Tuesday, 16 November 2010

Jawaban Alina

Jawaban Alina

Cerpen Seno Gumira Ajidarma



Sukab yang baik

Senja yang kau kirimkan sudah kuterima, kukira sama lengkap seperti ketika engkau memotongnya di langit yang kemerah-merahan itu, lengkap dengan bau laut, desir angin dan suara hempasan ombak yang memecah pantai. Ada juga kepak burung-burung, lambaian pohon-pohon nyiur dalam kekelaman, sementara di kejauhan perahu layar merayapi cakrawala dan melintasi matahari yang sedang terbenam. Aku pun tahu Sukab, senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya akan berakhir dalam keremangan menyedihkan, ketika segala makhluk dan benda menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan. Kita sama-sama tahu, keindahan senja itu, kepastiannya untuk selesai dan menjadi malam dengan kejam. Manusia memburu senja kemana-mana, tapi dunia ini fana Sukab, seperti senja. Kehidupan mungkin saja memancara gilang-gemilang, tetapi ia berubah dengan pasti. Waktu mengubah segalanya tanpa sisa, menjadi kehitaman yang membentang sepanjang pantai. Hitam, sunyi dan kelam.

Rupa-rupanya dengan cara seperti itulah dunia mesti berakhir. Senja yang engkau kirimkan telah menimbulkan bencana tak terbayangkan. Apakah engkau tahu suratmu itu baru sampai sepuluh tahun kemudian? Ah, engkau tidak akan tahu Sukab, seperti juga engkau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan senja yang kau kirimkan ini. Senja paling taik kucing dalam hidupku Sukab, senja sialan yang paling tidak mungkin diharapkan manusia.

Senja ini baru tiba setelah sepuluh tahun, karena tukang pos yang jahil itu rupanya penasaran dengan cahaya merah kemas-emasan yang memancara dari amplop itu Sukab. Cahaya itu telah mengganggunya semenjak ia menggenjot sepeda dari kantor pos, berkilau-kilau dan memancar di tas surat yang tergantung di boncengan sepeda, begitu rupa sehingga cuaca siang hari menjadi kacau, angin menderu dan ombak terdengar menghempas-hempas, meskipun ia bersepeda mendaki bukit kapur. Demikianlah, maka ia suatu ketika berhenti. Dari dalam tas itu terdengar suara-suara, ia buka tas itu, dan ia melihat amplop Federal Express yang sudah tidak putih lagi melainkan merah keemas-emasan Sukab, seperti senja dengan matahari terbenam di balik cakrawala. Tukang pos itu mengambil amplop tersebut, menimang-nimangnya, agak berat juga. Maklumlah bukankah amplop itu berisi senja Sukab? Senja dengan matahari merah membara yang turun perlahan-lahan di balik cakrawala, seperti semua senja yanga ada di balik kartu pos, tapi yang kamu kirim itu bukan kartu pos Sukab, yang kau kirim itu senja di tepi pantai dengan hempasan ombak, bau laut dan angina yang asin. Kamu pikir berapa ton beratnya pasir di sepanjang pantai itu Sukab? Kira-kira sedikit dong! Masih lumayan tukang pos itu kuat menggenjot sepedanya mendaki bukit kapur. Busyet. Kalo anak-anak kecil tahu ada matahari terbenam di dalam amplop itu lantas bagaimana? Kau tahulah sukab, anak-anak di daerah bukit kapur begini tidak punya mainan yang aneh-aneh seperti di kota. Mereka hanya tahu kambing dan kerbau, ikan dan belut, sungai dan jagung. Nasi saja jarang meraka sentuh. Anak-anak yang tidak pernah tahu mainan robot berjalan dengan cahaya didadanya berkedip-kedip pasti akan penasaran sekali dengan cahaya senja yang memancar berkilauan., berkilauan merah dan keemas-emasan itu Sukab.

Mereka tidak pernah melihatnya Sukab, karena tukang pos itulah yang telah mendahului meraka. Ia menimang-nimang bungkusan berisi senja itu, mendengar-dengarkan, dan akhirnya mengintip. Tentu saja didalam amplop itu dilihatnya senja Sukab. Senja terindah yang paling mungkin berlangsung di muka bumi. Ia mengintip dan terpesona. Ia buka amplop itu. Sebetulnya menurut kode etik profesi itu tidak boleh. Tapi manusia manapun bisa melakukan kesalahan bukan? Ia buka terus amplop itu, dan melihat senja dengan langit merah kemas-emasan didalam sana, dan melihat mega-mega berpencar seperti perahu di danau, memebrikan perasaan nyaman dan tenang. Siapa yang tidak suka merasa nyaman dan tenang di dunia Sukab, di sebuah dunia yang miskin masih bersimbah darah pula? Maka jangan salahkan tukang pos itu Sukab, jika ia kemudian menjadi begitu penasaran dan memasuki senja yang terbentang. Tidak ada yang tahu apa nasib waktu(1). Ketika anak-anak akhirnya berkerumun di sekita sepeda yang tergeletak itu, mereka hanya melihat cahaya senja yang kemerah-merahan yang semburat membakar langit. Amplop itu hanya bocor sedikit, tapi akiatnya sudah begitu rupa. Ini semua gara-gara kamu Sukab.

Sukab yang malang, bodoh dan tidak pakai otak,

Sepuluh tahun lamanya tukang pos itu mengembara didalam amplop, kita tidak pernah tahu apa yang diklakukanya disana. Apakah dia kawin, beranak pinak, dan berbahagia? Atau selama itu dia hanya duduk saja memandang matahari terbenam dengan perasaan kehilangan, sementara langit yang tadinya merah keemas-emasan perlahan-lahan menggelap kebiru-biruan – aku juga tidak tahu bagaimana caranya menikmati senja di dalam amplop Sukab, sebuah ruang yang sungguh-sungguh terdiri dari waktu. Apakah waktu bisa diulang atau bagaimana, aku belum pernah memasuki senja di dalam amplop. Atau, apakah didunia ini sebetulnya seperti didalam amplop ya Sukab, dimana kita tidak tahu apa yang berada di luar diri kita, dimana kita merasa hidup penuh dengan makna padahal yang menonton kita tertawa-tawa sambil berkata, “Ah, kasihan betul manusia.” Apakah begitu Sukab, kamu yang suka berkhayal barangkali tahu. Tapi aku tidak mau khayalan, aku tidak mau kira-kira, meskipun usaha kira-kira itu begitu canggihnya sehingga disebut ilmiah, aku mau tahu yang sebenarnya. Apakah ada yang menyaksikan kita sambil tertawa-tawa? Kalau iya, apalah artinya hidup kita ini sukab? Tidakkkah nasib manusia memang seperti ikan, yang diternakkan hanya unutk mengisi akuarium diruang tamu seseorang yang barangkali juga tidak teralalu peduli kepada makna kehidupan ikan-ikan itu?

Aku tidak pernah tahu, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dialami tukang pos itu didalam amplop, sampai ia keluar sepuluh tahun kemudian dengan wajah bahagia. Ia sudah sepuluh tahun menghilang didalam amplop, tapi ia tidak tampak betambah tua. Apakah waktu di dalam amplop tidak bergerak? Tepatnya apakah senja didalam amplop tidak berhubungan dengan waktu? Apakah tidak ada waktu di dalam amplop Federal Express itu? Hmm. Apakah aku harus peduli dengan semua ini sukab, apakah aku harus peduli? Kamu betul betul merepotkan aku Sukab, dasar lelaki tidak tahu diri.

Sukab yang malang, goblok dan menyebalkan,

Kamu tahu apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Tukang pos itu tiba di depan rumah kami. Ya, rumah kami. Setelah sepuluh tahun banyak yang terjadi dong Sukab, misalnya bahwa kemudian aku kawin, beranak pinak dan berbahagia. Jangan kaget. Dari dulu aku juga tidak mencintai kamu Sukab. Dasar bego dikasih isyarat tidak mau mendengarkan. Sekali lagi, aku tidak mencintai kamu. Kalau toh aku kelihatan baik selama ini padamu, terus terang harus ku katakana sekarang, sebetulnya aku cuma kasihan. Terus terang aku kasihan sama kamu Sukab, mencintai begitu rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak mencintai kamu. Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Sukab, pakai otak dong sedikit, hanya dengan begitu kamu akan selamat dari perasaan cintamu yang tolol itu. Tapi bukan cinta taik kucing ini yang sebetulnya ingin ku ceritakan padamu Sukab. Soal cinta ini sama sekali tidak penting.

Kamu harus tahu apa akibat perbuatanmu ini Sukab, mengirim sepotong senja untuk orang yang sama sekali tidak mencintai kamu. Tahu apa akibatnya? Begitu tukang pos itu pulang, setelah menceritakan kenapa kiriman Federal Express bisa terlambat sepuluh tahun, kubuka amplop berisi senja itu, dan terjadilah semua ini. Apa kamu tidak tahu Sukab, senja itu meski cuma sepotong, sebetulnya juga semesta yang utuh? Kamu kira matahari terbenam itu besarnya seperti apa? Seperti apem? Kalau sepotong senja itu di dalam amplop terus sih tidak apa-apa, tapi ini keluar dan lautnya membludag tak tertahankan lagi. Bagaimana aku tahu amplop itu berisi senja Sukab? Aku bukan pengkhayal seperti kamu. Hidupku penuh dengan perhitungan yang matang. Aku tahu betul untung rugi setiap perbuatan, terutama apa untung ruginya untuk diriku sendiri. Betapa pentingnya hidupku selamat, demi suamiku dan anak-anakku. Pura-puranya aku ini juga perempuan yang setia. Itu pula sebabnya, sebelum maupun sesudah kawin aku tidak sudi berhubungan dengan kamu Sukab. Lagi pula aku tidak mencintai kamu. Mau apa? Tapi kamulah yang tidak tahu diri, mengirim senja tanpa kira-kira. Dunia ini jadi berantakan tahu? Berantakan dan hancur lebur tiada terkira.

Setelah amplop itu kubuka dan senja itu keluar, matahari yang terbenam dari senja dalam amplop itu berbenturan dengan matahari yang sudah ada(2). Langit yang biru bercampur aduk dengan langit yang kemerah-merahan yang terus menerus berkeredap menyilaukan karena cahaya keemas-emasan yang menjadi semburat tak beraturan. Senja yang seperti potongan kue menggelegak, pantai terhampar seperti permadani di atas bukit kapur, lautnya terhempas langsung membanjiri bumi dan menghancurkan segala-galanya. Bisalah kau bayangkan Sukab, bagaimana orang tidak panik dengan gelombang raksasa yang tidak datang dari pantai tapi dari atas bukit?

Air bah membanjiri bumi seperti jaman Nabi Nuh. Dunia menjadi gempar, tidak semua perahu yang ada cukup untuk seluruh umat manusia kan? Lagipula sampai kapan kapal dan perahu itu bisa bertahan? Tiada satu kota pun yang selamat, lautan dari senjamu yang membuat langit merah membara itu menghempas dan membanjiri bumi dengan cepat sekali. Gedung-gedung pencakar langit di setiap kota besar di seluruh dunia, gunung-gunung tertinggi di muka bumi, semuanya terendam air. Sukab, bumi ini sekarang sudah terendam air. Dimana-mana air dan langit senja tak kunjung berubah menjadi malam. Segalanya kacau Sukab, gara-gara cintamu yang tak tahu diri.

Sukab yang malang, paling malang, dan akan selalu malang,

Aku menulis surat ini dengan kertas dan pena terakhir di dunia, di atas puncak himalaya. Di depanku ada senuah sampan kecil dengan sepasang dayung dan sebungkus supermi. Itulah makanan terakhir di muka bumi. Sisa manusia yang menjadi pengembara lautan di atas kapal dan perahu telah mati semua, karena kehabisan bahan makanan maupun mayat teman-temannya sendiri. Manusia memang banyak akal, tapi menghadapi senja dari dalam amplop itu tidak ada jalan keluar. Banyak orang mempertanyakan diriku, kenapa aku membuat dirimu begitu cinta menggebu-gebu, padahal cinta secuil pun juga tidak, sehingga kamu mengirimkan sepotong senja itu kepadaku, dan tumpah ruah membanjiri bumi. Tapi coba katakan, tapi itu bukan salahku toh Sukab? Aku tidak mau disalahkan atas bencana yang menimpa umat manusia. Mengapa cinta harus menjadi begitu penting sehingga kehidupan terganggu? Ini bukan salahku.

Air laut kulihat makin dekat, setidaknya setengah jam lagi tempat aku menulis surat ini sudah akan terendam seluruhnya. Aku akan naik perahu, mendayung sampai teler, makan supermi mentah, lantas menanti maut. Akan ku kirim kemana surat ini? Barangkali kamu pun sudah mati Sukab. Semua pengembara di lautan sudah mati. Sedangkan di puncak tertinggi di dunia ini tinggal aku sendiri, dari hari kehari memandang senja yang selesai, dimana matahari tidak pernah terbenam lebih dalam lagi. Semesta dalam amplop itu telah menjadi pemenang dalam benturan dua semesta, namun semesta dalam amplop itu cuma sepotong senja, sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi. Kalu aku mati nanti, bumi ini akan tetap tinggal senja selama-lamanya. Dengan matahari terbenam separuh yang tidak pernah turun lagi. Langit merah selama-lamanya, lautan jingga selama-lamanya, tetapi tiada seorang manusia pun memandangnya. Segenap burung sudah punah karena kelelahan terbang tanpa henti. Tinggal ikan-ikan menjadi penguasa bumi. Di kejauhan, ku lihat Ikan Paus Merah yang menjerit dengan sedih.

Sukab,

Aku akan mengakhiri surat ini, akan ku lipat menjadi perahu kertas, dan ku layarkan ke laut lepas. Buakn tidak mungkin surat ini akan terbaca juga, entah bagaimana caranya, namun siapa pun yang menemukannya akan membaca kesaksianku. Jika tidak, aku pun tidak tahu apa nasib waktu(3). kupandang senja yang abadi sebelum melipat surat ini. Betapau semua ini terjadi karena cinta, dan hanya karena cinta – betapa besar bencana telah ditimbulkannya ketika kata-kata tak cukup menampungnya. Kutatap senja itu, masih selalu begitu, seprti menjanjikan suatu perpisahan yang sendu.

Selamat berpisah semuanya. Selamat tinggal.

Alina



Pondok Aren, Sabtu 10 Februari 2001

No comments: