Saturday, 4 December 2010

Gunritno : Orang Sedulur Sikep/Samin

Gunritno : Orang Sedulur Sikep/Samin



Saya merasa sekarang ini banyak orang salah kaprah. Sebelum ada namanya Indonesia, sebelum ada agama, di Pati Kudus, blora (Jawa Tengah), sedulur sikep sudah punya ageman, pedoman hidup. Sudah lengkap dengan ajaran dan pranata sosialnya. Sedulur sikep sudah menganut ajaran bahwa sesama manusia dianggap saudara, tidak membedakan kulit, tempat, agama atau kepercayaan.

Tapi, setelah Indonesia berdiri, tiba-tiba kami, sedulur sikep, dianggap orang asing. Setelah ada namanya agama resmi, kami dianggap tidak punya agama resmi. Sampai-sampai perkawinan sedulur sikep dinilai tidak sah.

Saya masih ingat, pada 1997, bapak ibu serta simbah buyut kami perkawinannya dianggap tidak sah lantas pemerintah mengadakan perkawinan massal. Sedulur sikep dipaksa ikut, dipaksa mengikuti aturan perkawinan salah satu agama yang disahkan pemerintah. Terus terang saya heran. Soalnya sedulur sikep sudah punya aturan tersendiri tentang perkawinan.

Kami akui memang, sekarang kondisi sudah berubah atau mengarah ke sedikit perubahan. Tapi tak membuat lebih jelas buat kami. Di satu sisi, yang namanya indonesia katanya mengakui keragaman. Tapi, kenyataanya, pemerintah masih menggunakan aturan yang sempit, bahwa hanya lima agama yang diakui.

Terbukti saat kami mengurus KTP. Saya pertama minta blanko kepada Pak Lurah. Di dalam Blanko itu, selain nama dan tempat tinggal, juga dicantumkan agama. Sudah ada lima agama di situ, jadi tinggal pilih salah satu. Saya ditanya Pak Lurah, “Agamamu apa” saya agak heran. Sebab saya pikir, Pak lurah sebenarnya sudah tahu, kenapa mesti bertanya. Tapi saya tetap menjawab, “Agama saya Adam”.

Pak lurah lalu bilang, “Agama yang itu tidak ada. Kalau kau mau ngurus KTP, harus pilih salah satu agama yang dicantumkan di balnko ini. “Saya kemudian minta, kalau begitu kolom agama dikosongkan saja. Tapi pak lurah tetap mencantumkan salah satu agama di KTP itu. Dia tulis Islam.

Maka, apa boleh buat, daripada debat terus, saya minta saja blanko itu dan saya ke kantor kecamatan. Di sana, saya tetap berusaha agar kolom agama dikosongkan. Tapi tidak bisa. Malah di komputer, sudah ada setting otomatis hanya lima agama. Dan akhirnya, hasilnya tetap saja tertulis salah satu agama. Alasannya selalu bersandar pada peraturan yang berlaku.

Padahal, siapa sih pemerintah? Pemerintah ada karena kita, rakyat, yang mengdakan. Hendaknyalah para pemimpin pemerintah itu mengembalikan kedaulatan kepada pemilik sejati, yaitu rakyat. Kami, Sedulur Sikep, juga tidak ingin bergantung pada pemerintah. Kami tidak mau sekolah formal itu juga bagian dari tidak menciptakan ketergantungan.

Dengan tidak sekolah formal, Sedulur Sikep tidak mau jadi pejabat pemerintah. Cukup jadi orang saja, yang penting tahu salah-benar, dan tidak merugikan orang lain. Kami tidak mau bergantung. Apa bisa? Kami jawab, bisa.




http://yuda.multiply.com/journal/item/46/Mas_Gun_Orang_Sedulur_SikepSamin_bicara_sangat_inspiratif

No comments: