Showing posts with label Cerita Bijak. Show all posts
Showing posts with label Cerita Bijak. Show all posts

Thursday, 13 January 2011

KISAH KEPAHLAWANAN KIAU HONG DALAM NOVEL PENDEKAR NEGERI TAYLI CHIN YUNG

KISAH KEPAHLAWANAN KIAU HONG DALAM NOVEL PENDEKAR NEGERI TAYLI CHIN YUNG



Sebaliknya Coan Koan-jing lantas berkata, “Pangcu,

jadi menurut pendapatmu, pembunuh Be-hupangcu

sudah pasti bukan Buyung Hok?”

“Aku tidak berani memastikan Buyung Hok adalah

pembunuh Be-hupangcu, tetapi juga tidak berani

mengatakan dia pasti bukan pembunuhnya,” sahut Kiau

Hong. “Urusan menuntut balas ini kita tidak boleh

bertindak gegabah, tapi harus mengusutnya secara teliti,

bila cuma berdasarkan kepada dugaan saja hingga salah

membunuh orang baik, sebaliknya pembunuh yang

sebenarnya hidup bebas, tentu dia akan menertawai

Kay-pang kita terlalu goblok. Dan kalau demikian,

bukankah sangat memalukan?”

Sejak tadi Thoan-kong Tianglo Hang Po-hoa berdiri

diam saja, kini ia mengelus-elus jenggotnya yang jarangjarang

itu sambil berkata, “Ehm, ucapan ini memang

beralasan, sangat beralasan. Aku jadi teringat pada

pengalamanku dahulu, pernah aku salah membunuh

seorang yang tak berdosa, hal mana senantiasa

mengganjal dalam hatiku sampai sekarang.”

“Pangcu,” tiba-tiba Go-tianglo berseru, “sebabnya

kami mengkhianati engkau adalah disebabkan mudah

percaya ocehan orang, katanya engkau tidak sepaham

dengan Be-hupangcu dan diam-diam bersekongkol

dengan begundalnya Buyung Hok untuk membinasakan

dia, ditambah lagi urusan kecil lain-lain sehingga kami

percaya begitu saja. Tapi kini setelah dipikir, memang

kami yang terlalu gegabah dan sembrono. Maka Cit-hoat

Tianglo silakan keluarkan hoat-to (golok hukuman) dan

membiarkan kami membereskan diri sendiri menurut

undang-undang organisasi kita.”

Dengan air muka membeku Cit-hoat Tianglo Pek Sikia

berkata, “Cit-hoat-tecu, keluarkan hoat-to!”

Segera sembilan anak buahnya mengiakan

berbareng. Lalu dari kantong masing-masing

dikeluarkannya sebuah bungkusan kain kuning yang

sudah tua. Sembilan bungkusan itu ditaruhnya menjadi

satu, kemudian mereka berseru serentak, “Hoat-to sudah

siap, sudah diperiksa dengan betul!”

Segera mereka membuka bungkusan masing-masing

itu.

Seketika Toan Ki merasa silau oleh sembilan bilah

belati yang gemilapan dan tertaruh sejajar di depan situ.

Belati-belati itu sama panjangnya, mata pisau

mengeluarkan sinar gilap bersemu kebiru-biruan, sekali

pandang saja pasti orang akan tahu bahwa belati-belati

itu adalah senjata yang sangat tajam.

Sambil menghela napas, berkatalah Pek Si-kia,

“Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo telah kena

dihasut orang dan berusaha hendak memberontak

kepada pimpinan dan membahayakan kekuatan Kaypang

kita. Dosa mereka harus dihukum mati. Tay-ti-huntho

Thocu Coan Koan-jing, menyebarkan cerita bohong

dan sengaja menghasut untuk berkhianat, dosanya juga

harus dihukum mati. Tentang anak murid yang ikut serta

dalam komplotan durhaka ini, semuanya akan mendapat

hukuman setimpal, untuk itu kelak akan diusut dan

diputuskan tersendiri-sendiri.”

Pada waktu Pek-tianglo mengumumkan keputusan

hukumnya, semua orang diam saja. Hal ini dapat

dimengerti karena komplotan itu bertujuan

menggulingkan sang pangcu dan dosa itu pantas

dihukum mati, mata tiada seorang pun berani

menyatakan keberatannya atas keputusan hukuman itu.

Bagi yang ikut serta dalam komplotan itu, juga

sebelumnya sudah tahu akan akibat tersebut.

Begitulah Go Tiang-hong segera mendahului maju ke

hadapan Kiau Hong, ia membungkuk memberi hormat,

katanya, “Pangcu, Go Tiang-hong bersalah padamu dan

siap membereskan diri sendiri, mohon engkau suka

memaafkan kekurangajaranku.”

Habis itu, ia berjalan ke depan barisan hoat-to tadi

dan berseru, “Go Tiang-hong siap membunuh diri,

silakan Cit-hoat-tecu membuka tali ringkusanku.”

Salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan sambil

bertindak maju hendak membuka tali pengikat Go-tianglo

itu, mendadak Kiau Hong berseru, “Nanti dulu!”

“Pangcu,” kata Go-tianglo dengan suara lemah dan

muka pucat, “dosaku teramat besar dan engkau

melarangku bunuh diri sendiri?”

Kiranya di dalam undang-undang Kay-pang ada satu

pasal yang menentukan bahwasanya bila pelanggar

hukum organisasi itu membunuh diri, sesudah mati

dosanya berarti sudah tercuci bersih dan kehormatannya

tetap tak ternoda. Segala dosanya juga disiarkan keluar,

kalau ada orang Kangouw membicarakan dosanya,

orang Kay-pang akan bertindak untuk membelanya

malah. Hal ini sesuai dengan jiwa orang Bu-lim yang

sangat mengutamakan nama baik, sesudah mati juga

nama baiknya tidak boleh dihina orang. Sebab itulah

maka Go-tianglo merasa gugup ketika melihat Kiau Hong

melarang dia membunuh diri untuk menebus dosanya.

Dan ternyata Kiau Hong tidak menjawabnya

melainkan terus mendekati deretan belati tadi dan

berkata, “Lima belas tahun yang lalu ketika mendadak

pasukan berkuda bangsa Cidan menyerbu Gan-bunkoan,

kabar itu diketahui Song-tianglo, selama tiga hari

empat malam beliau tidak makan dan tidur terus

menempuh perjalanan pulang ke tanah air untuk

memberitahukan berita genting itu, di tengah jalan ia

ganti sembilan ekor kuda yang mati saking lelah, saking

capeknya beliau sampai muntah darah. Namun begitu,

berita yang beliau bawa itu telah memberi kesempatan

kepada tentara Song kita untuk bersiap-siap menghadapi

musuh sehingga pasukan Cidan akhirnya terpaksa

mengundurkan diri. Jasa mahabesar bagi nusa dan

bangsa itu meski tidak banyak diketahui orang Kangouw,

tapi setiap anggota Kay-pang kita cukup mengetahuinya.

Nah, Cit-hoat Tianglo, atas jasa Song-tianglo itu, mohon

kebijaksanaanmu agar mengizinkan beliau menebus

dosanya dengan jasa yang pernah dia persembahkan

itu.”

“Pangcu memintakan ampun bagi Song-tianglo

dengan alasan yang cukup kuat,” ujar Pek Si-kia. “Tetapi

undang-undang Kay-pang kita menyatakan, dosa

pengkhianatan betapa pun tidak dapat diampuni,

sekalipun pernah berjasa besar juga tak dapat menebus

kesalahannya itu. Ketetapan ini diadakan demi untuk

menjaga agar tiada anggota yang menganggap dirinya

berjasa, lalu membahayakan organisasi kita yang sudah

bersejarah ratusan tahun ini. Sebab itu, permintaan

Pangcu tadi tidak dapat diterima oleh tata tertib

organisasi, terpaksa kita tidak dapat merusak undangundang

warisan pangcu kita yang terdahulu.”

“Ucapan Cit-hoat Tianglo memang benar,” ujar Songtianglo

sambil bangkit dan tersenyum getir. “Sebagai

tertua dalam pang kita, siapa orangnya yang tidak

banyak berjasa? Bila setiap orang minta ganti jasa,

lantas bagaimana jadinya, bukankah setiap orang boleh

berbuat sewenang-wenang untuk kemudian minta

dibebaskan karena pernah berjasa? Dari itu, harap

Pangcu suka kasihan pada diriku, izinkanlah kubunuh

diri.”

Habis berkata, mendadak terdengar suara “prak-prak”

dua kali, tali kulit yang mengikat tangan dan kaki tahutahu

putus semua.

Keruan para pengemis terperanjat melihat sekali

bergerak saja Song-tianglo dapat memutuskan tali kulit

yang sangat ulet itu, maka dapat dibayangkan betapa

lihai tenaga dalamnya, dan begitu membebaskan diri,

terus saja Song-tianglo hendak ulur tangan mengambil

sebilah belati guna membunuh diri.

Tak terduga baru tubuh membungkuk sedikit tahutahu

satu arus tenaga yang halus tapi kuat menolak ke

arahnya hingga ia dirintangi berjongkok. Meski

tangannya sudah terulur, tapi tak dapat memegang belati

yang tinggal belasan senti jauhnya itu. Nyata Kiau Hong

yang telah bertindak mencegahnya.

Wajah Song-tianglo berubah pucat seketika, serunya,

“Pangcu, jadi engkau juga ... juga ....”

Tiba-tiba Kiau Hong sambar sebilah belati di antara

deretan hoat-to itu.

“Ya, memangnya salahku karena timbul niatku

hendak membunuhmu, maka sudah sepantasnya

sekarang engkau melaksanakan hukuman atas dosaku

itu,” demikian kata Song-tianglo dengan menghela

napas.

Segera sinar belati berkelebat, “crat”, bukannya Songtianglo

yang menerima hukuman mati, sebaliknya Kiau

Hong tikam bahu kiri sendiri dengan belati itu.

Keruan para pengemis menjerit kaget, serentak

mereka berbangkit. Begitu pula Toan Ki ikut terkejut,

“Toako, kenapa?” serunya.

Bahkan Giok-yan yang merupakan orang di luar garis

juga ikut terperanjat oleh peristiwa di luar dugaan itu,

tanpa terasa ia pun berseru, “Kiau-pangcu, jangan ....”

Namun Kiau Hong lantas bicara, “Pek-tianglo,

undang-undang kita juga ada satu pasal yang

menyatakan, ‘Setiap dosa anggota tidak boleh

sembarangan diampuni, kalau Pangcu hendak

mengampuni, dia sendiri harus mengalirkan darah dulu

untuk mencuci bersih dosa si anggota’. Ada tidak pasal

demikian?”

“Ya, memang ada satu pasal demikian dalam undangundang

kita,” sahut Pek Si-kia dengan wajah tetap kaku

tanpa perasaan. “Tapi Pangcu perlu juga menimbang

dahulu apakah ada harganya untuk mengalirkan darah

buat mencuci dosa orang?”

“Asal tidak melanggar undang-undang warisan leluhur

sudah cukup,” ujar Kiau Hong. Lalu ia berpaling dan

berkata kepada Ge-tianglo, “Ge-tianglo dahulu telah

mengajar ilmu silat padaku, meski tiada hubungan

perguruan, tapi sesungguhnya seperti guru. Hal ini boleh

dikatakan urusan pribadiku. Lebih dari itu, mengingat

dahulu waktu Ong-pangcu ditawan lima jago terkemuka

negeri Cidan, beliau telah dikurung di dalam gua Hekhong-

tong, beliau dipaksa agar menyerah kepada Cidan,

tapi berkat Ge-tianglo yang telah rela menyaru sebagai

Ong-pangcu untuk menghadapi segala bahaya hingga

Ong-pangcu sendiri dapat lolos dengan selamat. Jasanya

bagi Kay-pang kita dan demi nusa dan bangsa yang

mahabesar itu, betapa pun harus kubebaskan

kesalahannya sekarang ini.”

Sembari berkata, kembali ia sambar hoat-to kedua, ia

potong dulu tali pengikat Ge-tianglo itu, menyusul belati

itu menikam, lagi-lagi belati itu menancap di bahu sendiri.

Dengan tenang sinar mata Kiau Hong beralih ke arah

Tan-tianglo. Tan-tianglo itu biasanya berjiwa sempit,

dahulu telah berbuat sesuatu yang berdosa terhadap

keluarga sendiri, maka ia ganti nama dan masuk ke Kaypang,

untuk mana ia paling sirik bila ada yang coba

mengorek-ngorek boroknya itu, maka selama ini ia tiada

hubungan rapat dengan Kiau Hong. Kini melihat sinar

mata Kiau Hong memandang kepadanya, segera ia

mendahului berseru, “Kiau-pangcu, aku tiada hubungan

baik apa-apa denganmu, biasanya lebih banyak selisih

paham dengan engkau, maka aku pun tidak berani

terima budi pertolonganmu!”

Sekonyong-konyong kedua tangannya yang terikat di

belakang itu terangkat ke atas terus membalik itu depan

dengan tetap terikat tali kulit. Ternyata “Thong-pi-kun-

kang” yang diyakinkan Tan-tianglo sudah mencapai

tingkatan yang tiada taranya, kedua lengannya dapat

mulur-mengkeret dengan bebas. Maka begitu tangan

menjulur pula, sebilah hoat-to sudah disambarnya.

Namun Kiau Hong sempat bergerak, dengan “Kimliong-

kang” (ilmu menangkap naga) yang lihai dan cepat,

dengan mudah saja belati itu dirampasnya. Katanya

dengan suara nyaring, “Tan-tianglo, aku Kiau Hong

adalah seorang laki-laki kasar, tidak suka pada orang

yang sok hati-hati tindak tanduknya, juga tidak menyukai

orang yang tidak minum arak dan tidak mau tertawa,

tetapi hal ini adalah watak pembawaan setiap orang, tak

dapat disebut baik atau busuk. Watakku sendiri tidak

cocok denganmu, biasanya jarang bicara dengan baik.

Aku pun tidak suka pada perilaku Be-hupangcu, bila

berhadapan, sedapat mungkin aku ingin menghindar

pergi, aku lebih suka pergi minum arak dan makan

daging anjing bersama anak murid rendahan yang

berkantong satu atau dua.

“Watakku ini telah dikenal semua orang, untuk

mengubah watak sendiri terang tidak mungkin. Tapi jika

sebab itu engkau mengira aku dendam dan ingin

melenyapkan engkau dan Be-hupangcu, sungguh salah

besar pikiran kalian ini. Tentang kalian tidak minum arak

dan tidak makan barang berjiwa itu adalah kebaikan

kalian, aku Kiau Hong mengaku tidak dapat menyamai

kalian.”

Berkata sampai di sini, tiba-tiba belati ketiga pun

ditikamkan ke bahu sendiri, lalu sambungnya, “Jasamu

membunuh Yalu Puru, itu panglima besar negeri Cidan,

mungkin tak diketahui orang luar, tapi masakah aku tidak

tahu?”

Seketika ramailah suara heran para pengemis

tercampur suara memuji dan kagum.

Kiranya tahun yang lalu waktu negeri Cidan menyerbu

ke wilayah Tiongkok secara besar-besaran, mendadak

beberapa panglimanya yang terkemuka telah binasa,

karena alamat itu dirasakan tidak baik, akhirnya pasukan

Cidan itu ditarik mundur hingga kerajaan Song terhindar

dari bencana. Dan di antara panglima yang mati

mendadak itu terdapat Yalu Puru yang terkemuka.

Kejadian itu kecuali beberapa tokoh tertentu dalam Kaypang,

orang lain tiada yang tahu bahwa jasa itu adalah

hasil karya Tan-tianglo.

Kini dirinya dipuji Kiau Hong di depan orang banyak,

betapa pun siriknya Tan-tianglo kepada sang pangcu,

mau tak mau ia menjadi terhibur.

Hendaklah diketahui bahwa selama ini Kay-pang

menjalankan kewajiban sebagai anak negeri dan

membantu kerajaan Song melawan kaum penjajah dari

luar, cuma cara pergerakan mereka dilakukan dengan

diam-diam atau di bawah tanah, baik perjuangan mereka

berhasil atau gagal, selama ini tidak pernah siarkan,

sebab itulah jarang orang tahu perjuangan Kay-pang

yang patriotik itu.

Tan-tianglo aslinya bernama Tan Put-peng, biasanya

sangat angkuh, terutama karena usianya lebih tua dan

sejarahnya dalam Kay-pang lebih lama daripada Kiau

Hong, maka sikapnya pada sang pangcu itu tidak terlalu

hormat. Hal itu cukup diketahui oleh anggota Kay-pang

yang lain. Tapi kini ternyata Kiau Hong tidak pikirkan

perselisihan pribadi, sebaliknya rela mengalirkan darah

sendiri untuk menebus dosa Tan-tianglo, mau tak mau

kawanan pengemis menjadi terharu.

Kemudian Kiau Hong mendekati Go Tiang-hong,

katanya, “Go-tianglo, seorang diri dahulu engkau berjaga

di Eng-jiu-kiap (selat elang) dan sekuat tenaga melawan

serbuan musuh dari kerajaan Se-he hingga usaha musuh

hendak membunuh Nyo-keh-ciang sukar terlaksana,

untuk jasamu itu Nyo-goanswe telah menghadiahkan

sebuah kim-pay (medali) tanda jasa padamu. Asal

engkau keluarkan medali itu sudah lebih dari cukup untuk

menebus dosamu sekarang ini. Nah, silakan tunjukkan

medali itu agar semua orang dapat melihatnya!”

Mendadak air muka Go-tianglo berubah merah,

sikapnya agak kikuk, sahutnya dengan tak lancar, “E ...

eh ... tentang ini ... ini ....”

“Kita sama-sama saudara sendiri, bila Go-tianglo ada

kesulitan apa-apa, silakan berkata terus terang saja,” ujar

Kiau Hong.

“Tentang ... tentang medali emas itu, sebenarnya ...

sebenarnya sudah ... sudah hilang,” sahut Go-tianglo

gelagapan.

Kiau Hong menjadi heran. “Mengapa hilang?”

tanyanya.

“Hi ... hilang sendiri,” sahut Go-tianglo. Tapi sesudah

merandek sejenak, mendadak ia berseru, “Sebenarnya

tidak hilang, tapi sudah kujual. Pada suatu hari,

mendadak aku ketagihan arak, tapi kantongku kempis,

terpaksa kujual medali emas itu kepada sebuah toko

emas.”

“Hahaha! Go-tianglo suka berterus terang, sungguh

jujur. Memang hal ini agak kurang enak terhadap Nyogoanswe

yang memberikan tanda jasa padamu itu,” ujar

Kiau Hong dengan terbahak-bahak. Habis itu mendadak

ia sambar sebilah hoat-to lagi, ia potong dulu tali pengikat

Go-tianglo, lalu belati itu ditikamkan pula ke bahu kiri

sendiri.

Go-tianglo adalah seorang laki-laki yang jujur dan

suka terus terang, segera katanya, “Pangcu, jiwa Go

Tiang-hong sejak kini sudah kupasrahkan padamu.”

Perlahan Kiau Hong tepuk bahunya sambil berkata

dengan tertawa, “Pengemis seperti kita kalau ingin

makan atau minum arak, minta saja sedekah orang, tidak

perlu mesti menjual medali emas segala.”

“Minta makan sih gampang, minta arak itulah susah,”

sahut Go-tianglo dengan tertawa. “Sebab semua orang

tentu akan bilang, ‘Pengemis busuk, sudah dapat makan

masih minta arak? Hm, terlalu! Tidak kasih, tidak kasih’!”

Mendengar banyolan itu, menggelegarlah tawa para

pengemis. Sebab minta-minta arak pada orang dan

ditolak atau didamprat, pengalaman ini memang sering

dijumpai para pengemis.

“Sekarang apa lagi yang akan kalian katakan?” tibatiba

Kiau Hong berseru dengan lantang, sinar matanya

menatap tajam dimulai dari Be-hujin terus Ci-tianglo, Pek

Si-kia, Thoan-kong Tianglo dan lain-lain. Tapi tiada

seorang pun berani buka suara lagi, semuanya diam.

Setelah menunggu sampai sekian lama tetap tiada

jawaban seorang pun, Kiau Hong lantas berkata pula,

“Tentang asal usulku sungguh harus disesalkan karena

aku sendiri pun belum tahu dengan pasti. Tapi karena

sekian banyak kaum cianpwe berani menjadi saksi,

betapa pun aku tidak berani sembarangan menyangkal.

Maka jabatanku sebagai Pangcu Kay-pang ini

sepantasnya aku harus mengundurkan diri.”

Sembari berkata ia mengeluarkan sebatang pentung

bambu hijau mengilat. Itulah Pak-kau-pang atau pentung

penggebuk anjing, tanda pengenal pangcu yang sangat

diagungkan anggota Kay-pang.

Kedua tangan Kiau Hong angkat tinggi-tinggi pentung

bambu itu dan berseru, “Pentung ini kuterima dari Ongpangcu,

selama ini meski aku tiada berjasa apa-apa bagi

Kay-pang, namun syukur juga tidak pernah berbuat

sesuatu kesalahan besar. Hari ini aku meletakkan

jabatan, siapakah di antara para saudara yang bijaksana

mau menerima tanggung jawab jabatanku ini, silakan

maju menerima pentung ini.”

Menurut peraturan Kay-pang, tatkala pangcu baru

menerima jabatan harus dilakukan upacara penyerahan

Pak-kau-pang dari pangcu lama. Upacara ini tidak

dilakukan kalau pangcu lama meninggal dunia.

Padahal Kiau Hong sekarang masih muda, ilmu

silatnya dapat dibanggakan, betapa pun tiada orang

kedua di dalam Kay-pang yang dapat memadainya.

Sejak dia menjadi pangcu, biarpun ada juga oknumoknum

yang memusuhinya, tapi tiada seorang pun berani

mengincar jabatan pangcu. Apalagi sekarang Kiau Hong

berdiri gagah perkasa di situ, siapa yang berani maju

mencalonkan diri untuk menerima pentung bambu itu?

Setelah tanya tiga kali dan tetap tiada seorang pun

yang menyahut, lalu Kiau Hong berkata lagi, “Karena

asal usulku masih belum terang, maka jabatan pangcu ini

betapa pun tidak berani kupegang lagi. Ci-tianglo, Thoankong

dan Cit-hoat Tianglo, Pak-kau-pang yang

merupakan pusaka utama Kay-pang kita ini silakan kalian

bertiga menjaganya bersama. Kelak bila pangcu baru

sudah ditetapkan, bolehlah kalian menyerahkan pentung

ini kepadanya.”

“Benar juga ucapanmu,” sahut Ci-tianglo terus hendak

menerima pentung bambu keramat itu.

“Nanti dulu!” mendadak Song-tianglo membentak.

Ci-tianglo tertegun dan urung menerima pentung itu,

tanyanya, “Apa yang hendak Song-hiante katakan?”

“Menurut penglihatanku, Kiau-pangcu bukan bangsa

Cidan,” ujar Song-tianglo.

“Dari mana kau tahu?” tanya Ci-tianglo.

“Kulihat dia tidak mirip,” sahut Song-tianglo.

“Mengapa tidak mirip,” desak Ci-tianglo.

“Umumnya bangsa Cidan sangat kejam dan ganas,

sebaliknya Kiau-pangcu seorang kesatria yang berbudi

luhur,” sahut Song-tianglo. “Tadi kami telah memberontak

padanya, tapi ia rela mengorbankan dirinya demi

keselamatan kami dan mengampuni dosa kami. Kalau

bangsa Cidan, tidak mungkin mau berbuat demikian.”

“Sejak kecil ia telah mendapat didikan Ong-pangcu,

dengan sendirinya watak aslinya sebagai bangsa Cidan

yang jahat telah berubah,” ujar Ci-tianglo.

“Jika wataknya sudah berubah, itu berarti bukan

orang jahat lagi, kalau dia menjadi pangcu kita, masa

kurang pantas?” debat Song-tianglo. “Menurut

pendapatku tiada seorang pun di antara kita yang dapat

memadai kejantanan dan kebesaran jiwanya. Kalau ada

orang lain ingin menjadi pangcu, akulah orang she Song

yang pertama-tama akan membangkang.”

Sebenarnya banyak juga di antara anggota Kay-pang

yang mempunyai pikiran sama dengan Song-tianglo.

Karena itu, segera terdengarlah suara ramai yang

menyokong pendapat Song-tianglo itu. Beramai-ramai

mereka berseru, “Bukan mustahil ada orang hendak

memfitnah Kiau-pangcu, kita jangan mudah memercayai

omongan orang!”

“Ya, urusan yang sudah terjadi puluhan tahun yang

lalu, siapa yang mau percaya?”

“Jabatan pangcu yang penting ini tidak boleh

sembarangan diganti!”

“Aku sudah bertekad bulat berdiri di belakang Kiaupangcu,

orang lain yang menjadi pangcu, aku tidak mau

terima.”

“Ayo, siapa yang ingin ikut Kiau-pangcu, silakan

berdiri di sisiku sini,” seru Ge-tianglo tiba-tiba. Dengan

tangan kiri ia tarik Song-tianglo dan tangan kanan

menyeret Ge-tianglo serentak mereka menyisih ke

sebelah timur.

Menyusul Tay-jin-hun-tho dan Tay-gi-hun-tho, ketiga

thocu itu pun menyusul ke sisi timur. Dan karena ketiga

thocu itu sudah memberi contoh, dengan sendirinya anak

buah ketiga Tho itu pun ikut berdiri ke sisi timur.

Sebaliknya Coan Koan-jing, Tan-tianglo, Thoan-kong

Tianglo dan para Thocu Tay-ti dan Tay-sin-hun-tho masih

tetap berdiri di tempat semula.

Dengan demikian anggota Kay-pang sekarang jadi

terpecah belah dan terbagi menjadi dua pihak, yang

berdiri di sisi timur kira-kira ada separuh, sebaliknya yang

tetap berdiri di tempat semula ada tiga bagian, sisanya

masih ragu entah mesti ikut pihak mana? Cit-hoat

Tianglo biasanya sangat tegas dalam tindak tanduknya,

tapi menghadapi persoalan pelik mau tak mau ia jadi

ragu juga.

“Para saudara,” demikian Coan Koan-jing buka suara,

“memang benar Kiau-pangcu adalah seorang kesatria,

seorang pintar dan perkasa, siapa pun tentu kagum

padanya. Namun kita adalah rakyat kerajaan Song, mana

boleh tunduk di bawah perintah seorang Cidan? Justru

semakin besar kepandaian Kiau Hong, semakin

berbahaya pula bagi kita.”

“Kentut, kentut makmu!” segera Ge-tianglo memaki.

“Kulihat tampangmu justru lebih mirip orang Cidan!”

Namun Coan Koan-jing tidak menggubrisnya, serunya

pula, “Kita semua adalah pahlawan berjiwa patriot,

masakah terima diperbudak oleh bangsa asing!”

Perkataan Coan Koan-jing ini ternyata sangat besar

pengaruhnya, seketika ada belasan orang yang tadinya

ikut berdiri ke sisi timur segera kembali ke sisi barat.

Karena itu anggota Kay-pang di sisi timur itu menjadi

geger, ada yang memaki dan ada yang main tarik,

keadaan menjadi kacau, seketika terjadilah pertarungan

serabutan di antara berpuluh orang itu.

Para tianglo cepat membentak hendak menguasai

keadaan, tapi masing-masing tetap membela anak buah

sendiri-sendiri. Go-tianglo dan Tan-tianglo juga saling

memaki dan tampaknya akan terjadi juga pertarungan

sengit.

Syukur pada saat genting itulah Kiau Hong berseru

keras-keras, “Harap berhenti, saudara-saudara,

dengarkan perkataanku!”

Suaranya keras dan berwibawa membuat para

anggota Kay-pang sama melengak, mereka berhenti

serentak dan menoleh memandang Kiau Hong.

“Tentang jabatan pangcu ini, sudah pasti akan

kutinggalkan ....”

Belum selesai ucapan Kiau Hong itu, mendadak

Song-tianglo menyela, “Pangcu, engkau jangan putus

asa ....”

“Aku tidak putus asa,” sahut Kiau Hong sambil

menggeleng. “Urusan lain mungkin aku bisa difitnah, tapi

bukti-bukti tulisan tangan guruku Ong-pangcu yang

berbudi itu tidak mungkin dapat dipalsukan orang lain.”

Lalu ia perkeras suaranya dan menyambung, “Kaypang

adalah pang terbesar di kalangan Kangouw,

namanya berkumandang ke segenap pelosok jagat ini,

siapa orang Bu-lim yang tidak merasa kagum padanya?

Bila sekarang terjadi saling membunuh, apakah takkan

dibuat tertawaan orang? Maka sebelum aku pergi, ada

sesuatu yang ingin kukatakan pada kalian, barang siapa

saling berhantam di antara sesama saudara pang kita,

maka dia itulah yang berdosa terbesar kepada pang kita.”

Dasar persaudaraan anggota Kay-pang memang

paling mengutamakan keluhuran budi antarkawan. Maka

mereka menjadi malu sendiri demi mendengar ucapan

Kiau Hong itu.

“Dan bagaimana kalau ada yang membunuh saudara

sesama pang kita?” tiba-tiba suara seorang wanita

bertanya. Ia bukan lain adalah Be-hujin.

“Membunuh orang harus ganti nyawa, lebih-lebih

membunuh sesama saudara pang, ia harus dikutuk

habis-habisan,” sahut Kiau Hong tanpa ragu.

“Baiklah jika begitu,” ujar Be-hujin.

“Orang she Kiau ini selamanya suka blakblakan,

selama hidup tidak pernah ada sesuatu rahasia bagi

orang lain,” seru Kiau Hong pula. “Tentang tewasnya Behupangcu

sebenarnya siapakah pembunuhnya, dan

siapakah yang telah mencuri kipasku untuk memfitnah

diriku, pada akhirnya kelak pasti akan kubikin terang

urusan ini. Be-hujin, dengan kepandaianku orang she

Kiau ini, kalau ingin mengambil sesuatu benda ke tempat

tinggalmu, rasanya tidak sampai kembali dengan tangan

hampa, lebih-lebih tidak mungkin kehilangan sesuatu

barang sendiri. Jangankan kediamanmu cuma tinggal

dua-tiga orang kaum wanita, sekalipun di tengah istana

keraton atau di markas besar panglima jenderal, kalau

orang she Kiau ini ingin mengincar sesuatu barang,

rasanya dengan mudah juga akan dapat diperoleh.”

Ucapan Kiau Hong ini sangat perkasa dan bangga,

namun para anggota Kay-pang cukup kenal betapa tinggi

kepandaiannya, mereka merasa apa yang dikatakan itu

memang beralasan dan bukan bualan belaka. Begitu

pula Be-hujin lantas menunduk juga dan tidak berani

buka suara lagi.

Lalu Kiau Hong memberi hormat kepada semua orang

sekeliling, katanya pula, “Gunung tetap menghijau,

sungai tetap mengalir, para saudara-saudara, selamat

tinggal, sampai berjumpa pula kelak. Baiklah apakah aku

orang she Kiau ini bangsa Han maupun bangsa Cidan,

pendek kata selama hidupku ini pasti tidak akan

mencelakai jiwa seorang pun bangsa Han, apabila

melanggar sumpah ini, biarlah seperti golok ini.”

Habis berkata, mendadak tangan kirinya menjulur

cepat ke arah Tan Cing. Seketika Tan Cing merasa

tangannya bergetar, golok yang terpegang di tangannya

tak tertahan lagi, sedikit kendur cekalannya, golok itu

tahu-tahu sudah berpindah ke tangan Kiau Hong.

Ketika jari Kiau Hong menjelentik sekali ke batang

golok itu, “trang”, kontan golok itu patah menjadi dua,

bagian ujung golok terpental beberapa meter jauhnya,

sedangkan tangkai golok masih terpegang di tangan Kiau

Hong.

“Maaf!” katanya kepada Tan Cing sambil membuang

tangkai golok itu dan bertindak pergi dengan cepat.

Di tengah rasa kaget para anggota Kay-pang yang

sedang saling pandang dengan bingung itu, menyusul

lantas ada orang berseru, “He, jangan pergi, Pangcu!” —

“Kembalilah Pangcu, Kay-pang kita masih membutuhkan

pimpinanmu!”

Tiba-tiba terdengar suara mendesir keras, dari udara

tampak jatuh sebatang pentung bambu, itulah Pak-kaupang

yang ditimpukkan kembali oleh Kiau Hong dari jauh.

Cepat Ci-tianglo ulur tangan hendak menangkap

pentung itu, tapi baru saja tangan menyentuh pentung

bambu sekonyong-konyong terasa lengan hingga bahu

dan seluruh tubuh tergetar seakan-akan kena aliran

listrik. Lekas-lekas ia lepas tangan, begitu keras

sambaran pentung itu hingga menancap tegak di tanah.

“Aku paham hal ini,” kata Kiau Hong sambil

mengangguk, “Sebentar lagi kita akan menjadi lawan,

rasanya tak terhindar daripada suatu pertarungan sengit.

Maka Kiau Hong ingin minta tolong sesuatu urusan.”

“Asal tidak menyangkut pengkhianatan pada negara,

pasti akan kuterima,” sahut Pek Si-kia.

Kiau Hong tersenyum, katanya sambil menunjuk A

Cu, “Apabila saudara dalam Kay-pang masih ingat pada

sedikit jasaku yang pernah kuberikan kepada pang,

harap suka jaga keselamatan nona cilik ini.”

Mendengar pesan itu tahulah semua orang bahwa

Kiau Hong sudah bertekad akan menempur para kesatria

sampai titik darah penghabisan. Dikeroyok oleh lawan

sebanyak biarpun dia mampu membinasakan beberapa

puluh orang, namun akhirnya Kiau Hong sendiri tentu

juga akan terbinasa. Maka mau tak mau para kesatria

terharu juga oleh semangat jantan dan jiwa kesatria Kiau

Hong itu.

Sebagai seorang tokoh terkemuka serta kedudukan

yang tinggi selaku Cit-hoat Tianglo dalam Kay-pang,

dengan sendirinya Pek Si-kia adalah seorang kesatria

yang berjiwa besar, apalagi hubungannya dengan Kiau

Hong biasanya sangat karib. Maka pesan terakhir bekas

pangcu itu segera dijawabnya, “Harap Kiau-heng jangan

khawatir, Pek Si-kia pasti akan mohon Sih-sin-ih suka

menyembuhkan nona itu, bila terjadi apa-apa atas diri

Nona Wi, Pek Si-kia rela akan membunuh diri untuk

mempertanggungjawabkan pesan Kiau-heng ini.”

Janji Cit-hoat Tianglo ini cukup tegas, apakah nanti

Sih-sin-ih akan mengobati A Cu atau tidak, yang pasti ia

akan berusaha sekuat tenaga. Seorang tokoh bu-lim

selamanya berani berkata berani berbuat, apalagi ia

telah berjanji di depan orang banyak, maka janji pasti

akan ditepati olehnya.

1545

Kiau Hong percaya sepenuhnya, katanya, “Banyak

terima kasih atas kebaikan Tianglo ini.”

“Dan dalam pertarungan nanti Kiau-heng tidak perlu

berlaku sungkan-sungkan, bila aku mesti mati di

tanganmu, tentu kawan-kawan Kay-pang yang lain akan

menggantikan aku menjaga Nona Wi.”

Habis bicara, ia angkat mangkuk arak dan

menenggaknya hingga habis. Begitu pula Kiau Hong

lantas mengiringi dengan minum semangkuk.

Lalu giliran maju Song-tianglo, Go-tianglo dan tokoh

Kay-pang yang lain. Kemudian majulah jago-jago bu-lim

dari berbagai mazhab yang hadir di situ, satu per satu

mengadu mangkuk dengan Kiau Hong. Tampaknya

dalam waktu singkat Kiau Hong sendiri sudah

menghabiskan 40-50 mangkuk arak, satu guci penuh tadi

sudah habis terminum, malahan centeng sudah

mengeluarkan pula satu guci, tapi keadaan Kiau Hong

masih segar bugar, bahkan wajahnya sedikit pun tidak

merah, hanya perutnya tampak sedikit gembung, tiada

sesuatu tanda lain yang luar biasa.

Keruan semua orang ternganga heran, pikir mereka,

“Jika minum terus cara begini, jangankan mesti

bergebrak segala, mungkin sekali mabuk takkan sanggup

bangun lagi.”

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa semakin

banyak minum arak semangat Kiau Hong semakin

tambah. Apalagi selama beberapa hari ini Kiau Hong

selalu menghadapi kejadian yang mengesalkan dan

membuatnya penasaran. Kini ia telah kesampingkan

semua itu dan sengaja hendak melabrak mereka

sepuasnya.

Setelah lebih 60 mangkuk arak masuk perut Kiau

Hong, Pau Jian-leng dan Ki Liok juga mengadu mangkuk

dengan dia, tiba-tiba majulah Hiang Bong-thian, ia angkat

1546

sebuah mangkuk dan berkata, “Orang she Kiau, biarlah

aku pun minum semangkuk denganmu!”

Mendengar ucapan orang yang kurang hormat itu,

Kiau Hong menjadi panas telinganya, ia melirik hina pada

Hiang Bong-thian dan menyahut, “Orang she Kiau minum

arak putus hubungan ini dengan para kesatria bu-lim,

maksudnya menghapuskan segala kebaikan

persaudaraan masa lalu. Tapi kau ini kutu busuk macam

apa? Macam dirimu juga tidak ada harganya untuk bicara

tentang persaudaraan denganku dan mengajak minum

‘coat-kay-ciu’ (arak putus hubungan) padaku?”

Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan

pada Hiang Bong-thian untuk bicara lagi, ia melangkah

maju setindak, sekali tangan kanan terjulur, tahu-tahu

dada baju Hiang Bong-thian kena dijambretnya,

menyusul sekali ia angkat dan ayun ke depan, Hiang

Bong-thian yang besar itu terlempar keluar ruangan,

“bluk,” dengan keras badan Hiang Bong-thian tertumbuk

dinding dan seketika menggeletak kelengar.

Suasana menjadi kacau dan tegang. Segera Kiau

Hong melompat ke pekarangan, bentaknya, “Ayolah,

siapa yang berani maju dulu untuk menempur aku!”

Melihat betapa gagah dan tangkasnya Kiau Hong,

seketika nyali para tokoh bu-lim itu menjadi ciut hingga

tiada seorang pun berani maju.

“Kalian tidak berani maju, biarlah aku yang mulai

dulu!” bentak Kiau Hong. Dan tanpa ampun lagi ia terus

menghantam dua kali dari jauh, kontan dua orang

terkapar di tanah oleh angin pukulan jarak jauh itu.

Bahkan Kiau Hong terus menerjang maju, di mana

kepalan dan sikutnya tiba, di mana kakinya melayang

dan telapak tangan menghantam, dalam sekejap saja

kembali beberapa orang dirobohkan pula.

1547

“Lekas mundur mepet dinding, jangan sembarangan

menyerang!” teriak Yu Ek cepat.

Seruan Yu Wk memang tepat. Jumlah orang yang

berada di ruangan ada dua-tiga ratus, kalau mengerubut

maju begitu saja, betapa pun tinggi ilmu silat Kiau Hong

juga tak mampu melawan. Tapi tempatnya kecil dan

orangnya banyak, dengan cara berjubel begitu, yang

benar dapat mendekati Kiau Hong paling-paling juga

cuma lima-enam orang saja, dan di bawah hujan pukulan

dan tendangan pasti lebih banyak kawan sendiri yang

akan terluka oleh orang sendiri. Maka sesudah seruan

Yu Ek itu, seketika terluanglah di bagian tengah hingga

cukup luas.

“Marilah, biar kubelajar kenal dulu kepandaian Yu-sisiang-

hiong dari Cip-hian-ceng,” seru Kiau Hong pula.

Dan sekali tangan kiri bergerak, tahu-tahu guci arak di

atas meja tadi terbang melayang ke arah Yu Ek.

Cepat Yu Ek dorong kedua tangannya ke depan,

maksudnya hendak tahan guci itu ke lantai. Di luar

dugaan, Kiau Hong telah susulkan sekali hantaman

dengan tangan kanan, “prak”, guci hancur dan beratus

beling pecahan guci bertebaran.

Beling dari remukan guci itu sudah tentu sangat

tajam, ditambah lagi terdorong oleh tenaga pukulan Kiau

Hong yang dahsyat, keruan beling guci menjadi mirip

beratus senjata rahasia seperti piau, hui-to (pisau

terbang), dan lain-lain.

Seketika muka Yu Ek terkena tiga potong beling

hingga darah bercucuran, belasan orang di sampingnya

juga ikut terluka. Maka paniklah gelanggang pertarungan

itu, suara caci maki bercampur dengan suara jerit riuh.

Dalam pada itu sebelah kaki Kiau Hong menendang

pula hingga guci arak yang lain didepak mencelat, selagi

dia hendak menambahi sekali hantaman pula,

1548

sekonyong-konyong dari belakang terasa menyambar

tiba serangkum angin pukulan yang bertenaga halus, tapi

sebenarnya mengandung tenaga dalam yang sangat

kuat.

Kiau Hong tahu pukulan itu dilontarkan oleh seorang

jago kelas wahid, ia tidak berani ayal, cepat ia menangkis

ke belakang. Maka bertemulah dua arus tenaga dalam

yang kuat.

Waktu Kiau Hong memerhatikan penyerang itu,

ternyata orangnya bermuka jelek dan lucu, itulah dia si

“badut” yang tak punya nama, tapi mengaku sebagai

“Tio-ci-sun” itu.

Diam-diam Kiau Hong tidak berani memandang

enteng tokoh yang hebat lwekangnya ini. Sekali ia tarik

napas panjang-panjang, pukulan kedua segera

dilancarkan bagaikan gugur gunung dahsyatnya.

Rupanya Tio-ci-sun juga tahu melulu dengan sebelah

tangannya takkan mampu menahan serangan Kiau Hong

itu, maka dengan dorong kedua tangan sekaligus ia

berusaha menangkis.

“Apakah kau cari mampus!” mendadak suara seorang

wanita di sampingnya membentak. Berbareng Tio-ci-sun

merasa pundaknya ditarik orang ke samping hingga

serangan Kiau Hong itu terhindarkan.

Namun begitu toh tenaga pukulan Kiau Hong itu

masih terus menerjang ke depan. Maka celakalah tiga

orang di belakang Tio-ci-sun, mereka yang tertimpa

malang. Terdengarlah suara gedebukan tiga kali, ketiga

orang itu mencelat dan menumbuk dinding dengan keras,

begitu hebat tumbukan itu hingga kapur pasir dinding

rontok bertebaran.

Waktu Tio-ci-sun menoleh, ia lihat orang yang

menariknya tadi adalah Tam-poh, ia menjadi girang,

katanya, “Terima kasih atas pertolonganmu!”

1549

“Kau serang bagian kiri dan aku akan menyerang dari

kanan,” kata Tam-poh.

Dan baru Tio-ci-sun mengiakan, tahu-tahu sesosok

bayangan orang yang kurus kecil sudah mendahului

menerjang ke arah Kiau Hong. Ternyata orang itu adalah

Tam-kong, si kakek Tam.

Jangan sangka perawakan Tam-kong itu kurus kecil,

tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, begitu tangan kiri

menghantam ke depan, menyusul serangan tangan

kanan dilontarkan lagi. Dan sedikit tangan kiri ditarik

kembali, segera ia tambahkan tenaga pukulannya pada

tangan kanan.

Serangan tiga kali secara berantai ini menjadi mirip

damparan ombak yang susul-menyusul, dibandingkan

pukulan Tio-ci-sun tadi, terang tiga kali pukulan Tamkong

ini beberapa kali lipat lebih kuat.

“Pukulan ‘Tiang-kang-sam-tiap-long’ (Ombak

Mendebur Tiga Susun di Sungai Tiangkang) yang hebat!”

puji Kiau Hong sambil memapak dengan tangan kiri.

Benturan kedua arus tenaga dalam yang hebat itu

memaksa orang lain terdesak mundur ke pinggir. Dan

pada saat itulah Tam-poh dan Tio-ci-sun pun mengerubut

maju, menyusul Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Tantianglo

dan lain-lain juga ikut terjun ke kalangan

pertarungan sengit itu.

“Kiau-hengte, Cidan tidak dapat hidup berdampingan

dengan kerajaan Song raya kita, demi kepentingan

umum terpaksa kita mesti kesampingkan hubungan

pribadi, maafkan bila aku akan berlaku kasar padamu!”

demikian Thoan-kong Tianglo berseru.

“Sedangkan coat-kay-ciu juga sudah kita minum, buat

apa bicara tentang persaudaraan lagi? Awas serangan!”

demikian sahut Kiau Hong sambil mendepak ke arah

tokoh Kay-pang itu.

1550

Namun begitu omongnya, toh terhadap tokoh Kaypang

mau tak mau ia berlaku sungkan juga, bukan saja

tiada niat mencelakai jiwa mereka, bahkan membikin

malu mereka di depan orang banyak juga tidak. Maka

depakan itu sampai di tengah jalan mendadak ganti arah,

“bluk”, tahu-tahu Goay-to Ki Liok yang menjadi

sasarannya hingga tertendang mencelat.

Rupanya Ki Liok, Si Golok Kilat itu sama sekali tidak

menyangka akan tindakan itu, keruan ia menjerit kaget

ketika mendadak pantatnya terasa terdepak dan

badannya mencelat ke atas. Goloknya sebenarnya

sedang dibacokkan ke kepala Kiau Hong, tapi karena

badannya mumbul ke udara, dan goloknya tetap

dibacokkan, maka terdengarlah “crat”, golok itu tepat

kena membacok belandar utama ruangan besar itu.

Gedung utama Cip-hian-ceng yang dibangun Yu-sisiang-

hiong itu sangat megah dan kukuh, lebih-lebih

belandar itu adalah sejenis kayu pilihan yang sangat

kuat. Maka sekali kena bacok dengan kuat, golok Ki Liok

itu lantas ambles belasan senti dalamnya hingga senjata

itu tergigit dengan kencang dalam belandar.

Golok Ki Liok itu adalah senjata andalan yang

membuatnya terkenal, kini harus menghadapi musuh

tangguh, mana dia mau kehilangan senjata itu? Maka

sekuatnya ia memegangi golok itu dengan tangan kanan.

Dengan demikian, tubuhnya menjadi terkatung-katung di

udara, keadaannya menjadi lucu dan aneh. Tapi setiap

orang di tengah ruangan itu sedang menghadapi detik

antara mati dan hidup, dengan sendirinya tiada seorang

pun sempat menertawainya.

Kiau Hong sendiri meski sudah banyak menghadapi

pertempuran seru dan selamanya tidak pernah kalah,

tapi kini harus bertempur dengan jago sebanyak dan

selihai ini, hal ini pun selama hidupnya tidak pernah

1551

dialami. Namun sama sekali ia tidak gentar sebaliknya

semangatnya semakin berkobar, ia mainkan kedua

tangannya naik-turun hingga lawan-lawan tangguh sukar

mendekatinya.

Sih-sin-ih memang sakti dalam ilmu pengobatan, tapi

ilmu silatnya belum tergolong kelas wahid. Dalam ilmu

pertabiban memang dia mempunyai bakat pembawaan

dan pengalaman yang mendalam. Dalam hal ilmu silat ia

pun sangat luas pengetahuannya, tapi luas pengetahuan

tidak berarti pandai pula menggunakannya. Oleh karena

terlalu luas dan terlalu banyak yang dia pelajari, maka

tiada sejurus pun ilmu silat itu benar-benar dilatihnya

hingga sempurna. Jadi hanya sepintas lalu saja ia

mempelajari berbagai jurus ilmu silat yang diperolehnya

dari tokoh-tokoh yang pernah diobati olehnya.

Sebelumnya ia suka bergirang dan puas akan

pengetahuan sendiri yang luas dalam hal ilmu silat, tapi

kini demi menyaksikan pertarungan sengit antara Kiau

Hong melawan orang banyak itu, betapa hebat dan

lihainya bekas Pangcu Kay-pang ini benar-benar

membuatnya terpesona, sungguh mimpi pun tak terpikir

olehnya ada ilmu silat begini lihai. Saking takjubnya

hingga ia terkesima di tempatnya, jangankan lagi hendak

maju bertempur.

Begitulah ia berdiri mepet tembok dengan rasa takut,

cuma untuk merat secara diam-diam betapa pun ia

merasa enggan, sebagai pengundang masakah ia sendiri

malah kabur lebih dulu? Sekilas tiba-tiba dilihatnya Hianlan

berdiri di sebelahnya, tergerak hatinya, maka katanya

perlahan, “Ucapanku tadi sesungguhnya kurang sopan,

harap Taysu suka memaafkan.”

Sebenarnya Hian-lan asyik mengikuti pertarungan

sengit di tengah ruangan itu, ia terkesiap oleh perkataan

Sih-sin-ih itu, segera ia tanya, “Ucapan apa maksudmu?”

1552

“Tadi aku menyatakan heran mengapa Kiau Hong

mampu keluar-masuk Siau-lim-si seorang diri dengan

bebas tanpa terluka apa-apa, dan sesudah menyaksikan

sekarang, nyata dia memang cukup mampu untuk

berbuat begitu,” kata Sih-sin-ih.

Keruan Hian-lan kurang senang mendengar demikian,

sahutnya dengan mendengus, “Hm, Sih-sin-ih ingin

menguji ilmu silat Siau-lim-pay, bukan?”

Belum lagi Sih-sin-ih menjawab, terus saja ia

melangkah maju, sekali lengan bajunya yang komprang

itu mengebas, mendadak dari bawah lengan baju timbul

suara menderu yang keras, angin pukulan yang dahsyat

lantas menyambar ke arah Kiau Hong.

Jilid 32

Ilmu silat yang dikeluarkan ini adalah satu diantara 72

macam ilmu silat pusaka Siau-lim-si, namanya “Siu-likian-

gun” (menyekap jagat dalam lengan baju), sekali ia

kebas lengan jubahnya, seketika tenaga pukulannya

menyambar keluar dari dalam jubah. Jadi lengan jubah

itu hanya sebagai tameng pukulan saja agar musuh tidak

dapat membedakan arah datangnya serangan, tapi tahutahu

diserang hingga kelabakan.

Namun Kiau Hong sudah lebih dulu melihat kedua

lengan baju Hian-lan itu melembung bagai goni penuh

angin, segera ia tahu serangan apa yang akan dilakukan

padri sakti itu, bentaknya cepat, “Siu-li-kian-gun, nyata

memang hebat !”

Berbareng itu sebelah tangannya segera dipukulkan

ke arah lengan baju lawan dengan kuat. Tenaga yang

terhimpun dalam lengan baju Hian-lan itu menggembung,

sebaliknya tenaga pukulan yang dilontarkan itu terpusat

keras, maka terdengarlah suara “bret-bret” beberapa kali,

1553

ditengah goncangan arus tenaga yang maha dahsyat itu,

sekonyong-koyong ditengah ruangan itu bertebaran

beberapa puluh ekor “kupu-kupu”.

Keruan semua orang terperanjat, waktu mereka

perhatikan, ternyata “kupu-kupu” itu bukan lain adalah

robekan kain lengan baju Hian-lan. Waktu perhatian

mereka beralih atas diri padri itu, tertampaklah kedua

lengannya sudah telanjang hingga kelihatan jelas tulang

lengannya yang kurus kering.

Rupanya di bawah tekanan dua arus tenaga dalam

yang maha kuat, maka lengan baju padri yang gondrong

itu tidak tahan dan seketika tergilas hancur. Dengan

demikian, tanpa lengan baju Hian-lan menjadi mati kutu

dan tidak bisa menggunakan Siu-li-kian-gun lagi.

Saking gusarnya sampai muka Hian-lan merah

padam, cara Kiau Hong mematahkan serangannya itu

dirasakan jauh lebih menderita daripada membunuhnya.

Tanpa omong lagi kedua lengannya yang telanjang itu

susul menyusul menghantam serabutan dengan dahsyat

luar biasa.

Waktu semua orang memperhatikan, ternyata yang

dimainkan Hian-lan sekarang adalah ilmu pukulan yang

tersebar luas di dunia kangouw, yaitu “Thio-co-tiang-tin”

atau ilmu pukulan ciptaan Song-thai-co.

Song-thai-co Tio Kong-in, cikal bakal dinasti Song,

sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam dua jenis

ilmu silat, yaitu “Thai-co-tiang-kun” dan “Thai-co-pang”,

ilmu pukulan dan ilmu permainan toya dari Song-thai-co.

Saking populernya kedua jenis ilmu silat itu hingga

pada jaman itu setiap orang Bu-lim hampir setiap orang

bisa, paling tidak juga pernah melihatnya.

Maka semua orang menjadi heran demi nampak padri

sakti Siau-lim-si yang terkenal itu ternyata memainkan

ilmu silat yang umum itu.

1554

Tapi sesudah Hian-lan menyerang tiga kali, mau tak

mau timbul juga perasaan kagum mereka, “Pantas saja

Siau-lim-si memperoleh nama harum. Sama-sama

sejurus Hoa-san-tio-ki (main catur diatas Hoa-san), tapi

di bawah permainannya ternyata mempunyai daya

serang selihat ini.”

Dan karena rasa kagum mereka kepada ketangkasan

Hian-lan, mereka jadi lupa pada wujud si padri yang

sebenarnya tak keruan dan lucu itu.

Tadi sebenarnya ada berpuluh orang yang

mengerubut Kiau Hong, tapi kini demi Hian-lan sudah

turun tangan, yang lain merasa akan mengganggu malah

jika ikut mengeroyok, maka satu persatu mereka

mengundurkan diri, semuanya hanya menonton saja

sambil merubung rapat di pinggir untuk berjaga kalau

Kiau Hong kewalahan dan ingin kabur.

Melihat pengeroyok lain sudah mundur, hati Kiau

Hong tergerak, mendadak ia menghantam ke depan

dengan tipu “Ciong-hong-cam-ciang” atau menyerbu

maju membunuh panglima musuh, tipu ini pun termasuk

salah satu pukulan “Thai-co-tiang-kun”.

Tipu ini sebenarnya sangat umum, tapi di bawah

pukulan Kiau Hong ternyata membawa tenaga maha

dahsyat dengan gaya yang indah.

Setiap hadirin ini boleh dikatakan adalah jago silat

pilihan semua, dengan sendirinya mereka kenal di mana

letak kebagusan setiap ilmu silat. Maka demi nampak

serangan Kiau Hong yang indah itu, tanpa terasa mereka

sama bersorak memuji.

Dan sesudah sorakan mereka tercetus barulah

mereka merasa salah. Bukankah Kiau Hong adalah

musuh yang harus mereka bunuh, tapi mengapa malah

bersorak untuk menambah semangat musuh?

1555

Namun sudah terlanjur, suara sorakan mereka sudah

lalu. Bahkan serangan kedua Kiau Hong dalam tipu “Hosiok-

lip-wi” (memperlihatkan pengaruh di Ho-siok)

tampaknya lebih bagus lagi daripada jurus pertama,

maka tidak sedikit di antara para hadirin itu masih

bersorak, urung ketika sadar kelakuan mereka yang

keliru. Namun hal mana jelas mengunjuk betapa rasa

kagum dan gegetun mereka atas kepandaian Kiau Hong

itu.

Begitulah, jika tadi malam keadaan dikeroyok Kiau

Hong tidak dapat memperlihatkan ketangkasannya,

adalah sekarang sesuah Kiau Hong bertempur satu

lawan satu dan para pengeroyok tadi menjadi penonton,

barulah semua orang menyadari di mana kelebihan ilmu

silat Kiau Hong daripada orang lain.

Maka sesudah beberapa jurus lagi, jelas kelihatan

siapa lebih unggul dan siapa asor.

Ilmu pukulan yang dimainkan kedua orang samasama

kungfu yang sangat umum, tapi setiap serangan

Kiau Hong selalu lebih lambat sedikit dan membiarkan

Hian-lan melancarkan serangan lebih dulu. Dan sekali

serangan Hian-lan dilontarkan, menyusul Kiau Hong

lantas menyerang juga.

Ilmu pukulan ciptaan Song-thai-to itu seluruhnya

meliputi 72 jurus. Tapi setiap jurus merupakan lawan

daripada jurus lain. Maka Kiau Hong sengaja incar baikbaik

tipu serangan lawan. Lalu ia keluarkan tipu

serangan yang tepat untuk mengatasinya.

Dengan demikian, tentu saja Hian-lan dibikin

kewalahan. Teori itu sebenarnya diketahui oleh setiap

penonton, yang susah adalah kepandaian “serang

belakang tapi tiba lebih dulu” itulah yang tidak mungkin

dimiliki sembarang orang.

1556

Melihat kawannya kewalahan, terang sudah kalah,

segera Hian-cit berseru, “Huh, kamu anjing Cidan ini,

caramu sesungguhnya terlalu rendah !”

“Apa yang kumainkan adalah ilmu pukulan Thai-co

dinasti kita, mengapa aku dituduh rendah ?” sahut Kiau

Hong tertawa.

Mendengar demikian, seketika pahamlah semua

orang maksud Kiau Hong memainkan “Thai-co-tiang-kun”

itu.

Jika Kiau Hong menggunakan ilmu silat jenis lain

untuk menangkan “Thai-co-tiang-kun” yang dimainkan

Hian-lan tentu orang lain takkan mengatakan dia lebih

kuat dan ulet, sebaliknya akan menyalahkan dia dengaja

menghina ilmu silat ciptaan cikal bakal dinasti Song yang

jaya itu. Dan hal ini tentu akan menambah sentimen

kebangsaan orang banyak itu. Tapi sekarang kedua

pihak sama menggunakan “Thai-co-tiang-kun”, dalam

pertandingan ini hanya mengadu ilmu silat belakan, Kiau

Hong takbisa lagi dituduh kurang ajar atau tuduhan lain.

Begitulah maka Hian-cit tak dapat tinggal diam lagi

melihat Hian-lan dalam sekejap lagi akan terancam

bahaya. Tanpa bicara ia terus menuding ke “Soan-ki-hiat”

di dada Kiau Hong. Ilmu yang dia pakai adalah “Thiantiok-

hud-ci” atau jari Budha dari Thian-tiok, semacam

ilmu tiam-hiat yang hebat dari Siau-lim-si.

Mendengar tutukan orang itu membawa suara

mencicit perlahan, segera Kiau Hong berkata, “Sudah

lama kudengar betapa hebat Thian-tiok-hud-ci, ternyata

memang bukan omong kosong belaka. Tapi bila kau

gunakan ilmu silat bangsa asing Thian-tiok itu untuk

mengalahkan ilmu pukulan cikal bakal dinasti kita

bukankah engkau akan dituduh menghianat dan

menghina dinasti kita sendiri ?”

1557

Hian-cit terkesiap sebab ilmu silat Siau-lim-si memang

berasal dari Budhi Dharma yang aslinya orang asing dari

Thian-tiok (kini India).

Sebabnya Kiau Hong sekarang dikeroyok adalah

disebabkan bekas Pangcu itu dituduh keturunan Cidan.

Tapi karena sejarah Siau-lim-si sudah terlalu tua, ilmu

silatnya sudah tersebar luas dikalangan Bu-lim hingga

berbagai aliran dan mazhab sedikit banyak ada

tersangkut hubungan hingga semua orang sama

melupakan asal usul Siau-lim-si yang ada sangkut

pautnya dengan bangsa asing itu.

Kini demi mendengar teguran Kiau Hong itu, segera

banyak di antara hadirin yang berpandangan jauh dan

berjiwa terbuka itu berpikir, “Terhadap Budhi Dharma kita

memuja sebagai malaikat dewata, sebaliknya mengapa

membenci orang Cidan sampai ke tulang sumsumnya?

Bukankah mereka sama-sama bangsa asing? Ya, sudah

tentu diantara kedua bangsa itu ada bedanya, bangsa

Thian-tiok tidak pernah menjajah dan membunuh bangsa

Han kita, sebaliknya bangsa Cidan adalah penjajah yang

ganas dan kejam. Jadi antara bangsa asing pada

hakikatnya juga ada perbedaannya dan tidak boleh

disamaratakan, harus dibedakan antara yang baik dan

yang jahat, antara kawan dan lawan, antara penjajah dan

dijajah. Dan apakah orang Cidan itu semua jahat?

Apakah tidak ada yang baik ?”

Begitulah di tengah pertarungan sengit itu banyak di

antara pengeroyok terdapat kaum pikiran sempit, berjiwa

dangkal dan dengan sendirinya takkan berpikir tentang

perbedaan itu, tapi sebagian yang tergolong cendikia,

dalam benak mereka lantas terlintas pikiran seperti itu,

mereka merasa Kiau Hong belum tentu adalah manusia

yang harus dibunuh, sebaliknya kita sendiri juga belum

pasti di pihak yang benar.

1558

Dalam pada itu, meski Hian-lan dan Hian-cit berdua

melawan Kiau Hong seorang, mereka lebih banyak

menagkis daripada menyerang.

Sementara itu karena ilmu pukulan pertama telah

dipatahkan sama sekali oleh lawan, maka Hian-lan telah

ganti ilmu silat “Lo-han-kun” yang lihai dari Siau-lim-pai.

“Huh, bukankah Lo-han-kun juga berasal dari ajaran

bangsa asing dari Thian-tiok ?” demikian Kiau Hong

mengejek. “Baiklah, akan kulihat apakah ilmu silat asal

luar negeri itu lebih lihai ataukah ilmu silat dalam negeri

Song sendiri lebih hebat ?”

Sembari bicara, “Thai-co-tiang-kun” terus dilancarkan

susul menyusul.

Keruan semua orang merasa tersinggung oleh

ucapan Kiau Hong itu. Mereka mengeroyok Kiau Hong,

alasannya karena dia bangsa asing. Tapi sekarang ilmu

silat yang dipakai pihak sendiri justru adalah ilmu silat

“impor”, sebaliknya ilmu silat pukulan yang dimainkan

Kiau Hong adalah “produksi dalam negeri” asli, yaitu

ciptaan cikal bakal dinasti Song yang tersohor itu.

Begitulah selagi banyak di antara mereka merasa

ragu-ragu dan rikuh, tiba-tiba terdengar Tio-cit-sun

berseru, “Peduli kita memakai ilmu silat berasal dari

mana, yang terang keparat ini telah membunuh ayah

bundanya dan gurunya sendiri, kejahatannya jauh lebih

pantas dihukum mati. Ayolah saudara, kerubut maju

bersama !”

Sambil berseru, segera ia mendahului menerjang

maju.

Menyusul Tam-kong, Tam-poh, para Tianglo dari Kaypang.

Tiat-bin poan-koan Tan Cing bersama putranya,

semuanya berjumlah puluhan orang terus ikut menyerbu

maju.

1559

Ilmu silat para pengerubut ini semua pilihan, meski

banyak jumlah mereka, tapi posisi mereka tidak kacau,

yang satu maju, yang lain mundur, yang lain maju, yang

satu mundur lagi.

Sambil berkata menghantam dan menangkis, Kiau

Hong berkata pula, “Kalian mengatakan aku orang Cidan,

jika betul, maka Kiau Sam-hoai Lokongkong dan

Lopohpoh tentu bukan ayah ibuku. Jangankan kedua

orang tua itu adalah orang yang paling kuhormati selama

hidup dan tiada maksud mencelakainya sedikitpun,

andaikan benar akulah yang membunuh mereka, toh

tuduhan membunuh ayah bunda sendiri juga tidak dapat

ditimpakan atas diriku? Sedangkan Hian-koh Taisu

adalah guruku yang kupuja, jika Siau-lim-pai mengakui

Hian-koh Taysu adalah guruku, maka aku orang she Kiau

menjadi terhitung anak murid Siau-lim, lantas apa alasan

kalian mengerubut seorang anak murid Siau-lim-pai cara

begini ?”

“Hm, bicara seperti pokrol bambu, mau menang

sendiri,” jengek Hian-cit dengan mendongkol.

“Habis, kalau kalian tidak anggap aku sebagai anak

murid Siau-lim-pai, dengan sendirinya ‘tuduhan

membunuh guru’ itu tak terbukti,” sahut Kiau Hong,

“Memangnya kalau mau menyalahkan orang masakan

kuatir kurang alasan? Tapi bila kalian ingin membunuhku,

mestinya bicaralah terus terang dan bunuhlah kalau

mampu, mengapa mesti cari alasan yang tidak dapat

dibuktikan ?”

Biarpun mulutnya bicara mencerocos, namun

serangannya tidak pernah berhenti, tinjunya menjotos

Tan Siok-san, kakinya menendang Tio ci-sun sukutnya

menyikut Cin Goan-cun, telapak tangan menghantam

Pau Jian-leng. Hanya sekejap saja beruntun empat orang

sudah dirobohkan olehnya.

1560

Kiau Hong tahu bahwa lawan-lawannya itu bukan

kaum penjahat, maka serangannya selalu seringan

mungkin. Yang dirobohkan sampai saat itu sudah ada

belasan orang, tapi tiada satu jiwa pun yang dicelakai

olehnya. Namun pengeroyok itu terlalu banyak, belasan

orang roboh, berpuluh orang segera menggantikannya.

Maka tidak lama kemudian, mau-tak-mau Kiau Hong

mengeluh, “Jika pertepuran begini diteruskan, akhirnya

aku pasti akan kepayahan, rasanya jalan paling baik

adalah kabur saja.”

Maka sambil bertempur segera ia mencari jalan untuk

meloloskan diri.

Tio ci-sun yang dirobohkan itu menggeletak di lantai

dengan sebelah tangan patah. Tapi ia tahu maksud Kiau

Hong akan melarikan diri, segera ia berseru, “Awas,

kawan-kawan ! Kepung dia dengan rapat, anjing keparat

ini hendak melarikan diri !”

Dalam pertarungan sengit itu memang Kiau Hong

sudah agak terpengaruh oleh bekerjanya arak yang

banyak diminumnya tadi, kini mendengar caci maki Tio

ci-sun, keruan amarahnya tak tertahankan lagi,

bentaknya dengan gusar, “Ya, anjing keparat ini akan

pakai dirimu sebagai korban pembunuhan pertama ?”

Sambil berkata, sekuatnya ia memukul dari jauh.

“Celaka !” seru Hian-lian dan Hian-cit berbareng.

Kedua tangan mereka sama memapak kedepan untuk

menolong Tio ci-sun.

Di tengah gencetan arus tenaga yang hebat itu,

sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri

seorang, dada orang itu tersodok oleh tenaga pukulan

Hian-lan dan Hian-cit, sebaliknya punggung kena

dihantam oleh pukulan Kiau Hong dari jauh.

Di tengah gencetan tiga arus tenaga maha dahsyat

itu, keruan tulang iga orang itu seketika patah dan remuk,

1561

isi perutnya hancur, darah menyembur keluar dari

mulutnya, badan terkulai lemas bagai cacing di lantai.

Kejadian di luar dugaan ini tidak hanya mengejutkan

Hian-lan dan Hian-cit, bahkan Kiau Hong juga terkesiap.

Orang yang sial itu ternyata Goai-to Ki Liok adanya.

Sebagaimana diketahui Ki Liok tadi terkatung-katung

di atas belandar dengan menggandul pada goloknya

yang terjepit belandar itu. Oleh karena sudah sekian

lamanya, setelah tergontai-gontai kian kemari, akhirnya

golok yang terjepit belandar itu mulai mengendur dan

akhirnya jatuh ke bawah.

Seungguh kebetulan juga, dengan tepat Ki Liok jatuh

di tengah-tengah gelombang tenaga yang sedang

dilontarkan oleh ketiga orang yang bertempur itu. Keruan

Ki Liok mirip digencet di tengah peres yang maha kuat,

seketika jiwanya melayang.

“Omitohud ! Siancai, Siancai ! Kiau Hong, dosamu

bertambah besar lagi !” demikian kata Hian-lan menyebut

Budha.

Kiau Hong menjadi gusar, sahutnya, “Orang ini tidak

seluruhnya terbinasa di tanganku, kalian berdua juga

mempunyai saham atas kematiannya, mengapa kau

tumplek semua kesalahan atas namaku ?”

“Omitohud ! Kalau sebelumnya tiada gara-garamu,

masakah terjadi pertempuran seperti sekarang ini ?”

sahut Hian-lan.

Kiau Hong semakin murka, “Baiklah, semua boleh kau

catat atas rekeningku, lantas mau apa ?”

Setelah mengalami pertarungan sengit itu, watak liar

dalam darah Kiau Hong menjadi kumat, sekejap itu ia

berubah beringas bagaikan seekor binatang buas. Sekali

tangannya membalik, tepat seorang lawan kena

cengkramannya, ternyata orang ini adalah Tan Tiongsan,

putra kedua Tan Cing.

1562

Menyusul Kiau Hong terus rampas golok Tan Tiongsan,

ketika tangan kanan menggaplok, tanpa ampun lagi

batok kepala Tan Tiong-san hancur dan mati seketika.

Maka gegerlah para ksatria, mereka menjerit kaget,

berteriak kuatir dan mencaci-maki dengan gusar.

Setelah membunuh orang, Kiau Hong bertambah

kalap, golok rampasannya berputar dengan cepat,

tangan kanan mendadak menjotos dan terkadang

memukul dengan telapakan, sedang golok di tangan kiri

membacok dan menebas, dahsyatnya tak tertahankan.

Hanya sekejap saja tertampaklah dinding di sekitar

sudah penuh titik noda darah, di tengah kalangan sudah

bergelimpangan belasan mayat, ada yang kepala

berpisah dengan badannya, ada yang dada pecah dan

pinggang putus.

Dalam mengamuk itu, Kiau Hong sudah tidak

pandang bulu lagi, dengan mata merah membara ia

membunuh setiap orang yang diketemukan, Thoan-kong

Tianglo dan Ge-tianglo telah binasa semua di bawah

goloknya.

Di antara ksatria yang hadir itu kebanyakan tentu

pernah membunuh orang. Maklum, membunuh orang

bagi orang persilatan boleh dikatakan terlalu jinak.

Andaikan tidak pernah membunuh orang dengan tenaga

sendiri, paling sedikit juga sudah biasa menyaksikan

pembunuhan.

Tapi pertarungan sengit seperti sekarang sungguh

tidak pernah dilihat mereka selama hidup. Lawan mereka

hanya satu orang, tapi Kiau Hong justru bertempur

seperti binatang buas dan hantu iblis yang mendadak

berada disana, sekejap kemudian tahu-tahu sudah

berada di sini, banyak jago terkemuka yang maju

melabraknya berbalik terbunuh oleh cara Kiau Hong yang

lebih cepat, lebih ganas dan lebih tangkas.

1563

Sebenarnya para ksatria yang hadir itu bukanlah

manusia pengecut, tapi di bawah terjangan Kiau Hong

yang kalap bagai banteng ketaton itu, segera banyak di

antaranya timbul rasa takut dan ingin melarikan diri,

mereka berharap bisa lekas tinggalkan gelanggang

pertempuran, apakah Kiau Hong berdosa atau tidak,

mereka tidak mau ikut campur lagi.

Dalam pada itu Yu-si-siang-hong, kedua jago

bersaudara she Yu, berbareng menerjang dari kanan dan

kiri, tangan kiri mereka sama memegang tameng bundar,

hanya tangan kanan yang berbeda persenjataannya, Yu

Ek memakai tombak pendek, sebaliknya Yu Ki

menggunakan golok.

Walaupun Kiau Hong melabrak para pengeroyok itu

dengan kalap dan tak kenal ampun, tapi terhadap setiap

gerak serangan lawan selalu diperhatikan dengan baik,

pikirannya tetap dalam keadaan jernih, maka sejauh ini ia

tidak terluka sedikit pun.

Ketika dilihatnya kedua saudara she Yu itu menerjang

maju dengan senjata aneh, cepat ia mainkan goloknya

ke kanan kiri, lebih dulu ia robohkan dua lawan di

sampingnya, habis itu ia mendahului memapak ke arah

Yu Ek dan menyerang.

Tapi bacokannya ditangkis oleh tameng Yu Ek,

“trang”, golok Kiau Hong malah mendal keatas. Waktu

diperiksa, ternyata mata goloknya melingkar dan tak bisa

dipakai lagi.

Ternyata tameng kedua jago bersaudara itu adalah

buatan dari baja murni, biarpun dibacok dengan pedang

atau golok mestika juga tak mempan, apalagi golok yang

dipakai Kiau Hong itu hanya golok biasa yang

dirampasnya dari Tan Tiong-san.

Begitulah sekali perisainya menangkis, secepat kilat

tombak pendek di tangan Yu Ek yang lain lantas

1564

menusuk dengan tipu “tok-coa-cut-tong” (ular berbisa

keluar dari gua), tombak itu menyambar dari bawah

perisai dan mengarah perut Kiau Hong.

Pada saat itu juga Kiau Hong melihat berkelebatnya

senjata, perisai Yu Ki mendadak memotong

pinggangnya. Mata Kiau Hong cukup awas, sekilas

pandang ia sudah tahu pinggir tameng itu sangat tajam,

bila kena pinggang bukan mustahil akan terpotong putus

menjadi dua, sungguh lihainya tidak kepalang.

“Bagus !” bentak Kiau Hong sambil buang goloknya,

menyusul tinju kiri terus menghantam sekuatnya, maka

terdengarlah suara “blang” yang keras, bagian tengah

tameng Yu Ki tepat kena digenjot, menyusul kepalan

tanagan kanan Kiau Hong menghantam lagi, “blang”,

tameng Yu Ek juga kena digempurnya dengan tepat.

Kontan Yu-si-siang-hiong merasa separuh tubuh

mereka seakan-akan kaku dan lumpuh, pukulan-pukulan

Kiau Hong yang maha dahsyat itu meski tidak langsung

mengenai mereka, tapi sudah cukup membuat mata

mereka berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh

keliling seketika tangan mereka menjadi lemas. Tameng,

tombak dan golok tidak kuat dipegang lagi, terdengar

suara gemerentang nyaring, senjata mereka semua jatuh

ke lantai.

“Bagus, boleh berikan padaku saja senjata kalian itu !”

seru Kiau Hong dengan tertawa. Cepat ia jemput perisai

kedua saudara Yu itu, segera ia putar dengan kencang.

Kedua perisai baja yang bundar itu sungguh

merupakan senjata serba guna yang ampuh, kemana

senjata itu menyambar, disitu lantas terdengar jeritan

ngeri. Hanya sekejap saja sudah empat orang menjadi

korban perisai baja itu.

Wajah Yu-si-siang-hiong tampak pucat dan semangat

lesu. Kata Yu Ek, “Jite, bukankah Suhu pernah

1565

mengatakankepada kita, perisai ada orang ada, perisai

hilang orangnya gugur ?”

“Benar twako,” sahut Yu Ki dengan muram. “Hari ini

kita telah kecundang sedemikian rupa, masakah kita

masih ada muka untuk hidup lebih lama di dunia ini ?”

Segera mereka menjemput kembali senjata masingmasing,

yaitu tombak dan golok, berbareng mereka tikam

perut sendiri dengan senjata itu, maka binasalah mereka

seketika.

Keruan banyak ksatria menjerit kaget. Tapi mereka

sedang dicecar oleh Kiau Hong dengan hebat, maka

tiada seorang pun sempat mencegah perbuatan nekat

kedua saudara Yu itu.

Kiau Hong melengak juga. Sungguh tak terpikir

olehnya bahwa sebagai tuan rumah kedua saudara Yu

itu bisa ambil pikiran pendek begitu? Karena kejutnya itu

pengaruh arak tadi menjadi hilang sebagian besar, hati

pun agak menyesal.

“Yu-si-siang-hiong, guna apa ambil keputusan

demikian ?” seru Kiau Hong dengan terharu, “Tentang

kedua perisai ini, biarlah kukembalikan saja !”

Sambil berkata, dengan khidmat dan hormat ia taruh

kedua perisai itu disamping jenazah Yu-si-siang-hiong.

Tapi belum lagi ia tegak kembali dari berjongkok, tiba-tiba

didengarnya jerita kuatir seorang gadis, “Awas !”

Kiau Hong cukup cerdas dan tangkas, sedikit

menggeser ke samping, maka menyambar lewatlah

sebilah pedang tajam. Jeritan itu ternyata berasal dari A

Cu. Dan penyerang gelap itu adalah Tam-kong. Sekali

membokong tidak kena, segera jago tua itu menyingkir

jauh.

Tam-poh menjadi gusar, serunya, “Bagus, kamu

budak setan ini, kami tidak membunuhmu, tapi kamu

malah bersuara membantu dia !”

1566

Mendadak ia melompat ke sana, sekali gaplok,

segera kepala A Cu hendak dipecahkannya.

Waktu Kiau Hong menempur para ksatria itu, sejak

tadi A Cu meringkuk di sudut ruangan, tenaga murninya

perlahan mulai lenyap, badan menjadi lemas. Ia melihat

Kiau Hong dikeroyok orang banyak, walaupun tahu bakal

banyak menghadapi bahaya toh bekas Pangcu itu

bersedia mengantar dirinya untuk mencari tabib sakti,

budi kebaikan ini biar tubuhnya hancur lebur juga susah

dibalas.

Sebab itulah A Cu merasa sangat berterima kasih dan

kuatir pula. Maka ketika mendadak Kiau Hong disergap

Tam-kong tadi, segera ia bersuara memperingatkan.

Untung sebelum Tam-poh mencapai sasarannya,

secepat kilat Kiau Hong menyusul tiba, dari belakang ia

jambret punggung nenek itu dan ditarik sekuat tenaga

serta dilemparkan ke samping. “Brak”, sebuah kursi

tertabrak hancur oleh badan. Tam-poh yang gede mirip

kuda teji itu.

Meski tidak kena serangan nenek itu, namun A Cu

ketakutan hingga muka pucat dan badan lemas terkulai.

Kiau Hong terkejut, pikirnya, “Hawa murninya sudah

mulai kering, namun dalam keadaan begini mana dapat

kutolong dia ?”

Sementara itu terdengar Sih-sin-ih berkata dengan

nada dingin, “Tenaga nona itu sekejap lagi akan habis,

akan kau tolong jiwnya tidak dengan tenaga dalammu?

Jika napasnya putus, terpaksa aku tak dapat

menolongnya lagi.”

Kiau Hong menjadi serba susah. Ia tahu perkataan

Sih-sin-ih itu bukan omong kosong belaka tapi sekali

awak sendiri menolong A Cu, segera dirinya akan

dihujani pukulan dan senjata oleh lawan yang sudah

merumbung di sekitarnya itu.

1567

Sudah banyak jatuh korban di pihak kdatria itu, mana

mau mereka menyudahi pertempuran ini? Lalu, apakah

mesti menyaksikan A Cu mati begitu saja? Padahal

dengan menyerempet bahaya ini ia membawa A Cu ke

Cip-hian-ceng ini tujuannya adalah minta pengobatan

pada Sih-sin-ih. Sesudah tiba di tempat dan berhadapan

dengan tabib sakti, lalu membiarkan nona itu mati

kehabisan tanaga, bukankah sangat sayang?

Tapi kalau sekarang ia salurkan hawa murni padanya,

itu berarti ia mengantikan jiwa nona itu dengan jiwa

sendiri. Padahal A Cu hanya seorang budak cilik yang

baru dikenalnya di tengah jalan, pada hakikatnya tiada

sesuatu hubungan bai apa-apa, soal menolong

sesamanya adalah perbuatan biasa bagi seorang

pendekar dan ksatria tapi kalau mesti menggunakan jiwa

sendiri yang berharga untuk menggantikan nyawa nona

cilik itu, betapapun juga tidak masuk diakal. Aku sudah

berusaha sedapatnya membawanya ke tempat si tabib

sakti, kewajibanku boleh dikatakan sudah jauh lebih dari

cukup. Biarlah sekarang juga kutinggal pergi saja dan

terserah Sih-sin-ih mau menolong jiwanya atau tidak.

Setelah ambil keputusan itu, segera Kiau Hong

jemput kembali kedua perisai tadi, dengan gerakan “Taipeng-

tian-ih” atau garuda raksasa pentang sayap,

mendadak ia putar perisai itu dengan kencang hingga

berwujud dua bola, berbareng ia terus terjang keluar.

Karena orang di dalam ruangan itu terlalu sesak, pula

gerakan Kiau Hong teramat lihai, seketika tiada

seorangpun yang berani merintanginya.

Setiba di ambang pintu, baru Kiau Hong hendak

angkat kaki seribu, sekonyong-konyong terdengar suara

seorang yang parau, “Bunuh dulu budak itu, baru kita

balas sakit hati pula !”

1568

Pembicara ini ternyata Tiat-bin-poan-koan Tan Cing

adanya.

Putranya yang tertua, Tan Pek-san segera mengiakan

dan ayun goloknya membacok kepala A Cu.

Keruan Kiau Hong terkejut dan kuatir tidak jadi

melangkah pergi, tanpa pikir, ia sambitkan sebelah

perisainya. Bagaikan “piring terbang” perisai itu

menyambar secepat kilat ke depan.

“Awas !” dengan kuatir beberapa orang

memperingatkan. Dengan cepat Tan Pek-san juga

angkat goloknya hendak menyampuk.

Namun betapa hebat tenaga Kiau Hong tepi perisai itu

sangat tajam pula, “krak…cret”, tahu-tahu golok tertabas

patah, bahkan Tan Pek-san sendiri terpotong putus

sebatas pinggang. Malahan perisai itu masih terus

menyambar ke depan hingga menancap di pilar.

Kematian Tan Pek-san itu benar-benar sangat

mengenaskan, hal ini membuat semua orang ikut murka,

bukan saja Tan Cing dan putranya, Tan Ki-san,

menubruk berbareng ke arah A Cu, bahkan beberapa

ksatria lain juga menghujani A Cu dengan senjata.

“Manusia pengecut !” maki Kiau Hong. Cepat ia

bertindak, dari jauh ia memukul empat kali berturut-turut

hingga semua orang itu dipaksa menyingkir, menyusul ia

lari maju, ia angkat A Cu dan dikempit dengan tangan

kiri, ia gunakan perisai yang masih ada untuk melindungi

badan si gadis.

“Kiau-toaya, aku percuma, jangan kau pikirkan aku

lagi, lekas engkau menyelamatkan diri saja !” seru A Cu

dengan suara lemah.

Namun pertarungan sengit itu sudah mengobarkan

semangat jantan Kiau Hong yang angkuh dan tinggi hati,

serunya, “Urusan sudah terlanjur begini, sudah terang

1569

mereka takkan mengampuni jiwamu, biarlah kita mati

bersama saja !”

Dan sekali tangan kanan bergerak, kembali ia berhasil

merebut sebatang pedang, dengan senjata rampasan itu

ia terus menerjang keluar.

Karena tangan kiri mengempit A Cu, gerak-geriknya

menjadi kurang leluasa, perisai pun kurang rapat untuk

melindungi badan si gadis. Namun Kiau Hong sudah

tidak pikirkan mati hidup sendiri, ia putar pedang

sedemikian kencangnya.

Tapi baru saja dia hendak menerobos keluar,

sekonyong-konyong punggung terasa sakit, nyata telah

kena dibacok sekali oleh orang.

Tanpa pikir lagi ia mendepak ke belakang, kontan

penyerang itu kena ditendang dan binasa seketika. Dan

pada saat hampir bersamaan itu pundak Kiau Hong kena

hantam sekali pula oleh Hian-lan, menyusul dada kanan

juga kena ditusuk pedang musuh.

Mendadak Kiau hong mengerang sekali, begitu keras

suaranya hingga seperti bunyi halilintar, bentaknya, “Kiau

Hong akan bereskan diri sendiri dan tidak mau mati di

tangan kaum keroco dan bangsa pengecut !”

Namun para pengeroyok itu sudah kadung nekat,

mereka tidak mau memberi kesempatan kepada Kiau

Hong untuk membunuh diri lagi. Segera belasan orang

menubruk maju.

Tapi dengan tangkasnya mendadak Kiau Hong

mencengkram, kontan “tan-tiong-hiat” di dada Hian-cit

kena dipegang olehnya terus diangkat tinggi ke atas.

Dalam kagetnya semua orang sama menjerit dan

beramai melompat mundur.

Karena “tan-tiong-hiat” terpegang, betapapun lihai

Hian-cit juga tak berguna, sama sekali ia tak bisa

berkutik, tampaknya pinggir perisai yang tajam itu tinggal

1570

belasan senti saja di depan tenggorokannya, asal sedikit

Kiau Hong sodok senjata itu, seketika kepala Hian-cit

bisa kuntung. Tak tertahankan lagi padri itu menghela

napas panjang, ia pejamkan mata menunggu ajal.

Tapi Kiau Hong sendiri merasa luka di punggung,

dada dan pundak sakitnya tidak kepalang, maka

berkatalah dia, “Ilmu silatku ini asalnya juga dari Siau-limpai,

minum air harus ingat pada sumbernya, mana boleh

kubunuh padri saleh Siau-lim-pai? Hari ini aku sudah

pasti akan mati, kalau membunuh seorang lagi apa

manfaatnya ?”

Habis berkata, cekalannya menjadi kendur, ia

lepaskan Hian-cit ke lantai dan berkata, “Silahkan kalian

turun tangan !”

Di tantang begitu, semua orang menjadi tertegun dan

saling pandang malah, mereka terpengaruh oleh

perbawa Kiau Hong yang gagah berani itu, sebaliknya

Tan Cing sudah terlalu sakit hati karena kedua putranya

dibunuh oleh Kiau Hong, dengan kalap terus ia

menerjang maju, golok lantas membacok dada Kiau

Hong.

Kiau Hong tahu betapapun ia menerjang toh takkan

mampu membobol kepungan orang banyak. Maka ia

hanya berdiri tegak tanpa menangkis. Sesaat itu terkilas

macam-macam pikiran dalam benaknya, “Sebenarnya

aku orang Cidan atau bangsa Han? Siapakah gerangan

yang membunuh ayah bunda dan guruku itu? Selama

hidupku selalu berbuat bajik dan membela keadilan,

mengapa hari ini tanpa sebab aku menewaskan

pendekar sebanyak ini? Dengan nekat aku menolong

jiwa A Cu hingga aku sendiri malah binasa ditangan para

ksatria ini bukankah aku ini terlalu bodoh san akan

ditertawai orang ?”

1571

Dalam pada itu ia lihat wajah Tan Cing yang merah

padam saking murka itu tampak berkerut-kerut, mata

mendelik, goloknya sudah menyambar ke arah dadanya.

Tampaknya dalam sekejap lagi Kiau Hong pasti akan

menggeletak tanpa bernyawa oleh serangan Tan Cing

itu.

Go-tianglo, Cit-hoat-tianglo dan lain-lain sama

pejamkan mata karena tidak tega menyaksikan kejadian

tragis itu.

Sekonyong-konyong dari udara melayang turun

seorang dengan cepat luar biasa dan tepat membentur

golok Tan Cing. Karena tidak tahan oleh tenaga

tumbukan itu, golok Tan Cing terpental ke samping.

Di tengah jerit kaget semua orang, mendadak dari

udara melayang turun seorang lain. Sekali ini orang itu

terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, jadi lebih

tepat di katakan terjun, “prak”, kepala orang itu tepat

menumbuk kepala Tan Cing, keruan kepala kedua orang

sama-sama hancur luluh seketika.

Dan baru saja sekarang semua orang dapat melihat

jelas kedua orang yang melayang turun dari udara itu

adalah penjaga di atas rumah, terang mereka dipegang

orang dan dilemparkan ke bawah sebagai senjata

rahasia.

Selagi keadaan kacau-balau, mendadak dari ujung

wuwungan sana membuai turun seutas tambang yang

panjang, dengan keras sekali tambang itu menyambar

kepala orang banyak. Cepat para ksatria angkat senjata

hendak menangkis, tapi ujung tambang itu tahu-tahu

berganti arah terus melilit pinggang Kiau Hong, pada lain

saat mendadak tambang itu sudah terangkat keatas.

Waktu itu darah sudah bercucuran dari luka Kiau

hong, tangan kirinya yang mengempit A Cu itu sudah tak

1572

bertenaga, maka ketika ia dikerek keatas oleh tambang

itu, A Cu lantas jatuh ke tanah.

Kemudian dapatlah semua orang melihat orang yang

memegangi ujung tambang sebelah sana adalah

seorang laki-laki berbaju hitam mulus, perawakannya

tegap, tapi mukanya berkedok kain hitam, hanya kedua

matanya yang kelihatan.

Setelah mengerek Kiau Hong ke atas, segera laki-laki

itu mengempitnya dengan tangan kiri, menyusul tambang

panjang itu diayunkan hingga tergubat pada tiang

bendera di depan Cip-hian-ceng.

Pada saat para Ksatria berteriak dan membentak

disertai hujan berbagai macam senjata rahasia ke arah

Kiau Hong dan laki-laki baju hitam itu tarik kencang

tambangnya, sekali melayang ke depan, tahu-tahu

badannya terangkat ke atas dan hinggap di balkon di

pucuk tiang bendera itu. Maka terdengarlah suara plakplok

yang riuh, berpuluh macam senjata rahasia itu sama

menancap di balkon tiang bendera.

Sementara itu tambang lelaki baju hitam itu diayun ke

depan lagi hingga ujungnya tepat mengubat pucuk pohon

besar yang berada puluhan meter jauhnya, lalu orang itu

mengempit Kiau Hong dan membuai keatas pohon di

sebelah sana lagi dan begitu seterusnya, hanya sekejap

saja laki-laki baju hitam itu sudah menghilang, yang

terdengar kemudian hanya suara derap lari kuda yang

berdetak-detak dan semakin jauh. Tertinggal para ksatria

hanya saling pandang dengan bingung.

“Nah, coba katakan, sebab apa kaubunuh Be-

Taigoan, membunuh suamimu sendiri?” “Jadi engkau

harus tahu?” sahut Be-hujin dengan sorot mata yang

beringas. “Ya, aku harus tahu,” sahut Siau Hong. “Aku

adalah lelaki yag berhati keras, tidak nanti menaruh belas

kasihan padamu.” “Huh, biarpun engkau tidak bilang, apa

kau sangka aku tidak tahu?” tiba-tiba Be-hujin memaki.

Sebabnya aku menjadi rusak seperti sekarang ini,

semuanya gara-gara perbuatanmu, kamu binatang yang

sombong dan congkak, tidak pandang sebelah mata

kepada orang lain! Kaum orang Cidan yang lebih kotor

daripada babi dan anjing, kalau kamu mati tentu masuk

neraka dengan setan iblis. Ayolah, boleh kausiram lukaku

dengan air madu, mengapa tidak kaulakukan? Ah, kamu

anak jadah, anak anjing, jahanam keparat.” Begitulah

makin memaki makin keji, seakan-akan segala rasa

dendam dalam hati nyonya janda itu harus dilampiaskan

seketika itu, sampai akhirnya segala kata-kata kotor dan

rendah yang mestinya tidak pantas diucapkan oleh

seorang perempuan juga dihamburkan oleh Be-hujin.

1844

Tapi Siau Hong diam saja, ia biarkan Be-hujin

mencaci maki sepuas-puasnya, wajah wanita celaka itu

tadinya pucat lesi, setelah puas memaki, mukanya merah

padam malah dan sorot matanya mengunjuk rasa

senang.

Dan sesudah memaki kalang kabut sejenak pula,

akhirnya suaranya mereda, sebagai penutup ia

mendamprat, “Kiau Hong, kamu anjing keparat ini,

kaubikin aku celaka seperti sekarang ini. aku ingin lihat

apakah kelak kausendiri takkan ketular.”

Namun Siau Hoag mendengarkan dengan tenang

saja, kemudian ia tanya, “Selesai belum memaki?”

“Sementara boleh puas dulu, nanti kulanjutkan

memaki lagi,” sahut Be-hujin dengan gemas. “Hm, kamu

anak anjing yang tak punya biang, asal nyonya besarmu

ini masih bernapas, pasti aku akan memakimu sampai

napas terakhir.”

“Bagus, boleh kaumaki terus,” ujar Siau Hong. “Kalau

tidak salah, waktu pertama kalinya aku bertemu

denganmu adalah di tengah hutan di luar kota Bu sik itu,

tatkala itu Tai-goan Hengte sudah dibunuh olehmu,

sedangkan sebelumnya aku tidak pernah kenal dirimu,

mengapa kamu menuduh aku yang mengakibatkan

dirimu terjerumus seperti sekarang ini?”

“Hah, kaukira pertemuan kita yang pertama kali

adalah di tengah hutan di luar kota Bu-sik itu? Huh, justru

ucapanmu yang demikian inilah penyakitnya!” demikian

jengek Be-hujin dengan benci. “Kamu ini manusia

keparat yang tinggi hati, binatang yang sombong,

1845

kauanggap ilmu silatmu tiada tandingan di kolong langit

ini, lantas kau pandang rendah orang lain.”

Begitulah kembali ia menghembuskan serentetan

makian pula. Tapi Siau Hong tidak meladeninya, ia

biarkan orang memaki sepuas-puasnya, sesudah

suaranya serak dan tenaganya lelah, kemudian baru ia

tanya, “Sudah cukup kaumaki?”

“Belum, tak pernah cukup, untuk selamanya,” sahut

Be-hujin dengan gemas. “Kamu … jahanam yang

sombong dan congkak, biarpun kamu adalah raja juga

cuma begini saja.”

“Memang betul, biarpun raja, apanya sih yang hebat?”

sahut Siau Hong. “Selamanya aku juga tidak pernah

anggap ilmu diriku tiada tandingan di kolong langit ini,

umpamanya orang … orang tadi, ilmu silatnya, jelas di

atasku.”

Be-hujin tidak ambil pusing apakah orang yang

dimaksudkan itu, ia masih terus mengomel dengan

makian-makian keji lagi. Selang sebentar, tiba-tiba ia

berkata, “Hm, kaukira pertama kali kamu bertemu

dengan aku adalah di luar kota Bu-sik? Em, apakah

ketika hadir di Pek-hoa-hwe (pameran bunga) di kota

Lokyang dulu, tidak pernah kaulihat aku?”

Siau Hong melengak. Pek-hoa-hwe di kota Lokyang

itu terjadi dua tahun yang lampau, tatkala mana ia

bersama pura Tianglo dari Kai-pang memang hadir juga,

tapi ia tidak ingat pernah bertemu dengan Be-hujin di

pameran bunga itu. Maka katanya, “Ya, waktu itu Taigoan

Hengte juga ikut pergi ke sana, tapi ia tidak

memperkenalkan dirimu padaku?”

1846

“Hm, kamu ini kutu busuk macam apa?” damprat pula

Be-hujin. “Paling-paling kamu cuma kepala kaum

pengemis, apa yang kautonjolkan? Huh, dasar lagakmu

memang sok! Waktu itu, begitu aku berdiri di samping pot

bunga anggrek kuning, seketika para ksatria terkesima

memandang padaku, semuanya kesemsem dan

terpesona pada diriku. Tapi justru keparat macammu ini

anggap dirimu sebagai seorang jantan tulen, seorang

ksatra yang tidak doyan paras elok, bahkan memandang

sekejap padaku juga enggan. Huh, laki-laki palsu,

munafik, manusia rendah yang tak kenal malu.”

Kiai Siau Hong mulai paham duduknya perkara,

tahutnya, “Ya, aku pun ingat sekarang. Pad hari itu

memang betul di samping pot bunga anggrek itu berdiri

beberapa orang perempuan, tatkala itu aku asyik minum

arak, maka tidakdapat memandang bunga dan wanita

apa segala. Bila kaum wanita dari angkatan tua tentu aku

akan maju dan memberi hormat padanya, tetapi kamu

adalah iparku, istri saudara angkatku, sekalipun aku tidak

memperhatikanmu juga bukan sesuatu yang melanggar

kesopanan? Mengapa kamu dendam begitu mendalam

padaku?”

“Memangnya apakah matamu tidak punya biji mata?”

semprot Be-hujin, “Biarpun laki-laki mana atau ksatria

siapa pun, bila ketemu aku, kalau tidak memandangku

dari kepala sampai ke kaki, tentu akan memandang dari

kaki sampai ke kepalaku. Andaikan ada yang merasa

dirinya terhormat dan tidak berani jelalatan, pasti juga

ingin cari kesempatan untuk melirik padaku. Hanya kau

… ya, hanya kau, hm, dari beratus lelaki yang

1847

hadir dalam pameran itu, hanya kau seorang dari

mula sampai akhir melirik sekejap padaku pun tak

pernah.”

“Ai, memang itulah sifatku,” ujar Siau Hong dengan

menghela napas. “Memang sejak kecil aku tidak suka

bergaul dengan kaum wanita, sesudah dewasa, lebihlebih

aku tiada tempo untuk memperhatikan wanita. Toh

tidak melulu engkau seorang, bahkan wanita yang lebih

cantik daripadamu juga mula-mula tidak menarik

perhatianku, dan baru kemudan … kemudian …. Ai, aku

pun sudah terlambat kini … ”

“Apa katamu?” teriak Be-hujin dengan suara tajam

melengking. “Kau maksudkan ada wanita yang lebih

cantik dariku? Siapa dia? Lekas katakan, siapa dia?”

“Dia adalah putri Toan Cing-sun, encinya A Ci,” sahut

Siau Hong.

Apakah benar Be-hujin yang membunuh suami sendiri

akibat sakit hatinya terhadap Siau Hong?

Apa yang akan dilakukan Siau Hong terhadap Behujin

dan rahasia apa pula yang akan tersingkap?

Jilid ke 39

"Cis," Be-hujin meludah, "perempuan hina seperti itu

juga kau penujui. . . . ."

Belum habis ucapannya mendadak Siau Hong jambak

rambutnya terus dibanting keras-keras kelantai sambil

1848

mendamprat, "Berani kau olok-olok sepatah kata yang

kurang hormat lagi padanya, hm, segera boleh kau

rasakan siksaanku yang lebih keji."

Karena bantingan itu, hampir-hampir Be-hujin

kelenger, seluruh ruas tulangnya sampai terasa akan

rontok. Mendadak ia terbahak-bahak, katanya,

"Hahahaha, kiranya. . . kiranya Kiau-tai enghiong, Kiautaipangcu

kita telah terpikat oleh anak dara itu,

Hahahaha, sungguh menggelikan! Jadi Pangcu Kai-pang

ingin menjadi Hu-ma-ya (menantu raja) dari putri

kerajaan Tayli, Ai, Kiau-pangcu, kusangka segala wanita

takkan kau pandang sama sekali, tak tahunya, hahaha. .

. . ."

Dengan lemas Siau Hong duduk diatas kursi

disampingnya, katanya kemudian dengan suara rendah,

"Aku memang berharap dapat memandangnya sekejap

lagi, akan tetapi. . . .akan tetapi kini tidak dapat lagi."

"Hm, sebab apa?" jengek Be-hujin, "Jika memang

betul engkau mengincar dia, dengan kepandaianmu ini

masakah tak mampu merebutnya?"

Tapi Siau Hong menggeleng kepala dan tidak

menjawabnya, Selang agak lama barulah ia berkata.

"Biarpun mempunyai kepandaian setinggi langit juga

takkan mampu merenggutnya kembali lagi."

"Sebab apa? hahaha!"

"Sebab dia sudah mati!"

1849

Suara tawa Be-hujin seketika berhenti, ia agak

menyesal mendengar itu, Ia merasa Kiau-pangcu yang

congkak dan tinggi hati itu rada-rada kasihan juga.

Untuk sejenak kedua orang tiada yang membuka

suara, keadaan hening sebentar, kemudian Siau Hong

berbangkit dan berkata lagi, "Lukamu sudah terang tak

bisa disembuhkan lagi, kamu telah membunuh suami

sendiri, dosamu kelewat takaran, biarpun dapat kucarkan

Sih-sin-ih juga aku tidak mau mengundangnya untukmu,

Hah, apa yang hendak kau katakan lagi?"

Mendengar orang bermaksud membunuhnya, Behujin

yang tadinya garang itu mendadak ketakutan,

katanya, "Amp. . . ampunilah diriku, jang. . . jangan

membunuhku."

"Baik, memang tidak perlu kuturun tangan sendiri, ujar

Siau Hong, lalu hendak tinggal pergi.

Melihat orang tanpa berpaling terus hendak

melangkah pergi, kembali rasa gusar nyonya janda

durhaka itu memuncak, ia berteriak lagi, "Kiau Hong, kau

anjing keparat! Dahulu aku dendam karena kamu tidak

sudi memandang barang sekejap padaku, maka aku

minta Tai-goan membunuhmu, tapi Tai-goan tidak mau,

kemudian aku menghasut Pek Si-kia membunuh Taigoan,

Dan kini. . . kini kamu masih tetap tidak tertarik

sedikitpun kepadaku!"

"Hm, kaubunuh suamimu sendiri, katanya aku yang

salah lantaran tidak sudi memandang sekejappun

padamu." jengek Siau Hong sambil membalik tubuh

1850

kembali, "Huh, dusta sebesar itu siapakah yang mau

percaya?"

"Sebantar lagi aku akan mati, buat apa kudustaimu?"

sahut Be-hujin, "Hm, kau pandang rendah padaku, maka

aku ingin membikin kamu bangkrut habis-habisan, biar

namamu rusak dan badanmu hancur, Telah kutemukan

surat wasiat Ong-pangcu dalam peti besi Tai-goan

hingga mengetahui seluk beluk mengenai dirimu, aku

minta Tai-goan supaya membongkar rahasiamu itu

didepan umam agar setiap ksatria didunia ini mengetahui

dirimu ini keturunan Cidan yang biadab itu, dengan

begitu jangan lagi kamu akan tetap menjadi Pangcu Kaipang,

bahkan untuk menancap kaki di Tionggoan juga

susah, malahan jiwamu juga akan sulit diselamatkan."

Walaupun Siau Hong tahu wanita itu sudah tak bisa

berkutik lagi, tapi demi mendengar ucapannya yang

begitu keji, tanpa terasa ia mengkirik juga, Tapi ia lantas

menjengek, "Hm, hanya disebabkan Tai-goan Hengte

tidak mau menuruti permintaanmu untuk membeberkan

rahasiaku, lantas kaubunuh dia?"

"Ya, bukan saja ia tidak mau menuruti permintaanku,

sebaliknya ia damprat aku habis-habisan." sahut Behujin,

"Padahal biasanya ia sangat menurut kepada apa

yang kukatakan, selamanya tidak pernah mendamprat

aku seperti itu, Sekali dia bikin dendam hatiku, celakalah

dia, Kebetulan esok paginya Pek Si-kia bertamu

kerumahku sini dan memandang padaku dengan

kesemsem, Hm, laki-laki mata keranjang demikian, apa

yang kukatakan tentu dilakukannya, masakah dia berani

menolak?"

1851

"Ai, seorang laki-laki perkasa sebagai Pek Si-kia

akhirnya menjadi korbanmu," kata Siau Hong dengan

gegetun. "Jadi kau. . . kau minumkan Sip-yang-bi-hunsan

kepada Tai-goan, lalu suruh Pek Si-kia meremas

tulang kerongkongannya agar orang menyangka dia

dibunuh dengan 'Soh-au-kim-na-jiu' oleh orang she

Buyung dari Koh-soh, demikian bukan?"

"Ya, memang! Hahaha, mengapa bukan begitu? Dan

kejadian selanjutnya kaupun sudah tahu semua, tidak

perlu kujelaskan lagi." sahut Be-hujin dengan terbahakbahak.

"Dan kipasku itu Pek Si-kia yang mencurinya, bukan?"

tanya Siau Hong lagi.

"Hahaha, memang benar," sahut Be-hujin.

"Dan tentang penyamaran A Cu yang begitu persis

itu, mengapa dapat kau ketahui pula?" tanya Siau Hong.

"Ya, mula-mula aku juga terkesiap oleh penyamaran

anak dara itu, kemudian sesudah aku berbisik beberapa

kata rayuan yang dijawab oleh dia secara ngawur, maka

aku lantas curiga dan mengetahui rahasianya,

memangnya aku lagi ingin membunuh Toan Cing-sun,

kebetulan aku dapat meminjam tenagamu." demikian

tutur Be-hujin. "Haha, Kiau Hong keparat, ilmu

penyamaranmu sesungguhnya terlalu rendah, sekali

kutahu kepalsuan anak dara celaka itu, segera aku pun

dapat mengenalimu, Hehehe, memangnya kau kira dapat

mengelabui mataku?"

1852

"Kematian nona Toan itu adalah gara-gara

perbuatanmu, maka akan kuperhitungkan atas utangmu."

ujar Siau Hong dengan mengertak gigi.

"Dia yang datang menipu padaku, dan bukan aku

yang menipu dia!" sahut Be-hujin, "Aku hanya mengikuti

siasatnya hingga dia termakan senjatanya sendiri, Coba

kalau dia tidak mencari padaku, bila kemudian Pek Si-kia

menjadi Pangcu, dengan sendirinya orang-orang Kaipang

akan bermusuhan dengan Toan Cing-sun, dan

keparat she Toan itu, hehe, lambat atau cepat juga dia

takkan lolos dari tanganku."

"Hm, kamu sungguh kejam, lelaki yang disukai

olehmu akan kaubunuh, sedang lelaki yang tidak mau

memandang dirimu juga akan kau bunuh." kata Siau

Hong.

"Habis, masakah didunia ini ada lelaki yang tidak suka

kepada wanita cantik? Huh, omong kosong belaka!

Masakah didunia ini ada laki-laki munafik seperti dirimu,"

jengek Be-hujin.

Tatkala mengucapkan kejadian yang membanggakan

itu, air muka Be-hujin tampak kemerah-merahan dan

bersemangat, tapi akhirnya tenaganya tak tahan,

suaranya mulai lemah dan napasnya mulai tersengalsengal.

"Untuk yang terakhir cuma ingin kutanya satu soal

padamu." kata Siau Hong kemudian. "Coba jawablah,

siapakah gerangan 'Toako pemimpin' yang menulis surat

kepada Ong-pangcu itu? Pernah kau baca surat wasiat

itu, tentu kau tahu namanya."

1853

"Hehehe, Kiau Hong, Kiau Hong! Akhirnya kamu

memohon padaku atau aku yang memohon padamu?"

sahut Be-hujin dengan tertawa dingin. "Kini Tai-goan

sudah mati, Ci-tianglo juga sudah mampus, Tio-ci-sun

telah mati pula, Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga sudah

mati, Tam Kong dan Tam-poh pun mati semua, Ti-kong

Taisu dari Thian-tai-san juga binasa, ya, semuanya

sudah mati, didunia ini kini hanya tinggal aku seorang

yang tahu siapa 'Toako pemimpin' penanda tangan surat

wasiat itu."

Hati Siau Hong berdebar-debar hebat, sahutnya, "Ya,

memang betul, akhirnya akulah yang mesti memohon

padamu, harap engkau sudi memberitahukan nama

orang itu padaku."

"Jiwaku sudah hampir tamat, kebaikan apa yang akan

kau berikan padaku?" sahut Be-hujin.

"Asal dapat dicapai oleh tenagaku, segala

permintaanmu pasti akan kuturuti," sahut Siau Hong.

"Apasih yang kuinginkan lagi?" ujar Be-hujin dengan

tersenyum, "Kiau Hong, aku dendam padamu karena

kamu tidak sudi memandang untuk sekejap saja padaku

hingga berakibat malapetaka seperti sekarang ini, Maka

bila engkau ingin aku beritahukan nama 'Toako

pemimpin' itu, hal ini tidak sulit, asal saja kau pondong

aku dan pandanglah padaku untuk beberapa jam

lamanya."

1854

Karuan Siau Hong berkerut kening, sudah tentu

hatinya seribu kali tidak sudi, tetapi didunia ini hanya dia

seorang yang tahu rahasia besar itu.

Dendam kesumat sendiri dapat dibalas atau tidak

hanya tergantung pada keterangan nyonya janda ini

nanti, padahal syarat yang dia minta itu bukanlah

sesuatu yang sulit, sekalipun syarat yang diminta itu

adalah urusan maha sukar juga terpaksa akan

diturutinya, Sedangkan jiwa nyonya janda itu hanya

tinggal sebentar lagi dan setiap saat bisa putus

napasnya, untuk memaksa atau memancingnya dengan

cara lain terang tiada gunanya, Jika nanti jiwanya

terlanjur melayang dulu, maka itu berarti lenyaplah satusatunya

harapan untuk mencari tahu nama musuhnya itu.

Karena itu, terpaksa ia berkata, "Baiklah, akan

kupenuhi keinginanmu."

Lalu ia pondong Be-hujin dan memandang mukanya

dengan sorot mata yang tajam, Tapi karena waktu itu

muka Be-hujin penuh darah dan kotor pula, ditambah

penderitaan selama semalam suntuk, air mukanya

menjadi pucat dan jelek sekali, untuk memondong saja

Siau Hong pun terpaksa, kini melihat wajah orang yang

begitu rupa, mau tak mau ia berkerut kening.

Be-hujin menjadi gusar, dampratnya, "Kenapa? kau

merasa muak memandang padaku, ya?"

Terpaksa Siau Hong menjawab, "Tidak!"

1855

Selama hidup Siau Hong tidak pernah berdusta, kini

terpaksa ia mesti mengucapkan apa yang bertentangan

dengan perasaannya.

"Bila benar kamu tidak merasa muak padaku, cobalah

mencium pipiku," pinta Be-hujin tiba-tiba.

"Mana boleh jadi," sahut Siau Hong tegas, "Engkau

adalah isteri saudaraku Tai-goan, sebagai seorang

ksatria mana boleh kugoda janda saudara angkat

sendiri?"

"Hehe, kamu ksatria? Kau orang sopan? Seorang

alim?" demikian Be-hujin menjengek. "Tapi mengapa kau

pondong diriku seperti ini. . . . ."

Pada saat itulah, mendadak diluar jendela terdengar

orang mengikik tawa dan berkata, "Hihi, Kiau Hong,

kamu benar-benar manusia yang tidak tahu malu, Sudah

membinasakan Enciku, sekarang kau pondong dan

hendak main gila dengan gundik ayahku, kaupunya

muka atau tidak?"Jelas itulah suara A Ci.

Tapi Siau Hong merasa perbuatannya cukup dapat

dipertanggung-jawabkan, maka olok-olok anak kecil itu

tak dihiraukannya, bahkan ia mendesak pula kepada Behujin,

"Lekas katakan, siapakah gerangan 'Toako

pemimpin' itu?"

"Kuminta kau pandang mukaku, mengapa kamu

berpaling kearah lain?" kata nyonya janda itu dengan

suara merdu merayu.

1856

Sementara itu A Ci sudah masuk kedalam, katanya

dengan tertawa, "Hah, kiranya kamu belum mampus?

Mukamu jelek seperti siluman begini, lelaki mana yang

sudi memandang lagi padamu?"

"Apa katamu?" seru Be-hujin dengan suara terputusputus.

"Kau. . . kau bilang mukaku sejelek siluman?

Cermin, mana cermin?"

"Lekas katakan, siapakah 'Toako pemimpin' itu?

Habis kaukatakan segera kuberi cermin." sahut Siau

Hong.

Tapi A Ci sudah lantas mengambilkan sebuah cermin

diatas meja dan dihadapkan kemuka Be-hujin dan

berkata, "Nah, lihatlah sendiri, lihatlah apa kamu cantik?"

Ketika melihat bayangan sendiri ditengah cermin itu

berwujud wajah yang kotor dan berlepotan darah, gemas,

takut, beringas dan penuh dendam, semua perasaan

jahat dan buruk tertampak pada air muka sendiri yang

tadinya cantik molek menggiurkan, seketika mata Behujin

mendelik lebar-lebar untuk tidak pernah terpejam

lagi.

"A Ci, lekas singkirkan cermin, jangan membuat dia

murka." ujar Siau Hong.

"Aku ingin dia lihat betapa cantik mukanya sendiri!"

sahut A Ci.

"Jangan, kalau dia sampai mati murka, tentu urusan

bisa runyam." seru Siau Hong.

1857

Namun segera ia merasa badan Be-hujin sudah tak

berkutik lagi, napasnya juga sudah berhenti, waktu ia

periksa nadinya, nyata orangnya memang sudah mati.

Karuan Siau Hong terkejut, serunya, "Wah! celaka, ia

benar-benar sudah mati!"

Mendengar seruan yang mirip orang tertimpa malang

itu, A Ci menjadi kurang senang, ia mencibir dan berkata,

"Huh, engkau tentu sangat suka padanya, ya? Kematian

perempuan bejat seperti ini masakah ada harganya untuk

diributkan?"

"Ai, anak kecil tahu apa?" ujar Siau Hong sambil

mengentak kaki, "Aku justru lagi tanya sesuatu padanya,

didunia ini hanya tinggal dia seorang yang tahu, Bila

tidak kau ganggu urusan ini, tentu sekarang dia sudah

mengaku."

"Baiklah, kalau begitu biarlah kubelajar kenal dengan

Ong-pangcu punya Hang-liong-sip-pat-Ciang (delapan

belas jurus pukulan penakluk naga) dan Pak-kau-panghoat

(ilmu pentung penggebuk anjing), supaya para

ksatria yang hadir dapat kenal betapa hebatnya

kepandaian Kai-pang yang kesohor itu," kata Hian-cu

sambil bersiap-siap.

Goan-ci tampak melengok dan menyurut mundur

malah. Sebab walaupun dia telah menjadi Pangcu, tapi

Hang-liong-sip-pat-ciang dan Pak-kau-pang-hoat yang

dikatakan itu boleh dikatakan sejurus pun tidak bisa. Ia

pernah dengar bahwa kedua macan kungfu itu biasanya

mesti diajarkan oleh Pangcu lama kepada Pangcu baru,

maka kedua macam ilmu itu disebut "Tin-pang-sin-kang"

(ilmu sakti pemimpin). Terkadang Hang-liong-sip-pat-

Ciang itu juga diajarkan kepada anggota biasa,

sebaliknya Pak-kau pang-hoat hanya diajarkan kepada

Pangcu saja. Boleh dikatakan setiap Pangcu Kai-pang

selama beratus tahun ini tiada satu pun yang tidak mahir

dua macam kepandaian itu. Sekarang Goan-ci disuruh

untuk mengunakan kedua macam ilmu silat yang tak

dipahaminya, sudah tentu la merasa serba susah.

Melihat sikap Goan-ci itu, segera Hian-cu menambahi

lagi, "Aku adalah ketua Siau-lim-si dan tentu akan

menggunakan kepandaian utama golongan kami seperti

Kim-kong-pan-yak-ciang untuk coba-coba dengan Hangliong-

sip-pat-ciang kalian dan Hok-mo-siang-thong untuk

melawan Pak kau pang-hoat Ong-pangcu. Cuma, ai

sungguh sangat disayangkan, selama ini di antara dua

golongan kita hanya saling tukar pikiran saja dan

selamanya tidak pernah digunakan untuk saling gebrak.

Tapi sekarang terpaksa mesti kulayani Ong-pangcu,

sungguh menyesal sekali."

Para ksatria merasa kagum dan hormat terhadap

ucapan Hian-cu yang luhur budi itu. Segera tampak jubah

Hian-cu mulai bergoyang, kedua tangannya terangkap di

depan dada, lalu didorong maju pelahan itulah salam

pembukaan ilmu pukulan Pan-yak-ciang.

Goan-ci juga tidak banyak omong segera telapak

tangan kirinya menghantam, menyusul tangan kanan

juga memotong ke depan dengan cepat sekali. Tenaga

pukulan yang susul menyusul itu memang sangat hebat

dan aneh. Maka terdengarlah suara beradunya tenaga

pukulan, menyusul terdengar suara "brat-bret" dua kali

tahu-tahu kedua ujung ikat pinggang Hian-cu terputus

dan melayang ke kanan-kiri.

Kiranya tanaga pukulan kedua tangan Goan-ci itu

mencakup lingkaran yang sangat luas ketika tenaga

pukulannya sebagian dipatahkan oleh pukulan Hian-cu,

maka ujung kain ikal pinggang Hian cu yang berkibaran

itu terkupas putus oleh tenaga pukulan Goan-ci yang

menyambar lewat ke samping itu.

Menyaksikan gebrakan itu, terentak pula ksatria dan

padri Siau-lim-si lama berteriak-teriak, “ini kan

kepandaian jahat Sing-siok-pai dan bukan Heng liongsip-

pat-ciang!"

“Ya, itu bukan kepandaian asli Kai-pang!”

Bahkan di antara anggota Kai-pang juga ada yang

berteriak, "Kita bertanding dengan Siau-lim-pai, maka

kita tidak boleh memakai ilmu jahat golongan lain! Benar,

harus menggunakan Heng-liong-sip-pat-ciang! Kenapa

memakai ilmu jahat golongan lain, membikin malu Kaipang

saja!"

Gebrakan pertama itu sebenarnya Goan-ci lebih

unggul, tapi demi mendengar teriakan-teriakan itu. ia

menjadi ragu sehingga jurus kedua tak bisa dilancarkan

lagi. Sebaliknya orang 'Sing-siok-pai lantas berseru,

"Nah, sudah terang ilmu sakti Sing-siok-pai jauh lebih

hebat, buat apa mesti memakai Heng-liong-sip-pat-ciang

apa segala yang tak berguna!"

"Ayo, Ong-suheng, maju dan labrak lagi, bikin keok

dia!"

Seketika suara sanjung puji "Sing-siok losian maha

sakti” lantas bergema pula.

Di tengah suara riuh ramai itu sekonyong-konyong

dari bawah gunung berkumandang suara seorang yang

keras dan lantang, "Siapa bilang ilmu silat Sing-siok-pai

jauh lebih hebat daripada Hang-liong-sip-pat-ciang?"

Begitu lantang dan nyaring suara itu sehingga suara

ribut orang banyak tersirap seketika. Dengan terkejut

semua orang sama tutup mulut. Maka terdengarlah suara

derapan kuda yang ramai, belasan penunggang kuda

secepat angin telah menerjang tiba.

Penunggang-penunggang kuda itu seluruhnya

memakai mantel sutra merah, orangnya gagah dan

kudanya tangkas, semua kuda pilihan berwarna hitam

mulus. Sesudah dekat, pandangan semua orang merasa

silau. Ternyata tapal kuda itu semuanya terbuat dari

emas.

Jumlah penunggang kuda itu seluruhnya 19 orang.

Meski tidak banyak, tapi pembawa mereka melebihi

suatu bárisan besar.

Sesudah dekat, 18 penunggang kuda itu lantas

memisah kedua sisi, tinggal penunggang kuda yang

paling belakang masuk terus menyusur maju dengan

cepat.

Melihat penunggang kuda itu, serentak orang-orang

Kai-pang berteriak-teriak, "Siau-pangcu!, Siau-pangcu!"

Menyusul sebagian besar di antara mereka lantas

merubung maju untuk memberi hormat.

Kiranya panunggang kuda ini memang benar adalah

Siau-hong. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa

meski dia sudah dipecat tapi sekarang masih ada

anggota Kai-pang sebanyak ini yang menyembah

padanya. Saking terharunya sampai tak tertahan

mengambang air matanya, cepat ia melompat turun dari

kudanya dan balas menghormat.

Segera katanya, “Orang Cidan Siau Hong telah

dipecat dan sudah tiada hubungan lagi dengan Kai-pang

mana boleh para saudara tetap menyapa dengan

sebutan lama? Selama berpisah tentu saudara baik-baik

saja bukan?”

Anggota-anggota Kai-pang yang memberi hormat itu

sebagian besar adalah murid berkantung tiga dan empat

yang masih muda dan berjiwa lebih dinamis apa yang

mereka pikirkan segera dilaksanakan. Karena mereka

masih sangat menjunjung pribadi Siau Hong yang luhur

budi dan gagah perwira itu maka begitu bertemu

serentak mereka tetap memanggilnya sebagai "Kiaupangcu”,

mereka lupa bahwa "Kiau-pangcu" itu sudah


3431


dipecat bahkan adalah bangsa Cidan yang merupakan

musuh besar mereka.

Karena jawaban Siau Hong itu, segera ada sebagian

yang menunduk kepala dan mengundurkan diri, tapi

masih tetap ada sebagian yang berkata pula. "Engkau

juga baik-baik, Kiau . . . Kiau . . . . Selama berpisah ini

sungguh kami selalu terkenang Padamu!"

Kedatangan Siau Hong ke Tionggoan ini memang

disengaja, pengiring-pengiringnya itu adalah “18 ksatria

penunggang kuda” yang merupakan jago pilihan bangsa

Cidan. Dahulu Siau Hong hampir mati dikeroyok orang

banyak di Cip-hian-ceng, untung dia ditolong oleh

seorang ksatria berbaju hitam. Hal ini menandakan

bahwa betapa pun tinggi ilmu silatnya juga susah

melawan orang banyak yang berjumlah ratusan. Tapi

sekarang ia membawa 18 jago, apalagi kuda tunggangan

mereka juga kuda pilihan, bila perlu mereka tidak sulit

melarikan diri dengan mencamplok kuda.

Ketika masih di bawah gunung tadi Siau Hong sudah

mendengar teriakan orang sing-siok-pai yang membual

bahwa ilmu sakti Sing-siok-pai jauh lebih hebat dari pada

Hang-liong-sip-pat-ciang hal ini membuatnya marah

sekali. Mesti bukan anggota kai-pang lagi, tapi ia tidak

terima kalau Hang-liong-sip-pat-ciang yang lihai itu dihina

orang. Bahkan sekilas iapun melihat Ting jun-jiu

menawan seorang dara cilik berbaju ungu yang segera

dikenalnya sebagai a Ci.

Kedatangannya di Tiongoan ini antara lain juga

hendak mencari A Ci. Sekarang melihat anak dara itu

ditawan orang, seketika teringat olehnya pesan terakhir A


3432


Cu yang minta dia menjaga baik-baik adik perempuannya

itu. Tanpa piker lagi segera ia mendekati Ting-lokoai

sekali tangan kirinya terangkat, kontan ia hantam

kedepan dengan gerakan ''Gang- liong-yu-hwe", salah

satu jurus Hang-liong-sip-pat-ciang yang ampuh.

Waktu Siau hong menyerang, jaraknya dengan Ting

Jun-jui masih belasan meter jauhnya, tapi karena

datangnya terlalu cepat sehingga dimana tenaga

pukulannya sampai tahu-tahu jarak mereka hanya tinggal

beberapa meter saja.

Ting-lokoai juga sudah kenal nama “Lam Buyung dan

Pak Kiau Hong” yang tersohor, maka dia pun tidak berani

memandang enteng lawan. Ketika melihat Siau Hong

mulai menyerang dari jauh, sekali-kali tak terduga

olehnya bahwa dirinya yang dijadikan sasaran, apalagi

menyusul Siau Hong juga melesat maju dan kembali

menyerang dengan jurus kedua "Gang liong-yu hwe" di

lancarkan,jadi tenaga pukulan pertama didorong oleh

tenaga pukulan kedua, karuan bagaikan gugur gunung

dahsyatnya.

Hanya sekejap saja Ting-lokoai merasa, dadanya

sesak, napas susah, tenaga pukulan lawan sungguh

bagai air bah yang melanda dan tak terbendungkan

seakañ-akan dirinya dan A Ci akan tenggelam di tengah

gelombang tenaga itu.

Dalam kagetnya Ting-lokoai tidak sempat memikirkan

cara paling sempurna untuk melayani serangan itu. Tapi

ia tahu kalau menangkís dengan sebelah tangan saja

tentu bukan mustahil tangan sendiri akan patah boleh

jadi otot tulang seluruh badan akan tergetar remuk.


3433


Sementara itu pukulan lawan yang dahsyat sudah tiba

dalam keadaan genting ia terpaksa ia melemparkan A Ci

ke atas, berbareng kedua tangannya terus bergerak

untuk berjaga di depan dada, sedangkan ujung kakinya

menutuk pelahan dan melompat mundur.

T¡ba-tiba Siau Hong menyusul serangan "Gang-liongyu-

hwe” yang ketiga belum lenyap tenaga pukulan yang

lebih dahulu, segera tenaga pukulan lain sudah

membanjir lagi.

Lokoai tidak berani menangkisnya dengan keras

lawan keras, ia miringkan pukulannya sehingga kedua

tenaga pukulan Cuma saling senggol saja. namun begitu

Lokoaí merasa lengannya linu pegal dan napas sesak,

capat ía melompat mundur düa-tiga meter jauhnya

sambil mengerahkan hawa berbisa di tangannya untuk

berjaga jaga kalau lawan mendesak maju.

Namun dengan pelahan Siau Hong tangkap dulu A Ci

yang sementara itu baru jatuh dari udara sekalian ia

membuka hiat-to si nona yang tertutuk tadi.

Sejak A Ci ditawan Ting Jun-jiu, walaupun matanya

tak bisa melihat dàn mulut tak dapat bicara, namun

segala apa yang terjadi di sekelilingnya dapat

didengarnya dengan jelas, Maka begitu hiat to terbuka,

dengan girang segera ia berseru, "Cihu yang baik,

banyak terima kasih atas pertolonganmu!”

Bila teringat anak dara Itu mengeluyur pergi tanpa

pamit sehingga dirinya dibikin kelabakan mencarinya,

sungguh anak dara yang terlalu nakal, maka Siau Hong

menjadi gregatan, "plok", ia gaplok sekali pantat anak


3434


dara itu sambil mengomel, “kenapa kaupergi tanpa bilang

bilang padaku snggaeh aku bingung mencarimu ke

mana-mana?"

Keruan A Ci kesakitan dan berkeok-keok “Aduh cihu

busuk, kenapa engkau memukul orang?”

"Biar, aku justru ingin menghajarmu budak nakal ini!"

kata Siau Hong.

Ketika A Ci berpaling dan sekilas dilihatnya kedua

bola mata anak dara Itu buram tak bersinar terang sudah

buta, sungguh kaget Siau Hong tak terhingga serunya,

"Hei kau . . . matamu kenapa?”

"Tidak apa-apa, biar kenapa kaupusing?" sahut A Ci

dengan uring-uringan.

Dengan munculnya Siau Hong tadi, para ksatria

Tionggoan menjadi panik bila teringat pada kejadian di

Cip-hian-ceng dahulu di mana berpuluh kawan mereka

telah dibinasakan Siau Hong. Mereka menduga sebentar

tentu sukar terhindar pertempuran mati-matian pula.

Kemudian ketika mereka menyaksikan dengan sekalidua

gebrak saja Siau Hong telah mengalahkan Sing-siok-

Lokoai yang malang melintang, tadi seketika mereka

saling pandang dengan kagum dan kuatir pula.

Sebaliknya ada sebagian anggota Sing siok-pai yang

tidak kenal malu masih berani mencaci-maki Siau Hong

dan ada yang menyanjung puji lokoai.

Di sebelah lain Goan-ci merasa jeri juga dengan

datangnya Siau Hong, ketika dilihatnya A Ci digaplok dan

diomeli Síau Hong, ia menjadi tidak tahan dan segera


3435


melompat maju serta berkata, "Lekas lepaskan nona A

Ci."

"Síapa kau?" tanya Siau hong sambil menurunkan A

Ci ketanah.

Dahulu Goan-ci sering bertemu dengan Siau Hong

ketika berada di negeri Liam, tapi sekarang muka Goanci

sudah berubah sama sekali, kedudukannya juga sudah

lain, sudah tentu Goan-cí tidak perlu takut lagi padanya.

Namun permbawa Siau Hong sebagai "Lam-ih Tai-ong"

terlalu berakar dalam lubuk hatí Goan ci, apalagi Siau

Hong telah menyelamatkan A Ci dengan gagah perkasa,

budi kebaikan ini bagi Goan-ci melampaui dendam

terbunuhnya orang tua. Karenai ítu Goan-ci menjadi

kalah pembawa lebih dulu dan menjawab dengan

tetgagap, "Aku adalah . . . adalah Ciangbun Kek-lok-pai,

Kai-pang Pangcu Ong .... Ong Sing Thian.” tapi di antara

anggota Kai-pang sagera ada orang berteriak, "Kamu

südah mengangkat guru pada Sing-siok Lokoai, mana

boleh mengaku sebagai Pangcu lagi!"

“Akulah Ciangbun Slng-siok-pai yang sesungguhnya,"

kata A Ci. "Ong-pangcu tadi cuma menjura kepada Singsiok

Lokoai dengan 'Kap-tan-hoa-Hiat kang (ilmu

meluluhkan darah musuh dengan menjura), apakah

kalian sangka dia sungguh-sungguh ingin menjadi murid

Lokoai? Justru Lokoai yang telah diselomoti, tidak lebih

dari tiga hari seluruh badan Ting-lokoal akan hancur luluh

menjadi darah. Kalau kalian tidak percaya boleh lihat saja

nanti!"

Dasar memang jebolan murid Sing-siok pai,

kepandaian A Ci dalam hal membual dan membohong


3436


dengan sendirinya sangat pintar. Maka orang orang Kai

pang menjadi ragu mereka tahu Sing-siok-pai memang

memiliki macam-macam ilmu jahat dan berbisa, apa yang

dikatakan A Ci memang bukan mustahil.

Sebaliknya Siau Hong tahu A Ci sengaja ngaco-belo

lagi, sekilas ia lihat Toan Cing-sun dan Wi Sing tiok juga

berada di situ, ia menjadi girang dan segera berseru,

"Kiranya Tin lam ong juga berada di sini biarlah putrimu

ini kuserahtkan kepada kalian untuk diberi pendidikan

sebaik-biaknya."

Lalu ia gandeng tangan A Ci ke arah Toan Cing-sun,

pelaban ia dorong anak dara itu ke depan dan segera

dirangkul oleh Wi Sing tiok dengan air mata berlinang

linang.

“O, anakku, ken . . . kenapa keduá matamu ini?” tanya

Sing-tiok dengan menangis.

Sebaliknya A Cì tiada mempunyai rasa kasih sayang

kepada ayah bundanya, maklum sejak kecil ia tidak

pernah merasakan kasih saying orang tua. Dasar

wataknya tidak mau kalah, maka ia pun tidak mau

mengakü kedua matanya ítu díbutakan oleh Ting jun-jiu,

dengan suara keras ia menjawab, “ aku sendiri sengaja

membutakan mataku karena aku sedang melatih

semacam ilmu gaib Sing-siok-pai Ting-lokoai sendiri pun

tidak mampu melatih ilmu ini.”

Dalam pada ítu Toan Ki juga sangat girang atas

munculnya Síau Hong, cumu dia belum sempat menyapa

sang Toako karena Siau Hong lagi melabrak Ting Jun jiu,

Ia heran ketika mengetahuí bahwa nona buta itu oleh


3437


Siau Hong dikatakan sebagai putri ayahnya. Tapi la pun

tahu sifat sang ayah yang romantis, segera ia dapat

menduga hubungan ayahnya dengan Wi Sing-tiok.

Sesudah A Ci diserahkan kepada orang tuanya oleh

Siau Hong, segera Toan Ki tampil kemuka dan berseru.

“Toako, bàik-baikkah selama berpisah sungguh sangat

merindukan adikmu ini?”

Sejak Siau Hoing angkat saudara dengan Toan Ki,

walaupun singkat sekali waktu berkumpul mereka, tapi

Siau Hong tetap sangat simpati dan suka sekali kepada

Toan Ki, segera ia pegang kedua tangan adïk angkat îtu

dan menjawab, “banyak sekàli kejadian sesudah

berpisah dan susah diceritakan dalam sekejap untung

kita sama-sama dalam keadaan baik-baik semua."


Belum lagi mereka sempat bicara lebîh banyak tibariba

terdengar teriakan orang banyak yang mencaci-maki

Siau Hong, "Hai, orang she Kiau, kamu telah membunuh

saudaraku sakit hati itu belum terbalas, biarlah hari ini

aku mengadu jiwa denganmu!”

"Ya, Kiau Hong adalah anjing Cidan yang harus kita

bunuh bersama, hari inl tidak boleh lagi dià lolos dari

Siau-sit-sian ini!"

Menyusul banyak lagi caci-maki yang menuduh Siau

Hong membunuh ayah atau putranya, semua ingin

memuntut balas atas korban yang dahulu pernah

dibunuh oleh Siau Hong di Cip-bian-ceng.

Makin lama makin banyak yang mendamprat dan

memakì, bukan mustahil dalam sekejap lagì akan terjadi

3438

pertempuran ramai pula. Sebaliknya rombongan Siau

Hong hanya 18 orang saja ia pun bermusuhan dengan

Kai-pang, Siau-lim-pai dan Sing siok-pai, kalau sampai

terjadi pertempuran itu berarti Siau Hong ber-l8 orang

harus menandingi seribu orang pasti sukar baginya untuk

meloloskan diri.

Namun Siau hong tidak gentar, dengan suara lantang

ia berseru. “Kedatangan Siau Hong ini mestinya ada

suatu urusan dengan Siau-lim-si jika kalian ingin

membunuh orang she Siau ini, apa kalian mampu atau

tidak boleh dicoba nanti, tapi saat ini aku belum sempat

melayani kalian.

Dalam keadaan rebut sudah tentu para ksatria

Tionggoan itu tidak mau menunggu iagi, segera ada

beberapa orang yang kasar melontarkan caci maki yang

kotor dan keji. Dan karena hasutan dan bermain-main

mereka lantas merubung maju hendak mengerubut.

Sebelumnya Siau Hong tidak menduga bahwa dì Siau

sit-san telah berkumpul musuh sebanyak itu, sskarang

sudah tentu ia pun pantang mundur, Tapi ia lihat para

ksatra itu kebanyakan adalah kawan lama, ia kenal

mereka sebagai ksatria yang gagah perwira, sebabnya

mereka memusuhi dirinya adalah lantaran dia di anggap

bangsa Cidan, pula ada orang sengaja menghasut dan

mengadu-domba sehingga terjadi salah paham

pembunuh yang pernah terjadi di Cip-hia-ciang itu

sesungguhnya bukan maksud hatinya kalau hari ini

terjadi pertarungan sengit pula susah memperoleh

kemenangan, andaikan dirinya dapat eloloskan diri, tapi

ksatria-ksatria yang dia bawa serta itu pasti sulit lolos.

Sebaliknya kalau para ksatria Tionggoan itu terbunuh

3439

lebih banyak, hal ini berarti memperdalam permusuhan

dan makin menyakitkan hati, lalu apa gunanya semua

ini?

Karena pikiran itu, segera Siau Hong mengambil

keputusan, "Di depan orang sebanyak ini terpaksa

urusan yang hendak kutanyakan kepada Siau-Lim-si

harus ditunda dulu dan sementara ini lebih baik aku

menghindarkan diri saja supaya tidak terjadi banjir darah

lagi. Bila keadaan di sini sudah tenang kembali barulah

aku akan dtang ke sini pula."

Sesudah mengambil keputusan itu, segera ia berkata

kepada Toan Ki, "Adik yang baik, adaan sekarang sangat

gawat dan susah bagi kita untuk bicara, sementara ini

adik boleh menyingkir dahulu, tempo masih banyak,

biarlah kita bertemu lagi lain hari."

Maksud tujuan Siau Hong adalah minta Toan Ki

menyingkir ke samping agar sebentar bila musuh

menerjang ke bawah gunung Toan Ki takkan ikut terbawa

bawa di tengah pertempuran.

Tapi biarpun Toan Ki tidak mahir ilmu namun

wataknya sangat gagab berani. Ia lihat ksatria yang

berjumlah ribuan orang itu hendak membunuh kakak

angkatnya, tanpa terasa timbul rasa keadilannya, dengan

suara keras ia berteriak, “Toako, pada waktu kita

mengangkat saudara apa yang telah kita ucapkan?

Bakankah kita telah bersumpah ada rejeki dibagi

bersama, ada kesukaran dipikul berbareng. Kita tidak

dilahirkan pada hari dan Waktu yang sama, tapi rela mati

pada hari dan waktu yang sama. Hari ini Toako

3440

menghadapi kesukaran manakah adik harus berpeluk

tangan dan takut mati!”

Dahulu dalam setiap kali terancam selalu Toan Ki

dapat menyelamatkan diri dengan langkah aJaib leng

Po-wi-poh. Tapi sekarang ia sama sekali tidak

memikirkan atau menyelamatkan diri, semakin

berbahaya keadaannya semakin teguh tekatnya gugur

bersama Siau Hong untuk memenuhi kéwajibannya

sebagai saudara angkat yang sehidup semati.

Hampir seluruh ksatria Tionggoan itu tidak kenal

macam apakah tokoh Toan Ki itu, tapi melihat dia

mengaku sebagai saudara angkat Siau Hong dan

bertekat membantunya, sudah tentu tiada seorang pun

yang jeri pada pemuda yang muda belia dan lemah itu.

Maka Siau Hong berkata pula,'"Adikku yang baik,

sungguh aku sangat berterima kasih pada maksudmu

yang luhur ini. Tapi rasanya tidaklah gampang bila

mereka ingin membunuh aku. Maka lebih baik lekas

engkau menyingkir saja agar aku nanti tidak

menguatirkan keselamatanmu sehingga tidak leluasa

melabrak musuh."

“Engkau tidak perlu menguatirkan diriku.” sàhut Toan

Ki, "Aku toh tiada punya permusuhan apa-apa dengan

mereka membunuhku?“

Siau Hong menjadi serba salah menghadapi saudara

angkat yang polos itu, pikirnya dengan rasa pilu, “Jika di

dunia ini orang mau bicara tentang permusuhan atau

tidak, tentu dunia ini akan aman tentram dan tiada

percekcokan.“

3441

Dalam pada itu di sebelah sana Toan Cing-sun juga

sedang pesan kepada Hoan Hua dan lain-lain agar

sebentar bila Siau Hong terancam bahaya, mereka harus

menyelamatkan secepat mungkin untuk membalas budi

pertolongan Siau Hong dahulu. Sudah tentu Hoan Hun

dm lain-lain mengiakan dan siap siaga menghadapi

segala kemungkinan.

Di pihak lain Buyung Hok juga lagi berunding dengan

kawan-kawannya, Sebenarnya Kongya Kian sangat

kagum sekali kepada pribadi Siau Hong sejak

perkenalannya waktu berlomba minum arak dahulu,

maka ia menganjurkan memberi bantuan kepada Siau

Hong. Begitu pula Pau-Put tong dan Hong Po-ok juga

sangat kagum terhadap Siau Hong, maka mereka pun

menyetujui usul Kongya Kian.

Sebaliknya Buyung Hok sendiri berpendapat lain,

katanya, "Saudara-saudara sekalian, kita harus

mengutamakan pembangunan kerajaan Yan Raya kita

sebagai tugas utama dan jangan tertarik kepada Siau

hong seorang dan harus bermusuhan ksatria sejagat."

"Ucapan Kongcu memang benar," kata Ting Pekjwan.

"Dan cara bagaimana kita harus bertindak?"

"Kita harus menarik simpati orang banyak agar

berfaedah bagi pergerakan kita kelak," kata Buyung Hok,

Habis itu, mendadak ia bersuit keras dan tampil ke muka,

serunya dengan lantang, "Siau-heng, engkau adalah

ksatria Cidan dan terlalu memandang enteng kapada

para ksatria Tionggoan kami, maka hari ini biarlah orang

she Buyung dari Koh-soh belajar kenal dulu dengan

3442

kepandaianmu. Kalau aku harus mati di bawah tangan

Siau-hong juga cukup berharga, paling dikit aku telah

berjuang bagi sesama kawan ksatria Tionggoan. Nah,

silakan Siau-heng mulai.''

Ucapan Buyung Hok ini sesungguhnya segaja

diperdengarkan kepada ksatria Tionggoan, Sebab

dengan demikian biarpun nanti kalah atau menang tentu

para ksatria akan memandang Buyung Hok sebagai

kawan sehidup semati mareka.

Benar juga, demi mendangar kata-kata Buyung Hok

ítu, serentak bergemuruhlah suara sorai puji orang

banyak. Maklum, meski mereka ada maksud hendak

mengerubut Siau Hong, tapi sejak tadi tiada seorang pun

berani bertindak lebih dulu, mereka kenal betapa lihainya

Siau Hong, sekali sudah bergebrak, maka beberapa

orang yang maju lebih dulu dapat dipastikan akan binasa

oleh pukulan bekas Pangcu Kai-pang itu. Sekarang tibatiba

Buyung Hok tampìl ke muka lebih dulu, keruan

mereka sangat senang dan bersemangat.

Nama "Pak Kiau Hong dan Lam Buyüng juga sudah

lama didengar Siau Hong sendiri, ia tahu ilmu silat

keluarga Buyung tentu bukan main hebatnya, Sekarang

keluarga Buyung menantangnya, tentu saja Siau Hong

terperanjat, Walaupun tidak gentar, tapi ia menduga pasti

akan menjadi pertarungan sengit.

Segera ia pun memberi salam dan menjawab "Sudah

lama kudengar nama Buyung-kongcu yang tersohor,

sungguh sangat beruntung hari ini dapat berkenalan di

sini."

3443

"Buyung-heng, dalam hal ini terang kaulah yang

salah!" tiba-tiba Toan Ki berseru "Siau-toako sendiri baru

sekarang kenal dirimu dan selama ini kalian tiada

permusuhan apa-apa, mengapa engkau sengaja ikut

memusuhi Toako tatkala ia harus menghadapi musuh

sebanyak ini.“

"Wah, rupanya Toan heng hendak menjadi ksatria

pembela keadilan ya? Jika perlu, ayo boleh maju

sekalian!" demikian sahut Buyung hok degan mengejek.

Memangnya dia sudah merasa sirik karena Toan Ki

selalu merecoki Giok-yan maka sekarang rasa

dongkolnya telah dilampiaskan sekalian.

Tapi Toan Ki menjawab, "Kepandaian apa yang dapat

menandingimu? Akú hanya bicara secara adik saja."

Dalam pada itu Ting Jun-jiu yang dihantam mundur

olah Siau Hong tadi telah maju kembali. la mengakak

tawa dan berkata, "Orang she Siau kulihat engkau masih

terlalu muda, maka tadi aku mengalah tiga Jurus

padamu, tapi jurus keempat ini aku tak dapat mengalah

lagi."

Juga Goan-Ci lantas melangkah maju, katanya

kepada Siau Hong, "Aku Ong Sing-thian mengucapkan

terima kasih padamu karena engkau telah

menyelamatkan nona A Ci. Tetapi sakit hati pembunuhan

orang tua sedalam lautan, hari ini jangan kauharap dapat

lolos dengan hidup dari sini orang she Siau!"

Sementara itu Hian-seng Taisu dari Siau-lim-pai diamdiam

juga telah memberi perintah agar lo-han-tui-tín siap

3444

siaga dan menjaga jalan penting dengan kuat agar Siau

Hóng tidak dapat lolos.

Melihat tiga tokoh terkemuka telah mengepung

dirinya, begitu pula para padri Siau-lim-pai tampak

berjaga-jaga dengan rapat keadaan íní terang jauh lebih

berbahaya daripada pertempuran di Cap-hian-ceng

dahulu. Dan sebelum Siau Hong dapat mengambil

tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara kuda

meringkik ngeri, 19 ekor kuda bagus tunggangan mereka

tahu-tahü telah roboh semua dengan mulut berbuih dan

binasa.

Karuan Siau Hong kaget, Sedangkan ke-18 ksatria

Cidan tampak membentak-bentak dan lantas menyerang

sehingga dalam sekejap saja belasan orang Sing-siokpai

telah terbunuh, selebihnya lantas ngacir

menggabungkan diri dengan kawan-kawannya.

Kiranya pada waktu ting jun-jiu maju menantang Siau

Hong lagi, maka anak buahnya juga lantas bertindak

dengan membunuh kuda tunggangan Siau Hong dan

kawan-kawannya dengan menggunakan racun. Dengan

demikian Siau hong dipaksa menghadapi jalan buntu

karena tak bisa kabur dengan menunggang kuda lagi.

Melihat kuda kesayangannya mati secara

menggenaskan di tangan kawanan pengecut itu, seketika

darah panas Siau Hong bergolak dan timbul seketika jiwa

ksatrianya dengan bersuit panjang ia berkata, "Buyungheng,

Ong-pangcu, Ting-lokoai. ayolah kalian maju

sekaligus saja, masakah orang she Siau ini gentar

padamu!"

3445

Karena dia gemas kepada orang-orang Sing-siok-pai

yang keji itu, kontan pukulan pertama ia keluarkan ke

arah Ting Jun-jiu.

Ting-lokoai sudah kenal betapa lihainya Siau Hong,

cepat ia keluarkan kedua tangannya untuk menangkis

dengan sekuatnya.

Tapi Siau Hong sekalian menggeser tenaga pukulan

kedua orang dan memotong miring ke jurusan Buyung

Hök.

Kepandaian Buyung Hok yang paling hebat adalah

memutar balikkan serangan musuh untuk menyerang

kembali kepada musuh. Tapi sekarang pukulan Siau

Hong membawa tenaga dua orang yang maha dahsyat,

pula datangnya miring dari samping sehingga entah

tempat mana yang diincar, Buyung Hok menjadi susah

untuk menghadapi serangan ini, terpaksa ia kerahkan

segenap tenaga, kedua tangan memapak ke depan dan

berbareng ia pun melompat mundur dua-tiga meter

jauhnya.

Sedikit Siau Hong mengegos sehingga pukulan

Buyung Hok terhindar, mendadak ia menggertak dengan

suara menggeledek, kepalan menjotos lurus ke depan

pada Goan ci. Karena perawakan Siau Hong tinggi besar

sehingga hampir lebih tinggi satu kepala daripada Goanci,

maka jotosan itu jadi mengarah muka Goan-ci.

Memangnya Goan-ci sudah jeri menghadapi Siau

Hong, ia menjadi kaget pula ketika mendengar suara

gertakannya. Apalagi serangan Siau Hong itu datangnya

mendadak, sebelumnya ia baru menghantam Ting Jun-

3446

Jiu dan Buyung Hok, tahu-tahu menjotos pula ke arah

Goan-ci, tiga kali serangan itu boleh dikata suatu

rangkaian secepat kilat.

Dalam gugupnya segera Goan-ci hendak menangkis,

namun tenaga pukulan lawan terang sudah mendekati

mukanya. Untung dia telah berlatih ilmu ih-kin-keng

sehingga iwekangnya juga banyak bertambah, secara

otomatis timbul daya tolak dari badánnya dan cepat ia

mendongakkan kepalanya ke belakang sambil

berjumpalitan püla dengan demikian kepalanya nyaris

háncür oleh pukulan Siau Hong yang dahsyat itu.

Namun begitu lantas terdengar suara seruan heran

para penonton. Goan-ci merasa mukanya silir dingin

tahu-tahu kain kedoknya sudah hancur menjadi kain

kecil-kecil dan bertebaran bagai Kupu-kupu. Ternyata

luput mukanya dari serangan itu, tapi tidak luput kain

kedoknya yang tergetar hancur oleh tenaga pukulan Siau

Hong. Dan ketika melihat muka pemuda yang mengaku

sebagai Ciangbunjin Kok-lok-pai dan Pangcu Kai pang

ítu tak karüan macamnya karena bekas luka tampaknya

sangat seram dan menakutkan, maka muka mereka

sama berseru kaget.

Dengan sekaligus Siau Hong mendesak mundur tiga

jago kelas satù di jaman ini, semangatnya seketika

berkobar-kobar lebih hebat, teriaknya, "Mana arak!"

Segera seorang ksatria Cídan mengiakan dan

menanggalkan sebuah kantung kulit yang menggablok di

atas kuda mati dan berlari-lari mendekati Siau Hong serta

menghaturkan dengan hormat.

3447

Siau Hong copot sumbat kantung kulit itu, ia angkat

kantung itu tinggi-tinggi ke atas, maka tertüanglah arak

putih yang harum. Sambil mendongak, Siau Hong

menenggak arak itu.

Arak yang terisi dalam kantong kulit itu sedikitnya ada

20 kati, tapi Síau Hong terus menenggak tanpa berhenti

sehingga arak seisi kantung terhabis sama sekali.

Kelihatan perut Siau Hong sedíkít kembung, tapi air

mukanya tetap biasa saja tanpa mabük sedikit pun.

Di tengah kejut para penonton, tiba-tiba Siau Hong

memberi tanda pula dan ke 17 ksatria Cidan yang lain

masing-masing juga membawakan pula satu kantung

arak.

"Saudara-saudara, Toan-Kongcu ini adalah adik

angkatku," kata Siau Hong kepada ksatria-ksatria Cidan

itu. "Hari ini kita telah terkepung di tengah musuh, kita

hanya berjumlah belasan orang saja, tentu susah

meloloskan diri."

Sampai disini segera ia, menarik tangan Toan Ki dan

berkata pula, "Adikku yang baik, kau bersedia sehidup

semati, sungguh tidak mengecewakan sebagai saudara

angkat, apakah sebentar kita akan mati atau akan hidup

biarkan saja, sekarang kita harus minum dulu sepuaspuasnya!"

Terdorong oleh semangat jantan kakak angkat itu,

tanpa pikir Toan Ki terus terima juga sekantong arak dan

menjawab, "Benar, kita harus minum dulu!"

3448

Dan baru Toan Ki hendak menenggak araknya,

sekonyong-konyong di tengah padri-padri Siau-lim-si

telah berlari keluar seorang, sambil berseru, "Toako dan

Samte, kalian hendak minum arak, kenapa tidak panggil

juga padaku?"

Itulah dia Hi tiok.

Ia menyaksikan munculnya Siau Hong yang gagah

perwira dan membikin silau para ksatria maka diam-diam

ia pun sangat kagum. Kemudian dilihatnya Toan Ki

secara konsekwen bersedia sehidup semati dengan

kakak angkat itu. Padahal dahulu waktu dia sendiri

mengangkat saudara dengan Toan Ki di Leng-ciu-kiong,

didalam upacara itu telah dimasukkan juga Siau Hong

sebagai Toako mereka. Seorang lelakì sejati harus bisa

pegang, janji dan berani menghadapi segala

kemungkinan apalagi dilihatnya Siau Hong dan Toan Ki

yang bersikap gagah perkasa dihadapan musuh banyak

itu, seketika timbul juga semangat ksatria Hi tiok, ia tidak

pikirkan keselamatan sendiri dan tentang peratüranperatiran

agama apa segala dan segera tampil kemuka.

Siau Hong belum kenal Hi tìok, maka ia menjadi

tertegun heran ketika Hi tiok memanggìlnya Sebagai

Toako. Sebaliknya Toan Ki lantas memapak maju dan

memegang tangan Hi-tiok!, lalu dìbawanya kehadapan

Siau Hong dan berkata, "Toako, dia juga kakak angkatku.

Waktu menjadi hwesio gelarnya adalah Hi-tiok dan

sekarang telah ganti nama menjadì Hi tiok cu. Di waktu

kamì mengangkat saudara, maka Toako juga telah kami

masukkan didalam hitungan. Nah, Jiko lekas kau

memberi hormat kepada Toako!"

3449

Segera Hi-tiok berlutut dan memberi hormat katanya.

"Toako, terimalah salam hormat siaute!"

Siau Hong tersenyum. Dìam-diam ia merasa Toan Ki

benar-benar agak dogol, dia mengangkat saudara

dengan orang masa juga mengikut sertakan sang Toako.

Padahal sekarang jiwanya terancam di tengah kepungan

musuh, namun orang (Hi-tiok) ternyata tidak gentar dan

berani tampil ke muka, hal ini membuktikan dia adalah

seorang jantan sejati seorang lelaki yang setia kawan

dan berbudi kalau bisa bersaudara dengan ksatria

demikian juga boleh dikatakan suatu kehormatan besar.

Karena itu Siau Hong lantas berlutut juga dan

membalas hormat dengan kata-kata ramah tamah. Jadi

mereka telah mengulangi sumpah setia sebagai saudara

angkát di depan para ksatria sejagat.

Siau Hong tidak tahu Hi-tiok memiliki ilmu silat sakti,

la anggap saudara angkat ¡tu Cuma seorang hwesio

rendahan di Siau-lim-si, tapi berani ikut maju untuk

memenuhi panggilan persaudaraan pada saat

menghadapi bahaya, kalau dia disuruh menyingkir tentu

malah akan menyinggung perasaannya.

Maka setelah angkat kantung araknya segera Siau

Hong berkata, "Ke-dua adik yang baik, ke-18 ksatria

Cidan ini adalah kawanku yang setia, hubungan kami

sehari-hari mirip saudara sendiri, maka marilah kita

minum bersama, habis itu segera kita melabrak musuh

sekuatnya."

Habis berkata, segera ia membuka sumbat kantung

arak dan menenggak seteguk, lalu diangsurkan kepada

3450

Hi-tiok. Dengan semangat berkobar-kobar Hi-tiok juga

tidak pikirkan larangan minum arak apa segala lagi,

segera ìa pun angkat kantung arak, dan menenggak,

kemudian disodorkan kepada Toan Ki. Dan sesudah

Toan Ki minum seteguk lalu ia serahkan kepada salah

seorang Cidan dan begitu seterusnya ke-18 ksatria Cidan

itu pun sama-sama mengakat sekantung arak masingmasing

dan menenggaknya. ”Toako," kata Hi-Tiok kemudian kepada Siau

Hong,”Sing-siok Lokoai ini telah membinasakan Suhu

dan suhengku, ia telah membunuh pula Hian-lun dan

hian-thong Susiokco dari Siau lim-si maka sekarang aku

hendak menuntut balas padanya,"

Siau Hong menjadi heran "Kau ber....“ baru saja dia

hendak tanya, tahu-tahu kedua tangan Hi-tiok sudah

bergerak dan menghantam ke arah Ting Jun-jiu.

Melihat ilmu pukulannya sangat aneh dan sangat

kuat, Sian Hong terkejut dan girang pula, katanya di

dalam hati, "Kiranya ilmu silat jiko sedemikian lihai,

sungguh aku tidak menduga sama sekali."

"Lihat pukulan!" mendadak Siau hong juga

membentak dan berbareng kedua kepalan tangannya ke

arah Buyung Hok dan Yan Goan-ci sekaligus.

Rupanya ke-18 ksatria Cidan dapat memahami

maksud Cukong (junjungan) mereka maka tanpa disuruh

lagi segera mereka mengelilingi Toan Ki dan

melindunginya.

3451

Dalam pada itu Buyung Hok dan Goan Ci juga telah

menyambut dan menghindarkan serangan Siau Hong

tadi.

Sedangkan Hi-tiok juga lagi mencecar Tìng lokoai

dengan Thian-san liok-yang-ciang yang hebat.

Meski Liok-yang-ciang itu adalah cìptaan Thian-san

Tong-lo, tapi dasarnya bersumber dari ilmu Siau-yau-pai.

Maka cuma dua-tiga gebrak saja diam-diam Ting Jun-jiu

terperanjat, ia heran mengapa hwesio cilik ini pun mahir

ilmu pukulan Siau-yau-pai?

Karena sudah pernah adu pukulan dan ke cundang di

tangan Goan-ci, sekarang melihat Hi-tiok mengeluarkan

ilmu pukulan Siau-yau-pai, maka Lòkoai tidak berani

sembarangan menggunakan pukulan barbisa lagi, sebab

kuatir tak mempan terhadap lawan, sebaliknya dirinya

sendiri bisa celaka malah. Karena itu ia ambil keputusan

akan menjajaki dulu asal usul si gundul pacul itu,

kemudian baru akan menggunakan racun bila perlu.

Ilmu silat Siau-yau pai itu mengutamakan kegesitan

dan keluwesen, sedangkan Ting-Lokoai dan Hi-tiok

adalah tokoh-tokoh terkemuka dari golongan mereka,

dengan sendirinya gaya mereka menjadi sangat indah

dan cepat luar biasa.

Hampir seluruh ksatria yang hadir itu tidak pernah

menyaksikan ilmu silat golongan Siau yau-pai, maka

semuanya menjadi sangat tertarik, merekaa melihat gaya

ilmu silat Siau-yan-pai itu sangat indah bagai menari, tapi

setiap pukulan selalu mengincar tempat mematikan di

3452

tubuh lawan, sungguh mereka belum pernah lihat dan

tidak kenal apa namanya ilmu silat semacam ini.

Disebelah sana Siau Hong sendiri lagi melawan

keroyokan Buyung Hok dan Goan-ci, untuk sepuluh jurus

petama ia selalu mencecar lawannya, tapi sesudah

belasan jurus ia merasa setiap pukulan Goan-ci penuh

mengandung hawa maha dingin. Pada saat Siau Hong

lagi mengadu tenaga dengan Buyung Hok, Goan ci juga

menyerangnya, seketika ia merasa di serang hawa dingin

yang susah di tahan.

Seperti diketahui dalam badan Goan ci sudah penuh

racun dingin dari ulat sutra es, di tambah lagi mendapat

pemupukan iwekang Ih-kin-keng, maka sekarang

iwekangnya yang maha dingin itu sudah merupakan

Salah satu Iwekang maha lihai di dunia ini.

Walaupun Siau Hong sangat gagah perwira, tapi

menghadapi ilmu yang aneh dan lihai itu, mau tak mau ia

merasa susah juga melayani, apalagi kepandaian

Buyung Hok juga seimbang dengan dia, pada waktu

Goan-ci terdesak Buyüng Hok membantunya pula,

dengan demikian Siau Hong menjadi serba repot.

Di bawah keroyokan dua jago seperti Buyung Hok

Goan-ci, keadaan Siau Hong sekarang boleh dikatakan

jauh lebih berbahaya daripada dahulu ketika dikerubuti

orang banyak di Cip hian-Ceng.

Tapi dasar Siau Hong memang gagah perkasa

semakin payah keadaannya semakin semangat daya

tempurnya, tenaga sakti dalam tubuhnya bekerja terus, ia

mainkan " Hang liong-sip-pat-ciang," ilmu pukulan

3453

penakluk naga yang maha dahsyat telah dikeluarkan

seluruhnya sehingga Buyung Hok dan Goan ci sukar

mendekat, dengan demikian pula racun dingin pukulan

Goan-ci menjadi susah mencapai tubuhnya.

Namun dengan memainkan ilmu pukulan dahsyat itu,

dengan sendirinya tenaga dalam Siau Hong banyak

terkuras. Asal ratusan jurus lagi tentu kekuatannya akan

surut dan lemah. Goan-ci belum berpengalaman dalam

pertarungan, ia tidak tahu seluk-beluk kelemahan atau

keunggulan pihak sendiri dan pihak lawan. Sebaliknya

Buyung Hok yang luas pengetahunya telah

memperhitungkan bila pertarungan demikian diteruskan,

asal dirinya dan Ong Sing-thian dapat berlahan sampai

satu jam, akhirnya pihak sendiri pasti akan menang.

Biasanya "Pak Kiau Hong" dan "Lam Buyung" (Kiau

Hong di utara dan Buyung di selatan) mempunyai nama

harum yang sederajat di dunia persilatan, hari ini untuk

pertama kalinya kedua tokoh ternama itu bertemu dan

saling gebrak, tapi Lam Buyung memerlukan bantuan

Ong-sing-thian dari Kai-pang untuk mengarubut lawan itu

andaikan Siau Hong dapat dibinasakan, toh hal ini sudah

membuktikan bahwa "Lam Buyung“ sesunggunya kalah

lihai daripada "Pak Kiau Hong."

Begitulah diam-diam Buyung Hok berpikir dan

menimbang dalam hati, akhirnya ia berpendapat, "Usaha

membangun kembali kerajaan Yan adalah urusan lebih

besar dan nama pribadi adalah soal kecil, jika sekarang

aku dapat menumpas Siau Hong yang dianggap oleh

para ksatria Tionggoan sebagai musuh bersama mereka,

tentu mereka akan kagum dan mengindahkan diriku dan

dengan sendirinya kedudukan Bu-lim Beng-cu akan

3454

kupegang dan mereka akan berada di bawah perintahku,

besar harapan kerajaan Yan akan dapat dibangun

kembali dengan segera. Apalagi kalau Siau Hong sudah

binasa, andaikan orang anggap Lam Buyung lebih asor

daripada Pak Kiau Hong toh kejadian ini pun sudah

lampau."

Lalu terpikir pula olehnya, 'Jika Siau Hong binasa,

Ong sing-thian akan merupakan lawan pula. Bila

kedudukan Bu lim Bengcu ini sampai direbut olehnya,

maka aku akan diharuskan tunduk kepada perintahnya.

Wah, hal ini pun tidak menguntungkan."

Karena itu, maka pada waktu menyerang lagi diamdiam

ia menghemat tenaga kelihatannya dia menyerang

sekuatnya, tapi sebenarnya memupuk tenaga sendiri,

dengan demikian daya tekanan Hang-liong-sip-pat-ciang

yang dilontarkan Siau Hong sebagian besar dibebankan

kepada Goan-ci. Karena cara permainan Buyung Hok itu

memang cepat dan bagus sehingga kelicikannya sukar

diketahui orang lain.

Begitulah dalam sekejap lagi serang menyerang

ketiga orang itu sudah mencapai ratusan jurus, Berulang

Siau Hong hendak memancing Goan-ci agar mau masuk

perangkapnya. Dengan pengalaman Goan-ci yang masih

hijau itu memang beberapa kali hampir kejeblos ke dalam

perangkap Siau Hong, untung Buyung Hok lantas

membantunya dari samping dan dapat mematahkan

setiap serangan Siau Hong. Sebaliknya tiap tiap pukulan

Siau Hong yang maha dahsyat selalu disambut mentahmentah

oleh Goan ci yang memiliki iwekang maha kuat.

3455

Saat itu Toan Ki masih berada di tengah lindungan

ke-18 ksatria Cidan. Ia menyaksikan sang jiko dapat

mendesak Ting lokoai dan sedikit pun tidak kelihatan

asor, sebaliknya sang Toako yang mesti melawan dua

musuh, walaupun kelihatannya gagah perkasa, setiap

pukulannya tampak sangat dahsyat, tapi mungkin tidak

tahan lama.

Diam-diam Toan Ki berpikir, "Tadi aku berkaok-kaok

hendak sehidup semati dengan kedua kakak angkat, tapi

sesudah bertempur aku malah sembunyi di bawah

lindungan orang. Huh, terhitung adik angkat macam

apakah aku lni? Masakah caraku ini dapat dianggap

sehidup semati. Huh, benar-benar memalukan. Biarpun

aku tidak mahir ilmu silat, tapi aku dapat menggoda

Buyung hok dengan langkah ajaib Leng-po-wi-poh agar

Toako sempat mampuskan dulu si muka buruk yang

mengaku sebagai Ong-pangcu itu. Ya, aku harus

bertindak demikian."

Karena pikiran ini, segera ia menyelinap ke luar dari

lingkungan ke-18 ksatria Cidan dan berseru lantang,

"Buyung-kongcu, engkau mengaku sebagai ”Lam

Buyung' yang sama derajat dengan 'Pak Kiau Hong'

seharusnya engkau mesti satu lawan satu dengan Toako

kami, mengapa engkau pakai pembantu dan mengeroyok

Toako toh dengan demikian kalian tetap kewalahan,

andaikan nanti kalian mampu menandingi Toako sama

kuatnya juga hal ini akan memalukan dan diterwakan

sesama orang Bu-lim. Nah, marilah lebih baik kita berdua

main-main sendiri boleh coba kau serang aku!'' sembari

berkata tubuh Toan Ki terus melayang dan menyerobot

ke belakang Buyung Hok, sekali ulur tangan, segera

kuduk Buyung Hok hendak dicengkramnya.

3456

Melihat datangnya Toan Ki sangat cepat dan aneh

langkahnya, tanpa pikir Buyung Hok putar tangannya dan

menampar ke belakang, "plok", dengan tepat pipi kanan

Toan Ki kena digampar sehingga merah bengap, saking

sakitnya sampai air mata Toan Ki bercucuran.

Kiranya langkah ajaib Leng po-wi-poh itu meski

sangat hebat tapi Toan ki sendiri tídak becus ilmu silat,

maka langkah ajaib itu hanya berguna untuk berlari saja

menghindarkan serangan lawan, sekali Toan Ki

menggunakan langkah ajaib itu, biarpun jago kelas satu

juga sukar menjamah ujung bajunya.

Tapi sekarang dia yang hendak menyerang orang.

Dengan caranya yang geremat-geramut sudah tentu

tidak dapat melawan Koh soh Buyung yang

berkepandaian lihai. Maka ketika ditampar sudah tentu

Toan Ki tidak mampu mengelak karuan mukanya lantas

merah bengap dan meringis kesakitan.

Sebaliknya ketika telapak tangan Buyung Hok dengan

cepat menyentuh pada pipi Toan Ki seketika ia pun

merasa tenaga dalamnya mendadak tertuang keluar dan

menghilang tak tertahankan lagi, dan karena karena

kehilangan tenaga itu untuk sejenak lengannya ítu terasa

kaku. Sudah tentu Buyung Hok terperanjat, pikirnya,

"ilmu sihir atau ilmu siluman apakah yang dia gunakan

rasanya mirip benar dengan Hoa-kang-tai-hoat milik

Ting-lokoai itu? Jangan-jangan ilmu jahat Sing-siok-pai

itu benar-benar telah dipelajari bocah she Toan ini,

terpaksa aku harus lebih hati-hatí menghadapi dia.”

3457

Karena itu, segera ía mendamprat, "Orang she Toan,

sejak kapan kaupun masuk Siok-siok-pai?”

"Apa katamu? . . . " baru Toan Ki hendák bertanya

sekonyong-konyong kaki Buyung Hok melayang tiba

sehingga dia didepak terguling.

Kiranya Buyung Hok mengira orang mahir Hoa-Kang

tai-hoat maka tidak berani menempurnya dari depan lagi,

tapi pada saat tak terduga ía terus menendangnya

sehingga Toan Ki roboh terjungkal. Sama sekali Buyung

Hok juga tidak menduja bahwa dengan mudah lawannya

dapat ditendang terjungkal, segera ia memburu maju dan

dengan kaki kanan ia injak dada Toan Ki yang belum lagi

sempat bangun.

'Kau minta mampus atau ingin hidup?" bentak Büyung

Hok.

Sekilas Toañ Ki melihat Siau Hong masih melabrak

Ong Sing-thían dengan sengit, la pikir kalau menjawab

dengan kata-kata kasar tentu akan segera dibunuh oleh

Buyung Hok dan hal ini akan berarti Buyung Hok dapat

membantu Ong Síng thian untuk mengeroyok sang

Toako lagi. Akan lebih baik aku main ulur waktu saja

dengan dia. Maka Toan Ki lantas menjawab, "Apa

gunanya mati? Sudah tentu lebih baík hidüp di dunia

ramai ini!"

Sama sekali Buyung Hok tidak menduga bahwa

dalam keadaan terancam jiwanya pelajar tolol ini masih

berani bícara secara jahil dan acuh-tak acuh. Dengan

mendongkol ia membentak pula, "Jika ingin hidup, kamu

harus . . . . "

3458

Mestinya ia hendak menyuruh Toan Ki menjura

seratus kali padanya untuk menghinanya di depan orang

banyak tapi lantas terpikir olehnya bila Toan Ki

dilepaskan, untuk membekuknya lagi, mungkin akan

susah, maka ucapannya lantas berganti menjadi, "harus

memanggil seratus kali ’kakek’ padaku!"

"Usiamu cuma beberapa tahun lebih tua dari padaku,

masakah cocok untuk menjadi kakekku!” sahut Toan-kí

dengan tertawa.

"Blang," mendadak Buyung Hok menghantam

sehingga mengenai tanah di samping kanan kepala Toan

Ki, seketika debu pasir berhamburan dan berwujud

sebuah lubang. Coba kalau pukulan itu sedikit menceng

saja, bukan mustahil kepala Toan Ki sudah hancur luluh.

"Nah, kau mau memanggil atau tidak?" bentak

Buyung pula.

Toan Ki miringkan kepalanya agar matanya tidak

kelilipan oleh debu pasir dan sekilas dilihatnya Ong Giokyan

berdiri di antara Pau Put-tong dan Hong Po-ok.

Dengan jelas Toan Ki melihat nona itu sedang

memperhatikan dirinya, yang bertempur dengan Buyung

Hok. tapi biarpun dirinya sekarang sudah kalah dan

diancam oleh Buyung Hok, sedikit pun nona itu ternyata

tidak memperlihatkan rasa kuatir. Nyata apa yang

dipikirkan oleh nona itu mungkin hanya satu saja, yaitu

sang Piauko akan membunuh Toan-kongcu?"

Dan kalau dirinya dibunuh Buyung Hok, boleh jadi

nona itu juga takkan sedih. Hancur luluh hati Toan Ki

3459

demi melihat sikap Giok-yan itu. Seketika ia merasa lebih

baik mati di bawah Pukulan Buyung Hok saja daripada

kelak akan menderita siksaan batin yang rindu dendam

karena kasih tak sampai. Maka tanpa pikir ia terus

menjawab pertanyaan Buyung Hok tadi, "Kenapa bukan

dirimu saja yang memanggil seratus kali 'kakek'

padaku?"

Karuan Buyung Hok manjadi gusar, sebelah

tangannya terangkat dan segera menghantam kemuka

Toan Ki.

Pada saat yang sama, sekoyong-konyong dua sosok

bayangan orang menerjang tiba secepat kilat yang

seorang berteriak. "Jangan melukai putraku!"

Dan yang lain berseru, "Jangan mencelakai Suhuku!"

Mereka adalah Toan Cing-sun dan Lam-hai-go-siu.

Walaupun kedatangan mereka sangat Cepat, tapi toh

sudah terlambat untuk mencegah pukulan Buyung hok

itu. Sebagai tokoh persilatan terkemuka, berbareng dua

rangkuman tenaga pukulan mereka susul menyusul

menyerang ke bagian mematikan di tubuh Buyung Hok.

Dalam keadaan menyerang dan diserang, walau

Büyung Hok dapat membunuh Toan Ki, ia sendiri pasti

juga akan celaka. Sudah tentu ia tidak ingin dirinya

celaka maka segera ia menarik kembali pukulannya tadi

dan digunakan untuk menangkis puluhan Toan Cing-sun,

sedangkan tangan lain juga berputar ke belakang untuk

mematahkan serangan Lam-hai-gok-sin.

3460

Karena benturan tenaga itu, ketiga orang sama-sama

kesiap, ketiganya merasa kepandaian lawan memang

sangat hebat. Karena terburu-buru ingin menyelamatkan

putranya, segera jari telunjuk Toan Cing-sun bergerak

dan menutuk lagi dengan ilmu jari "it yang-ci".

"Awas, Piàuko, ini kungfu It-yang-ci keluarga Toan di

Taili, tidak boleh kau anggap enteng," seru Giok yan.

Dalam pada itu Lam-hai gok-sin juga berteriak teriak,

"Bedebah keparat, meski Suhuku tidak genah, setidaktidaknya

dia adalah guruku. dan kalau kau pukul Suhuku,

itu berarti memukul aku si Gak luji ini. Bila Suhuku ini

mendadak takut mati terus memanggil 'kakek' padamu,

wah, tentu aku Gak Loji juga akan sial dan cara

bagaimana aku harus memanggil padamu? Bukankah

tingkatanku akan merosot tiga angkatan dan bukankah

aku akan menjadi cucumu yang celaka! Kurangajar!

Kamu benar-benar terlalu kurang ajajar, Hari ini biarlah aku

mengadu jiwa dengamu!"

Begitulah, sembari memaki segera ia mengeluarkan

senjatanya yang istimewa, yaítu "Gok-hi-cian" (gunting

congor buaya) dan segera menggunting ke kanan dan ke

kiri ke arah Buyung Hok.

Selama hidup Lam hai gok Sin paling takut kalau

tingkatannya berada di bawah orang lain. sampai-sampai

urusan nomor dua dan tiga dalam “Su-ok" juga di

perebutkan dengan Yap Ji-nio, Sekarang jika toan Ki

benar-benar memanggil "kakek" pada Buyung Hok, maka

tanpa bisa dítawar lagi Lam-hai gok-sin juga akan ikut

menjadi "cucu'' orang, Hal ini baginya benar-benar suatu

3461

kejadian yang sial. Sebab ítulah ia mati darípada hídup

dihina.

Buyüng hok sendiri tidak paham mengapa Lam-Haígok-

sin marah-marah dan mencaci-maki padanya,

Namun sebelah kakinya masih tetap! Menginjak di atas

dada Toan Ki dan kedua tangannya dipakai untuk

melawan Toan cing sun dan Lam-Hai gok sin. sesudah

belasan jurus lambat-laun ia merasa Lam-hai-gok-sin

lebih mudah dilawan biarpün orang bersenjata gunting

yang aneh. Sebaliknya It-yang-ci yang dilontarkan Toan

Cing-sun benar-benar tidak boleh dipandang enteng.

Sebab itulah ia mencurahkan perhatiannya untuk

melayani Toan Cing sun dan cuma menggunakan sisa

tenaga lain untuk melawan Lam-hai-Gok sin, bahkan

terkadang dengan pukulannya yang hebat ia desak Goksin

hingga terpaksa meloncat mundur.

Toan Ki yang dadanya terinjak, meski sudah meronta

ronta hendak bangun, tetap gagal dan tidak kuat.

Sudah tentu yang paling kuatir adalah Toan Cing sun

ia tahu bila kaki Buyung Hok menginjak lebih keras pasti

sang putra akan muntah darah dan mungkin binasa.

Dalam keadaan demikian terpaksa ia harus

menggunakan serangan kilat untuk menyelamatkan dulu

putranya itu. Segera ia mainkan It-yang ci dengan cepat,

ia mencecar dengan serangan dahsyat.

Tiba-tiba suara seorang berseru mengejek, „Huh, It

yang ci dari Taili mengutamakan sikap agung berwibawa

tutukan yang dahsyat harus tidak harus mengurangi

perbawa seorang raja. Kalau bermain cara hantam

3462

kromo demikian masakah dapat disebut sebagai It-yang

ci? Hehe, benar-benar membikin malu keluarga Toan

dari Taili."

Cing-sun kenal pembicara itu adalah musuh besarnya

Yan khing Thaisu alias Toa-ok. Apa yang dikatakannya

itu memang benar, tapi Cing sun sendiri terlalu

menguatirkan keselamatan sang putra, maka pikirannya

menjadi kacau dan tidak sempat memikirkan gaya dan

sikap agung lagi.

Dan karena permainan Cing-sun agak kasar, ketika ia

menutuk pula dan tenaga tutukan itu kena dítarík

sekekalian Buyung Hok, "crit", tahu-tahu ketika Lam-hai

gok sin kena tertutuk.

Karuan Lam-hai-Gok-sín berkeok-keok kesakitan dan

gelí.

"Maknya . . . . " baru saja ia hendak memaki,

mendadak senjata guntingnya jatuh ke bawah dan

mengetuk telapak kaki sendiri, ia berjingkrak kesakìtàn

dan mestinya hendak mencaci-maki lagi, tapi lantas

terpikir olehnya yang menggunakan It-yang-ci dan salah

menyerangnya itu adalah ayah sang Suhu, kalau

memakinya berarti memaki kakeknya sendirí. Ia pikir

orang ini hanya boleh dibunuh dan tidak boleh dimaki,

kalau ada kesempatan biar menggunting saja kepalanya.

Sebab itulah makinya tadi menjadi urung diteruskan.

Pada waktu Cing sun salah menyerang teman sendiri,

sedikit terpencar perhatiannya itu telah digunakan

dengan baik oleh Buyung Hok, secepat kilat Ia pun

menutuk dada lawan dan dengan tepat mengenai Tiong-

3463

tan-hiat. Seketika Cing-sun meràsa napasnya sesak da n

dada kesakitan.

"Bagus, Piauko! Jurus Ya ja-tam-hai yang hebat!"

seru Giok-yan memuji.

Padahal serangan Buyung Hok itu dilakukan dengan

terburu-buru dan tidak mengenai tempat yang

mematikan, tapi Giok-yan sengaja memujinya.

Dalam pada itu serangan Buyung Hok sudah

menyusul pula, segera tangan kanan menyodok ke

depan untuk menghantam dada lawan. Karena napas

Cing-sun belum lagi lancar, terpaksa ia tak dapat

menangkis, kontan ia manyemburkan darah karena

hantaman Buyung Hok Itu. Namun begitu demi

menyelamatkan sang putra, tetap ia tidak mau

mengundurkan diri, cepat ia mengerahkan tenaga.

Sementara itu serangan Buyung Hok yang lain sudah

tiba pula.

Toan Ki yang masih terinjak di bawah kaki Buyung

Hok menjadi kaget ketika melihat sang ayah tumpah

darah, sedang serangan Buyung Hok di lontarkan pula,

dengan kuatir segera ia membentak, "Ho , kau berani

melukai ayahku!”

Dalam gugupnya, dengan sendirinya tenaga

andalannya bergolak dan meluncur keluar melalui

jarínya. Dan itulah "Siang-yang-kiam" yang keluar dari

Lak-mah-sin-kiam yang tak berujut itu.

"Cret", tahu-tahu lengan baju Buyung Hok terkupas

terpotong oleh Kiam-gi (hawa pedang) yang tak kelihatan

3464

itu. Menyusul hawa pedang terus membentur pukulan

Buyung Hok tadi, kontan Buyung Hok merasa tangan

sakit pegal. Ia terkejut dan cepat melompat mundur.

Bebas dari injakan kaki orang, cepat Toan Ki

merangkak bangun dan kembali jari kecil kiri menuding

pula, dengan jurus "Siau-tik-kiam" ia menusuk ke arah

musuh.

Buyung Hok tidak berani ayal, ia kebaskan lengan

baju untuk menangkis, terdengar lagi suara "brat-bret"

dua kali, lengan bajunya terkupas potong oleh hawa

pedang.

"Awas Kongcu!" seru Ting Pek-jwan. Itu Bu-heng-

Kiam-gi,(hawa pedang tak berwujud) pakailah senjata

ini.”

Berbareng ia lolos pedang sendiri dan dilemparkan

kepada Buyung Hok.

Toan Ki merasa sangat sedih dan dongkol panas tadi

mendengar Gíok-yan bersorak memuji serangan Buyung

Hok, dan yang diserang justru dada ayahnya.

Dengan perasaan yang bergejolak itu, maka tenaga

dalamnya juga ikut bekerja serentak, sekaligus ¡a

ményerang dengan Siau-siang, Siang-heng, Tiong-hang,

Kwan-heng , Siau-hong dan Biau-heng, Lak-meh-kiamhoat

dikeluarkan seluruhnya dengan lancar seakan-akan

dibantu oleh suatu kekuatan gaib.

Buyung Hok sendíri juga tambah semangat barusan

mendapat lemparan senjata dari Ting Pek-juan, ia putar

3465

pedang dengan kencang hingga seluruh tubuh seperti

terbungkus dalam lapisan sinar pedang.

Orang-orang Bu-lim biasanya cuma mendengar

kepandaian keluarga Buyung itu sangat tinggi dan luas.

boleh dikatakan serba bisa, tapi tidak menduga bahwa

ilmu pedangnya ternyata sedemikian bagusnya.

Namun begitu, betepa hebat Ilmu pedang Buyung

Hok itu tetap dia tidak dapat mendekati Toan Ki dalam

jarak dua-tiga meter.

Kedua tangan Toan Ki kelihatan menutuk kesana dan

ke sini dan Buyung Hok terpaksa harus berkelit kian

kemari dengan sibuk Sekonyong-konyong terdengar

"krek" sekali, tahu-tahu pedang yang dipegang Buyung

hok menjadi belasan potong dan mencelat ke udara

sehingga mengeluarkan Sinar gemerdep.

Walaupun terkejut, Buyung Hok tidak menjadi gugup,

menyusul ia menghantamkan telapak tangannya

sehingga belasan potong pedang patah itu tertimpuk ke

depan dan mirip hujan senjata rahasia dan menyerang

ke arah Toan Ki.

“Haya, celaka!" teriak Toan Ki dengan kelabakan dan

cepat-cepat ia menjatuhkan diri dan bertiarap di atas

tanah.

Maklum dia tidak mahir ilmu silat, jangakan dihujani

senjata rahasia sebanyak itu, biarpun sibatang saja dia

sudah kerepotan. Untung juga dia bertiarap hingga

belasan pedang patah itu menyambar lewat di atas

kepalanya. Tapi cara berkelit dengan bertiarap hingga

3466

mirip "anjing menubruk tahi" itu sudah tentu tidak pantas

dipandang orang. Sebaliknya meski pedangnya

diputuskan tapi Buyung Hok bisa merubah menjadi pihak

yang menang, tentu saja ia lebih gemilang daripada

lawannya.

”Terimalah senjata ini Kongcu!" seru Hong Po-ok

sambil melemparkan goloknya.

Cepat Buyung Hok sambar senjata itu. Ia lihat Toan Ki

sudah merangkak bangun, segera ia mengejeknya

dengan tertawa, "Jurus Toan-heng barusan mungkin

bernama anjing menubruk tahi, apakah itu termasuk

kungfu lihai dari keluarga Toan di Taili?”

Toan Ki melengak tapi lantas menjawab, ”Bukan!”

Menyusul jarinya bergerak, segera ia menusuk pula

dengan Siau ciang-kiam.

Kembali buyung Hok putar goloknya dengan segera ia

mengeluarkan bermacam-macam ilmu golok dari

berbagai golongan seperti tidak habis-habis

kepandaiannya tak terhingga. Cuma meski ilmu golok

Buyung Hok sangat hebat tetap susah mendekati Toan

Ki. Sebaliknya ketika Toan Ki menusuk lagi dengan

jarinya dan terpaksa Buyung Hok menangkis dengan

goloknya, tahu-tahu terdengar "trang" sekali, kembali

golok itu tergetar patah.

Cepat Kongya Kian melemparkan senjatanya sendiri,

yaitu dua batang Boan-koan-pit dari baja, Buyung Hok

membuang golok patah dan sambut Boan-koan pit yang

3467

dilemparkan anak buahnya itu, menyusul ia gunakan

untuk menyerang dengan cepat.

Dalam pada itu semangat pertempuran Toan Ki sudah

tambah kuat, sesudah berpuluh jurus sekarang rasa

jerinya sudah lenyap, Teringat pula ajaran-ajaran

Iwekang dari paman bagindanya Koh-eng Taisu. Segera

ia dapat memainkan Lak-meh-sin-kiam dengan lebih

lancar.

Tiba-tiba terdengar Siau Hong berkata padanya,

"Samte permainan Lak-meh-sin-kiam sekaligus ini

tampaknya engkau belum apal betul sehingga banyak

lubang yang dapat digunakan musuh untuk balas

menyerang. Lebih baik kamu menggunakan salah satu

macam di antaranya saja.”

"Baik banyak terima kasih atas petunjuk Toako."

jawab Toan Ki. Waktu ia melirik, ia lihat Siau Hong sudah

berdiri di samping dengan berpeluk tangan, sebaliknya

Ong Sing-thian tampak menggeletak di alas tanah dan

sedang rnerintih-rintih kesakitan, ternyata kedua kakinya

telah patah.

Kiranya sesudah Toan Ki ikut maju menempur

Buyung Hok sehingga Siau Hong hanya melawan Goanci

sendirian, seketika Siau Hong berada di atas angin.

Walaupun beberapa kali mengadu tangan dan merasa

hawa dingin pukulan Goan-ci itu susah ditahan, untung

tenaga dalam Síaü Hong teramat kuat dan tidak sampai

keracunan. Segera Siau Hong berganti siasat sedapat

mungkin ia menghindari adu pukulan sebaliknya ia

mengunakan tipu serangan lain. Mendadak ia memukul

susul menyusül dua kali sehingga terpaksa Goan-ci mesti

3468

menangkis sekuatnya, kesempatan ítu segera digunakan

Siau Hong untuk menyapak dengan kakinya. Kemahiran Goan-ci hanya racun dingin yang

diperolehnya dari ulat es dan iwekang dari Ih tin kang,

dalam hal ilmu silat hanya dipelajarinya sedikit-sedikit

dari A Ci, sudah tentu ià tidak mampu menghindarkan

serampangan kaki Sìau Hong. Maka tanpa ampun lagi,

"krak-krek'', kedua tulang kakinya disapu patah oleh Siau

Hong sehingga roboh terjungkal.

"Hm, selamanya Kai-pang méngútamakan kejujuran

dan berdiri di pihak yang baik, sebagai pangcu masakah

kamu malah berkomplotan dengan kawanan siluman

Sing-siok-pai? Benar-benar membikin malu nama baik

Kai-pang selama beratus tahun ini!" damprat Siau Hong.

Sebabnya Goan-ci dapat menjabat Pangcu adalah

karana orang lain tidak mampu melawan ilmu silatnya

yang berbisa, bicara tentang pengalaman dan

pengetahuan dia boleh dikatakan sangat hijau, apalagi

dia memakai kedok, kelakuannya serba sembunyisembunyi,

segala urusan selalu bergantung kepada A Ci

dan Coan Koan-jing, dengan sendìrinya para Tionglo Kaì

Pang merasa tidak suka padanya.

Apalagi tadi Goan-ci telah menyembah kepada Ting

jun-jiu dan masuk menjadi anggota Sing-siok-pai, tentu

saja para Tianglo semakin memandang hina padanya.

Maka sekarang tiada seorang pun yang mau

menolongnya biarpun kedüa kakinya disarampang patah

olah Siau Hong. sebaliknya diam-diam para Tionglo

merasa bersyukur dan senang malah.

3469

Ada juga beberapa orang separti Coan Koan jun dan

begundalnya ingin maju menolong sang Pangcu yang

menggeletak di tanah itu, tapi demi nampak sikap Siau

Hong yang gagah perkasa dan angker itu, mereka

menjadi jeri pula.

Sesudah merobohkan Goan-ci, Siau Hong melihat

pertarungan Hi-Tiok melawan Ting Jun-jíu pün sudah

menduduki tempat yang unggul, sebaliknya Toan ki yang

melawan Buyung Hok dengan Lek-meh-sin-kiang

terkadang bagus dan sekali tempo sangat lambat

sehingga banyak kesempatan baik untuk mengalahkan

lawan tersia-siakan, bahkan kalau kena pukül bukan

mustahil Toan Ki sendiri yang akan celaka di tangan

Buyung Hok sebab itulah ia lantas bersuara memberi

petunjuk kepada Toan Ki.

Dan karena Toan k¡ melirik sekejap keadaan Siau

Hong yang telah mengalahkan Goan-cí itu sedikít lengah

saja telah digunakan oleh Buyung Hok dengan baik.

Sebelah Boan-koan-pit secepat kilat disambitkan ke

dada Toan Ki.

Melihat sambaran Boan koan-pit itu sedemikian

hebatnya, tampaknya akan segera menembus dadanya,

Toan Ki menjadi kelabakan dan berteriak-teriak, "Toako!

tolong, Toako!“

Cepat Síau Hong bertindak, dengan Jurus "Kian-liongcai-

thian" (melihat naga di sawah) salah satu jurus Hang

liong sip pát ciang keras dihantamkan ke depan sehingga

Boan koan pit itu tersampuk dan melengkung bagian

Tengahnya, karena itu arahnya lantas berkisar dan

membelok kebelakang kepala Toan Ki, bahkan terus

3470

berputar balik dan menyambar ke arah Buyung Hok

malah.

Kejadian ini pun di luar dugaan Siau Hong sendiri, ia

tidak menduga bahwa selama ini tenaga dalamnya telah

maju sedemikian pesatnya sehingga tanpa terasa tenaga

pukulannya dapat membuat batang potlot baja itu

melengkung, bahkan terus mengitar balik ke árah

penyambitnya.

Sebenarnya tindakan Siau Hong ini hanya secara

kebetulan saja, namun demikian sudah membikin para

ksatria melongo kesima, semuanya terkejut dan merasa

kepandaian Siau Hong benar-benar sudah mencapai

tarap yang sukar diukur.

"Nah, itu namanya 'Ih-pi-ci-to, hoan-si-pat sin," teriak

Hoan Hua.

Tapi Buyung Hok sempat mengangkat Boan-koan-pit

yang lain untuk menangkis, "trang", kedua batang Boankoan-

p¡t kebentur, lengan tergetar sampai kesemutan,

diam-diam ia mengakui betapa kuatnya tenaga Siau

Hong. Namun sebelum Boan-koan-pit yang melengkung

tadi terpental jatuh, sekali tangannya meraup dengan

tepat Boan koan-pit bengkok itu kena ditangkapnya dan

dapat digunakan sebagai senjata pula dalam bentuk

gaetan.

Melihat macam-macam kepandaian Buyung Hok yang

serba bagus itu, ditambah lagi tenaga pukulan Siau Hong

yang hebat tadi, seketika bersoraklah para ksatria

memberi pujian, Mereka merasa tontonan hari ini benar-

3471

benar berharga untuk dilihat dan perjalanan mereka ke

Siau-lim-pai ini tidak percuma juga.

Dalam pada itu sesudah terhindar dari serangan Boan

koan-pit, hanya tertegun sejenak saja segera Toan Ki.

menutuk ke depan pula dengan Jari jempol dalam jurus

"Siau-siang-kiam" yang dahsyat. Walaupun Buyung Hok

masih dapat menangkis dengan Boan-koan-pit yang

sekarang berbentuk lain itu namun lambt-laun ia merasa

penuh juga.

Sebaliknya. karena mendapat petunjuk dari Siau

Hong, maka sekarang Toan Ki melulu memainkan siausiang-

kiam sajà sehingga daya tekannya benar-benar

bertambah hebat dan tidak memberi lobang kelemahan

bagi Buyung Hok.

Sebenarnya Lak-meh-kiam hoat itu meliputi enam

jurus yang satu lebih hebat daripada yang lain kalau

dimainkan secara berantai. Tapi Toan Ki tidak paham

letak kelihaian ilmu pedang tak berwujud itu, ia cuma

memainkan Siau-siang-kiam secara berulang-ulang.

Namun begitu sesudah belasan kali berulang, Buyung

Hok terdesak hingga mandi keringat, ia main mundur

terus dan akhirnya kepepet sampai di samping sebatang

pohon besar. di situlah ia coba bertahan pula dengan

membelakangi pohon.

Setelah memainkan Siau-siang-kiam, segera Toan Ki

menekuk jempolnya dan berganti dengan jari telunjuk,

sekarang yang dimainkan adalah Siau-yang kiam.

Siau-yang-kiam memang kurang dahsyat

dibandingkan Siau siang-kiam, tapi lebih cepat dan lebih

3472

ganas. Maka ketika Jarinya menusuk, seketika Buyung

Hok tambah kerepotan menghindarkan diri.

Melihat keadaan sang Piauko terancam bahaya, Giok

yan menjadi kuatir. Meski ia tahu segala macam Ilmu

silat dari berbagai golongan persilatan.tapi terhadap Lakmeh-

sin-kiam sama sekali tidak paham sehingga tidak

dapat memberi petunjuk apa-apa kepadà sang Piauko

maka dia hanya kuatir saja dan tak berdaya.

Melihat ilmu pedang Toan Ki yang tak berwujud itu

makin dimainkan makin hebat, diam-diam Siau Hong

sangat senang dan kagum. Tiba-tiba hatinya menjadi

pedih pula demi teringat kepada A Cu.

Sebabnya A Cu rela mati mewakilkan ayahnya adalah

lantara kuatir kalau aku tidak dapat melawan Lak-mehsin-

kiam keluarga Toan mereka. Sedangkan kalau

melihat ilmu pedang yang dimainkan Samte ini memang

sedemikian saktinya, andaikan aku yang diserang seperti

Buyung Hok sekarang. terang aku pun tidak sanggup

melawannya. Jadi A Cu telah mengorbankan jiwanya

untuk keselamatan diriku, padahal aku adalah ....adalah

bangsa Cidan yang kasar, masaakah aku ada harganya

untuk mendapatkan cinta si nona yang suci murni itu?

Demikian pikir Siau Hong.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang

banyak dari arah barat laut sana sedang berteriak. "Sing

síok Lokoai, kau berani bergebrak dengan Kaucu kami

dari Leng ciü kiong? Sekarang kamu berlutut dan

menyembah untuk minta ampun jika tidak ingin

mampus?"

3473

Waktu Siau Hong berpaling, la lihat di lambung

gunung sana berdiri delapan baris kaum wanita ada yang

tua dan ada yang muda. setiap barisan itu memakai

pakaian seragam berbeda warna. Disamping kedelapan

barisan wanita itu ada pula ratusan orang kangouw

dengan dandanan berbeda daripada orang biasa. Orang

orang kang-ouw yang tampaknya gagah dan tangkas itu

juga sedang berteriak-teriak, "Kaucu, lekas tanamkan

Sing-si-hu padanya, biar dia tahu rasa!” "Ya, terhadap Sing-siok Lokoai tiada obat yang lebih

mujarab daripada diberi persen dengan Sing-si-hu!"

Saal itu Hi-tiok sedang melabrak Ting-lokoai dengan

sepenuh tenaga. Baik ilmu silatnya maupun tenaga

dalamnya Hi-tiok berada di atas Ting Jun jiu maka sejak

tadi mestinya dia dapat mengalahkan lawan, cuma dia

kurang berpengalaman di medan tempur sehingga

kepardaiannya yang sejati tidak sempat dikeluarkan

seluruhnya. Pula dia berhati welas asih, banyak tipu

serangan mematikan tak mau digunakannya, apalagi

seluruh badan Lokoai boleh dikata racun melulu, hal ini

membuat Hi-tiok agak jeri dan tidak berani sembarangan

menyentuh badannya, makanya sampai sekian lama ia

masih belum dapat merobohkan iblis tua itu.

Ketika mendadak mendengar suara orang banyak

yang memanggil dia, segera Hi-tiok berpaling dan terlihat

delapan daripada sembilan pasukan wanita Leng ciu

kiong telah datang semua. Dan kaum laki-laki itu adalah

para Tongcu dan Tocu yang jumlahnya tidak sedikit.

”Sia-popo. Oh-siangsing, mengapa kalian pun datang

semua?” seru Hi-Tiok dengan girang.

3474

"Lapor Kaucu, hamba sekalian telah menerima berita

Bwe-kiam berempat dan mendapat tahu para keledai

gundul Siau-lim-pai hendak membikin susah kepada

Kaucu, maka buru-buru hamba mengumpulkan para

Tongcu dnn Tucu dan menyusul kemari," demikian sahut

Sia-popo. "Dan sekarang ternyata Cujin tidak kurang

suatu apa pun, sungguh hamba sekalian merasa sangat

girang."

"Siau-lim-pai adalah perguruanku, kamu tidak boleh

memakai kata-kata kasar, lekas minta maaf kepada

Hongtiang Siau lim-si," bentak Hi-Tiok.

Sembari berkata tetap Hi-tiok memainkan Thian-san

ciat-bwe-jiu dengan tidak kurang hebatnya.

Sia-popo tampak gugup karena teguran Hi-tiok itu,

dengan hormat ia mengiakan dampratan sang Cujin, lalu

mendekati Hian-cu dan berlutut, ia menyembah beberapa

kali dan berkata, "Sia-Popo dari Leng-ciu-kiong tadi telah

bicara secara kasar dan menyinggung nama baik para

Taisu Siau-lim-si, untuk itu harap Hongtiang suka

memaafkan dan mohon diberi hukuman yang pantas."

Dia bicara dengan sungguh-sungguh dan penuh

hormat, kata demi kata sangat lantang dan jelas, hal ini

menandakan Iwekangnya yang tinggi dan sudah

tergolong jago kelas satu.

Hian-cu mengebatkan lengan bajunya berkata, "Ah,

Lisicu tidak perlu banyak adat, silahkan bangun!"

3475

Dengan kebasan langan baju yang menggunakan

delapan bagian tenaga itu mestinya Hiau-cu hendak

mengangkat bangun si nenek, tak tersangka badan Siapopo

cuma sedikit tergetar saja dan tidak sampai

terangkat. Bahkan ia nenek itu lantas menjura lagi dan

minta ampun, habis itu baru dia berbangkit dengan

pelahan dan kembali ke tempatnya tadi.

Para padri Siau lim-si angkatan Hian tadi telah

mendengar penuturan Hi-Tiok tentang pengalamannya di

Biau-biau-hong. sebaliknya padri lain dan para kesatria

yang menyaksikan itu menjadi terheran-heran akan

kepandaian si nenek yang luar biasa itu tampaknya

kawan-kawannya baik wanita maupun laki-laki itu pun

bukan kaum lemah, tapi mengapa sudi mengaku harnba

pada Hi-tiok.

Dalam pada itu anggota Sing siok-pai yang dasarnya

memang terdiri dari manusia-manusia rendah dan

kurangajar itu, demi melihat banyak di antaranya wanita

Leng-ciu-kiong itu masih muda dan cantik serentak

mereka berkeok-keok dan bersiul-siul menggoda dengan

kata-kata yang kotor.

Sebaliknya para Tongcu dan Tocu itu adalah orang

kasar pula, demi mendengar ucapan orang Sing-siok-pai

yang tidak sopan itu, kontan mereka balas mecaci maki

sehingga seketika itu ramailah suara orang membentak

dan memaki.

Bahkan para Tongcu dan Tocu serentak meloloskan

senjata hendak melabrak lawan-lawannya. Tapi anggota

Sing-siok-pai tidak berani sembarangan bergerak karena

belum mendapat perintah guru mereka. Mereka masih

3476

tetap mencaci maki dengan kata-kata yang semakin

kotor.

Sementara Toan Ki masih terus memusatkan

perhatiannyq untuk menyerang Buyung Hok dengan

Siau-yang-kiam. Karena tercecer, maka akhirnya Buyung

Hok menjadi susah membendung arah datangnya hawa

pedang serangan Toan Ki itu, terpaksa ia putar sepasang

Boan-koan-pit yang lurus dan bengkok itu untuk

melindungi tubuhnya.

Jilid ke-74

"Crit" , sekonyong-konyong hawa pedang Toan Ki

menembus pertahanan Buyung Hok sehingga kopyahnya

terpapas jatuh, seketika rambutnya terurai, keadaannya

serba runyam.

“Jangan, Toan kongcu!" teriak Giok yan dengan

kuatir.

Toan Ki terkesiap, menghela napas panjang dan

serangan lain tidak jadi dilontarkan lagi. Katanya di dalam

hati, "Ya, aku tahu yang kau pikirkan hanya piaukomu

seorang saja, andaikan aku membunuhnya, tentu engkau

akan sangat terluka dan selanjutnya takkan tertawa lagi.

Aku menghormati dan mencintaimu, tidak nanti aku

membikin dirimu hidup merana."

Dalam pada itu Buyung Hok telah mengikat kembali

rambutnya dengan wajah pucat, kalau mendapat

bantuan seorang wanita untuk mengatakan ampun

3477

kepada lawan, maka ke mana lagi mukaku harus ditaruh

selanjutnya?

Karena pikiran itu, ia lantas membentak, "Seorang

laki-laki biar mati juga tidak sudi minta kemurahan

hatimu."

Berbareng ia putar Boan-koan-pit dan menubruk maju

lagi.

"Eh, eh, jangan! kita kan tiada permusuhan apa-apa.

Kenapa mesti bertempur lagi?"' seru Toan Ki sambil

menggoyang-goyang kedua tangannya ke depan.

"Sudahlah aku tak mau berkelahi lagi, tak mau lagi!"

Dasar watak Buyung Hok memang tinggi hati

selamanya dia tidak pandang sebelah mata pada siapa

pun, tapi sekarang dia kecundang di depan orang banyak

celakanya lawan adalah orang yang dikenal sebagai

pelajar tolol itu, apalagi lawannya lantas mengalah

lantaran Giok-yan ikut minta. Sudah tentu la tidak mau

terima mentah-mentah kekalahannya.

Maka sekali menubruk maju, segera ia gunakan

Boan-koan-pit yang bengkok itu untuk menyerang müka

Toan Ki, sebaliknya Boan-koan-pit lurus menusuk dada

lawan, pikirnya, "Biarlah kau bunuh aku dengan hawa

pedang tak kelihatan itu, marilah kita. gugur bersama

daripada hidup menanggung malu di dunia ini."

Nyata, dengan serangan Buyung Hok itu, terang dia

sudah nekat dan tidak menghiraukan sendiri lagi.

3478

Di lain pihak Toan Ki menjadi bingung juga ketika

melihat Buyung Hok menubruk ke arahnya, kalau ia

gunakan Lak-meh-sin-kiam, kuatír akan membinasakan

lawan itu. Dan karena sedikit ayal serangan Buyung Hok

sudah tiba, “Bles”, tahu-tahu Boan-koan-pit menancap

dibadan Toan Ki sedang dalam kagetnya mengeges

sedikit ke kiri sehingga tusukan itu tidak tepat menembus

dadanya tapi menancap bahunya, begitu hebatnya

serangan itu sehingga bahu Toan Ki tertembus.

Dan Takkala Toan Ki menjerit kaget menyusül

Buyung Hok ayun Boan-kuau-pit lain yang bengkok itu

untuk menggaet leher Toan Ki.

Saat itu Toan telah dipantek oleh Boan-koan-pit

sehingga susah mengelak lagi, tampaknya dia pasti akan

dibinasakan oleh serangan Buyung Hok yang sudáh

kalap itu.

Melihat keadaán berbahava itu, kembali Toan Cing-

Sun dan Lam-hai-gok-sin menubruk maju lagi hendak

menolong. Tapi sekali ini Buyung-Hok sudah bertekad

harus mernbunuh Toan Kí, maka ia tidak menghiraukan

keselamatan sendiri yang diserang sekaligus oleh Toan

Cing-sun dán Lam-hai-gok-sin berdua.

Tampaknya leher Toan Kí akan segera dapat digantul

oleh Boan-koan-pitnya yang bengkok itu, walaupün

Buyung Hok sendiri juga takkan terhindar dari kematian

karena di serang bareng oleh Cing-sun dan Gok-sin, di

luar dugaan pada detik yang menentukan itu sekonyongkoyong

Buyung Hok merasa "Sin-to-hiat" di punggungnya

terasa kesemutan dan tahu-tahu badan kena dicengram

dan diangkat ke atas oleh tangan seseorang.

3479

Sin-to-hiat adalah hiat-to terpenting di bagian

punggung, sekalí tempat itü terpegang seketika terasa

kedua tangan linu pegal dan tak bertenaga lagi sehingga

senjata yang dipegangnya juga terjatuh.

Maka mendengar Siau Hong membentak dengan

suara bengis, "Orang sengaja mengampun jiwamu, tapi

kamu malah turun tangan keji. Huh, terhitung ksatria

macam apakah ini!"

Kiranya Siau Hong telah mengikuti tindakan Buyung

Hok yang nekat tadi dengan menubruk maju tanpa

menghiraukan keselamatannya sendiri, dalam keadaan

begitu, kalau Toan Ki mau menyerang lagi, dengan

gampang sekali jiwa Buyung Hkk pasti akan melayang.

Tapi sama sekali tak terduga bahwa pada saat yang

menguntungkan itu mendadak Toan Ki “melongok" di

tengah jalan dan tidak mau menyerang, Sebaliknya

serangan Buyung Hok tadi teramat cepat datängnya,

walau Siau Hong juga harus memburu maju secepat kilat

terus mencengkram pinggang Buyung Hok, tapi tidak

beruntung Toan Ki sudah dilukai lebih dulu.

Sebenarnya dengan kepandaian Buyung Hok yang

tinggi itu, meski masih kalah setingkat dari pada Siau

Hong, tapi juga tidak perlu sekali gebrak saja lantas

tertawan. Soalnya waktu itu dia sudah kalap dan nekat,

yang dipikir hanya membinasakan Toan Ki melulu dan

sama sekali tidak menghiraukan keselamatannya sendiri.

Sedangkan cengkeraman Siau Hong itu pun semacam

Kim-tiaw-jiu-hoat yang amat cepat dan lihai, yang diarah

3480

juga hiat-to terpenting, maka Buyung Hok lantas

tertangkap dan tak bisa berkutik lagi.

Dasar perawakan Siau Hong juga tinggi besar tangan

panjang dan kaki jangkung, ia pegang Buyung Hok ke

atas hingga mirip elang mencengram anak ayam.

Melihat sang majikan terancam bahaya, serentak Ting

Pek-Jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok

berempat berlari maju sambil berteriak, "Jangan

mencelakai Cukong kami!"

Begitu juga Giok-yan ikut berlari dan berseru, "Piauko!

Piauko!"

Namun berada di bawah cengkraman orang biarpun

Buyung Hok mempunyai kepandaian setinggi langit juga

sukar dikeluarkan. Sungguh ia ingin lebih baik mati saja

daripada menderita hinaan sehebat itu.

Tiba tiba Siau Hong tertawa dingin dan berseru, "Huh,

Siau Hong adalah seorang laki-laki sejati ternyata diberi

nama sejajar dengan manusia rendah seperti ini,

sungguh memalukan saja!"

Dan sekali bergerak segera ia lemparkan Buyung

Hok.

Di lempar oleh tenaga Siau Hong yang maha kuat itu,

kontan Buyung Hok mencelat sampai belasan meter

jauhnya. Segara ia melejit hendak berbangkit, tak

tersangka ketika Siau Hong mencengkram hiat to

punggungnya tadi, tenaga dalam Siau Hong telah

dikerahkan sehingga menembus seluruh urat nadinya,

3481

maka dalam waktu sekejap saja Buyung Hok tidak dapat

melancarkan kembali jalan darahnya, "Blang", tanpa

ampun lagi ia terbanting di tanah dalam keadaan serba

runyam.





TAMAT