Saturday, 4 December 2010

SAMINISME : Seratus Tahun Melawan Pemburu Rente

SAMINISME : Seratus Tahun Melawan Pemburu Rente



Gerakan perlawanan Samin, yang muncul pada tahun 1890-an, kini menemukan bentuknya yang baru. Di awal kemunculannya, lawan mereka berupa kolonial Belanda dan penguasa pribumi yang mengisap. Kini, para penerus Samin Surosentiko itu berhadapan dengan perusahaan ekstraksi yang bersekutu dengan penguasa. Lawan para Samin sebenarnya tetaplah sama, yaitu para pemburu rente. Antropolog Amrih Widodo mengatakan, gerakan Saminisme merupakan fenomena sosial yang tertua di seluruh Asia Tenggara, muncul sebagai bagian dari gerakan petani, yang oleh sejarawan sering disebut sebagai gerakan proto-nasionalisme. Gerakan ini mekar akibat makin ditancapkannya cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19, kata Amrih, yang belasan tahun mendalami Saminisme. Awalnya adalah sistem tanam paksa yang membuat petani menjadi kuli yang mengolah tanah bagi kolonial. Belanda kala itu juga mengumpulkan pajak untuk membiayai aparatnya. Para priayi pribumi ikut mengambil untung sistem itu dengan melestarikan hubungan tuan dan majikan yang mereka pelajari dari pemerintah kolonial. Dari situlah gerakan perlawanan Samin dimulai.
Nancy Lee Peluso dalam karyanya, Rich Forest, Poor People: Resource Control and
Resitence in Jawa, menuliskan bahwa kebijakan dan peraturan Pemerintah Belanda
untuk menguasai hutan membuat petani di sekitarnya kehilangan akses. Bagi penduduk desa yang miskin, kehilangan akses hutan berarti kehilangan sumber daya utamanya. Ini menyebabkan gerakan penolakan dan salah satunya ialah perlawanan tanpa kekerasan dari pengikut Samin yang hidup di dekat hutan jati. Istilah sedulur sikep yang sekarang dipakai, menurut Amrih, merupakan nama diri untuk menunjuk kepada masyarakat petani yang oleh orang luar sering dinamakan sebagai masyarakat Samin atau penganut ajaran Saminisme, terutama yang tinggal di Kabupaten Pati, Kudus, dan Blora. Orang luar menyebut kita orang Samin. Padahal, Samin tak lebih dari nama
orang. Pengikut Samin itu pengakuannya ya wong (orang) sikep atau sedulur
(saudara) sikep (makna harfiahnya berpelukan erat), kata Gunretno, salah
seorang tokoh muda Sedulur Sikep. Di mata Amrih, kata sikep merupakan cara untuk melawan atau menghindari penamaan dengan menggunakan kata samin akibat konotasi negatif yang dilekatkan pada kata tersebut selama bertahun-tahun, terutama ketika wacana Saminisme makin dipisahkan dari semangat gerakan perlawanan petani.
Pemasungan kata Samin dan Saminisme dari konteks sejarah perlawanan ini merupakan dampak kebijakan politik kebudayaan dan hegemoni developmentalisme pada zaman rezim Orde Baru. Dalam dokumen sejarah nasional ataupun sejarah lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, gerakan Saminisme menduduki posisi penting sebagai wujud perjuangan
rakyat melawan penjajah Belanda. Akhir hidup Penindasan yang sama oleh perangkat pemerintah desa sesudah negara Indonesia mendapatkan kemerdekaannya menjadi energi yang terus menghidupkan kultur perlawanan Saminisme. Sedulur sikep tak bisa dipisahkan dari semangat gerakan Saminisme yang pada dasarnya merupakan gerakan perlawanan petani terhadap kebijakan yang menindas rakyat kecil. Dulu pelaku penindasan itu adalah pemerintah kolonial, sekarang kekuasaan pascakolonial, entah yang berbentuk penentuan dan penarikan pajak/retribusi yang berlebihan, kerja bakti atau keikutsertaan dalam program pemerintah secara paksa, pemaksaan identitas budaya dan agama, maupun perampasan hak milik dan sumber penghasilan, dengan dalih pembangunan, demi kepentingan nasional, dan peningkatan pendapatan daerah.
Menurut Amrih, ajaran yang dianut oleh Sedulur Sikep mendefinisikan jati diri
mereka berpusat pada moda produksi pertanian sehingga segala sesuatu yang
berhubungan dengan pertanian tanah, air, tanaman, pupuk, dan unsur-unsur
pertanian lainnya tak hanya menentukan jasad hidup sosial ekonomi mereka,
tetapi sekaligus menjadi esensi spiritual dan kultural yang mendefinisikan
keber-ada-an mereka. Hidup sedulur sikep itu, ya, dari bertani. Kita tidak bisa hidup selain bertani, kata Gunretno. Karena itu, menjadi masuk akal kalau yang paling merasakan ancaman besar ketika ada rencana pembangunan pabrik semen adalah Sedulur Sikep karena pabrik semen ini akan menghancurkan sekaligus sumber penghasilan, sumber hidup, dan sumber esensi jati diri mereka. PT Semen Gresik mengatakan bahwa penambangan tidak akan mengenai lahan Sedulur Sikep. Tetapi, apakah dengan rusaknya pegunungan kapur itu sumber air untuk pertanian tidak akan hilang? ujar Gunretno. Amrih membandingkan ancaman hancurnya kehidupan Sedulur Sikep akibat penambangan itu dengan seorang guru yang tak lagi mempunyai gedung sekolah, tak ada siswa maupun departemen pendidikan. Yang hilang tidak hanya gaji dan tunjangan bulanan karena pekerjaannya hilang, tetapi juga status sosial, jati diri, dan seluruh lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya lenyap. Artinya, akhir kehidupan, akhir hidup. Dengan bertani, kami mengajarkan anak-anak untuk hidup. Sawah adalah guru dan cangkul adalah alat tulisnya, kata Gunretno. Kepeloporan Sedulur Sikep di kawasan Sukolilo, menurut Amrih, sebenarnya bukan baru mulai ketika ada rencana pembangunan pabrik semen. Mereka sudah bertahun-tahun bekerja sama dengan sesama petani untuk memikirkan dan mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang dihadapi petani: banjir tahunan, merosotnya harga gabah pada masa panen, hama tanaman, langkanya pupuk saat dibutuhkan. Gerakan tolak pabrik semen ini mencuatkan peran mereka, selain karena besarnya investasi yang ditanamkan yang akibatnya tentu bersikerasnya pemerintah daerah ataupun Semen Gresik untuk mengegolkan tujuan, kurangnya konsultasi terhadap masyarakat petani yang terkena dampak langsung, pembelian tanah dalam skala besar-besaran, tetapi terutama karena besarnya ancaman terhadap esensi hidup Sedulur Sikep.


http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/message/11214

No comments: