Friday 12 November 2010

KISAH API

KISAH API


Pada zaman dahulu ada seorang yang merenungkan cara
bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaan-
percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari
satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak
tentang penemuannya.

Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai
kelompok masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang
memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira
bahwa ia mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu
cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi
mereka. Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikannya
memamerkan cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan
sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin
bahwa ia setan.

Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar tentang
api telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang
tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat
kedinginan.

Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat
untuk membuatnya. Bangsa yang ketiga memuja patung yang
menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu.
Yang keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan
dongengnya: ada yang percaya, ada yang tidak. Bangsa yang
kelima benar-benar mempergunakan api, dan itu bisa
menghangatkan mereka, menanak makanan mereka, dan
mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang berguna bagi
mereka.

Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan
beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui
negeri-negeri bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu
tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang dilakukan
bangsa-bangsa itu; dan mereka pun berkata kepada gurunya,
"Tetapi semua kegiatan itu nyatanya berkaitan dengan
pembuatan api, bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka
itu!"

Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi
perjalanan ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang
masih bertahan akan mengetahui masalah kebenarannya dan
bagaimana mendekatinya."

Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu
diterima dengan suka hati. Para pendeta mengundang mereka
menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika
upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang
mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin
mengatakan sesuatu?"

Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus
menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."

"Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri,
silahkan saja," kata gurunya.

Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan
pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku
bisa membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai
perwujudan kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu,
maukah kalian menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun
lamanya kalian telah tersesat?"

Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang
itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.

Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di
negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api.
Ada lagi seorang pengikut yang memberanikan diri mencoba
menyehatkan akal bangsa itu.

Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk
berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal.
Kalian memuja alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan
hasil pembuatan itu. Dengan demikian kalian menunda
kegunaannya. Saya tahu kenyataan yang mendasari upacara
ini."

Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal.
Tetapi mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara
diterima baik sebagai musafir dan orang asing di antara
kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah
dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami kerjakan.
Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha
membuang atau mengganti agama kami. Karena itu kami tidak
mau mendengarkan Saudara."

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.

Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka
menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur,
orang pertama yang membuat api. Pengikut ketiga berkata
kepada pemimpin besar itu.

"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan,
yang bisa dipergunakan."

"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa
menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."

"Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi
mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut
ketiga itu.

"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang bahkan
tak bisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan
pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata
pendeta-pendeta itu. Dan pengikut darwis itupun bisa
melanjutkan usahanya.

Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri
bangsa keempat. Kini pengikut keempat maju ke depan
kerumunan orang.

"Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana
melaksanakannya," katanya.

Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi
beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin
benar, dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui
bagaimana cara membuat api." Ketika orang-orang ini diuji
oleh Sang Guru dan pengikutnya, ternyata sebagian besar
ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri saja, dan
tidak menyadari bahwa bisa bermanfaat bagi kemajuan
kemanusiaan. Begitu dalamnya dongeng-dongeng keliru itu
merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu sehingga mereka
yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering merupakan
orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga membuat api
bahkan setelah diberi tahu caranya.

Ada kelompok lain yang berkata, "jelas dongeng itu tidak
benar. Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia
mendapat kedudukan di sini."

Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu
tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa
kita. Kalau kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian
ternyata penafsiran baru itu tak ada gunanya, apa jadinya
dengan bangsa kita ini?"

Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.

Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa
yang kelima; di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari,
dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya,

"Kalian harus belajar cara mengajar, sebab manusia tidak
ingin diajar. Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka
bahwa masih ada saja hal yang harus dipelajari. Mereka
membayangkan bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin
mempelajari apa yang mereka bayangkan harus dipelajari,
bukan apa yang pertama-tama harus mereka pelajari. Kalau
kalian telah mempelajari ini semua, kalian baru bisa
mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa
untuk mengajarkannya tidak sama dengan pengetahuan dan
kemampuan."

Catatan

Untuk menjawab pertanyaan "Apakah orang barbar itu?" Ahmad
al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,

"Seorang barbar adalah manusia yang daya pahamnya begitu
tumpul sehingga ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan
atau merasakan sesuatu yang hanya dipahami lewat
pengembangan dan penerapan terus-menerus terhadap usaha
mencapai Tuhan.

Manusia menertawakan Musa dan Yesus, atau karena mereka
sangat tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri
mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka
berbicara dan bertindak."

Menurut cerita darwis, ia dituduh menyebarkan Kristen dan
orang Islam, tetapi ditolak oleh orang-orang Kristen karena
menolak dogma Kristen lebih lanjut secara harafiah.

Ia pendiri kaum Badawi Mesir.

------------------------------------------------------------
K I S A H - K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi
selama seribu tahun yang lampau
oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984



Hatiku selembar daun...

No comments: