Tuesday, 16 November 2010

Komidi Putar

Komidi Putar

Cerpen Seno Gumira Ajidarma



DA-DA, kuda*, engkau berlari dengan mulut berdarah, da-da, kuda, melintasi padang rumput, melompati jurang, menyeberangi sungai, menyusuri pantai, menembus hutan, melewati kota, mengarungi benua, memburu cakrawala, da-da, kuda, berderap di bawah langit dengan surai gemulai yang berkilat keemas-emasan di bawah cahaya senja tiada pernah bertanya akan berakhir sampai di mana. Da-da, kuda, mereka semua berderap seperti sepakat tiada saling membalap, berderap seperti menari, berderap seperti melayang, berlari, dan mencongklang seperti terbang, da-da, kuda, dan hanya kuda-kuda mengerti apa artinya menderap di padang terbuka, hamparan permadani, sajadah dunia, dalam derap secepat angin, namun suaranya seperti bisikan dari kejauhan, sejauh-jauh mata memandang, da-da, kuda, yang masih berlari ke arah matahari jingga yang separuh tenggelam.

Tiada pernah kukira kuda bisa berlari di atas air. Kulihat kuda-kuda berderap di lautan membentang, tanpa sayap dan tanpa tanduk, berderap melaju dengan bunyi percik memercik-mercik, di kejauhan, melintasi kapalku. Da-da, kuda, ke manakah kamu, begitu cepat kamu, begitu lambat kamu, berlari atau menari, wahai kuda, segala kuda berlari di antara cahaya, berkelebatan, seperti mimpi tapi bukan mimpi, seperti kuda tapi memang kuda, cahayakah atau nyata, gambar bergerakkah atau kuda, tapi memang kuda, dan hanya kuda. Da-da, kuda, seluruh kuda dari seluruh dunia bergerak dan berlari, terbang dan memimpi ke seluruh penjuru bumi ketika semua orang tertidur lelap nyenyak dalam labirin mimpinya sendiri-sendiri sehingga tiada seorang pun memang akan mengerti betapa ada begitu banyak kuda, beratus-ratus kuda, beribu-ribu kuda, berjuta-juta kuda menderap tanpa suara dan tanpa kepulan debu melaju sepanjang padang dengan gerak yang begitu lambat seperti gerak lambat seekor ulat tapi yang berpindah tempat begitu cepat secepat cahaya yang melesat.

Da-da, kuda, tak seorang pun melihatnya, ada tapi tiada, melintasi cahaya gemilang, sekian banyak kuda, begitu banyak kuda, akan seberapa banyak lagikah kuda? Begitu banyak rahasia terbentang selama manusia tertidur, begitu banyak cerita di balik tabir kegelapan malam, tapi bagaimanakah cara mengetahuinya? Manusia yang telah begitu lelah dengan begitu banyak pikiran di kepalanya sendiri tak akan pernah mengerti rahasia di balik matanya sendiri yang terpejam diam-diam tak terbuka selama ratusan tahun. Begitulah manusia selalu merasa telah tidur nyenyak dan lelap dalam satu malam tanpa pernah terbangun satu detik pun seperti kena sihir pencuri yang menyebarkan tanah pekuburan, padahal dalam semalam waktu telah lewat berabad-abad….

Namun, seribu kuda tak pernah menjadi tua meski telah berlari selama beratus-ratus tahun. Seribu kuda, beribu-ribu kuda, berjuta-juta kuda, menderap dan melaju menembus segala macam cuaca. Bagaimana mungkin manusia mengarungi seribu mimpi sementara sesuatu yang lebih indah dari mimpi lewat menderap di depan hidung mereka sendiri? Itulah masalahnya. Apalah yang bisa diketahui manusia? Tidak tentang berjuta-juta kuda yang berlari seperti penari, melaju seperti puisi, dengan kertap cahaya yang berkeredapan dari balik surainya, tidak juga tentang apa saja yang berada di luar jangkauannya. Da-da, kuda, tidak ada yang meringkik, tapi tidak berarti mereka tidak tertawa, karena mereka bisa mengikuti mimpi-mimpi manusia yang tertidur. Mereka terus berlari dengan pikiran yang bisa membaca dunia. Berlari dan berlari, dengan mata yang sayu.

Tidak ada makhluk lain tampak di mana pun berjuta-juta kuda itu berlari. Tiada gemuruh dan kepulan debu, tiada ringkik dan getaran bumi, namun makhluk-makhluk tiada pernah tampak — tiada burung elang yang melayang-layang, tiada monyet yang menjerit-jerit, tiada semut di lubang mana pun di padang rumput. Hanya kuda-kuda, tanpa sayap dan tanpa tanduk, kuda-kuda biasa, berjuta-juta, muncul dari balik cakrawala dengan matahari di belakang mereka, menghitam seperti bayang-bayang, berjuta-juta bayang-bayang kuda berkelebat, begitu cepat dan begitu lambat, seperti gerakan para dewa di layar dunia. Lewatlah kuda-kuda tanpa suara, tiada seorang pun tahu dari mana mereka dan menuju ke mana. Da-da, kuda, dari balik matahari mereka seperti muncul begitu saja, menimbulkan pertanyaan tentang dunia seperti apa, yang membiarkan manusia tidur begitu lama, seperti hanya
semalam tapi sudah kehilangan segalanya.

Alangkah mahalnya mimpi-mimpi dalam semalam, yang begitu membuai tapi sama sekali tidak nyata. Kuda-kuda ini nyata, berderap tanpa suara, tapi mengapa mulutmu berdarah, da-da, kuda? Kuda-kuda berderap bersama di padang alang-alang sampai bertemu sebuah sungai, di sungai itu mereka berenang dalam kelompok-kelompok sampai ke seberang, dan mereka berbaris satu per satu dan berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak di tepi jurang. Tentu saja itu jalan setapak manusia, tetapi untunglah tidak pernah ada seorang manusia pun yang barangkali sedang berburu kebetulan berpapasan dengan kuda-kuda itu, karena berapa lamakah seseorang harus menunggu sampai berjuta-juta kuda itu lewat begitu pelan karena begitu hati-hati berjalan di jalan setapak di tepi kemiringan jurang?

Berjuta-juta kuda berjalan menembus hutan yang berembun melewati jalan setapak di tepi jurang tanpa suara. Kuda-kuda berjalan di tepi jurang dengan kepala menunduk, melangkah satu per satu dalam kecuraman jurang yang menggiriskan. Jalan setapak itu begitu panjang dan jurang itu begitu dalam dan entah berapa lama akhirnya suatu malam kuda-kuda itu keluar dari hutan dan melangkah di tepi sungai yang dangkal dan gemericik airnya begitu jernih dan begitu menyegarkan. Hanya, setelah berminggu-minggu jutaan kuda itu akhirnya melewati hutan berjurang dengan hanya jalan setapak untuk berjalan. Di tepi sungai mereka minum sebentar lantas melanjutkan perjalanan.

Da-da, kuda, begitu banyak kuda dan tiada satu manusia pun menungganginya, tapi siapa bilang kuda diciptakan hanya untuk menjadi tunggangan? Kuda-kuda tanpa pelana, berkilat dalam usapan cahaya, melangkah dengan anggun di tepi yang gemercik keperakan, sesekali berhenti minum, berjalan dengan mata sayu, beriringan sepanjang sungai yang kadang lurus kadang berkelok dan suatu ketika menyeberang berdua-dua, bertiga-tiga, berlima-lima, berombongan, membuat gemercik aliran sungai tiba-tiba berbeda karena kaki-kaki kuda yang berjuta-juta menyeberangi sungai yang tentu saja berlangsung lama….

Seorang anak terbangun di malam hari.

“Ibu, ke mana kuda kita?”

Kali ini tidak ada manusia yang mempunyai kuda, berjuta-juta kuda melepaskan diri dari kepemilikan dan kekuasaan manusia. Kuda telah melepaskan diri dari kebudayaan, bahkan tidak seorang pun bisa bermimpi tentang kuda-kuda lagi. Kuda-kuda itu sudah tidak terjangkau. Mereka menyusuri sungai sampai ke tepi pantai. Menggoyangkan ekor dan mendengus seperti tidak peduli dengan ombak. Mereka mencari rerumputan di tepi sungai, dan saling berbicara dengan cara saling memandang dan saling menyentuh.

Da-da, kuda, mereka bisa berlari di atas permukaan laut, tapi mereka tetap tinggal di tepi pantai dan saling mendengus serta bersentuhan di bawah rembulan. Berjuta-juta kuda memenuhi pantai, dengan hempasan ombak yang bernyanyi, tiupan angin yang merintih, serta permukaan laut yang berkilat keperak-perakan. Tiada satu kuda menengok rembulan, kepala mereka tertunduk dan mata mereka masih sayu. Hanya ekornya terkadang bergoyang pelan.

Di antara kuda-kuda itu terdapat kuda anak yang terbangun di malam hari itu. Ia berjalan, mendengus, dan mendongak di antara banyak kuda yang menunduk.

“Hanya kuda, dan tiada lain selain kuda,” pikirnya.

Ia teringat anak kecil itu, yang setiap pagi mengelus-elus kepalanya. Berbisik-bisik dan bercerita, menyampaikan segala rahasia. Meski tidak bisa berbicara dalam bahasa manusia, ia bisa mengerti setiap kata yang diucapkan anak itu. Jika ia bisa berbicara, banyak juga yang akan diceritakannya, seperti juga ia ingin bicara tentang betapa suatu hari ia akan meninggalkannya. Setiap kuda yang ditemuinya dan pernah dipelihara manusia mengalami hal yang sama, mereka tidak mengetahui cara yang terbaik untuk memberitahukan perpisahan dengan dunia manusia untuk selama-lamanya.

Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pergi keluar dari kandangnya suatu malam. Pergi begitu saja mengikuti bisikan yang menuntunnya, bisikan yang tidak terdengar di telinga melainkan menancap langsung ke dalam otaknya dan menggerakkan seluruh tubuhnya. Ia bertemu dengan begitu banyak kuda yang keluar dari kandang dan istalnya, melangkah begitu saja seperti sudah saling mengerti, menuju ke suatu keadaan yang belum tentu akan bisa dimengerti. Ia hanya tahu bahwa setiap kuda harus bergabung dengan semua kuda, untuk melakukan pencarian bersama yang belum lagi diketahui akan ketemu di mana.

Maka ia ikut mencongklang bersama kuda-kuda itu, berlari dan berlari, dan merasakan betapa bumi bagai tiada diinjaknya. Kuda-kuda itu seperti terbang bersama tapi bukan terbang, berlari tapi bukan berlari, melesat dan melaju tapi bukan melesat, dan melaju karena meskipun sungguh cepat tetapi juga sangat lambat. Bagaimanakah semua
ini bisa ia jelaskan?

“Aku hanya seekor kuda,” pikirnya.

Da-da, kuda, di tepi pantai, bersama berjuta-juta kuda lainnya, mereka berdiri berjajar-jajar menghadap ke laut. Rembulan bagaikan piring keperakan raksasa yang membuat laut juga serba keperak-perakan nyaris seperti cairan logam. Seluruh kuda yang berjuta-juta itu melangkah ke laut. Mereka tidak berlari, tapi berjalan saja pelan-pelan. Lautan tidak bergelombang dan ombak tidak menghempas, seluruh kuda itu berjalan perlahan menuju cakrawala. Namun, kuda yang dimiliki anak kecil itu tidak menggerakkan kakinya. Ia mendengus, menggerakkan ekor, tapi tidak melangkah. Ditatapnya kuda-kuda bergerak pelan menuju cakrawala, makin lama makin jauh dan akhirnya menghilang….

“Aku seekor kuda yang hanya sendiri saja di dunia,” pikirnya,

“Kalau aku mati nanti tak akan ada kuda lagi di muka bumi.”

Untuk beberapa saat ia masih memandang lautan yang kosong. Tiada lagi pemandangan berjuta-juta kuda.

Ia belum juga tahu betapa mulutnya berdarah.

Ketika anak itu bangun, waktu sudah lewat berabad-abad. Ia langsung mendekati kuda itu di kandangnya, memeluk dan mengusap-usap kepalanya.

“Da-da, kuda, engkau pergi ke mana? Waktu aku bangun semalam engkau tak ada.”

Dari jendela dapur, ibunya memandang anak di kandang kuda yang kosong itu dengan sedih.

“Lagi-lagi anak itu bicara dengan dirinya sendiri,” gumamnya.

Di dinding dapur itu tergantung potret seekor kuda. Entah siapa mencoret-coret bagian mulutnya dengan spidol merah, sehingga mulut itu seperti meneteskan darah….



Pondok Aren, Kamis 2 Januari 2003. 07:36.

Catatan:
* Dari sajak Wing Karjo, “A/Z”, bagian 7 : Da-da, kuda, diamlah /benda ajaib …/ mainanmu, nak, Putih / terlalu jinak. Lembut / dari dunia mimpi., dalam Perumahan (1975), h. 44.



Sumber: Media Indonesia, Minggu 16 Februari 2003.

No comments: