Tuesday, 16 November 2010

Selamat Malam, Duhai Kekasih

Selamat Malam, Duhai Kekasih

Cerpen Seno Gumira Ajidarma




DARI jauh Sukab sudah mendengar lagu dangdut itu.

selamat malam
duhai kekasih
sebutlah namaku
menjelang tidurmu

Langkah menjadi ringan, seringan hatinya sejak sore sudah melayang-layang. Tumirah, ya Tumirah, wanita itu sudah berjanji akan menunggunya di malam Tahun Baru. Sudah berjanji akan berjoget di lapangan terbuka, lapangan sepak bola di kampungnya yang kini menjadi arena pesta. Tumirah, Tumirah, telah dibayangkannya wanita bertubuh sintal itu, dengan kain dan kebaya merah, dengan rambut terurai sampai ke bahu, dengan sendal jepit merek Swallow, bergoyang dan bergoyang di arena jojing yang becek tapi membakar.

“Tumirah, apakah kamu akan datang ke lapangan pada malam Tahun Baru?”

“Aku tak tahu Sukab, aku tak bisa pastikan sekarang.”

“Datanglah Tumirah, aku ingin bersamamu, apakah kamu tidak ingin melewatkan Tahun Baru bersamaku?”

“Tentu saja aku ingin bersamamu Sukab, aku selalu ingin bersamamu. Akan kuusahakan untuk berjoget denganmu.”

“Bagaimana aku tahu kamu akan datang atau tidak?”

“Tunggulah aku, aku akan pager kamu.”

“Jangan lupa Tumirah, aku menunggu.”

“Aku tahu Sukab, aku tahu.”

Rembulan pucat tertutup awan. Namun lampu dari segala macam tukang jualan telah membuat lapangan jadi semarak. Sukab melangkah setengah berlari sambil membawa bunga. Setangkai bunga merah yang terlindungi plastik. Sebagai pesuruh di toko bunga, Sukab tahu jenis bunga apa yang biasanya dibeli orang sebagai pernyataan cinta. Bahkan ia sering mengantarkan bunga semacam itu ke mana-mana dengan sepeda motornya. Pemilik toko bunga itu melengkapi Sukab dengan sebuah pager, supaya Sukab bisa menerima tugas dalam perjalanan.

Kini Sukab membawa sekuntum bunga berwarna merah yang diambilnya dari toko. Akan kupersembahkan bunga ini sebagai kejutan, pikirnya, Tumirah tentu akan senang menerimanya. Membahagiakan Tumirah adalah segala-galanya bagi Sukab. Ia pernah menulis surat kepada Tumirah: Aku tidak peduli Tumirah, apakah engkau punya suami, apakah engkau punya pacar, aku akan mencintaimu selalu, meskipun sesudah aku mati. Begitulah bunga itu dibawanya setengah berlari. Ia sebenarnya tak berharap Tumirah sudah berada di sana pada jam seperti ini. Namun, pikirnya, siapa tahu Tumirah sudah ada di sana, siapa tahu – seperti segala hal tak terduga yang pernah dialaminya bersama Tumirah.

bawalah aku
dalam mimpi yang indah
di malam yang dingin
sesunyi ini

Sebetulnya lapangan itu memang masih jauh, tapi dalam acara orkes dangdut, pengeras suara selalu di-geber sampai ke langit. Sukab sangat menyukai lagu dangdut. Ia suka mencatat syairnya, dan menghafalkannya, semua itu membuat ia merasa hidup. Itulah yang disukai Tumirah dalam diri Sukab, karena Tumirah juga menyukai lagu dangdut. Tapi Tumirah menyukai dangdut bukan hanya karena syairnya, Tumirah menyukai hentakan-hentakan dangdut karena semua itu mampu membuat dirinya bergoyang.

Tumirah adalah seorang primadona di arena dangdut. Kalau ia bergoyang, ia tidak hanya ber-jojing, ia menari untuk ditonton. Karena itu sebenarnya ia tidak memerlukan pasangan. Setiap gerakannya penuh dengan pesona. Bahwa kemudian di arena jojing terbentuk lingkaran yang memberi ruang Tumirah bergaya, itu adalah soal biasa. Bahkan sang penyanyi dangdut suka kheki karena Tumirah kelewat mencuri perhatian.

“Lihat Tumirah itu, ia mulai lagi.”

“Heran, ia senang sekali menari.”

“Baguslah orang senang menari.”

“Ketimbang senang korupsi.”

“Hahahaha!”

“Tumirah itu, ke mana suaminya?”

“Entahlah, mereka tidak pernah bersama.”

***

SUKAB melihat Tumirah untuk pertama kalinya ketika sedang menari. Tumirah selalu mengenakan kain dan kebaya merah, dengan rambut terurai dan sandal jepit yang juga merah. Bayangan Tumirah telah membuatnya gelisah sepanjang malam, sehingga ketika sampai di rumah pun istrinya tahu pikiran Sukab melayang entah ke mana.

“Siapakah Tumirah?”

“Entahlah. Siapa dia?”

“Semua orang melihatnya menari di lapangan, masak kamu tidak tahu?”

“Jadi yang menari itu namanya Tumirah?”

“Iya, wanita yang sudah bersuami tapi selalu pergi sendiri.”

“Kenapa memang kalau pergi sendiri?”

“Sukab, semua orang bilang kamu berjoget dengan dia!”

“Hah?”

“Hah-huh-hah-huh! Dasar gombal kamu! Hati-hatilah, semua orang bilang dia wanita yang meninggalkan suaminya, dan kini jadi simpanan centeng pasar.”

“Oh, begitu?”

“Ya, begitu.”

“Tapi aku tidak peduli.”

“Memang kamu tidak harus peduli. Kamu harus peduli kepadaku, istrimu yang setia.”

“Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu.”

“Sudah! Diamlah! Aku sudah tahu isi perutmu.”

Waktu berlalu seperti mimpi. Lagu itu seperti terdengar sepanjang tahun.

selamat malam
duhai kekasih
kan kusebut namamu
menjelang tidurku


***

SUKAB beredar di antara martabak, tukang sekoteng, tukang balon, tukang bakso, dan tukang es. Bau minyak wangi murahan menusuk hidung, perempuan berpupur putih bertebaran di mana-mana, dengan busana yang dalam pandangan Sukab seperti tidak pernah pas. Habis semuanya baju obral sih, pikir Sukab, benangnya saja ngelewer kian ke mari. Tapi ia tidak bisa berpikir panjang soal baju, pikirannya hanya terpatok pada Tumirah. Di mana dia sekarang? Berkali-kali ia menengok pager-nya meski tidak berbunyi. Namun tiada pesan apa-apa dari Tumirah.

Ia masih membawa-bawa bunga itu di tangannya. Tubuhnya terus melindungi bunga itu dari desakan orang-orang yang memenuhi lapangan, seolah-olah ia sedang melindungi Tumirah sendiri, sampai ia tiba di tepi panggung. Malam masih muda, namun orang-orang sudah bergoyang dengan penuh perasaan. Betapa dasyatnya dangdut itu merasuki jiwa mereka. Dangdut itu bagaikan telah menjelma suatu aliran di mana mereka bisa membebaskan jiwa mereka berenang-renang di sana. Lihatlah wajahnya. Lihatlah matanya. Orang-orang yang larut dalam buaian, bergoyang dan bergoyang. Bagaikan tiada lagi yang lebih indah selain dangdut. Bagaikan tiada lagi yang lebih membahagiakan selain dang-dut-dutdutdut.

“Sukab, ayo turun!”

“Nanti!”

Rembulan yang pucat bagai ikut bergoyang. Penyanyi dangdut itu, dengan baju panggung terbuka dan belahan di dada maupun di paha yang mendebarkan, seperti menari di atas awan. Ia seperti menyanyi di atas sebuah perahu, dan perahu itu mengembara di langit yang kelam. Sesekali panggung itu penuh dengan asap, lampu berpijar-pijar, dan penyanyi itu berputar-putar. Orkes menghentak menggugah kebinalan. Sukab sudah kebelet bergoyang, tapi malam itu ia hanya akan mempersembahkan dirinya untuk Tumirah.

Ditatapnya bunga yang dibawanya. Ia tahu dirinya sudah terlanjur mencintai Tumirah. Sesuatu yang telah diketahuinya hanya akan membawa malapetaka.

“Jangan terlalu sering bermimpi Sukab, belajarlah berbahagia dengan apa yang kamu miliki saja. Cinta adalah soal yang bisa menjadi pelik, tapi ia juga bisa menjadi begitu sederhana, kalau kamu bisa belajar hidup dengan apa adanya.”

Siapakah yang mengatakan itu kepadanya? Sukab sudah lupa. Dalam kehidupannya sebagai pengantar bunga, sudah begitu banyak pembantu rumah tangga ditemuinya di pintu pagar.

“Ini bunga untuk siapa?”

“Itu ada tulisannya.”

“Maaf, saya tidak bisa membaca.”

“Jadi, kamu juga tidak bisa membaca tulisan ini : dengan cinta?”

“Maaf, saya tidak bisa membaca, tapi saya tahu bahasa bunga.”

“Kalau begitu, ini ada bunga lain untuk kamu.”

“Dari siapa?”

“Dari hati saya.”

“Oh, di situnya punya hati toh?”

“Lha iya, masak cuma punya pager doang?”

“Baik betul kamu.”

“Ah, itu biasa, dengan semua orang saya begitu.”

“O ya? Kalau begitu saya tidak istimewa dong?”

“Semuanya istimewa, semuanya luar biasa.”

Begitulah kehidupan Sukab, dari pagar ke pagar. Kadang ia cuma berdiri di luarnya. Kadang melompatinya. Sukab memang tidak pernah berterus terang, bahwa Tumirah baginya adalah segala-galanya. Sampai pada suatu malam, malam Tahun Baru, di mana segala-galanya telah menjadi lain.

Seperti masih terngiang lagu yang satu itu.

gelisah hatiku
karena kau jauh dariku
tak lelap tidurku
karena terbalut rindu

Sudah puluhan kali pager diperiksanya meski tidak berbunyi sama sekali. Tiada pesan secuil pun dari Tumirah.

adakah rindu
di dalam hatimu
seperti diriku
merindukanmu

Malam Tahun Baru akhirnya lewat. Terompet kertas telah lama ditiup dan kini berserakan di tanah yang becek. Malam masih sama seperti beribu-ribu malam yang lain. Sunyi dan kelam, bulan yang pucat menggantung di awan.

Lapangan sudah kosong sekarang. Malam merayap menuju hari pertama di tahun yang baru. Tapi apalah yang sebenarnya baru? Apalagi yang masih bisa baru di bumi yang tua ini? Memang begitu banyak perubahan, namun semua itu tidak mengubah apa-apa bukan? Masih juga kekecewaan dan kepahitan yang lama. Sukab masih memegang bunga itu, duduk sendirian di panggung yang kosong. Kakinya bergelantungan bergoyang-goyang. Matanya hampa menatap jejak-jejak di tanah becek bekas orang berjoget.

Jari tangannya sudah pegal memegang bunga itu, yang tampaknya kini sudah tidak bisa menyampaikan apa-apa lagi. Tidak bahasa bunga, tidak juga bahasa cinta. Untuk beberapa lama ia masih berharap Tumirah akan muncul dari balik kegelapan, dengan kain dan kebayanya yang memang selalu merah, dengan rambutnya yang terurai liat melambai-lambai ditiup angin malam. Ia masih berharap Tumirah akan muncul dan berkata, “Maaf, aku terlambat.” Namun tiada seorang pun muncul dari kegelapan yang mana pun.

***

HARI menjelang fajar. Sukab melangkah pulang sambil berdendang sendiri.

selamat malam
duhai kekasih *)

Di depan rumah, ia melihat istrinya, yang sudah menyiapkan warungnya seperti setiap dini hari yang lain. Istrinya merokok, seperti biasa selalu mengenakan kain dan kebaya hijau, dengan rambut digelung, dengan kaki tidak bersandal. Istrinya selalu bercakar ayam. Dalam cahaya lampu petromaks, Sukab melihat istrinya seperti seorang wanita lain.

“Kamu ketemu Tumirah kan?”

“Tidak, aku mengantar bunga.”

“Untuk siapa?”

“Untuk kamu.”

Ia memberikan setangkai bunga merah terlindungi plastik yang sejak tadi dibawanya. Istrinya meletakkan bunga itu di sebuah botol kosong.

“Sudah lama kamu bekerja sebagai pengantar bunga,” kata istrinya, “tapi baru sekarang kamu memberi bunga untuk istrimu.”

Sukab hanya tersenyum masam. Ia mengganti pakaian dengan sarung, dan langsung tertidur di atas amben. Sampai detik itu ia belum sadar sama sekali, betapa beruntungnya seorang lelaki ketika mendapatkan istri yang setia.

Taman Manggu, Minggu 12 Januari 1997

Catatan:
*) Syair lagu dalam cerpen ini diambil dari lagu Selamat Malam, ciptaan Evie Tamala, yang juga menyanyikannya sendiri.



Sumber : Kompas, Minggu, 30 Maret 1997

No comments: