Suprijadi
Suprijadi (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 – meninggal tahun 1945) adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi digantikan oleh Soeljadikoesoemo pada 20 Oktober 1945 karena Suprijadi tidak pernah muncul. Bagaimana dan di mana Suprijadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Pendidikan
Sesudah menamatkan ELS (setingkat Sekolah Dasar), Suprijadi melanjutkan pendidikannya ke MULO (setingkat Sekolah Pertama), kemudian memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang sampai Jepang mendarat di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, Suprijadi memasuki Sekolah Menengah Tinggi. Sesudahnya, ia mengikuti Latihan Pemuda (Seinendoyo) di Tangerang.
Karier saat pendudukan Jepang
Pada bulan Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). PETA dibentuk dengan tujuan untuk memberikan latihan kemiliteran kepada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka selanjutnya akan dipakai untuk membantu Jepang menahan serbuan sekutu. Tetapi, tokoh-tokoh pergerakan nasional berhasil menanamkan perasaan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda tersebut.
Asal mula perlawanan
Suprijadi mengikuti pendidikan peta dan sesudah itu diangkat menjadi Shodanco di Blitar.Ia sering bertugas mengawasi para romusya membuat benteng-benteng pertahanan dipantai selatan.Ia menyaksikan bagaimana sengsaranya para romusya.Makanan kurang dan kesehatan tidak terjamin.Banyak diantaranya yang meninggal dunia karena sakit.Suprijadi tidak tahan melihat keadaan itu.Dengan beberapa orang temanya,ia merencanakan pemberontakan melawan jepang.Walaupun menyadari bahwa waktu itu Jepang sangat kuat,namun ia tetap berniat untuk melakukan perlawanan.
memberontak Jepang
Pemberontakan dilancarkan dinihari tanggal 14 februari 1945,di Daidan Blitar.Jepang sangat terkejut mendengar perlawanan tersebut.Mereka mengerahkan kekuatan yang besar untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar.Selain itu,dilakukan pula siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak.karena kurang pengalaman dan kekuatan tidak seimbang pemberontakan itu ditindas Jepang.Tokoh-tokoh pemberontak yang tertangkap,diadili dalam mahkamah militer Jepang.Ada yang dihukum mati dan ada pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut diadili,bahkan namanya tidak disebutkan dalam sidang pengadilan.Rupanya ia sudah di bunuh Jepang pada waktu tertangkap.Sampai saat ini tidak diketahui dimana makam suprijadi.
Showing posts with label Orang Hebat. Show all posts
Showing posts with label Orang Hebat. Show all posts
Saturday 19 February 2011
Widji Thukul
Widji Thukul
Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963) adalah seorang sastrawan dan aktivis Indonesia.
Keluarga
Widji Thukul lahir dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel.
Pendidikan
Pendidikan tertinggi Thukul adalah Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo jurusan tari sampai kelas dua lantaran kesulitan uang.
Aktivitas
Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.
* Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
* Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)
* Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
* Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.
* April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
* Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Korban penculikan
Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.
Karya
Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.
* Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain diterbitkan Taman Budaya Surakarta.
* Puisi: Bunga dan Tembok
* Puisi: Peringatan
* Puisi: Kesaksian
Prestasi dan penghargaan
* 1989, ia diundang membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.
* 1991, ia tampil ngamen puisi pada Pasar Malam Puisi (Erasmus Huis; Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta).
* 1991, ia memperoleh Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra.
* 2002, dianugerahi penghargaan "Yap Thiam Hien Award 2002"
* 2002, sebuah film dokumenter tentang Widji Thukul dibuat oleh Tinuk Yampolsky.
Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963) adalah seorang sastrawan dan aktivis Indonesia.
Keluarga
Widji Thukul lahir dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel.
Pendidikan
Pendidikan tertinggi Thukul adalah Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo jurusan tari sampai kelas dua lantaran kesulitan uang.
Aktivitas
Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.
* Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
* Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)
* Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
* Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.
* April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
* Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Korban penculikan
Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.
Karya
Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.
* Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain diterbitkan Taman Budaya Surakarta.
* Puisi: Bunga dan Tembok
* Puisi: Peringatan
* Puisi: Kesaksian
Prestasi dan penghargaan
* 1989, ia diundang membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.
* 1991, ia tampil ngamen puisi pada Pasar Malam Puisi (Erasmus Huis; Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta).
* 1991, ia memperoleh Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra.
* 2002, dianugerahi penghargaan "Yap Thiam Hien Award 2002"
* 2002, sebuah film dokumenter tentang Widji Thukul dibuat oleh Tinuk Yampolsky.
Tuesday 15 February 2011
Multatuli
Eduard Douwes Dekker
Artikel ini adalah tentang penulis Belanda yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli. Untuk tokoh pergerakan nasional Indonesia E.F.E. Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi, lihat Ernest Douwes Dekker.
Untuk kegunaan lain dari Douwes Dekker, lihat Douwes Dekker.
Eduard Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker - 001.jpg
Eduard Douwes Dekker
Lahir 2 Maret 1820
Bendera Belanda Amsterdam, Belanda
Meninggal 19 Februari 1887 (umur 66)
Bendera Jerman Ingelheim am Rhein, Jerman
Pekerjaan penulis, dramawan
Kebangsaan Bendera Belanda Belanda
Eduard Douwes Dekker, atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.
Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
Masa kecil
Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan.
Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.
Menjadi pegawai kecil
Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak dilupakannya selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.
Ke Hindia Belanda
Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini melahirkan niat pada diri ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir.
Diberhentikan
Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan. Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.
Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatera Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".
Menikah
Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van Wijnbergen, gadis turunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.
Bekerja kembali
Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.
Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. Karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada Februari 1851.
Benturan dengan Gubernur
Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.
Pindah ke Lebak
Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.
Pemerasan di Lebak
Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun, ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.
Edwuard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang terlalu murah.
Belum saja satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.
Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, namun menolak permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.
Kembali ke Eropa
Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa untuk bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.
Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.
Mulai menulis
Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.
Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.
Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.
Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan.
Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.
Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.
Akhir hayat
Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat.
Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.
Pengaruh dalam sastra Hindia Belanda dan Indonesia
Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.
Dalam budaya populer
Max Havelaar ISBN 0-14-044516-1 – buku ini telah diangkat menjadi film tahun 1988 dengan judul yang sama, disutradarai oleh Alphonse Marie Rademaker dan melibatkan beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.
Karya-karyanya
1843 - De eerloze (naskah drama, kemudian diterbitkan sebagai De bruid daarboven (1864))
1859 - Geloofsbelydenis (diterbitkan dalam jurnal pemikir bebas De Dageraad)
1860 - Indrukken van den dag
1860 - Max Havelaar of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy
1860 - Brief aan Ds. W. Francken z.
1860 - Brief aan den Gouverneur-Generaal in ruste
1860 - Aan de stemgerechtigden in het kiesdistrikt Tiel
1860 - Max Havelaar aan Multatuli
1861 - Het gebed van den onwetende
1861 - Wys my de plaats waar ik gezaaid heb
1861 - Minnebrieven
1862 - Over vrijen arbeid in Nederlandsch Indië en de tegenwoordige koloniale agitatie (brochure)
1862 - Brief aan Quintillianus
1862 - Ideën I (terdapat pula yang berupa novel De geschiedenis van Woutertje Pieterse)
1862 - Japansche gesprekken
1863 - De school des levens
1864-1865 - Ideën II
1864 - De bruid daarboven. Tooneelspel in vijf bedrijven (naskah drama)
1865 - De zegen Gods door Waterloo
1865 - Franse rymen
1865 - Herdrukken
1865 - Verspreide stukken (diambil dari Herdrukken)
1866-1869 - Mainzer Beobachter
1867 - Een en ander naar aanleiding van Bosscha's Pruisen en Nederland
1869-1870 - Causerieën
1869 - De maatschappij tot Nut van den Javaan
1870-1871 - Ideën III
1870-1873 - Millioenen-studiën
1870 - Divagatiën over zeker soort van Liberalismus
1870 - Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsch Indië
1871 - Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (esai satir)
1872 - Brief aan den koning
1872 - Ideën IV (terdapat pula dalam naskah drama Vorstenschool)
1873 - Ideën V
1873 - Ideën VI
1874-1877 - Ideën VII
1887 - Onafgewerkte blaadjes
1891 - Aleid. Twee fragmenten uit een onafgewerkt blyspel (naskah drama)
1987 - Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappy (editor Willem Frederik Hermans)
Artikel ini adalah tentang penulis Belanda yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli. Untuk tokoh pergerakan nasional Indonesia E.F.E. Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi, lihat Ernest Douwes Dekker.
Untuk kegunaan lain dari Douwes Dekker, lihat Douwes Dekker.
Eduard Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker - 001.jpg
Eduard Douwes Dekker
Lahir 2 Maret 1820
Bendera Belanda Amsterdam, Belanda
Meninggal 19 Februari 1887 (umur 66)
Bendera Jerman Ingelheim am Rhein, Jerman
Pekerjaan penulis, dramawan
Kebangsaan Bendera Belanda Belanda
Eduard Douwes Dekker, atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.
Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
Masa kecil
Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan.
Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.
Menjadi pegawai kecil
Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak dilupakannya selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.
Ke Hindia Belanda
Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini melahirkan niat pada diri ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir.
Diberhentikan
Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan. Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.
Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatera Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".
Menikah
Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van Wijnbergen, gadis turunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.
Bekerja kembali
Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.
Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. Karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada Februari 1851.
Benturan dengan Gubernur
Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.
Pindah ke Lebak
Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.
Pemerasan di Lebak
Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun, ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.
Edwuard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang terlalu murah.
Belum saja satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.
Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, namun menolak permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.
Kembali ke Eropa
Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa untuk bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.
Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.
Mulai menulis
Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.
Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.
Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.
Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan.
Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.
Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.
Akhir hayat
Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat.
Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.
Pengaruh dalam sastra Hindia Belanda dan Indonesia
Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.
Dalam budaya populer
Max Havelaar ISBN 0-14-044516-1 – buku ini telah diangkat menjadi film tahun 1988 dengan judul yang sama, disutradarai oleh Alphonse Marie Rademaker dan melibatkan beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.
Karya-karyanya
1843 - De eerloze (naskah drama, kemudian diterbitkan sebagai De bruid daarboven (1864))
1859 - Geloofsbelydenis (diterbitkan dalam jurnal pemikir bebas De Dageraad)
1860 - Indrukken van den dag
1860 - Max Havelaar of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy
1860 - Brief aan Ds. W. Francken z.
1860 - Brief aan den Gouverneur-Generaal in ruste
1860 - Aan de stemgerechtigden in het kiesdistrikt Tiel
1860 - Max Havelaar aan Multatuli
1861 - Het gebed van den onwetende
1861 - Wys my de plaats waar ik gezaaid heb
1861 - Minnebrieven
1862 - Over vrijen arbeid in Nederlandsch Indië en de tegenwoordige koloniale agitatie (brochure)
1862 - Brief aan Quintillianus
1862 - Ideën I (terdapat pula yang berupa novel De geschiedenis van Woutertje Pieterse)
1862 - Japansche gesprekken
1863 - De school des levens
1864-1865 - Ideën II
1864 - De bruid daarboven. Tooneelspel in vijf bedrijven (naskah drama)
1865 - De zegen Gods door Waterloo
1865 - Franse rymen
1865 - Herdrukken
1865 - Verspreide stukken (diambil dari Herdrukken)
1866-1869 - Mainzer Beobachter
1867 - Een en ander naar aanleiding van Bosscha's Pruisen en Nederland
1869-1870 - Causerieën
1869 - De maatschappij tot Nut van den Javaan
1870-1871 - Ideën III
1870-1873 - Millioenen-studiën
1870 - Divagatiën over zeker soort van Liberalismus
1870 - Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsch Indië
1871 - Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (esai satir)
1872 - Brief aan den koning
1872 - Ideën IV (terdapat pula dalam naskah drama Vorstenschool)
1873 - Ideën V
1873 - Ideën VI
1874-1877 - Ideën VII
1887 - Onafgewerkte blaadjes
1891 - Aleid. Twee fragmenten uit een onafgewerkt blyspel (naskah drama)
1987 - Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappy (editor Willem Frederik Hermans)
A.S. Dharta
A.S. Dharta
Adi Sidharta atau A.S. Dharta (lahir di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, 7 Maret 1924 – meninggal di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, 7 Februari 2007 pada umur 82 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia memiliki banyak nama pena, antara lain Klara Akustia, Kelana Asmara, Jogaswara, Rodji, Barmara Poetra, dan masih banyak lagi.
Perjuangan
Jiwanya bergejolak sejak menjadi anak angkat Okayaman, salah seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Dan makin dimatangkan di sekolah Nationaal Handele Lallegiun (NHL) di bawah didikan Douwes Dekker. Di masa revolusi, dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31, keluar-masuk hutan, bergerak dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lain. Di Menteng 31 inilah dia mulai mengenal Soekarno, sejumlah tokoh politik, dan juga seniman-seniman.
Dia pernah menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogyakarta. Dia memimpin serikat buruh: Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Lalu dimatangkan lewat International Union of Students (IUS), World Federation of Democratic Youth, dan World Federation of Trade Unions, yang membuatnya berkeliling ke sejumlah negara bekas-bekas kolonialisme.
Bersama M.S. Azhar dan Njoto, A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 dan menjadi sekretaris jenderal (Sekjen) pertamanya.
A.S. Dharta masuk penjara di Kebonwaru, Bandung tahun 1965-1978.
Puisi, esai, kritik sastra, dan catatan perjalanannya tercecer di sejumlah media dalam dan luar negeri, serta masuk dalam antologi bersama.
Dia juga berkolaborasi dengan Amir Pasaribu, yang tahun 2006 menerima penghargaan Akademi Jakarta untuk bidang musik, menghasilkan antara lain lagu "Irama Mei".
Karya
Saidjah dan Adinda (naskah drama, adaptasi novel karya Multatuli yang diterjemahkan oleh Bakri Siregar)
Rangsang Detik (kumpulan sajak, 1957)
Adi Sidharta atau A.S. Dharta (lahir di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, 7 Maret 1924 – meninggal di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, 7 Februari 2007 pada umur 82 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia memiliki banyak nama pena, antara lain Klara Akustia, Kelana Asmara, Jogaswara, Rodji, Barmara Poetra, dan masih banyak lagi.
Perjuangan
Jiwanya bergejolak sejak menjadi anak angkat Okayaman, salah seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Dan makin dimatangkan di sekolah Nationaal Handele Lallegiun (NHL) di bawah didikan Douwes Dekker. Di masa revolusi, dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31, keluar-masuk hutan, bergerak dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lain. Di Menteng 31 inilah dia mulai mengenal Soekarno, sejumlah tokoh politik, dan juga seniman-seniman.
Dia pernah menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogyakarta. Dia memimpin serikat buruh: Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Lalu dimatangkan lewat International Union of Students (IUS), World Federation of Democratic Youth, dan World Federation of Trade Unions, yang membuatnya berkeliling ke sejumlah negara bekas-bekas kolonialisme.
Bersama M.S. Azhar dan Njoto, A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 dan menjadi sekretaris jenderal (Sekjen) pertamanya.
A.S. Dharta masuk penjara di Kebonwaru, Bandung tahun 1965-1978.
Puisi, esai, kritik sastra, dan catatan perjalanannya tercecer di sejumlah media dalam dan luar negeri, serta masuk dalam antologi bersama.
Dia juga berkolaborasi dengan Amir Pasaribu, yang tahun 2006 menerima penghargaan Akademi Jakarta untuk bidang musik, menghasilkan antara lain lagu "Irama Mei".
Karya
Saidjah dan Adinda (naskah drama, adaptasi novel karya Multatuli yang diterjemahkan oleh Bakri Siregar)
Rangsang Detik (kumpulan sajak, 1957)
Alimin
Alimin
Alimin bin Prawirodirdjo (Solo, 1889-Jakarta, 24 Juni 1964)[1] adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia serta tokoh komunis Indonesia.
Sejak remaja Alimin telah aktif dalam pergerakan nasional. Ia pernah menjadi anggota Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, sebelum bergabung dengan PKI dan akhirnya menjadi pimpinan organisasi tersebut. Ia juga adalah salah seorang pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan (dulu namanya Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan).
Pada awal 1926, sebagai pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan Malaka dalam rangka menyiapkan pemberontakan. Tapi sebelum Alimin pulang, pemberontakan sudah meletus 12 November 1926. Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.
Setelah ia keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow dan bergabung dengan Komintern. Alimin tidak lama di sana karena bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Kanton (Guangzhou). Pada saat itu ia terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Perancis.
Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di Yenan dan bergabung bersama tentara merah di sana. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1946, yaitu setelah Republik Indonesia diproklamasikan.
Ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal tahun 1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentralnya, Alimin termasuk tokoh komunis yang tidak diindahkannya. Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat meninggalnya di tahun 1964.
Alimin bin Prawirodirdjo (Solo, 1889-Jakarta, 24 Juni 1964)[1] adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia serta tokoh komunis Indonesia.
Sejak remaja Alimin telah aktif dalam pergerakan nasional. Ia pernah menjadi anggota Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, sebelum bergabung dengan PKI dan akhirnya menjadi pimpinan organisasi tersebut. Ia juga adalah salah seorang pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan (dulu namanya Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan).
Pada awal 1926, sebagai pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan Malaka dalam rangka menyiapkan pemberontakan. Tapi sebelum Alimin pulang, pemberontakan sudah meletus 12 November 1926. Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.
Setelah ia keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow dan bergabung dengan Komintern. Alimin tidak lama di sana karena bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Kanton (Guangzhou). Pada saat itu ia terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Perancis.
Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di Yenan dan bergabung bersama tentara merah di sana. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1946, yaitu setelah Republik Indonesia diproklamasikan.
Ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal tahun 1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentralnya, Alimin termasuk tokoh komunis yang tidak diindahkannya. Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat meninggalnya di tahun 1964.
Wikana
Wikana (lahir di Sumedang, Jawa Barat, 18 Oktober 1914[1] - 1966?) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Bersama Chaerul Saleh, Sukarni dan pemuda-pemuda lainnya dari Menteng 31, mereka menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok dengan tujuan agar kedua tokoh ini segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan setelah kekalahan Jepang dari Sekutu pada tahun 1945.
Keluarga
Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. Bahkan salah seorang kakanya, Winanta adalah seorang Digulis.
Pendidikan
Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.
Awal perjuangan
Pada masa mudanya ia aktif sebagai Angkatan Baru Indonesia dan Gerakan Rakyat Baru. Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta.
Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.
Masa Revolusi Fisik
Wikana pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 melakukan peran paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Selain itu Wikana juga mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan 56. Ia juga sangat tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana yang membujuk kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi.
Karier Wikana jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu.
Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto.
Setelah Revolusi Fisik
Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 Februari 1955.
Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif. Hal ini sama dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex-Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Pada saat itu Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS.
Pemberontakan PKI
Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air.
Menghilang
Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya.
Keluarga
Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. Bahkan salah seorang kakanya, Winanta adalah seorang Digulis.
Pendidikan
Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.
Awal perjuangan
Pada masa mudanya ia aktif sebagai Angkatan Baru Indonesia dan Gerakan Rakyat Baru. Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta.
Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.
Masa Revolusi Fisik
Wikana pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 melakukan peran paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Selain itu Wikana juga mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan 56. Ia juga sangat tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana yang membujuk kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi.
Karier Wikana jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu.
Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto.
Setelah Revolusi Fisik
Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 Februari 1955.
Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif. Hal ini sama dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex-Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Pada saat itu Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS.
Pemberontakan PKI
Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air.
Menghilang
Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya.
Chaerul Saleh
Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo atau lebih dikenal dengan nama Chaerul Saleh (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 13 September 1916 – meninggal di Jakarta, 8 Februari 1967 pada umur 50 tahun[1][2]) adalah seorang pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966.
Daftar isi
Perjuangan
Ia bersama Wikana, Sukarni dan pemuda lainnya dari Menteng 31 yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok agar kedua tokoh ini segera menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah kekalaha Jepang dari Sekutu pada tahun 1945.
Jabatan politik
Jabatan yang pernah diduduki oleh Chaerul Saleh adalah:
Menteri Negara Urusan Veteran, Kabinet Djuanda (1957)
Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (1959-1960)
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963)
Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (1963-1966)
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965)
G30S/PKI
Setelah peristiwa G30S, Chaerul Saleh ditahan oleh pemerintah Indonesia dan meninggal pada tahun 1967 dengan status tahanan. Tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Daftar isi
Perjuangan
Ia bersama Wikana, Sukarni dan pemuda lainnya dari Menteng 31 yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok agar kedua tokoh ini segera menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah kekalaha Jepang dari Sekutu pada tahun 1945.
Jabatan politik
Jabatan yang pernah diduduki oleh Chaerul Saleh adalah:
Menteri Negara Urusan Veteran, Kabinet Djuanda (1957)
Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (1959-1960)
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963)
Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (1963-1966)
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965)
G30S/PKI
Setelah peristiwa G30S, Chaerul Saleh ditahan oleh pemerintah Indonesia dan meninggal pada tahun 1967 dengan status tahanan. Tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Ir. Sakirman
Ir. Sakirman adalah salah satu petinggi PKI. Dia dilahirkan di tahun 1911, di Wonosobo, Jawa Tengah.
Sakirman tidak seperti kebanyakan pimpinan PKI yang berasal dari kalangan rakyat jelata saat itu. Ir Sakirman adalah seorang lulusan ITB (saat itu bernama "Technische Hooge School" (THS)) dan berasal dari keluarga Mangkunegaran. Di tahun 1965 Ir. Sakirman termasuk generasi tua dengan banyak pengalaman perjuangan. Sesudah proklamasi kemerdekaan 1945, Sakirman bergabung dengan AMRI , Slawi, Tegal. Ia pun terlibat dalam Peristiwa Tiga Daerah di karesidenan Pekalongan yang meliputi Pekalongan, Brebes dan Pembebasan Tegal.
Namanya semakin dikenal luas ketika menjadi pemimpin eksekutif Lasjkar Rakjat Jawa Tengah sekitar tahun 1945. Lasjkar Rakjat tersebut juga mencakup wilayah Jawa Barat. Hanya Lasjkar Rakyat Jawa Barat dipimpin oleh Chaerul Saleh dan Armunanto. Lasjkar Rakyat ini bertujuan antara lain: memerangi buta huruf; meningkatkan kewaspadaan militer dan menangkap mata-mata musuh; dan melakukan kerja sama dengan rakyat terutama organisasi-organisasi buruh dan tani. Lasjkar Rakyat dalam mengefektifkan kerja-kerjanya juga menerbitkan Soeara Lasjkar. Sejarah kehidupan Ir. Sakirman memang belum banyak ditulis, sehingga publik tak begitu mengenal siapa dan bagaimana perjalann hidup Sakirman sebagai pejuang. Walau begitu dari minimnya catatan yang ada, hidup Ir. Sakirman telah mewarnai sejarah beridirinya Republik Indonesia.
Pada bulan Mei 1946, Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan membentuk Biro Perjuangan yang merupakan biro khusus dalam lingkungan Kementerian Pertahanan. Tujuannya untuk menampung laskar-laskar rakyat yang didirikan oleh partai-partai dan atau golongan-golongan yang turut berpartisipasi aktif dalam perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Djokosuyono dan Ir. Sakirman diangkat sebagai pimpinan biro dengan pangkat Mayor Jenderal . Sebelumnya Ir Sakirman juga dipercaya Amir Sjarifuddin sebagai kepala biro pendidikan politik tentara (Pepolit) dengan pangkat Letnan Kolonel. Pengangkatan Ir. Sakirman ini tentu didasarkan pada aktivitasnya yang tinggi dikelaskaran rakyat.
Sakirman tidak seperti kebanyakan pimpinan PKI yang berasal dari kalangan rakyat jelata saat itu. Ir Sakirman adalah seorang lulusan ITB (saat itu bernama "Technische Hooge School" (THS)) dan berasal dari keluarga Mangkunegaran. Di tahun 1965 Ir. Sakirman termasuk generasi tua dengan banyak pengalaman perjuangan. Sesudah proklamasi kemerdekaan 1945, Sakirman bergabung dengan AMRI , Slawi, Tegal. Ia pun terlibat dalam Peristiwa Tiga Daerah di karesidenan Pekalongan yang meliputi Pekalongan, Brebes dan Pembebasan Tegal.
Namanya semakin dikenal luas ketika menjadi pemimpin eksekutif Lasjkar Rakjat Jawa Tengah sekitar tahun 1945. Lasjkar Rakjat tersebut juga mencakup wilayah Jawa Barat. Hanya Lasjkar Rakyat Jawa Barat dipimpin oleh Chaerul Saleh dan Armunanto. Lasjkar Rakyat ini bertujuan antara lain: memerangi buta huruf; meningkatkan kewaspadaan militer dan menangkap mata-mata musuh; dan melakukan kerja sama dengan rakyat terutama organisasi-organisasi buruh dan tani. Lasjkar Rakyat dalam mengefektifkan kerja-kerjanya juga menerbitkan Soeara Lasjkar. Sejarah kehidupan Ir. Sakirman memang belum banyak ditulis, sehingga publik tak begitu mengenal siapa dan bagaimana perjalann hidup Sakirman sebagai pejuang. Walau begitu dari minimnya catatan yang ada, hidup Ir. Sakirman telah mewarnai sejarah beridirinya Republik Indonesia.
Pada bulan Mei 1946, Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan membentuk Biro Perjuangan yang merupakan biro khusus dalam lingkungan Kementerian Pertahanan. Tujuannya untuk menampung laskar-laskar rakyat yang didirikan oleh partai-partai dan atau golongan-golongan yang turut berpartisipasi aktif dalam perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Djokosuyono dan Ir. Sakirman diangkat sebagai pimpinan biro dengan pangkat Mayor Jenderal . Sebelumnya Ir Sakirman juga dipercaya Amir Sjarifuddin sebagai kepala biro pendidikan politik tentara (Pepolit) dengan pangkat Letnan Kolonel. Pengangkatan Ir. Sakirman ini tentu didasarkan pada aktivitasnya yang tinggi dikelaskaran rakyat.
Untung Syamsuri
Untung Syamsuri
Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1927, wafat di Cimahi, 1969) adalah Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965. Untung adalah bekas anak buah Soeharto ketika ia menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin.
Masa kecil
Letkol Untung Sutopo Bin Syamsuri lahir di Desa Jayengan, Solo, pada tahun 1927. Nama kecilnya adalah Kusman. Ayahnya bernama Abdullah dan bekerja di sebuah toko peralatan batik di Pasar Kliwon, Solo. Sejak kecil Kusman telah diangkat anak oleh pamannya yang bernama Syamsuri. Kusman masuk sekolah dasar di Ketelan dan di sanalah dia mengenal permaina bola dan menjadi hobinya kemudian hari. Karena senang bermain bola Kusman pernah menjadi anggota KVC (Kaparen Voetball Club) di desanya. Setelah lulus sekolah dasar, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang namun tidak sampai selesai karena Jepang mulai masuk ke Indonesia dan Kusman bergabung ke dalam Heiho.
Karier
Semasa perang kemerdekaan untung bergabung dengan Batalyon Sudigdo yang berada di Wonogiri, Solo. Selanjutnya Gubernur Militer Kolonel Sobroto memerintahkan agar Batalyon Sudigdo dipindahkan ke Cepogo, di lereng gunung Merbabu. Kemudian Kusman pergi ke Madiun dan bergabung dengan teman-temannya. Setelah peristiwa Madiun, Kusman berganti nama menjadi Untung Sutopo dan masuk TNI melalui Akademi Militer di Semarang.
Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer. Pada masa pendidikan ia bersaing dengan Benny Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD. Mereka berdua sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat dan Untung merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala. Untung dan Benny tidak lebih satu bulan berada di Irian Barat karena Soeharto telah memerintah gencatan senjata pada tahun 1962.
Sebelum ditarik ke Resimen Cakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang. Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II. Kelak dalam peristiwa G30S ini, Banteng Raiders akan berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah G30S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya sebelum kemudian ia tertangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah. Ketika tertangkap, ia tidak mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G30S. Setelah mengalami pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung.
Setelah melalui sidang Mahmillub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1969, empat tahun setelah G30S meletus.
Hubungan dengan Soeharto
Bagi Soeharto, Untung bukanlah orang lain. Hubungan keduanya cukup erat apalagi Soeharto pernah menjadi atasan Untung di Kodam Diponegoro. Indikasi kedekatan tersebut terlihat pada resepsi pernikahan Untung yang dihadiri oleh Soeharto beserta Ny. Tien Soeharto. Pernikahan tersebut berlangsung di Kebumen beberapa bulan sebelum G30S meletus. Kedatangan komandan pada resepsi pernikahan anak buahnya adalah hal yang jamak, yang tidak jamak adalah tampak ada hal khusus yang mendorong Soeharto dan istrinya hadir pada pernikahan tersebut mengingat jarak Jakarta - Kebumen bukanlah jarak yang dekat belum lagi ditambah pada masa tahun 1965 sarana transportasi sangatlah sulit.
Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1927, wafat di Cimahi, 1969) adalah Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965. Untung adalah bekas anak buah Soeharto ketika ia menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin.
Masa kecil
Letkol Untung Sutopo Bin Syamsuri lahir di Desa Jayengan, Solo, pada tahun 1927. Nama kecilnya adalah Kusman. Ayahnya bernama Abdullah dan bekerja di sebuah toko peralatan batik di Pasar Kliwon, Solo. Sejak kecil Kusman telah diangkat anak oleh pamannya yang bernama Syamsuri. Kusman masuk sekolah dasar di Ketelan dan di sanalah dia mengenal permaina bola dan menjadi hobinya kemudian hari. Karena senang bermain bola Kusman pernah menjadi anggota KVC (Kaparen Voetball Club) di desanya. Setelah lulus sekolah dasar, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang namun tidak sampai selesai karena Jepang mulai masuk ke Indonesia dan Kusman bergabung ke dalam Heiho.
Karier
Semasa perang kemerdekaan untung bergabung dengan Batalyon Sudigdo yang berada di Wonogiri, Solo. Selanjutnya Gubernur Militer Kolonel Sobroto memerintahkan agar Batalyon Sudigdo dipindahkan ke Cepogo, di lereng gunung Merbabu. Kemudian Kusman pergi ke Madiun dan bergabung dengan teman-temannya. Setelah peristiwa Madiun, Kusman berganti nama menjadi Untung Sutopo dan masuk TNI melalui Akademi Militer di Semarang.
Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer. Pada masa pendidikan ia bersaing dengan Benny Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD. Mereka berdua sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat dan Untung merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala. Untung dan Benny tidak lebih satu bulan berada di Irian Barat karena Soeharto telah memerintah gencatan senjata pada tahun 1962.
Sebelum ditarik ke Resimen Cakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang. Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II. Kelak dalam peristiwa G30S ini, Banteng Raiders akan berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah G30S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya sebelum kemudian ia tertangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah. Ketika tertangkap, ia tidak mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G30S. Setelah mengalami pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung.
Setelah melalui sidang Mahmillub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1969, empat tahun setelah G30S meletus.
Hubungan dengan Soeharto
Bagi Soeharto, Untung bukanlah orang lain. Hubungan keduanya cukup erat apalagi Soeharto pernah menjadi atasan Untung di Kodam Diponegoro. Indikasi kedekatan tersebut terlihat pada resepsi pernikahan Untung yang dihadiri oleh Soeharto beserta Ny. Tien Soeharto. Pernikahan tersebut berlangsung di Kebumen beberapa bulan sebelum G30S meletus. Kedatangan komandan pada resepsi pernikahan anak buahnya adalah hal yang jamak, yang tidak jamak adalah tampak ada hal khusus yang mendorong Soeharto dan istrinya hadir pada pernikahan tersebut mengingat jarak Jakarta - Kebumen bukanlah jarak yang dekat belum lagi ditambah pada masa tahun 1965 sarana transportasi sangatlah sulit.
Sobron Aidit
Sobron Aidit
Sobron Aidit (Tanjung Pandan, Belitung, 2 Juni 1934 - Paris, 10 Februari 2007) adalah penulis dan penyair yang besar pada zaman Orde Lama. Sebagai penulis, ia menulis cerita-cerita pendek. Ia bertahun-tahun hidup dalam pengasingan di Paris (Perancis) dan meninggal dalam usia 73 tahun. Ia adalah adik pemimpin Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit. Pendidikannya ditempuhnya di HIS di Belitung, dan kemudian melanjutkan hingga ke Universitas Indonesia di Jakarta.
Menjadi pengarang
Sejak masa remajanya, Sobron telah aktif mengarang. Karangannya yang pertama dibuatnya pada usia 13 tahun berupa cerita pendek, "Kedaung" yang diterbitkan dalam Majalah Waktu di Medan. Pindah ke Jakarta, Sobron bertemu dengan Chairil Anwar yang kebetulan tinggal bersama kakaknya. Chairil banyak membimbingnya dalam penulisan dan kreativitas Sobron pun kian berkembang. Puisi dan cerpennya terbit di berbagai majalah, seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, yang semuanya diasuh oleh H.B. Jassin. Penerbitan lain yang memuat karya-karyanya adalah Harian Sunday Courier, Republik, Bintang Timur (Bintang Minggu), Harian Rakjat, Zaman Baru, Kencana, Siasat, Mutiara, dll.
Sobron pernah memperoleh penghargaan Hadiah Sastra untuk karya-karyanya. Cerpennya, "Buaja dan dukunnja" mendapatkan penghargaan dari Majalah Kisah/Sastra pada 1955-1956, dan cerpennya "Basimah" mendapatkan penghargaan dari Harian Rakjat Kebudajaan pada 1961.
Pekerjaan dan aktivitas
Sobron Aidit bekerja sebagai guru di SMA Utama di Salemba, dan SMA Tiong Hoa Hwee Koan, keduanya di Jakarta (1954-1963). Ia juga menjadi dosen di Akademi Sastra Multatuli yang didirikannya bersama Prof. Bakri Siregar. Sobron juga pernah menjadi wartawan untuk Harian Rakjat dan Bintang Timur, keduanya terkenal sebagai harian kiri pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Selain itu, ia juga aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof. Dr. Prijono, dan kemudian bersama Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958).
Pada 1960-1962, ia aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K. Werdoyo dan Nyak Diwan, dan pengurus Baperki bersama Siauw Giok Tjhan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai seniman, Sobron mendirikan kelompok "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim Umboh dll.
Pada tahun 1963 ia mendapat undangan untuk menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing (1964). Di samping itu ia tetap menjadi wartawan, antara lain untuk Peking Review. Sobron dan keluarganya bermukim di Beijing atau Tiongkok sebagai pengajar di Institut Bahasa Asing. Sejak itu, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Karena, bila ia kembali, keselamatannya tidak terjamin.
Revolusi Kebudayaan
Pada tahun 1966 - 1976 Tiongkok dilanda Revolusi Kebudayaan yang antara lain besifat anti kaum intelektual. Sobron pun terpaksa berhenti bekerja dan diperintahkan pergi ke desa untuk hidup dan bekerja bersama dengan para petani. Setelah Revolusi ini berakhir, pada 1979 ia kembali ke Beijing dan bekerja di Radio Peking sebagai penyiar dan redaktur.
Pindah ke Perancis
Setelah kontraknya dengan Radio Peking berakhir, Sobron berniat meninggalkan Tiongkok, namun ia tidak tahu harus ke mana. Mulanya ia ingin ke Hong Kong, namun ia khawatir akan diekstradisi ke Indonesia. Pada 1981, ia memutuskan ke Paris, meskipun sama sekali tidak paham tentang negara itu dan tidak mengenal bahasanya. Setibanya di Perancis, ia diberikan pelajaran bahasa Perancis di pusat penampungan pengungsi. Bersama sejumlah temannya, ia mendirikan restoran "Indonesia" di Rue de Vaugirard (Paris). Beberapa cerita pendek berlatar belakang dari restorannya itu.
Membuka restoran
Setelah selesai mendapatkan pelajaran dasar bahasa Perancis, Sobron dan teman-temannya dilepas oleh pemerintah Perancis untuk hidup mandiri. Muncullah gagasan di antara mereka untuk membuka sebuah restoran Indonesia secara kolektif, meskipun tak seorangpun dari mereka yang punya pengalaman mengelola restoran. Selama enam bulan Sobron dan temannya Umar Said berkeliling Paris untuk mencari lokasi dan mempelajari menu restoran-restoran yang sudah ada.
Dana untuk membuka restoran mereka peroleh dari berbagai sumber, terutama dari sejumlah pendukung di Belanda, dari Gereja Katolik, dan dari uang tunjangan yang mereka terima selama dua tahun dari pemerintah Perancis. Ada juga bantuan dari sejumlah teman orang Perancis yang bersimpati dengan nasib mereka. Presiden Mitterand bahkan sangat bersimpati, dan istrinya pernah beberapa singgah dan makan di restoran mereka yang kecil itu, di kawasan Luxembourg, pusat kota Paris.
Oleh pemerintah Indonesia sendiri kelompok ini diboikot dan dimusuhi. Baru setelah Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, ada keterbukaan dari pihak perwakilan Indonesia di Paris.
Kegiatan terakhir
Selama Orde Baru, karya-karya Sobron, termasuk karyanya bersama orang lain, dilarang beredar. Meskipun demikian, tulisan-tulisannya tetap muncul di berbagai media di Indonesia, semuanya dengan nama sambaran. "Saya punya 25 nama samaran selama 32 tahun," Sobron mengaku.
Sobron menjadi salah seorang pendukung dan penulis yang aktif bagi usaha terbitan pers alternatif, terutama sekali bagi majalah sastra dan seni Kreasi, majalah Mimbar, dan majalah opini dan budaya pluralis Arena.
Catatan kehidupan dan pengembaraannya muncul secara teratur di internet.
Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Mandarin, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman, dan Prancis.
Sobron telah menjadi warga negara Perancis, dan dengan paspor Perancis ia sudah beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Ia juga menggunakan nama "Simon".
Sobron Aidit terkena serangan jantung dua hari sebelum ia meninggal di rumah sakit di Paris, Perancis pada tanggal 10 Februari 2007.
Keluarga
Simon Sobron Aidit terakhir tinggal di Perancis, sementara dua anaknya (Wita dan Nita) tinggal di Belanda. Istrinya telah lama meninggal ketika masih tinggal di Tiongkok.
Karya tulis
Sebagian dari karangan dan kumpulan puisi Sobron Aidit:
Surat kepada Tuhan: memoar (2003)
Gajah di Pelupuk Mata: memoar Sobron Aidit (2002)
Kisah Intel dan Sebuah Warung, Garba Budaya, (2000)
Cerita dari Tanah Pengasingan (1999)
Mencari Langit: sebuah kumpulan sajak (1999)
Razia Agustus: kumpulan cerpen penerbit Gramedia Pustaka (1992) dan diluncurkan dalam sebuah acara diskusi buku di Bentara Budaya Jakarta pada November 2006.
Derap Revolusi: kumpulan novelette and tjerpen (1962)
Ketemu di Djalan: tiga kumpulan sadjak (1956) (bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan)
Sobron Aidit (Tanjung Pandan, Belitung, 2 Juni 1934 - Paris, 10 Februari 2007) adalah penulis dan penyair yang besar pada zaman Orde Lama. Sebagai penulis, ia menulis cerita-cerita pendek. Ia bertahun-tahun hidup dalam pengasingan di Paris (Perancis) dan meninggal dalam usia 73 tahun. Ia adalah adik pemimpin Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit. Pendidikannya ditempuhnya di HIS di Belitung, dan kemudian melanjutkan hingga ke Universitas Indonesia di Jakarta.
Menjadi pengarang
Sejak masa remajanya, Sobron telah aktif mengarang. Karangannya yang pertama dibuatnya pada usia 13 tahun berupa cerita pendek, "Kedaung" yang diterbitkan dalam Majalah Waktu di Medan. Pindah ke Jakarta, Sobron bertemu dengan Chairil Anwar yang kebetulan tinggal bersama kakaknya. Chairil banyak membimbingnya dalam penulisan dan kreativitas Sobron pun kian berkembang. Puisi dan cerpennya terbit di berbagai majalah, seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, yang semuanya diasuh oleh H.B. Jassin. Penerbitan lain yang memuat karya-karyanya adalah Harian Sunday Courier, Republik, Bintang Timur (Bintang Minggu), Harian Rakjat, Zaman Baru, Kencana, Siasat, Mutiara, dll.
Sobron pernah memperoleh penghargaan Hadiah Sastra untuk karya-karyanya. Cerpennya, "Buaja dan dukunnja" mendapatkan penghargaan dari Majalah Kisah/Sastra pada 1955-1956, dan cerpennya "Basimah" mendapatkan penghargaan dari Harian Rakjat Kebudajaan pada 1961.
Pekerjaan dan aktivitas
Sobron Aidit bekerja sebagai guru di SMA Utama di Salemba, dan SMA Tiong Hoa Hwee Koan, keduanya di Jakarta (1954-1963). Ia juga menjadi dosen di Akademi Sastra Multatuli yang didirikannya bersama Prof. Bakri Siregar. Sobron juga pernah menjadi wartawan untuk Harian Rakjat dan Bintang Timur, keduanya terkenal sebagai harian kiri pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Selain itu, ia juga aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof. Dr. Prijono, dan kemudian bersama Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958).
Pada 1960-1962, ia aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K. Werdoyo dan Nyak Diwan, dan pengurus Baperki bersama Siauw Giok Tjhan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai seniman, Sobron mendirikan kelompok "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim Umboh dll.
Pada tahun 1963 ia mendapat undangan untuk menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing (1964). Di samping itu ia tetap menjadi wartawan, antara lain untuk Peking Review. Sobron dan keluarganya bermukim di Beijing atau Tiongkok sebagai pengajar di Institut Bahasa Asing. Sejak itu, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Karena, bila ia kembali, keselamatannya tidak terjamin.
Revolusi Kebudayaan
Pada tahun 1966 - 1976 Tiongkok dilanda Revolusi Kebudayaan yang antara lain besifat anti kaum intelektual. Sobron pun terpaksa berhenti bekerja dan diperintahkan pergi ke desa untuk hidup dan bekerja bersama dengan para petani. Setelah Revolusi ini berakhir, pada 1979 ia kembali ke Beijing dan bekerja di Radio Peking sebagai penyiar dan redaktur.
Pindah ke Perancis
Setelah kontraknya dengan Radio Peking berakhir, Sobron berniat meninggalkan Tiongkok, namun ia tidak tahu harus ke mana. Mulanya ia ingin ke Hong Kong, namun ia khawatir akan diekstradisi ke Indonesia. Pada 1981, ia memutuskan ke Paris, meskipun sama sekali tidak paham tentang negara itu dan tidak mengenal bahasanya. Setibanya di Perancis, ia diberikan pelajaran bahasa Perancis di pusat penampungan pengungsi. Bersama sejumlah temannya, ia mendirikan restoran "Indonesia" di Rue de Vaugirard (Paris). Beberapa cerita pendek berlatar belakang dari restorannya itu.
Membuka restoran
Setelah selesai mendapatkan pelajaran dasar bahasa Perancis, Sobron dan teman-temannya dilepas oleh pemerintah Perancis untuk hidup mandiri. Muncullah gagasan di antara mereka untuk membuka sebuah restoran Indonesia secara kolektif, meskipun tak seorangpun dari mereka yang punya pengalaman mengelola restoran. Selama enam bulan Sobron dan temannya Umar Said berkeliling Paris untuk mencari lokasi dan mempelajari menu restoran-restoran yang sudah ada.
Dana untuk membuka restoran mereka peroleh dari berbagai sumber, terutama dari sejumlah pendukung di Belanda, dari Gereja Katolik, dan dari uang tunjangan yang mereka terima selama dua tahun dari pemerintah Perancis. Ada juga bantuan dari sejumlah teman orang Perancis yang bersimpati dengan nasib mereka. Presiden Mitterand bahkan sangat bersimpati, dan istrinya pernah beberapa singgah dan makan di restoran mereka yang kecil itu, di kawasan Luxembourg, pusat kota Paris.
Oleh pemerintah Indonesia sendiri kelompok ini diboikot dan dimusuhi. Baru setelah Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, ada keterbukaan dari pihak perwakilan Indonesia di Paris.
Kegiatan terakhir
Selama Orde Baru, karya-karya Sobron, termasuk karyanya bersama orang lain, dilarang beredar. Meskipun demikian, tulisan-tulisannya tetap muncul di berbagai media di Indonesia, semuanya dengan nama sambaran. "Saya punya 25 nama samaran selama 32 tahun," Sobron mengaku.
Sobron menjadi salah seorang pendukung dan penulis yang aktif bagi usaha terbitan pers alternatif, terutama sekali bagi majalah sastra dan seni Kreasi, majalah Mimbar, dan majalah opini dan budaya pluralis Arena.
Catatan kehidupan dan pengembaraannya muncul secara teratur di internet.
Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Mandarin, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman, dan Prancis.
Sobron telah menjadi warga negara Perancis, dan dengan paspor Perancis ia sudah beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Ia juga menggunakan nama "Simon".
Sobron Aidit terkena serangan jantung dua hari sebelum ia meninggal di rumah sakit di Paris, Perancis pada tanggal 10 Februari 2007.
Keluarga
Simon Sobron Aidit terakhir tinggal di Perancis, sementara dua anaknya (Wita dan Nita) tinggal di Belanda. Istrinya telah lama meninggal ketika masih tinggal di Tiongkok.
Karya tulis
Sebagian dari karangan dan kumpulan puisi Sobron Aidit:
Surat kepada Tuhan: memoar (2003)
Gajah di Pelupuk Mata: memoar Sobron Aidit (2002)
Kisah Intel dan Sebuah Warung, Garba Budaya, (2000)
Cerita dari Tanah Pengasingan (1999)
Mencari Langit: sebuah kumpulan sajak (1999)
Razia Agustus: kumpulan cerpen penerbit Gramedia Pustaka (1992) dan diluncurkan dalam sebuah acara diskusi buku di Bentara Budaya Jakarta pada November 2006.
Derap Revolusi: kumpulan novelette and tjerpen (1962)
Ketemu di Djalan: tiga kumpulan sadjak (1956) (bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan)
D. N. Aidit
D. N. Aidit
Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan DN Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun) adalah Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC-PKI). Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Di masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
Terlibat dalam politik
DN Aidit berbicara dalam kampanye PKI pada Pemilu 1955
Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.
Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang. Ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Peristiwa G-30-S
DN Aidit saat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-5 Partai Persatuan Sosialis Jerman (Sozialistische Einheitspartei Deutschlands) di Berlin (1958).
Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S.
Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.
Kematian dan Kontroversi
Ada beberapa versi tentang kematian DN Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Selain kematiannya, kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatera Barat yang pergi merantau ke Belitung.[1] Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah mengetahui dan mengakui hal itu.
Tulisan DN Aidit
DN Aidit banyak menuliskan pikiran-pikirannya dalam sejumlah buku dan tulisan. Sebagian daripadanya adalah:
Sedjarah gerakan buruh Indonesia, dari tahun 1905 sampai tahun 1926 (1952)
Perdjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1952)
Menempuh djalan rakjat: pidato untuk memperingati ulangtahun PKI jang ke-32 - 23 Mei 1952 (1954)
Tentang Tan Ling Djie-isme: referat jang disampaikan pada kongres nasional ke-V PKI (1954)
Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato sebagai laporan Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret 1954 (1955) / bahasa Inggris: The road to people's democracy for Indonesia (1955)
Untuk kemenangan front nasional dalam pemilihan umum, dan kewadjiban mengembangkan kritik serta meninggikan tingkat ideologi Partai: Pidato dimuka sidang pleno Central Comite ke-3 PKI pada tanggal 7 Agustus 1955 (1955)
Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan nasional, perdamaian dan demokrasi sesudah pemilihan parlemen (1955)
Menudju Indonesia baru: Pidato untuk memperingati ulang-tahun PKI jang ke-33 (1955)
Perjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1955)
Revolusi Oktober dan rakjat2 Timur (1957)
37 tahun Partai Komunis Indonesia (1957)
Masjarakat Indonesia dan revolusi Indonesia: (soal² pokok revolusi Indonesia) (1958)
Sendjata ditangan rakjat (1958)
Kalahkan konsepsi politik Amerika Serikat (1958)
Visit to five socialist states: talk by D.N. Aidit at the Sports Hall in Djakarta on 19th September (1958)
Konfrontasi peristiwa Madiun (1948) - Peristiwa Sumatera (1956) (1958)
Ilmu pengetahuan untuk rakjat, tanahair & kemanusiaan (1959)
Pilihan tulisan (1959)
Introduksi tentang soal2 pokok revolusi Indonesia kuliah umum (1959)
Untuk demokrasi dan kabinet gotong rojong (laporan umum Comite Central Partai Komunis Indonesia kepada Kongres Nasional ke-VI) (1959)
Dari sembilan negeri sosialis: kumpulan laporan perlawatan kesembilan negeri sosialis (1959)
Peladjaran dari sedjarah PKI (1960)
Indonesian socialism and the conditions for its implementation (1960)
Memerangi liberalisme (1960)
41 tahun PKI (1961)
PKI dan MPRS (1961)
Perkuat persatuan nasional dan persatuan komunis!: laporan politik ketua CC PKI kepada Sidang Pleno ke-III CC PKI pada achir tahun 1961 (1961)
Anti-imperialisme dan Front Nasional (1962)
Setudju Manipol harus setudju Nasakomn (1962)
Pengantar etika dan moral komunis (1962)
Tentang Marxisme (1962)
Untuk demokrasi, persatuan dan mobilisasi laporan umum atas nama CC PKI kepada Kongres Nasional ke-VI (1962)
Indonesian communists oppose Malaysia (1962)
Berani, berani, sekali lagi berani: laporan politik ketua CC PKI kepada sidang pleno I CC PKI, disampaikan pada tanggal 10 Februari 1963 (1963)
Hajo, ringkus dan ganjang, kontra revolusi: pidato ulangtahun ke-43 PKI, diutjapkan di Istana Olah Raga "Gelora Bung Karno" pada tanggal 26 Mei 1963 (1963)
Langit takkan runtuh (1963)
Problems of the Indonesian revolution (1963)
Angkatan bersendjata dan penjesuaian kekuasaan negara dengan tugas² revolusi; PKI dan Angkatan Darat (1963)
PKI dan ALRI (SESKOAL) (1963)
PKI dan AURI (1963)
PKI dan polisi (1963)
Dekon dalam udjian (1963)
Peranan koperasi dewasa ini (1963)
Dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional mengabdi buruh, tani dan pradjurit (1964)
Aidit membela Pantjasila (1964)
PKI dan Angkatan Darat (Seskoad) (1964)
Aidit menggugat peristiwa Madiun: pembelaan D.N. Aidit dimuka pengadilan Negeri Djakarta, Tgl. 24 Februari 1955 (1964)
"The Indonesian revolution and the immediate tasks of the Communist Party of Indonesia" (1964)
Untuk bekerdja lebih baik dikalangan kaum tani (1964)
Dengan semangat banteng merah mengkonsolidasi organisasi Komunis jang besar: Djadilah Komunis jang baik dan lebih balk lagi! (1964)
Kobarkan semangat banteng! - Madju terus, pantang mundur! Laporan politik kepada sidang pleno ke-II CCPKI jang diperluas dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central di Djakarta tanggal 23-26 Desember 1963 (1964) / bahasa Inggris: Set afire the banteng spirit! - ever forward, not retreat! - political report to the second plenum of the Seventh Central Committee Communist Party of Indonesia, enlarged with the members of the Central, 1963 (1964)
Kaum tani mengganjang setan-setan desa: laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Djawa Barat (1964)
Perhebat ofensif revolusioner disegala bidang! Laporan politik kepada sidang pleno ke-IV CC PKI jang diperluas tanggal 11 Mei 1965 (1965)
Politik luarnegeri dan revolusi Indonesia (kuliah dihadapan pendidikan kader revolusi angkatan Dwikora jang diselenggarakan oleh pengurus besar Front Nasional di Djakarta) (1965)
Selain itu, sebagian dari tulisan-tulisannya juga diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul The Selected Works of D.N. Aidit (2 vols.; Washington: US Joint Publications Research Service, 1961).
Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan DN Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun) adalah Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC-PKI). Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Di masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
Terlibat dalam politik
DN Aidit berbicara dalam kampanye PKI pada Pemilu 1955
Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.
Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang. Ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Peristiwa G-30-S
DN Aidit saat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-5 Partai Persatuan Sosialis Jerman (Sozialistische Einheitspartei Deutschlands) di Berlin (1958).
Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S.
Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.
Kematian dan Kontroversi
Ada beberapa versi tentang kematian DN Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Selain kematiannya, kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatera Barat yang pergi merantau ke Belitung.[1] Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah mengetahui dan mengakui hal itu.
Tulisan DN Aidit
DN Aidit banyak menuliskan pikiran-pikirannya dalam sejumlah buku dan tulisan. Sebagian daripadanya adalah:
Sedjarah gerakan buruh Indonesia, dari tahun 1905 sampai tahun 1926 (1952)
Perdjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1952)
Menempuh djalan rakjat: pidato untuk memperingati ulangtahun PKI jang ke-32 - 23 Mei 1952 (1954)
Tentang Tan Ling Djie-isme: referat jang disampaikan pada kongres nasional ke-V PKI (1954)
Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato sebagai laporan Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret 1954 (1955) / bahasa Inggris: The road to people's democracy for Indonesia (1955)
Untuk kemenangan front nasional dalam pemilihan umum, dan kewadjiban mengembangkan kritik serta meninggikan tingkat ideologi Partai: Pidato dimuka sidang pleno Central Comite ke-3 PKI pada tanggal 7 Agustus 1955 (1955)
Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan nasional, perdamaian dan demokrasi sesudah pemilihan parlemen (1955)
Menudju Indonesia baru: Pidato untuk memperingati ulang-tahun PKI jang ke-33 (1955)
Perjuangan dan adjaran-adjaran Karl Marx (1955)
Revolusi Oktober dan rakjat2 Timur (1957)
37 tahun Partai Komunis Indonesia (1957)
Masjarakat Indonesia dan revolusi Indonesia: (soal² pokok revolusi Indonesia) (1958)
Sendjata ditangan rakjat (1958)
Kalahkan konsepsi politik Amerika Serikat (1958)
Visit to five socialist states: talk by D.N. Aidit at the Sports Hall in Djakarta on 19th September (1958)
Konfrontasi peristiwa Madiun (1948) - Peristiwa Sumatera (1956) (1958)
Ilmu pengetahuan untuk rakjat, tanahair & kemanusiaan (1959)
Pilihan tulisan (1959)
Introduksi tentang soal2 pokok revolusi Indonesia kuliah umum (1959)
Untuk demokrasi dan kabinet gotong rojong (laporan umum Comite Central Partai Komunis Indonesia kepada Kongres Nasional ke-VI) (1959)
Dari sembilan negeri sosialis: kumpulan laporan perlawatan kesembilan negeri sosialis (1959)
Peladjaran dari sedjarah PKI (1960)
Indonesian socialism and the conditions for its implementation (1960)
Memerangi liberalisme (1960)
41 tahun PKI (1961)
PKI dan MPRS (1961)
Perkuat persatuan nasional dan persatuan komunis!: laporan politik ketua CC PKI kepada Sidang Pleno ke-III CC PKI pada achir tahun 1961 (1961)
Anti-imperialisme dan Front Nasional (1962)
Setudju Manipol harus setudju Nasakomn (1962)
Pengantar etika dan moral komunis (1962)
Tentang Marxisme (1962)
Untuk demokrasi, persatuan dan mobilisasi laporan umum atas nama CC PKI kepada Kongres Nasional ke-VI (1962)
Indonesian communists oppose Malaysia (1962)
Berani, berani, sekali lagi berani: laporan politik ketua CC PKI kepada sidang pleno I CC PKI, disampaikan pada tanggal 10 Februari 1963 (1963)
Hajo, ringkus dan ganjang, kontra revolusi: pidato ulangtahun ke-43 PKI, diutjapkan di Istana Olah Raga "Gelora Bung Karno" pada tanggal 26 Mei 1963 (1963)
Langit takkan runtuh (1963)
Problems of the Indonesian revolution (1963)
Angkatan bersendjata dan penjesuaian kekuasaan negara dengan tugas² revolusi; PKI dan Angkatan Darat (1963)
PKI dan ALRI (SESKOAL) (1963)
PKI dan AURI (1963)
PKI dan polisi (1963)
Dekon dalam udjian (1963)
Peranan koperasi dewasa ini (1963)
Dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional mengabdi buruh, tani dan pradjurit (1964)
Aidit membela Pantjasila (1964)
PKI dan Angkatan Darat (Seskoad) (1964)
Aidit menggugat peristiwa Madiun: pembelaan D.N. Aidit dimuka pengadilan Negeri Djakarta, Tgl. 24 Februari 1955 (1964)
"The Indonesian revolution and the immediate tasks of the Communist Party of Indonesia" (1964)
Untuk bekerdja lebih baik dikalangan kaum tani (1964)
Dengan semangat banteng merah mengkonsolidasi organisasi Komunis jang besar: Djadilah Komunis jang baik dan lebih balk lagi! (1964)
Kobarkan semangat banteng! - Madju terus, pantang mundur! Laporan politik kepada sidang pleno ke-II CCPKI jang diperluas dengan Komisi Verifikasi dan Komisi Kontrol Central di Djakarta tanggal 23-26 Desember 1963 (1964) / bahasa Inggris: Set afire the banteng spirit! - ever forward, not retreat! - political report to the second plenum of the Seventh Central Committee Communist Party of Indonesia, enlarged with the members of the Central, 1963 (1964)
Kaum tani mengganjang setan-setan desa: laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Djawa Barat (1964)
Perhebat ofensif revolusioner disegala bidang! Laporan politik kepada sidang pleno ke-IV CC PKI jang diperluas tanggal 11 Mei 1965 (1965)
Politik luarnegeri dan revolusi Indonesia (kuliah dihadapan pendidikan kader revolusi angkatan Dwikora jang diselenggarakan oleh pengurus besar Front Nasional di Djakarta) (1965)
Selain itu, sebagian dari tulisan-tulisannya juga diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul The Selected Works of D.N. Aidit (2 vols.; Washington: US Joint Publications Research Service, 1961).
Amir Sjarifoeddin
Amir Sjarifoeddin
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap) (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia.
Keluarga
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli.
Pendidikan
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Perjuangan
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.
Jabatan
Menteri pada Kabinet Presidensial, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, Kabinet Sjahrir III
Perdana Menteri: 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948, membentuk Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II
Peristiwa Madiun
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) turut ditangkap beserta beberapa kawannya.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap) (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia.
Keluarga
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli.
Pendidikan
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Perjuangan
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.
Jabatan
Menteri pada Kabinet Presidensial, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, Kabinet Sjahrir III
Perdana Menteri: 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948, membentuk Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II
Peristiwa Madiun
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) turut ditangkap beserta beberapa kawannya.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta
TULISAN MENGHARUKAN ANAK NJOTO, WAKIL KETUA CC PKI
TULISAN MENGHARUKAN ANAK NJOTO, WAKIL KETUA CC PKI
Pengantar A. Umar Said :
Dalam rangka Peringatan 40 Tahun Peristiwa 65 sejumlah tulisan sudah disajikan dalam website kita http://perso.club-internet.fr/kontak tentang berbagai pengalaman yang terjadi dalam tragedi besar kemanusiaan yang sudah dialami bangsa kita itu. Munculnya tulisan-tulisan yang mengangkat - dengan berbagai cara -- soal-soal yang berkaitan dengan pengalaman dalam peristiwa 65 adalah perlu sekali (!!!) untuk terus-menerus mengingatkan semua orang bahwa halaman hitam dalam sejarah bangsa itu sekali-kali tidak boleh terjadi lagi. Kapan pun, bagaimana pun, dalam bentuk apa pun, dengan cara apa pun dan oleh siapa pun!
Kali ini kita sajikan tulisan iramani-id, salah seorang putri dari 7 anak Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, yang telah ditangkap dalam bulan-bulan terakhir 1965 dan “dihabisi” begitu saja (dan secara diam-diam) oleh unit militer, tanpa pemeriksaan pengadilan.
iramani-id adalah nama samaran yang dipakainya untuk tulisan ini, dengan meminjam nama samaran ayahnya (Njoto) yang sering menggunakan nama Iramani untuk tulisan-tulisan sastranya. Untuk membedakannya dengan nama samaran asli ayahnya, ia pakai huruf kecil.
Tulisan ini merupakan sepenggal ingatan masa kecilnya, ketika bersama ibunya (istri Njoto) dan kakak-adiknya yang jumlahnya banyak itu ditahan oleh militer, antara lain di salah satu Kodim di Jakarta. Waktu itu ia masih berusia 4 tahun, dan saat mereka ditangkap, ibunya sedang hamil besar dan melahirkan anak terkecilnya dalam masa tahanan.
Tulisannya yang bernada puitis ini cukup menggambarkan – dengan bagus sekali dan juga mengharukan -- alam fikir kanak-kanak dalam menghadapi berbagai persoalan waktu itu. Dari cara penulisannya, ia menunjukkan bakat menulis dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan isi yang dalam. Mudah-mudahan di kemudian hari kita bisa menikmati hasil karyanya yang lain. Tulisannya, yang bisa menggambarkan kehidupan yang penuh penderitaan dari keluarga dan anak-anak pimpinan CC PKI karena perlakuan militeristik Suharto, merupakan bukti yang lebih jelas lagi tentang ketidakmanusiawian yang telah banyak sekali dilakukan rejim Orde Baru.
Tentang keluarga Njoto, berikut ini disajikan sebagian dari tulisan Harsutedjo bertanggal 5 Agustus 2005, yang sudah disiarkan di berbagai mailing-list. Tulisan yang berjudul “Nyoto, Menteri Negara, Wakil Ketua CC PKI Dan Nasib Keluarganya” itu antara lain adalah sebagai berikut :
“Sejumlah anak masuk ke dalam penjara bertahun-tahun bersama ibu mereka yang menjadi tapol karena tiada tempat lain untuk berlindung, ya berlindung ke dalam penjara! Betapa absurdnya. Bahkan juga perempuan tapol yang sedang hamil melahirkan di penjara. Seperti pernah kita dengar, Nyoto yang Menteri Negara dan Wakil Ketua CC PKI sampai meninggalnya, istri dan 7 anaknya (yang tertua 9 tahun, si bungsu yang lahir 1966 sedang menyusu) dijebloskan ke dalam tahanan di Kodim Jl Setiabudi, Jakarta. Anak-anak ini pula selama dalam tahanan bersama ibu mereka melihat dan mendengarkan jerit tangis tahanan laki dan perempuan yang sedang disiksa! Dapat kita bayangkan dampak psikologis macam apa yang mungkin mencengkeram seluruh jiwa raga mereka untuk seumur hidupnya. Anak pertama Nyoto yang bernama indah Svetlana Dayani, bertahun-tahun lamanya tidak berani menyandang nama depannya hanya karena berbau Rusia.
Seperti kita ketahui isteri Nyoto, Sutarni, berasal dari keluarga ningrat Mangkunegaran, Sala. Dia tidak memiliki kegiatan politik apa pun, sudah terlalu sibuk dengan anak-anaknya sampai tragedi 1965 meletus. Beruntung anak pertama mereka, Svetlana, baru berumur 9 tahun bersama ibunya di tahanan. Saya ngeri membayangkan, andai saja dia sudah gadis remaja, entah apa yang terjadi terhadap dirinya. Bukan rahasia lagi bahwa telah terjadi pelecehan seksual dan perkosaan, sering beramai-ramai terhadap para perempuan korban. Untuk membungkam saksi tak jarang kemudian mereka dihabisi.
Bukti sejarah berdasarkan pengakuan si pelaku menunjukkan bahwa Nyoto yang Menteri Negara dibunuh atas perintah Jenderal Sumitro sebagai pembantu Jenderal Suharto dengan jabatan Aisten Operasi Menpangad pada 1965. Tipikal jenderal Orba yang dengan bangga mengakui telah melakukan pembunuhan terhadap lawan politiknya ketika kekuasaannya sedang berkibar.
“Nyoto, gembong PKI, pernah saya lihat sewaktu ia ikut dalam Sidang Kabinet di Bogor. Dia kelihatan sangat sombong, kurang ajar terhadap Pak Hidayat, hingga saya memberi tanda dengan sikut kepada Jenderal Moersjid dan berkata: ‘Sjid, ik krijg hem wel.’ (Aku akan dapatkan dia). Benar, saya sakit hati melihatnya. Saya perintahkan khusus untuk mengejarnya supaya ia terpegang. Selang beberapa waktu ia dikabarkan mati sudah”.[i][i]
Itulah yang diakui dengan bangga oleh Jenderal Sumitro. Kalau saja Pak Jenderal ini masih hidup, ia dapat diseret ke depan pengadilan kriminal karena memerintahkan pembunuhan seorang warga negara sekaligus seorang menteri yang sedang menjabat.
Svetlana melukiskan ayahnya sebagai ayah yang baik kepada siapa saja, halus, sopan, pandai. Sesibuk apa pun dia masih memberikan waktunya untuk keluarga. Svetlana dan adiknya terkadang diajak ke kantor ayahnya di koran Harian Rakjat, juga ketika menerima undangan sarapan ke Istana Negara bersama Bung Karno, bahkan nonton pertandingan sepakbola. Selama hantaman badai, setelah terpisah dari ibunya, dia dan adik-adiknya terpencar-pencar mengikuti sanak keluarga yang berbeda-beda di Jawa dan Sumatra, sementara ibu mereka mendekam sebagai tapol selama 11 tahun. Rumahnya di Kebayoran Baru telah dijarah dan diobrak-abrik, buku-buku dan dokumen dibakar termasuk segala macam dokumen keluarga dan foto-foto. Belakangan rumah itu ditinggali oleh Jenderal Mattalata (ayah penyanyi Andie Meriem). Setelah mengalami segala macam pahit getir bersama semua adik-adiknya, mereka cenderung bersikap apatis terhadap politik karena trauma. Akhirnya Svetlana Dayani berseru, “Hentikan diskriminasi kepada kami”. Demikian tulis Harsutedjo.
KODIM, 1966
Oleh : iramani-id
Kompleks itu bernama Kodim.
Aku tak tahu, apakah memang begitu itu namanya. Tapi begitulah orang-orang besar di sekitarku dulu menyebutnya. Aku tak tahu di mana letak persis tempat itu. Tapi di dalamnya ada banyak ruang, dan, jika ingatanku tak salah merekam, halamannya cukup luas untuk bermain dan berlari-larian.
Tempat itu bernama Kodim.
Meskipun kadang ragu, aku merasa pasti bahwa begitulah tempat itu disebut. Ia tak cuma akrab di telingaku, tapi juga melekat rapat dalam ingatanku. Setiap siang kami melompat kegirangan, bila ransum makan diantarkan. Tanpa dikomando kami segera menggelosor ke lantai mengitari rantang berisi santap siang dengan air liur tak tertahankan. Tangan-tangan kecil kami tumpang-tindih berseliweran, menggapai rantang bersusun empat yang sudah terburai-cerai berserakan di atas lantai. Rantang-rantang itu nampak pasrah saja ketika manusia-manusia kecil di sekelilingnya berisik sahut-menyahut: tertawa, merengek, kecewa, saling ledek, dan entah apa lagi. Aku tak ingat siapa yang sering jadi juara dalam kompetisi seru itu, juga tak pernah ingat apakah aku cukup banyak makan dan merasa puas setelah upacara rutin perebutan dilakukan.
Kompleks itu bernama Kodim.
Malam hari kami berjejal di sebuah ruang, berceloteh bersama dan bernyanyi riang. Jika kami lelah, Mama mendendangkan beberapa lagu atau mendongeng beberapa cerita - yang itu-itu juga. Ia hafal banyak lagu, tapi seingatku paling sering mendendang ninabobo. Entahlah, apakah aku pernah merasa bosan mendengar dongengnya. Juga entah, pada lagu atau dongeng keberapa biasanya aku terlelap di sampingnya.
Tempat itu bernama Kodim, dan ruang tempat kami berjejal itu seukuran kamar tidur. Di salah satu sisi dindingnya menempel sebentuk meja terbuat dari batu, selaik meja kompor di rumah kami dulu. Tumpukan popok dan baju bayi selalu teronggok di situ. Di ruang itu berbagai kegiatan senantiasa kami lakukan: makan, tidur, berkumpul dan bercanda. Tak kuingat lagi apa warna dinding dan pintu ruang itu, dan barang apa saja yang tersedia di dalamnya. Adakah tempat tidur dan kasur yang melapisi tubuh kecil kami ketika berbaring? Adakah lemari tempat kami menyimpan pakaian atau piring? Adakah meja tulis dan bangku-bangku di mana kami bisa berpanjat-panjatan? Adakah rak di mana buku-buku Bapak biasa disimpan?
Tempat itu bernama Kodim.
Pagi-pagi sekali Mama membangunkan kami untuk mandi. Sekeluar kami dari kamar mandi, biasanya orang-orang besar sudah berkerumun di depan jamban sempit itu. Ada yang jongkok ada yang berdiri. Mereka antri mandi. Seusai mandi kami bermain atau berjalan-jalan berkeliling kompleks. Aku sering melihat dan mendengar orang-orang besar berbisik-bisik. Aku tak tahu kenapa orang-orang itu senang sekali bercakap sambil berbisik-bisik. Bisikan itu ada yang sampai di telingaku, terdengarnya begini: “Ada yang mati lagi! Ada yang mati lagi! Dia ditembak!”. Seraya berlari menghampiri kakak-kakakku, aku lalu mewartakan bisikan yang kudengar itu: “Ada yang mati!, ada yang mati! Dia ditembak!!” Suaraku lantang. Aku bangga bisa mengetahui berita itu lebih dulu ketimbang kakak-kakakku. Tapi Mama bergegas menghampiriku, dan setengah berbisik ia menghentikan seruanku: “Sssttt, anak kecil nggak baik ngomong begitu…” Aku lupa, apakah setelah itu aku masih mendengar bisik-bisik seperti itu. Aku juga lupa, apakah di hari-hari berikutnya mulut kecil-lantangku kembali mengulang berita begitu.
Tempat itu bernama Kodim.
Siang menjelang sore, di suatu hari pada tanggal yang tak pasti. Orang-orang besar sigap menggendong dan bergegas memasukkan kami ke dalam mobil. Mobil itu besar, entah sejenis apa. Rasa-rasanya seperti jip, karena suaranya gagah menderu, membuatku merasa bangga berada di dalamnya. Orang-orang besar bersas-sis-sus berbisik sambil bergegas memasukkan kakak-kakak dan adikku satu per satu ke dalamnya. Ketika itu aku kanak empat tahun, girang alang-kepalang. Mereka membisikkan satu kata yang membangkitkan keriangan: tamasya!!. Ya, tamasya!! Orang-orang besar itu terus berbisik satu sama lain. Tapi apa peduliku? “Hore” adalah kata yang paling tepat menggambarkan suasana hari itu, atau setidaknya begitulah yang kurasakan saat itu. Kami melambai-lambaikan tangan seraya berseru riang pada orang-orang besar berbaju loreng pun berbaju rombeng, yang berdiri di luar mengitari mobil kami. Kami akan segera meninggalkan mereka…
Ya, tempat yang baru saja kami tinggalkan itu bernama Kodim. Aku ingat sekali, di tempat itu kami sering bertanya tentang Bapak kepada Mama. Sepenuh sigap Mama menjawab: “Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri!!” Bagai bebek sahut-menyahut kami berlomba bertanya, beruntun berderap kejar-mengejar, ingin dijawab paling dulu: “Kapan Bapak pulang, Ma?, kapan Bapak pulang?” “Bawa oleh-oleh, kan, Ma?” “Oleh-oleh apa? Cokelat ya, Ma?”
Kompleks itu bernama Kodim.
Aku tak tahu sejak kapan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa kami berada di sana. Aku cuma ingat, beberapa waktu sebelum kami berada di tempat itu, kami sempat sibuk menyambut kedatangan Mama dari rumah sakit. Ia membopong adik terkecil kami - yang baru saja dilahirkan. Kata Mama, adikku itu perempuan, Butet namanya. Aku tak tahu kenapa nama begitu itu diberikan kepada adik kecilku.Yang kutahu, kami semua gembira menyambut kelahiran dan kedatangannya, meskipun Bapak tak ada.
Tempat itu bernama Kodim.
Di sana kami pernah bermain, bernyanyi, menangis, bercanda, makan dan tidur bersama. Di sana ada Mama, aku, empat kakak dan dua adikku. Di sana ada orang-orang besar yang suka berbisik-bisik sambil menggendong dan menemani kami bermain. Di sana juga ada orang-orang besar berbaju loreng yang gemar mondar-mandir.
Tempat itu bernama Kodim.
Di sana tak ada Bapak. Ia pergi jauuuh sekali. Entah kapan kembali.
Jakarta, sepenggal masa kecil yang tak lepas dari ingatan.
iramani-id
Pengantar A. Umar Said :
Dalam rangka Peringatan 40 Tahun Peristiwa 65 sejumlah tulisan sudah disajikan dalam website kita http://perso.club-internet.fr/kontak tentang berbagai pengalaman yang terjadi dalam tragedi besar kemanusiaan yang sudah dialami bangsa kita itu. Munculnya tulisan-tulisan yang mengangkat - dengan berbagai cara -- soal-soal yang berkaitan dengan pengalaman dalam peristiwa 65 adalah perlu sekali (!!!) untuk terus-menerus mengingatkan semua orang bahwa halaman hitam dalam sejarah bangsa itu sekali-kali tidak boleh terjadi lagi. Kapan pun, bagaimana pun, dalam bentuk apa pun, dengan cara apa pun dan oleh siapa pun!
Kali ini kita sajikan tulisan iramani-id, salah seorang putri dari 7 anak Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, yang telah ditangkap dalam bulan-bulan terakhir 1965 dan “dihabisi” begitu saja (dan secara diam-diam) oleh unit militer, tanpa pemeriksaan pengadilan.
iramani-id adalah nama samaran yang dipakainya untuk tulisan ini, dengan meminjam nama samaran ayahnya (Njoto) yang sering menggunakan nama Iramani untuk tulisan-tulisan sastranya. Untuk membedakannya dengan nama samaran asli ayahnya, ia pakai huruf kecil.
Tulisan ini merupakan sepenggal ingatan masa kecilnya, ketika bersama ibunya (istri Njoto) dan kakak-adiknya yang jumlahnya banyak itu ditahan oleh militer, antara lain di salah satu Kodim di Jakarta. Waktu itu ia masih berusia 4 tahun, dan saat mereka ditangkap, ibunya sedang hamil besar dan melahirkan anak terkecilnya dalam masa tahanan.
Tulisannya yang bernada puitis ini cukup menggambarkan – dengan bagus sekali dan juga mengharukan -- alam fikir kanak-kanak dalam menghadapi berbagai persoalan waktu itu. Dari cara penulisannya, ia menunjukkan bakat menulis dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan isi yang dalam. Mudah-mudahan di kemudian hari kita bisa menikmati hasil karyanya yang lain. Tulisannya, yang bisa menggambarkan kehidupan yang penuh penderitaan dari keluarga dan anak-anak pimpinan CC PKI karena perlakuan militeristik Suharto, merupakan bukti yang lebih jelas lagi tentang ketidakmanusiawian yang telah banyak sekali dilakukan rejim Orde Baru.
Tentang keluarga Njoto, berikut ini disajikan sebagian dari tulisan Harsutedjo bertanggal 5 Agustus 2005, yang sudah disiarkan di berbagai mailing-list. Tulisan yang berjudul “Nyoto, Menteri Negara, Wakil Ketua CC PKI Dan Nasib Keluarganya” itu antara lain adalah sebagai berikut :
“Sejumlah anak masuk ke dalam penjara bertahun-tahun bersama ibu mereka yang menjadi tapol karena tiada tempat lain untuk berlindung, ya berlindung ke dalam penjara! Betapa absurdnya. Bahkan juga perempuan tapol yang sedang hamil melahirkan di penjara. Seperti pernah kita dengar, Nyoto yang Menteri Negara dan Wakil Ketua CC PKI sampai meninggalnya, istri dan 7 anaknya (yang tertua 9 tahun, si bungsu yang lahir 1966 sedang menyusu) dijebloskan ke dalam tahanan di Kodim Jl Setiabudi, Jakarta. Anak-anak ini pula selama dalam tahanan bersama ibu mereka melihat dan mendengarkan jerit tangis tahanan laki dan perempuan yang sedang disiksa! Dapat kita bayangkan dampak psikologis macam apa yang mungkin mencengkeram seluruh jiwa raga mereka untuk seumur hidupnya. Anak pertama Nyoto yang bernama indah Svetlana Dayani, bertahun-tahun lamanya tidak berani menyandang nama depannya hanya karena berbau Rusia.
Seperti kita ketahui isteri Nyoto, Sutarni, berasal dari keluarga ningrat Mangkunegaran, Sala. Dia tidak memiliki kegiatan politik apa pun, sudah terlalu sibuk dengan anak-anaknya sampai tragedi 1965 meletus. Beruntung anak pertama mereka, Svetlana, baru berumur 9 tahun bersama ibunya di tahanan. Saya ngeri membayangkan, andai saja dia sudah gadis remaja, entah apa yang terjadi terhadap dirinya. Bukan rahasia lagi bahwa telah terjadi pelecehan seksual dan perkosaan, sering beramai-ramai terhadap para perempuan korban. Untuk membungkam saksi tak jarang kemudian mereka dihabisi.
Bukti sejarah berdasarkan pengakuan si pelaku menunjukkan bahwa Nyoto yang Menteri Negara dibunuh atas perintah Jenderal Sumitro sebagai pembantu Jenderal Suharto dengan jabatan Aisten Operasi Menpangad pada 1965. Tipikal jenderal Orba yang dengan bangga mengakui telah melakukan pembunuhan terhadap lawan politiknya ketika kekuasaannya sedang berkibar.
“Nyoto, gembong PKI, pernah saya lihat sewaktu ia ikut dalam Sidang Kabinet di Bogor. Dia kelihatan sangat sombong, kurang ajar terhadap Pak Hidayat, hingga saya memberi tanda dengan sikut kepada Jenderal Moersjid dan berkata: ‘Sjid, ik krijg hem wel.’ (Aku akan dapatkan dia). Benar, saya sakit hati melihatnya. Saya perintahkan khusus untuk mengejarnya supaya ia terpegang. Selang beberapa waktu ia dikabarkan mati sudah”.[i][i]
Itulah yang diakui dengan bangga oleh Jenderal Sumitro. Kalau saja Pak Jenderal ini masih hidup, ia dapat diseret ke depan pengadilan kriminal karena memerintahkan pembunuhan seorang warga negara sekaligus seorang menteri yang sedang menjabat.
Svetlana melukiskan ayahnya sebagai ayah yang baik kepada siapa saja, halus, sopan, pandai. Sesibuk apa pun dia masih memberikan waktunya untuk keluarga. Svetlana dan adiknya terkadang diajak ke kantor ayahnya di koran Harian Rakjat, juga ketika menerima undangan sarapan ke Istana Negara bersama Bung Karno, bahkan nonton pertandingan sepakbola. Selama hantaman badai, setelah terpisah dari ibunya, dia dan adik-adiknya terpencar-pencar mengikuti sanak keluarga yang berbeda-beda di Jawa dan Sumatra, sementara ibu mereka mendekam sebagai tapol selama 11 tahun. Rumahnya di Kebayoran Baru telah dijarah dan diobrak-abrik, buku-buku dan dokumen dibakar termasuk segala macam dokumen keluarga dan foto-foto. Belakangan rumah itu ditinggali oleh Jenderal Mattalata (ayah penyanyi Andie Meriem). Setelah mengalami segala macam pahit getir bersama semua adik-adiknya, mereka cenderung bersikap apatis terhadap politik karena trauma. Akhirnya Svetlana Dayani berseru, “Hentikan diskriminasi kepada kami”. Demikian tulis Harsutedjo.
KODIM, 1966
Oleh : iramani-id
Kompleks itu bernama Kodim.
Aku tak tahu, apakah memang begitu itu namanya. Tapi begitulah orang-orang besar di sekitarku dulu menyebutnya. Aku tak tahu di mana letak persis tempat itu. Tapi di dalamnya ada banyak ruang, dan, jika ingatanku tak salah merekam, halamannya cukup luas untuk bermain dan berlari-larian.
Tempat itu bernama Kodim.
Meskipun kadang ragu, aku merasa pasti bahwa begitulah tempat itu disebut. Ia tak cuma akrab di telingaku, tapi juga melekat rapat dalam ingatanku. Setiap siang kami melompat kegirangan, bila ransum makan diantarkan. Tanpa dikomando kami segera menggelosor ke lantai mengitari rantang berisi santap siang dengan air liur tak tertahankan. Tangan-tangan kecil kami tumpang-tindih berseliweran, menggapai rantang bersusun empat yang sudah terburai-cerai berserakan di atas lantai. Rantang-rantang itu nampak pasrah saja ketika manusia-manusia kecil di sekelilingnya berisik sahut-menyahut: tertawa, merengek, kecewa, saling ledek, dan entah apa lagi. Aku tak ingat siapa yang sering jadi juara dalam kompetisi seru itu, juga tak pernah ingat apakah aku cukup banyak makan dan merasa puas setelah upacara rutin perebutan dilakukan.
Kompleks itu bernama Kodim.
Malam hari kami berjejal di sebuah ruang, berceloteh bersama dan bernyanyi riang. Jika kami lelah, Mama mendendangkan beberapa lagu atau mendongeng beberapa cerita - yang itu-itu juga. Ia hafal banyak lagu, tapi seingatku paling sering mendendang ninabobo. Entahlah, apakah aku pernah merasa bosan mendengar dongengnya. Juga entah, pada lagu atau dongeng keberapa biasanya aku terlelap di sampingnya.
Tempat itu bernama Kodim, dan ruang tempat kami berjejal itu seukuran kamar tidur. Di salah satu sisi dindingnya menempel sebentuk meja terbuat dari batu, selaik meja kompor di rumah kami dulu. Tumpukan popok dan baju bayi selalu teronggok di situ. Di ruang itu berbagai kegiatan senantiasa kami lakukan: makan, tidur, berkumpul dan bercanda. Tak kuingat lagi apa warna dinding dan pintu ruang itu, dan barang apa saja yang tersedia di dalamnya. Adakah tempat tidur dan kasur yang melapisi tubuh kecil kami ketika berbaring? Adakah lemari tempat kami menyimpan pakaian atau piring? Adakah meja tulis dan bangku-bangku di mana kami bisa berpanjat-panjatan? Adakah rak di mana buku-buku Bapak biasa disimpan?
Tempat itu bernama Kodim.
Pagi-pagi sekali Mama membangunkan kami untuk mandi. Sekeluar kami dari kamar mandi, biasanya orang-orang besar sudah berkerumun di depan jamban sempit itu. Ada yang jongkok ada yang berdiri. Mereka antri mandi. Seusai mandi kami bermain atau berjalan-jalan berkeliling kompleks. Aku sering melihat dan mendengar orang-orang besar berbisik-bisik. Aku tak tahu kenapa orang-orang itu senang sekali bercakap sambil berbisik-bisik. Bisikan itu ada yang sampai di telingaku, terdengarnya begini: “Ada yang mati lagi! Ada yang mati lagi! Dia ditembak!”. Seraya berlari menghampiri kakak-kakakku, aku lalu mewartakan bisikan yang kudengar itu: “Ada yang mati!, ada yang mati! Dia ditembak!!” Suaraku lantang. Aku bangga bisa mengetahui berita itu lebih dulu ketimbang kakak-kakakku. Tapi Mama bergegas menghampiriku, dan setengah berbisik ia menghentikan seruanku: “Sssttt, anak kecil nggak baik ngomong begitu…” Aku lupa, apakah setelah itu aku masih mendengar bisik-bisik seperti itu. Aku juga lupa, apakah di hari-hari berikutnya mulut kecil-lantangku kembali mengulang berita begitu.
Tempat itu bernama Kodim.
Siang menjelang sore, di suatu hari pada tanggal yang tak pasti. Orang-orang besar sigap menggendong dan bergegas memasukkan kami ke dalam mobil. Mobil itu besar, entah sejenis apa. Rasa-rasanya seperti jip, karena suaranya gagah menderu, membuatku merasa bangga berada di dalamnya. Orang-orang besar bersas-sis-sus berbisik sambil bergegas memasukkan kakak-kakak dan adikku satu per satu ke dalamnya. Ketika itu aku kanak empat tahun, girang alang-kepalang. Mereka membisikkan satu kata yang membangkitkan keriangan: tamasya!!. Ya, tamasya!! Orang-orang besar itu terus berbisik satu sama lain. Tapi apa peduliku? “Hore” adalah kata yang paling tepat menggambarkan suasana hari itu, atau setidaknya begitulah yang kurasakan saat itu. Kami melambai-lambaikan tangan seraya berseru riang pada orang-orang besar berbaju loreng pun berbaju rombeng, yang berdiri di luar mengitari mobil kami. Kami akan segera meninggalkan mereka…
Ya, tempat yang baru saja kami tinggalkan itu bernama Kodim. Aku ingat sekali, di tempat itu kami sering bertanya tentang Bapak kepada Mama. Sepenuh sigap Mama menjawab: “Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri!!” Bagai bebek sahut-menyahut kami berlomba bertanya, beruntun berderap kejar-mengejar, ingin dijawab paling dulu: “Kapan Bapak pulang, Ma?, kapan Bapak pulang?” “Bawa oleh-oleh, kan, Ma?” “Oleh-oleh apa? Cokelat ya, Ma?”
Kompleks itu bernama Kodim.
Aku tak tahu sejak kapan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa kami berada di sana. Aku cuma ingat, beberapa waktu sebelum kami berada di tempat itu, kami sempat sibuk menyambut kedatangan Mama dari rumah sakit. Ia membopong adik terkecil kami - yang baru saja dilahirkan. Kata Mama, adikku itu perempuan, Butet namanya. Aku tak tahu kenapa nama begitu itu diberikan kepada adik kecilku.Yang kutahu, kami semua gembira menyambut kelahiran dan kedatangannya, meskipun Bapak tak ada.
Tempat itu bernama Kodim.
Di sana kami pernah bermain, bernyanyi, menangis, bercanda, makan dan tidur bersama. Di sana ada Mama, aku, empat kakak dan dua adikku. Di sana ada orang-orang besar yang suka berbisik-bisik sambil menggendong dan menemani kami bermain. Di sana juga ada orang-orang besar berbaju loreng yang gemar mondar-mandir.
Tempat itu bernama Kodim.
Di sana tak ada Bapak. Ia pergi jauuuh sekali. Entah kapan kembali.
Jakarta, sepenggal masa kecil yang tak lepas dari ingatan.
iramani-id
Monday 7 February 2011
John Lie
Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Jahja Daniel Dharma atau yang lebih dikenal sebagai John Lie (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 – meninggal 27 Agustus 1998 pada umur 87 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Awalnya beliau bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1998 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1998 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.
Thursday 27 January 2011
Agam Wispi
Agam Wispi
AGAM WISPI (1930-2003) Wartawan dan penyair Indonesia yang amat berpengaruh di era 1950-an dan awal 1960-an, namun pengaruhnya berusaha dihilangkan oleh para penyair muda sezamannya. Bentuk puisi Agam mengandung bahasa dan ungkapan yang khas dan sarat emosi, dan dia terkenal karena lincah dalam mengulas kata. Sejak gagalnya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) 30 September 1965 Agam terpaksa tinggal di pengasingan karena dia terkait dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Nama Agam pada masa Orde Baru tak pernah disebut-sebut dalam buku-buku pelajaran sastra dan bahkan namanya hampir terlupakan di tanah airnya sendiri.
Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang / Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang
Agam Wispi lahir di Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, pada 31 Desember 1930. Dia dibesarkan di Medan dan sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Kita Muhamadiyah hingga SMA Pembaruan Medan. Agam kemudian menjadi wartawan di harian Pendorong Medan. Setelah meliput “Peristiwa Tanjung Morawa” – di mana salah seorang demonstran petani yang menuntut hak menggarap tanah tertembak mati – Agam Wispi menulis puisi, yang selalu dia sebut sendiri sebagai “titik bakar puitisnya” sebagai penyair, yang diberi judul ‘Matinja Seorang Petani.’ Selama menjadi wartawan ini dia berkawan dengan penulis terkenal seperti Sitor Situmorang, Bakri Siregar dan Hr Bandaharo. Bakri dan Bandaharo inilah yang memperkenalkannya pada lingkaran pergaulan Lekra Sumatera Utara.
Pada 1957 Agam pergi ke Jakarta dan menjadi redaktur budaya Harian Rakjat yang merupakan organ PKI. Pada periode ini dia banyak dipengaruhi oleh Njoto, tokoh komunis terkemuka, yang membawanya ke bidang sejarah sastra. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris I Lekra, Sekretaris Direksi Drama/Sastra Lekra dan Sekretaris Seksi Sastra Lekra. Agam berusaha meninggalkan propaganda verbal dan mengusahakan mensejajarkan antara isi dan bentuk agar tercapai perpaduan mutu ideologis dan estetis. Sajak panjangnya yang berjudul ‘Jakarta O Jakarta’ dimuat memenuhi satu halaman koran. Tentang sajaknya yang panjang Agam mengatakan, “Saya ingin membikin sebuah sajak yang merupakan satu simfoni. Jadi bukan hanya satu keping, satu keping; satu keping sajak itu saya katakan hanya satu lagu. Ini saya katakan satu simfoni” (Koran Tempo 5 Januari 2003).
Pada 1960-an dia menjauhi lingkaran sastrawan kiri karena tak sepakat dengan sloganisme yang mereka usung, dan kemudian masuk ke Angkatan Laut, sembari tetap menjadi koresponden Harian Rakjat. Pada 7 Mei 1965 Agam dikirim ke Vietnam untuk meliput perang dan sempat mewawancarai Ho Chi Minh. Sebelum ke Vietnam Selatan dia mampir ke Peking untuk bergabung dengan delegasi Indonesia yang diundang mengikuti perayaan hari nasional Tiongkok tanggal 1 Oktober. Karena terdengar kabar simpang-siur tentang situasi di Indonesia pasca kudeta yang gagal, Agam bersama orang-orang yang ikut delegasi tak bisa pulang Sejak itu Agam menjadi imigran politik dan hidup berpindah-pindah di Belanda, Perancis, Jerman, Rusia dan Swedia, sebelum akhirnya menetap kembali di Amsterdam sejak 1988. Agam kembali mengunjungi tanah airnya pada tahun 1999 dan kembali lagi pada 2000 untuk bercerai dengan istrinya.
Agam tak pernah pulang kembali ke Indonesia. Dia meninggal dunia pada 1 Januari 2003 di Verpleeghuis – sebuah rumah jompo – dan dikremasi pada 7 Januari di Westgaarde, Amsterdam. Karya-karyanya masih ada yang belum diterbitkan dan ada yang diterbitkan dalam jumlah terbatas. Karya-karyanya itu antara lain Yang Tak Terbungkamkan (1960); Puisi Perang (1970); Di Atas Puing (1971); Eksil (1988) dan Berdua Sejalan (1996, bersama Asahan Alham). Sebelum meninggal dia sempat menyusun jejak langkahnya sendiri lewat puisi Kronologi in Memoriam (1953-1994).
AGAM WISPI (1930-2003) Wartawan dan penyair Indonesia yang amat berpengaruh di era 1950-an dan awal 1960-an, namun pengaruhnya berusaha dihilangkan oleh para penyair muda sezamannya. Bentuk puisi Agam mengandung bahasa dan ungkapan yang khas dan sarat emosi, dan dia terkenal karena lincah dalam mengulas kata. Sejak gagalnya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) 30 September 1965 Agam terpaksa tinggal di pengasingan karena dia terkait dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Nama Agam pada masa Orde Baru tak pernah disebut-sebut dalam buku-buku pelajaran sastra dan bahkan namanya hampir terlupakan di tanah airnya sendiri.
Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang / Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang
Agam Wispi lahir di Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, pada 31 Desember 1930. Dia dibesarkan di Medan dan sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Kita Muhamadiyah hingga SMA Pembaruan Medan. Agam kemudian menjadi wartawan di harian Pendorong Medan. Setelah meliput “Peristiwa Tanjung Morawa” – di mana salah seorang demonstran petani yang menuntut hak menggarap tanah tertembak mati – Agam Wispi menulis puisi, yang selalu dia sebut sendiri sebagai “titik bakar puitisnya” sebagai penyair, yang diberi judul ‘Matinja Seorang Petani.’ Selama menjadi wartawan ini dia berkawan dengan penulis terkenal seperti Sitor Situmorang, Bakri Siregar dan Hr Bandaharo. Bakri dan Bandaharo inilah yang memperkenalkannya pada lingkaran pergaulan Lekra Sumatera Utara.
Pada 1957 Agam pergi ke Jakarta dan menjadi redaktur budaya Harian Rakjat yang merupakan organ PKI. Pada periode ini dia banyak dipengaruhi oleh Njoto, tokoh komunis terkemuka, yang membawanya ke bidang sejarah sastra. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris I Lekra, Sekretaris Direksi Drama/Sastra Lekra dan Sekretaris Seksi Sastra Lekra. Agam berusaha meninggalkan propaganda verbal dan mengusahakan mensejajarkan antara isi dan bentuk agar tercapai perpaduan mutu ideologis dan estetis. Sajak panjangnya yang berjudul ‘Jakarta O Jakarta’ dimuat memenuhi satu halaman koran. Tentang sajaknya yang panjang Agam mengatakan, “Saya ingin membikin sebuah sajak yang merupakan satu simfoni. Jadi bukan hanya satu keping, satu keping; satu keping sajak itu saya katakan hanya satu lagu. Ini saya katakan satu simfoni” (Koran Tempo 5 Januari 2003).
Pada 1960-an dia menjauhi lingkaran sastrawan kiri karena tak sepakat dengan sloganisme yang mereka usung, dan kemudian masuk ke Angkatan Laut, sembari tetap menjadi koresponden Harian Rakjat. Pada 7 Mei 1965 Agam dikirim ke Vietnam untuk meliput perang dan sempat mewawancarai Ho Chi Minh. Sebelum ke Vietnam Selatan dia mampir ke Peking untuk bergabung dengan delegasi Indonesia yang diundang mengikuti perayaan hari nasional Tiongkok tanggal 1 Oktober. Karena terdengar kabar simpang-siur tentang situasi di Indonesia pasca kudeta yang gagal, Agam bersama orang-orang yang ikut delegasi tak bisa pulang Sejak itu Agam menjadi imigran politik dan hidup berpindah-pindah di Belanda, Perancis, Jerman, Rusia dan Swedia, sebelum akhirnya menetap kembali di Amsterdam sejak 1988. Agam kembali mengunjungi tanah airnya pada tahun 1999 dan kembali lagi pada 2000 untuk bercerai dengan istrinya.
Agam tak pernah pulang kembali ke Indonesia. Dia meninggal dunia pada 1 Januari 2003 di Verpleeghuis – sebuah rumah jompo – dan dikremasi pada 7 Januari di Westgaarde, Amsterdam. Karya-karyanya masih ada yang belum diterbitkan dan ada yang diterbitkan dalam jumlah terbatas. Karya-karyanya itu antara lain Yang Tak Terbungkamkan (1960); Puisi Perang (1970); Di Atas Puing (1971); Eksil (1988) dan Berdua Sejalan (1996, bersama Asahan Alham). Sebelum meninggal dia sempat menyusun jejak langkahnya sendiri lewat puisi Kronologi in Memoriam (1953-1994).
Wednesday 26 January 2011
KEPADA PARTAI : Kumpulan Sajak
KEPADA PARTAI
Kumpulan Sajak
Memilih Djalan
( I )
sampai suatu ketika
anak djantan itu mengachiri kembara
mengachiri dukatjita.
dan ditemuinja:
tangan jang terbuka
hati jang terbuka
menjimpul djadi satu:
selamat bekerdja!
lalu sepi.
jang tinggal padanja,
kejakinan sepadat hati.
( II )
di bus atau di oplet
dalam siang dan malam
kadang-kadang datang djuga
mimpi lama jang mendarahkan luka.
tapi ketika djendela dibuka
oagihari,
seseorang tersenjum memandang
dan koran-koran menjampaikan berita
pasangnaik revolusi remadja,
luka itu sembuh sendiri
tak bertjatat.
( III )
“kurindukan senjum kanakmu
dalam malam mendjelang tidur,
atau derai tawa jang pernah
menjelingi hari-hari kita berdua
hutan pagi dan sungai bening
anak-anak berkedjaran berlemparan pasir
di kesepian aek buru*
djadi, tahankan perpisahan ini
aku sedang menempa hari
membuka hutan dan mendjalani malam
bagi anak-anak jang akan tumbuh
dimandikan matahari.”
( IV )
rumah-rumah telah menutupkan djendela
dan baji-baji sudah lelap dipelukan bunda
sepotong bulan diatas langit malam djakarta
menjenjumi tubuhku jang lelah
menjapa dalam tjahajanja jang gairah:
- selamat malam penyair -
selamat malam!
aku menatap pohon-pohon berlari
dari djendela kereta jang deras meladju
dan menatap wadjah kawan-kawan:
iskandar, erman, salim
dan aku sendiri.
mata jang terdjaga sampai larut,
tubuh jang dipalut debu timah
dan abu merah djalan raja
selamat malam, djakarta
hatiku menjanji bersama bulan meninggi:
telah selesai satu tugas
bagi Partai dan revolusi
( V )
selembar surat di depan mata:
“djadilah orang jang baik, anakku
djadilah manusia
djuga harga diri
dan nama baik turunan kita
kau tak akan ketjewa, bapa.
harga diri – keyakinan
kesetiaan bagi negeri
dan hari depan jang pasti
telah meremadjakan anak tunggalmu
dan bahagialah!
bahwa sisa turunan kita
telah memilih djalan terbaik
djalan ke hari depan
jang dirambah dan diterangi:
Komunisme!
*Aek Buru adalah nama sebuah pemandian di Sumatera Timur, bagian Selatan
Amarzan Ismail Hamid
Kumpulan Sajak
Memilih Djalan
( I )
sampai suatu ketika
anak djantan itu mengachiri kembara
mengachiri dukatjita.
dan ditemuinja:
tangan jang terbuka
hati jang terbuka
menjimpul djadi satu:
selamat bekerdja!
lalu sepi.
jang tinggal padanja,
kejakinan sepadat hati.
( II )
di bus atau di oplet
dalam siang dan malam
kadang-kadang datang djuga
mimpi lama jang mendarahkan luka.
tapi ketika djendela dibuka
oagihari,
seseorang tersenjum memandang
dan koran-koran menjampaikan berita
pasangnaik revolusi remadja,
luka itu sembuh sendiri
tak bertjatat.
( III )
“kurindukan senjum kanakmu
dalam malam mendjelang tidur,
atau derai tawa jang pernah
menjelingi hari-hari kita berdua
hutan pagi dan sungai bening
anak-anak berkedjaran berlemparan pasir
di kesepian aek buru*
djadi, tahankan perpisahan ini
aku sedang menempa hari
membuka hutan dan mendjalani malam
bagi anak-anak jang akan tumbuh
dimandikan matahari.”
( IV )
rumah-rumah telah menutupkan djendela
dan baji-baji sudah lelap dipelukan bunda
sepotong bulan diatas langit malam djakarta
menjenjumi tubuhku jang lelah
menjapa dalam tjahajanja jang gairah:
- selamat malam penyair -
selamat malam!
aku menatap pohon-pohon berlari
dari djendela kereta jang deras meladju
dan menatap wadjah kawan-kawan:
iskandar, erman, salim
dan aku sendiri.
mata jang terdjaga sampai larut,
tubuh jang dipalut debu timah
dan abu merah djalan raja
selamat malam, djakarta
hatiku menjanji bersama bulan meninggi:
telah selesai satu tugas
bagi Partai dan revolusi
( V )
selembar surat di depan mata:
“djadilah orang jang baik, anakku
djadilah manusia
djuga harga diri
dan nama baik turunan kita
kau tak akan ketjewa, bapa.
harga diri – keyakinan
kesetiaan bagi negeri
dan hari depan jang pasti
telah meremadjakan anak tunggalmu
dan bahagialah!
bahwa sisa turunan kita
telah memilih djalan terbaik
djalan ke hari depan
jang dirambah dan diterangi:
Komunisme!
*Aek Buru adalah nama sebuah pemandian di Sumatera Timur, bagian Selatan
Amarzan Ismail Hamid
KEPADA PARTAI : Kumpulan Sajak
KEPADA PARTAI
Kumpulan Sajak
Sepeda Butut
sepeda bututku
tiap hari membantu
mengabdi tjita mulia
kebebasan rakjat pekerdja
semua derita kuterima
dengan senjum gembira
hidup sekali mengabdi
bukan menanti mati
pandji merah mendjiwai
kujakin sepenuh hati
rakjat pekerdja bebas pasti
pki pemimpin sedjati
sepeda bututku turut berbakti
Amat
Kumpulan Sajak
Sepeda Butut
sepeda bututku
tiap hari membantu
mengabdi tjita mulia
kebebasan rakjat pekerdja
semua derita kuterima
dengan senjum gembira
hidup sekali mengabdi
bukan menanti mati
pandji merah mendjiwai
kujakin sepenuh hati
rakjat pekerdja bebas pasti
pki pemimpin sedjati
sepeda bututku turut berbakti
Amat
Monday 17 January 2011
SUTARDJI CALZOUM BACHRI
SUTARDJI CALZOUM BACHRI was born in
Rengat, Riau, Indonesia on June 24, 1941. He
studied at Padjadjaran University, Bandung. His
poems appeared in literary magazines such as
Horison and Budaya Jaya, as well as in the literary
pages of national daily newspapers such as Sinar
Harapan and Berita Buana. Later he joined the
editorial board of Horison; and was appointed
senior editor in 1996. Between 2000 and 2002 he
was the poetry editor of Bentara, a monthly
cultural supplement of the newspaper Kompas. In
1973 Sutardji stunned the Indonesian literary
public with his Poetic Credo in which he sets out
to ‘free words from the burden of meaning’
through his mantra poems, in which each word
takes on particular weight as an aural and visual
phenomenon. He uses ‘autonomous words as
material for fresh mantras and new meanings.
Poetry unleashes the force of language, to
present the experience of life as dynamic as
possible.’
Placed among the leading figures of modern
Indonesian literature, he attended the Poetry
International Festival in Rotterdam in the summer
of 1974. In the same year, he spent 6 months as
a participant in the International Writing
Programme in Iowa City, USA. With fellow
Indonesian poets K.H. Mustofa Bisri and Taufiq
Ismail, Sutardji took part in the International Poets
Meeting in Baghdad, Iraq. In 1997, he was invited
to read his poetry at the International Poetry
Festival in Medellin, Colombia. His short story
collection, entitled Sutardji received an SEA Writer
Award from the King of Thailand in 1979 and an
Arts Award from the Indonesian government
in 1993. He is also the recipient of the 1998 Chairil
Anwar Literary Prize, and in 2001 he was
awarded the title Sastrawan Perdana (Prime Man
of Letters) by the regional government of Riau.
Solitude
the most roselike
the most thornlike
the most birdlike
the most earthlike
the most knifelike
the most eyelike
the most armlike
the most high
God
Select Bibliography :
O, 1973
Arjuna in Meditation, 1976
Amuk (Amok), 1977
Sutardji, 1979
Kapak (Axe), 1979
O Amuk Kapak,1981
Hujan Menulis Ayam (Rain Writing Chicken), 2001
Rengat, Riau, Indonesia on June 24, 1941. He
studied at Padjadjaran University, Bandung. His
poems appeared in literary magazines such as
Horison and Budaya Jaya, as well as in the literary
pages of national daily newspapers such as Sinar
Harapan and Berita Buana. Later he joined the
editorial board of Horison; and was appointed
senior editor in 1996. Between 2000 and 2002 he
was the poetry editor of Bentara, a monthly
cultural supplement of the newspaper Kompas. In
1973 Sutardji stunned the Indonesian literary
public with his Poetic Credo in which he sets out
to ‘free words from the burden of meaning’
through his mantra poems, in which each word
takes on particular weight as an aural and visual
phenomenon. He uses ‘autonomous words as
material for fresh mantras and new meanings.
Poetry unleashes the force of language, to
present the experience of life as dynamic as
possible.’
Placed among the leading figures of modern
Indonesian literature, he attended the Poetry
International Festival in Rotterdam in the summer
of 1974. In the same year, he spent 6 months as
a participant in the International Writing
Programme in Iowa City, USA. With fellow
Indonesian poets K.H. Mustofa Bisri and Taufiq
Ismail, Sutardji took part in the International Poets
Meeting in Baghdad, Iraq. In 1997, he was invited
to read his poetry at the International Poetry
Festival in Medellin, Colombia. His short story
collection, entitled Sutardji received an SEA Writer
Award from the King of Thailand in 1979 and an
Arts Award from the Indonesian government
in 1993. He is also the recipient of the 1998 Chairil
Anwar Literary Prize, and in 2001 he was
awarded the title Sastrawan Perdana (Prime Man
of Letters) by the regional government of Riau.
Solitude
the most roselike
the most thornlike
the most birdlike
the most earthlike
the most knifelike
the most eyelike
the most armlike
the most high
God
Select Bibliography :
O, 1973
Arjuna in Meditation, 1976
Amuk (Amok), 1977
Sutardji, 1979
Kapak (Axe), 1979
O Amuk Kapak,1981
Hujan Menulis Ayam (Rain Writing Chicken), 2001
Wednesday 15 December 2010
Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D : Pendekar Antropologi Perkotaan Indonesia
Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D : Pendekar Antropologi Perkotaan Indonesia
Prof.Dr.Parsudi Suparlan memiliki kepakaran dibidang Antropologi perkotaan, Kemiskinan perkotaan dan multikulturalisme Beliau lahir di Jakarta pada 3 April 1938. Pendidikan S1 Antropologi Fakultas Sastra UI diselesaikannya pada tahun 1964. Pada tahun 1970 memperoleh kesempatan belajar di University of Illinois, Amerika Serikat, yang kemudian menyelesaikan MA pada tahun 1972 serta Ph.D dalam bidang Antropologi pada tahun 1976. Pada tahun 1961 diangkat sebagai asisten Dosen dari Prof. Harsya W. Bahtiar di Fakultas Sastra UI dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga sekarang pada program S1, S2, S3 Antropologi FISIP UI; di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, UI; Program S2 Kajian Wilayah Amerika UI dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998.
Sebagian besar dari karya-karya tulisannya telah diterbitkan (lebih dari 200 tulisan sejak tahun 1964), antara lain The Javanese Suriname: Ethnicity in sn ethnically plural society (Arizona State University, 1995). Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan Obor 1995), Hubungan Antar Suku Bangsa, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan, diterbitkan oleh YPKIK, 2004. Pada tahun 1999, Parsudi Suparlan mendirikan Jurnal Polisi Indonesia dan menjadi Pimpinan Redaksinya sejak saat itu.
Prof.Dr.Parsudi Suparlan memiliki kepakaran dibidang Antropologi perkotaan, Kemiskinan perkotaan dan multikulturalisme Beliau lahir di Jakarta pada 3 April 1938. Pendidikan S1 Antropologi Fakultas Sastra UI diselesaikannya pada tahun 1964. Pada tahun 1970 memperoleh kesempatan belajar di University of Illinois, Amerika Serikat, yang kemudian menyelesaikan MA pada tahun 1972 serta Ph.D dalam bidang Antropologi pada tahun 1976. Pada tahun 1961 diangkat sebagai asisten Dosen dari Prof. Harsya W. Bahtiar di Fakultas Sastra UI dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga sekarang pada program S1, S2, S3 Antropologi FISIP UI; di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, UI; Program S2 Kajian Wilayah Amerika UI dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998.
Sebagian besar dari karya-karya tulisannya telah diterbitkan (lebih dari 200 tulisan sejak tahun 1964), antara lain The Javanese Suriname: Ethnicity in sn ethnically plural society (Arizona State University, 1995). Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan Obor 1995), Hubungan Antar Suku Bangsa, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan, diterbitkan oleh YPKIK, 2004. Pada tahun 1999, Parsudi Suparlan mendirikan Jurnal Polisi Indonesia dan menjadi Pimpinan Redaksinya sejak saat itu.
Monday 13 December 2010
Gus Dur Wafat : Selamat Jalan Guru Bangsa
Gus Dur Wafat : Selamat Jalan Guru Bangsa
TokohIndonesia 31/12/2009: Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Rabu (30/12) pukul 18.45. Indonesia dan dunia berduka. Mantan Ketua Umum PBNU, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940 itu adalah guru bangsa. Mengabdi demi bangsa dalam keanekaragaman.
Presiden RI Susilo BambangYudhoyono semalam menyampaikan dukacita mendalam atas nama negara, pemerintah, dan pribadi atas meninggalnya Gus Dur, Presiden Republik Indonesia periode 1999-2001 itu. Presiden meminta masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang selama sepekan sebagai bentuk penghormatan dan berkabung.
Didampingi Wakil Presiden Boediono dan sejumlah menteri, Presiden menjelaskan, negara akan memberikan penghormatan tertinggi kepada mendiang Gus Dur dengan upacara kenegaraan untuk pemakaman yang akan dilaksanakan di Jombang, Kamis 31/12/2009, yang dipimpin langsung oleh Presiden.
Pemberangkatan jenazah dari rumah duka di Ciganjur, Kamis pagi, dipimpin Ketua MPR Taufik Kiemas. Jenazah diterbangkan melalui Surabaya dan disamput dengan upacara militer yang dipimpin Panglima TNI.
Ketua Tim Dokter Yusuf Misbah yang merawat Gus Dur sejak 26 Desember 2009 memberi keterangan perihal kepastian telah wafatnya Gus Dur di RSCM. Yusuf didampingi Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.
Menurut Yusuf, Gus Dur masuk rumah sakit dalam kondisi kesehatan yang menurun setelah melakukan ziarah ke makam sejumlah ulama di Jawa Timur. Disebut, kondisi Gus Dur sempat membaik selama perawatan. Namun, Rabu 30/12 sekitar pukul 11.30, kesehatannya mendadak memburuk terkait komplikasi penyakit yang dideritanya selama ini, yaitu ginjal, diabetes, stroke, dan jantung. Pukul 18.15, tim dokter menyatakan kesehatan Gus Dur dalam kondisi kritis. Dialkukan perawatan intensif oleh tim dokter. Namun nyawanya tidak tertolong, dan dinyatakan meninggal pukul 18.45, Rabu (30/12).
Dalam kondisi kritis, Presiden SBY sempat menemui istri Gus Dur, Ny Sinta Nuriyah Wahid. Setelah itu, masuk ke ruang perawatan. Turut mendampingi Presiden adalah tim dokter dan suami putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid, Dhohir Farisi.
Guru Bangsa
Indonesia kehilangan guru bangsa. Dia seorang tokoh yang tak pernah lelah untuk mencerahkan pikiran segenap komponen bangsa. Seringkali banyak orang kurang memahami jalan pikirannya, sehingga sering dianggap kontroversial. Dia seorang pembela kebenaran. Pejuang keanekaragaman.
Guru bangsa yang negarawan. Itulah Gus Dur yang memiliki komitmen kuat tentang pluralisme Indonesia. Seorang tokoh pembawa pemikiran Islam modern dalam semangat tradisional. Sehingga terkadang dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Selamat Jalan Guru Bangsa
Dia akrab disapa Gus Dur, Sang Guru Bangsa yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya.
Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar -- untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain -- adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945.
Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam.
Berselang beberapa waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuan-nya, termasuk Hamzah Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Berbagai kebijakan dan pemecatan ini membuatnya semakin nyata jauh dari konspirasi kepentingan politik yang memungkinkan-nya terpilih menjadi presiden.
Ketika itu, pada Sidang Umum MPR 1999, Poros Tengah yang gagal menggolkan salah seorang tokohnya sendiri menjadi presiden (BJ Habibie, Amien Rais, Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra), merangkul Gus Dur untuk dapat mengalahkan Megawati Sukarno-putri.
Gus Dur, yang terkenal piawai dalam berpolitik, dengan cekatan menangkap peluang ini. Sehingga Megawati yang partainya memenangkan Pemilu akhirnya hanya mendapatkan kursi wapres. Terpilihnya Gus Dur ini, sekali lagi telah menunjukkan sosok kontroversial. Kontroversi dalam kelayakan politik demokrasi. Kontroversi mengenai kondisi pisik Gus Dur sendiri. Namun harus diakui, itulah Gus Dur, dengan kepiawian dan keunggulannya yang melebihi kapasitas banyak orang! Kalau bukan Gus Dur, hal itu sangat mustahil terjadi.
Padahal tak heran bila pada mulanya ia dianggap hanya sebagai umpan oleh sebuah konspirasi kepentingan politik. Sebab dari perolehan suara PKB dan kondisi kesehatan, Gus Dur dianggap sangat mustahil bisa menjadi presiden. Namun, dengan kepiawian Gus Dur memainkan bola yang digulirkan Poros Tengah (ketika itu merupakan koalisi partai-partai berbasis Islam minus PKB) bergandeng tangan dengan Golkar, SU-MPR menolak pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie. Hal ini secara etis memaksa BJ Habibie mengundurkan diri dari pencalonan presiden pada detik-detik terakhir.
Malam setelah penolakan pertanggungjawaban Habibie dan sebelum pagi hari pemilihan presiden, tokoh-tokoh Golkar dan Poros Tengah mengadakan pertemuan di kediaman Habibie. Mereka mencari pengganti BJ Habibie. Alternatif pertama, Akbar Tanjung selaku Ketua Umum Golkar. Kelompok Iramasuka yang dimotori AA Bramuli menolak. Lalu muncul nama Hamzah Haz, Ketua Umum PPP. Dinilai tidak kuat melawan Megawati. Terakhir, menjelang subuh muncul nama Amien Rais, Ketua Umum PAN.
Diperkirakan Amien dapat memenangkan suara, bercermin dari perolehan suara pada pemilihan Ketua MPR yang dimenangkan Amien Rais. Saat itu Gus Dur (memainkan trik politik) mendukung Amien Rais bersaing dengan Matori Abdul Djalil (Ketua Umum PKB) yang didukung PDIP. Akhirnya, dalam pertemuan di rumah BJ Habibie itu, nama Amien Rais disepakati menjadi calon presiden, dengan catatan Amien akan lebih dulu mengonfirmasikannya dengan Gus Dur.
Namun, sebelum konfirmasi itu dilakukan, PKB atas anjuran para kyai dan persetujuan Gus Dur telah lebih dulu secara resmi mendaftarkan pencalonan Gus Dur. Pencalonan secara resmi Gus Dur ini mengejutkan Poros Tengah (yang sering kali menyebut akan mencalonkan Gus Dur). Juga mengejutkan Golkar dan PDIP bahkan PKB sendiri. Sekali lagi, Gus Dur menunjukkan kepiawiannya yang kontroversial dan mengejutkan.
Peta politik berobah secara mengejutkan. Pencalonan Amien Rais diurungkan. Lalu muncul nama Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) dari kubu Poros Tengah resmi mencalonkan diri bersaing dengan Gus Dur dan Megawati. Munculnya nama Yusril membuat kubu Megawati sempat lebih optimis akan memenangkan pemilihan. Tapi, kemudian pencalonan Yusril dicabut setelah bertemu dengan Gus Dur. Sekali lagi Gus Dur menunjukkan kelasnya dalam berpolitik.
Gus Dur dari partai kecil (11%), mengalahkan Megawati dari partai pemenang Pemilu (35%). Komposisi keanggotaan MPR hasil Pemilu 1999 yang lebih 90 persen laki-Iaki itu, rupa-rupanya enggan memberikan suaranya kepada Gus Dur, antara lain karena alasan gender. Seorang pengamat politik LlPI menyebutnya sebagai kecelakaan sejarah. Bahkan Gus Dur sendiri pun rupanya merasa kaget dan heran dengan mengata-kan: “Orang buta kok dipilih menjadi Presiden”.
Suasana di luar sidang memanas. Sebab MPR dinilai telah mengesampingkan suara rakyat yang tercermin dalam Pemilu. Namun, dalam kondisi ini, Gus Dur, sekali lagi, menunjukkan kehebatannya. Ia punya kiat yang jitu. Ia merangkul Megawati. PKB secara resmi mencalonkan Megawati dalam perebutan kursi Wakil Presiden, bersaing dengan Hamzah Haz yang didukung Poros Tengah. Megawati pun menang.
Saat itu, tampaknya Gus Dur sangat menyadari kelemahannya. Dalam sambutan pertama beberapa saat setelah ia memenangkan pemilihan presiden, ia mengucapkan terimakasih kepada Megawati dan PDIP yang tidak mempermasalahkan faktor kesehatan pisiknya.
Pada awalnya banyak orang optimis bahwa duet Gus Dur-Megawati, yang sejak lama sudah ‘bersaudara’, akan langgeng dan kuat. Apalagi ditopang dengan susunan Kabinet Persatuan yang mengakomodir hampir semua kekuatan politik dan kepiawian Gus Dur dalam berpolitik.
Namun seperti kata pepatah: Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh ke tanah jua. Di mata banyak orang, kepercayaan diri Gus Dur tampak terlalu berlebihan. Ia sering kali melontarkan pendapat dan mengambil kebijakan yang kontroversial. Penglihatannya yang semakin buruk mungkin juga dimanfaatkan oleh para pembisik di sekitarnya. Gus Dur pun sering kali mengganti anggota kabinetnya dengan semaunya berpayung hak prerogatif. Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahuan Wapres Megawati dan Ketua DPR Akbar Tandjung.
DPR menginterplasi Gus Dur. Mempertanyakan alasan pemecatan Laksamana dan Jusuf Kalla yang dituding Gus Dur melakukan KKN. Tudingan yang tidak dibuktikan Gus Dur sampai akhir.
Sejak saat itu, Megawati mulai dengan jelas mengambil jarak dari Gus Dur. Dukungan politik dari legislatif kepada Gus Dur menjadi sangat rendah. Di sini Gus Dur tampaknya alpa bahwa dalam sebuah negara demokrasi tidak mungkin ada seorang presiden (eksekutif) dapat memimpin tanpa dukungan politik (yang terwakili dalam legislatif dan partai).
Anehnya, setelah itu Gus Dur justru semakin lantang menyatakan diri mendapat dukungan rakyat. Sementara sebagian besar wakil rakyat di DPR dan MPR semakin menunjukkan sikap berbeda, tidak lagi mendukung Gus Dur.
Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR. Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Gus Dur melakukan perlawanan, tindakan DPR dan MPR itu dianggapnya melanggar UUD. Ia menolak penyelenggaraan SI-MPR dan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi Dekrit Gus Dur ini tidak mendapat dukungan. Hanya kekuatan PKB dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) yang memberi dukungan. Bahkan, karena dekrit itu, MPR mempercepat penyelenggaraan SI pada 23 Juli 2001. Gus Dur, akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu. Dan Wapres Megawati, diangkat menjadi presiden pada 24 Juli 2001.
Selepas SI-MPR, Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro PKB memecat pula Matori Abdul Djalil dari jabatan Ketua Umum PKB. Tindakan ini kemudian direspon Matori dengan menggelar Muktamar PKB yang melahirkan munculnya dua kepengurusan PKB, yang kemudian populer disebut PKB Batu Tulis (pimpinan Matori) dan PKB Kuningan (pimpinan Gus Dur-Alwi Sihab). Kepengurusan kembar PKB ini harus berlanjut ke pengadilan kendati upaya rujuk juga terus berlangsung.
Bapak Bangsa
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.
Sebelumnya, Gus Dur adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.
Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan ‘Gus’.
Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latarbelakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai ‘sosok berbau kiri’ pada masa Orba.
Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik.
Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi.
Gus Dur pun tergolong rajin melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritikan itu lama-lama menyebabkan Pak Harto risih. Puncaknya terjadi pada Mukhtamar NU di Cipasung 1994. Pemerintah berupaya menjegal Gus Dur. Tapi Gus Dur tetap terpilih untuk periode kedua. Hal ini terekspresikan dari ketidaksudian Presiden Soeharto menerima Gus Dur dan pengurus PBNU lainnya.
Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU.
Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.
Pada awal 1998 ia terserang stroke. Tapi tim dokter berhasil menyelamatkannya. Namun, sebagai akibatnya penglihatannya kian memburuk. Pada saat ia dilantik sebagai presiden, ia sudah dideskripsikan media massa Barat sebagai ‘nyaris buta.’ Selain karena stroke, diduga problem kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat di antara orangtuanya.
Ia juga pengamat sepakbola yang tajam daya analisisnya. Bahkan, setelah penglihatannya benar-benar terganggu, pada Piala Dunia Juni 2002 lalu, ia masih juga antusias memberi komentar mengenai proyeksi juara.
Selain menjadi idola bagi banyak orang, Gus Dur juga menjadi idola bagi keempat puterinya: Alisa Qortrunnada Munawarah (Lisa), Zannuba Arifah (Venny), Anisa Hayatunufus (Nufus) dan Inayah Wulandari (Ina). Hal ini tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina.
Calon Presiden
Ketua Dewan Suryo PKB ini, dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim sebagai Cawapres Pemilu Presiden 2004.
Namun pasangan ini tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akibat Gus Dur dinilai tidak memenuhi persyaratan kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden, sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia. Akibat penolakan KPU (22/5/2004) ini, Gus Dur melakukan berbagai upaya hukum, antara lain menggugat KPU secara pidana dan perdata ke pengadilan dengan menuntut ganti rugi Rp 1 trilyun, melaporkan ke Panwaslu, setelah sebelumnya melakukan judicial review ke MA dan MK. Ia pun berketetapan akan berada di luar sistem jika upaya pencalonannya tidak berhasil.
Namanya masuk dalam nominasi calon presiden Pemilu 2004, sebagai satu-satunya Capres dari PKB. Disebut-sebut bahwa ia masih mendapat dukungan dari para kyai. Dia sendiri membenarkan hal ini dalam beberapa kali pernyataannya.
Namun beberapa politisi dan pengamat politik berharap, Gus Dur bisa mengoptimalkan perannya sebagai salah seorang ‘bapak bangsa’.
Dengan tidak mencalonkan diri sebagai presiden, dia sebagai ‘bapak bangsa’ plus sebagai pemegang kendali (paling berpengaruh) di PKB, dapat memberi pengaruh signifikan dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Kiat-kiat politiknya yang sering kali tak terduga, diperkirakan akan sangat berpengaruh pada pentas poltik nasional.
Bintang Iklan Wiranto-Wahid
Setelah tidak lolos menjadi Capres, dia tampil sebagai bintang iklan pasangan Capres-Cawapres Partai Golkar Wiranto-Solahudin Wahid. Menurutnya Wiranto-Solahudin lebih pantas dipilih daripada pasangan Capres-Cawapres lainnya. Ia merasa yakin Wiranto akan menegakkan demokrasi sesuai dengan pidato-pidato Wiranto. Semenatara Solahudin adik kandungnya sendiri disebut adalah orang bersih karena terbukti lolos uji kelayakan sebelum menjadi Wakil Ketua Komnas HAM.
Penampilan Gus Dur menjadi bintang iklan Wiranto ini, tampaknya semakin menegaskan posisinya yang seringkali kontroversial. Seolah-olah ia tidak mengingat lagi posisi Wiranto sebagai Panglima TNI saat terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan tragedi Semanggi I dan II. Dalam kerusuhan dan tragedi ini, belum satu pun pejabat teras TNI-Polri yang menyatakan bertanggung jawab, baik secara hukum maupun secara moral.
Tampaknya Gus Dur tidak terpengaruh kepada banyaknya dugaan keterlibatan Wiranto, mantan Panglima TNI dan mantan Ajudan Presiden Soeharto, itu dalam beberapa kasus pelanggaran HAM dan kerusuhan Mei 1998 serta pengerahan Pamswakarsa. Sementara sebagian besar masyarakat merasa belum mendapat penjelasan yang bertanggung jawab dari Wiranto tentang berbagai kasus itu.
Semenara itu, Wiranto sendiri sudah bersumpah-sumpah dalam iklannya agar dipilih rakyat dalam Pemilu Presiden. Wiranto sendiri tampaknya tidak merasa gagal ketika menjabat sebagai Panglima TNI saat mana negeri ini dilanda kerusuhan yang amat mengerikan.
Mantan Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ini diperkirakan bakal menjadi King Maker Pemilihan Presiden Pemilu 2004. Kendati namanya masih masuk dalam nominasi calon presiden Pemilu 2004 dan mendapat dukungan dari beberapa kyai serta sebagai satu-satunya calon presiden dari PKB, namun diperkirakan ia tidak akan dicalonkan atau mencalonkan diri secara resmi.
Tokoh yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur, diperkirakan akan sangat berpengaruh dalam menentukan koalisi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan ramai selepas Pemilu Legislatif 5 April 2004. Apalagi Ketua Dewan Syuro Partai kebangkitan Bangsa (PKB), ini telah diberi pula mandat untuk memilih siapa penggantinya jika ia tidak mencalonkan diri oleh suatu sebab.
Pernyataan-pernyataannya selalu menarik dan sering kali mengundang kontroversi. Hal ini pula yang menjadi kekuatan sekaligus kelemahan tokoh yang dikenal pembela kebenaran ini.
Bahkan saat ia menjabat presiden, belum satu bulan, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak. Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam.
Berselang beberapa waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuannya, termasuk Hamzah Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahu-an Wapres Megawati dan Ketua DPP Golkar Akbar Tandjung.
Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR. Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Gus Dur, akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu dan bahkan mengeluarkan dekrit, antara lain berisi pembubaran MPR. Akhirnya MPR mengangkat Wapres Megawati menjadi presiden pada 24 Juli 2001.
Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan ‘Gus’.
Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latar belakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai ‘sosok berbau kiri’ pada masa Orba.
Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik.
Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi.
Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.
Sebelumnya, Gus Dur adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya, melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto berkuasa, Gus Dur dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan ia dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali mengunjungi Pak Harto setelah lengser.
Nama:
Abdurrahman Wahid
Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua:
Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri :
Sinta Nuriyah
Anak-anak :
Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
TokohIndonesia 31/12/2009: Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Rabu (30/12) pukul 18.45. Indonesia dan dunia berduka. Mantan Ketua Umum PBNU, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940 itu adalah guru bangsa. Mengabdi demi bangsa dalam keanekaragaman.
Presiden RI Susilo BambangYudhoyono semalam menyampaikan dukacita mendalam atas nama negara, pemerintah, dan pribadi atas meninggalnya Gus Dur, Presiden Republik Indonesia periode 1999-2001 itu. Presiden meminta masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang selama sepekan sebagai bentuk penghormatan dan berkabung.
Didampingi Wakil Presiden Boediono dan sejumlah menteri, Presiden menjelaskan, negara akan memberikan penghormatan tertinggi kepada mendiang Gus Dur dengan upacara kenegaraan untuk pemakaman yang akan dilaksanakan di Jombang, Kamis 31/12/2009, yang dipimpin langsung oleh Presiden.
Pemberangkatan jenazah dari rumah duka di Ciganjur, Kamis pagi, dipimpin Ketua MPR Taufik Kiemas. Jenazah diterbangkan melalui Surabaya dan disamput dengan upacara militer yang dipimpin Panglima TNI.
Ketua Tim Dokter Yusuf Misbah yang merawat Gus Dur sejak 26 Desember 2009 memberi keterangan perihal kepastian telah wafatnya Gus Dur di RSCM. Yusuf didampingi Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.
Menurut Yusuf, Gus Dur masuk rumah sakit dalam kondisi kesehatan yang menurun setelah melakukan ziarah ke makam sejumlah ulama di Jawa Timur. Disebut, kondisi Gus Dur sempat membaik selama perawatan. Namun, Rabu 30/12 sekitar pukul 11.30, kesehatannya mendadak memburuk terkait komplikasi penyakit yang dideritanya selama ini, yaitu ginjal, diabetes, stroke, dan jantung. Pukul 18.15, tim dokter menyatakan kesehatan Gus Dur dalam kondisi kritis. Dialkukan perawatan intensif oleh tim dokter. Namun nyawanya tidak tertolong, dan dinyatakan meninggal pukul 18.45, Rabu (30/12).
Dalam kondisi kritis, Presiden SBY sempat menemui istri Gus Dur, Ny Sinta Nuriyah Wahid. Setelah itu, masuk ke ruang perawatan. Turut mendampingi Presiden adalah tim dokter dan suami putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid, Dhohir Farisi.
Guru Bangsa
Indonesia kehilangan guru bangsa. Dia seorang tokoh yang tak pernah lelah untuk mencerahkan pikiran segenap komponen bangsa. Seringkali banyak orang kurang memahami jalan pikirannya, sehingga sering dianggap kontroversial. Dia seorang pembela kebenaran. Pejuang keanekaragaman.
Guru bangsa yang negarawan. Itulah Gus Dur yang memiliki komitmen kuat tentang pluralisme Indonesia. Seorang tokoh pembawa pemikiran Islam modern dalam semangat tradisional. Sehingga terkadang dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Selamat Jalan Guru Bangsa
Dia akrab disapa Gus Dur, Sang Guru Bangsa yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya.
Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar -- untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain -- adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945.
Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam.
Berselang beberapa waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuan-nya, termasuk Hamzah Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Berbagai kebijakan dan pemecatan ini membuatnya semakin nyata jauh dari konspirasi kepentingan politik yang memungkinkan-nya terpilih menjadi presiden.
Ketika itu, pada Sidang Umum MPR 1999, Poros Tengah yang gagal menggolkan salah seorang tokohnya sendiri menjadi presiden (BJ Habibie, Amien Rais, Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra), merangkul Gus Dur untuk dapat mengalahkan Megawati Sukarno-putri.
Gus Dur, yang terkenal piawai dalam berpolitik, dengan cekatan menangkap peluang ini. Sehingga Megawati yang partainya memenangkan Pemilu akhirnya hanya mendapatkan kursi wapres. Terpilihnya Gus Dur ini, sekali lagi telah menunjukkan sosok kontroversial. Kontroversi dalam kelayakan politik demokrasi. Kontroversi mengenai kondisi pisik Gus Dur sendiri. Namun harus diakui, itulah Gus Dur, dengan kepiawian dan keunggulannya yang melebihi kapasitas banyak orang! Kalau bukan Gus Dur, hal itu sangat mustahil terjadi.
Padahal tak heran bila pada mulanya ia dianggap hanya sebagai umpan oleh sebuah konspirasi kepentingan politik. Sebab dari perolehan suara PKB dan kondisi kesehatan, Gus Dur dianggap sangat mustahil bisa menjadi presiden. Namun, dengan kepiawian Gus Dur memainkan bola yang digulirkan Poros Tengah (ketika itu merupakan koalisi partai-partai berbasis Islam minus PKB) bergandeng tangan dengan Golkar, SU-MPR menolak pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie. Hal ini secara etis memaksa BJ Habibie mengundurkan diri dari pencalonan presiden pada detik-detik terakhir.
Malam setelah penolakan pertanggungjawaban Habibie dan sebelum pagi hari pemilihan presiden, tokoh-tokoh Golkar dan Poros Tengah mengadakan pertemuan di kediaman Habibie. Mereka mencari pengganti BJ Habibie. Alternatif pertama, Akbar Tanjung selaku Ketua Umum Golkar. Kelompok Iramasuka yang dimotori AA Bramuli menolak. Lalu muncul nama Hamzah Haz, Ketua Umum PPP. Dinilai tidak kuat melawan Megawati. Terakhir, menjelang subuh muncul nama Amien Rais, Ketua Umum PAN.
Diperkirakan Amien dapat memenangkan suara, bercermin dari perolehan suara pada pemilihan Ketua MPR yang dimenangkan Amien Rais. Saat itu Gus Dur (memainkan trik politik) mendukung Amien Rais bersaing dengan Matori Abdul Djalil (Ketua Umum PKB) yang didukung PDIP. Akhirnya, dalam pertemuan di rumah BJ Habibie itu, nama Amien Rais disepakati menjadi calon presiden, dengan catatan Amien akan lebih dulu mengonfirmasikannya dengan Gus Dur.
Namun, sebelum konfirmasi itu dilakukan, PKB atas anjuran para kyai dan persetujuan Gus Dur telah lebih dulu secara resmi mendaftarkan pencalonan Gus Dur. Pencalonan secara resmi Gus Dur ini mengejutkan Poros Tengah (yang sering kali menyebut akan mencalonkan Gus Dur). Juga mengejutkan Golkar dan PDIP bahkan PKB sendiri. Sekali lagi, Gus Dur menunjukkan kepiawiannya yang kontroversial dan mengejutkan.
Peta politik berobah secara mengejutkan. Pencalonan Amien Rais diurungkan. Lalu muncul nama Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) dari kubu Poros Tengah resmi mencalonkan diri bersaing dengan Gus Dur dan Megawati. Munculnya nama Yusril membuat kubu Megawati sempat lebih optimis akan memenangkan pemilihan. Tapi, kemudian pencalonan Yusril dicabut setelah bertemu dengan Gus Dur. Sekali lagi Gus Dur menunjukkan kelasnya dalam berpolitik.
Gus Dur dari partai kecil (11%), mengalahkan Megawati dari partai pemenang Pemilu (35%). Komposisi keanggotaan MPR hasil Pemilu 1999 yang lebih 90 persen laki-Iaki itu, rupa-rupanya enggan memberikan suaranya kepada Gus Dur, antara lain karena alasan gender. Seorang pengamat politik LlPI menyebutnya sebagai kecelakaan sejarah. Bahkan Gus Dur sendiri pun rupanya merasa kaget dan heran dengan mengata-kan: “Orang buta kok dipilih menjadi Presiden”.
Suasana di luar sidang memanas. Sebab MPR dinilai telah mengesampingkan suara rakyat yang tercermin dalam Pemilu. Namun, dalam kondisi ini, Gus Dur, sekali lagi, menunjukkan kehebatannya. Ia punya kiat yang jitu. Ia merangkul Megawati. PKB secara resmi mencalonkan Megawati dalam perebutan kursi Wakil Presiden, bersaing dengan Hamzah Haz yang didukung Poros Tengah. Megawati pun menang.
Saat itu, tampaknya Gus Dur sangat menyadari kelemahannya. Dalam sambutan pertama beberapa saat setelah ia memenangkan pemilihan presiden, ia mengucapkan terimakasih kepada Megawati dan PDIP yang tidak mempermasalahkan faktor kesehatan pisiknya.
Pada awalnya banyak orang optimis bahwa duet Gus Dur-Megawati, yang sejak lama sudah ‘bersaudara’, akan langgeng dan kuat. Apalagi ditopang dengan susunan Kabinet Persatuan yang mengakomodir hampir semua kekuatan politik dan kepiawian Gus Dur dalam berpolitik.
Namun seperti kata pepatah: Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh ke tanah jua. Di mata banyak orang, kepercayaan diri Gus Dur tampak terlalu berlebihan. Ia sering kali melontarkan pendapat dan mengambil kebijakan yang kontroversial. Penglihatannya yang semakin buruk mungkin juga dimanfaatkan oleh para pembisik di sekitarnya. Gus Dur pun sering kali mengganti anggota kabinetnya dengan semaunya berpayung hak prerogatif. Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahuan Wapres Megawati dan Ketua DPR Akbar Tandjung.
DPR menginterplasi Gus Dur. Mempertanyakan alasan pemecatan Laksamana dan Jusuf Kalla yang dituding Gus Dur melakukan KKN. Tudingan yang tidak dibuktikan Gus Dur sampai akhir.
Sejak saat itu, Megawati mulai dengan jelas mengambil jarak dari Gus Dur. Dukungan politik dari legislatif kepada Gus Dur menjadi sangat rendah. Di sini Gus Dur tampaknya alpa bahwa dalam sebuah negara demokrasi tidak mungkin ada seorang presiden (eksekutif) dapat memimpin tanpa dukungan politik (yang terwakili dalam legislatif dan partai).
Anehnya, setelah itu Gus Dur justru semakin lantang menyatakan diri mendapat dukungan rakyat. Sementara sebagian besar wakil rakyat di DPR dan MPR semakin menunjukkan sikap berbeda, tidak lagi mendukung Gus Dur.
Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR. Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Gus Dur melakukan perlawanan, tindakan DPR dan MPR itu dianggapnya melanggar UUD. Ia menolak penyelenggaraan SI-MPR dan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi Dekrit Gus Dur ini tidak mendapat dukungan. Hanya kekuatan PKB dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) yang memberi dukungan. Bahkan, karena dekrit itu, MPR mempercepat penyelenggaraan SI pada 23 Juli 2001. Gus Dur, akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu. Dan Wapres Megawati, diangkat menjadi presiden pada 24 Juli 2001.
Selepas SI-MPR, Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro PKB memecat pula Matori Abdul Djalil dari jabatan Ketua Umum PKB. Tindakan ini kemudian direspon Matori dengan menggelar Muktamar PKB yang melahirkan munculnya dua kepengurusan PKB, yang kemudian populer disebut PKB Batu Tulis (pimpinan Matori) dan PKB Kuningan (pimpinan Gus Dur-Alwi Sihab). Kepengurusan kembar PKB ini harus berlanjut ke pengadilan kendati upaya rujuk juga terus berlangsung.
Bapak Bangsa
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.
Sebelumnya, Gus Dur adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.
Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan ‘Gus’.
Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latarbelakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai ‘sosok berbau kiri’ pada masa Orba.
Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik.
Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi.
Gus Dur pun tergolong rajin melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritikan itu lama-lama menyebabkan Pak Harto risih. Puncaknya terjadi pada Mukhtamar NU di Cipasung 1994. Pemerintah berupaya menjegal Gus Dur. Tapi Gus Dur tetap terpilih untuk periode kedua. Hal ini terekspresikan dari ketidaksudian Presiden Soeharto menerima Gus Dur dan pengurus PBNU lainnya.
Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU.
Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.
Pada awal 1998 ia terserang stroke. Tapi tim dokter berhasil menyelamatkannya. Namun, sebagai akibatnya penglihatannya kian memburuk. Pada saat ia dilantik sebagai presiden, ia sudah dideskripsikan media massa Barat sebagai ‘nyaris buta.’ Selain karena stroke, diduga problem kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat di antara orangtuanya.
Ia juga pengamat sepakbola yang tajam daya analisisnya. Bahkan, setelah penglihatannya benar-benar terganggu, pada Piala Dunia Juni 2002 lalu, ia masih juga antusias memberi komentar mengenai proyeksi juara.
Selain menjadi idola bagi banyak orang, Gus Dur juga menjadi idola bagi keempat puterinya: Alisa Qortrunnada Munawarah (Lisa), Zannuba Arifah (Venny), Anisa Hayatunufus (Nufus) dan Inayah Wulandari (Ina). Hal ini tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina.
Calon Presiden
Ketua Dewan Suryo PKB ini, dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim sebagai Cawapres Pemilu Presiden 2004.
Namun pasangan ini tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akibat Gus Dur dinilai tidak memenuhi persyaratan kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden, sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia. Akibat penolakan KPU (22/5/2004) ini, Gus Dur melakukan berbagai upaya hukum, antara lain menggugat KPU secara pidana dan perdata ke pengadilan dengan menuntut ganti rugi Rp 1 trilyun, melaporkan ke Panwaslu, setelah sebelumnya melakukan judicial review ke MA dan MK. Ia pun berketetapan akan berada di luar sistem jika upaya pencalonannya tidak berhasil.
Namanya masuk dalam nominasi calon presiden Pemilu 2004, sebagai satu-satunya Capres dari PKB. Disebut-sebut bahwa ia masih mendapat dukungan dari para kyai. Dia sendiri membenarkan hal ini dalam beberapa kali pernyataannya.
Namun beberapa politisi dan pengamat politik berharap, Gus Dur bisa mengoptimalkan perannya sebagai salah seorang ‘bapak bangsa’.
Dengan tidak mencalonkan diri sebagai presiden, dia sebagai ‘bapak bangsa’ plus sebagai pemegang kendali (paling berpengaruh) di PKB, dapat memberi pengaruh signifikan dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Kiat-kiat politiknya yang sering kali tak terduga, diperkirakan akan sangat berpengaruh pada pentas poltik nasional.
Bintang Iklan Wiranto-Wahid
Setelah tidak lolos menjadi Capres, dia tampil sebagai bintang iklan pasangan Capres-Cawapres Partai Golkar Wiranto-Solahudin Wahid. Menurutnya Wiranto-Solahudin lebih pantas dipilih daripada pasangan Capres-Cawapres lainnya. Ia merasa yakin Wiranto akan menegakkan demokrasi sesuai dengan pidato-pidato Wiranto. Semenatara Solahudin adik kandungnya sendiri disebut adalah orang bersih karena terbukti lolos uji kelayakan sebelum menjadi Wakil Ketua Komnas HAM.
Penampilan Gus Dur menjadi bintang iklan Wiranto ini, tampaknya semakin menegaskan posisinya yang seringkali kontroversial. Seolah-olah ia tidak mengingat lagi posisi Wiranto sebagai Panglima TNI saat terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan tragedi Semanggi I dan II. Dalam kerusuhan dan tragedi ini, belum satu pun pejabat teras TNI-Polri yang menyatakan bertanggung jawab, baik secara hukum maupun secara moral.
Tampaknya Gus Dur tidak terpengaruh kepada banyaknya dugaan keterlibatan Wiranto, mantan Panglima TNI dan mantan Ajudan Presiden Soeharto, itu dalam beberapa kasus pelanggaran HAM dan kerusuhan Mei 1998 serta pengerahan Pamswakarsa. Sementara sebagian besar masyarakat merasa belum mendapat penjelasan yang bertanggung jawab dari Wiranto tentang berbagai kasus itu.
Semenara itu, Wiranto sendiri sudah bersumpah-sumpah dalam iklannya agar dipilih rakyat dalam Pemilu Presiden. Wiranto sendiri tampaknya tidak merasa gagal ketika menjabat sebagai Panglima TNI saat mana negeri ini dilanda kerusuhan yang amat mengerikan.
Mantan Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ini diperkirakan bakal menjadi King Maker Pemilihan Presiden Pemilu 2004. Kendati namanya masih masuk dalam nominasi calon presiden Pemilu 2004 dan mendapat dukungan dari beberapa kyai serta sebagai satu-satunya calon presiden dari PKB, namun diperkirakan ia tidak akan dicalonkan atau mencalonkan diri secara resmi.
Tokoh yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur, diperkirakan akan sangat berpengaruh dalam menentukan koalisi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan ramai selepas Pemilu Legislatif 5 April 2004. Apalagi Ketua Dewan Syuro Partai kebangkitan Bangsa (PKB), ini telah diberi pula mandat untuk memilih siapa penggantinya jika ia tidak mencalonkan diri oleh suatu sebab.
Pernyataan-pernyataannya selalu menarik dan sering kali mengundang kontroversi. Hal ini pula yang menjadi kekuatan sekaligus kelemahan tokoh yang dikenal pembela kebenaran ini.
Bahkan saat ia menjabat presiden, belum satu bulan, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak. Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam.
Berselang beberapa waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuannya, termasuk Hamzah Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahu-an Wapres Megawati dan Ketua DPP Golkar Akbar Tandjung.
Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR. Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Gus Dur, akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu dan bahkan mengeluarkan dekrit, antara lain berisi pembubaran MPR. Akhirnya MPR mengangkat Wapres Megawati menjadi presiden pada 24 Juli 2001.
Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan ‘Gus’.
Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latar belakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai ‘sosok berbau kiri’ pada masa Orba.
Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik.
Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi.
Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.
Sebelumnya, Gus Dur adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya, melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto berkuasa, Gus Dur dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan ia dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali mengunjungi Pak Harto setelah lengser.
Nama:
Abdurrahman Wahid
Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua:
Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri :
Sinta Nuriyah
Anak-anak :
Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
Subscribe to:
Posts (Atom)