Tuesday 16 November 2010

Ranggalawe Gugur

Ranggalawe Gugur

Cerpen Gunawan Maryanto



Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta [1]


Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri—bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri.

“Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.” Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya.

Lalu pertunjukan pun dimulai setelah beberapa orang naik ke panggung untuk menyampaikan simpati—sejumla puisi. Mereka berduka atas kematian dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas kematian ini? Malam itu tak sebagaimana biasanya, mereka meninggalkan tobongnya—tobong yang sesungguhnya telah lama kosong. Kain-kain dekorasi mereka pasang di beberapa penjuru, layar-layar yang sudah tak sanggup menggambarkan apa-apa. Mereka telah lama kehilangan warna. Serupa bendera-bendera kematian. Gerbang tobong juga mereka pasang sebagai penanda merekalah satu-satunya rombongan ketoprak tobong yang tersisa.

Ratu Kencana Wungu duduk di atas singgasananya. Kursi kayu bercat merah yang terlambat dibawa masuk ke panggung. Kelihatan karena tak ada layar untuk menutup pergantian. Semuanya diputuskan untuk dibuka malam itu. Termasuk kegagalan mereka untuk bertahan sebagai seniman. Kencana Wungu lantas menembang menyapa yang datang. Patih Logender duduk di hadapannya, manggut-manggut menerima kenyataan bahwa suara Kencana Wungu terlalu lirih untuk sebuah pertunjukan di tengah lapang. Yang riuh rendah oleh suara kendaraan dan pasangan-pasangan muda yang pacaran di atas sepeda panjang. Rarasati si Patih Dalam tak kebagian kursi. Ia berdiri saja di samping Kencana Wungu. Sementara para ksatria duduk di bawah, bersesakan dan saling menutupi: Layang Seta, Layang Kumitir, Menak Koncar, dan beberapa prajurit tanpa nama alias bala depak yang senantiasa terdepak. Panggung sudah terlalu sempit untuk menampung tubuh-tubuh mereka. Negeri dalam keadaan baik-baik saja, demikianlah yang kutangkap samar-samar dari percakapan mereka. Rakyat hidup makmur kerta raharja. Tak kurang suatu apa. Mereka tampak gembira dengan sandiwara itu. Bercakap-cakap diselingi canda dan tawa. Patih Logender memamerkan kesaktian sepasang anaknya, Seta dan Kumitir. Hanya Adipati Tuban, Ranggalawe, yang tak kelihatan batang hidungnya. Adipati paling sakti itu konon sedang bertapa di rumahnya. Mungkin pula tak punya ongkos berangkat ke Majapahit. Bisa saja.

Kulihat ke belakang. Cukup banyak juga yang datang. Orang-orang yang sekadar lewat. Atau sejumlah orang yang melayat. Kabar kematian kelompok ini memang sudah disebar di koran-koran dan facebook. Seorang anak kecil yang duduk di belakangku bertanya pada bapaknya. Itu apa? Ketoprak, jawab bapaknya. Lalu Menak Jingga di samping panggung memukul kepraknya. Rupanya malam itu ia merangkap sebagai dalang sekaligus tukang keprak. Bunyi keprak itu membangunkan Angkat Buta yang sejak awal tiduran di belakang gamelan. Ia pun bergegas masuk ke dalam panggung untuk menyampaikan pesan junjungannya, Menak Jingga. Si Adipati buruk rupa itu menagih janji sang Ratu Ayu. Dulu semasa ia masih bernama Jaka Umbaran yang berwajah tampan ia pernah dijanjikan untuk mendapatkan Kencana Wungu jika berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, pemberontak yang sakti mandraguna. Sang pemberontak berhasil dikalahkan, tapi Jaka Umbaran terpaksa pulang dengan wajah dan tubuh babak belur. Jika tak ada Dayun yang menolong mungkin ia sudah lama mati.

Rarasati merobek-robek surat itu. Layang Seta dan Layang Kumitir tanpa perintah selain karena pongah menghajar utusan dari Blambangan itu. Angkat Buta berlari ke alun-alun. Angkat Buta selalu menantinya di sana selama bertahun-tahun. Perang tak terhindarkan. Gantian para bala dupak mendapatkan ruang. Dengan gagah berani mereka berperang. Melakukan adegan-adegan berbahaya. Beberapa kali mereka terlontar ke luar panggung. Terkapar di tanah lapang lalu dengan cepat bangun lagi mengejar sang lawan. Ada juga prajurit yang kedua tangannya buntung. Ialah yang paling kerap terlontar keluar panggung. Penonton terbahak dan bersorak meski adegan perkelahian ini sama sekali tak menawan. Ada pula yang malah jatuh kasihan.

Bisa ditebak, mereka telah mengulanginya beratus kali, Layang Seta dan Layang Kumitir kalah. Logender menolongnya dan membiarkan utusan-utusan Blambangan itu pulang.

Di Lumajang enam perempuan menari-nari. Menari sejadi-jadinya.

Mas mas mas aja diplerok

(Mas mas mas jangan dipelototin)

Mas mas mas aja dipoyoki

(Mas mas mas jangan digodain)

Karepku njaluk diesemi [2]

(Pinginnya minta disenyumin)


Ruang pecah berkeping-keping. Mereka menyebar ke segenap penjuru membawa piring. Mendatangi penonton satu per satu, menjual cendera mata: gantungan kunci bertuliskan Ketoprak is the place where we live and where we die… berlatar orang sendirian mendirikan atap tobong di langit yang biru cerah. Mereka terus beredar dalam kegelapan. Ada pula yang membawa bonang dan meminta uang. Lagu berlanjut. Apa saja yang penting berirama dangdut. Beberapa penonton naik ke panggung dan bergoyang. Lalu lampu tiba-tiba mati. Gamelan terus dibunyikan. Lagu terus dinyanyikan. Beberapa orang tampak sibuk mencari kesalahan. Menyusuri kabel demi kabel. Memeriksa bensin di dalam generator. Berkali-kali mereka pernah mengalaminya, mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Berkali-kali mereka ngebut di jalanan masih dengan pakaian wayang untuk membeli bensin agar pertunjukan tetap bisa dilanjutkan. Alhamdulillah, lampu mati tak lama. Lampu yang semenjana itu menyala kembali. Perempuan-perempuan itu sudah kembali ke panggung dan menjadi istri-istri dari Adipati Menak Koncar. Lalu adegan domestik di tengah lapangan, bocor-bocor tak karuan. Percakapan yang lamat-lamat itu terus berlangsung hingga Menak Jingga menabuh keprak untuk menandai kedatangannya sendiri. Ia masuk ditemani Dayun, abdinya yang setia.

Menak Koncar menyambutnya dengan hangat meski tahu tak berapa lama lagi mereka akan bertengkar dan ia akan kehilangan Mentarwati, istrinya yang pertama. Pertengkaran dimulai ketika Menak Jingga meminta bantuan Menak Koncar untuk mengawinkannya dengan Kencana Wungu. Menak Koncar meledak marah. Ia tak sanggup membayangkan ratunya yang jelita bersanding dengan manusia buruk rupa. Mentarwati bersedia mencarikan jodoh untuk Menak Jingga. Tapi Menak Jingga keras kepala. Sambil menyembah-nyembah kaki Mentarwati, Menak Jingga terus menyebut-nyebut nama Kencana Wungu. Mentarwati sebal dan memukul kepala Menak Jingga. Pertarungan kembali terjadi di atas panggung sempit itu. Kali ini yang tampil adalah prajurit-prajurit perempuan. Dengan gerak yang luar biasa kikuk—jangan dibayangkan pertarungan antara Lasmini versus Mantili dalam film Saur Sepuh—mereka saling pukul dan tusuk. Penonton yang jumlahnya sudah jauh berkurang kembali terbangun. Bertepuk tangan menyemangati pertempuran prajurit Lumajang dan Blambangan. Pertempuran itu berakhir dengan tewasnya Mentarwati. Menak Jingga menusuk tubuh perempuan itu berali-kali dengan kerisnya. Menak Koncar datang terlambat. Ia hanya mendapati tubuh istrinya yang dingin dan berlumuran darah. Ia menangis dan pelan-pelan mengangkat tubuh istrinya. Adegan yang direncanakan dramatis itu hancur berantakan. Menak Koncar ternyata tak kuat membopong tubuh perempuan itu. Makan nasi sehari sekali dengan selingan mie instan ternyata membuat Adipati Lumajang itu kekurangan tenaga. Tak ada yang datang membantunya. Penonton kembali bersorak. Mereka menyemangati Menak Koncar dengan tepuk tangan. Akhirnya dengan susah payah, juga didorong rasa malu, ia berhasil membawa istrinya keluar panggung. Dan buru-buru dijatuhkannya begitu sampai di tepian panggung.

Lalu lagu gembira mencoba membangkitkan suasana. Gending Badutan Sragen: Rewel. Omonga terus terang yen pancen kowe bosen. Ora perlu kakehan alasan…. (Bicaralah terus terang jika kamu bosan. Tidak perlu banyak alasan….)

Seorang pelawak masuk ke panggung dan me nari sekenanya. Ia pelawak karena kumisnya mirip Hitler. Entah sejak kapan pelawak-pelawak kita memakai kumis macam itu. Mungkin sejak mereka menonton Charlie Chaplin. Mungkin pula suatu kali seorang pelawak pendahulu secara tak sengaja mengusapkan jelaga di atas bibirnya. Lalu dua kawannya datang menyusul. Penonton menanti kelucuan apa yang akan mereka munculkan. Tapi tak ada. Mereka sudah terlalu lelah untuk mencari bahan lawakan. Mereka hanya bercanda tentang lapar. Mereka pura-pura makan sampai kenyang. Mereka memesan makanan-makanan terenak yang mereka impikan. Dua bungkus rokok dilemparkan kepada mereka. Seorang pelawak pun turun ke panggung, memungutnya. Ia melempar satu bungkus ke arah para penabuh gamelan. Di tengah mereka berkhayal makan sate kambing datang seorang penonton memberi amplop. Minta lagu Prau Layar, katanya. Am plop itu pun dibuka. Berisi duit yang langsung me reka hitung satu per satu. Lembaran-lembaran uang berwarna merah itu berjumlah tujuh lembar. Semua orang bertepuk tangan. Mungkin itu adalah saweran paling banyak yang pernah mereka dapatkan. Sayang mereka mendapatkannya di pertunjukan terakhirnya.

Malam ini mungkin mereka akan mendapat lebih dari 2.000 rupiah per orang, tidak seperti malam-malam biasanya. Mereka memanggil juragan mereka naik ke atas panggung. Sang juragan, lekaki berkaos hitam yang tadi membuka acara mengucapkan terima kasih atas bentuk simpati tersebut. Dan ia pun menyanyikan Caping Gunung karya maestro keroncong Gesang yang baru saja meninggal dunia. Para pelawak mengingatkan bahwa mereka seharusnya menyanyi Prau Layar. Tapi lelaki itu mungkin tak mendengarnya. Ia menyanyi Caping Gunung. Ia meminta para pelawak menari. Tapi tak ada yang menari. Setelah lagu selesai kembali ia mengulang kata pamitnya. Malam ini kami pamit mati. Seperti syair sebuah lagu, katanya.

Lilanana pamit mulih….

(Relakanlah aku pamit pulang….)

Lilanana pamit mulih

(Relakan aku pamit)

Pesti kula yen dudu jodhone

(Aku memang bukan jodohmu)

Muga enggal antuk sulih

(Semoga segera mendapat ganti)

Wong sing bisa ngladeni slirane

(Orang yang bisa mendampingimu)

Pancen abor jroning ati

(Memang berat rasanya)

Ninggal ndika wong sing ndak tresnani

(Meninggalkan orang yang kucintai)

Nanging badhe kados pundi

(Tapi mau bagaimana lagi)

Yen kawula saderma nglampahi [3]

(Aku cuma sekadar melakoni)


Lelaki itu kemudian memanggil seorang tamu yang datang dari Jakarta. Seorang aktivis perempuan yang cantik. Ia meminta perempuan itu menyampaikan orasinya. Sang perempuan dengan berapi-api mengutuk kematian-kematian seni tradisi. Ia menyalahkan masyarakat yang tak lagi menghargainya. Ia menyalahkan pemerintah yang tak pernah merawatnya. Ia menyalahkan organ dangdut yang mematikan sawah para seniman tradisi. Lalu ia turun dan pertunjukan kembali berlangsung.

Malam sudah larut. Sebagian besar penonton sudah pulang. Sudah larut malam pula di Kadipaten Tuban. Sang Adipati Ranggalawe tengah bercakap-cakap dengan istrinya. Ia merisaukan keadaan Majapahit yang tak lagi tentram. Percakapan tampak dipercepat. Mungkin karena penonton yang semakin sedikit. Ranggalawe buru-buru ke sanggar pamujan. Berdoa dan membakar kemenyan. Ia bersila membelakangi penonton. Sebuah tembang palaran mengalun keras dari mulutnya. Menak Koncar datang menemuinya. Melaporkan kebrutalan Menak Jingga yang makin menjadi-jadi. Menak Koncar menangisi kematian istrinya, menangisi Lumajang yang sudah berada di genggaman Menak Jingga. Bergetar dada Ranggalawe mendengar tangisan Menak Koncar, kemenakannya. Segera ia memanggil Wangsapati ajudannya. “Ambil Payung Tunggul Naga, malam ini aku akan berangkat ke Lumajang!”

Adegan pertemuan Ranggalawe dan Menak Jingga segera disusun. Menak Jingga menyambut kedatangan Ranggalawe dengan baik. Ia menghaturkan hormat pada orang yang paling disegani di Majapahit itu. Ranggalawe dengan tenang mendengarkan kisah Menak Jingga. Ia bisa mengerti perasaan Menak Jingga yang kecewa karena ditolak oleh Ratu Kencana Wungu. Dalam hal ini ia menyalahkan Kencana Wungu yang mengingkari janjinya. Tapi ia juga mengutuk Menak Jingga yang telah membuat huru-hara di Majapahit. Maka, dengan segala hormat ia minta Menak Jingga menghentikan pemberontakannya. Menak Jingga menggelengkan kepalanya. Ia meminta maaf tak bisa menghentikan semuanya. Maka keduanya pun berhadapan.

Tak ada yang bisa menandingi kesaktian Ranggalawe selama Payung Tunggul Naga tetap memayunginya. Menak Jingga yang terdesak segera menghujani Wangsapati si pembawa payung dengan panahnya. Pengawal nahas itu pun terjungkal dengan beberapa anak panah menancap di tubuhnya. Ranggalawe terus maju. Ia tak peduli dengan apa-apa lagi. Kematian Wangsapati begitu melukai hatinya. Dengan cepat ia berhasil menangkap Menak Jingga. Ia injak kepala adipati yang berwarna merah itu. Menak Jingga tak bisa bergerak sama sekali. Ia bahkan harus merelakan Gada Wesi Kuning andalannya direbut oleh Ranggalawe. Tetapi saat Ranggalawe mengangkat gada itu tiba-tiba tubuhnya kaku. Ia mati. Tubuhnya tanpa Payung Tunggul Naga adalah tubuh paling lemah yang pernah ada. Ia kehilangan nyawa karena mengangkat Gada Wesi Kuning. Bidadari-bidadari dengan rambut panjang terurai segera berlari mengelilinginya. Menak Jingga me me rintahkan agar tubuh pahlawan itu dibawa pulang ke Blambangan. “Makamkan ia dengan upacara kehormatan!”

Pertunjukan selesai. Pertunjukan terkahir mereka. Dengan cepat mereka mengemasi barang-barangnya dan pulang. Aku juga. Malam menunjuk pukul 12 tepat. Di jalan aku berpapasan lagi dengan mereka. Ranggalawe berjalan sendirian lengkap dengan pakaian kebesarannya. Beberapa pemain lain menyusul di belakangnya. Aku tak tahu ke mana mereka akan pulang malam ini. Tobong yang sudah 10 tahun mereka diami telah mengusir mereka. ***


2010

Catatan:

[1] Nisan, puisi karya Chairil Anwar, 1941
[2] Aja Dipleroki, lagu karya Ki Nartosabdho
[3] Pamitan, lagu karya Gesang, 1940




Sumber: Jawa Pos 18 Juli 2010

No comments: