Saturday, 4 December 2010

BERTANI MANDIRI : Gunretno, Jembatan Sedulur Sikep

BERTANI MANDIRI : Gunretno, Jembatan Sedulur Sikep



Hidup Gunretno (45) adalah sebuah pembuktian. Olok-olok serta stigma negatif yang sering kali ditimpakan kepada Komunitas Sedulur Sikep menjadi cambuk untuk menyatakan, ”Sanajan ora sekolah aja nganti kalah”.

Tanpa mengenyam pendidikan formal, Gunretno kini menjadi Ketua Kelompok Kerja Forum Karst Sukolilo untuk penyelamatan Pegunungan Kendeng yang anggotanya terdiri atas para profesor dan doktor lima universitas.

Ketika ditanya tentang apa saja yang dilakukannya bagi Sedulur Sikep ataupun dalam skala luas bagi petani di Pati, Jawa Tengah, Gunretno tidak segera menjawab. Dia justru meminta Kompas melihat hasil kiprahnya berinteraksi bersama Komunitas Sedulur Sikep, berbincang dengan petani Sukolilo, serta menyusuri Pegunungan Kendeng. Pembuktian lebih penting daripada sekadar klaim.

Berulang kali dalam setiap kesempatan perbincangan, tokoh muda Sedulur Sikep ini menegaskan, Sikep tidak sekadar simbol, tetapi tindakan. Berangkat dari pemahaman itu, Gunretno mulai melangkah dan mengajak komunitasnya berkiprah bagi masyarakat. Sedikit demi sedikit, Komunitas Sedulur Sikep membuktikan eksistensi dan kiprah mereka. Tidak sekadar dikenal dari simbol mereka berupa pakaian hitam-hitam dan ikat kepala udeng.

Nama Gunretno makin mencuat ketika menyatukan warga yang mayoritas bukan anggota Komunitas Sedulur Sikep untuk menolak pendirian pabrik semen yang diyakininya akan merusak lingkungan dan lebih dari 172 mata air di Pegunungan Kendeng. Proses penolakan itu kini sampai pada pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung. Seperti terlihat pada malam pergantian tahun 2009 ke 2010, Gunretno masih terus menjalin keakraban antarwarga dengan menggelar pertemuan di Omah Kendeng yang sengaja dibangun tanpa semen.

”Nyeleneh”

Di Komunitas Sedulur Sikep, Gunretno sempat dianggap nyeleneh. Dia sering kali membuat gebrakan yang oleh Sedulur Sikep dianggap tidak wajar, tetapi akhirnya bisa diterima. Dia, misalnya, mengawali dengan mengajak Sedulur Sikep atau yang biasa dikenal sebagai orang Samin untuk kembali berkelompok. Konsep berkelompok sempat menjadi tabu ketika Sedulur Sikep memilih diam pada era Orde Lama.

Sejak zaman Orde Baru, Gunretno mulai vokal mengkritik kebijakan pemerintah terkait pertanian. Kini, dia terus mengkritik kebijakan pemerintah terkait pertanian dengan menjadi Ketua Serikat Petani Pati (SPP) yang juga didirikannya. SPP yang tidak berbadan hukum ini beranggotakan petani di 12 kecamatan yang jumlahnya lebih dari 6.000 petani.

Menurut Gunretno, pola pikir petani harus diubah. Petani harus berjuang untuk mandiri. Untuk itu, dia mulai membangkitkan kembali pembangunan lumbung di lingkungan Sedulur Sikep. ”Petani kok membeli beras, padahal punya sawah dan punya padi. Ada yang kebablasan dalam melangkah dan perlu diperbaiki,” kata Gunretno.

Dari kepiawaiannya belajar dan mengorganisasi massa untuk selalu saling berembuk, Gunretno mampu mendorong petani mengubah 300 hektar lahan pertanian tidak produktif yang rawan banjir menjadi bisa panen padi dua kali setahun. Setelah diajak berembuk, petani bergotong royong membangun saluran irigasi dari aliran sumber air Pegunungan Kendeng serta memajukan pola tanam padi agar terhindar dari banjir.

Prihatin melihat 52 rumah di Desa Kasihan, Sukolilo, yang selalu terendam banjir, Gunretno pun menginisiasi pembuatan rumah pengungsian bagi 78 keluarga. Dia sibuk mengajak warga bermusyawarah sekaligus mencari bantuan pendanaan bagi warga sehingga rumah pengungsian berukuran 20 x 10 meter berdiri tahun 2005.

Sejak tiga tahun terakhir, rumah pengungsian ini selalu dihuni warga selama lebih kurang tiga bulan ketika banjir melanda. Setelah rumah pengungsian, Gunretno juga merintis pembuatan talut penguatan tebing.

Tak tinggal diam

Seperti digambarkan orang-orang di sekelilingnya, Gunretno tak pernah bisa tinggal diam tiap kali terjadi ketidakberesan. Padahal, sering kali apa yang diperjuangkannya justru bukan demi kepentingan Komunitas Sedulur Sikep.

Gunretno sama sekali tidak mendapat keuntungan dari seluruh jerih payahnya itu. Dewan Air Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, misalnya, sempat memberi penghargaan atas kontribusi di bidang pertanian dengan berniat menjadikannya pegawai di bidang kepengurusan air, tetapi segera ditolaknya. Baginya, satu-satunya pekerjaan yang dikenal oleh Komunitas Sedulur Sikep adalah bertani.

Dalam hidup keseharian, Gunretno yang mengaku tidak pernah menghitung umur ini lebih banyak menghabiskan waktu sebagai petani. Namun, rumahnya yang masih mempertahankan bentuk joglo tidak pernah sepi dari kunjungan tamu, seperti peneliti, akademisi, warga Sedulur Sikep, ataupun petani Pati. Gunretno sekaligus menjadi jembatan bagi mereka yang ingin lebih dekat mengenal tentang Sedulur Sikep.

Sejak kecil, Gunretno harus menghadapi beragam perdebatan tentang cara hidup Sedulur Sikep. Dia sempat didatangi aparat pemerintah desa ataupun pihak sekolah agar terus melanjutkan pendidikan secara formal. Hingga kini, Komunitas Sedulur Sikep memilih belajar di rumah, tanpa mencicipi pendidikan formal. Meski tidak bersekolah, bukan berarti bahwa mereka bodoh.

Ketika menginjak remaja, Gunretno memulai hubungan dengan dunia di luar Komunitas Sedulur Sikep dengan menjadi kuli pengangkut pasir. Dia lalu menjadi kernet truk sebelum akhirnya belajar menyopir truk dan bus.

Dari modal yang diperoleh ketika menjadi sopir truk selama lima tahun, Gunretno akhirnya bisa menyewa tanah seluas 3.500 meter persegi yang digarap bersama 16 petani lain. Kini dia memiliki lahan seluas 3,4 hektar. Dengan keterampilannya menjadi sopir, Gunretno juga mengajak Komunitas Sedulur Sikep di Pati untuk mengunjungi Komunitas Sedulur Sikep lainnya di Kudus dan Blora.

Setiap anggota Komunitas Sedulur Sikep sangat terbuka terhadap teknologi. Ketika petani lain belum mengenal traktor, Sedulur Sikep bahkan sudah mampu memperbaiki traktor. Saat ini pun Gunretno memanfaatkan internet, telepon seluler, dan memantau perkembangan dunia lewat televisi.

Tanah bagi Komunitas Sedulur Sikep adalah ibarat ibu yang mengayomi dan memberi kehidupan. Untuk menjaga ketenangan petani dalam bercocok tanam itulah Gunretno selalu menyediakan diri sebagai pejuang pembela petani di garda terdepan.

”Sikap atau laku ciri khas Sedulur Sikep yang tidak boleh hilang adalah kejujuran. Impian saya cuma jangan sampai nilai-nilai Sikep hilang,” ujar Gunretno.



http://www.kaskus.us/blog.php?b=27328

No comments: