Saturday, 4 December 2010

Tentang Sedulur Sikep

“Mengapa pintu rumah si Mbah dibiarkan terbuka?”
“Kenapa mesti ditutup kalau tidak ada daun pintu?,” jawab si Mbah
“Mengapa tidak diberi daun pintu?”
“Kenapa mesti diberi daun pintu kalau tidak mau ditutup?”
“Bukankah jika diberi daun pintu, maka pintu bisa tertutup? “
“Kenapa harus ditutup kalau maunya dibiarkan terbuka,” jawab si Mbah lagi

Terkesan mbulet dan ngeyel kan?
Itulah stereotype orang-orang yang dikenal sebagai orang Samin.

Kalau anda melihat KTP, maka selain nama, jenis kelamin, disertakan pekerjaan dan pendidikan.

Namun bagi orang Samin, keterangan mengenai agama umumnya dikosongkan. Ini aneh sementara orang kita sudah memiliki standar bahwa orang yang mengosongkan kolom kepercayaan bakalan dituding jadi pengacau dunia dan apalagi akhirat. Dulu malahan masuk kotak “atheist“ – dan resikonyo rumahnya dibakar, dan anak cucunya dikucilkan masyarakat.

Orang Samin atau Sedulur Sikep ini, dikenal sebagai pemberontak tanpa kekerasan terhadap kebijaksanaan Belanda. Mereka yang hidup diantara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini berani membantah semua yang diperintahkan Belanda.

Dinamakan Samin sebab pemimpinnya yang terkenal adalah Samin Surantiko.

Gun Retno seorang tokoh Samin yang hidup di Surabaya mengatakan abhwa kesehariannya mereka berbahasa Jawa sebab kalau berbahasa Indonesia mereka takut membuat kesalahan. Suku dengan ciri berpakaian hitam dan kepala bebat kepala ini kepada anak-anaknya hanya mengajarkan filsafat hidup. Lantas bagaimana mereka belajar membaca dan menulis. Kalau ingin ilmu tersebut mereka bisa bertanya kepada teman-temannya.Tapi jangan lupa, kami juga punya TV, bahkan dalam mengolah pertanian kami pakai traktor, akan tetapi tidak berlebihan. Tambah Gun Retno.

Dari Gatra 5 Nove 2008 saya peroleh keterangan sekali waktu rombongan PWI memberi 50 bungkusan sembako. Tiga pekan kemudian, sembako tadi masih menumpuk di halaman rumah Hardjo Kadri sang pemimpin. Alasannya kaum Samin ada 170KK, lantas kalau cuma diberi 50Sembako apakah mereka akan saling sikut, atau menginjak temannya sampai tewas seperti yang sering kita saksikan dalam antrean sembako atau uang? – Kaum yang sering dilecehkan sebagai “tak beragama” atau animisme ini menunjukkan sikap watak tak dibuat-buat. Daripada berebutan, lebih baik semua tidak mendapatkan sembako. Menyadari kesalahan, pak Bupati membeli 120 bingkisan sembako, barulah mereka merasa berhak menerima bingkisan tersebut.

Anda harus membayangkan Indonesia pasca Reformasi, disaat masyarakat susah, banyak orang marah lalu menjarah, masih ada warga masyarakat yang begitu jujur.




http://mimbarsaputro.wordpress.com/2008/03/08/sedulur-sikep/

No comments: