kaujangan coba-coba menepuk air di dulang, kalau kau bukanlah si dungu itu. Ada sedikit kenangan, siapa di rombongan kita yang menyebut dirinya kapten. Masa lalu adalah masa yang indah untuk dikenang, jangan dijadikan alat untuk saling menjatuhkan. Apa kaumau akulah si dungu itu, menepuk air di dulang, menumpahkan isi tempayan biar kita kuyup semuanya? Aku mau tanya. Apa pangkat kau menyebut diriku midioker. Kaukira kausiapa? Pemabuk! Lebih baik kautenggak arak kedengkianmu sampai kau mabuk luluh lantak. Berkongko-kongkolah kausesama sejenismu di kedai minum itu, dan nikmati onani kalian. Aku sudah lelah menghadapi gosip; kebohongan; fitnah; dan cara yang kalian halalkan untuk mencapai tujuan. Aku tak bisa menjadi penghuni kandang seperti kalian!"

Aku memandang wajahnya yang mengigau. Perjalanan sudah cukup jauh. Para penumpang yang lelah banyak yang tertidur. Tampak sekali kalau dia juga lelah dan mengantuk. Igauannya membuyarkan fantasi kemesraan dalam perjalanan malam di sebuah bus. Tak ada arti kesejukan ruangan. Tak ada kemanjaan. Tak ada kepala yang disandarkan di bahu. Tak ada bisik-bisik mengembuskan kehangatan napas di telinga. Ternyata, dia adalah gadis pengigau. Siapa sosok misterius yang datang mendobrak masuk ke alam tidurnya. Dan mengigau dalam perjalanan ini. Kutunggu gadis pengigau itu terbangun.

Bus berhenti di restoran persinggahan. Dia terbangun dan minta ditemani ke kamar kecil. Semua penumpang turun; untuk maksud yang sama.

"Kaumengigau," kataku. "Kautampak lelah. Siapa sosok yang masuk ke dalam tidurmu sehingga kau mengigau?"

"Aku mengigau? Ah, tidak mungkin. Aku tidak mengigau. Mungkin Bapak yang mengigau. Kok aneh, aku Bapak bilang mengigau?"

"Ya, kaumengigau. Sayang kau tidak menyebut nama. Jadi, aku tidak tahu siapa yang kau maksud?"

"Aku mengigau? Ah, tidak. Aku tidak mengigau. Aku lapar."

"Kita makan?"

"Bapak ada duit?"

"Ada. Kita makan sup buntut dan 20 tusuk satai. Aku sepuluh, kausepuluh. Setuju?" Dia mengangguk.

Di dalam perjalanan selanjutnya masih kutanya tentang igauannya. Tetapi, dia tetap tidak merasa mengigau. Dan aku pun melupakannya. Kulihat bulan di luar jendela. Sebentar-sebentar rimbun pohon menyembunyikannya. Terkadang ada daun kelapa menyayat-nyayat bundarnya. Dalam remang-remang dan tiupan angin ranting-ranting bergoyang seperti gerakan tarian iblis. Seekor burung malam hinggap di ranting tak berdaun, di belakangnya bulan bulat penuh. Dalam lari kendaraan yang patah-patah di jalan mendaki, dia terdoyong ke tubuhku. Dilihatnya sekeliling, orang-orang sudah mulai tidur kembali.

"Terlalu dingin," bisiknya ke daun telinga. Embusan napasnya yang hangat mendebarkan jantung tuaku. Harum napasnya adalah harum bunga mawar. "Bapak tidak kedinginan?"

"Tarik selimut bila ada. Bila tak ada, anggap aku selimut tebalmu."

"Beri aku kenangan untuk menghapus kenangan darinya." Dia menggeliat, memperlakukan aku seperti guling.

"Kaubilang, ini adalah kamar hotel yang berjalan. Tolong beri aku kenangan untuk melenyapkan kenangan darinya." Lanjutnya. Dekapan itu semakin erat. Dan kukira ini adalah igauannya yang lain. Karakter fiksi benar-benar terujud dalau wujud nyata.

"Kaumasih tetap saja mengigau. Kali ini berikut tindakan. Siapa yang kaupeluk dalam igauanmu? Laki-laki yang tak mau mengantarmu pulang?"

"Aku tidak mengigau. Aku sadar. Pegang dadaku. Rasakan debarannya. Aku suka perjalanan ini. Kita duduk berdempetan dalam sebuah bangku hotel yang berjalan. Terkadang aku membenarkan ucapanmu, ini adalah ranjang sebuah hotel yang berjalan. Banyak kenangan yang kudapat malam ini. Sup buntut dan dua puluh tusuk satai. Kita makan berdua di tengah tatapan mata para penumpang. Tolong lengkapkan kenangan ini. Beri aku kenangan yang lain, biar menghapus kenangan darinya."

"Apa yang kaupinta?"

"Menghapus kenangan itu." Dia diam sebentar. Lalu bisiknya: "Maukah kaumenghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu di atas bus ini?"

"Mengapa harus di atas bus ini? Tidak bisakah ditunda di tempat yang lain?"

"Biar lengkap semuanya, malam ini dan di atas bus ini."

Dekapan itu semakin erat. Wajahnya demikian dekat. Aku tinggal berpaling dan bekas itu akan terhapus.

"Aku pernah menghapus sebuah bekas, di tempat dingin di lembah Harau. Dan itu menimbulkan masalah."

"Lupakan yang itu. Inilah aku. Berpalinglah. Sebentar lagi hari pagi. Penumpang-penumpang itu akan bangun."

"Coba lihat cermin intip di kepala sopir. Semua yang terjadi di belakang dapat dia lihat di dalam cermin."

"Tolong hapus kenangan itu. Apakah aku harus menghadap ke belakang, duduk di atas pangkuanmu? Buaslah seperti dia. Tangannya masuk ke seluruh tubuh." Dia menoleh kepada cermin, lalu ke yang lainnya. "Aku tak peduli kepada cermin. Sup buntut dan dua puluh tusuk satai. Aku sepuluh, kau sepuluh."

Kurasa dia yang menghapus, bukan aku.

"Aku sudah lelah menghadapi gosip; kebohongan; fitnah; dan cara yang kalian halalkan untuk mencapai tujuan. Aku tak bisa menjadi penghuni kandang seperti kalian! Kalimat itu muncul di akhir igauanmu."

"Oh, ya? Dalam mengigau aku mengucapkan kalimat itu? Aku sudah lelah menghadapi gosip; kebohongan; fitnah; dan cara yang kalian halalkan untuk mencapai tujuan. Aku tak bisa menjadi penghuni kandang seperti kalian!"

"Ya, itu yang kauucapkan."

"Apakah aku tadi mengigau? Ah, tidak. Aku tidak mengigau."

Sopir menghidupkan tape recorder. Mengumandanglah lagu kecapi sunda. Tanah Priangan menyambut kedatangan kami. Lampu-lampu kota berkelip-kelip dalam cahaya merah ufuk timur.

"Coba kaulihat lampu-lampu itu. Inilah saat yang indah melihat Bandung di waktu malam. Kita berada di ketinggian kota. Perhatikan lampu-lampu itu. Satu di antaranya adalah lampu rumah sahabatku. Pelukis Jeihan. Dia melukis wanita-wanita cantik seperti kau. Dia menghitamkan seluruh mata wanita yang dia lukis, seperti cadar wanita muslim Timur Tengah."

"Seperti cadar wanita muslim Timur Tengah." Dia kembali duduk pada posisi semula.

"Di lukisan itu tidak ada putih mata. Terkadang aku menganggap mata hitam itu adalah lorong dalam yang berakhir di dasar hati."

"Aku jadi ingin melihat lukisan itu."

"Kita bisa ke studionya kalau kaumau."

"Bapak memiliki lukisan itu?"

"Lukisannya terlalu mahal. Tidak mungkin terbeliku."

Di Terminal Leuwie Panjang kubeli dua sikat gigi, odol ukuran kecil, sabun mandi, dan dua helai handuk kecil. Masing-masing kami masuk kamar mandi umum. Kemudian, kami pesan dua porsi bubur ayam dan dua cangkir kopi susu panas. Setelah itu kami naik bus menuju Jakarta.

Di rumah kuketuk daun pintu yang terkunci. Kudengar anak kunci berputar pada lubangnya. Istriku membuka pintu itu. Kurasakan pandangan curiganya menjelajahi seluruh tubuh. Seperti ada yang dicarinya yang tersembunyi dalam diriku. Apa tercium olehnya yang tersembunyi di balik kehadiranku; kebohongan seorang suami. Aku melangkahi bendul pintu, masuk dengan menunduk, seperti memikul beban berat.

"Tadi malam ada telepon menanyakan kau. Aku bilang kau tak pulang. Mau melihat lukisan Nashar."

"Harum napasnya harum bunga mawar"

"Apa? Harum napasnya harum bunga mawar? Napas siapa?"

"Judul lukisan itu. Harum napasnya harum bunga mawar. Tak mungkin Nashar memberi judul lukisannya seperti itu."

"Aku pernah dengar judul itu. Mereka juga pernah menyebut-nyebutnya. Lukisan itu dicari mereka. Ada meja bundar. Di atas meja ada dua mangkuk sup. Mungkin itu sup buntut dan dua puluh tusuk satai. Sepasang manusia tak memakai sehelai benang duduk di antara meja. Itu satu-satunya lukisan Nashar yang nude. Aku mau lihat lukisan itu."

"Tunggulah seminggu lagi. Tetapi, kurasa tak mungkin Nashar melukis seperti itu. Aku yakin itu palsu."

"Tetapi, aku mau lihat."

"Sudahlah. Jerang air panas. Aku mau mandi. Tak mungkin Nashar melukis semacam itu. Aku yakin itu palsu."

***


Jakarta, 16 Juni 2003

Media Indonesia, 06/22/2003

No comments: