Petani & Pabrik Semen
Pro-kontra pembangunan semen tidak berbeda dari konflik-konflik pertambangan yang lain. Yakni konflik antara petani sebagai pemilik lahan dan pemerintah serta pemodal sebagai aktor utama kelompok yang mendukung pendirian pabrik.
Peningkatan kesejahteraan dan penyerapan tenaga kerja dijadikan alasan bagi kelompok masyarakat yang mendukung berdirianya pabrik semen. Bagi masyarakat Sukolilo dan Kayen serta masyarakat Pati pada umumnya, harus menelaah secara cermat. Kalaupun dengan alasan mensejahterakan masyarakat Pati pada umumnya, kemungkinan hanya sedikit tenaga kerja yang tentunya harus dengan syarat-syarat formal, seperti ijazah, umur dan sebagainya.
Secara umum argumen mayarakat yang menolak rencana pendirian pabrik adalah bahwa proses pembangunan pabrik semen akan menggusur mata pencaharian rakyat yang notabene adalah petani. Kerusakan alam yang akan diakibatkan pembangunan pabrik semen tentu akan menyebabkan kerugian yang tidak terhingga bagi rakyat Pati.
Pembangunan pabrik semen akan mematikan sumber-sumber mata air yang ada di sekitar pegunungan kendeng dan merusak keseimbangan alam. Lahan-lahan produktif yang selama ini bertumpu pada sumber-sumber mata air tersebut akan terkena imbasnya dan mengering. Belum lagi permasalahan bencana ekologis yang setiap saat bisa terjadi karena kerusakan lingkungan yang diakibatkan pabrik semen. Polusi yang ditimbulkan juga akan mengganggu kesehatan dan semakin memperparah kesengsaraan rakyat.
Selain ancaman berkurangnya sumber mata air dan potensi terjadinya bencana ekologis, penambangan juga mengancam kultur budaya sedulur sikep (wong samin). Pengikut ajaran saminisme dari Samin Surontiko tersebut hanya mengandalkan lahan pertanian sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Budaya sedulur sikep tidak diperbolehkan bekerja sebagai pekerja pabrik ataupun menjadi pedagang. Hal ini dikarenakan kecenderungan 'tidak jujur' ketika berprofesi sebagai pedagang. Gunretno, tokoh muda sedulur sikep menyatakan, sedulur sikep adalah salah stu komunitas yang memilih hidup sebagai petani. Hal ini memunculkan sebuah budaya yang sulit dijumpai di daerah lain di Indonesia.
Rencana Semen gresik mengancam kebudayaan ini sehingga menjadi titik awal penolakan. Persoalan utama bukan terletak pada jual beli tanah tetapi lebih pada masalah dampak lingkungan dan perlindungan budaya yang dampaknya bukan pada sedulur sikep tetapi masyarakat secara luas.
Masyarakat yang menolak pendirian pabrik semen mengorganisasi diri dengan membentuk Forim Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Penolakan diwujudkan dalam berbagai aksi, pendirian posko, pencabutan patok beton sebagai tanda calon lokasi pabrik hingga audiensi dengan stakeholders. Aksi penolakan masyarakat diwarnai intimidasi berupa somasi, penurunan spanduk dan kriminalisasi.
Pada tanggal 21 Januari 2009, Ratusan warga Kedumulyo mendatangi Kantor Kepala Desa Kedumulyo untuk bertemu dengan Kepala Desa. Warga ingin bertanya kepada Kepala Desa tentang kejelasan berita akan dibebaskannya tanah bengkok untuk pendirian Pabrik Semen Gresik. Ratusan warga yang datang kecewa karena warga hanya bisa menemui Kasi Pemerintahan (Bayan), sedangkan Suwono, Kepala Desa Kedumulyo, tidak berada di Kantor Desa maupun di rumahnya.
Setengah jam kemudian puluhan polisi datang dan diperoleh informasi bahwa beberapa ratus meter dari Kantor Desa, sedang berlangsung pertemuan warga pro-semen dengan pihak Semen Gresik dan Pemda Kabupaten Pati. Menurut berita yang diterima warga, agenda pertemuan ini adalah rencana pembebasan lahan warga dan tanah bengkok desa. Masyarakat kemudian menuju tanah bengkok dan memasang patok di tanah bengkok desa mereka. Beberapa tulisan yang juga ikut ditancapkan antara lain Tanah bengkok adalah milik rakyat.
Tanggal 22 Januari 2009, warga menghentikan enam mobil mobil Semen Gresik di dukuh Puri, sekitar 1 km dari rumah Kepala Desa. Berita ini membuat ratusan warga dari berbagai desa yang tergabung di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen datang ke lokasi penahanan mobil. warga menuntut kejelasan pembebasan lahan bengkok. Tiga belas orang SG yang ditahan ini adalah Ari Wardana, Faizal, Suntoro, Arifin, Yoyong, Maemun, Jarwanto, Suntari, Sulkhan, Eko, Maulana, Khairul, Ghaafar, dan M. Buswan.
Polisi pada jam 18.40 bertindak represif. Akibatnya warga mengalami kekerasan, rumah rusak dan 9 orang ditangkap. mereka adalah Sudarto, Kamsi, Sunarto, Zainul (Warga Desa Kedumulyo), Mualim, Sutikno (Warga Desa Sukolilo), Wanto (Warga Desa Galiran), Gunarto (Warga Dusun Kalioso), Kudus, dan Sukarman (Warga Desa Jimbaran Kec. Kayen).
Tiga orang diantaranya, kemudian didakwa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN Pati melanggar Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Penghasutan, atau Pasal 335 KUHP ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang ancaman kekerasan dan perbuatan tidak menyenangkan
6 orang lainnya didakwa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN Pati Dengan Terdakwa Agus Purwanto Bin Tolan, Mu'Alim Bin Sriyono, Sukarman Bin Kusnen, Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan, Muhammad Zainul Wafa, Dakwaan: 170 ayat (1) KUHP tentang tindak kekerasan, atau 335 KUHP ayat (1) jo. 55 ayat (1) KUHP tentang ancaman kekerasan dan perbuatan tidak menyenangkan.
Pengadilan terhadap warga dimulai tanggal 1 April 2009 dengan JPU Arestianto Simbardjo, SH dalam perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN Pati dan JPU Tulhan Yasir, SH dalam perkara Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN Pati. Sedang untuk Tim Pembela Warga dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang yang dipimpin oleh Siti Rakhma Mary Herwati, SH. Sampai dengan tanggal 20 Mei 2009, telah dilakukan sidang dengan acara pemeriksaan saksi.
http://www.primaironline.com/berita/laporan_kasus/petani-pabrik-semen
No comments:
Post a Comment