Tuesday 16 November 2010

Bayang Malaikat

Bayang Malaikat

Cerpen Dianing Widya Yudhistira



AKU terjaga oleh dering pendek ponselku. Segera aku raih ponsel yang selalu aku taruh di meja tulis yang ada tepat di samping kanan tempat tidur. Saat membuka sms yang masuk, aku terhenyak.
"Bila kumati, aku ingin menghantuimu." Buru-buru aku tekan delete. Ponselku kembali berdering pendek.
"Semestinya kau ikut mati terpanggang dalam ledakan itu." Aku kian terhenyak. Detak nadiku entah berdenyut entah tidak.
* * *
Peristiwa setahun lalu itu kembali hadir dalam ingatanku. Peristiwa saat aku bersama Sofia, menuju sebuah kota di pinggiran pulau. Kota yang terletak berhadapan langsung dengan laut. Di kota itulah berkumpul orang-orang untuk merayakan cinta di pergantian tahun. Usai itu, mereka akan meninggalkan kota dengan berjuta kenangan.
Seperti yang lain, aku dan Sofia berencana singgah di kota itu untuk merayakan cinta dan menciptakan semesta sendiri berdua. Tetapi bunyi ledakan di dalam kereta yang kami tumpangi memporak-porandakan semua.
Aku tak bisa menceritakan sekuat apa ledakan itu. Aku hanya bisa mengatakannya sangat, sangat kuat.
* * *
Aku tercekat di tempat dudukku. Rangkaian gerbong kereta hancur berantakan. Aku lihat serpihan besi, tubuh manusia terjepit diantara pecahan badan kereta api, darah muncrat seperti ditumpahkan begitu saja dari langit, berbaur dengan anyir yang menyeruap ke udara.
Tulang-tulangku seperti lepas dari tubuh. Mengapa harus aku, menyaksikan mayat-mayat tak berdosa. Kematian yang tiba-tiba, dan tak manusiawi. Kematian yang merepotkan malaikat, karena harus menghentikan ratusan detak nadi manusia dalam waktu bersamaan. Dan akhirnya, Tuhan menjadi satu-satunya pelipur lara.
"Blaar."
Belum usai rasa terkejutku, terdengar kembali ledakan kuat dari gerbong lain diiringi jerit dan lolongan. Aku terpaku. Tak kuasa melihat ke arah ledakan. Pasti serpihan tubuh tertindih serpihan gerbong, darah yang muncrat serta tulang-tulang manusia berserakan juga tubuh gosong.
Aku tak percaya. Adakah aku berada di alam nyata? Ataukah aku tengah menyaksikan sebuah film triller yang panjang? Film perang yang membutuhkan adegan brutal. Film yang seolah-olah ingin mengatakan bila nyawa manusia tak ada lagi artinya. Adakah aku tengah bermimpi buruk, karena lupa menyebut nama Tuhan sebelum terlelap? Adakah aku tengah berangan-angan dengan fantasi yang mengerikan.
Fantasi yang gila. Seorang manusia yang berubah monster. Yang haus darah dan rindu jerit tangis manusia. Ataukah aku tengah berada di kerak bumi paling bawah? Di tempat neraka paling jahanam? Hingga tragedi kemanusiaan adalah soal biasa.
Aku mematung. Diantara sadar dan tidak. Diantara percaya dan tidak. Aku masih duduk di salah satu kursi dalam kereta api, tanpa satupun luka. Tanpa satupun goresan di kulitku. Padahal di sekelilingku orang-orang terpanggang dan gosong.
Semua terjadi sangat tiba-tiba. Diluar jangakauanku, juga diluar jangkauan ribuan orang. Meski sesungguhnya rangkaian ledakan itu memakan waktu lama dalam merancangnya.
"Ini biadab!," umpatku tak berdaya.
"Tidak!" aku berteriak hebat. Dunia hancur berantakan seketika dalam darahku. Sofia, perempuanku. Terjepit ditumpukan besi-besi dengan darahnya yang masih segar membasahi lantai kereta yang menghitam.
Aku tak bisa menangisinya karena kehilangan yang sangat tiba-tiba.
* * *
"Aktifkan ponselmu. Sewaktu-waktu aku menghubungimu." Aku menggigil. Ini pesan pendek dari Sofia.
Mengapa ia mengirim pesan pendek, lama setelah rangkaian bom meluluh lantakkan gerbong kereta yang kami tumpangi. Setelah ledakan keras membunuhnya. Mengapa Sofia? Meskipun dulu aku sangat berat melepas kepergiannya, sekarang aku telah rela.
Ponselku berdering pendek.
"Selamat ulang tahun, sayangku."
Aku tak kuasa menahan tangisku. Ini sms yang pernah ia kirim saat usiaku genap duapuluh tujuh tahun. Sudahlah Sofia, aku sayang padamu. Istirahatlah dengan damai. Aku sematkan doa di depan potretnya, di ketinggian malam yang jauh.
* * *
Cukup lama aku tidak menerima pesan pendek. Aku kembali tenang, meski trauma ledakan sering mengusik malamku. Betapa aku ingin lari dan membunuh bayangan peristiwa ledakan kereta api itu, tetapi semakin aku bersikeras menghapusnya, peristiwa ledakan itu semakin menggila menghantuiku.
Aku lelah. Bila kematian dapat ditawar, akan aku ajukan penawaranku pada Tuhan. Ambil saja nyawaku sekarang, daripada hidup mengenang ledakan, serpihan gerbong kereta, potongan-potongan tubuh manusia tak berdosa, anyir darah yang menyeruap ke udara, tangis kehilangan, lolongan kesakitan. Aku bisa gila.
Peristiwa itu bukan saja merenggut Sofia, peristiwa itu telah membunuh hidupku. Malamku teramat panjang. Aku kehilangan rasa kantuk dan lelah. Aku sulit tidur karena peristiwa tragis itu.
Bila Sofia dan ratusan orang lain mati dengan mengenaskan, aku hidup dengan mengenaskan. Usai peristiwa itu semua media berlomba-lomba mewawancaraiku tanpa tahu betapa aku tidak mau mengenang peristiwa itu. Sebab aku salah seorang yang selamat, dari sedikit yang selamat dalam peristiwa itu.
* * *
Malam ini ponselku kembali berdering pendek. Aku baca pesan singkat itu: "Aku ingin kau rasakan saat cinta tak berbalas."
Duh Sofia. Kau tidak tahu, aku mencintaimu, meski belum pernah aku ucapkan. Hingga akulah manusia yang terakhir engkau jumpa di saat-saat ajal menjemputmu. Aku seperti terbang ke langit. Mungkinkah orang yang telah meninggal, bisa memberi sms pada kekasihnya? Entahlah. Yang aku tahu sejak itu aku jadi senang membaca sms dari Sofia yang tersimpan dalam memori ponselku.
Anehnya, aku tak merasakan takut. Ketika malam datang, aku selalu ingin membaca sms-sms Sofia. Hingga pelan-pelan aku rindu padanya. Aku mulai ingin menerima smsnya. Kala terjagapun, pertama yang ingin aku dengar adalah dering pendek dari ponselku.
"Aku cinta. Kamu tidak. Ini tragedi."
Ini sms yang bernada canda. Aku terima tiga hari sebelum ledakan kereta api itu.
* * *
"Seperti apa wajah malaikat ketika menjemputmu kelak?" Degup jantungku tak beraturan. Lama aku menunggu saat seperti ini. Dapat membaca smsnya, tetapi mengapa kalimat menyeramkan yang ia kirim.
Aku putuskan untuk tak membalas sms itu. Tak lama kemudian datang smsnya lagi.
"Bagaimana di saat engkau berada di pintu kubur?"
Aku jelas tidak tahu. Ah, mengapa pesan pendeknya beraroma kematian. Usiaku masih belia untuk bicara soal kematian.
"Bagaimana ketika kau ditanya siapa engkau?"
Siapa aku? Apa maksudnya.
"Apa jawabmu ketika ditanya apa dosa pertamamu?"
Aku tidak tahu harus jawab apa.
"Apa kau pernah menangis karena sebuah dosa?"
Aku? Dosa? Selama ini aku tak pernah peduli dengan apa yang aku lakukan. Bukankah hidup adalah kesempatan untuk menikmati segala yang indah-indah. Termasuk keindahan dosa. Apakah aku harus peduli karenanya?
"Bila hari ini aku menjemputmu, siapkah kau?"
Tuhan. Sesungguhnya siapakah pengirim pesan pendek ini. Adakah sofia telah berubah menjadi malaikat? Atau mungkin.
Ada apa dengan tubuhku? Pelan-pelan tubuhku mendingin. Aku mengigil di siang yang terik. Tubuhku beku ketika matahari berada di puncak kegarangannya. Sekelebat bayang melintas, menghampiriku dengan warnanya yang ungu. Mengepakkan sayapnya yang lebat. Memancarkan warna kelabu.
Pelan dan pasti sekelebat bayang itu menarik-narik pori-poriku. Melepasnya, menariknya, melepasnya, menariknya terus berulang-ulang seolah tak peduli betapa aku merasakan sakit yang hebat.
Aku sempat dengar ponselku berdering pendek. Aroma kematian mengental di tubuhku, ketika aku ingin membacanya.
Terimakasih ***




Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=222382

No comments: