Tuesday 25 January 2011

Kejahatan Agama, Keyakinan dan Ras Dalam RKUH

1
Notulensi
Diskusi Kelompok Terbatas
Kejahatan Agama, Keyakinan dan Ras Dalam RKUHP”
Desantara - Aliansi Nasional Reformasi KUHP
Ponpes Raudhatul Ulum, Kajen-Pati, Jawa Tengah
13 Juli 2006
2
Surur:
Assalamu'alaikum War. Wab.
Selamat pagi dan salam sejahtera, pertama-pertama kami ucapkan terima kasih atas kedatangan
saudara-saudara sekalian. Mungkin sebgain dari kita masih ada yang bertanya-tanya sebenarnya
pertemuan pada hari ini dalam rangka apa? Sebelum saya menjelaskan semuanya, saya kira kita perlu
saling memperkenalkan diri karena di antara kita ada yang sudah atau juga belum saling kenal satu
sama lain. Nanti cukup kita sebut nama, asalnya dari mana, dan aktif di lembaga apa.
Saya mulai dari saya sendiri.
Saya Miftahussurur dari DESANTARA, saya datang bersama Pak Bisri dan Mas Khoiron. (Lalu masingmasing
peserta memperkenalkan diri. Untuk lebih jelasnya mengenai nama peserta, lihat di daftar
absen)
Terima kasih sederek-sederek semua. Ada beberapa hal yang mungkin sederek-sederek bertanya-tanya
sebenarnya acara ini ingin apa? Dan bagi sebagian teman-teman juga mungkin masih ada yang
bertanya-tanya sebenarnya Desantara itu apa dan kenapa mengadakan pertemuan di tempat ini?
Memang kemarin kami sengaja meminta mas Gun bersama kang Didik untuk menyambung keinginan dan
undangan dari DESANTARA. karena terus terang, DESANTARA mungkin belum banyak srawung (bertemu)
dengan sederek-sederek, sehingga kami menyerahkan kepada mas Gun dan mas Didik untuk
menyampaikan undangan yang berkaitan dengan pertemuan kita pada hari ini.
Berkaitan dengan pertemuan kita itu mungkin bapak-bapak dan sederek semua sudah menerima
semacam undangan termasuk tor dan jadual bahwa hari ini kita akan bahan rembuk, ngobrol, dan
minta masukan dari teman-teman sekalian tentang "Rancangan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) yang berkaitan dengan isu kejahatan terhadap agama dan ras." Mungkin kita perlu sedikit ada
informasi sebenarnya KUHP itu apa dan kenapa itu juga penting untuk dibahas. Jadi di Indonesia
semenjak masa pemerintah kolonial Hindia-Belanda sampai sekarang memiliki suatu aturan hukum yang
mengatur tentang perilaku-perilaku kejahatan, pelanggaran terhadap hokum dan sanksi yang
dijatuhkan kepada pelanggar hukum tersebut. Berbagai bentuk pelanggaran dan tindakan kejahatan
seperti pencurian, pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, pemalsuan identitas, pemerkosaan, dan
juga termasuk menodai agama itu diatur di dalam KUHP tersebut. Kalau beberapa bulan atau beberapa
hari kemarin kita sering lihat di Televisi dan media-media yang lain tentang kasus Ahmadiyah yang
dicerca dan dikuyo-kuyo, lalu kasus Lia Aminuddin, dan masih banyak kasus yang lain, semuanya selalu
diembel-embeli dengan tuduhan sebagai bentuk penodaan terhadap agama. Perilaku penodaan
terhadap terhadap agama itulah yang di dalam KHP dimasukkan sebagai tindak pidana dan untuk itu
terkena sanksi. Nah hukum ini sebenarnya memang di buat pada zaman Belanda. Pada tahun 60-an itu
sudah ada perbaikan-perbaikan di dalam kitab undang-undang ini tetapi memang perbaikan–perbaikan
itu belum banyak yang efektif, sehingga diperlukan kembali usaha untuk memperbaikinya. Banyak
kalangan yang menilai bahwa KUHP ini harus dibenahi karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang
tidak relevan dengan perkembangan-perkembangan di masyarakat. Nah dalam rangka memenuhi
tuntutan itulah saat ini upaya perbaikan hukum terhadap KUHP itu dilakukan. Saat ini rancangannya
sudah jadi tapi belum diserahkan ke DPR. Persoalannya adalah bahwa aturan ini dibuat orang-orang
Jakarta, wong-wong kota yang mungkin kita di sini banyak belum ngerti, belum dapat informasinya.
Jangankan isi pasal-pasal di dalamnya, KUHP itu sendiri saja mungkin sesutau yang masih asing. Nah di
dalam proses pengawalan di bidang perbaikan hukum inilah DESANTARA dan juga beberapa lembaga
yang lain merasa perlu untuk menginformasikan, meminta rembukan dengan warga masyarakat, dan
juga mengawal proses yang sedang berlangsung, dan kita sangat perlu untuk meminta masukanmasukan
dari sederek-sederek sekalian yang hadir di tempat ini. seperti sempat saya singgung
sebelumnya, kenapa kok orang-orang Ahmadiyah itu dituding sebagai menodai Islam atau kemarin juga
terakhir Lia Aminudin juga divonis hukum penjara karena dianggap menodai agomo. Padahal di
Indonesia ada banyak agama-agama lain, meskipun agama-agama yang ganyak ini “tidak direstui” oleh
negara. Saya kira kita tidak harus membahas pasal per pasal tapi lebih ditekankan pada pengalaman
dalam konteks Pati. Siapapun di antara teman-teman yang memiliki pegalaman-pengalaman seharihari,
seperti mungkin sebelumnya sedulur Sikep pernah juga menghadapi tekanan-tekanan dari pihak
pemerintah atau pihak yang lain berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dari saudara-saudara yang
lain. Jadi nanti kita ungkapkan saja permasalahan-permasalahan yang setiap hari muncul dan kita
3
berharap dengan pemaparan pengalaman itu bisa memperkaya daya kritik kita terhadap berbagai
bentuk aturan yang dibuat oleh pemerintah. Selain pati, teman-teman dari Blora dan sekitarnya juga
saya minta banyak menceritakan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan kehidupan
keagamaan. Nanti masukan-masukan dari bapak-bapak sekalian ini akan menjadi bahan usulan bahwa
ini lho yang sebenarnya diinginkan oleh temen-temen dari kalangan masyarakat tingkatan bawah. Nah
sebelum itu saya kira nanti pak Bisri akan menjelaskan Desantara itu apa dan apa hubungannya dengan
tema kegiatan yang kita laksanakan sekarang ini, monggo Pak silahkan.
Pak Bisri:
para sederek-sederek sedoyo, bahwa sebenarnya masalah agama, agama menjadi masalah itu
sebenarnya yang terakhir yang paling itu terjadi ketika Negara ikut-ikutan mendefinisikan agama.
Istilah yang kemudian dibedakan oleh pemerintah bahwa ono agama seng resmi dan ono agomo seng
ora resmi. Yang resmi itu kaya apa, dan yang tidak resmi itu kaya apa, alur pikirannya yang berbeda
dengan alur pikiran negara. Selama ini hubungan antar agama yang dipersoalkan, itu sebenarnya
menyangkut tiga hal saya kira. Yang pertama, hubungan antar agama, seperti agama Islam dan Kristen,
pastinya hubungan antara “agama resmi” yang enam yang diakui negara. Yang kedua, yaitu antar
intern umat beragama, itu misalnya NU karo Muhammadiyah gelut (berantem) misalnya, PPP karo PKB
neng Demak yo gelut, nah itu hubungan (NU karo NU) yo NU karo NU gelut durung nak Pati, ha itu
hubungan intern umat beragama. Yang ketiga saya kira antara hubungan “agama resmi” tadi, dengan
“agama yang tidak resmi”, kalo agamane mas Gun itu kan agama yang tidak resmi (hehe). Sama juga
dengan agamane DESANTARA itu juga gak resmi. Hubungan antar agama ini kan menjadi simpang siur,
kita juga sering dengar ada dialog antar umat beragama di hotel-hotel, di mana-mana, di Kampuskampus,
IAIN terutama menjadi sponsor dialog antar umat beragama, tetapi yang menjadi persoalan
hanya hubungan antar agama yang resmi tadi. Nah kalau hubungan antar agama resmi ini kan kemudian
mengerucutnya pada persoalan minoritas dan mayoritas. Islam yang percoyo pada dirinya sendiri bahwa
agamanya adalah agama mayoritas 99,9 % penduduk beragama Islam tapi siapa-siapa saja yang 99,9%
itu juga tidak jelas. Yang penting semuanya diklaim sebagai beragama Islam, dan agama lain kemudian
menjadi nol sekian persen, nah ini juga menjadi persoalan yang memang juga dipikirkan oleh negara,
nah hubungan ini - makanya nanti di dalam pasal-pasal ini juga ada pasal yang menyebut soal
pemakaman, karena pemakaman ini yang sering jadi kisruh, orang kristen mati di desa sana tapi tidak
boleh di kuburan umum karena dia bukan orang Islam misalnya. Nah jadi persoalan-persoalan seperti
itu, yang di, - saya gak tau nanti ini mungkin yang di pati sini, Bapak-bapak dan saudara sekalian bisa
mendiskusikan dan mau membahas soal pemakaman ini sebenarnya baiknya gimana?, tadi saya melihat
di pasal berapa gitu, siapa yang melarang pemakaman seseorang dipemakaman umum itu akan kena
pidana, ini kan apakah ini cukup jelas gitu lho, wong prakteknya bahwa dikubur di pemakaman umum
tetap jadi persoalan. Dan juga kalo dikaitkan dengan pidatonya SBY beberapa waktu yang lalu, SBY itu
punya fantasi nduwe imajinasi, opo yo? fantasi iku kalau bahwa jawanya opo yo? (angen-angen). angenangen
tapi yang tidak jelas gitu lho, ya khayalan. “Kita hidup di negara yang tanpa diskriminasi,” ucap
SBY. Saya lalu membayangkan kira-kira negeri mana yang tanpo diskriminasi, di mana ya? janganjangan
di BBM. Jadi persoalan kemudian mengerucut hubungan antara agama ini mengerucut sejak
tahun 67 itu lebih pada hubungan agama dan agama dan agama yang resmi dan agama yang tidak
resmi. Nah dalam kaca mata negara, hubungan antara agama resmi dan tidak resmi yang jadi
persoalan, itu biasanya bukan persoalan yang sesungguhnya ada di masyarakat. Ya kalo misalnya soal
pemakaman mungkin pernah terjadi, tau terjadi di Sukolilo itu soal pemakaman, perkawinan, dan
sebagainya itu konkrit. Tapi ada persoalan yang tidak pernah diperhatikan, saya tidak tahu apakah di
KUHP ini diperhatikan atau tidak, yaitu kalo dalam bahasa Desantara iku soal citra. Misalnya saja
hubungan antara masyarakat Pati, saya gak tahu hubungan antar pati lor dan pati kidul. Orang Pati lor
mengecam orang Pati kidul sebagai mbalelo. Ini kan soal angen-angen tadi kan? Sama juga perdebatan
atau lebih tepatnya pencitraan tentang dan terhadap antara misalnya kudus dan sunan giri, atau soal
Syekh jangkung! Nah ini persoalan-persolan yang memang sulit diatur dalam undang-undang. Ini artiny
apa? Di dalam masyarakat itu yang terjadi bukan hanya yang positif-positif, yang konkret-konkret saja,
tetapi yang menjadi bagian dari kehidupan masa lalu juga bisa menjadi persoalan, seperti Syekh
Jangkung dan sunan Kudus itu lho. Nah mungkin di sini di draf KUHP ini hal-hal yang menyangkut
seperti itu belum ada, tapi itu menjadi persoalan saya kira di masyarakat itu, jangankan kok soal sunan
Kudus dan Syekh Jangkung, soal masuk SPP (Serikat Petani Pati) saja kadang –kadang jadi persoalan
4
kok, misalnya ada yang ngedumel “guru ngaji atau guru madrasah kok masuk SPP. Iku ora pas yo?”, Jadi
kayak gitu, ini pengalaman Husein saya kira. Nah hal-hal kayak gitu….ini persoalan-persoalan yang real
yang saya kira nanti, bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian bisa menyampaikan, karena persoalan
yang diluar rancangan yang dirancang KUHP ini, masih banyak soal saya kira yang masih bisa
dikemukakan. Pengalaman real yang kita alami sehari-hari itu menunjukkan masih banyak hal yang
tidak bisa diakomodasi, tidak bisa dimuat dalam undang-undang menyangkut agama. Melihat semua
persoalan ini, Desantara sudah lama gelisah sejak berdirinya, Desantara memang kelompok orang atau
lembaga yang gelisah dengan persoalan-persoalan ini, persoalan yang menyangkut hubungan antara
kelompok masyarakat satu dengan yang lain, kalau bisa malah antar orang dengan orang, dan juga
antara persoalan masyarakat dengan negara. Nah dalam bahasa Desantara itu kemudian desantara
menggulirkan atau melakukan kegiatan-kegiatan yang tujuannya melakukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi
itu kalau orang jawa ya hubungan rukun. Nah hidup rukun dalam bahasa jawa itulah rekonsiliasi, syukur
kalau kerukunan itu seperti yang dikonsepkan seperti yang dirumuskan oleh sedulur sikep, itu kan lebih
bagus lagi, lebih subtansial, lebih bermakna bagi kehidupan orang perorang khususnya. Rukun itu bukan
misalnya PKB versi A dan B ketemu di hotel rangkul-rangkulan setelah itu musuhanlagi, misalnya kayak
gitu. Jadi rukun itu bukan seperti begitu. saya tidak ngomong PKB Pati lho tapi PKB yang lain hehehe.
Juga antar partai-partai yang lain, PPP dan saya kira semua partai juga mengandung konflik, juga
misalnya antara kyai dengan tokoh adat tertentu bisa saja kemudian nak hotel jakarta rangkulrangkulan,
itu juga karena dipotret, tapi besok sudah ancam-ancamanlagi. Nah bukan kerukunan
seperti itu yang kita maksud namun bagaimana kita ini, sering dalam waktu pertemuan-pertemuan di
tempat lain, kita sering mengatakan mengorangkan orang (memanusiakan manusia), ini sebenarnya
bukan persoalan baju, bukan persoalan agama, tapi juga persoalan orang, orang yang punya hak untuk
beragama atau tidak beragama, orang yang punya hak untuk berbudaya seperti yang dia pikirkan dan
orang lain juga punya hak berbudaya seperti yang dia pikirkan, bahwa orang dua ini yang dipikirkan
beda ini soal lain, itu biasa-biasa aja, antara mas Gun dan saya misalnya, itu kalo dibeset, direnik-renik
gitu bedany justru lebih banyak ketimbang persamaannya. Tapi apakah karena perbedaan itu saya dan
mas Gun tidak mau saling sungkeman? Saya harus mengulas masing-masing, mengorangkan orang inilah
dalam konsep yang sederhana yang kita maksud dengan rekonsiliasi kultural itu. kita, DESANTARA sudah
melakukan banyak hal, walaupun juga mungkin hasilnya masih dipertanyakan untuk melakukan
rekonsiliasi ini, tahun 2002 kita pernah melakukan kegiatan di pesantren Raudlatul Ulum Guyangan,
tempat kiyai Humam Suyuthi Guyangan, waktu itu ada forum seperti ini, kita diskusi, kita ngobrol
bareng, kita ngomongkan persoalan-persoalan itu, termasuk mas Gun menyampaikan banyak hal waktu
itu, dan malamnya kita juga mengadakan tontonan. Tontonan itu juga macem-macem, tontonan yang
dibenci pesantren juga hadir, ada ketoprak dari Bakaran, ada kentrung, tayub dan yang lain-lain, ada
gambus dan lain-lain. Nah waktu itu, ada peristiwa menarik sebelum pesta seni di Pati di Guyangan itu
digelar. Sedulur atau beberapa orang dari desa Bakaran, yang kita undang ketopraknya waktu itu
memang hadir dan main semalaman, lakonnya waktu itu ondo rante, bapak-bapak sekalian saya kira
sudah akrab dan kenal siapa ondo rante. Tapi untuk hadir di pertemuan siangnya, itu ada komentar
yang menarik "aku diundang iki arep dikapakno maneh karo pesantren iki?" (saya diundang ke sini ini
mau diapakan lagi sih oleh pesantren?) Nah ini berarti pertanda bahwa dulu sedulur bakaran itu pernah
diapa-apain. Waktu itu, saya tanya pak kyai humam, kebetulan saya dulu itu temen dan satu kelas
dengan kyai Humam itu. “Mam, orang bakaran itu kamu apain?” “Tidak aku apa-apain kok.” Lho tapi
katanya kok pernah diapa-apain sehingga mereka Tanya untuk apa lagi diundang ke sini? Pernah kamu
gebukin ya?” Nah itu, jadi ada rasa kekhawatiran dari Bakaran kalo datang ke pesantren itu yo akan
diapa-apain, entah itu dikuyo-dikuyo. Arti dikuyo-kuyo itu ya tidak harus dimarahi, lha kalau orang
Bakaran itu kok disuruh tahlilan itu juga dikuyo-kuyo atau wong Bakaran disuruh naik haji, iku kan juga
di kuyo-kuyomisalnya kaya gitu. Nah ini yang kita lakukan waktu itu mempertemukan mereka dengan
membuat dialog seperti ini dan malamnya pentas seni. Sehingga ada pertanyaan dari Ustadzah
perempuan dari pesantren itu, pagi harinya dia menyatakan karena malamnya nonton ketroprak, dia
cerita seumur-umur – waktu itu umurnya tiga puluh tahun- saya nonton ketoprak itu baru sekali pada
malam itu, mengapa? Karena selama ini oleh ayah saya diharamkan nonton ketoprak. Setelah nonton
tadi malam ternyata ya sama aja seperti nonton ketoprak humor di televisi, kaya gitu kok haram. Jadi
saya ingin mengulangi tadi itu semuanya angen-angen, haram itu juga bisa jadi angen-angen gitu lho,
termasuk juga haramnya ketoprak tadi. Di tempat lain juga persolalnnya mungkin sama, persoalan
hubungan antara pesantren atau orang Islam pada umumnya di Sulawesi Selatan, misalnya dengan
5
komunitas Bissu. Bissu yang ini bukan berarti tidak ngomong. Bisu ini suatu komunitas waria yang ada di
Sulawesi Selatan. Di Jawa Timur juga terdapat persoalan yang sama, Jember dan beberapa tempat,
misalnya di Ponorogo, misalnya mbah wo Kucing, mungkin Mas Gun tahu persoalan ini…. Itu juga
termasuk yang dikuyo-kuyo. Lha nanti mungkin di rancangan KUHP ini kita lihat secara kritis mana yang
belum masuk kita harapkan masuk dan sebagainya. Nah rekonsiliasi ini saya kira dalam pandangan
DESANTARA menjadi sangat penting karena kehidupan kita, bangsa, umpama kita mau ngomong
bangsa, kebangsaan yang beraneka ragam walaupun juga sudah ada Bhineka Tunggal Ika, tapi Bhineka
Tunggal Ika itu kan hanya ada tiap tanggal 17, 17 apelnya kopri itu lho diluar apealnya kopri yo ga ada
Bhineka tunggal ika intinya macem-macem. yo sekarang ini pilkada aja masih bisa tukaran. Nah oleh
karena itu maka ke depan persoalan-persoalan rekonsiliasi ini atau kegiatan-kegiatan ngajak rukun
sesama kita, itu saya kira masih akan menjadi persoalan-persoalan yang penting dalam menyongsong
masa depan. Ini bukan soal wacana tetapi ini juga soal kehidupan real kita. Oleh karena itu, maka
selain secara wacana kita punya pandangan yang baik terhadap orang lain yang berbeda maka juga
kalau kita punya kesempatan untuk menelurkan aturan-aturan atau kalau kita misalnya berada di
dalam pihak yang diberi masukan untuk menelurkan aturan, maka aturan-aturan bersama itu harus
mencerminkan apa yang kita sadari, apa yang kita pikirkan. itu dalam rangka rekonsiliasi tadi
membentuk kerukunan bersama, kehidupan bersama saling menghormati, saling mengerti dan saling
menjunjung tinggi. Oleh karena itu, DESANTARA selama ini kan bergerak di bidang atau arah yang citra
ini, jadi kita adakan dialog, pertemuan-pertemuan di berbagai tempat. Mas gun ini juga saya kira sudah
ketemu sama Bissu, juga pernah bertemu dengan sedulur kanekes, juga sudah bertemu dengan Dayak
dari kalimantan Timur dan seterusnya. Tidak hanya sekedar apa namanya rangkul-rangkulan, tapi
kemudian ke depan kita wujudkan aksi-aksi yang atau kegiatan yang mencerminkan apa yang telah kita
pikirkan sebagai rukun tadi. Mudah-mudahan rancangan KUHP ini bisa menolong kita pada tataran
hukum. sehingga apa yang telah kita pikirkan, rukun tadi, itu menjadi sesuatu yang terlindungi secara
hukum. Sehingga kalau ada pelanggaran dari itu dapat dikenakan sanksi, selama ini kita kan susah ya,
kalau misalnya orang mengatakan bahwa wah sedulur sikep orang-orang yang mbalelo, mungkin sedulur
sikep tidak marah dan membalas, tetapi kalu misalkan ini diperkarakan melalui KUHP, itu judulnya di
mana? Apa pencemaran atas nama baik atau apa? Kan susah karena sedulur sikep tidak dianggap
sebagai yang resmi tadi. Jadi ada problem-problem kehidupan sosial yang mengganggu kehidupan kita
tetapi tidak mendapat perlindungan dari hukum, kita berharap bahwa KUHP yang akan datang yang
khusus pada persoalan ini yang menyangkut hubungan persoalan antaragama ini bisa mendapatkan
payung hukum yang kalau misalnya kita jengkel kita bisa ajukan ke pengadilan kita punya hak untuk
itu. Maka pada forum ini saya kira Bapak-bapak sekalian menjadi sangat diharapkan untuk memberikan
masukan, apa yang belum ada di sini, kemudian kita obrolkan aja semua yang seperti pengalaman kita
sehari-hari selama ini, mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan, untuk mengantarkan diskusi kita tadi
soal rekonsiliasi, dan DESANTRA mungkin bapak-bapak sekalian yang belum mengenal Desantara
mungkin sekelumit saja tentang DESANTARA, mungkin kalau ada yang mau menambahi, silahkan!
Khoiron:
Mungkin seperti apa yang udah di sampaikan Mas Bisri. Cuma sedikit saja informasi, kenapa acara ini
dipilih di Pati? Dulu itu memang waktu di tahun-tahun sebelumnya di hari-hari sebelumnya ini, saya
dari DESANTARA itu sering apa itu namanya sering berhubungan atau berkomunikasi dengan mas
Gunritno, dan komunikasi DESANTARA dengan mas Gun ya seperti yang disampaikan oleh Mas Bisri tadi
sejak tahun 2002 waktu kita mengadakan acara di Guyangan, tapi hubungan itu ternyata cukup
langgeng sampai sekarang. pada satu sisi juga kang Gun atau temen-temen sedulur sikep yang ada di
Pati dan sekitarnya menginginkan agar DESANTARA juga ikut menemani, beberapa-beberapa masalah
yang ada di Pati masih sering dijadikan masalah yang dibesar-besarkan dan juga bisa menjadi masalah
yang semakin cukup rumit yang memeruncing hubungan antara satu kelompok dengan kelompok yang
lain. Beberapa bulan yang lalu kang Gun telfon Desantara bahwa ada suatu kasus yang berhubungan
dengan isu dukun santet. Isu itu terjadi di daerah mana itu? (desa Puri) ya desa Puri Puri, awalnya sih
itu ada semacam konflik keluarga tapi itu justru menjadi santapan masyarakat dan kawan desa, dan itu
menjadi isue publik. Dan sejauh yang pernah dikutip oleh DESANTARA di tempat-tempat lain ternyata
isue dukun santet ini menjadi isue yang sering diproduksi, diulang-ulang oleh salah satu kelompok
tertentu atau atau oknum tertentu yang ingin mengambil manfaat tertentu, nah seperti yang paling
parah itu isue dukun santet yang terjadi pada masa menjelang runtuhnya pak Harto dulu, di Jawa
6
Timur di daerah Banyu Wangi dan sekitarnya yang menewaskan banyak orang. Dan beberapa hal
menarik sebelumnya itu juga di beberapa desa isue ini menjadi isu yang menjadikan ketegangan antara
kelompok muslim dengan kelompok yang lainnya, yang merasa dianggap paling potensial mempunyai
ilmu hitam atau ilmu santet,lha itu sering muncul di beberapa desa. Kasus-kasus seperti ini sebetulnya
selalu dan sering dihadapi oleh temen-temen DESANTARA di beberapa tempat misalnya tadi yang sudah
disampaikan oleh Mas Bisri. Isue mengenai kelompok bissu tadi juga pernah merasakan getahnya,
pernah diisukan menjadi salah satu penganut ilmu hitam bahkan sekitar pada tahun 80-an atau 70-an
ada sekelompok golongan dari elite kalangan Muhammadiyah, menganggap mereka mempunyai aliran
setan. Itu pernah mereka menceritakan terus terang kepada DESANTARA. Nah isue penting yang seperti
ini bisa berkembang terus selama posisi aparat keamanan tidak bisa memediasi, menengahi perbedaanperbedaan
yang terjadi di masyarakat, khususnya dalam konteks keyakinan keagamaan dan keyakinan
berkebudayaan, setelah itu terjadi dan rekonsilaisi –kebetulan DESANTARA juga ikut menemani kang
Gun dan kawan-kawan. Kami di DESANTARA itu diajak oleh salah satu lembaga yang bergerak di bidang
hukum untuk bersama-sama mendampingi proses revisi KUHP yang tadi sedikit diceritakan oleh Surur,
nah KUHP ini seperti diceritakan Surur memang sebagian besar warisan dari masa lalu, tapi ketika
KUHP ini direvisi oleh beberapa kelompok, kita juga belum tahu kelompk yang merevisi ini
merepresentasikan atau mewakili kelompok-kelompok yang mana, yang ikut merevisi KUHP ini kami
belum tahu, belum tahu semuanya apakah kelompok-kelompok ini sudah menelurkan seluruh
kebutuhan-kebutuhan yang muncul di masyarakat, soalnya seperti kasus RUU APP ketika digulirkan kan
tiba-tiba menjadi sesuatu yang kontroversial, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Nah ini
menunjukkan bahwa dari proses sejak awal opo isu rancangan UU APP maupun yang dilakukan KUHP itu
hanya melibatkan sedikit kelompok saja, yang mungkin kalau digulirkan akan memunculkan kontroversi
lagi. Dalam konteks itu temen-temen yang bergerak di wilayah itu mengajak DESANTARA supaya
membuat forum di beberapa tempat yang kebetulan DESANTARA sudah sering bikin forum-forum
seperti itu, dari mas Bisri meminta untuk menggali atau meminta informasi masyarakat dari daerah dan
informasi ini nanti akan kita rumuskan bareng-bareng dan akan kita berikan dan kita sodorkan kepada
para ahli-ahli hukum yang ada di Jakarta yang sudah terkenal itu yang ada di Tv-Tv kita undang semua
sebagian besar di antaranya, seluruh rumusan-rumusan yang diusulkan oleh Ibu Bapak akan kami
sodorkan ke mereka, dan mereka nanti yang akan membuatnya dalam konteks hukum, entah semua
usulan itu nanti kalau dibahasakan dengan konteks hukum seperti apa. Maka dari itu, Pati ini menjadi
pilihan kita karena kita sering berhubungan pada kang Gun dan temen-temen yang lain tapi juga pada
satu sisi kita juga punya keinginan yang kuat seperti tadi yang sedikit diceritakan oleh Mas Bisri, tahun
2001 kita ingin, salah satunya paling tidak Pati ini nanti bisa menjadi contoh dari model caranya
mengorangkan orang itu bagaimana, kami ingin seperti itu. Nah kami semua ini tentu, yang ada di
DESANTRA ini banyak kelemahannya dalam menemani seluruh proses-proses sosial, aktivitas sehari-hari
yang ada di Pati. Namun melalui forum ini, kira-kira pengalaman-pengalaman apa, informasi-informasi
seperti apa yang bisa digali kembali dirumuskan kembali menjadi usulan-usulan penting untuk nanti
kita bawa bersama-sama. Dan karena juga keterbatasan DESANTARA juga DESANTARA memang sengaja
sejak dari awal mengambil isue yang paling spesifik yang berhubungan isue agama. Di KUHP itu banyak
isue ada isu tentang agama, tentang perempuan, dan masih banyak yang lainnya. Kurang lebih ada 14
isue bahkan ada isu tentang kedokteran tentang pengobatan, farmasi dan macem-macem. Dan KUHP
seperti yang dikatakan Surur tadi sebagai induk dari seluruh hukum yang ada di Indonesia. Seluruh
Undang-undang yang dibuat di Indonesia, khususnya yang menyangkut kepidanaan itu pasti akan
berkaitan dengan KUHP ini. Nah kalau kita bisa mendampingi proses revisi ini ya nanti paling tidak bisa
memiliki bahan untuk kita berikan kepada lembaga-lembaga yang berwenang, ke DPR misalnya. Kita
bergerak di bidang perbaikan ini. Kalaupun tidak karena di Jakarta juga terlalu rumit orangnya, juga
kita tidak tahu, kalaupun tidak forum ini tetap membawa manfaat bagi Pati. Itu mungkin setidaknya
sedikit yang bisa kita harapkan.
Surur:
Matur suwun....Bapak-bapak dan rekan-rekan sekalian sudah tahu apa yang sebenarnya kita harapkan
dari forum ini. oke silahkan saya kira kita bisa langsung saling berbagi cerita dan pengalaman. Silahkan
siapapun boleh mendahului…
7
Siti Mas’anah:
Saya senang sekali ada forum seperti ini dan sebelumnya kenalan nama saya Siti Mas’anah dari Bakaran
Dukuh Seti, langsung memberi tanggapan mungkin ya tidak banyak. Saya senang sekali karena bagi saya
diskusi seperti jarang ada. Saya jadi tahu bahwa di Indonesia itu punya aturan yang seperti ini. saya sih
berharap mudah-mudahan saya bisa terus dilibatkan kalau ada kegiatan seperti ini. jadi saya juga bisa
nambah sedulur dengan bapak-bapak dan rekan-rekan yang ada di sini. Sekian saja dulu dari saya.
Surur:
Ya terima kasih. Untuk sementara ada beberapa istilah yang bisa kita diskusikan seperti apa yang
sebenarnya yang dikategori sebagai menodai agama itu. Misalnya kalau Lia Aminuddin divonis menodai
agama Islam, tapi saya sendiri sebagai orang Islam tidak tersinggung dengan tindakan Lia Aminuddin,
lalu siapa yang punya wewenang untuk menidak dan menilai Lia Aminuddin menodai Islam, misalnya.
Terus ada juga perbuatan menghina, menghina itu sendiri apa maksudnya?
Husein:
Pada tahun-tahun lalu saya kebetulan bekerja di salah satu lembaga yang memang di bawah yayasan
Kristen. sebenarnya saya sendiri entah diakui atau tidak, saya muslim. kebetulan juga pengalaman
kami di lapangan, kami sering mendampingi banyak juga temen-temen yang komunitas muslim, lha di
lapangan itu yang kita temui memang sangat beraneka ragam, mulai dari kristenisasi sampai hal-hal
lain yang berhubungan dengan kekerasan terhadap masyarakat yang kita dampingi. misalnya salah satu
contoh kasus di suatu tempat, orang orang yang terlibat di kelompok kita itu akhirnya sudah mulai
dianggap mengingkari agama. Akhirnya mulai dari kiyai dipangkas semua kegiatan kekiyaian mereka
oleh masyarakat. Kemudian di tingkat saya pribadi itu menjadi problem yang sangat besar misalnya
begini, ketika ada kasus semacam itu kan akhirnya orang-orang yang di desa saya itu tidak ada yang
membela. Di tingkat masyarakat ada yang menganggap bahwa saya mulai keluar dari jalur Islam,
mereka mati-matian menghujat saya, kemudian temen-temen kristen sendiri itu tidak berani membela
saya karena kalau teman-teman itu membela justru itu akan menjadi persoalan besar. Jadi ketika kami
mencoba mempraktekkan apa yang disebut sebagai inklusivisme, pluralisme, benturannya adalah
seperti itu, tidak ada yang membela ketika menjumpai masalah seperti itu, ketika ada temen kristen
yang mau membantu itu akan menjadi peluang baru untuk konflik baru yang lebih besar, sama juga
yang dihadapi kang Gun ketika Mbah Di yang dianggap sebagai dukun santet. Ketika yang mengklaim
Mbah Di itu dukun adalah kyai kemudian larinya ke Kang Gun yang notaben orang sedulur sikep. Orang
yang notabenenya sebagai sedulur sikep ketika dibawa ke masyarakat bisa mengundang konflik.
Pembelaannya itu yang selama ini menjadi problem besar itu ketika orang mau mempraktekkan
pluralisme –inklusivisme yang di teori itu mungkin benturannya adalah hal-hal kaya gitu. Lha sementara
itu selama ini kan memang tidak ada payung hukum yang melindungi orang-orang yang melakukan
praktek semacam itu itu. Yang kedua, hukum pun ketika ada pun itu sekarang kalah dengan kekuatan
massa meskipun secara aturan mereka kalah, tapi lewat kekuatan massa mereka menang. Diproses
hukum mungkin bisa menang tapi di lapangan ia akan mati dicekal orang. Jadi mungkin itu kejadian riil
yang saya hadapi selama ini. Di tingkat keluarga pun sama seperti saya misalkan notabene hidup di
lingkungan orang-orang muslim yang kadang salah, kadang bijak. Kemudian saya misalkan ada tamu
temen-temen orang kristen atau sedulur sikep-seperti Kang Gun- itu kemudian menjadi sesuatu yang
orang tidak mengakui eksistensi saya sebagai seorang muslim. Pengalaman saya juga ketika saya dan
teman-teman IPNU pada sekitar tahun 90-an itu mencoba fasilitasi pertemuan konflik soal gereja waktu
itu ternyata justru teman-teman IPNU itu menjadi di sidang oleh lingkungan NU mulai dari yang tua
sampai yang muda, kemudian ditanyai dan dimarah-marahi seperti itu, tidak dipahami bahwa ini adalah
sebagai bagian dari kenyataan riil yang dibutuhkan di lapangan. Lha barangkali di Pati itu sangat
banyak dan sangat beragam justru kalau dengan komunitas agama yang tidak resmi itu malah tidak
begitu masalah kok, dengan Samin dengan Sikep, orang-orang di luar sukolilo mungkin gak masalah.
Tapi kalau dengan Islam dan Kristen itu jelas beda dengan konflik Samin dan Islam, Kristen dan Islam
itu akan lebih besar konfliknya ketimbang Samin dan Islam kira-kira kaya gitu. Jadi agama formal yang
ada itu justru ketika berkonflik itu ternyata di lapangan itu lebih besar kapasitasnya di banding dengan
konflik antara orang-orang yang beragama resmi dengan orang yang berkeyakinan, kalau pengalaman
saya seperti itu, mungkin itu dulu.
8
Surur:
Ya ini saya garis bawahi satu hal dari kang Husen, yaitu tentang kategori identitas atau lebih
mudahnya sebenarnya siapa sih yang dianggep pemeluk agama itu? Misalnya Islamnya kang Husain ini
berbeda dengan islamnya saya, lalu siapa yang bisa untuk menghakimi? cukup tidak hukum ini bisa
untuk menentukan kang Husen ini yang salah dan saya yang benar, itu kan menjadi problem? Nah yang
kedua, agama resmi itu sendiri menjadi repot kalo saudara lihat pasal 341 penghinaan terhadap agama
yang dianut di Indonesia larinya kemana? Kalo kang Husen atau mungkin mas Gun ini dihina-hina orang
larinya kemana? siapa yang akan melindungi? ini kan jadi pertanyaan kita. Monggo yang lain.
Slamet:
kembali kepada yang tadi dilontarkan. Eksistensi agama itu kan sebenarnya dalam aras vertikal, kenapa
justeru ngancurin yang horizontal, ini kan sebenarnya kita dibawa kepada situasi yang kontradiktif. Lha
apalagi kalo masuk dalam persoalan-persoalan riil seperti yang dikemukan mas Husen, sebenarnya yang
disebut benar pada bentuk keyakinan itu siapa yang membenarkan dan siapa yang menyalahkan, wong
itu keyakinan kita. ini lho, sehingga seandainya tadi dikomentari banyak hal sebenarnya yang mungkin
tidak bisa dicakup di dalam KUHP nanti, mungkin saya justru kebalik ya, kalau ini persoalan agama
kenapa harus diatur oleh KUHP? Kenapa yang mengatur tidak pemeluknya sendiri begitu, justru
seandainya diatur itu malah difasilitasi tidak masuk pada lembaga peradilan. satu lagi apakah lembaga
peradilan di Indonesia itu bisa menjawab persoalan-persoalan yang ideal. Wong korupsi yang jelas-jelas
kelihatan aja itu tidak bisa, nah ini justru PR besar buat kita semua. Kemudian yang kedua. tahun 90
hampir sampai 2000 saya juga mengalami posisi yang sama saya sebagai orang Kristen yang masuk ke
lapangan karena saya di salah satu lembaga, kebetulan lembaga Kristen juga tetapi kebetulan saya
orang Kristen juga. Di tingkat lembaga sendiri ataupun komunitas Kristen, saya ini dibilang sesat karena
apa, karena apa yang saya lakukan justru tidak sama dengan apa yang teman-teman cita-citakan.
Sebagai orang yang bergerak di lapangan masyarakat, justru tidak lagi berpikir agama tapi yo yang
menjadi persoalan adalah persoalan humanitas, persoalan kemanusiaan tapi ternyata pada waktu kita
masuk wilayah sana lho kita dibilang sekuler, kacau, dsb. Kemudian waktu kita masuk masyarakat yang
notabene nya juga mayoritas muslim, itu ada klaim-klaim juga misalnya saat-saat kita yang sederhana
saja misalnya bikin sumur itu sederhana. Lalu ada yang komentar, “He, jangan ngambil air itu, soalnya
yang bikin orang Karisten.” Padahal yang buat itu kan masyarakat sendiri. Lha ini persoalan-persoalan
yang sebenarnya kita ini satu sama lain masih mencari eksisitensi sendiri, yang disebut Kristen itu
sebenarnya siapa atau yang disebut muslim itu sebenarnya siapa, kalau kebetulan Kristen yang beda ini
juga persoalan baru. lha menurut saya yang perlu dibongkar adalah pemikiran yang eksklusif kemudian
juga kita perlu kampanye untuk berpikir secara pluralis. tanpa itu, saya yakin di sini pun tidak akan
bisa berjalan kalau misalnya bendera yang kita bawa, bendera sayalah yang paling baik. paling tidak
seandainya itu bisa ditangkap di sini mugkin cara-cara untuk membangun suatu konsep pemikiran yang
pluralistik ini malah menjadi tekanan itu malah lebih baik, bukan pada peradilannya karena peradilan
saya yakin tidak akan bicara. Terimakasih.
Sukilan:
Mungkin kulo ngeten sak durunge rancangan KUHP niki masuk ke wilayah agama kudune ngerti sek
janjane teng Indoneia nggih mboten cuma agama lima sing formal seng resmi niku, liyane niku nggih
akeh banget kepercayaan-kepercayaan sing nggih pun enten sak durunge negoro Indonesia dadi,
sakdurungre negara Indonesia dadi niku malah wong-wong sing nak Indonesia sing wes nduwe
kepercayaan-kepercayaan, neng kene nganti iki nyatane iseh ono, nah iku iso ugo sing ngerancang
KUHP iku anci ora weruh, nggih kulo niku sing ora klebu neng agana formal agama sing resni seng ana
nak Indonesia dadi nek aku mikirku yo nak aku ora ketut agama formal ora ketut diresmikno, yo aku iku
benere yo, nek entuk yo opo iku dadine kurang nerimo, nek entuk lho. Yang jelas KUHP ini kalau mau
mplebu nak wilayah agama seharusnya ngerti sek wong-wong seng nak Indonesia iki koyo op kabeh
rupane kan yo agamane bedo-bedo sak liyane formal iku enek meneh agama sing ora formal iku luwih
ora karu-karuan klebu wong koyo aku, aku wae janjane aku neng kene iki yo, kudu pengen ngeluh karo
dulur-dulurku seng muslim, terutama sing muslim, dadi sejatine iki aku ora wong muslim neng KTP-ku
iku yo Islam, mergane keluargaku seng muslim iku yo ngertine nak aku ora tau shalat yo, ditulis Islam
neng KTP paling ora dulurku sing nak kene yo melu ngeyel kudune iki yo ora terimo paling ora yo
9
ngono, yo piye carane jen aku iki yo koyok dulure tenan yo balane tenan. Nggih niku riyen saking
kulo,he..he..
Yakub:
Kalau saya perhatikan, yang membuat perpecahan di Indonesia itu pemerintah kok. Seperti perbedaan
ada “agama resmi” dan ada yang “tidak”, itu kan pemerintah yang membuat sehingga terjadi konflik
perpecahan karena pemerintah membuat aturan dan aturan itu dilihat kenyataan dari bawah. selama
ini pemerintah terus menguasai aturan-aturan tentang agama itu kan tidak benar. kalo pemerintah
terlalu banyak mengatur urusan agama bukan semakin rukun, bukan semakin tenteram, saya yakin.
Contoh saja tentang SKB itu bukan membuat sejahtera bagi siapa pun, itu malah justru membuat klik
perpecahan yang satu dengan yang lain tidak membuat rukun itu kadang-kadang yang terjadi yang
selama ini justru pemerintah lah yang membuat karena dia tidak mau melihat ke bawah dia tidak mau
melihat orang-orang itu ikut ambil bagian suara menyampaikan pendapat seperti temen-temen tadi
dianggap ora resmi sehingga gak jelas. Itulah yang membuat apanya yang perlu bukan hanya kita
perjuangkan tentang masalah KUHP tapi memang harus ada kebebasan dalam beragama bukan hanya
agama tetapi kepercayaan-kepercayaan yang lain itu juga harus diakui jangan hanya agama yang resmi
tok, agama yang tidak resmi kan banyak itu supaya harus diakui gitu lho. Bagaimana kita berjuang,
selama ini yang menggodok aturan-aturan kan orang-orang tertentu yang ada di atas. mungkin ada
sebagian kelompok yang punya ambisi itulah yang menang goal. Yang kedua, kecuali kalo kita mau
merubah KUHP itu mari kita usahakan bahkan di intern kita masing-masing itu ada kerukunan. Kalau
kita pahami seperti apa yang dikatakan pak Selamet dan teman-teman itu, kadang-kadang pemahaman
kita satu NU sendiri saja, mungkin satu Islam sendiri itu kadang-kadang berbeda-beda, bagaimana kita
dapat semakin meluas kalau kita tidak mengembangkan pemikiran-pemikiran yang universal supaya
bisa diterima di kelompok Islam, yang Kristen bisa diterima di kelompok Kristen, kelompok NU diterima
di kelompok Islam. Kalau kita hanya orang beberapa gelintir ya tidak akan pernah berhasil. Maka, kalau
kita kembangkan dengan pemikiran sekelompok kita, mungkin yang NU di kalangan NU, yang Kristen di
kalangan Kristen mungkin itu akan menjadi semakin luas dan berkembang kalau kita tidak mau
memperjuangkan, itu yang menjadi persolan. Nah itulah, masih banyak yang rancu dalam KUHP ini
dalam masalah agama dan sebagainya. Itu memang harus kita bahas, ada orang kan kadang malah
senang dengan menganut ajaran Islam, sebagian ada yang dari ajaran Kristen, sebagian mungkin itu
sebagai Saptodharmo kan bisa, memang itu bukan sebuah idealisme, apa itu menodai Saptodharmo
atau Islam, ya perlu kejelasan menodai dan sebagainya, nah itu misalnya. Lha wong urusan kuburan
yang mati tidak geger, kita yang hidup kok gegernya bukan main, padahal orang yang mati biarlah
mati. Orang berbeda agama, dan pemerintah bukan semakin bisa membawa kerukunan, tapi malah
membuat gap-gap, itu kan membingungkan. Maka ini memang pekerjaan besar yang harus kita pikirkan,
mungkin itu dari saya.
Asnawi:
Saya juga mencoba turut mencermati diskusi tadi. Sebenarnya saya ini tidak mendapat undangan
resmi. Karena dari tadi yang kita singgung masalah resmi dan tidak resmi, jadi mungkin saja saya ini
undangan yang tidak resmi hehehe… Tadi saya dijawil oleh mas Gun, ya lalu saya langsung ikut . Oh ya,
tadi saudara-saudara sekalian membincang agama-agama satu budaya. Menurut saya yang sehari-hari
ini berprofesi sebagai dalang wayang kulit, sering juga menerima keluhan dari masyarakat merasa tidak
merasakan kemerdekaan yang secara merata. Kembali ke Undang Undang Dasar, semua ini saya kira
tidak terlepas terlepas dari UUD 1945 menawi menurut UUD pasal 32, pemerintah memajukan
kebudayaan nasional Indoinesia, maka yang diartikan budaya, budaya itu ada dua unsure. Yang satu
adalah budaya spiritual yang satu budaya kesenian. Kalau budaya kesenian jelas termasuk wayang
kulit, ketoprak, ludruk dan sebagainya. tapi budaya spiritual yang sampai sekarang itu masih masih
kabur yang kelihatan hanya lima atau enam agama. Padahal kalau yang lain itu bila dibuktikan menurut
kawasitan dan sebagainya itu juga banyak. Sehingga pemerintah pada saat ini itu sudah-sudah kabur
mengamalkan UUD pasal 29 ayat 1 dan 2 karena pada waktu itu tim perumus Undang Undang Dasar,
saya pernah membaca tim perumus UUD yang merumuskan pasal 29 itu menjadi perdebatan yang seru
waktu itu, sehingga Mastur Mangku Negoro mengusulkan yang ada dulu pasal 29 ayat 1 dan bunyinya
hanya negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing,
sehingga Mastur Negoro mengusulkan karena di Indonesia sebelum ada lima agama ini, bangsa Indonesia
10
sudah ber-Tuhan antara orang kebatinan, kerohanian, dan kejiwaan termasuk sedulur-sedulur sikep ini
yang mungkin keberadaannya masih hingga sekarang jadi “ikut ke sana tidak, ikut ke sini juga tidak.”
Terus setelah Mastur Negoro mengusulkan kalo bangsa kita sudah ber-Tuhan antara orang kebatinan,
kerohanian, dan kejiwaan, padahal kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kalau ingin merasakan
kemerdekaan, dia itu di mana itu letak keberadaannya sehingga pada waktu itu menjadi perdebatan
yang seru dan akhirnya pasal 29 ditambah bahwa negara itu menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya itu. Sehingga mengacu pada Undang-Undang Dasar pasal 29, pada waktu itu delapan
orang dari Saptodharmo itu pernah mengadakan pencatatan tentang perkawinan tanpa menyebutkan
agama, dia berani menyebutkan tanpa beragama karena berdasarkan instruksi dari Mendagri nomor 221
A tahun 1975, tetapi surat edarannya baru beredar pada tahun 1985, jadi aturannya sudah ada tapi
beredarnnya lambat, apakah itu dianggap mungkin merugikan individu bukan negara, seperti yang tadi
sudah di ungkapkan oleh Bapak yang ada di depan tadi. Memang semua itu yang salah adalah yang
mengatur, sekarang aturan masih diatur, aturan masih di atur, kalo payung hukumnya sudah ada cuma
yang membawa payung hukumnya ini karena mementingkan kepentingan pribadi sehingga diabaikan
aturan yang ada, sehingga pada tahun 88 itu pada waktu itu menjadikan persidangan di Pengadilan
Negeri Pati, kebetulan saya hadir sebagai saksi karena pada waktu itu saya sebagai pembawa acara
sehingga saya terlibat sebagai saksi, disebutkan di situ kalau melanggar Undang-undang perkawinan,
menurut Undang-undang perkawinan dan instruksi Mendagri yang kurang lebih seperti ini surat edaran
tahun 85 yang terbit tahun 75 kurang lebih yang seperti yang akan saya ucapkan, kurang lebih nomor
221 tahun 1975 tentang pengisian kolom KTP model 1, atau model 7 atau model A dan B tentang,
“perkawinan apabila tidak memeluk dari salah satu agama dari lima agama yang sudah resmi diakui
oleh pemerintah seperti antara lain kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa dan lain-lain, maka
kolom agama pada formulir yang dimaksud cukup diisi kurung strip kurung”, disamping kata agama
supaya kata agama dicoret itu menurut instruksi Mendagri setelah melakukan pencatatan dikira itu
melanggar hukum sehingga pada waktu itu dari yogyakarta Ibu Sri sebagai sesepuh Saptadharmo,
pimpinan pusatnya hadir di Pati selama empat belas kali sidang, tapi pada waktu itu lolos tanpa dicatat
tanpa berdasarkan instruksi Mendagri dan berdasarkan UU perkawinan No 1 tahun 74, saya sendiri
pasalnya lupa tapi ada, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya tiap perkawinan dicatat menurut undang-undang yang berlaku, jadi waktu itu tahun 88,
diawali tahun 84 itu ada 21 pasal yang mencatatkan perkawinan tanpa meneyebutkan agama tapi tahun
88 kurang lancar atau gimana tapi aturannya masih, ternyata tidak bisa berjalan lagi jadi aturan itu
masih diatur lalu setelah diutarakan oleh Bapak-bapak yang ada di depan tadi, karena menurut
instruksi Mendagri sehingga bingung untuk menerima, ternyata ada surat perintah bahwa pencatatan
tidak bisa dilayani lagi, itu saya juga pernah mengusulkan pada direktorat binayat pusat, saya pernah
mengusulkan, karena dia mengacu pada ketetapan MPR no 44 tahun 78 yang berbunyi pemerintah yang
tidak lain lebih mendasar itu kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa adalah tidak merupakan
agama maka pembinaan terhadap kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa dilakukan agar tidak
mengarah pada pembentukan agama baru, itu pernah ada. Pengertian dari direktorat Binayat itu
sendiri supaya orang kepercayaan tidak kehilangan kepercayaan yang mereka peluk dan juga jangan
sampai meninggalkan agama yang pernah dia yakini. Sehingga pada waktu itu saya usul karena
Saptodharmo itu lahirnya tahun 1952 dan saya lahir tahun 1965, jadi ketika saya lahir Saptodharmo
sudah ada lebih dulu. Yang dinamakan tidak kehilangan berarti kan pernah punya, tetapi kalau salah
satu orang belum pernah punya termasuk saya belum pernah menghayati, mempelajari, mengerti,
kapan akan mengerti, menghayati saya, terus saya usul berarti saya merasa tidak pernah kehilangan
dan tidak perlu kembali, wong saya belum pernah memeluk kok. Saya belum pernah menghayati kan
tidak pernah kehilangan dan juga tidak perlu kembali. Jadi seperti ini saya jujur sejak kecil akhirnya
tidak bisa diterima bahwa Indonesia ini beraneka ragam agama, kepercayaan, dan lain sebagainya
berarti masih menjadikan PR waktu itu. Semoga saja sampai sekarang ini, saya mengusulkan semoga
saja diterima dan akan diperhatikan, tidak hanya menjadi perhatian tapi nanti benar-benar akan
diamalkan sesuai dengan yang diharapkan oleh keluarga Sikep. Ini saya juga sering menerima laporanlaporan
dari temen-temen memang agaknya kok kemerdekaan ini kurang bebas di Indonesia. Yang
dipermasalahkan bukan penghayatannya, tapi kalimatnya atau judulnya. “Oh, itu orang Samin, itu
orang Saptodharmo.” itu biasanya menjadi hal yang sudah diatur. Tolong untuk hal yang seperti ini,
karena mas-mas yang ada disini mungkin lebih paham dari segala sesuatu yang ada, mungkin perlu
11
merasakan keluwesan orang yang bukan agama. Saya sendiri karena KTP dipaksa, terpaksa waktu itu ya
jadi sampai sekarang pun KTP saya Islam. Istri dari pak Jayus ini karena gak mau menyebutkan agama
sampai sekarang ya tidak punya KTP. Saya kemarin ketemu sama mas Gun keluarga sikep itu memang
banyak yang tidak mempunyai KTP. Di negeri ini banyak yang tidak mempunyai KTP karena tidak
mempunyai agama. Kemarin diadakan pertemuan tingkat nasional di Jogja, ada orang dari luar negreri
malah menunjukkan identitas bahwa di luar negeri itu agama tidak disebutkan karena itu adalah ritual
untuk hubungan ke-Tuhan-an jadi tidak usah disebutkan menurut identitas. Lha itu juga menjadikan PR
semoga nanti semoga itu bisa menjadi PR PR bagi semua supaya itu berhasil seperti yang menjadi
harapan kita. Kurang lebihnya seperti itu, termasuk pengisian kolom KTP yang pada waktu itu sejak
tahun 82 sampai 88 KTP itu memang dari usul Saptodharmo itu setiap tahun turun dan padahal masih
punya tapi memang tidak menyebutkan agama, Cuma setelah dia mengeluarkan perintah seperti itu
tindak lanjutnya tidak ada, sidang sampai 14 kali ke pengadialan itu juga tidak ada yang membantu.
lewat pegangan sendiri, dibiayai sendiri, caranya gimana? Ya iuran. Jadi saya minta dengan sangat,
kalau perlu usulan saya ini dicata yang gede, dan perlu diketahui bahwa warga Saptodharmo Pati itu
mulai 88 sampai sekarng sudah terdaftar kurang lebih 6000-an, jadi kebetulan saya sendiri juga
dituakan di Pati, sebagai pengurus kabupaten Pati tapi sekarang sudah mantan karena kesibukan.
Seperti itu yang bisa saya sampaikan kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, terima kasih.
Jayus:
Saya nambahin ya. Dalam konteks ini kalau kita baca berkaitan dengan soal kejahatan terhadap
beragama dan kepercayaan, keyakinan dan ras. Tapi persoalan di sini Cuma agama dan keyakinan. Jadi
yang beragama dan yang tidak beragama. Lantas bagaimana seterusnya dengan bagian ke satu,
kejahatan terhadap agama, penghinaan terhadap agama, setiap orang yang di muka umum menyatakan
atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia di
pidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kira-kira 300 juta.
Ini menyatakan pemerintahan itu belum memperhatikan pelayanan pelayanan pada orang yang tidak
beragama soalnya di sini itu disebutkan yang beragama, yang seperti saya yang tidak memeluk agama
itu bagaimana? kok tidak dicantumkan pada pasal, berapa ini? 341, begitu lho itu yang pertama. Yang
kedua pasal 343 juga begitu atau merendahkan rasa. Setiap orang yang ada di muka umum mengejek,
menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, lalu saya yang tidak pemeluk agama rasul ini terus
bagaimana nasib saya? itu dalam sikap orang di kepercayaan saya, jadi kalau gini kan kurang adil
namanya. Lha maka ya berterima kasih pada DESANTARA mengadakan ini saya sangat gembira, semoga
bisa ya terus mengusulkan pada pemerintah, untuk mengesahkan yang seadil-adilnya, gitu sekian dan
terima kasih tambahan saya.
Ghofur:
Ini tadi kalau saya tangkap dari saudara-saudara semua ini bahwa kepekaan tentang kesejarahan di
Indonesia ini sangat kecil sekali ya. Saya flashback ke belakang dulu ya biar agak tenang dulu nanti
baru kembali ke Undang-undang, Indonesia dulu kalau dalam satu. Sebelum meningalnya Nabi Nuh itu,
Indonesia itu bagian dari India Timur. India Timur itu kalau zamannya sebelum Nabi Nuh, setelah nabi
Sys itu kan banyak Nabi yang diturunkan dari parahyang kasunyatan, dan para Nabi itu juga luas, nah di
daerah Timur ini pembuangannya pendawa waktu itu. Jadi setelah banjirnya Nabi Nuh, di sini itu sudah
ada yang namanya dinamisme animisme. Jadi seandainya di Indonesia ini yang masuk ke pembuat
undang-undang itu termasuk orang-orang ini kan lebih banyak hanya orang-orang yang dikuasai oleh
politik. Nyuwun sewu ya, di Islam sendiri kita tahu juga lebih banyak yang dipengaruhi politik. Orang
yang di luar NU katakanlah ketika mendekati pemilu rame-rame turun untuk cari suara. Ketika di atas,
NU itu sebenarnya banyak yang berpikir seperti ini, untuk menghargai yang lain dan penafsiran agama
yang luas, tetapi yang di atas yang penafsiran agamanya sempit malah di pilih. Yang dari Kristen saya
kira juga seperti itu. Jadi yang dari luar, yang katakanlah notabenenya anggota mereka itu sudah dicap
membahayakan pemerintahannya, katakanlah kalau dalam hal Undang-undang bisa di kotak-kotak
untuk dimintai persetujuan. sebetulnya posisi Indonesia saat ini kita itu lupa sama sejarah, coba kita
lihat keturunan dari nabi yang bukan dari India contoh wali-wali itu datang ke Indonesia dari India
karena dari Arab pindah ke india, itu punya pengalaman sehingga di Indonesia yang terdapat Hindu dan
Budha budayanya tetap mudah dan bisa sinkron, sebetulnya sekarang saya juga susah dalam hal
pendidikan penafsiran agama. Kok katanya agama samawi itu cuma tiga, nasrani, Yahudi, dan Islam.
12
Padahal Budha dan Hindu itu menurut kami juga agama samawi. Ini aneh. Terus masalah nabi, di Islam
dikatakan Nabi itu ada 124 ribu ya. Sebetulnya kalau kita baca di dalam Budha atau dalam Hindu yang
bentuknya kejawen, Islam, itu ketauhidannya sama, contoh ya reinkarnasi, itu dalam Islam syiah itu
boleh tapi dari Islam yang berkuasa di Indonesia saat ini tidak boleh. Nah ketika terjadi hal seperti ini,
akhirnya jika ada Islam Syiah di Indonesia bisa dikatakan kafir. Sama halnya dengan saudara Sikep,
saudara Saptodharmo dan Islam-Islam lain yang memahami tafsir-tafsir yang lain ini juga tertekan.
Kalau orang Syiah yang berkuasa misalnya ya itu kelompok sunni harus dikasih tempat untuk membuat
undang-undang, supaya apa? Supaya kepentingan orang-orang sunni itu bisa diakomodasi. Katanya kita
berpancasila tapi seperti ini. Saya juga kecewa sebetulnya dari orang Islam sendiri sebetulnya kecewa,
kecewa saya kenapa? Seperti Ahmadiyah, Ahmadiyah itu pernah disahkan oleh MUI untuk kepentingan
Golkar pada waktu itu, tapi sekarang karena takut digerojok sama FPI dan FBR, akhirnya dibatalkan
lagi. Lha ini keputusan model apa? nah saya sendiri sekarang melihat yang di atas sana itu sudah tidak
mau melihat penafsir-penafsir agama yang merasa lebih pinter dari yang awal mula. Jadi agama itu
fitrah, Islam sendiri itu fitrah jadi kalau tidak manusiawi itu bukan agama. Jadi sekarang malah banyak
tafsiran-tafsiran yang malah tidak manusiawi, terus munculya fanatisme agama dan yang lainnya. Waliwali
dulu masuk ke Indonesia dengan budaya, jadi seharusnya orang-orang Islam yang sekarang tidak
mengandalkan yang namanya, nyuwun sewu ya seperti Islam-Islam yang notabene nya seperti tadi ya,
radikal yang ingin memperjuangkan syariat mereka, sedangkan syariat kami juga punya cara-cara
tersendiri tersendiri. Karena apa? Dalam Islam sendiri dalam kekhalifahan setelah Nabi meninggal itu
rancu pak, nyuwun sewu ya, saya membuka kelemahan-kelemahan dalam Islam sendiri tapi ini perlu
supaya saudara Sikep dan Saptodharmo tidak salah dalam memprediksi Islam karena dalam Islam
sendiri itu, juga kaya tadi pak. Jadi setelah kekhalifahan Nabi itu yang terjadi ya rebutan kuoso.
Karena yang berkuasa ini rebutan, bahkan menciptakan doktrin-doktrin tersendiri, maka dalam Islam
itu ada Sunni, Syi’ah, Khawarij, semacam itu. Jadi peraturan-peraturan yang dibuat juga yang sesuai
dengan kekuasaan yang berkuasa waktu itu. Nah ini yang kita impor, waktu zamannya ini kita impor
sunni, misale mas ini sekolah di luar negeri sana ambil Wahabi, di Syiah ngambil syiah akhirnya masuk
ke Indonesia. sudah gitu mereka masuk ke Indonesia tidak melalui budaya seperti para wali. Orangorang
hasil impor ini langsung memaksakan pemikran Islam yang impor itu. Yang ini Islam, yang ini
nggak Islam, jadi kami itu capek dengan yang ini itu pak sekarang. jadi orang Islam yang berbudaya
seperti kami ini capek juga melihat orang-orang Islam yang seperti tadi, kearoganan, pemaksaan,
ta'assub, merasa paling bener, ta’assub iku kalau dalam Islam aku yang paling bener. Itu sebenrnya
tidak boleh juga, dalam Islam dalam ajarannya kita dak boleh. Kanjeng Nabi sendiri mengatakan bahwa
yang dinamakan kafir/kuffar itu bukan yang tidak mengikuti agama tapi yang batil, yang berbuat
kekerasan. Yang dimusuhi sebagai kafir itu adalah yang menggunakan kekuasaan. Maka bagi tafsiran
kami, kafir itu bukan tidak mengenal Tuhan, tetapi penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepada
dia sebagai pemimpin masyarakat. Pemimpin-pemimpin Quraisy yang dianggap kafir itu juga seperti
itu, mereka menggunakan kekuasaan dan harta itu untuk menyerang orang. Seperti itulah yang
dikatakan kafir oleh Nabi. Maka dalam Islam itu yang dikatakan kafir itu yang menghardik anak yatim,
yang tidak membagi zakat secara adil ini yang dikatakan kafir. Tapi sekarang kok jadi aneh. Yang
kuplu’an (memakai peci), pendeta yang di luar ajaran agama mereka itu ya dikatakan kafir? Mereka itu
bukan tidak mengerti Tuhan. Mereka mengerti Tuhan, mereka masih tawaf mengikuti agamanya
Ibrahim, mereka mengenal Tuhan. Jadi di dalam buku-buku tentang Islam itu pun banyak yang keliru,
seperti masalah kafir atau masalah Islam itu apa? atau iman itu apa dan lainnya. Justru doktrin-doktrin
yang masuk ini justru penafsiran yang salah. Buktinya kalau kita punya tafsir sendiri katanya sesat, kita
mau dialog katanya gak bisa karena kita sudah dicap sesat. Jadi, saya mohon dari pihak pihak yang lain
memahami juga bahwa di Islam juga ada seperti ini. Di kristen juga sama seperti bapaktadi, saya juga
kenal pak Edi Susanto orang yang di pertanian juga seperti itu. Dengan orang katoliknya juga ada
pemberontakan-pemberontakan seperti itu. Saya kira itu, yang membuat peraturan-peratuaran seperti
ini itu tidak tau sejarah Indonesia ini. Dari dulu sudah ada banyak agama karena dekat dengan India
Timur, lha secara geografis juga dari India Timur, kpercayaan peninggalan-peninggalan juga sudah ada,
terus Walisongo juga mengasihkan sama juga ada kejawen. Kalau dalam Islam ada malaikat Israfil,
Izrail, malaikat ya itu sama sebetulnya hal-hal seperti itu hanya di jawakan oleh para wali-wali di Jawa
karena demi kemudahan komunikasi saja, juga pihak pak dalang tadi. Jadi pemaknaan syariat itu harus
kita perbaharui lagi, karena apa sekarang yg diangkat memaksakan syariat islam harus seperti ini.
Padahal syariat di Islam itu kan macem-macem. Kalau di Kristen itu ada yang mengikuti Paulus dari
13
Roma ada yang lepas dari roma. Jadi kebebasan bersuara di sini juga tertekan, kita juga tertekan. Coba
saya yang syiah ini tiba-tiba shalat di depan orang-orang umum, mungkin saya akan disembelih pak.
Saya kira itu yang bisa saya ungkapkan, maaf sedikit emosional karena terpendam bertahun-tahun,
ejakulasinya dini.
Farid:
Kulo mungkin bade nambah pengalamane mas niki. Jadi saya di Ngagel punya kelompok pemuda
naminya "kampung mundur", kebetulan anggotanya banyak yang mantan tongkrongan-tongkrongan. Dari
awal, kampung mundur di masyarakat dicurigai, terus akhirnya dilain waktu kita sering diskusi,
termasuk diskusi karena kebetulan semua anggotanya muslim, diskusi atau membahas tentang Islam,
hukum Islam dan macem-macemlah. Ketika kita juga melibatkan orang-orang luar seperti Gus Umar
kita hadirkan di sana, kita bikin wacana yang aneh-aneh, kita mencoba berpikir yang kadang-kadang
tidak sesuai dengan umumnya orang Islam, akhirnya kita dianggap sesat dan macem-macem. Bahkan
ada temen-temen yang ikut diskusi itu sampa didatangi oleh orang-orang tua di rumahnya masingmasing
dan dibilang agar jangan ikut diskusi karena nanti bisa sesat. Sampai sekarang. Desa saya
ngagel, tapi sampai sekarang jum'atan saya tidak pernah di Ngagel. karena saya sudah gak tahan orang
melihat saya itu sudah aneh-aneh, yang Islam itu yang mana gitu lho? yang seperti versi saya atau versi
siapa? Padahal kita terbuka ya pak, siapapun yang mengkritik kita silahkan kita siap. Kalau kita salah
kita akan ditegur. Tapi itu tidak pernah terjadi, kita hanya dihabisi terus sampai sekarang, sampai
yang kami sayangkan akhirnya orang yang ikut diskusi itu akhirnya yang hadir semakin sedikit sedikit.
Jadi kalau saya usul ya kayak kasus Ahmadiyah itu sangat saya sesalkan. Mungkin saya merasa nasib
saya seperti Ahmadiyah, soalnya masih kecil di kampung, mungkin kalau di kota kaya Ahmadiyah itu,
dengan basis massa yang banyak itu, kasusnya mungkin juga akan sama dengan Ahmadiyah mungkin,
matur suwun.
Ari:
Kalau saya di sini cuma pengen menceritakan pengalaman dari saya dan teman-teman saya yang ada di
Jogja beberapa waktu yang lalu, mungkin ada kaitannya seperti yang mungkin temen lain pernah alami
juga. Sekitar tahun 2000 awal, 2001, 2002, komunitas kami yang ada di Jogja pernah diserang dengan
cara-cara kekerasan, oleh salah satu kelompok massa yang waktu itu sepengetahuan kami dan juga dari
pengalaman-pengalaman temen yang lain yang hampir sama itu berada di bawah salah satu bendera
partai yang berbasis Islam. Pada waktu itu saya dan temen-temen dituduh komunis dan segala macem,
ini sangat menghawatirkan ya. Hubungan antara agama dan komunis yang kalau kita lebih tau ke dalam
lagi sebenarnya gak nyambung, tetapi di situ disambung-sambungkan bahwa komunis itu tidak
beragama, komunis itu tidak ber-Tuhan sehingga mereka itu sepertinya punya kewajiban untuk
memberangus itu. Dari pengalaman temen-temen yang pernah terjadi seperti itu sampai beberapa
waktu yang lalu di Jogja itu kan banyak sekali tempat mereka yang disweeping, melakukan kekerasan,
melakukan penganiyayaan yang sampai dalam taraf yang tidak manusiawi sekali dan yang diserang itu
gak jelas, ada organ-organ yang seperti di Marpala, terus seperti dari temen-temen Paring Padi sendiri
dan lebih parahnya mereka membawa nama agama. Sangat tidak manusiawi sekali mereka, mengaku
beragama tapi dalam sepak terjangnya mereka orang yang tidak beragama sama sekali. Tidak
manusiawi sekali, saya hanya ingin menceritakan pengalaman dari temen-temen, yang memperlihatkan
kerasnya agama yang ditafsirinya dan mereka sangat meyakininya. Oke terima kasih, hanya itu aja yang
bisa saya sampaikan.
Tamam:
Dari pengalaman kawan-kawan saya pikir nanti ada titik kesamaan dengan pengalaman yang pernah
saya alami. Di desa saya itu ada sumur yang kalau PKI itu di namakan lubang buaya, itu ada di desa
saya tempatnya di tengah hutan. Ceritanya karena saya tidak mengalami langsung itu, dan sebenarnya
masih banyak saksi-saksinya yang melihat kejadian itu, dulu itu dengan menggunakan isu PKI, jadi
banyak orang yang di bunuh di sana, dimasukkan ke dalam lubang itu kemudian di tembaki dari atas,
kemudian di atasnya itu dikasih batu-batu, sampai sekarang itu masih ada sumurnya, letaknya di desa
Grogolan kecamatan Dukuh Seti, dan kebetulan saya juga pernah melihat sumur itu. Kebetulan saya
muslim pak, ya muslim karena orang tua saya muslim juga, jadi saya pernah kerja sama dengan YPKP
karena disinyalir bahwa orang-orang yang meninggal di dalam itu adalah tidak hanya PKI gitu lho,
14
karena ada orang-orang muslim juga, bahkan guru-guru masuk di sana. Dan sebenarnya YPKP ingin
meneliti dan mengadakan penelitian tentang pembunuhan itu, rencananya akan dibongkar dan di teliti,
kemudian keluarganya juga akan dihadirkan. Dan selanjutnya memang terjadi kerjasama, lalu dari
YPKP itu kepengen mendatangkan keluarga korban, dan kebetulan yang menjadi korban itu kebanyakan
dari Pati selatan Pak, juana, Pucak wangi dan lain sebagainya, daerah Pati selatan. Dulu itu sudah
pernah mau diadakan dimana YPKP itu sudah datang di sana dan ditemani dengan teman saya, keluarga
korban, itu banyak sekali mungkin sampai ratusan, kepengen menahlilkan keluarganya di sana.
Sebenarnya agenda yang pertama itu tahlil baru kemudian nanti akan digarap oleh YPKP, saya sudah
melakukan pendekatan dengan beberapa tokoh masyarakat di sana kebetulan orang tua saya juga tokoh
di sana dan saya sudah ngomong langsung kemudian itu tidak bermasalah, tahlil itu tidak ada yang
melarang, siapa saja itu boleh ditahlilkan apalagi mereka yang dikubur di sana itu belum jelas
statusnya apakah mereka itu benar-benar PKI atau apa. Kalau kita masih ngomong PKI itu kan juga
ruwet pak ya, karena kontroversi. Para keluarganya korban sudah datang di sana dan rencananya yang
memimpin tahlilnya itu habib Ahmad dari Tayu itu. Habib Ahmad sendiri itu kan tokoh Islam, dia juga
mau memimpin tahlil di sana, istighatsah dan tahlil. Tapi yang terjadi adalah saya dan temen-temen
itu di introgasi oleh Kodim dan Kepolisian, digagalkan dan terus terang saya mau ditangkap waktu itu,
saya dan teman saya mau ditangkap Kodim, Kepolisian dan Tentara banyak yang datang di sana, saya
mau ditangkap. Dan akhirnya digagalkan dan bahkan ada gerakan-gerakan orang di luar desa saya itu
datang, dari Dukuhseti, Alasdowo, macem-macem di sana ikut datang, mengintervensi di sana dan ingin
menggagalkan, saya dan teman-teman dianggap kepengen menghidupkan PKI dan kebetulan aparat
desa di sana itu sebagian tidak mendukung gerakan saya. Pada waktu itu kami digagalkan dan sampai
sekaramg belum ada kejelasan mengenai status warga yang kebetulan dibantai di sana itu sampai
sekarang. Menurut saya ini adalah sebagian kejadian yang entah itu apakah memang ada sentimen
keagamaan atau memang ada permainan politik di situ. Ini kebuntuan yang sampai sekarang belum
digali di desa saya itu, Terima kasih.
Widyo:
Ini memang kejadian di dalam kehidupan saya. Mungkin ini dalam rentang waktu yang cukup lama dan
ini mungkin lingkupnya tidak besar hanya dalam lingkup keluarga. Kami dulu pernah ada satu
permasalahan yaitu untuk shalat jenazah, kebetulan yang meninggal bapak saya sendiri, kebetulan
pada waktu itu beliau adalah sah satu tokoh Saptodharmo di juana. Nama bapak saya Supar, yang
kebetulan tokoh agama. Bapak dan kakak saya itu kan punya banyak saudara dan teman-teman yang
berasal dari muslim. Lalu keluarga kami menshalati dan yang muslim juga menshalati dengan caranya
masing-masing. awalnya tidak ada maslah. Yang jadi masalah kemudian dating dari pak de saya, yaitu
pak de Karyo yang tetap ngotot agar dishalati dengan cara Islam. Ini enaknya gimana ya? Orang sudah
meninggal saja masih dibikin susah. Saya sih pengen keluarga saya itu tetap rukun, meskipun memiliki
kepercayaan yang berbeda-beda. matur nuwun.
Kang Gun:
Nggih niki kaitane nyambung rembuk nopo babakan aturan. Ning pemerintahan kan ono Undang-Undang
Dasar ono KUHP ning tatanan liyane pemerintahan neng agama-agama nopo mawon niku kan yo nduwe
aturan-aturan seng di tulis diarani kitab nak menurut versi sedulur Sikep niku seradi bedo, mulane
sakupamane ditakoni kitape sedulur sikep iku rupane koyo opo. Lha mboten masalah kitab sarasan
masalah nyebut bedo aja kadang dadi persolan. Ono sing mahami nek sing paling kuoso iku gusti Allah,
ono sing nyebiut kuwi Sang Hyang Widi, ono sing Sang Hyang Bipati. Werno-werno sebutan iku kan iso
dadi persoalan. Nah sedulur sikep anci sak ngertos kulo nggih miturut niki pituture kehendak. Sak
derenge enten agama-agama, sak derenge enten republik keraton pun, niku kan ora ono kejelasan sing
tertulis jelas. Nak kulo tingali niku kan goro-goro bingung niku kaleh tulisan seng di wadahi undangundang,
kitab. Lha kangge sedulur sikep seng ora nduwe kitab, seng dianggep umum nggih liya-liayane
do duwe kitab nduwe sebutan seng jelas, nggih niki akhire nduweni pemahaman-pemahaman seng
bedo. Anci nggih sakupami benturan mulai jaman rien ngantos niki teseh, pripun niku carane ngudari?
nopo saget diuadari ngangge aturan tertulis? Nak menurut kulo mboten saget amargi masalah percoyo
sak reti-retine wong sing ngudari kan luweh ngerti wong sing ngelakoni. lha awak’e dewe nak wes ora
percoyo karo diri pribadine dewe sing ngelakoni, lah niki coba niki balik gagas nak awa’e dewe, keto’e
awak dewe iki wes kadoan wes percoyo karo tulisan-tulisan mengenai aturan-aturan sing akhire ngko
15
ngelalikno, jane awake dewe iku iso cukup. Lah niki sing kadang bedo anci kadang akeh benturan,
sehingga sedulur Sikep zaman kerajaan dianggep bangkang bangsawan sehinggo sejarah mbah Samin
niku kan bangsawan seng ora seneng keraton goro-goro pemahaman seng bedo. zaman republik pun
gonta-ganti tahun, niku tetep dianggep bangkang soale pemikirane wes dianggep ora umum karo
pemikirane liya-liyane. Nah tujuan nganakno pertemuan iki, pmerintah gawe aturan masalah ngene
mengko tumerap awa’e piye yo? Yo iku tetep ono dampa’e yen iku tetep digawe tapi ora mahami
tatacarane seng bedo-bedo. napo nggih dampa’e niku dibedak-bedakno, lha iku sedulur sikep ngeroso
kawet biyen ampe saiki yo ora ngerasa yen persoalan-persoalan iki bergantung karo pemerintah iku iso
diudari, nyatane kawet biyen nganti saiki yo sing duwe laku elek apek iku yo teko awa’e dewe, sing
ngudari yo teko awae dewe. Kedadiyane sing kasunyatan kan karek sing cocok karo seng ora mbe’o gak
cocok nak seng tukang ngudari iku awa’e dewe yo gampang penyelesaiane, lha riyen sampe niki ngoten
kan lha nak terus ngono awa’e dewe ngudari sing do dompo op do balek meneh. Wong kok do rebutan
bener, wong bener kok di go rebutan dadine dak ora bener, nak kepengen eman wonge yo wes ora usah
rebutan bener. Nggih kulo cukup semanten mawon.
Arwani:
membela kebenaran selalu diawali penyelewengan agama yang awal, mulai zaman nabi Musa
penyelewengan agama-agama sebelumnya, diteruskan oleh Isa, Muhammad, sama dengan yang
diteruskan dengan apa yang kita lewatkan ketika hindu bergerak dengan kejayaannya, barat juga
muncul, karena sudah ada benturan nilai-nilai, jadi sama dengan keadaan saat ini juga. Islam dulu
ketika nabi berkuasa ya islam murni tapi ketika sudah mulai kepentingan perut, kepentingan
kekuasaan, kekhilafan mulai bertengkar, ini sejarah hitam. Seharusnya ada wasiat dari nabi bahwa
yang meneruskan ini siapa? tapi yang ngambil yang ini Jadi dalam aliran kebatinan itu sama, jadi yang
kita sikapi sekarang ya masalah beda-beda tafsir di lingkungan kita ini. ini yang perlu kita
perjuangkan, yaitu masing-masing supaya ngerti, arif, kalao memehami agama dan kepercayaan itu
pasti akan ada yang beda bahkan yang aneh-aneh.
Asnawi:
Ini menurut pasal 343, setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai atau merendahkan agama,
Rasul atau Nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun. Seandainya ada salah satu pihak pemeluk agama atau yang non agama, padahal
perilakunya itu salah, apakah itu juga termasuk termasuk bisa dikategorikan menodai atau
merendahkan agama atau Rasul? Seandainya pas ada salah satu perilaku yang tidak terpuji menurut
budaya karena budaya kepribadian bangsa indonesia itu saling menghormati, toleransi beragama, itu
sudah budayanya seperti itu tapi kadang-kadang ada tindakan yang memang itu salah apakah juga
secara otomatis sudah termasuk kategori menodai atau apa? Terus yang saya khawatirkan lagi setelah
yang diungkap oleh teman-teman yang didepan tadi, seperti orang yang belum mencantumkan
memeluk atau menghanut suatu agama itu nanti sanksinya gimana? Warga dari keluarga Sikep atau
Saptodharmo sendiri mungkin belum paham dengan masalah-masalah yang dicantumkan di KUHP ini,
sehingga kadang-kadang ada tindakan-tindakan yang mungkin kurang pas atau memang penghayatannya
tidak pas dan menurut individunya itu kurang cocok. Mungkin ada itu, termasuk mengadakan ritual,
ritual termasuk Saptodharmo tadi seperti yang diungkap pak Jayus, orang Saptodharmo kalau sujud
walaupun tengah malam itu pake iringan. Iringan sujud dalam arti supaya di dalam menjalankan ritual
itu gagasan dan angan-angan hilang untuk menyatukan konsentrasi, tapi iringan itupun tidak hura-hura
dalam arti juga orang yang suaranya bagus, dan di dalam memberikan mengeluarkan kalimat itu ya ada
aturannya bukan terus hura-hura, mengganggu ketertiban, karena kategori ketertiban yang kaya apa
yang itu dianggap mengganggu ketertiban umum. Kadang-kadang pada waktu bulan puasa itu saya
sering melakukan itu. Saya seorang seniman dan kadang pulang jam 4 kan baru tidur. Lha baru saja
tidur kok tiba-tiba di speaker itu terdengar siuara khutbah yang keras. Itu kalau menurut saya pribadi,
orang khutbah itu sudah mengganggu ketenangan saya tidur, karena saya waktu itu baru tidur, apakah
itu bisa termasuk dikategorikan mengganggu atau tidak? Jadi, sampai sejauh mana orang yang dianggap
mengganggu ketertiban umum itu yang kaya apa? termasuk orang-orang yang pujian di keluarga umat
Kristen itu kadang-adang dalam menjalankan ibadatnya itu juga ada pujian-pujian, padahal bagi orang
Kristen kalau mendengar pujian-pujian itu memang terpuji, tapi bagi orang yang tidak pernah
menjalankan pujian-pujian seperti orang Kristen merasa dia terganggu termasuk saya sendiri. Kalau
16
saya di rumah itu kadang-kadang menghafalkan catetan tembang-tembang yang bagus, itu seingat saya
itu ya tidak mengenal waktu karena memang seorang seniman dituntut untuk sedemikian rupa supaya
siap, siap dipentaskan itu memang siap bersaing, juga tidak kalah saingan, jadi suara itu kan dilatih
terus. Tapi tetangga saya itu tidak pernah merasa terganggu malah kadang-kadang itu malah ada yang
datang mendengarkan, kadang-kadang ada salah satu orang yang kurang cocok, ya karena setiap
harinya setiap harinya itu memang belajar syariat Islamnya sehingga dia merasa terganggu juga ada.
Sampai sejauh mana pasal 343 ini seperti yang saya ungkapkan ini, karena saya takut sekali kalau nanti
sudah menjadi aturan mungkin saya yang banyak di penjara karena saya setiap malam pun juga sering
nembang. Saya nggak sampai ke situ ingin memenjarakan orang, sudah saya biasakan telinga saya apa
saja yang ada, karena orang Saptodharmo itu tidak mencari kesalahan orang lain, dia adalah selalu
mencari kesalahannya sendiri menurut wewarah Saptodharmo nomer 5 "berani hidup dan mencari
kesalahannya sendiri"dan nomer 6. Menurut wewarah nomer 6 itu sikapnya dalam hidup bermasyarakat
harus bersusila, serta harus selalu memberi petunjuk yang benar serta jalan yang memuaskan, jadi ya
memang siap menerima apa adanya yang ada di sekitarnya, itu memang sudah dilatih mungkin mas Gun
sendiri juga seperti itu, karena saya kenal baru sekali, ternyata mas Gun gak pernah membuat resah
lingkungan ternyata yang dari dukuh seti juga ke sana. Kira-kira seperti itu yang bisa saya sampaikan
terima kasih.
Khoiron:
saya kira tadi soal definisi yang mengganggu orang lain cuman konteksnya sekarang lebih diwarnai oleh
kelompok mayoritas. Kelomp[ok mayoritas itu bahkan perspektifnya juga berbeda dengan mayoritas
yang lain. Misalnya saja ada salah satu anggota masyarakat yang bukan muslim meninggal tapi dianggap
menganggu pada lingkungan yang sebagian besar umat Islam. Padahal sama intinya ingin beribadah nah
ini kan menjadi persoalan. persoalan yang lebih krusial lagi bahwa cara masyarakat kita untuk
memaknai arti mengganggu ketertiban umum itu sering diartikan dengan aksi kekerasan massa.
Misalnya Lia Aminudin rumahnya digrebek massa. Aparat keamanan tidak melindungi justru mendukung
aksi penggrebekan itu. Kita perlu endefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan mengganggu
ketertiban umum itu seperti apa? ini juga selain kasus bahwa persoalan eee memaknai ketertiban
umum itu sudah disempitkan sedemikian rupa tapi pada satu sisi posisi aparat keamanan kita di
beberapa tempat sering tidak bisa memediasi, yaitu bagaimana kita bisa mendialogkan apa yang
disebut dengan meresahkan orang dan mengganggu ketertiban umum dan sebagainya. Sebenarnya di
negara-negara lain itu sudah terjadi biasanya orang-orang yang melakukan ritual atau orang-orang yang
menyuarakan tape-nya lebih kencang sehingga mengganggu tetangga sebelahnya, jadi perdebatan bisa
di media, di pengadilan. Jadi sebetulnya bisa jadi kita menghapus istilah ini, sebenarnya juga ada
beberapa definisi untuk mengatasi orang-orang yang memang dalam definisi kelompok di masyarakat
itu memang di anggap mengganggu. Cuma masalahnya kan pengadilan di negara kita, sering kali tidak
bisa memediasi perdebatan di antara masyarakat mengenai makna mengganggu, menodai, meresahkan
masyarakat dan sebagainya.
Jayus:
Setelah itu, tadi yang saya sampaikan itu adalah suara yang keluar dari mulut karena dekat rumah saya
ada langgar biasanya untuk menjalankan ritual bisa dikategorikan mngganggu atau apa.
Bisri:
mungkin begini tawaran yang diberikan oleh bapak-bapak tadi, kita akan mencoba kira-kira kalau sudah
didefinsikan seperti ini kita mau apa? apa kita akan mengelola KHUP ini dan kita menerimanya dengan
rela. Lha bagi saya sebenarnya, ada aturan-aturan yang tetap penting untuk diatur tinggal bagaimana
itu dikuatkan menjadi tema. Kemudian di tingkat kepercayaan agama, bagaimana agar keberagaman
ini bisa dihargai dengan materi hukum tetapi ditingkat grassroot tetap menghargai pola-pola consensus
alternative. Oleh karena itu bagaimana hendaknya di tingkat bawah terjadi penggalakan gagasan
rekonsiliasi dan pluralisme, sementara ditngkat lain kebijakan hukum yang berkaitan dengan kriminal
itu ditegakkan juga lho.
17
Surur:
saya kira memang betul apa yang diungkapkan oleh mas Husein dan rekan-rekan yang lain tadi. Pasal
atau aturan tentang meresahkan masyarakat itu menjadi pasal karet yang sangat lentur dan bisa
dimaknai oleh siapapun. Repotnya lagi kalau yang disebut umum itu adalah yang mayoritas berada di
tempat itu. Lalu bagaimana dengan yang minoritas? Apakah hak-hak yang minoritas itu tidak berlaku di
kelompok mayoritas? Karena orang seperti pak Asnawi itu kan bisa saja terganggu ketika orang-orang di
sekelilingnya melakukan kegiatan atau ritual tertentu. Nah, untuk membahas aturan mengenai
meresahkan umum ini saya kira bisa kita rembuk di sini sehingga masukan dari saudara-saudara
sekalian ini bisa kita rembuk lagi nantinya, terutama oleh teman-teman yang konsen menggeluti dari
segi kajian hukumnya.
Husein:
saya pikir forum ini memang harus ada kejelasan di tingkat akhirnya. Apakah kita mau menerima RKUH
ini atau menolak. Saya kira tawaran itu penting, apalagi setelah kita diskusi dari tadi kan sebenarnya
sudah mulai kelihatan titik temunya.
Bisri:
saya kira memang iya. Penolakan atau menerima ketentuan di dalam KUHP ini emamng akan menjadi
sikap kita bersama, tetapi saya kira kita juga perlu memberikan semacam alas an kenapa kita mesti
menerima atau menolaknya. Karena bisa jadi, yang kita inginkan bukan menolak seluruh pasalpasalnya,
tapi cukup beberapa pasalnya saja. Atau mungkin juga ada pilihan lain, yaitu revisi beberapa
hal seperti masalah definisi yang kita perdebatkan di awal tadi.
Sonhadi:
mugkin kita bahas lagi pertanyaan yang dikemukakan pak Husen tadi kan soal apakah mengganggu,
meresahkan, dan menodai yang subjeknya agama itu seperti apa.(?)
Ghofur:
Tadi temen2 menanggapi bahwa pemerintah tidak perlu apa namanya mengatur atau ikut campur
dalam kegiatan agama. Dalam hal ini kalau kita mengatakan begitu, saya juga punya pendapat bahwa
sebaiknya setiap agama itu mengatur umatnya ee sendiri-sendiri, jadi yang saya maksud begini, saya
akan memberikan contoh institusi dari Polri dan Tentara ya. Jadi setiap polisi itu ada proposnya. Dalam
TNI kan ada PM-nya. Nah saya punya ide bagaimana kalau setiap agama baik agama Islam atau Kristen,
Hindu, Budha atau kepercayaan itu membentuk suatu aturan tersendiri mengatur urusan agamanya
sendiri. Nah sekalian kita pikirkan apakah bisa umpama agama Islam umatnya melanggar aturan
agamanya sendiri lalu ada semacam ulama independen yang dipercaya oleh komunitasnya untuk
menindak yang melanggar itu. Jadi nanti konsekuensinya sesuai dengan perbuatannya sendiri. Seperti
contoh di desa-desa itu kan bahaya juga sebenanya tidak mau menganut Islam yang syariat, yang solat,
shodaqoh, dan zakat fitrah. Saya lihat sendiri tetangga saya, dia dari kecil sampai mati gak pernah
namanya menginjak langgar atau masjid, tetapi kalau ada zakat fitrah setelah bulan puasa itu selesai
mau idul fitri dia ikut solat Id dan zakat fitrah. Saya ketawa sendiri. Padahal dia itu termasuk orang
miskin. Di kita ini memang nggeregetin, umatnya zakat fitrah tapi malah dikorupsi oleh pengurusnya.
Bagaimana kita punya usul bahwa agama Islam itu punya pegangan sendiri mengawasi umatnya sendiri
kalau kata umat Islam untuk konsisten. Dan sekarang peraturan KUHP dibikin peraturan syariat dibikin
sesuai prosedur agama masing-masing seperti ulama diatur berdasarkan al-Quran dan Hadist. Kenapa
zaman sekarang ada MUI? zaman dulukan gak ada MUI segala. Di dalam institusi agama Budha juga ada
namanya rohaniwan, gereja katolik dan seperti Pastur itu punya aturan sendiri itu diatur secara khusus
karena ada aturannya. Itu aturan para rohaniwan. Sekarang aturan para ulama punya pegangan sendiri,
bagaimana Imam-imamnya yang mereka ikuti tapi mereka melanggar bahkan membangkang agama
sendiri pun tidak diatur dan diadili. Ya kan!!. Banyak sekali kasus, zakat fitrah atau apa itu kadangkadang
dikorupsi oleh mereka. Nah kasus-kasus seperti inilah saya ikut prihatin. Jadi saya tidak
pesimis seperti teman anda bilang bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur. Tapi kalau ditanya saya
punya ide seperti itu ada institusi yang mengatur dan bagaimana tanggapan pemerintah. Jadi dulu ada
UU bahwa pemerintah itu sebaiknya itu apa menjadi fasilitator saja, tapi kuatkah nanti institusi agama
18
itu berdiri ke bawah, sebab yang paling repot itu orang yang gak pernah belajar, apakah itu cuma
petani biasa menghadapi problema dalam kehidupan sehari-hari atau problema dari idealis. Orang yang
menganut agama itu jadi orang biasa maunya sederhana, kalau yang sederhana itukan maunya makan,
tidur selesai, tidak mau mengganggu, mengkritisi orang lain. Tetapi justru kaum masjid, gereja dan
sebagainya itu yang kadang-kadang bikin repot. Malah yang lebih mengenaskan lagi banyak juga tuh
rohaniwan atau juga kiai yang korupsi. Saya pernah juga ketemu orangnya. Jadi itulah sekali lagi saya
punya ide jadi bagaimana pemerintah memberi kuasa penuh terhadap institusi agama sendiri. Umat
Islam mengatur sendiri, begitu juga umat Kristen, Budha dan Hindu. Adili menurut institusi itu sendiri.
Jadi jangan lirak sana lirik sini kena semuanya. Ada juga lho kiai besar yang guy, tapi karena dia itu kiai
besar maka dia dilindungi oleh aparat. Maka kalau kita melanggar para kiai tidak dilanggar seperti itu
ya, terus gimana? Lagian siapa juga yang mau atau berani menindak kiai? Seperti di Thailand , Sri
langka justru yang melanggar itu yang disidang. Itu masih berlaku tapi saya lihat orang yang masuk
Islam, yang pandai dibiarkan saja. Kalau dalam politik kan sama-sama bagi kursi ya untung semua kan
gitu.
Kemarin saya juga agak ngenes itu mendengar kiai yang ceramah mengecam orang-orang yang tidak
mau bayar zakat, tidak mau infak katanya. Emangnya kiai itu tidak melihat kenyataannya apa? Orangorang
kecil dengan anak tiga, pekerjaannya juga Cuma petani kecil yang tidak tentu punya uang. Kalau
kiai itu kan enak. Habis ceramah, nongkrong trus dapet duit. Kalaupun tidak punya mobil, dating ke
tempat ceramah juga dijemput pake mobil. Lha kalau wong cilik kan tidak begitu.
Eko:
Saya mau menambahkan sebenarnya dari Pasal ini yang diatur di sini kan pasti ada tujuannya. Yaitu
untuk melindungi seluruh masyarakat. Tapi ternyata tetap saja ada tidak adilnya karena masih juga
mengatur dan mengunggulkan agama-agama tertentu. Nah, menurut saya, kita lebih baik menciptakan
ruang untuk sering berdialog dengan kelompok lain. Saling meyakinkan bahwa kita ini hidup di
Indonesia yang memiliki banyak agama dan aliran kepercayaan. Ini artinya apa, menurut saya aturan ini
belum memiliki tujuan kebaikan.
Yudha:
Saya mau nambahi ya. Sebenarnya semua masalah ini bisa diselesaikan dengan tanpa memeruncing dan
lebih simple. Meskipun saya juga miris mendengar kasus Ambon, Sampit, dan yang lain. Saya sih
mengira bahwa persoalan-persoalan tersebut tidak terlepas dari persoalan politik. Tapi pertanyaannya
kan tertuju pada diri kita masing-masing, kita dibuatkan kitab Undang-Undang kita selama ini
menjalani seperti apa? Saya sangat respek dengan sedulur Sikep yang berani tidak patuh terhadap
aturan yang dibuat pemerintah, karena bagi sedulur sikep, hokum yang diciptakan Negara itu tidak
sesuai dengan kepentingan mereka. Kita memang selayaknya belajar dari daerah-daerah bahwa ada
keraifan-kearifan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas lokal. Saya rasa itu lho menurut saya.
Sukilan:
tadi sudah saya katakana bahwa kalau memang KUHP ini ingin masuk dan mengatur masalah agama, ya
harus melihat dan mempertimbangkan orang-orang seperti saya ini. Masalahnya saya ini kan dikategori
sebagai “bukan yang resmi” itu tadi. Artinya, kalau orang-orang seperti saya ini tidak dianggap oleh
pemerintah, ya tentu saya sangat tidak setuju dengan KUHP ini. maaf lho ya, saya ngomong ini pake
bahasa jawa. Saya ini memang tidak biasa dan sulit bicara dengan bahasa Indonesia, jadi ya saya
jangan dimarah dan dipaksa untuk bicara dengan bahasa Indonesia.
Bisri:
Ya, saya kira ada dua hal yang penting untuk kita. [ertama, kita meminta definisi-defini tentang agama
dan yang yang belum jelas itu harus betul-betul dijelaskan. Dan definisi itu harus sesuai dengan
keinginan public. Kedua, kalau tidak bisa seperti yang pertama, ya lebih baik RKUHP ini didrop saja.
Kan yo aneh kok masalah keyakinan diurus oleh Negara? Emangnya Negara itu bisa mewakili Tuhan?
Khoiron:
Ya kalau melihat seperti yang dikemukakan oleh teman-teman tadi itu ada dua criteria yang harus
diperhatikan dalam membahas RKUHP ini, yaitu masalah subtansi dan implementasi. Substansi itu ya
19
apakah di dalam pasal-pasal ini isinya bermasalah atau tidak. Lalu dalam hal implementasi itu nantinya
bagaimana? Karena biasanya substansi hukumnya sudah baik, tapi karena tidak ditegakkan dengan
tegas ya akhirnya malah bermasalah.
Asnawi:
oh yam as, mengenai masalah mengganggu ketertiban umum itu memang perlu dipertegas kembali.
Saya ini kadang-kadang juga suka kuatir kalau saya ini melakukan ritual pribadi di rumah saya tapi
karena keyakinan saya ini dianggap sesuatu yang baru di kampong saya, lalu lingkungan saya kuatir
kalau keyakinan saya ini akan mempengaruhi lingkungan sekitar. Padahal saya tidak pernah
menyebarkan keyakinan saya kepada orang lain. Lalu apakah saya juga bisa ditindak dengan alasan
meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum? Lalu apakah keinginan untuk membangun
tenggang rasa itu seperti apa?
Khoiron:
dari tadi saya bisa menangkap bahwa sebagian besar teman-teman hampir setuju sebagian masalah
yang dikemukakan di sini cuman ada catatan, catatannya misalnya perlu didefinisikan ulang tentang
apa yang dimaksud agama itu? apa maksudnya redaksi dari agama yang dianut di Indonesia?. Selama ini
yang menjadi aturan negara adalah agama resmi dan tidak resmi. Posisi agama dan kelompok
kepercayaan yang tidak dianggap resmi itu dalam posisi ini seperti apa?
Surur:
untuk sementara saya memberi beberapa catatan yang cukup penting. Pertama, harus jelas definisi
tentang pemeluk agama itu apa dan siapa? Misalnya begini, apa yang membedakan Islam saya dengan
islamnya kang Farid. Apakah saya ini bisa dikategori sebagai pemeluk agama Islam atau bukan? Lalu
kalau ada kekliruan trus bagaimana? Kedua, mengenai agama yang resmi dan tidak resmi itu tadi
menjadi persoalan yang diusulkan. Kenapa harus ada yang resmi dan tidak resmi? Ketiga, yaitu
mengenai menodai agama. Menodai agama itu juga tidak jelas, apakah menodai itu seperti yang
dilakukan oleh Ahmadiyah atau Lia Aminudun atau kita sendiri yang sering melaukan ziarah kubur dan
tahlilan? Karena di Alquran itu tidak dijelaskan adanya sowan ke kuburan, misalnya. Keempat, definisi
benar atau sesat menurut agama itu seperti apa? Dan siapa juga yang paling berhak untuk menentukan
benar atau sesat. Kelima, juga perlu kejelasan pengertian mengenai meresahkan masayarakat dan
mengganggu ketertiban umum.
Sugogon:
iya memang, pemerintah kita ini memang aneh. Kok ya apa ada yang bisa memastikan bahwa ada yang
menodai agama atau tidak? Kan lebih baik ngurusinpara koruptor itu lho yang sudah jelas-jelas
membuat wong cilik ini tambah sengsoro. Kalau masalah keyakinan, ya biarkan saja kita ini
bertanggungjawab dengan Gustinya masing-masing.
Bisri:
wah kalau nanti sampai direvisi, berarti kategori Tuhan dan yang lain itu juga harus ditambahin.
Seperti kata pak Jayus tadi, kalau perlu di sana bukan hanya nabi dan rasul, tapi Dewa, sang hyang
widhi, puang ta’ala dan yang lain-lain harus juga disebutkan tuh, atau bahkan setan juga kali ya
hahaha… lalu masalah mengganggu ketertiban umum itu juga sangat menggelisahkan. Misalnya dalam
hal beragama, masalah suara itu diatur tidak? Karena kalau suara juga bisa diadukan mengganggu
ketertiban umum, ya khutbah, azan, ceramah dan sebagainya itu juga bisa disebut mengganggu umum.
Masalah pakain juga bisa mengganggu umum lho. Misalnya kata Ondo Rante orang berjilbab itu
mengganggu umum karena sudah menghalang-halangi wajah utuhnya.
Ghofur:
Jadi kalau nanti kategori semua agama dan kepercayaan itu diatur dalam KUHP, apakah itu tidak akan
merancukan? Maksud saya, apakah antara agama dan aliran kepercayaan itu dianggap sama? Saya sih
sebenarnya melihat ini ada hubungannya dengan pasal 29 UUD 45 itu yang mengatur kebebasan
beragama tapi yang dibebaskan hanya 6 agama doang.
20
Surur:
Saya kira tidak akan rancu. Yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah mengakui, bahwa secara
hukum seluruh agama dan kepercayaan yang di Indonesia ini memang harus diakui dan mendapatkan
kesetaraan hak di depan hukum tanpa ada lagi kategori dan pemisahan agama resmi atau agama tidak
resmi. Dan pada nantinya juga, masalah memilih agama dan kepercayaan ini tidak menghambat orangorang
yang, misalnya ingin mencantumkan keyakinannya di KTP atau di rapor anaknya.
Arwani:
oke, saya kira bisa langsung kita kerucutkan saja. Saya kira kita sepakat bahwa RKUHP ini penting,
tetapi dengan beberapa catatan kritis yang harus dipertimbangkan. Kalau tidak, ya didrop saja.
Surur:
baik teman-teman. Dari hasil diskusi kita tadi, saya mencatat ada beberapa catatan penting, yaitu:
1. Perlunya kejelasan mengenai definisi dan kategori “agama resmi” dan “agama tidak resmi”
yang “dianut” di Indonesia.
2. Keharusan mengakui kesetaraan seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
3. Kejelasan mengenai definisi dan kategori pemeluk agama. Hal ini berimplikasi pada siapa yang
berhak untuk menetukan siapa yang dimaksud sebagai pemeluk agama tertentu.
4. Kejelasan mengenai definisi dan ukuran menodai agama dan otoritas yang berhak memutuskan
tindak penodaan terhadap agama.
5. Munculnya perbedaan pendapat tentang perlu/tidaknya agama, kepercayaan, keyakinan diatur
di dalam Undang-undang.
6. Kejelasan mengenai definisi, kategori, ukuran sesat/benar menurut agama dan siapa yang
berhak untuk menkategori sesat/benar berdasarkan agama dan keyakinan masyarakat.
7. Batasan-batasan mengenai ketentuan “meresahkan masyarakat atau mengganggu ketertiban
umum”
8. Perlunya penegakan hukum yang tegas
9. Pemerintah harus menghargai model-model rekonsiliasi dan consensus alternative yang
dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat.
10. Pemerintah perlu memberikan jaminan dan penghargaan terhadap keragaman penafsiran.
Oke teman-teman, saya kira demikian diskusi kita pada hari ini. kalau memang di antara kita ingin
masih ngobrol lebih jauh, monggo. Saya kira demikian, terima kasih atas kedatangan saudara-saudara
sekalian dan juga kami minta maaf jika terdapat banyak hal yang kurang berkenan di hati sedereksederek
sekalian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb dan selamat sore.

No comments:

Post a Comment