Monday 20 December 2010

Komuniti Samin

Komuniti Samin



Di beberapa kalangan, komunitas “Samin” distereotipe-
kan sebagai sosok yang polos, banal, dan
tidak jarang dicitrakan sebagai sosok “keras kepala”.
Bahkan, umpatan 'dasar samin' kadang terungkap bagi
orang-orang yang nyeleneh.
Tetapi tidak bagi mereka yang mengikuti acara Ruang
Rabu Program Magister Lingkungan dan Perkotaan
(PMLP) UNIKA Soegijapranata, Rabu (28/5) lalu di
teater Thomas Aquinas. Kala itu, pihak penyelenggara
mengundang Gunretno sebagai salah satu narasumber,
di samping Khairon. Gunretno adalah salah satu
generasi muda Sudulur Sikep (samin). Siapapun yang
mampu menangkap makna bahasa Jawa akan dengan
cepat menyimpulkan sosok Gunretno yang
sesungguhnya. Dengan bahasa Jawa-nya yang ngokokhas
Sedulur Sikep, artikulasi Mas Gun (begitu ia biasa
dipanggil) sangat sistematis. Bicaranya pelan, datar,
namun memiliki tingkat presisi yang sangat cerdas di
dalam memilih, mengunyah setiap kata yang dia
utarakan.
Di awal pembicaraannya, ia mengakui bahwa banyak orang yang
tidak mengetahui tentang komunitasnya. Dan tak jarang pula orang
mengganggap dia dan komunitasnya sama halnya dengan suku
pedalaman yang notabene-nya tidak mengakui adanya agama.
“Kadang wong rak ngerti sedulur sikep. Sedulur sikep sering dibilang
nyeleneh, kafir,” ungkapnya.
Bahkan menurutnya, dalam sebuah penelitian dari sebuah
perguruan tinggi negeri di Semarang, komunitas sedulur sikep
dianggap terisolir kultural. Padahal, baginya, gambaran komunitas
hanya masalah tata cara hidup yang dipilih komunitasnya. “Padahal
iku bagian seko tata cara. Iku pilihan urip,” tambahnya.
Menurutnya, Komunitas ini dipelopori oleh seorang petani Jawa,
Samin Surosentiko dan mulai dikenal sebelum hari kemerdekaan
Indonesia. Kala itu, Samin bisa dibilang aktivis yang getol melawan
Belanda dengan menolak untuk membayar pajak. “Akhirnya,
kebanyakan londo itu ditolak karo sedulur sikep,” lanjutnya. Samin
sendiri meninggal dalam masa pengasingan di kota Padang,
Sumatra Barat pada tahun 1914.
Beberapa pemikiran yang lebih kritis dari orang berpendidikan pun
sempat keluar dari mulutnya. Termasuk tentang bukti akta tanah.
“Ditulis itu karo rak diucapke iku rak muni,” tandasnya. Atau juga
saat salah satu harian umum lokal Jawa Tengah yang memuat
ketidakbenaran informasi tentang kasus pembangunan pabrik
semen gresik. “Sing wong akeh nolak itu (pembangunan pabrik
semen gresik di desa Sukolilo-red) rak mlebu Suara Merdeka. Sing
mlebu malah wong siji yang setuju mau. Yo mungkin kesel (capek)
nekonin wong akeh,” lanjutnya. (dies)

No comments: