Saturday, 4 December 2010

Jabat Erat Sedulur Sikep

Jabat Erat Sedulur Sikep



Matahari berada di atas kepala saat kami memasuki Kecamatan Sukolilo. Setelah beberapa kali tikungan dan jalan menurun, sampailah kami di mulut gang menuju Dukuh Bombong.

Atas saran Hermanu, tujuan pertama kami adalah rumah Mbah Sampir. Lelaki tua berusia di atas 70 tahun yang ditokohkan oleh Sedulur Sikep di Dukuh Bombong.

Sayang disayang, Mbah Sampir ternyata tak sedang di rumah. Sebagai gantinya, istri, anak, cucu, menantu dan saudara Mbah Sampir lainnya yang membentuk puak di sekitar rumah Mbah Sampir menyambut kami dengan hangat.

"Nepangaken, pangaran njenengan sinten?"
"Saking pundi?"
"Ra� sami seger kawarasan toh?"

Begitulah selalu kalimat yang keluar dari mulut keturunan Mbah Sampir, tak kecil tak besar, tak tua tak muda. Sambil memegang erat tangan tamunya, mereka berucap dengan tegas dan lugas perihal nama dan asal tamunya, serta tak lupa harapan agar sang tamu dalam keadaan sehat wal afiat.

Selanjutnya, setelah saling berkenalan, sebagian anggota keluarga Mabah Sampir menyingkir, sebagian lainnya ada bersama kami. Salah satunya, adalah perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Gunarti, adiknya Mas Gunritno.

Gunarti perlu menyebut nama Gunritno, sebab itulah nama yang menurutnya sudah dikenal, setidaknya oleh teman-teman seperjalan saya: Beni, Agus, dan Hermanu.

Padahal, ayah Gunarti yang bernama Wargono sebetulnya juga cukup terkenal sebagai salah satu tokoh Sedulur Sikep. Sebagai orang yang baru kenal, saya tentu saja tak berani lancang bertanya mengapakah ia justru memperkenalkan nama kakak dan bukan nama ayahnya.

Umur cuma satu, buat selamanya

Setelah bertukar kabar, mulailah kami bertanya-tanya.

"Gimana kemarin, apakah Sedulur Sikep menerima dana kompensasi BBM?" tanya Mas Hermanu."Untuk soal itu, kami kalis," jawab Gunarti. Mas Hermanu langsung menerjemahkan istilah kalis. Katanya, kalis itu adalah seperti daun keladi yang tak basah oleh air yang ada bersamanya. Menurut Gunarti, lebih baik dana kompensasi itu diberikan kepada warga lainnya yang lebih membutuhkan.

Gunarti mengatakan, kendati warga Sedulur Sikep cukup berat menanggung beban hidup lantaran semua harga kebutuhan naik, tapi ia dan Sedulur Sikep lainnya masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, ujar Gunarti, sawah yang ia harapkan bakal memberinya berkarung-karung gabah bulan depan, ternyata terendam banjir.

Obrolan pun.. ah ya, saya hampir lupa, "obrolan" adalah kosa kata yang paling dihindari Sedulur Sikep untuk sebuah perbincangan. Sedulur Sikep lebih suka menyebut perbincangan dengan istilah rembugan. Sebab katanya, rembugan itu adalah perbincangan yang akan menghasilkan sesuatu. Sedangkan ngobrol, lebih banyak menghasilkan kesia-siaan.

Dari pengertian ini, karenanya Sedukur Sikep senantiasa serius jika diajak berbincang-bincang. Seperi di siang itu. Gunarti pun dengan seksama menyimak pertanyaan-pertanyaan saya dan teman lainnya.

"Maaf, umur Mbak berapa sekarang?"
"Umur saya satu, buat selamanya," jawab Gunarti.
Mendengar jawaban Gunarti, saya pun jadi salah tingkah. Saya mulai bertanya kepada Mas Hermanu, bagaimana caranya menanyakan soal umur kepada Sedulur Sikep.

"Waktu anda lahir, kira-kira pas zaman apa ya Mbak?" tanya saya setelah mendapat bisikan dari Mas Hermanu.
"Menurut kedua orang tua, saat menikah saya berusia 16 tahun. Sekarang usia anak saya yang pertama sudah 16 tahun, jadi kurang lebih 29 tahun," jawab Gunarti.

Anda yang belum mengenal Sedulur Sikep, boleh jadi akan berprasangka yang macam-macam mendengar penuturan Gunarti. Padahal, ujar Gunarti, mengapa para Sedulur Sikep selalu menjawab begitu tiap kali ditanya berapa umurnya, adalah karena semata mereka takut berbohong.

"Bagaimana saya bisa menjawab dengan tepat kalau saya tidak tahu apa-apa saat saya lahir?" tambah Gunarti.
Hmm... sebuah logika yang tak terbantahkan bukan?

"Sekarang kegiatan Mbak Gunarti apa?" saya melanjutkan pertanyaan.
"Tiap hari saya pergi ke sawah. Hari Minggu saya ke pasinaon..."
"O, jadi guru juga toh?"
"Ah tidak. Saya nggak mau disebut guru. Guru itu kan digugu lan ditiru. Sementara saya, belum tentu perbuatan saya bisa digugu (dipercaya) dan ditiru," ucap Gunarti merendah.

Pendeknya, lanjut Gunarti, yang penting dirinya bisa bermanfaat buat orang lain. Itulah sebab, tiap hari MInggu, sekitar 15 anak-anak Sedulur Sikep mendapat pengajaran dari Gunarti tentang baca dan tulis serta budi pekerti.

Kegiatan belajar mengajar ini, menurut Gunarti, dimulai sejak anak-anak
mulai berpikir dan bertindak. "Bukankah anak bisa jalan, bisa bicara, itu orang tua yang mengajari. Karenanya, apabila kita ingin anak-anak kita berperilaku baik, ya harus diajari sejak dini," tutur Gunarti.

"Yang utama dari pembelajaran itu adalah mebcike kelakuan (meluruskan perbuatan). Sebab kita kerap keblasak-keblusuk (tersesat)," tandas Gunarti.

O ya, perlu Anda ketahui, wahai pembaca yang budiman, anak-anak Sedulur Sikep itu memang tidak bersekolah secara formal. Nah, orang semacam Gunarti ini, karena dipandang pintar, maka dia berkewajiban membagi ilmunya kepada anak-anak dari keluarga Sedulur Sikep.

Buat Sedulur Sikep, ada dua hal yang mereka hindari dalam hidup. Yakni, bersekolah (formal) dan berdagang (mencari margin). Sekolah, kata mereka, membuat orang jadi pintar. Setelah pintar, manusia bisanya cenderung membohongi sesamanya. Begitu juga dengan berdagang. Biasanya, dalam mencari untung para pedagang itu suka mengabaikan nilai-nilai kejujuran.

Karena itu, profesi yang dipilih oleh Sedulur Sikep adalah bertani. Jika pun harus menjual hasil pertaniannya, Sedulur Sikep biasanya akan berpatokan pada harga yang berlaku di masyarakat.

Makan siang dengan nasi jagung

Meski sudah diganjal soto bangkong di Semarang pagi tadi, toh perut langsung keroncongan manakala mata melihat sajian yang digelar di atas meja di rumah Mbah Sampir.

Di meja kini ada nasi jagung, botok, lodeh terong, tempe goreng, goreng ikan kutuk, dan telor goreng. Setelah tuan rumah mempersilakan kami menyantap hidangan, kami pun secara bergantian mengambil hidangan yang tersaji.

Saya dan Franky mengambil nasi jagung plus botok yang di dalamnya terdapat anakan ikan kutuk. Rasanya...hmmm... yummy betul. Lain benar rasanya dengan masakan orang Jakarta yang sudah terkontaminasi dengan unsur kimia sejak masih ditanam hingga ketika dimasak.

Inilah kiranya rasa makanan yang dihasilkan dengan cara yang berbeda dengan masakan kebanyakan. Bahkan sejak sebelum padi ditanam hingga setelah padi dipanen, mereka selalu mengupayakannya dengan doa atau biasa disebut dengan istilah brokohan. Tujuannya, ujar ayah Gunarti (Wargono) untuk kebaikan manusianya dan juga kebaikan yang ditanam.

Perihal sajian di rumah Mbah Sampir itu, perlu Anda ketahui juga, adalah salah satu cara Sedulur Sikep menghormati tamu-tamunya. Oleh karena itu jangan heran, jika sekali waktu Anda berkunjung ke keluarga Sedulur Sikep, selain disuguhi minum dan nyamikan, Anda juga akan disuguhi makan.

Makanya saat lepas dari Semarang Mas Beni wanti-wanti, siapkan perut Anda sebelum datang ke rumah para Sedulur Sikep. Sebab, bila dalam satu hari kita datang ke lima rumah, boleh jadi kita akan diberi sajian makan berat sebanyak lima kali pula.

Tentu, mereka pun tak akan memaksa Anda untuk makan hingga kenyang. Tapi, alangkah baiknya jika Anda merasakan juga apa yang mereka hidangkan sebagai simbol penghormatan terhadap tuan rumah.

"Memangnya Mbah Sampir punya kolam ikan ya Mbak," tanya saya kepada Mbak Gun.
"Ah, nggak," jawab Gunarti.
"Trus ikan ini dari mana?" sambung saya.
"Dari sawah."
"Maksudnya, piara ikan di sawah?"
"Bukankah di mana pun ada air, di situ selalu ada ikannya," ujar Mbak Gun sambil tersenyum.

Ah, kembali saya tertohok oleh logika yang tak terbantahkan dari Mbak Gun. Coba bayangkanlah..., ikan dan air..., bukankah mereka bagian dari semesta yang mestinya memang berpasang-pasangan?

Sedang saya merasai bolak-balik ketohok oleh ucapan Gunarti, mendadak Mbah Pasmi (istri Mbah Sampir) berucap, "Tambah lo, Mas..."

Sebelum saya mengiyakan atau menolak, tiba-tiba saya ingat pesan Mas Beni supaya jangan kelewat kenyang makan di satu tempat. Sebab setelah ini, bisa jadi tiga atau empat rumah bakal kami kunjungi lagi.

He he he..., demi menghormati tuan-tuan rumah yang bakal saya kunjungi, saya pun mengekang tawaran Mbah Pasmi dengan ucapan "maturnuwun". Padahal..., botok dan nasi jagungnya itu...hhmmm, enaaak tenan. Sungguh.



http://www.infoanda.com/linksfollow.php?li=www.kompas.co.id//gayahidup/news/0601/30/170845.htm

No comments: