Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ : Potret Pelayanan Pastor Indonesianis
Dia seorang pastor yang sering dijuluki “Kasman” atau bekas Jerman yang sangat Indonesianis. Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, ini akrab dipanggil Romo Magnis. Pelayanannya sebagai pastor (rohaniawan Katolik) melahirkan kecintaannya pada Indonesia. Dia pun menanggalkan kewarganegaraan Jerman beralih menjadi warga negara Indonesia. Guru Besar Filsafat ini dapat bergaul dengan siapa saja tanpa batas sosial, agama dan golongan. Dia pun disenangi semua orang!
Hampir duapertiga usia pria kelahiran Eckersdorft, Jerman 26 Mei 1936, ini dihabiskan di Indonesia. Datang dengan motivasi tunggal berkarya melayani melalui Gereja Katolik di Indonesia, sebuah negeri yang diketahuinya sangat indah dan menyenangkan. Sudah sejak 29 Januari 1961 dia tinggal menetap di Indonesia. Ditahbiskan menjadi imam atau pastor tahun 1967 di Yogyakarta. Kemudian tahun 1977 menjadi warga negara Indonesia, setelah menunggu tujuh tahun proses pengurusannya. Dia tak pernah menyesal memilih menjadi warga negara Indonesia. Kemudian sejak 1 April 1996, dia menjadi guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Franz Magnis-Suseno, SJ adalah anak sulung dari enam bersaudara dari sebuah keluarga bangsawan Jerman. Dia lahir pada tanggal 26 Mei 1936 di Eckersdorf, Silesia, kabupaten Glatz, sebuah daerah Jerman paling timur yang dahulu menjorok sampai ke daerah yang kini bernama Polandia. Semasa kanak-kanak, bersama keluarga dia pernah mengalami situasi yang sangat buruk akibat Perang Dunia (PD) II.
Daerah Jerman bagian paling timur itu, sesudah PD-II dipotong lalu diberikan seperlimanya kepada Polandia dan sisanya kepada Uni Soviet. Sedangkan, seluruh penduduk 9 juta orang Jerman dari situ diusir paksa ke Jerman Barat. Franz Magnis, seorang bangsawan anak sulung yang belum genap berusia 10 tahun bersama seluruh keluarga harus lari dari kejaran tentara Uni Soviet menuju ke Cekoslovakia Barat, dan dari situ kemudian melarikan diri lagi menuju Jerman Barat. Mereka, bersama 9 juta warga Jerman lainnya harus kehilangan segala sesuatu harta benda kepunyaan. Sebuah perjuangan yang sangat sulit dan melelahkan.
Dia bersama keluarga lalu menetap sekitar 80 kilometer di sebelah selatan kota Frankfurt. Mereka memilih tinggal dan menetap ke Jerman bagian barat yang berada di bawah pengawasan tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Jerman Raya yang dahulu berbentuk kerajaan mencoba mengubah diri menjadi negara demokrasi dan memunculkan dua partai terbesar, yakni partai Nazi dan partai komunis. Partai Nazi pimpinan Adolf Hitler berkuasa sebagai pemenang pemilihan umum, namun kemudian berubah muka menjadi otoriter. Pemerintahan Hitler ini pun menyerang dan merebut Polandia tahun 1939 yang menjadi pemicu bergolaknya Perang Dunia II. Saat itu, usia Franz Magnis masih tiga tahun. Pendaratan tentara Sekutu pimpinan Amerika Serikat di Pantai Laut Normandia pada tanggal 6 Juni 1944 menjadi titik balik kekalahan tentara Nazi Jerman, yang puncaknya terjadi setahun kemudian (1945) Nazi Jerman menyerah kalah perang.
*****
Selain keluarga bangsawan, keluarga Franz Magnis juga tergolong keluarga rohaniwan yang sangat Katolik. Setelah berusia 19 tahun (1955), dia menyelesaikan pendidikan di Humanistisches Gymnasium, setingkat SLTA, kemudian masuk menjadi anggota tarekat Serikat Yesus (SY) atau Ordo Yesuit. Di situ dia menjadi seorang rohaniwan muda Katolik. Serikat Yesus berkarya demi gereja di seluruh dunia dan bersifat internasional. Dua tahun pertama masuk Ordo Yesuit, rohaniwan muda ini mengisinya dengan mendalami kerohanian di Neuhausen, antara tahun 1955-1957.
Semasa pendalaman itu, dia makin sering menerima dan membaca surat-surat dari para Yesuit Jerman yang sudah lebih dahulu bekerja dan berkarya membantu Gereja di Indonesia. Surat-surat itu berisi penuh pujian tentang Indonesia. Dia lalu merasakan ada sebentuk ketertarikan jika suatu saat nanti berkarya membantu gereja-gereja di negara lain, seperti Indonesia, daripada di Jerman.
Usai pendalaman kerohanian di Neuhausen, sebagaimana biasa berlaku umum di lingkungan Serikat Yesus, Franz Magnis mendalami studi filsafat di Philosophissche Hochschule, Pullach, dekat kota Munchen antara tahun 1957-1960. Pada tahun 1959 dia sudah mencapai gelar akademik Bakalaureat dalam filsafat, dan setahun kemudian (1960) mencapai Lizentiat juga dalam filsafat. Pada tahun ketiga studi filsafat itulah, tepatnya di tahun 1959, Franz Magnis secara resmi mengajukan lamaran untuk dikirim berkarya melayani gereja di Indonesia. Lamaran yang ditujukan kepada pimpinan Serikat Yesuit di Roma, itu ternyata dikabulkan.
Permohonan untuk dikirim ke Indonesia itu diajukan, dengan kesadaran yang tiba-tiba muncul bahwa bidang studi filsafat tidaklah seberapa diperlukan lagi di Jerman. Sebab di Jerman sudah banyak pakar filsafat dan di antara mereka terdapat pula beberapa anggota terkenal Serikat Yesus.
“Tetapi, barangkali saja saya bisa membantu Gereja di Indonesia. Saya telah mengikuti perkembangan Indonesia paling tidak mulai tahun 1957, ketika beberapa rekan muda Jerman setarekat berangkat ke Indonesia untuk berkarya dalam Gereja Katolik di sana. Mereka mengirim berita-berita menarik. Saya pikir, kemudian juga ternyata tidak terlalu meleset, di sana ada kebutuhan terhadap bidang-bidang ilmu yang menarik bagi saya dan belum ada para ahli untuk bidang-bidang ilmu tersebut,” kenang Franz Magnis.
Setelah mengetahui kepastian permohonannya melayani ke Indonesia dikabulkan, barulah Franz berbicara memberitahu kepada keluarga. Dia berbicara kepada ayahnya, Dr Ferdinand Graf von Magnis, kepada ibunya Maria Anna Grafin von Magnis, serta kepada seorang adik laki-laki dan keempat adik perempuannya, bahwa dia akan pergi melayani ke Indonesia.
Keluarga yang sudah tulus merelakan pilihan Franz Magnis menjadi rohaniwan, pastor tidak berkeluarga, juga merelakannya pergi melayani jauh ke Indonesia, walaupun secara manusiawi pada awalnya hati rasanya berat. Namun karena menganggap pilihan itu sebagai sebuah pengorbanan hidup terbesar atau sacrifice melayani Tuhan, mereka pun semua rela dan tulus mengijinkan Franz Magnis menempuh hidup menjadi hamba, berkarya, dan melayani Tuhan jauh di negeri orang.
Sesudah studi filsafatnya selesai ia pun berangkat menuju Indonesia. Pada tanggal 29 Januari 1961, di suatu siang, tengah hari, hujan turun namun suhu udara terasakan panas pengap, tampaklah pemuda Jerman yang berusia 25 tahun itu keluar dari pintu pesawat Superkonstelation milik maskapai penerbangan Air India, di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta.
Dalam waktu 13 bulan pertama di Indonesia, dia isi dengan mempelajari bahasa Jawa. Empat bulan terakhirnya dia habiskan di Boro, atau Kulon Progo, sebelah barat Yogyakarta. Daerah ini adalah sebuah desa dengan suasana lingkungan Jawa yang murni terletak indah di kaki gunung Menoreh. Setiap malam Franz bersosialisasi, berjalan-jalan mengunjungi dan berbicara dengan orang-orang di setiap rumah. Tujuannya, selain bersosialisasi, juga agar bisa mempraktekkan bahasa Jawa. Masa selama empat bulan terakhir itu dirasakannya benar-benar sangat indah.
Banyak saudara setarekatnya yang berkarya di Jawa Tengah, yang masih tetap memakai bahasa Jawa sebagai bahasa percakapan dan kebanyakan mereka memang orang Jawa, selalu menganjurkan kepada setiap orang setarekat yang baru datang dari luar negeri, seperti Franz Magnis, untuk terlebih dahulu belajar bahasa Jawa. Pertimbangannya, bahasa Indonesia akan bisa dipelajari dengan sendirinya. Sedangkan, jika sudah bisa berbahasa Indonesia biasanya akan malas belajar bahasa daerah yang begitu rumit. Dia pun menurutinya. Sesudah itu, dia lalu belajar mendalami bahasa Indonesia kurang lebih empat bulan lamanya.
Dengan demikian Jawa, bahasa Jawa, dengan segala sesuatu yang tercakup di dalamnya menjadi pintu masuk bagi Franz ke Indonesia. Identitas Indonesia secara hakiki diresapinya dalam (bahasa) Jawa. Sedemikian hebatnya sehingga dialek bahasa Indonesianya sangat diwarnai bahasa Jawa. Dia sangat lancar berbahasa Jawa dan bahasa Indonesia, sehingga orang kadang-kadang nyeletuk, ‘kok medog amat’.
Tugas pelayanan pertamanya di Indonesia dimulai tahun 1962 hingga 1964 sebagai guru agama di Kolese SMA Kanisius Jakarta, merangkap sebagai Kepala Asrama Siswa. Dalam kurun waktu tiga tahun itu dia telah mengenal 500 lebih remaja dan tahu nama mereka. Dalam ingatan Franz masih segar terpatri, dia sebagai guru muda mengenakan jubah putih bersama para siswa sekolah SMA Kanisius pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus berjalan dalam barisan di depan Istana Presiden dan menyanyikan lagu-lagu untuk Presiden Sukarno. Hal itu pernah Franz lakukan selama tiga tahun berturut-urut bersama siswa dari sekolah-sekolah lain.
Franz kemudian meninggalkan SMA Kanisius dan para siswanya sebab dia dikirim belajar teologi ke Yogyakarta. Antara tahun 1964 sampai 1968 dia masuk ke Institut Filsafat Teologi Yogyakarta. Tahun-tahun studi ini sangat penting dan menentukan sebagai masa pembentukan pemahaman dan identitas keindonesiaannya. Di bangku kuliah itu, dia hidup dan studi bersama para mahasiswa Yesuit lainnya.
Masa studi itu memberikannya sebuah kesempatan, untuk secara amat leluasa terus berhubungan dengan orang Jawa. Kesempatan untuk mempunyai komunikasi yang tidak dirusak oleh hubungan kewibawaan seperti, antara pastor berhubungan dengan umatnya, dan antara orang ahli luar negeri dengan orang pribumi bukan ahli. Di masa itu pulalah Franz makin mengenal betul bagaimana kodrat asli Jawa.
Namun, sesudah kurang lebih satu tahun sampai empat setengah tahun bermukim di Indonesia, dia sempat merasa mengalami goncangan budaya atau ‘culture shock’. Dia akhirnya dapat melampaui krisis goncangan budaya tadi, karena hubungan dengan mahasiswa lain begitu bagus. Berbagai hal tentang kodrat asli Jawa, dalam batas tertentu, dapat dia bicarakan dengan rekan mahasiswa Jawa lain secara menarik. Akhirnya, dia berkesimpulan bahwa dirinya telah berada di tempat yang benar, dan bahwa setiap orang pada umumnya menerimanya secara baik. Kesimpulan itu dikukuhkan oleh sikap positif terus-menerus yang ditunjukkan oleh saudara-saudara orang Indonesia yang seordo dengan dia.
Bukti lain, atasannya di Indonesia dalam Serikat Yesus serta di gereja, berulangkali menyerahkan posisi-posisi penting yang penuh tanggungjawab kepada Franz Magnis. Hal itu menguatkan keinginan hatinya untuk terus maju menjadi orang Indonesia tanpa merasa sesal.
Dia berpendapat, barang siapa tidak mengalami ‘culture shock’ semacam yang dia alami -- katakanlah saat di mana orang menemukan di balik orang Jawa yang tampil ramah, sering tersenyum dan bermaksud baik itu adalah orang Jawa yang sebenarnya -- maka orang itu pasti tidak akan mampu tinggal lebih lama di Indonesia atau hidup bersama orang Indonesia.
Pada tahun 1967, setahun sebelum menyelesaikan studi teologi di Institut Teologi Filsafat Yogyakarta (1968), dalam usia 31 tahun, Franz ditahbiskan menjadi imam atau pastor di Yogyakarta. Dia resmi menjadi Romo dan mulai akrab dipanggil Romo Magnis. Kedua orang tuanya, ayah dan ibu, datang dari Jerman, khusus melihat pentahbisan Romo Magnis.
Kehadiran ayah-ibunya itu sangat tidak disia-siakan. Dia menghibur keduanya. Selama tiga minggu mereka tinggal di Indonesia terutama Yogyakarta. Mereka bersama Franz Magnis giat keliling Indonesia hingga mendapat kesan baik tentang Indonesia. Mereka melihat langsung Indonesia sebagai negara yang bagus dan indah, tidak lagi membayangkan macam-macam. Terutama, ayah dan ibunya itu, tidak lagi takut anak sulungnya yang telah dipersembahkan kepada Tuhan berada dalam bahaya.
Dirikan STF Driyarkara
Keinginannya mendalami filsafat semasa rema ja di jerman, di kemudian hari ternyata bak pucuk di cinta ulam tiba. Setelah tiba dan mulai berkarya di Indonesia, pada tahun 1968 para atasan Indonesianya menugaskan dia untuk mengajar filsafat. Mereka tidak tahu-menahu bahwa Franz Magnis sejak semula dari Jerman mempunyai motivasi ke arah itu.
Kemudian tahun 1969 atasan Indonesia memberi tugas baru kepada Franz Magnis, untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi filsafat di Jakarta bersama beberapa saudara lain dan dengan Ordo Fransiskan. Tugas itu meneruskan karya almarhum ahli filsafat Profesor Nocolaus Driyarkara, SJ.
Usul pendirian sekolah filsafat sebelumnya sudah pernah dimunculkan tahun 1967 oleh Profesor Slamet Iman Santoso kepada Pater Soenarja, seorang Provinsial Serikat Yesus Indonesia. Slamet Iman Santoso pada tahun 1967 adalah Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dia kawan lama Pater Driyarkara. Driyarkara ikut memberikan kuliah di Fakultas Psikologi UI.
Sekolah tinggi itu mereka beri nama Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, diproyeksikan harus menjadi pusat studi dan penelitian falsafah di Jakarta. Para Yesuit, Fransiskan muda, dan calon imam harus belajar di sekolah ini. Sejak permulaan Franz Magnis sudah menggariskan perguruan tinggi ini terbuka bagi para mahasiswa dari semua agama dan kepercayaan.
Untuk memberikan kuliah-kuliah psikologi pada semester permulaan terhadap delapan mahasiswa di ruang tamu biara Ursulin, di Jalan Haji Agus Salim ketika itu, Franz Magnis berhasil memboyong seorang bekas murid Pater Driyarkara yakni Doktor Fuad Hasan, orang yang di kemudian hari dipercaya Pemerintah RI menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebanyak dua kali antara tahun 1969 hingga 1971 dan tahun 1973-1985, Franz Magnis menduduki jabatan sebagai Sekretaris Akademis STF Driyarkara. Ada waktu yang terpotong, yaitu antara tahun 1971 hingga 1973 yang dia isi dengan mendalami studi filsafat, teologi moral, dan teori politik di Ludwig-Maximilians, Universitat Munchen, Jerman hingga mencapai gelar doktor filsafat di tahun 1973. Dia meraih gelar doktor dengan predikat summa cum laude atau sangat memuaskan dengan karya tulis mengenai Karl Marx.
Sebagai doktor, sejak tahun 1976 hingga tahun 1990 Franz Magnis diangkat menjadi dosen luar biasa di Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
******
Pada tahun 1970 atau tepat sesudah sembilan tahun hidup menetap di alam Indonesia dirasakan sudah cukup waktunya bagi Franz Magnis untuk mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia. Dia datang ke Indonesia awalnya dengan motivasi membantu gereja. Semua persyaratan dia penuhi dan dibutuhkan waktu tujuh tahun untuk dikabulkan. Sejak mengajukan permohonan dia sudah incharge menjadi warga negara Indonesia.
“Tahun 1977 saya disumpah, dan menyerahkan paspor Jerman saya ke Kedutaan Jerman,” ujar Franz. Nama baru dia adalah Franz Magnis-Suseno, SJ, ada tambahan nama Suseno di dalamnya. Bersamaan itu dia menanggalkan kewarganegaraan lama Jerman, sebuah negeri yang selama 24 tahun pertama hidupnya berkesempatan membentuk diri Franz Magnis. Dia tidak pernah menyesali pilihan terbaik menjadi warga negara Indonesia sebab langkah penting itu dia lakukan dengan kesadaran penuh.
Tentang kecocokan dirinya dengan Indonesia, dia berkomentar, “Kalau kita sendiri tidak kerasan lebih baik pulang daripada terus tidak bisa tenang, resah, dan sebagainya. Begitu pula kalau jemaat, umat, atau masyarakat terasa susah dengan kita, ya, juga lebih baik pulang. Tapi, kesan saya bahwa orang di sini tidak terlalu susah dengan saya. Dan saya sendiri sangat tertarik mendapat kewarganegaraan baru,” kata Romo Franz Magnis.
Bagi Franz Magnis Indonesia adalah sebuah negara yang amat mengasyikkan dan menarik. Dia belum pernah menyesal mengambil keputusan untuk datang ke Indonesia. Termasuk keputusan untuk menjadi warga negara Indonesia. Dia tertarik akan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Demikian pula budayanya yang sangat menyenangkan. Dia paling kenal betul dengan budaya tradisional Jawa. Sebab dia masuk ke Indonesia lewat “pintu” Jawa, lewat kultur Jawa. Dia sangat kerasan dengan budaya Jawa. Keberhasilan Franz Magnis menjadi “orang Jawa” adalah salah satu alasan utama mengapa dia bersedia sekaligus senang menjadi warga negara Indonesia.
Setelah memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dia semakin akrab dengan dunia pendidikan, khususnya sebagai pengajar filsafat. Dia juga seorang penceramah laris yang suaranya didengar dimana-mana, serta penulis buku karangan ilmiah populer produktif. Sejak tahun 1975 hingga 2004 sudah 28 judul buku dia terbitkan. Itu, belum termasuk 400 judul karangan ilmiah populer. Pada tahun 2004 (sampai Juni) saja dia sudah menerbitkan dua judul buku, “Mencari Makna Rasionalitas,” diterbitkan oleh Kanisius, Yogyakarta, serta buku “Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk”, diterbitkan Obor, Jakarta.
Sejak tahun 1979-1984, dia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Psikologi UI. Tahun 1979 dia menjadi dosen tamu pada Geschwister-Scholl-Institut dari Ludwig-Maximilians-Iniversitat, dan pada Hochschule fur Philosophie, keduanya di Munchen, Jerman. Tahun 1985-1993 dia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung.
Tahun 1983-1987 dia kembali menjadi dosen tamu pada Hochschule for Philosophie, Munchen, serta pada Fakultas Teologi Universitas Innsbruck.
Di STF Driyarkara Romo Magnis pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat Indonesia pada tahun 1987-1990, pejabat Ketua STF Driyarkara tahun 1988-1990, Ketua STF Driyarkara tahun 1990-1998, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana STF Driyarkara.
Selain itu, Franz Magnis adalah dosen luar biasa pada Program Magister Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia sejak tahun 1990 hingga sekarang. Pada tahun 2000 dia menjadi dosen tamu di Hochschuke fur Philosophie, Munchen. Dan, pada tahun 2002 Franz Magnis menerima Gelar Doktor Teologi Honoris Causa dari Fakultas Teologi Universitas Luzern, Swiss.
Belakangan ini, di usia yang semakin senja dengan segudang pengalaman dan pengetahuan tentang Indonesia, dia semakin sering diundang ke Jerman menjadi pembicara berbagai seminar. Dia biasanya memberikan ceramah tentang Indonesia. Sebelumnya, dia hanya berkesempatan sekali dalam enam tahun pergi ke Jerman mengunjungi sanak famili selama beberapa bulan.
Belakangan, frekuensi kunjungan ke Jerman semakin sering dia lakukan, namun singkat-singkat saja, sekitar dua atau tiga minggu. Dalam setahun, Franz Magnis bisa berkunjung ke Jerman dua atau tiga kali untuk berbicara dalam seminar. Waktu berkunjung seminar itu, dia perpanjang untuk mengunjungi keluarga almarhum adik lelaki satu-satunya, serta keluarga empat adik perempuannya. Ayah dan ibu Franz Magnis sudah meninggal dunia.
Biasanya setiap kali dia diundang ke Jerman menjadi pembicara dalam seminar, selalu disediakan tiket pesawat berikut akomodasi oleh pihak pengundang.
Jika sudah berada di Jerman, pertanyaan yang lebih sering diajukan warga kepadanya, apakah keadaan Romo baik-baik saja, apakah kerasan tinggal di Indonesia, apakah menghadapi ancaman seperti bom meledak di dekatnya, dan sebagainya. Semua pertanyaan itu berdimensi kemanusiaan semata.
Franz Magnis selalu menjawab bahwa dia dan semua orang Indonesia barangkali sudah tidak takut bom. Sebab, bom bisa saja meledak di mana saja bukan hanya di Indonesia. “Kalau menjadi kehendak Tuhan, ya kita yang kena,” kata Romo ringan saja. “Dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia paling yang kena sepuluh,” tambahnya lagi.
Romo Magnis selalu berujar kepada warga Jerman, bahwa di Indonesia ancaman lalu lintas biasa jauh lebih berbahaya. Kemudian menyusul ancaman kejahatan kriminal biasa. “Tapi, mereka terutama, juga kadang-kadang bertanya apakah saya sebagai Romo Katolik terancam atau tidak. Saya katakan saya tidak terancam. Saya tidak mengkhawatirkan hal itu sama sekali. Dan itu tidak akan terjadi kalau kita tidak kebetulan ada di daerah yang memang perang. Justru, saya akan sangat aman dengan saudara muslim. Dengan masyarakat muslim saya selalu diterima dengan amat baik. Sama sekali saya tidak perlu takut, tidak ada itu orang karena dia seorang pastor katolik lalu dibunuh,” jelas Romo.
Setelah memperoleh tugas pertama di Indonesia mengajar pelajaran Agama di SMA Kolese Kanisius, Jakarta antara tahun 19662-1964 serta merangkap Kepala Asrama Siswa yang membuatnya mengenal dan hafal nama 500 remaja binaannya, Franz Magnis-Suseno, SJ lalu ditugaskan belajar studi teologi ke Institut Filsafat Teologi Yogyakarta, di Yogyakarta antara tahun 1964 hingga 1968. Di situ dia mulai merasakan hidup dan studi nikmat bersama dengan para mahasiswa Yesuit lainnya. Ada yang warga negara Jerman, orang Indonesia, dan sebagian besar orang Jawa.
Kesempatan hidup nikmat yang seperti demikian adalah sangat jarang diperoleh oleh orang asing. Yakni, sebuah kesempatan untuk secara amat leluasa bisa terus-menerus berhubungan dengan orang Jawa, sekaligus berkomunikasi dengan mereka tanpa dirusak oleh suasana hubungan kewibawaan seperti antara pastor dengan dengan umatnya, atau hubungan seperti antara orang ahli asing dari luar negeri dengan orang pribumi yang bukan ahli. Franz Magnis berbicara dengan semua mahasiswa dalam bahasa Jawa ngoko atau bahasa umum.
Di kampus itu dia mulai mengenal betul kodrat asli orang Jawa. Sesudah lebih dari setahun kuliah, atau tepatnya setelah empat setengah tahun bermukim di Indonesia sejak 29 Januari 1961 dia mengalami sebuah goncangan kebudayaan atau culture shock. Dia merasa orang Jawa --sementara orang Tionghoa diantara mahasiswa Yesuit lainnya lain lagi-- memiliki pendirian, komunikasi, cara memandang masalah, situasi-situasi menentukan dan sebagainya, yang sama sekali berbeda. Dia agak shock lalu bertanya dalam hati, apakah dalam suasana demikian bisa mengembangkan identitas diri.
Untunglah hubungan-hubungan mereka sesama mahasiswa, khususnya dengan mahasiswa Jawa bagus sehingga hal-hal seperti itu dapat dibicarakan dalam batas-batas tertentu. Dia dapat melampaui krisis goncangan sekaligus berkesimpulan sudah berada di tempat yang benar.
Semua orang pada dasarnya menerima dia dengan utuh. Penerimaan itu dikukuhkan dengan sikap positif yang terus-menerus ditunjukkan oleh rekan-rekan seordo orang Indonesia. Bahkan, atasan Indonesia dalam Serikat Yesus dan Gereja berulangkali menyerahkan posisi-posisi penting yang penuh tanggungjawab kepada dia. Dia lalu memutuskan untuk terus maju menjadi orang Indonesia tanpa merasa sesal.
Dia melihat bahwa orang Jawa itu sopan dan ramah. Memang benar demikian, hal itu bukan sekadar penampilan luar saja. Walau demikian, kepada orang Jawa sekali-kali tidak boleh berusaha mendesak atau menyudutkan mereka. Orang Jawa rela bekerjasama asal bisa merebut hati mereka. Hormatilah kebebasan orang Jawa untuk mengambil keputusan sendiri, jangan memaksakan diri atau memanfaatkan sikap ramah dan kesopanan mereka untuk memperoleh kedudukan yang lebih baik. Bersikap sabar menghormati kebebasan orang lain, dan menaruh kepercayaan kepadanya, adalah cara-cara yang paling baik mengembangkan hubungan-hubungan yang langgeng, positif, jujur, dan sangat memuaskan dengan orang Jawa.
Persepsi dia tentang orang Jawa terus saja berkembang. Bahkan beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1975 dia mencoba mencari apa landasan teoritis terhadap pengalaman-pengalaman empirik dia berhubungan dengan orang Jawa, yang saat itu sudah berlangsung 14 tahun. Landasan teoritis itu dia cari antara lain lewat studi literatur antropologi, sosiologi, sejarah kebudayaan, termasuk studi literatur Jawa klasik abad ke-18 dan 19. Hasilnya adalah sebuah buku berjudul “Javanische Weisheit und Ethik”, diterbitkan oleh Oldenburg di tahun 1981.
Buku itu, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Etika Jawa”, dan diterbitkan oleh Gramedia, terjual laris hingga mencapai oplag 15.000 eksemplar. Kepada Franz Magnis banyak orang Jawa lantas mengatakan, bahwa dalam buku itu mereka dapat menemukan sesuatu dari jati diri mereka sebagai orang Jawa. Malah, mereka melanjutkan, boleh dikatakan untuk pertamakali mereka sempat melihat diri dalam jarak, mereka sempat memproyeksi diri. Tujuan Magnis mencari landasan teoritis dan menerbitkan buku, itu memang dimaksudkan untuk menggambarkan sebuah “tipe ideal” seorang Jawa Tengah yang “klasik”. Dia lalu merumuskan tipe atau tipos itu secara tertulis sekaligus mengukirnya sebagai figur.
Pada tahun 1977 die resmi dinyatakan sebagai warga negara Indonesia, setelah tujuh tahun menunggu. Namanya pun “diindonesiakan” menjadi Franz Magnis-Suseno, SJ. Peristiwa itu adalah sebuah langkah penting baginya sebab ditempuh dengan kesadaran penuh. Bagi dia, menjadi warga negara Indonesia sesungguhnya bukanlah berarti penolakan terhadap masa silam Jerman dia yang, selama 24 tahun pertama adalah masa-masa pembentukan dan paling menentukan dalam hidupnya. Dia tak bermaksud dan tidak bisa menanggalkannya.
Orang-orang Indonesia pun sesungguhnya tidaklah mengharapkan dia menjadi orang Indonesia atau orang Jawa tulen. Dia, justru menjadi sangat diterima sebagai seorang “Kasman”, atau bekas Jerman. Dia yakin, setiap orang pasti tidak mampu memasuki hubungan positif dengan dunia baru jika orang itu mempunyai hubungan yang tidak beres dengan tanah asalnya semula, dengan sejarah kehidupan pribadinya, dan dengan kehidupan sosialnya sendiri. Pelarian dari masa lalu adalah jaminan yang buruk untuk suatu masa depan yang positif. Kecuali, pelarian dari masa lampau itu secara objektif menakutkan dan mengerikan sekali sehingga sungguh-sungguh sangat memerlukan awal yang baru sama sekali.
Dia merasa masa silam Jerman dengan segala sesuatu yang tercakup di dalamnya bukan sebagai beban untuk bisa mengakar di Indonesia. Malah, semakin lama dia merasakan ada jarak tertentu, termasuk jarak emosional terhadap peristiwa-peristiwa di Jerman. Sayangnya, dia menyebutkan sudah lupa sejak kapan dia mulai secara spontan mengidentifikasikan diri sebagai Indonesia ketika mengikuti penyelenggaraan kejuaraan-kejuaraan olahraga internasional.
Disebutkannya lagi, justru kombinasi antara masa silam Jerman dengan suatu identitas baru yang terus bertumbuh secara batiniah selama 40 tahun lebih, itu telah memungkinkan dia untuk memberikan sumbangan yang spesifik dan terbatas dalam upaya Indonesia membangun suatu masa depan yang manusiawi. Sumbangan itu, yang jika dilihatnya dari segi filsafat dan iman Kristiani, adalah berupa mau menjadi teman seperjalanan yang baik yang ikut dalam pencarian arah perjalanan.
*****
Tahun 1973 dia meraih gelar doktor bidang filsafat di Munchen dengan karya tulis mengenai Karl Marx. Pencapaian itu adalah meneruskan garis spesialisasi bidang studi yang sudah dia mulai hampir 15 tahun sebelumnya di Pullach, dekat kota Munchen. Dia telah tertarik dengan Teori Kritis, Etika, dan Filsafat Politik. Etika, lebih khusus lagi Etika Politik adalah bidang studi paling pokok bagi dia. Tema-tema lain, seperti yang sudah dia kuliahkan tentang masalah-masalah epistemologis fisika kwantum dan teori evolusi, harus dikesampingkan. Dengan Etika, ada keterarahan pada tantangan-tantangan aktual dalam kehidupan bersama seperti di bidang sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia yang sudah digariskan.
Beberapa orang Jerman yang tinggal di Jakarta, khususnya lewat Kedutaan Besar Jerman sangat mengenal Franz Magnis lewat karya bukunya mengenai “Etika Jawa”. Di Indonesia sendiri buku “Etika Jawa” dan terbitan lain, seperti buku “Wayang dan Kita” diterbitkan oleh Lappenas tahun 1983, di Jakarta, membawa dampak tersendiri bagi Frans Magnis. Misalnya, sejak menerbitkan buku tentang wayang rata-rata setiap tahun dia menerima undangan dan lalu ikut serta menghadiri pertunjukan wayang semalam suntuk.
Franz Magnis yang tergolong sangat “laris” memberi ceramah dalam seminar-seminar, jika ditelusuri lebih jauh semakin tampak bahwa presentasi ceramah dia cenderung semakin masuk ke tema-tema etika politik. Seperti, “Etika dan Pembangunan”, “Keadilan Sosial”, “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka”, dan tema tentang Pancasila sendiri. Kemudian, tema-tema yang menyangkut hak-hak manusia dan demokrasi, ideologi-ideologi, pembangunan dan ideologi, tanggungjawab sosial politik para mahasiswa, pemuda dan masa depan di Indonesia, makna Sumpah Pemuda, tanggungjawab sosial pers, politik dan etika, tantangan-tantangan untuk Indonesia, dan lain sebagainya. Di kalangan internal umat Katolik pun, sewaktu-waktu dia bisa memberikan tema ceramah tentang ajaran sosial Katolik, teologi pembebasan, atau tentang ensiklik-ensiklik baru dari Paus dan sebagainya.
Sebagai pembicara seminar terkemuka serta penulis buku dan artikel yang sangat produktif, Franz Magnis sangat memahami profil audiensnya. Para pembaca Indonesia, misalnya, menurutnya menuntut suatu uraian yang hati-hati, ikut merasakan, dan cocok dengan situasi dan kondisi terlebih-lebih di iklim rejim Orde Baru. Pembaca mengharapkan kritik muncul namun dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak tampak sebagai kritik.
Untuk memenuhi itu, Franz Magnis menyebutkan perlu kemampuan berjalan di atas garis sempit untuk bisa membicarakan al-hal yang diketahui setiap orang sedemikian rupa sehingga orang masih memperoleh suatu perspektif baru tetapi tanpa maksudnya menjadi terlalu jelas. “Jadi, mengatakan sesuatu dan sekaligus memberi kesan bahwa kita tidak mengatakan apa-apa,” katanya.
Namun, jika saja dia sebagai pembicara menjadi terkesan mengatakan terlalu banyak, atau apa yang dikatakannya timbul dimana-mana, terkesan terlalu sering mengatakan sesuatu sekalipun sebenarnya tidak mengatakan apa-apa. Kalau sudah demikian maka, jika ada seorang kenalan mengatakan bahwa akhir-akhir ini kok Anda memberikan banyak ceramah, itu sudah cukup untuk mengetahui sebaiknya beristirahat saja dahulu untuk beberapa lama. Atau, selama dua tiga bulan Franz Magnis membatasi diri hanya pada ceramah-ceramah mengenai etika kedokteran atau mistik Jawa.
Dalam bidang etika kedokteran atau mistik Jawa ini pernah suatu kali Franz Magnis mendapat reaksi keras. Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda dia diwawancara oleh harian “Kompas” mengenai makna serta pentingnya kebudayaan Jawa dalam kehidupan Indonesia. Pendapat Franz Magnis ini dimuat “Kompas” terpisah dengan judul besar, bahwa kebudayaan Jawa mempunyai makna khusus bagi persatuan Indonesia. Bermacam reaksi muncul bernada setuju dan membantah.
Bahkan, dua surat kabar besar “Sinar Harapan” (belakangan menjadi “Suara Pembaruan”) dan “Merdeka” mengulasnya khusus dalam sebuah tajuk rencana penuh. Keduanya mengecam keras pendapat Franz Magnis sebagai sesuatu yang merugikan persatuan bangsa. Franz Magnis sesungguhnya sadar sebelumnya, bahwa tema yang dilontarkannya itu adalah sebuah tema yang paling hangat dan dapat menyinggung perasaan. Tetapi dia menaksir kedalaman emosi yang akan muncul dan kuatnya tabuisasi tentang masalah itu.
Reaksi keras juga pernah muncul di bulan Februari dan Maret 1990, ketika Franz Magnis menurunkan satu seri tulisan terdiri empat artikel di sebuah surat kabar harian. Dua artikel pertama menganalisa implikasi perubahan-perubahan dalam komunisme internasional, yang mengulas sistem komunis secara sangat kritis. Artikel ketiga masih berkaitan, membahas teori Karl Marx, sejarah Marxisme, juga sangat kritis bahkan di kalangan rekan-rekannya terlalu negatif. Dan pada artikel terakhir atau keempat, Franz Magnis melontarkan pandangan bahwa, sosialisme sebagai harapan keselamatan berdasarkan penghapusan hak milik pribadi atas sarana-sarana produksi, adalah suatu pandangan yang sudah usang. Cuma, kali ini reaksi keras ditujukan bukan kepada Franz Magnis melainkan kepada suratkabar itu yang mendapat peringatan tertulis karena menerbitkan sesuatu mengenai ajaran Marxisme.
Setiap ceramah selalu disajikan Franz Magnis dalam gaya bicara yang “resmi”. Dia harus memperhitungkan, bahwa pada hari berikutnya terutama seusai seminar-seminar besar, materi ceramahnya itu akan ditulis dalam bentuk sebuah kalimat besar di suratkabar. Bahkan, terkadang ditulis dengan huruf-huruf tebal di atas bagian tengah halaman pertama. Padahal, kalimat itu menurut Frans Magnis sebetulnya adalah sebuah pernyataan yang sudah sedemikian umum, misalnya “Keadilan Sosial itu Perlu Diwujudkan”.
Dia, sebenarnya menjadi merasa malu melihat kalimat seperti itu ditonjolkan besar-besar seakan-akan ada kebijaksanaan khusus di situ. Sekalipun sebenarnya tidak ada apa-apa di situ, namun karena kalimat itu benar-benar dibaca oleh setiap orang maka jadilah itu menjadi isyu politik. Dan orang, seperti diri Franz Magnis, ditampilkan sebagai oknum yang memang telah mengatakan sesuatu.
Dalam kenyataan yang sesungguhnya Franz Magnis belumlah pernah mendapat kesulitan. Akan tetapi, jika memberikan ceramah dia akan selalu memperhatikan apakah ada atau tidak kehadiran pers di situ. Jika dirasakannya ada, maka dia terpaksa akan membatasi diri pada pembacaan naskah tertulis yang telah dia persiapkan dengan seksama. Padahal, jika tidak, maka biasanya Franz Magnis akan sering berbicara bebas walau tetap berdasarkan teks.
Franz Magnis memahami, di kalangan dunia pers Jerman sama sekali tidak akan pernah ditemukan pendapat seorang cendekiawan menjadi berita, apalagi di halaman pertama, kecuali pendapat politisi. Fakta itu memperlihatkan adanya perbedaan suasana keterbukaan masyarakat. Magnis Suseno menyebutkan, di Indonesia pers dapat melontarkan pandangan-pandangan dengan cukup aman dengan tidak melibatkan diri secara langsung, terserah pembaca untuk menemukan apa yang tersirat dalam yang tersurat itu.
Walau demikian pers harus selalu hati-hati sebab dalam seminar-seminar tertutup masalah-masalah dibicarakan secara terbuka. Tentang hal itu Franz Magnis berujar, “Sesungguhnya orang tak pernah mengetahui secara pasti apakah kegiatan seminar seperti itu lebih berupa pemanfaatan ruang-ruang kosong, atau apakah kami para cerdik pandai hanya meramaikan sebuah kebun binatang, yang ditinggalkan untuk kami, hanya supaya kami tetap merasa sibuk dengan sesuatu yang nampaknya penting. Mungkin, keduanya benar.”
Dalam berbagai seminar Franz Magnis seringkali mengalami peristiwa berkesan. Bahwa, dialah satu-satunya “bule” yang diundang lokakarya apa saja. Orang, benar-benar mau mendengar pendapatnya. Agar pendapatnya tetap didengar Franz Magnis sangat tahu bagaimana menempatkan diri dan tempat. Misalnya, dia selalu membawakan diri sebagai seorang Kasman atau bekas Jerman. Sehingga, apapaun pandangan serta kritik-kritiknya terhadap keadaan Indonesia tidak bersifat menggurui, tidak menunjukkan Franz Magnis mengetahui lebih, melainkan bersifat partisipatif saja.
Franz Magnis mengaku kagum dan menjadi bersemangat jika melihat betapa terbukanya lingkungan intelektual Indonesia. Dia yang “Romo” Katolik digelari oleh teman-teman Islam sebagai “Kyai Katolik”. Dia terus saja diundang oleh para cerdik pandai Islam ke ceramah-ceramah khususnya ceramah menyangkut ideologi dan filsafat modern.
Franz Magnis melihat kalangan intelektual muda Islam, khususnya dari kelompok studi filsafat dan agama, amat gandrung dan menaruh minat besar terhadap filsafat. Intelektual muda Islam itu sadar, Islam dalam 500 tahun pertama keemasannya telah menghasilkan cerdik pandai dan ahli filsafat berkelas dunia namun kemudian macet. Zaman Renaissance (masa kelahiran kembali) serta masa Pencerahan, telah mengorbitkan Eropa (dan kemudian Amerika) menjadi pemimpin kekuatan intelek zaman modern. Intelektual muda Islam itu berkeyakinan Islam hanya bisa tampil lagi sebagai kekuatan intelek di arena internasional jika filsafat dan pemikiran kritis dimekarkan kembali.
Franz Magnis punya pengalaman menarik tentang hal itu di tahun 1989. Dia menulis sebuah artikel tentang hal tersebut secara kritis di harian “Kompas”, tak lama sebelum DPR membicarakan RUU Peradilan Agama. Artikel itu menimbulkan reaksi yang sangat tajam dari kalangan Islam. Berbagai artikel tanggapan ditulis oleh para tokoh Islam, sebagian diantaranya menyinggung masalah pribadi Franz Magnis. Teman-teman Islam lantas memberitahu dia, bahwa nama Franz Magnis telah disebut-sebut dalam kotbah pagi di mesjid-mesjid. Di kelompok berbeda lain lagi yang dialami, nama Franz Magnis menjadi tabu untuk disebutkan bahkan masih berlaku hingga sekarang.
Namun dua bulan sesudah peristiwa itu Franz Magnis diundang ke seminar dua hari bertema “Filsafat Islam Persia”, di universitas Islam IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Dia diterima dengan sangat ramah. Dan ketika istirahat, para peserta muda Islam tampak ingin mengetahui langsung mengapa Franz Magnis menulis artikel demikian. Tanya jawab berlangsung dalam suasana akrab dan toleran, suasana yang hingga kini tetap bisa dirasakannya. Artikel itu dibicarakan secara santai dan tenang, tidak didiamkan begitu saja, telah membuat Franz Magis merasa gembira. Bagi dia hal itu merupakan salah satu tanda paling jelas bahwa di Indonesia, seperti pada orang Islam muda itu, toleransi bukanlah rumusan kosong.
Sebagai seorang imam Katolik dan rohaniwan, Franz Magnis-Suseno menyebutkan seluruh karyanya di Indonesia hanya mungkin terjadi kalau didasarkan iman. Dia menyebutkan dirinya bukan seorang romantikus yang entah kenapa lalu jatuh cinta begitu saja pada Indonesia. Dia juga bukan seorang good doer atau seorang penolong negara berkembang. Dia merasa terdorong untuk membantu gereja di Indonesia dan memberikan kesaksian yang ditugaskan kepadanya. Hanya saja, kesaksian iman itu tak bisa bersifat verbal dan tidak bersangkut paut dengan dengan hal mencari penganut bagi agamanya sendiri.
Dia menyebutkan, penawaran keselamatan Tuhan menurut iman Katolik tidak terikat pada keanggotaan dalam gereja yang kelihatan. Kesaksian yang menjadi panggilan setiap orang Kristen tidak berupa kegiatan mendapatkan penganut. Roh Allah sendirilah yang akan menetapkan kepada siapa saja Ia membuka hatinya. Juga apakah Ia memanggil seseorang kepada pegetahuan yang jelas dan membahagiakan tentang cinta Allah dalam Yesus Kristus. Kesaksian kristiani harus berupa usaha agar cinta dan keadilan Allah dihadirkan di dunia sekarang ini, dan terserah kepada siapa saja bagaimana mau menanggapi.
Menurutnya, kesaksian yang seharusnya diberikan oleh Gereja, sebagaimana dia melihat panggilan pribadi kepadanya, adalah kesaksian tentang cinta, perdamaian, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan akan kekuatan Allah yang tanpa menggunakan kekerasan, manipulasi, kekuatan politik, bujukan, pemerasan terhadap yang lemah, pembualan, dan sebagainya. Hal itulah yang seharusnya disaksikan oleh orang Kristen lewat kehidupannya, lewat ia menjalankan profesi dan pekerjaannya, dan lewat cara ia mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat.
Dia telah berusaha melakukan hal-hal demikian dengan menempatkan keahliannya yang sangat terbatas ke alam pengabdian kepada perdamaian, keadilan, dan kebenaran. Itu pulalah yang dia utamakan setiap kali menjelaskan sesuatu, mengkritik, memberi semangat, dan bertemu dengan orang lain. Itulah yang terpenting bagi dia kalau berkomunikasi dengan orang beragama lain, juga kalau dia mengkritik ketidakadilan, penindasan, dan kebohongan yang bercorak ideologis dan kekuasaan politik.
“Karena keyakinan itulah maka saya telah datang ke Indonesia dan menjadi orang Indonesia. Ini tidak berarti Indonesia menjadi sebuah proyeksi religius. Kalau iman kristiani mengakibatkan sesuatu, maka, bahwa ia benar-benar membuka hati, sehingga orang lain tidak menjadi sarana demi tujuan religius lebih lanjut, melainkan ia diterima demi dirinya sendiri. Termasuk keyakinan dan agamanya sendiri. Begitulah saya belajar menghormati dan mencintai negeri ini dan orang-orangnya, dari semua agama, dan saya berterimakasih bahwa saya boleh termasuk di dalamnya,” ujar Franz Magnis.
Pengalaman Franz Magnis dengan Indonesia dan dengan orang-orang Indonesia telah membuatnya optimis akan masa depan Indonesia. Itu, barangkali ada hubungannya dengan iman dia sebagai imam rohaniwan Katolik. Dia mengharapkan Indonesia, sekalipun bukan tanpa macam-macam kesulitan, akan dapat memecahkan masalah-masalahnya.
Kepemimpinan yang bagaimana yang bisa membawa bangsa ini menjadi lebih baik? Menurut Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, dia harus demokratis, inklusif dan punya komitmen pada solidaritas bangsa serta mampu memproyeksikan sebuah misi bagi seluruh bangsa.
Menurut, pastor yang sering dijuluki “Kasman” atau bekas Jerman yang sangat Indonesianis, ini kita perlu seorang pemimpin yang memang mampu memimpin, melihat manakah tantangan, dan ke manakah kita harus berjalan. Ia juga mampu memproyeksikan sebuah misi bagi seluruh bangsa.
Jadi, tidak cukup dia sendiri tahu, dia sendiri mengambil keputusan yang tepat. Tetapi, sebetulnya dia harus menyemangati bangsa, apalagi bangsa yang terpuruk supaya tidak terus sibuk dengan masalahnya sendiri. Perlu dilihat, kami dipimpin ke masa depan yang menjanjikan, dan itu sangat penting. Mengenai substansi, tentu seorang pemimpin sekurang-kurangnya harus mempunyai tiga keyakinan yang kemudian menjadi prakteknya.
Berikut petikan wawancara TokohIndonesiaDotCom dengan Romo Franz Magnis-Suseno, SJ berlangsung di kantor STF Driyarkara, Jakarta.
Indonesia hendak menuju Pemilihan Umum. Menurut Romo, kepemimpinan yang bagaimana yang bisa membawa bangsa ini menjadi lebih baik?
Memang, saya kira ini pertanyaan yang cukup penting sebetulnya. Kita perlu seorang pemimpin yang memang mampu memimpin. Dan, itu berarti dia melihat manakah tantangan, dan ke manakah kita harus berjalan. Ia juga mampu memproyeksikan sebuah misi bagi seluruh bangsa.
Jadi, tidak cukup dia sendiri tahu, dia sendiri mengambil keputusan yang tepat. Tetapi, sebetulnya dia harus menyemangati bangsa, apalagi bangsa yang terpuruk supaya tidak terus sibuk dengan masalahnya sendiri. Perlu dilihat, kami dipimpin ke masa depan yang menjanjikan, dan itu sangat penting. Mengenai substansi, tentu seorang pemimpin sekurang-kurangnya harus mempunyai tiga keyakinan yang kemudian menjadi prakteknya.
Pertama, dia harus yakin demokratis. Jadi, dia tidak boleh kembali ke Orde Baru. Orde Barulah yang menghasilkan situasi politik sekarang. Jangan dilupakan, bukan reformasi. Tapi, keterpurukan ekonomi dan perpecahan itu di bawah Pak Harto. Jadi yang pertama, dia harus demokratis.
Yang kedua, dia harus inklusif. Jadi, seluruh bangsa diterima. Dia harus yakin betul bahwa Indonesia hanya bisa bersatu, dan hanya bisa berdamai, kalau semua bisa kerasan di rumah Indonesia. Itu, secara konstitusi dan undang-undang, negara tidak boleh ditata secara eksklusif menurut cita-cita salah satu kelompok, lalu akan mengasingkan yang tidak termasuk dalam kelompok itu, dan menimbulkan kekerasan, mengancam kesatuan Indonesia, dan Indonesia tidak akan utuh selamanya sebab hanya atas dasar paksaan. Jadi, perlu keyakinan akan nilai pluralisme dan Indonesia kenapa inklusif, itu yang kedua.
Yang ketiga, yang mungkin paling penting dan sangat rawan, adalah komitmen pada solidaritas bangsa khususnya solidaritas dengan masyarakat sederhana dan masyarakat miskin. Yang saya anggap paling berbahaya, kalau orang kecil masyarakat mendapat kesan bahwa negara ini surga bagi orang-orang kaya. Jadi, rakyat harus merasa bahwa itu negara kita, bahwa kami orang sederhana betul-betul menjadi perhatian pemerintah.
Kan, rakyat Indonesia itu sebetulnya sehat cemerlang. Dalam arti, bahwa dia tidak pernah menuntut kerugian, dia tidak menuntut cara hidup seperti orang yang di atas, dia tidak menuntut suatu kesamaan total. Tetapi yang tentu dia harapkan, bahwa mereka yang hidup kaya raya tidak menghancurkan jasa-jasa jerih orang kecil.
Jadi, misalnya masalah tanah negara, tidak boleh dipecahkan dengan membuldozer rumah-rumah orang kecil yang membangun di situ. Karena negara tidak menyediakan kesempatan bagi mereka membangun rumah sederhana di tempat yang legal. Kalau malah mereka dibuldozer, itu keji, dalam pandangan saya dan dalam pandangan mereka. Kan, tidak sedemikian mahalnya untuk mengganti rugi, misalnya kalau tanah itu betul-betul mau dipakai. Nah, bagi saya ini sebetulnya kunci.
Lalu, saya melihat tiga hal tersebut, dan masalah yang lain, tidak akan ditangani kalau korupsi jalan terus. Karena, korupsi itu berarti, bahwa semua melihatnya dari sudut money politics, keuntungan. Lalu sudah tidak ada keikhlasan, kejujuran, kebebasan dari pamrih yang kita tuntut. Jadi, pemberantasan korupsi adalah syarat supaya tiga hal terpenting itu bisa terlaksana.
Tentang korupsi, dari mana memulai pemberantasannya dan bagaimana caranya, menurut Romo?
Saya kira itu hanya bisa berhasil kalau itu betul-betul datang dari atas. Dan, dari atas bagi saya berarti dua. Pemerintah, tentu dengan pimpinan Presiden secara pribadi yang harus betul-betul committed, dan DPR.
Jadi, mestinya, Presiden baru dengan DPR baru, menyadari bahwa korupsi perlu ditindak. Dan mereka, bersama-sama membuat semacam kontrak, yang tidak perlu tertulis, bahwa akan diberantas.
Misalnya pemerintah menyediakan, bukan hanya tidak dia sendiri tidak korup, dan menghilangkan semua kesan korup. Semua hubungan keluarga berbau kesan korup harus diakhiri. Tetapi, dia juga memberdayakan semua unsur institusional mulai dari Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya supaya mereka itu sepenuhnya menjalankan.
Dan DPR, bersedia memotong keterikatannya dengan yang lain. Mereka semua masih terikat, karena menjadi legislator itu mahal. Belum tentu korupsi, tapi mahal, tentu ratusan juta rupiah setiap orang. Tapi kalau mereka mau bersatu, mereka bisa mengakhiri itu. Sehingga, tidak setiap legislator sebetulnya hanya memikirkan bagaimana duitku kembali, dan bagaimana aku mendapat untung, karena itu terjadi sudah terlambat.
Nah, di situ harus ada semacam semangat bersama. Tetapi, supaya itu terjadi semestinya ada tekanan dari civil society. Dan itu tidak cukup hanya LSM. LSM itu lemah, tidak semua menerima. Tetapi organisasi besar, terutama organisasi agama, misalnya Muhammadiyah dan Gereja-Gereja, syukur kalau juga NU.
Kalau civil society betul-betul menuntut, momentum DPR baru dengan Presiden baru, sebetulnya bisa menciptakan sinergi mulai dari atas. Saya tidak melihat jalan lain. Kalau itu sudah satu tahun belum terjadi, ya, saya akan pesimistis. Kita tantang selama satu tahun itu mulai. Tapi, masih akan lama. Pemerintah juga harus menyadari bahwa tindakan itu akan sepenuhnya didukung oleh rakyat.
Ada masalah dengan civil society tadi. Semua masyarakat Indonesia beragama rajin ke mesjid rajin ke Gereja tapi korupsi terus berlangsung, dan mendapat tempat terhormat di Gereja maupun di mesjid?
Nah, ini, kalau agama-agama tidak menyadari bahwa berkorupsi merupakan suatu dosa yang mungkin lebih besar daripada tidak ke Gereja dan tidak ke mesjid. Jadi, memang, di agama-agama perlu ada juga semacam perdebatan. Jangan hanya melihat ritualisme dan formalisme.
Sebagai orang Kristen, ya saya selalu akan mengacu kepada yang dikatakan Yesus tentang pengadilan terakhir di Injil Matius bab 25, dimana kriteria orang masuk surga adalah apakah dia menunjukkan hati dan tangan terbuka bagi saudara yang menderita dan ditinggalkan. Itu kriterianya. Dia tidak bertanya, apa kamu seorang kristen yang baik, apa kamu dibaptis, dan sebagainya, apa kamu berdoa.
“Tetapi ketika Aku lapar, haus, dipenjara, sakit, kamu tidak bantu Aku.” Lalu, mereka akan bertanya, kapan kita bertemu. Lalu, yang paling menentukan adalah, “Apa yang kau lakukan pada saudara-Ku yang paling kecil ini, adalah kau lakukan pada-Ku, dan apa yang kau tidak lakukan pada saudara-Ku yang paling kecil ini, tidak kau lakukan pada-Ku.”
Itu, kan berarti bahwa Yesus mengatakan, setia pada Aku, Yesus, itu tidak mesti terhadap, mesti mengetahui nama Yesus. Mereka kan tidak tahu ketemu Yesus. “Kalau kamu bantu orang miskin, kamu adalah orang-Ku”. Dan, belum tentu kamu tahu nama Yesus, dan sebagainya, tetapi tahu berbuat sesuatu bagi orang itu. Nah, ini, kalau orang Kristen melihat itu ya sudahlah….
Dapatkah Romo menceritakan, bagaimana kisah hidup Romo semenjak masa kanak-kanak, dan tentang pengasuhan orang tua?
Saya lahir sebagai anak sulung keluarga bangsawan pada tanggal 26 Mei 1936 di Silesia, Ekcsdorft, kabupaten Glatz, yang untuk orang di Indonesia sulit untuk dimengerti. Saya lahir di daerah pertengahan Jerman bagian timur, daerah yang paling timurnya adalah Jerman Timur. Karena orang Indonesia pada umumnya tidak tahu, bahwa Jerman itu dahulu pernah menjorok hingga ke daerah yang sekarang namanya Polandia.
Nah, sesudah Perang Dunia II tahun 1945, seperlima bagian timur itu diambil dikasih Polandia, sebagian lagi masuk Uni Soviet, dan penduduknya semua 9 juta orang Jerman diusir ke Jerman Barat.
Nah, saya termasuk pengungsi, keluarga saya bilangan semuanya dibawa ke Jerman Barat. Sebagai akibat perang dunia II keluarga saya lari dari tentara Uni Soviet menuju ke Cekoslovakia Barat, dan dari situ diusir lagi ke Jerman Barat. Kami kehilangan semua milik kepunyaan kami.
Akhirnya keluarga saya menetap sekitar 80 km di sebelah selatan kota Frankfurt. Tapi kalau dibilang saya orang Jerman timur, dikira di bawah Jerman Timur yang komunis, padahal nggak, daerah saya itu dulu Jerman Tengah.
Romo lahir di Jerman, memilih menjadi rohaniwan sebagai pastor, mendalami ilmu filsafat, lalu datang melayani ke Indonesia?
Saya sudah berada di Indonesia sejak 29 Januari tahun 1961. Saya datang ke Indonesia sesudah lima tahun menjadi rohaniwan muda, anggota salah satu tarekat (“Ordo”) Gereja Katolik yaitu “Sarikat Yesus”, atau “Ordo Jesuit” sejak tahun 1955. Serikat Yesus berkarya demi Gereja di seluruh dunia, ia bersifat internasional.
Waktu saya studi filsafat di Ordo Jesuit, merasa bahwa saya mungkin lebih bisa berguna di negara seperti Indonesia. Nah, mengapa Indonesia, kan di dunia lain juga ada negara, seperti Zimbabwe. Saya melamar dikirim ke Indonesia karena di Indonesia sudah ada beberapa Yesuit Jerman bekerja membantu Gereja, dan surat-surat mereka penuh pujian. Lamaran saya dikabulkan oleh pimpinan Serikat Yesus di Roma, sehingga saya ke Indonesia. Saya tidak pernah menyesali keputusan itu.
Lalu, apa yang membuat Romo tertarik menjadi warga negara Indonesia?
Sesudah saya kerasan di Indonesia dan merasa diterima, dengan sendirinya saya mau menjadi warga negara sehingga bisa menyatu sepenuhnya.
Saya kan sebetulnya datang dengan motivasi membantu Gereja. Dan, itu selalu sudah menjadi maksud untuk tetap di sini kalau memang kedua belah pihak cocok. Kalau kita sendiri tidak kerasan lebih baik pulang. Daripada terus tidak bisa tenang, resah, dan sebagainya. Begitu pula kalau jemaat, umat, atau masyarakat terasa susah dengan kita, ya, juga lebih baik pulang.
Tapi, kesan saya bahwa orang di sini tidak terlalu susah dengan saya. Dan saya sendiri sangat tertarik untuk mendapat kewarganegaraan baru, sehingga saya meneruskan untuk tetap di Indonesia.
Hampir sudah sejak semula saya incharge menjadi warga negara Indonesia. Saya mengajukan permohonan dan memenuhi semua syarat sejak tahun 1970. Tapi, dibutuhkan tujuh tahun sampai itu lewat mesin birokrasi. Tahun 1977 keluar, tahun 1977 saya disumpah, dan menyerahkan paspor Jerman saya ke Kedutaan Besar Jerman.
Romo sebagai warga negara Indonesia yang asal Jerman, bagaimana kesan Romo tentang Indonesia?
Begini. Bagi saya, Indonesia negara yang amat mengasyikkan, dan menarik. Dan saya belum pernah menyesali keputusan saya untuk ke sini, maupun untuk menjadi warga negara. Masyarakat di sini majemuk, budaya-budayanya adalah sangat menyenangkan.
Sebetulnya, budaya-budaya tradisional yang saya paling baik kenal adalah budaya Jawa. Karena saya masuk lewat Jawa, lewat kultur Jawa, dan saya merasa kerasan dengan budaya Jawa. Tapi, kemungkinan andaikata saya ke daerah lain, saya juga tidak akan mengalami kesulitan.
Indonesia juga negara yang, tentu secara politis, sosial, penuh tantangan. Dan kita, saya kira semua jangan lupa, bahwa itu sebetulnya normal. Kalau kita melihat di peta, dari Sabang sampai Merauke, sedikit saja negara di dunia yang lebih besar dan tidak ada yang lebih majemuk dengan ribuan pulau, ratusan budaya dan bahasa, berbentuk keagamaan yang cukup banyak variasi.
Bahwa, negara macam itu tidak secara lancar mulus menjadi negara kebangsaan demokrasi pasca tradisional tentu, masuk akal sekali. Negara asal saya, Jerman, membutuhkan lama sekali sampai mengembangkan demokrasi.
Percobaan demokrasi pertama di Jerman gagal. Waktu itu dicoba, sesudah Perang Dunia (PD)-I Kaisar diusir, dibangun demokrasi yang bagus, tetapi akhirnya partai-partai yang paling kuat di Jerman adalah Partai Nazi dan Partai Komunis. Dan, Nazi mencapai kekuasaan lewat pemilihan umum sehingga demokrasi pertama berakhir di dalam suatu kediktatoran.
Jauh lebih buruk daripada di Indonesia. Membawa malapetaka bagi Jerman sendiri, termasuk keluarga saya yang kehilangan seluruh kepunyaan di Jerman timur, juga membunuh puluhan juta orang dan malapetaka lewat perang.
Itu, bagi saya hanya contoh bahwa kita di Indonesia jangan terlalu berkecil hati karena memang masih mengalami kesulitan. Tentu, kita harus menentang semua kesulitan tapi dalam perspektif sedikit lebih jangka jauh. Jangan kita heran bahwa pembentukan kehidupan demokrasi yang mantap, damai, dan beradab memerlukan waktu.
Bangsa Jerman yang membanggakan diri sebagai bangsa para filsuf dan penyair, itu di abad yang lalu melakukan hal yang teramat biadab. Jadi, bahwa di negara ini pun ada hal lain yang biadab, supaya kita selesaikan, tapi bukan alasan untuk merasa minder atau putus asa.
Romo dibesarkan di Jerman, lalu datang ke Indonesia, menjadi warga negara, masihkah ada hubungan emosional dengan keluarga di sana? Bagaimana reaksi mereka saat Romo memutuskan datang ke Indonesia?
Ya, tentu masih ada. Saya dari keluarga yang sangat Katolik. Jadi, mereka menerima saya menjadi rohaniwan dan tidak berkeluarga. Mereka mau terima, katakanlah sebagai semacam pengorbanan. Dan mereka akhirnya juga terima waktu saya mengatakan, saya memberitahu bahwa akan ke Indonesia. Saya separuh memberitahu sesudah saya pastikan bahwa saya diizinkan ke sini.
Jadi, mereka merelakan. Dan orangtua saya pernah ke Indonesia, waktu saya ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1967 di Yogyakarta. Ayah dan ibu saya datang, mereka tiga minggu tinggal di Indonesia, kami putar-putar, dan itu sangat menghibur mereka karena mereka mendapat kesan baik dari Indonesia waktu itu, dan melihat Indonesia negara yang bagus, tidak lagi membayangkan macam-macam, tidak takut saya dalam bahaya.
Dan, saya kan lima atau enam tahun sekali kurang lebih pulang, beberapa bulan berada di sana. Sekarang orangtua saya sudah tidak ada, tetapi saya masih punya lima keluarga adik. Dan biasanya, kalau ke Jerman saya mengunjungi mereka, atau sebagian dari mereka.
Saya akhir-akhir ini cukup sering ke Jerman, rata-rata dua kali setahun. Tapi pendek, atas undangan orang. Jadi, saya dibayar, dibayar tiketnya, diminta mengikuti seminar tentang Indonesia, dan saya biasanya lalu menambah dua minggu di sana. Sekarang, kan, saya sudah tua, jadi tidak apa-apa lama-lama.
Apa saja pertanyaan pokok warga Jerman tentang Indonesia, kepada Romo?
Susah. Bertanya bagaimana Indonesia itu sangat susah dijawab.Tapi, yang ingin mereka tanya, apa saya baik-baik, apa saya kerasan, apa ada ancaman, apa ada bom yang meledak di dekat saya. Saya selalu menjawab pertanyaan itu. Saya, dengan semua orang Indonesia ini, barangkali tidak takut bom karena memang bom bisa meledak tidak hanya di Indonesia. Kalau menjadi kehendak Tuhan, ya, kita yang kena. Tapi dari dua ratus sekian juta orang, yang kena biasanya hanya sepuluh.
Dan, yang jauh lebih berbahaya, saya katakan selalu, di Indonesia itu lalu lintas biasa. Itu selalu berbahaya. Saya, kalau terbang ke Eropa resiko paling besar adalah perjalanan ke Soekarno-Hatta itu. Lalu, yang kedua di sini kriminal biasa.
Tapi, mereka terutama, juga kadang-kadang tanya, apakah saya sebagai Romo Katolik terancam atau tidak. Saya katakan, saya tidak terancam, saya tidak mengkhawatirkan hal itu sama sekali, dan itu tidak akan terjadi kalau kita tidak kebetulan ada di daerah yang memang perang.
Justru, saya akan sangat aman dengan saudara muslim. Dengan masyarakat muslim saya selalu diterima dengan amat baik. Sama sekali saya tidak perlu takut. Tidak ada itu, orang karena dia seorang Pastor Katolik menusuk.
Apa sumbangan terbesar yang ingin Romo berikan kepada bangsa, yang mayoritas berpenduduk muslim, negara muslim terbesar di dunia, berpenduduk terbesar keempat di dunia, negara demokrasi terbesar ketiga dunia setelah Amerika Serikat dan India?
Saya ingin membantu, baik umat saya sendiri, maupun umat beragama lain sejauh mereka menginginkannya, untuk berani bersikap terbuka, berpikir secara rasional dan dialogal, untuk saling bertoleransi, dan saling menghormati.
Kebetulan saya menekuni filsafat yang membantu orang mengembangkan sikap-sikap itu. Saya merasa bahwa dengan membantu orang berpikir dengan jernih, terbuka, berani, dan tenang, saya dgpat menyumbangkan sesuatu pada perkembangan masyarakat.
Apa yang Romo maksud dengan hipotesa, Indonesia sedang terlibat dalam perubahan paham tentang manusia, dari "orang kita-orang asing" menuju ke "martabat manusia universal"?
Manusia pasca-tradisional mampu berkomunikasi dengan orang lain sebagai manusia, bukan hanya atas dasar hubungan primordial. Ia melihat orang lain bukan hanya sebagai orang se-keluarga, se-kampung, se-suku, se-umat beragama, atau pun sebagai orang asing, melainkan sebagai manusia.
Ia sadar bahwa ada macam-macam manusia, dengan pandangan budaya, bahkan dengan tampak lahiriah, yang cukup berbeda. Ia menerima kenyataan itu. Ia tidak lagi resah dengan kenyataan itu. Maka ia juga mampu memperlakukan mereka semua dengan adil, menghormati hak-hak mereka, memahami apa yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia. Proses itu berkaitan erat dengan modernisasi kultural. Proses itu sedang terjadi di Indonesia sekarang ini.
Cukup dominankah peran agama pada proses perubahan paradigma itu, mengapa perubahan baru terjadi sekarang?
Agama tidak memainkan peranan signifikan dalam proses ini, meskipun secara normatif, apabila orang sudah menjadi manusia pasca-tradisional, ternyata mendukungnya.
Tetapi, keanggotaan dalam agama merupakan realitas primordial. Dan, tidak mudah mengatasi primoridalisme sedemikian rupa hingga orang dari agama dan keyakinan religius lain juga sepenuhnya diakui sebagai orang yang sama hak dan kewajibannya. Akan tetapi, bagi orang yang semakin menghayati paradigma baru, ajaran agama sendiri merupakan dukungan.
Faham sekularistik membawa zaman maju dan berkembang. Mengapa kemunculan awalnya bernada anti-agama, adakah paham dalam agama menghambat kemajuan?
Tidak di mana-mana sekularisasi bersifat anti-agama. Di AS, misalnya, tidak pernah ada sentimen anti-agama. Masyarakat itu sekuler dan agamis sekaligus. Tetapi di beberapa daerah di Eropa, khususnya yang Katolik di Eropa selatan, sekularisasi muncul dalam bentuk sekularisme yang keras anti-agama, anti agama Katolik.
Latar belakangnya adalah kedudukan kuat Gereja Katolik dalam bidang politik dan budaya, yang di abad ke-18 dianggap menghambat modernitas. Baru di abad ke-20 ketegangan itu teratasi. Maka “laikalisme”, sikap keras anti "klerus" (hirarki dan rohaniwan/rohaniwati Katolik) --yang di Prancis mendasari sekularisme di sekolah-sekolah-- sekarang tidak lagi begitu terasa. (Dan, di Prancis, malah Islam yang merasakan akibat sikap negara yang semula diarahkan ke Gereja Katolik).
Romo mengatakan untuk menegakkan toleransi, mencapai perdamaian multikultural, alasan klasik benturan perbedaan etnis dan agama sudah tergantikan oleh antara “pendatang dan penduduk asli”. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, bagaimana melepaskan sekat-sekat golongan eksklusivisme?
Sekat-sekat eksklusivisme hanya bisa diatasi dengan mengembangkan kehidupan demokratis, serta memfasilitasi komunikasi antar suku, golongan, umat beragama, ras. Segala usaha untuk menyekat masyarakat, misalnya melarang anak bergaul dengan anak beragama lain, itu mengancam perdamaian dalam masyarakat dan merupakan sikap jalan buntu. Hanya komunikasi terbuka mengajar anak, jadi orang untuk tahu betul bahwa saudara-saudari lain suku, lain agama, sama saja manusia dengan baiknya dan buruknya.
Dikotomi pendatang dan penduduk asli adalah keniscahyaan di Indonesia. Apakah benturan kultural sesuatu yang tak mungkin berakhir, apalagi semangat mementingkan golongan alamiah sifatnya?
Khususnya kemungkinan konflik antara penduduk asli dan pendatang perlu diwaspadai, karena bisa dipicu oleh persaingan ekonomis. Pendatang sering oleh penduduk asli dianggap “kurang peka”, diberi kesempatan lebih banyak, “mau merebut”, dan lain sebagainya.
Dan sebaliknya, para pendatang menganggap penduduk asli "malas", “tertutup”, “berprasangka”, dan lain sebagainya. Di situ, baik pendidikan di sekolah maupun bimbingan oleh pemerintah penting.
Untuk menjadi makhluk berbudaya, meninggalkan sikap lama “agama saya yang paling betul dan yang lain patut dicurigai”, peranan pendidikan strategis. Menurut Romo, substansi pendidikan seperti apa yang melahirkan makhluk berbudaya seperti itu?
Pendidikan agama yang benar boleh saja tetap menegaskan keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri. Tetapi, sekaligus mengajarkan hormat terhadap keyakinan-keyakinan lain.
Diajarkan bahwa yang menilai keyakinan orang adalah Tuhan, bukan manusia. Maka, kalau “saya” meyakini agama saya sebagai “kebenaran”, saya memang tidak akan mengakui agama lain sebagai kebenaran (dan itu wajar). Tetapi, saya dapat menghormati keyakinan lain, saya dapat melihat segi-segi positif dalam keyakinan beragama lain. Dan kita dapat bekerja sama untuk menciptakan masyarakat lebih baik.
Makhluk yang berbudaya itu sendiri, apa ciri-ciri dan orientasinya?
Makhluk berbudaya, pertama-tama adalah orang yang mampu membawa diri secara beradab dalam segala situasi dan dengan sendirinya tidak pernah memakai kekerasan, kecuali untuk membela diri, atau dalam menjalankan tugasnya sebagai polisi/tentara.
Ia tidak memukul orang dengannya ia bertabrakan. Ia bisa berbeda pendapat tajam, bahkan bertengkar, tetapi tidak memakai kekerasan. Ia selalu membawa diri secara beradab.
Agama-agama Abrahami mempunyai kekhasan eksklusif dan menganggap diri yang paling benar. Mengapa demikian padahal sumbernya sama, sedangkan dengan agama lain di luar Abrahami justru jarang terjadi benturan?
Keyakinan akan sebuah kebenaran dengan sendirinya eksklusif. Itu, belum suatu kelemahan.
Apabila saya sebagai orang Kristen meyakini Yesus sebagai “jalan, kehidupan, dan kebenaran” (Joh. 14:6), dan bahwa “tidak ada nama lain diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah 4:12), dengan sendirinya yakin bahwa Yesuslah pewahyuan diri Allah yang total, sehingga ia tidak dapat menemukan dalam tulisan-tulisan lain wahyu Tuhan.
Begitu orang Islam, dapat saja mengakui bahwa Yesus seorang nabi besar, tetapi tidak mungkin ia menerima bahwa Yesus adalah “Putera Allah”. Kalau dua agama berbeda, itu sama dengan mengatakan bahwa mereka mempunyai pandangan yang tidak, sekurang-kurangnya tidak seluruhnya, dapat disesuaikan.
Sikap meyakini kebenaran agamanya sendiri adalah wajar, asal tidak menghina keyakinan agama lain. Serahkan kepada Allah. Jadi, toleransi tidak menuntut agar orang mengurangi iman dalam rangka agamanya sendiri. Melainkan, bahwa orang bersedia menerima baik eksistensi orang berkeyakinan lain dalam keberlainannya.
Justru itulah yang dituntut dalam masyarakat plural modern. Kita tahu dan menerima bahwa orang dengan segala macam keyakinan religius yang tidak dapat kita ikuti sendiri, yang juga tidak perlu kita nilai, kita akui benar, tetapi kita menghormati keberadaan semua umat dan orang itu. Baru, itulah sikap sesuai modernitas.
Dalam konteks sebagai penganut agama yang baik toleransi masih sesuatu yang mustahil, walau semua agama mengajarkan sama kebaikan. Haruskah kadar keagamaan umat direduksi agar terhindar benturan?
Maka toleransi sangat perlu. Masyarakat Indonesia secara tradisional, barangkali karena pluralitas suku dan kepulauan, sudah tahu ada banyak perbedaan dan mampu menerimanya dengan baik. Itulah toleransi tradisional bangsa Indonesia.
Maka, bangsa Indonesia tidak perlu mengalami kesulitan untuk membangun masyarakat modern yang toleran.
Ancaman terhadap toleransi tidak terletak dalam budaya masyarakat, melainkan dalam eksklusivisme ideologis dan agamis. Jadi, orang-orang yang berdasarkan teori dan keyakinan sempit-fanatik mau memaksakan pandangan mereka kepada yang lain-lain.
Untuk menjadikan pluralisme berkembang baik, seperti di Amerika, mana sumbangan terbesar agama atau sekuralistik? Mengapa rakyat Indonesia tidak bisa inklusif, merasa di rumah sendiri jika merantau ke daerah lain?
Rakyat Indonesia bisa cukup inklusif asal tidak dihasut oleh pihak-pihak sempit-fanatik. Ajaran agama-agama benar sebetulnya mendukung penerimaan pluralitas. Maka yang penting agar di dalam umat masing-masing inklusivisme dikembangkan.
Tentang masih adanya aliran atau faham-faham sempit-fanatik di Indonesia, apa pendapat Romo?
Saya sendiri paling banyak tahu dengan orang-orang yang fahamnya terbuka, atau sekurang-kurangnya yang fahamnya di tengah. Kalau mereka, yang sungguh-sungguh sangat ekstrim, tidak terima untuk berkomunikasi dengan orang luar, mereka merasa malah akan memperlemah iman sendiri.
Tetapi, khususnya menyangkut Islam sebagian besar misalnya pemuda atau remaja Muhammadiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah, NU, HMI, itu justru ingin mendengar sesuatu dari saya, lihat saya sebagai kesempatan bertanya tentang segala pertanyaan kekristenan yang menggganggu mereka, mereka akan tanya.
Jadi, yang sungguh ekstrim ya sudah, saya tidak bisa mengubah. Sikap saya adalah, bahwa itu urusan masing-masing agama. Jadi saya akan mengecam orang garis keras di kalangan Kristen, bukan di kalangan Islam. Di kalangan Islam biar orang Islam yang mengecam.
Saya bukan orang yang bisa mengatakan, Islam harus begini, Islam harus begitu. Saya bisa mengatakan, bersyukurlah bahwa bagian terbesar Islam ternyata tidak mengancam eksistensi yang lain-lain. Harus juga dikatakan, ini suatu fakta, bahwa bahkan kelompok-kelompok yang garis keras, yang misalnya memperjuangkan syariah, sebetulnya tidak pernah mengancam eksistensi agama-agama lain.
Mereka mengatakan kami tidak akan merugikan agama lain karena syariah itu bagi umat Islam. Apakah dalam praktek ada diskriminasi, itu lain masalah. Tapi, dalam sasaran mereka tidak ada misalnya penghancuran umat Kristen.
Islam selalu memberi tempat pada agama-agama buku. Dan saya kira, sekarang agama buku tidak terbatas pada Kristen dan Yahudi, tetapi juga Budhisme dan Hinduisme termasuk. Tentu, dulu sebagai warga negara kelas dua. Tapi di situ, di Eropa, malah sama sekali tidak diizinkan. Nah, sekarang tentu minoritas tidak menerima menjadi warga negara kelas dua. Tapi, saya tidak melihat suatu tujuan untuk membersihkan negara ini dari yang non Islam. Saya tidak melihat itu.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini mengatakan Indonesia adalah bangsa yang pluralistik secara budaya, etnik dan kesukuan, dan juga dalam dimensi agama. Jelaslah bahwa peran agama di Indonesia akan sangat menentukan bagi masa depannya. Apakah Indonesia akan berhasil membangun kehidupan bermasyarakat yang semakin maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila? Positifkah atau malah negatifkah peranan agama-agama di Indonesia?
Romo kelahiran Silesia, Jerman, 26 Mei 1936 ini dalam makalahnya pada Seminar Agama-Agama XV: Theologia religionum, mengatakan agama dengan sendirinya dihubungkan dengan yang suci, baik hati, berbelas kasih, bebas pamrih, berdamai. Tetapi, dalam kenyataan, kita mengamati bahwa dalam banyak tindak kekerasan, terorisme dan konflik bersenjata, agama-agama dalam salah satu bentuk terlibat. Terutama kita mengobservasikan suatu kecenderungan ke arah primordialisme, baik etnik maupun agama, dan begitu pula fundamentalisme agama - suatu paham yang cukup kabur dan untuk sementara dibiarkan saja - kelihatan bertambah terus dalam berbagai bentuk.
Dalam makalah ini, ia tentu tidak akan mencoba menjadi peramal dan menjawab pertanyaan itu. Yang ingin ia kemukakan beberapa gagasan untuk lebih memahami apa yang sedang kita alami, supaya tantangan yang dihadapi kaum agama di Indonesia akan menjadi jelas, sehingga kita lebih mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang barangkali ada.
Ia mengajukan sebuah hipotesa. Bahwa kita, di Indonesia sedang terlibat dalam proses perubahan paradigma paham tentang manusia, suatu perubahan yang sedang berlangsung di seluruh dunia (antara lain, karena didukung oleh media komunikasi global), yaitu dari paradigma "orang kita-orang asing" ke paradigma "martabat manusia universal".
Ia ingin memperlihatkan bahwa paradigma manusia universal sebenarnya sudah didasarkan dalam agama-agama besar, namun semula tidak dapat menjadi operatif. Bahwa perubahan-perubahan sosial besar yang menginisiasikan proses modernisasi berbarengan dengan perubahan paradigma itu; Bahwa paradigma manusia universal selama abad-abad terakhir di perjuangkan bukan oleh agama-agama, melainkan oleh pelbagai ideologi sekularistik; Bahwa pada akhir abad ke-20 ini ideologi-ideologi kelihatan sudah kehabisan nafasnya; Bahwa karena itu yang sekarang ditantang adalah agama-agama, dan sangat akan tergantung apakah agama-agama mau menerima dan memperjuangkan paradigma manusia universal.
Sesudah tinjauan global itu ia ingin kembali ke Indonesia dan mencoba mencari bagaimana prospek bagi kita.
Paradigma Kemanusiaan Universal
Apa itu paradigma kemanusiaan universal? Paradigma baru itu terungkap dalam sebuah etika politik baru yang unsur-unsurnya adalah apa yang sekarang kita maksud dalam pembicaraan tentang budaya demokrasi: pengakuan terhadap otonomi dan kesamaan semua orang sebagai manusia; hormat terhadap hak-hak asasi; penghapusan hukuman yang brutal; larangan terhadap penyiksaan; kebebasan berpikir dan beragama; toleransi religius; demokrasi; keadilan sosial; solidaritas nasional dan internasional; perlindungan terhadap mereka yang lemah, jaminan hak para minoritas; negara hukum; sistem peradilan yang tidak berpihak; perlindungan hukum universal; prinsip non-diskriminasi; pengakuan martabat manusia segenap orang, tanpa membedakan jenis kelamin, agama, warna kulit, pola kebudayaan; kedudukan sosial; dan lain sebagainya.
Agama-agama dan Universalisme
Apabila kita mengikuti analisis Jürgen Habermas, maka cita-cita kemanusiaan universal secara potensial sudah termuat dalam agama-agama besar. Bahkan dapat dikatakan, bahwa agama-agama itulah yang membuka wawasan martabat manusia sebagai manusia, dan bukan hanya sebagai warga suku, kelompok, atau kelas sosial tertentu. Agama-agama besar bicara tentang manusia sebagai manusia apabila mereka bicara tentang Yang Ilahi.
Cita-cita Jawa tentang manunggaling kawula Gusti (persatuan hamba-Tuhan: manusia menyatu dengan Tuhan) tidak mengenal batas ras, kasta atau kelamin. Kesadaran akan kekhasan manusia, kesamaannya, keluhuran dan keterbatasannya sebagai ciptaan mendapat penajaman lagi dalam agama-agama wahyu: Agama Israel, agama Kristen dan agama Islam, karena agama wahyu dengan tajam memahami transendensi Allah.
Padahal, dibandingkan dengan Allah Sang Khalik perbedaan kedudukan sosial (apa dia raja atau pengemis), ras dan kelamin tidak berarti. Maka, Yesus memaklumkan kerajaan Allah kepada semua orang yang rendah hati dan mau bertobat, dan si budak Bilal menjadi muadzin umat Islam yang pertama dan sahabat dekat Nabi Muhammad. Di hadapan Allah, apa seseorang bebas dan budak, terdidik dan tak terdidik, pria-wanita dan kaya-miskin tidak menentukan mutunya sebagai manusia.
Akan tetapi, kesadaran itu semula hanya potensial. Dalam kenyataan struktur-struktur sosial pra-universal bertahan terus. Potensi agama untuk mengangkat harkat manusia sebagai manusia belum efektif dalam menentukan struktur-struktur hukum, sosial dan moral masyarakat. Paradigma dasar masih "orang kita-orang asing". Artinya, orang lain dipandang tergantung apakah ia termasuk kelompok kita (keluarga kita, kampung kita, agama kita, kasta kita, suku kita, bangsa kita) atau tidak.
Nilai manusia ditentukan oleh kelas atau kasta sosialnya. Perbudakan sebagai lembaga masih bertahan di beberapa masyarakat bahkan sampai permulaan abad ini. Perlakuan terhadapnya ditentukan dari apakah ia termasuk "orang kita" atau "orang asing" (itu tidak berarti bahwa "orang asing" diperlakukan dengan tidak baik. Budaya-budaya tradisional selalu mempunyai aturan bagaimana orang asing diterima dengan baik. Tetapi ia tetap "orang asing").
Yang menarik adalah, bahwa secara historis etika yang lebih manusiawi itu tidak diperjuangkan oleh agama-agama, melainkan oleh ideologi-ideologi besar yang mulai dengan zaman Pencerahan. Cita-cita kemanusiaan universal baru mulai berkembang sesudah keutuhan masyarakat agamis Abad Pertengahan membuka diri pada Humanisme. Jadi proses tumbuhnya kesadaran bahwa setiap orang, sebagai manusia, mempunyai martabat yang tak terhingga, sehingga ia merupakan nilai pada dirinya sendiri, meskipun berdasarkan iman kepercayaan agama-agama, justru terjadi di luar agama-agama dan sering dengan ditentang oleh mereka.
Waktu para pemikir Pencerahan mulai memperjuangkan cita-cita etika politik baru itu yang bertujuan menjamin keluhuran martabat manusia ciptaan Allah, agama-agama justru bersikap dingin. Cita-cita demokrasi, hak asasi manusia, toleransi religius, kebebasan berpikir dan beragama, cita-cita kebebasan dan kesamaan manusia semula ditentang oleh agama-agama.
Pada waktu para pemikir terkemuka telah menggantikan paradigma lama "orang kita-orang asing" dengan paradigma "martabat manusia universal", agama-agama justru semakin berpegang pada paradigma lama. Agama-agama menjadi terbelakang dan dianggap bersekutu dengan kekuatan-kekuatan lama. Kiranya banyak kesulitan agama-agama sekarang berhadapan dengan dunia global berasal dari ketertutupan dulu itu.
Karena sikap negatif agama-agama itu, maka sebagian besar kemajuan zaman modern berkembang dengan nada anti-agama. Sekularisme adalah khas fenomen abad yang lalu di mana orang-orang yang mau maju merasa terhadang oleh agama. Maka, mereka ingin menyingkirkan agama dari kehidupan publik. Sedangkan cita-cita manusia universal diperjuangkan oleh ideologi-ideologi keselamatan sekularistik besar seperti liberalisme, sosialisme, dan komunisme.
Baru dalam abad ini agama-agama mulai membuka diri. Gereja Katolik, misalnya, baru menerima dengan tegas cita-cita demokrasi, hak asasi manusia, toleransi religius, kebebasan beragama dan berpikir dalam Konsiliasi Vatikan II (1962-1965).
Situasi pada Akhir Abad ke-20
Situasi pada akhir abad ke-20 dapat dirangkum sebagai berikut: dalam masyarakat Eropa, Amerika, sebagian besar Asia Timur dan Ozeania budaya masyarakat sudah berubah secara mendalam, dari masyarakat agamis menjadi masyarakat sekular dan pluralis. Sekular dalam arti bahwa untuk berfungsi dalam masyarakat itu, untuk melakukan pelbagai kegiatan, keanggotaan dalam salah satu agama tidak relevan. Pluralisme karena dalam masyarakat yang satu, dengan satu sistem hukum yang pada hakikatnya menjamin kesamaan dan non-diskriminasi, hidup kelompok dan komunitas dengan nilai-nilai dan keyakinan religius yang cukup beraneka warna, secara berdamai, dan dalam satu kesatuan fungsional.
Dalam masyarakat modern, paradigma "orang kita-orang asing" semakin diganti oleh paradigma manusia universal. Akan tetapi, perubahan itu juga menyentuh semua masyarakat lain di dunia, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda dan selalu sesuai dengan kompleksitas budaya dan struktur masyarakat lokal. Contohnya adalah Indonesia. Di Indonesia pun sekularisasi fungsional maju terus dan salah satu ciri masyarakat adalah pluralismenya. Dalam banyak komunikasi dengan masyarakat dan pelayanan fungsional tidak lagi dipertanyakan agama orang yang bersangkutan. Yang dimintakan dia dalam fungsinya.
Begitu pula paradigma manusia universal terus meluas. Kiranya sebagian besar masyarakat biasa dalam sebagian besar negara masih hidup dalam rangka paradigma "orang kita-orang asing". Akan tetapi, kalau dulu kemampuan psikis untuk mengakui orang asing sebagai manusia yang sama martabatnya dengan "orang-orang kita" terbatas pada beberapa pemikir dan individu yang wawasannya jauh ke depan, maka sekarang ada perbedaan: lewat media komunikasi, iklan, industri budaya internasional dan globalisasi, dalam arti baik maupun buruk, budaya dan pola hidup yang asing masuk ke rumah kita, orang biasa pun sadar betapa banyak bentuk manusianya di dunia ini.
Hal itu tidak berarti, bahwa paradigma manusia universal sudah dihayati umum. Apalagi kita harus memperhatikan hal ini: Perubahan dalam paradigma itu jangan disalahpahami seakan-akan paradigma kedua, paradigma manusia universal, menggantikan paradigma pertama, paradigma "orang kita-orang asing". Perubahan bukan demikian. Melainkan paradigma manusia universal merelativasikan paradigma "orang kita-orang asing".
Tentu saja dalam komunikasi biasa dan dalam banyak dimensi kehidupan perbedaan antara orang yang kita kenal dan kita minati dengan orang asing tetap relevan. Yang baru adalah, kita semakin mampu untuk menyadari bahwa orang lain: lain warna kulit, lain agamanya, lain etnik dan sebagainya, sama saja manusia dan perlu diperlakukan sama seperti manusia sebagaimana yang kita lakukan terhadap 'orang kita'.
Akan tetapi, transisi dalam paradigma itu, dari berpegang secara eksklusif pada paradigma "orang kita-orang asing" kepenghayatan di mana paradigma tradisional itu ditampung dalam paradigma lebih abstrak dan lebih luas, dalam paradigma manusia universal, tidak berjalan dengan mulus. Dan kiranya, memang tidak dapat berjalan dengan mulus. Dan kesulitan-kesulitan dalam hubungan antaragama untuk sebagian besar dapat dijelaskan juga sebagai kesulitan dalam mengadakan peralihan ke paradigma manusia universal itu.
Mengapa tidak berjalan dengan mulus? Karena transisi itu terjadi dalam rangka suatu proses perubahan masyarakat yang hampir total, ya proses yang kita sebut modernisasi. Dalam proses itu individu dan kelompok-kelompok merasa terancam dalam identitasnya, bahkan sering dalam eksistensinya. Pegangan-pegangan dan kepastian-kepastian tradisional yang -sekurang-kurangnya dalam ingatan yang selalu berwarna jingga- menjamin kehidupan yang aman dalam pengakuan sosial sekarang seakan-akan hilang.
Dapat dimengerti, bahwa orang lalu kembali kepada apa yang diingat itu. Ingatan-ingatan primordial -yang kita punyai semua- menjadi primordialisme: penolakan terhadap dunia baru dan asing itu dan keterikatan eksklusif pada kelompok yang diingat dengan hangat itu. Maka, bahwa agama di masa sekarang justru sering berkesan menjadi unsur yang menimbulkan kebencian dan tindak kekerasan dan menjadi pemecah-belah persatuan dalam komunitas sebuah negara tidak lepas dari disorientasi sosial dan kultural itu.
Apalagi, ideologi-ideologi keselamatan sekularistik universal yang memajukan universalisme sudah luntur dan tidak mempunyai daya motivatif lagi. Bukan gerakan berdasarkan ideologi Marxis atau sosialis yang sekarang mengancam, melainkan yang primordialistik, baik secara etnik maupun agama, dan yang langsung fundamentalistik.
Antara Martabat Manusia dan Primordialisme
Perginya ideologi-ideologi dari panggung sejarah sekarang dimanfaatkan oleh irasionalisme dan obskurantisme yang selama 500 tahun Aufklärung dan sekularisasi seakan-akan tertekan: segala macam agama baru, gerakan revivalism, New Age, paranormal, antroposofi, dan lain-lain. Mereka itu bersatu dalam penolakan terhadap paradigma baru kemanusiaan universal.
Maka, konflik-konflik besar di masa mendatang dapat diperkirakan tidak lagi bersifat ideologis, melainkan akan merupakan konfrontasi antara mereka yang mau melanjutkan warisan ideologi-ideologi universal dan bertekad untuk mendasarkan pembangunan pada hormat terhadap martabat manusia, dan mereka yang, karena tidak berhasil menemukan nilai paradigma kemanusiaan baru, mencari keselamatan dalam lingkungan tradisional sangat terbatas: kaum primordial.
Yang satu merupakan pewaris nilai-nilai luhur Aufklärung yang berasal dari khazanah agama-agama universal. Yang satunya tidak menginternalisasikan nilai-nilai itu dan kembali kepada keamanan psikis masa lampau. Yang satu berorientasi ke depan, yang satunya ke belakang. Yang satu berhasil berdialog dengan budaya modern yang kompleks dan ambivalen itu, dengan mengidentifikasikan dan mengintegrasikan cita-cita dan nilai-nilai luhur kemanusiaannya yang terpendam dalam segala gerak disintegratif, destruktif, asosial dan amoral yang juga khas bagi proses pewujudan budaya modern itu; yang satunya kaget karena disorientasi dan disintegrasi tatanan-tatanan tradisional itu dan hanya melihat perusakan nilai-nilai lama, maka pada hakikatnya menolak dan membenci budaya modern.
Maka, ancaman bagi keberadaban hidup bersama umat manusia di masa depan kiranya tidak lagi datang dari ideologi-ideologi universalis, melainkan dari partikularisme primordialisme. Primordialisme menggantikan hormat terhadap martabat dan hak asasi segenap orang dan segenap kelompok sosial dengan pemutlakan kepentingan dan cita-cita kelompok sendiri masing-masing, toleransi dengan intoleransi, keterlibatan pada keberadaban pergaulan antara golongan masyarakat dan bangsa-bangsa dengan kebengisan serta kebrutalan, atas nama kebencian kesukaan atau claim kebenaran mutlak keagamaan.
Kita akan menaksikan munculnya kembali bentuk-bentuk kekejaman, kepicikan dan fanatisme yang di zaman pra-budaya modern pun biasanya tidak kelihatan. Sekarang saja semakin banyak dari konflik dan huru-hura di seantero bumi tidak lagi bersifat ideologis, melainkan primordial.
Tantangan bagi Agama-agama
Kekosongan yang ditinggalkan oleh ideologi-ideologi besar menempatkan agama-agama di pusat tanggung jawab. Agama-agama selalu berfungsi untuk menyediakan makna kepada manusia. Ideologi-ideologi keselamatan sekularistik tidak lebih dari substitusi dan sekarang habis. Mau tak mau, agama-agama -yang sering belum siap- berhadapan dengan situasi yang ditandai perubahan sosial dan kultural yang cepat, disertai perubahan paradigma tentang manusia. Dapat dikatakan bahwa situasi ini menempatkan agama-agama di hadapan sebuah tantangan yang historis.
Dengan melayunya ideologi-ideologi keselamatan sekularistik besar abad yang lalu agama-agama ditempatkan ke dalam tantangan yang dapat disebut historis: Apakah mereka siap dan bersedia untuk menjadi pendukung utama etika kemanusiaan universal, warisan ideologi-ideologi besar yang sebenarnya warisan agama-agama sendiri? Ataukah mereka menjadi egosentrik dan sempit dan gagal menyambut panggilan historis itu? Dapat juga dirumuskan begini: Apakah agama-agama berani merealisasikan universalisme positif yang dititipkan Sang Pencipta ke dalam mereka.
Peran agama-agama di masa mendatang, dalam dunia global modern, menurut saya, akan ditentukan dari sikap yang diambil agama-agama dalam situasi historis ini. Kalau agama-agama bereaksi tertutup, jadi kalau terjadi sebuah reprimordialisasi, agama-agama dapat menjadi ancaman bagi kesatuan dan persatuan serta bagi masa depan bangsa. Sebaliknya, apabila agama-agama itu berani memperjuangkan manusia, dan masyarakat manusiawi, sesuai dengan bagaimana Sang Pencipta menghendaki hubungan antarmanusia, agama-agama justru menjadi pembela manusia-manusia, berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomis yang mendehumanisasikan masyarakat.
Kiranya, medan konflik ideologis dalam dasawarsa-dasawarsa mendatang tidak lagi akan ditentukan oleh pertentangan antara ideologi-ideologi besar (karena sudah melayu), tidak juga antara agama dengan ideologi-ideologi itu (karena alasan sama), tetapi juga tidak oleh pertentangan antara agama-agama sendiri (sekarang saja di mana masih banyak terdapat gesekan, salah paham, saling curiga antara agama, kita menyaksikan suatu tekad yang membesarkan hati: sebenarnya agama-agama besar bersedia untuk saling menerima - tanpa menjadi relativistik).
Doktor Ilmu Kerohanian dari Universitas Muenchen Jerman, ini melihat pertentangan ideologis dalam sebuah garis yang tidak mengikuti batas agama-agama, melainkan ditemukan di dalam masing-masing agama dan kelompok kepercayaan sendiri. Yaitu di antara mereka yang meyakini martabat segenap orang sebagai manusia dan oleh karena itu bertekad berpegang pada etika demokrasi, hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial, dan mereka yang mencari keamanan dalam kelompok hangat kecil dengan mencurigai atau bahkan memusuhi semua yang di luar.
Sikap yang terakhir itulah yang disebut primordialisme, lebih tepat reprimordialisasi. Garis pertentangan di dasawarsa mendatang antara sikap yang menghormati martabat dan hak asasi manusia sebagai manusia dan primordialisme baru, antara penghayatan keagamaan yang positif dan terbuka dengan yang fundamentalistik, negatif dan tertutup, dan garis konflik itu akan ditemukan dalam masing-masing agama sendiri.
Maka, peran agama-agama dalam memajukan bangsa akan tergantung bagaimana mereka bersikap terhadap tantangan itu. Maukah mereka mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ideologi-ideologi lama dan menjadi pendukung paling utama cita-cita kemanusiaan universal, ataukah mereka mau menjadi primordialistik?
Memilih jalur primordialisme berarti berorientasi ke belakang, hanya mampu bersikap negatif terhadap keseluruhan budaya global sekarang, berarti memilih menutup diri. Atau dapatkah mereka menjadi pendukung budaya politik yang demokratis, benteng toleransi dan pergaulan yang beradab, pejuang keadilan, pelindung pihak-pihak minoritas dan lemah, pembela hak-hak mereka yang tertindas, tanpa membedakan menurut golongan?
Dapatkah mereka membuat kepentingan seluruh bangsa, bahkan seluruh umat manusia, dan juga kepentingan segenap orang, termasuk yang lain agamanya atau kepercayaannya, menjadi keprihatinan mereka, tanpa pamrih? Apakah agama-agama dalam hal ini betul-betul dapat bekerja sama? Dan itu bukan karena pertimbangan humanistik belaka, melainkan berdasarkan keyakinan keagamaan mereka?
Di Indonesia
Bagi masa depan Indonesia kiranya akan sangat menentukan bagaimana sikap yang akan diambil agama-agama: lari ke primordialisme dan fundamentalisme, atau berani membuka diri paradigma kemanusiaan universal?
Dalam hal ini tanggung jawab para ulama dan pemimpin serta cendekiawan agama sangat menentukan. Merekalah yang seharusnya mempunyai wawasan untuk melihat jauh ke depan, untuk mengatasi pelbagai kesempitan yang telah berkembang dalam agama mereka masing-masing.
Ada satu unsur yang dapat membuat kita bersikap positif: Banyak budaya tradisional Indonesia bersifat inklusif dan positif. Misalnya saja budaya Jawa. Orang Jawa membenci dogmatisme, eksklusivisme, fanatisme, kepicikan agama, kesombongan. Bagi orang Jawa yang penting adalah tahu diri. Dan itu juga berarti, menyadari dan menghormati bahwa Tuhan bebas bergerak dalam hati orang. Bukan seakan-akan agama adalah urusan pibadi, melainkan karena orang sendiri harus merasakan di mana, dan ke mana, Tuhan memanggilnya.
Dalam budaya Jawa otonomi orang untuk menemukan sendiri di dasar jiwanya koordinasi Tuhan sangat dihormati. Budaya itu dapat membantu para agamawan yang belum fanatik untuk dengan lapang hati dan tenang dan secara positif ikut dalam pembangunan. Budaya Jawa dapat membantu agar agama-agama di bumi Indonesia dapat mengembangkan kepositivan yang ada pada mereka, saling bekerja sama dan dengan demikian memberikan sumbangan penting dan positif pada pembangunan masyarakat Indonesia yang adil makmur berdasarkan Pancasila.
Prof. Dr. phil. Franz Magnis-Suseno SJ., lahir di Silesia, Jerman, 26 Mei 1936. Menyelesaikan pendidikan di Philosophische Hochschule Pullach dui Jerman, 1960. Institut Filsafat Teologi di Yogyakarta, 1968. Universitas Muenchen di Jerman, doktor, 1973. Ilmu Kerohanian di Jerman, 1955-1957. Sejak 1969 sampai sekarang Dosen Tetap, Sekretaris Akademis di sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Dosen tidak tetap di Fakultas Sastra UI 1976-sekarang, Dosen tidak tetap di Fakultas Psikologi UI, 1978-sekarang. Menulis buku: Kita dan Wayang; Etika Umum; Masalah-masalah Pokok Filasafat Moral; Etika Jawa dalam Tantangan, Etika Jawa, sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
***
Komunalisme Ancam Kesatuan Bangsa
Sementara dalam seri diskusi Purnama Ramadhan bertema "Membangun Kehidupan Masyarakat dalam Suasana Damai dan Berkeadilan" yang digelar di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta, Jumat 30/11/02, Franz Magnis-Suseno SJ mengatakan merebaknya komunalisme akan mengancam kesatuan bangsa. Begitu konflik-konflik antaragama dipahami sebagai gejala komunalisme, jawaban normatif atas dasar ajaran agama-agama menjadi tidak mencukupi. Ajaran yang mengajak umat untuk bersikap positif dan menolak kekerasan, merupakan usaha yang mendukung, namun upaya utama harus diarahkan pada sebab-sebab komunalisme tersebut.
Untuk mengatasi merebaknya komunalisme tersebut, menurutnya, ada langkah-langkah yang harus diambil. Dalam jangka panjang, dua struktur kehidupan masyarakat perlu direalisasikan, yaitu demokrasi dan keadilan sosial. Demokrasi adalah prasyarat normalisasi kembali keadaan dalam masyarakat.
Pertama, "ruang politik" perlu dibuka lagi supaya perhatian masyarakat meluas, melepaskan konsentrasi pada nilai-nilai primordial komunitasnya sendiri.
Kedua, masyarakat perlu belajar lagi bahwa konflik adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan sosial, baik konflik kepentingan maupun konflik emosional, dan bahwa masyarakat menyediakan sarana-sarana diskursus publik dari lingkungan desa sampai ke lingkungan nasional, untuk membicarakannya secara argumentatif dan mencapai kompromi-kompromi yang dapat disepakati.
Ketiga, dengan partai-partai sebagai sarana ekspresi aspirasi masyarakat dalam pluralitasnya, berakhir situasi negara otoriter.
Untuk jangka pendek, "Kita semua harus menahan diri. Hal itu terutama berlaku bagi para panutan masyarakat, baik formal maupun informal, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah dan lokal. Bagaimanapun, para panutan agama harus menyadari bahwa mereka ditantang untuk membersihkan hati mereka sendiri dari emosi-emosi yang tidak baik, harus bersedia dengan jujur dan tanpa pamrih menyuarakan pesan agama-agama mereka yang merupakan pesan perdamaian, kebaikan, penolakan kekerasan, dan balas dendam, pesan kesediaan untuk memaafkan," demikian Magnis-Suseno.
Nama:
Prof. Dr. phil. Franz Magnis-Suseno SJ
Lahir:
Silesia, Jerman, 26 Mei 1936
Agama:
Kristen Katolik
Pendidikan:
Philosophische Hochschule Pullach dui Jerman, 1960
Institut Filsafat Teologi di Yogyakarta, 1968
Universitas Muenchen di Jerman, doktor, 1973
Ilmu Kerohanian di Jerman, 1955-1957
Pekerjaan:
Sejak 1969 sampai sekarang Dosen Tetap, Sekretaris Akademis di sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Dosen tidak tetap di Fakultas Sastra UI 1976-sekarang
Dosen tidak tetap di Fakultas Psikologi UI, 1978-sekarang
Buku:
Kita dan Wayang
Etika Umum
Masalah-masalah Pokok Filasafat Moral
Etika Jawa dalam Tantangan
Etika Jawa, sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa
Kuasa dan Moral.
No comments:
Post a Comment