Wednesday 19 January 2011

“DORRR”

“DORRR”

Cerpen Yanusa Nugroho




GEMA letusan itu menyelusup ke lembah-lembah di kaki bukit Monyet yang hijau. Lubang laras itu berasap. Perlahan tetapi pasti moncong laras itu turun menatap bumi, mengikuti jatuhnya tubuh yang sial.

Tubuh itu, jatuh dan menggelepar meregang nyawa, merintih sesaat, lalu larut dalam heningnya rimba.

“Tembakan jitu.”

“Lumayan,” jawabnya puas.

Mereka kemudian menyeret bangkai monyet besar itu ke tepi sungai untuk dikuliti. Di sana telah terkumpul sejumlah bangkai lain, teronggok kaku.

“Jadi kawin bulan ini?” Tanya yang berpakaian hitam.

Yang ditanya tak segera menjawab, menebarkan senyum, lalu mencabut pisau kecil, dan mulai menguliti. “Entahlah,” ucapnya beberapa saat kemudian.

Bau amis darah yang masih menghangat di tubuh bangkai itu menebar. Tangan lelaki itu, yang tampak sangat ahli, mengguyur bangkai itu dengan air. Warna merah segera bergolak dalam kejernihan arus.

“Tunggu apa lagi? Lamarlah segera, nanti keburu dipetik orang,” goda yang berbaju hitam lagi. Kedua tangannya memegangi tubuh monyet berbulu sehitam bajunya itu.




Yang digoda hanya tersenyum dingin. Pisau kecilnya menggorok leher bangkai, mengorek isi kepala, dan mengeluarkan otak bangkai bonyet malang itu. Kemudian mencelupkan kepala kosong itu ke dalam air. Mengguncang-guncangnya. Air kembali berwarna merah.

Matahari sudah semakin condong ke barat. Suasana redup mulai melingkupi bukit monyet. Dua lelaki di tepi kali itu masih sibuk menguliti mangsanya. Tangan-tangan mereka lincah memainkan pisau. Menyayat dan merobek, mencongkel dan membenamkannya ke dalam daging. Mengeluarkan daging tanpa begitu banyak mengoyak kulit. Antara jemari dan pisau hanya beberapa detik saja sambung-menyambung bergantian, menyelesaikan satu demi satu bangkai-bangkai itu. Daging ditumpuk bersama daging. Tulang ditumpuk bersama tulang. Dan kulit dilipat bersama kulit.

Keringat mengucur deras di pelipis mereka, penggung, lengan, dan seluruh permukaan kulit mereka. Sekujur tubuh mereka basah oleh keringat. Kelelahan dan ketegangan membuat gejolak panas di tubuh mereka memuncak dan menyemburkan keringat itu ke seluruh tubuh. Sesekali mereka menghapus wajah dengan lengan baju.

Matahari tepat jatuh di garis sebelah sana bukit Monyet. Dan keremangan makin kelam. Dua laki-laki itu telanjang bulat, membersihkan diri di dalam jernihnya arus air. Dua tiga kali menyelam membasahi rambut, untuk kemudian menepi. Kesegaran tampak di wajah mereka. Tawa mereka lepas sepuas-puasnya.

“Rasanya aku ingin pulang cepat-cepat, Rus. Aku sudah rindu sekali pada Munah”.

Gemuruh dan desis jeram di hulu agak menghambat pendengaran kawannya yang berdiri di batu-batu sambil mengenakan celana dalam.

“Apaa?” teriaknya bertanya.

“Akuu inginnn segeraaa Pulaaang ……rinduuu padaaa Munaaah!”

Kawannya tergelak, kemudian melompat dari batu ke batu mendekat. “Apa kataku, cepatlah kaulamar gadis itu!” Keduanya terbahak-bahak lagi.

Tak lama kemudian keduanya telah duduk menunggui api unggun. Mereka basahi daging itu dengan alkohol, mereka garami sedikit, dan bunyi desis daging terpanggang mulai mengisi sunyi. Aromanya terbang bersama kepulan asap putih yang ditimbulkannya. Dua wajah kemerahan oleh api, tampak tersenyum puas oleh hasil buruan hari itu. Menyeringai buas ingin segara mengunyah daging baker yang merangsang.

“Tabunganku kurasa cukup untuk modal kawin,” kata yang lebih muda sambil mulai mencoba menggigit daging bakarnya.

“Alaaa, Munah ‘kan hanya tinggal dengan emaknya. Mereka tinggal berdua. Kehadiranmu tentu sangat mereka harapkan untuk menggarap ladang. Hahahaha …. Dan berarti kaujadi petani, bukan pemburu lagi, hahahaha …”

“Aku tak bisa berladang. Bagaimana mungkin aku sanggup menghidupi keluargaku? Aku dilahirkan untuk jadi pemburu, hidupku bergantung pada bidikan senapanku ….”

“Sebelum kaukenal dengan senapan ini, kauini apa, ha?” goda kawannya sambil memasukkan kerat daging kesekian ke dalam api. Kemudian menenggak alkohol dalam botol itu lagi.

“Ya, kuakui, aku membantu bapakku berladang, tetapi setelah aku mulai bisa memilih, kurasakan kecocokanku di sini. Berburu! Aku senang mengembara dan puas bila bidikanku tepat. Lagi pula uangnya lebih banyak ketimbang petani, hahahaha …… “

Mereka mengunyah daging bakar itu penuh nikmat. Mereka tenggak minuman itu berkali-kali dan bau alkohol pun menebar. Hutan di bukit Monyet itu gelisah.

“Kautahu, hik, senapan ini telah memberi, hik, kejantanan padaku, hik, hahahaha …..”
“Hahahahaha, hik, membidik, hik ……”

“Dan doorr …..hik.”

“Lalu, bug, glubug, glubug, …hahahaha, hik.”

Gelegar sendawa terdengar dari tenggorokan mereka.

“Daripada nyangkul, hik …. Cluk, cluk, cluk, hik.”

“Tiap musim hanya bergantung pada nasib, hik, tak pernah bisa menentukannya sendiri, hik …. Hahaha.”

“Tapi Munah maunya begitu, hik, …..”

“Ya, rasanya begitu, karena memang begitu itu, hik …. Hahahaha.”

“Diaammmm…”

Yang dibentak hanya tercengang sesaat, lalu tertawa dan menenggak isi botol itu lagi. Hutan sunyi. Dingin menulang. Bara api masih menyala. Daging basah masih menumpuk.

“Sin, hik, ayo kita tidur, hik. Besok perjalanan cukup melelahkan.Memipihkanlah Munah, hik, hahaha,hik...” Rustam, yang lebih tua, mulai memanjat pondok-panggung mereka yang telah dibangun beberapa hari lalu.

Yang dipanggil sinmasih mematung memandangi pijaran kayu-kayu yang merah menyala.Dua tiga kali ia masih tampak meneggak isi botolnya.

Ah,munah yang manis, gadis dusun yang sederhana, telah menambat hatinya. Dia manjakan gadisnya itu dengan baju-baju yang dibelinya dari kota, dari hasil penjualan kulit-kulit mangsanya. Dia belikan seuntai liontin, sepasang giwang, gelang, gincu, bedak, dan lain-lain kebutuhan perempuan. Juga Mak Ilah, emak Munah, lebaran kemarin dia belikan kerudung dan pakaian lengkap yang indah.

Segalanya sudah berjalan lancer, keakraban sudah lama terjalin, namun masih ada satu yang masih menghambat perkawinan mereka. Yasin harus mau mengurusi ladang milik keluarga Munah. Itu saja.

“Tapi, ‘ kan sudah kubuktikan, hasil buruanku jauh lebih baik,” ungkapnya menjelaskan keberatannya menjadi petani.

“Ya, tapi dengan begitu, artinya nanti kau sering meninggalkan rumah.”

‘Kau harus maklum, kau harus memahami pekerjaanku. Itu semua demi kita…”

“Dengan berladang, setiap saat kita bisa bertemu, ‘kan?” goda Munah manja. Darah Yasin bergejolak. Dadanya bergetar. Dibelainya rambut hitam lembut itu.

Dia tahu Munah begitu mencintainya, begitu mengharapkan dirinya menjadi suaminya, dan seterusnya, beranak-pinak dengan hasil ladang. Dengan cangkul, cangkul, cangkul, seperti kebanyakan orang sekampungnya. Ya! Seperti kebanyakan lelaki di kampungnya. Dia muak itu! Dia begitu benci menjadi bagian dari kebanyakan orang yang berada di sekitarnya. Dia begitu benci pada orang-orang yang dinilainya tak punya kekuatan ubtuk melawan. Tak punya kegagahan untuk mandiri. Selalu tunduk pada tengkulak. Selalu begitu dan begitu!

“Boleh minta api?”

Yasin menoleh. Seseorang berdiri dalam keremangan. Diamatinya beberapa saat. Menenggak, lalu menyilakan orang ituuntuk menyundut sendiri rokoknya ke bara api, yang sebagian masih menyala. Orang itu menunduk, memungut kayu yang terbakar, dan menyundut rokoknya.

Yasin sempat memperhatikan lelaki berikat kepala hitam itu dengan pikiran agak kacau.

“Terima kasih,” orang itu kemudian menyedot rokoknya.

“Minum?”Yasin menyodorkan botolnya.

“Terima kasih, terima kasih, mmmm, saya tak biasa minum.”

Yasin menenggak isi botolnya lagi. “Bapak juga pemburu, seperti, hik, saya? Senapan ini, senapan saya ini sudah menelan berpuluh-puluh,hik, monyet…”

Orang itu hanya tertawa kecil, sambil tetap menikmati rokoknya. “Bukan main.” gumamnya kemudian.

“Ya, aku memang bukan main-main. Senapan ini telah menberi sesuatu yang lain, hik. Dia telah memberi kekuatan buatku…”

“Boleh kulihat? Agaknya cukup mahal.”

Yasin tertawa, lalu menyerahkan senapannya tanpa curiga.

“Kau dapat dari mana?” Tanya orang itu sambil mengamatibenda berlaras itu dengan teliti.

Yasin tertawa. Minum lagi. Kemudian mendadak mengernyitkan dahi seperti memikirkan sesuatu, “Oh, maaf pak, hik, hahahaha… Bapak ingin memiliknya? Hahahaha, hik,…”

“Ya, ya, sekarang juga benda ini harus jadi milikku!”

Angin dingin tiba-tiba menyeruak dedaunan. Menghembusi tengkuk Yasin. Dia terdiam beberapa detik.

“Hahahaha,… hik,… jangan main-main Pak. Benda itu punyaku. Kembalikan!”

“Aku sungguh-sungguh! Benda ini lebih pantas menjadi milikku!”

Yasin berdiri gontai, mencoba mengatur keseimbangan tubuhnya. Menenggak tetes terakhir minumannya. Kemudian menggenggam erat leher botol itu dan mengacungkannya kea rah lelaki yang hanya beberapa langkah di hadapannya itu.

“Hee, kau berhadapan dengan , hik, Yasin! Kembalikan,atau, hik, kubunuh kau!”

“Dengan apa kau mau membunuhku? Senjatamu ada di tanganku!”

“Bangsat!” Yasin menganyunkan gada botolnya. Orang itu tak bergeming sedikit pun. Yasin tersungkur oleh ayunan tangannya sendiri, terjerembab ke tanah. Berusaha bangkit dengan kekesalan, Yasin memaki dirinya sendiri.

Orang itu tertawa melecehkan, lalu meletuskan senapan itu ke udara. Doorrr! Doorrr! Doorrr!

“Rustaaam! Bangun kau!” teriak Yasin mencoba meminta tolong pada kawannya yang berada di pondok.

“Rustaaam! Bangun kau, kerbau! Tidurmu seperti mayat! Taaam, bangun!” teriaknya parau.

Yasin tersuruk-suruk menggapai tangga pondok. Orang itu terbahak-bahak penuh kemenengan. “Rustam sssudah menjadi mayat!” ucapnya disela-sela tawa kemenanganya.

Hutan sunyi.

“Hah? Rustam? Taaam! Bangun kau !” Yasin kalap, mengguncang-guncang tangga pondok berusaha untuk naik, namun kakinya tak pernah melakukan apa-apa. Baginya, kedua kakinya bagai dibebat dengan tambang kapal.

“Rustam sudah mampus, Sin! Hahahaha…”gelak tawa itu bergema, merobek rimba raya.

“Tidak! Rustam tidak boleh mati! Taaam, bangun. Taaaam!”

“Naiklah ke pondokmu , Sin! Lihat baik-baik apa yang terjadi!”

Yasin membelalakan matanya. Remang-remang. Dicobanya untuk memusatkan pandangannya pada pondok yang samar-samar itu.

“Nih, pakai ini!” ucap orang itu sambil menyodorkan batangan obor bambo.

Tanpa sadar sepenuhnya, Yasin menerima obor itu, kemudian mengacungkannya ke atas. Mula-mula telinganya mendengar gemericit suara asing dari dalam pondok. Lama-lama ia mulai mengenali bahwa suara itu adalah suara monyet. Ya! Dan…

“Aaaaa… tidak, tidak, jangaaan!” Yasin melemparkan obornya, matanya tak kuasa melihat tubuh Rustam menjadi ajang pesta para monyet. Tubuh itu koyak–moyak, darah membasahi lantai bamboo pondok itu, menetes dari celah-celahnya.

“Monyet gila! Kubunuh kalian!” Yasin berteriak-teriak mencoba melempari monyet-monyet itu dengan kayu-kayu membara.

“Tak mungkin mereka terbunuh! Senjatamu ada ditanganku, manusia jantan! Hahahaha…”suara itu terdengar lagi menggema.

Yasin bangkit, teringat pada senapannya. Dia mencari-cari orang itu. Tak ada. Entah kemana ia pergi. Yasin tak mampu melihat kegelapan. Matanya kabur. Semuanya hanya tampak remang-remang.

“Kutembak kau!”

Doorrr! Doorrr! Doorrr!

“He, Sin! Sin! Ada apa?”

Yasin terjaga dari lamunannya. Dinginnya malam, oleh embun, menyadarkannya dari mabok. Rustam terbangun oleh bunyi letusan senapannya. Yasin menghapus keringat dinginnya. Napasnya memburu. Kepalanya masih terasa berat.

“kaumimpi lagi rupanya, Sin?” kata Rustam sambil melangkah mendekati sahabatnya. Membesarkan api yang mulai redup dengan menambah kayu-kayunya.

Yasin masih termenung. Sekali lagi dipandangnya pondok bambu di atas sana. “ aku tidak mimpi, Rus. Aku melihat semuanya. Ah, lihat… darah, darah masih membekas di sana, Rus!” ujar Yasin seraya menunjuk lantai bamboo pondok mereka yang basah kemerahan.

Rustam tanpa menoleh menjawab bahwa darah itu berasal dari kulit-kulit monyet. Yasin seperti tak yakin. Senapannya digantungkannya pada pundaknya. Kemudian dia memanjat pondok.

Rustam hanya tersenyum. “Malam-malam begini jangan teriak-teriak, Sin! Nanti tetangga kita bangun, lalu,…mereka ada yang hilang, Tuan?’ Hahahaha… Tidur lagi, Sin kauhanya kelelahan.”

Hee, Jangan ngoceh terus. Lekas ke sini! Kulit-kulit kita lenyap, Tam!”

Rustam termangu seketika. Senyumnya mendadak beku. “Apa?” teriaknya. Bergegas ia naik dan mendapatkan sudut pondok itu benar-benar telah kosong. Padahal di situ tadi teronggok dua belas lipatan kulit monyet besar. Padahal di situ telah terbayang dua ratus ribu rupiah. Kini tiba-tiba musnah begitu saja. Padahal...

Yasin dan Rustam saling berpandangan. Hening.
Siapa malingnya?”

“Kita cuma berdua di sini. Kau yang tadi tidur di dekat kulit-kulit itu!”

“Apa maksudmu?”

Ya, di sini kita cuma berdua…”

“Jangan main sandiwara, Sin! Kau yang tidak tidur. Kau yang berjaga. Lalu, suara letusan itu? Ah, mengapa semuanya harus terjadi?”

“Kurangkah bagianmu selama ini?”

“Mengapa kaujadi begitu serakah, Sin? Semua ingin kaumakan sendiri. Ayo, kembalikan hakku!”

“Tunjukkan di mana kausimpan kulit-kulit itu!”

“Bangsat! Kau mabok, Sin!”

Yasin mengokang senapannya. Sadar akan keadaan, Rustam terpaku dipintu pondok. Bau amis darah dari pondok kecil itu menyelusup ke rongga paru-paru mereka, menembus lipatan otak mereka, memualkan perut.

“Sssin, aaaku tahu kaumau kawin, mmmengapa kkkau tak terus terang saja… Aaaku bisa mengerti, kkkaubutuh tambahan bbbiaya…”

Bau amis darah membuat kepala Yasin pening. Ia teringat Munah. Kulit-kulit yang akan ditebus seseorang di kota dengan harga tinggi. Monyet-monyet yang mati ditembak. Dirinya yang menjadi petani dengan cangkul di tangan. Munah yang tersenyum. Rumah mereka yang kecil. Senapan. Cangkul. Munah. Monyet, Kulit. Seseorang berpakaian hitam. Senapan. Rustam. Uang. Kulit. Rustam. Kulit. Rustam dan kulit-kulit. Tertawa. Rustam dengan pisau kecilnya. Uang. Munah yang menangis lantaran gagal kawin. Senapan.

“Sssin, bertahun-tahun kita berdua mencari hidup dari berburu, tak ada pertengkaran. Mengapa kkkau tak terus terang saja ….”

Yasin mengarahkan moncong larasnya tepat di antara kedua mata Rustam. Darah. Darah.Darah. Pelatuk ditarik …..

“Ssssin, Sssin, ….. akkku tidak mengambilnya …… tttidak ….. oh, pppercayalah, ppper …..”

Yasin tertawa. Rustam adalah orang-orang di kampungnya, yang hidup dengan berladang, yang takut sekali melihat senapan. Itulah yang membuat Yasin merasa gagah. Itulah yang membuat jantan, besar, sedangkan Rustam …..

Clek! Clek! Clekkk!

Kosong!

Rustam merasa mendapat kesempatan. Nalurinya merasa melihat celah sempit untuk menyerbu. Melompat maju menerjang Yasin.

Mereka bergumul. Rustam berhasil menghunus pisau kecilnya. Dihujamkannya ke tubuh Yasin. Yasin berkelit sambil menendang. Dua sahabat itu bergocoh. Pondok itu roboh. Keduanya terjerembab ke tanah.

Gelap. Keduanya merasa pening. Masing-masing berusaha bangkit dan mencari senjata mereka yang terlempar.

“Siapa pemenangnya? Hahahaha …” tiba-tiba suara tawa menggema. Yasin segera mengenali suara itu. Matanya berusaha menembus keremangan di sekelilingnya.

Rustam terduduk. Matanya terbeliak memandangi makhluk-makhluk yang memegang senapan. Yang dituding terbahak-bahak.

Lima puluh pucuk moncong senapan mengarah ke tengah lingkaran. Di dalam lingkaran itu, kini ada dua manusia yang menjadi kecil oleh rasa takut yang muncul dari hati mereka sendiri.

Makhluk yang dikenali Yasin itu menunduk dan meniup onggokan bara. Api pun menyala terang.

Dua orang itu terpengarah! Yang mengepung mereka ternyata monyet-monyet!

Doorr!Doorr!Doorr!Doorr!Doorr!Doorr!

MUNAH berlari-larian ketika ada orang yang memanggil namanya.

“Ada apa, Wak? Tanyanya pada si pencari kayu yang memanggilnya itu.

“Yasin dan Rustam ….” Sahutnya singkat.

Munah terkesiap.

Tubuh itu koyak-moyak oleh benda tajam. Hanya wajahnya yang sama sekali tidak diusik, agaknya disengaja, agar masih dapat dikenali.

Munah memeluk jasad Yasin. Titik air matanya meleleh keluar dari kepedihan yang sangat dalam. Pedih, melihat segala yang dikhawatirkan kini nyata terbukti.

“Subuh tadi, polisi hutan mendapatkan mereka tengah dikeroyok ratusan monyet. Para polisi itu tidak dapat berbuat apa-apa, selain membiarkan monyet-monyet itu pergi dengan sendirinya.”

Orang-orang pada akhirnya secara diam-diam mengeramatkan bukit Monyet itu.


---- Gg. Rela 1985 -----

No comments: