Saturday, 4 December 2010

Sedulur Sikep: Perlawanan Tanpa Huru Hara

Sedulur Sikep: Perlawanan Tanpa Huru Hara



Menurut Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya The Samin Movement (1960), ajaran Samin tumbuh tahun 1890-an dan berakar di Randublatung, sebuah kota kecamatan kecil yang dikelilingi lebat hutan jati 25 kilometer sebelah tenggara kota Blora. Mulanya ajaran ini disiarkan oleh Samin Surasentiko,—dari namanya pula ajaran dan gerakan tersebut kemudian mendapatkan sebutan Samin–seorang petani jelata dan buta aksara kelahiran Ploso Kedhiren, kecamatan Randublatung, Blora tahun 1859. Konon, sosok ini sebenarnya adalah seorang bangsawan bernama Raden Kohar yang kemudian menyamar menjadi rakyat jelata untuk menyebarkan ajaran yang disebutnya “agama Jawa” atau “agama Adam”. Mulai tahun 1890, Samin Surasentiko (saat itu usia 31 tahun) mulai menyebarkan ajarannya kepada orang-orang sedesanya.

Pengikut Samin meyakini bahwa jauh sebelum kedatangan orang-orang asing, dari Cina, India, Arab dan Eropa, dengan membawa ajaran agama masing-masing, di Jawa sudah terdapat agama tersendiri. “Ya agama Jawa itu. Agama Adam,” ujar Mbah Karmidi menerangkan. Keyakinan ini menekankan perlunya dua nilai utama dalam kehidupan, yakni kejujuran dan kebenaran. Inti ajaran Samin yang mengatur tata laku keseharian diabstraksikan dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup) yang mencakup “angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “angger-angger pengucap“ (hukum berbicara), serta “angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan). Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu.” Maknanya, orang harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain yang mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna. Hukum yang paling akhir berbunyi “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup”.

Adapun yang menarik ialah bagaimana filosofi agama Adam ini membentuk logika berpikir dalam benak orang Samin yang bisa terlihat dari pemaknaan bahasanya. Misalnya seorang Samin ditanya “umur kakek berapa?” Ia akan menjawab “Satu untuk selamanya”. Artinya umur manusia itu satu. Umur adalah hidup dan hidup adalah nyawa. Manusia hanya punya satu umur dan nyawa. Juga yang aneh dalam tradisi bertamu, mereka tidak mengenal kata monggo (kata yang mempersilahkan tamu untuk duduk atau masuk), karena menurutnya mereka jika seseorang ingin duduk, yah duduk saja. Juga bagi orang Samin tak perlu menyatakan terimakasih (matur nuwun dalam bahasa Jawanya) karena pihak pemberi memberikan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri, bukan berdasarkan permintaan dari seseorang lainnya.
Logika pemaknaan bahasa yang lugas inilah yang membawa gerakan spiritual ini menjadi sebentuk perlawanan pada kesewang-wenangan penjajahan. Beberapa tahun sebelum munculnya gerakan Samin, pemerintah kolonial Belanda melakukan pematokan paksa lahan-lahan pertanian milik rakyat Blora untuk perluasan lahan hutan jati. Rakyat tidak bisa berbuat banyak, juga ketika mereka dibebani pajak atas tanah, ternak dan air serta pembatasan pemanfaatan hasil hutan oleh Belanda pada awal tahun 1900-an. Tindakan ini menyudutkan rakyat pada kehidupan yang penuh tekanan dan ketidakberdayaan. Pada kondisi sosial seperti itulah ajaran Samin datang, seolah membawa penawar.

Sejalan dengan ajaran dasar Samin yang menyatakan “Jawa adalah hak orang Jawa”, dan pandangan bahwa manusia diciptakan setara, tidak ada hak untuk mengungguli satu di atas yang lain, maka pengikut Samin menolak adanya perbedaan status dalam masyarakat dan penjajahan. Mereka tidak mengakui jabatan struktural dan hirarki sosial, yang salah satunya diekspresikan dengan menolak berbahasa krama (Jawa halus) dan saling menyebut sesamanya “sedulur” (saudara). Dengan ajaran Samin para petani jelata seolah menemukan bahasa bersama untuk melawan tindakan sewenang-wenang pemerintah kolonial.

Alih-alih melakukan gerakan bersenjata, para pengikut Samin mewujudkan perlawanan mereka dengan penolakan membayar pajak, mangkir dari kewajiban meronda dan kerja bakti. Aksi ini dilengkapi dengan pembangkangan kultural berupa penolakan menggunakan bahasa krama (Jawa halus), baik pada sesama mereka maupun perangkat pemerintah kolonial Belanda, termasuk pamong desa dan mandor hutan. Geger samin pun dimulai.
Salah satu bentuk perlawanan mereka yang terkenal adalah melalui pemaknaan bahasa. Sebagai contoh seorang aparat desa di masa tahun 1900-an meminta agar orang Samin membayar pajak sewa tanah yang digarapnya. Lalu orang Samin menggali tanahnya serta memasukkan uang ke lubang serta menutup kembali. “mengapa kamu menguburkan uang di dalam tanah?” tanya aparat desa itu. Orang Samin itu menjawab “tanah itu milik bumi, jadi saya harus bayar sewa tanah pada bumi, bukan pada penjajah”. Seorang wartawan yang berkunjung ke Rembang pada Desember 1914 juga pernah mencatat peristiwa seorang patih yang sedang memeriksa seorang Samin di pengadilan karena dirinya tak mau membayar pajak.
+ “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara”
- saya tak hutang kepada negara”
+ “Tapi kamu mesti bayar pajak.”
- “Wong Sikep (yaitu orang Samin) tak kenal pajak
+ “Apa kamu gila atau pura-pura gila? “
- “Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila”
+ “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
- Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”
+ Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup uang, tak mungkin merawat jalan-jalan dengan baik.”
- “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu menganggu kami, kami akan membetulkannya sendiri.”
+ Jadi kamu tak mau bayar pajak?”
- Wong Sikep tak kenal pajak.”
Selain itu masyarakat Samin seringkali didenda atau masuk penjara karena dianggap sebagai pencuri kayu di hutan jati. Menurut pemerintah mereka adalah pencuri, tapi bagi orang Samin hutan jati tumbuh di bumi, sedangkan bumi adalah milik orang banyak. Sangat wajar jika siapapun boleh mengambil dan menebangnya untuk kepentingan tertentu.
Dalam waktu singkat ajaran spiritual Samin dan bentuk perlawanan kulturalnya tersebar di kalangan petani di sepanjang pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, saat ini mencakup wilayah Blora, Pati, Kudus, Grobogan, Rembang, Sragen di Jawa Tengah dan sebagian Bojonegoro dan Madiun di Jawa Timur. Pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro dan berlipat menjadi lebih dari 5000 orang di tahun 1907.

Seiring makin meluas dan intensifnya gerakan Samin, pada tahun 1907 pemerintah Belanda melalui Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo, menangkap Surosentiko dan beberapa tokoh gerakan ini. Mereka diasingkan ke Padang, dimana Samin Surosentiko meninggal pada tahun 1914. Secara sistematis mereka juga melakukan pencitraan buruk pada komunitas Samin sebagai kelompok yang suka membangkang dan bertabiat serta berbahasa kasar. Citra inilah yang kemudian melekat menjadi konotasi kata “samin” dan terwariskan ke beberapa generasi setelahnya. Sesudah tahun 1930 tidak terdapat pemberitaan tentang orang Samin. Baru pada tahun 1950 orang Samin kembali dibicarakan, terutama saat seorang bekas anggota Panitia Pemilihan Umum tahun 1955 untuk kabupaten Blora menginformasikan bahwa jumlah pemilih Samin mencapai 40.000 orang. Perhatian terhadap masyarakat Samin mulai marak dengan adanya upaya dari pemerintah RI untuk memasyarakatkan kaum Samin.



http://archive.kaskus.us/thread/3855381

No comments: