Monday, 14 February 2011

Gelora Api 26

Gelora Api 26


Laporan pembacaan buku Gelora Api 26: Kumpulan Cerpen dan Puisi (Ultimus, 2010, xxiv+108 hlm)

Oleh: Diana AV Sasa

“Sastrawan adalah mata, telinga, dan suara klasnya. Ia boleh djadi tak menjadari hal ini, namun ia adalah pantjaindera klasnja.” (Alexei Maximowitj Gorki)

Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda pada 12 November 1926 di Jawa, khususnya Banten dan Batavia dan merembet ke Jawa Tengah, ibarat bara api dalam sekam dan meledak dengan gelegar yang menghentak. Dua bulan berikutnya pemberontakan meletus pula di Sumatera Barat.

Pemberontakan yang berlangsung di kota yang berbeda-beda ini gampang betul dilumpuhkan. Sekejap. PKI dilarang dan ribuan pengikutnya dibuang ke pedalaman Papua yang ganas, Boven Digul. Namun sejarah telah mencatat bahwa peristiwa ini menjadi tonggak pemberontakan terbuka pertama di Indonesia yang dilakukan organisasi modern di bawah bendera partai.

Dan sejarah itu coba ditafsir ulang oleh sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) generasi yang dalam kategori genetika gerakan PKI, sejajar dengan generasi ketiga (Generasi pertama: 20-an, Kedua: 40-an, Ketiga: 60-an). Sebagian dari tafsir itulah yang terbingkai dalam Gelora Api 26.

Zubir AA (Sabotase), dan Agam Wispi (Rapat Penghabisan) mencoba merekam detail-detail peristiwa dan tokoh pemberontakan di Sumatera. Sugiarti Siswadi (Sukaesih) menafsir kisah pemberontakan Haji Hasan yang menolak menyerahkan hasil padinya pada Belanda di Garut, Jawa Barat. S. Anantaguna melalui cerpen Sel D mencatatkan kepedihan siksaan bagi tahanan PKI dalam sel terakhir sebelum dibuang ke Boven Digul. Kemudian T. Iskandar A.S. melanjutkan dengan menapaki jejak para pelarian Digul yang menyeberangi lautan menuju Australia dalam cerpen Dari Daerah Pembuangan. Dan A. Kembara melalui Kakek, menarik perspektif seorang cucu terhadap heroisme keluarga Marco yang memimpin sebuah pemberontakan. Nama tokoh dalam cerita ini mengingatkan pada Marco Kartodikromo, tokoh komunis yang berpena belati pada masanya.

Sementara itu Alifdal, Chalik Hamid, A. Kembara, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie, M.D. Ani, dan Z. Afif menganyam bait-bait puisi yang sarat dengan semangat perlawanan, dan menggugah keberanian. Puisi-puisi yang mereka tulis memuat jejak-jejak peristiwa dan tokoh seputar pemberontakan PKI 1926 itu pula. Mulai dari peristiwa Prambanan[1], pemberontakan di beberapa daerah, hingga tokoh revolusioner Ali Archam[2].

Melihat demikian rinci dan padatnya data yang terhimpun dalam karya-karya, patutlah kiranya memberikan penghargaan dan apresiasi atas upaya penerbitan beberapa cerpen dan puisi yang terserak di dalam dan luar negeri menjadi buku Gelora Api 26 oleh Ultimus ini. Keberadaannya menambah lagi satu referensi tentang Digul dari perspektif sastra. Imajinasi, keindahan bahasa, dan kemampuan para sastrawan itu merekam peristiwa-tokoh memberikan ruh pada laku sejarah yang didokumentasikannya.

Penerbitan buku-buku tipis seperti ini mengingatkan pada tradisi awal PKI berdiri, di mana buku menjadi alat propaganda dan pengkaderan partai, terutama teori-teori penopang jiwa partai. Maka dibutuhkan penyebaran wacana seputar teori ini. Pembelajaran pada kader memerlukan media yang bisa dipahami oleh kader di level terendah. Buku, menjadi pilihan utama bagi PKI sebagai media panduan pengkaderan dan penyebaran wacana.

Poestaka Ketjil Marxis, nama proyek ini, umumnya menerbitkan buku berukuran mungil, 10,5 x 14 cm, tipis saja antara 20-100 hlm, berisi teori dan panduan, dan disebar hingga kader terbawah partai. Aksi buku kecil ini pernah pula mendapat reaksi dari Front Anti Komunis yang berpusat di Bandung yang menerbitkan buku kecil sejumlah 32 halaman. Buku ini hanya 5 halaman saja yang berisi tentang PKI membela Negara asing, selebihnya mengatakan bahwa negara kapitalis itu demokratis, rakyatnya makmur, sementara negara sosialis tidak demokratis, rakyatnya sengsara.

PKI meluaskan gerakannya dengan mendirikan Jajasan Pembaruan pada Mei 1951 di Jakarta. Ini adalah sebuah lembaga penerbitan yang menjadi “mesin ilmiah” partai. Rata-rata menerbitkan 1 judul sepekan. Tahun pertama: Rentjana Konstitusi PKI, Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Pengantar Ekonomi Politik Marxis, Dimitrov Menggugat Fasisme, Tentang Ajaran2 dan Perjuangan Karl Marx, dan Bintang Merah (Jurnal). Penulis-penulis Indonesia yang pernah diterbitkan antara lain: Ir. Sukarno, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Mr. Jusuf Adjitorop, Nursuhud, Peris Pardede, J. Piry, Nungtjik. AR, Hutomo Supardan, Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, F.L. Risakotta, Sugiarti Siswadi, S. Rukiah Kertapati, Dhalia, Sobron Aidit, dan lain-lain.

PKI juga memiliki Biro Penerjemahan CC PKI yang diawasi langsung Ketua Aidit. Umumnya yang diterjemhkan adalah tulisan pemimpin kiri dunia, seperti Stalin, Mao Zedong, Maurice Thorez (Perancis), Paul de Groot (Belanda), Ajoy Gosch (India), dan lain-lain. Selain itu Bintang Merah sering memuat terjemahan sajak-sajak progresif maupun tulisan dari/tentang pengarang terkenal karya sastra dunia seperti Ilya Erenburg, Maxim Gorki, Martin Carter, Ho Chi Minh, dan sebagainya[3].

Sementara Lekra, sebagai organ yang secara ideologis sejalan dengan PKI (baca Lekra tak Membakar Buku tentang posisi Lekra-PKI ini), memiliki media propaganda sastra pula. Bagian Penerbitan Lekra didirikan tahun 1960 di Jakarta. Terbitan pertamanya adalah 4 buku puisi Sahabat (Agam Wispi), Pulang Bertempur (Sobron Aidit), Bukit 1211 (Rumambi, Sudisman, dan FL Risakotta), dan Lagu Manusia (Nikola Vaptsarov – diterjemahkan Risakotta, Agam Wispi, Walujadi Toer, dan Bintang Suradi). Setelah 2 tahun sudah menerbitkan 30 buku di antaranya karya sastra (pengarang Indonesia) 47%, 30 % terjemahan, 16% karya-karya musik, dan 7% ilmu. Puisi menandai diluncurkannya Badan Penerbitan Lekra dan menjadi satu-satunya buku yang dibawa delegasi sastrawan Indonesia untuk Konferensi Sastrawan Asia Afrika II di Kairo Lekra paling produktif melahirkan puisi ketimbang prosa-prosa lainnya. Puisi kemudian menjadi gaya politik elite-elite partai.

Kembali pada Gelora Api 26. Meski para sastrawan yang menulisnya cukup berjarak jauh dengan peristiwa pemberontakan 1926 (rata-rata mereka lahir tahun 30-an), namun ketika menulis, mereka tak kehilangan semangat zaman di saat peristiwa itu terjadi. Ini tak lepas dari prinsip-prinsip satrawan Lekra dalam berkarya. Mari menengok apa yang dihimpun Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Lekra Tak Membakar Buku tentang cara kerja satrawan Lekra.

Asas – Kombinasi – Metode 1-5-1

(1) Politik sebagai panglima

(5.1) Meluas dan Meninggi

(5.2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik

(5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner

(5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa

(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner

(1) Turun ke bawah

(1) Politik sebagai panglima

“Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali” (Joebaar Ajoeb, 1959)
“1001 kali seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mentjampuri seni dan seniman” (Amir Pasaribu, 1957)
“Djika kita menghindarinja (politik), kita akan digilas mati olehnja. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan sadjapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita. Politik adalah panglima!” (Njoto, 1959)
“Perkenankanlah saja mengemukakan: orang jang berkata ,,hai, djangan kamu berpolitik, karja senimu akan merosot, dia itu bisa kita samakan dengan seorang guru jang berkata ,,hai, djangan kamu olahraga, kau nanti bodoh. Menurut jang empunja cerita, tak lama kemudian guru itu mati dan dikubur hanja karena dia tak pernah berolahraga…” (Njoto, 1959

(5.1) Meluas dan Meninggi

Meluas diartikan sebagai kondisi atas kenyataan karya cipta Rakyat yang beragam, kaya, dan luas di pelbagai daerah dan di antara sukubangsa yang ribuan jumlahnya itu. (”Laporan Umum” Kongres Lekra I, Solo, 1959)
Meninggi diartikan bagaimana segi-segi budaya luas itu dihidupkan kembali dengan isi baru untuk kepentingan Rakyat dan Revolusi.
Jalan yang ditempuh untuk program “meninggikan” adalah jalan pendidikan dengan melatih tenaga-tenaga muda yang belum cukup terlatih tapi memiliki bakat dan kesanggupan.

(5.2) Tinggi mutu ideologi dan artistik

Seni mestilah berpihak. Bertendens.
“Mutu ideologi” diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi, sementara “mutu artistik” adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya. Keduanya harus dicapai setinggi-tingginya. Karena mutu ideologi yang diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi dalam kreasi tak mungkin dicapai tanpa disertai mutu artistik yang tinggi pula.
Isi yang jelek, politik reaksioner, jika didukung oleh bentuk yang artistik bisa menyembunyikan bentuk ketakreaksionernya; sebaliknya pun demikian, bahwa isi yang tepat, politik revolusioner, tidak didukung oleh bentuk yang artistik bisa menjadi jelek sebagai keseluruhan dan bisa menghasilkan interpretasi-interpretasi yang mengelirukan. (HR Bandaharo, 1965)

(5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner

Mengembankan “3 Baik”: (1) bekerja/berkarya baik; (2) belajar baik; (3) bermoral baik—”bukan berarti hub kelamin antara pria dan wanita tok, tetapi bertanggung jawab dalam pembentukan kejiwaan bangsa”.
“Kekinian Revolusioner” berarti menajamkan kepekaan atas perkembangan masa kini. Karena tugas seniman adalah memberi respons yang bersifat tanggap cepat atas situasi politik, ekonomi, sosial, dsb.

(5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa

Lekra menghormati kreativitas individual, namun bukan (kreativitas) individual yang—meminjam paragraf Pramoedya Ananta Toer: “… setiap orang hidup dalam alam jang penuh dengan penderitaan batin dan pesimisme; individu nampak dan merasa hidup dalam kesunjian, terapung-apung entah dimana, tidak ada kesempatan untuk berhati tulus dan ikhlas terhadap sesamanja, dan setiap orang nampak dan terasa sebagai keledai jang tak tahu kemana akan pergi, darimana ia datang, tetapi terus berdjalan, terus berdjalan, dengan beban berat dan sia2 pada tengkuknja”.
Kreativitas individual berguna bila di dalamnya ada komitmen sosial yang kuat.

(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner

Realisme sosial adalah realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme.
Wataknya: (1) militansi dan tak kenal kompromi dengan lawan seperti kapitalisme internasional dan komprador2nya dalam negeri; (2) membakar sumbu semangat pada Rakyat untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional—bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen tapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan, terutama memberanikan Rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.

(5.5) Turun ke bawah

Rambunya adalah “tiga sama”: (1) bekerja bersama; (2) makan bersama; (3) tidur bersama.
Turba mengharuskan sastrawan untuk tinggal di tengah-tengah Rakyat jelata, merasai denyut napas mereka. Dengan demikian, Turba boleh dibilang adalah pisau pemutus yang selama ini memisahkan kehidupan sastrawan dengan Rakyat.
Turba memperlihakan bagaimana Lekra tak ingin melihat sastrawannya mendiskusikan kemelaratan Rakyat dari kamar-kamar mewah berpendingin dan eksklusif atau menggambarkan derita Rakyat hanya dari rujukan buku-buku sosiologi.

Teranglah sudah mengapa cerpen-cerpen dan puisi-puisi dalam Gelora Api 26 tampak begitu dekat dengan kehidupan rakyat dan kaya akan data. Dalam karya-karya itu juga tercermin keberpihakan yang jelas secara ideologis. Nampak pula bahwa setiap sastrawan memiliki kesadaran ideologis yang tinggi.

Sastrawan Lekra tak semata berkarya dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data, turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra sebagai pisau.

Ciri-Ciri Umum Cerpen Lekra:

“Reportase” atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah. Nyaris tak ada cerpen-cerpen yang bertendensi takhayul, hantu-hantuan, mempermainkan atau mengolok-olok atau merendahkan agama atau keyakinan masyarakat, atau tema-tema abstrak dan “aneh” lainnya yang jauh dari perhubungan kondisi real masyarakat.
Tema-tema yg umumnya diusung: patriotisme, pengadilan kaum tani melawan tuan tanah, penegasan sikap pada partai, dialektika melawan trengginasnya kekuatan kapitalisme internasional dan feodalisme, kesadaran persatuan Rakyat, dan penghormatan atas perempuan.

Ciri Puisi Lekra

Respons cepat atas peristiwa penting sebagai ejawantah dari konsep: “pentjerminan kongkrit jang menjeluruh dari kehidupan dan aspek subjektif dari realitet (kemampuan)”
Puisi memikul tanggung jawab sosial dan tak boleh mengkhianati Rakyat.
Tak boleh hanya berhenti pada klangenan dan tangisan cengeng.
Puisi Lekra umumnya dideklamasikan.

Dari apa yang terurai di atas, saya pribadi sebagai bagian dari penulis muda, merasa sungguh malu akan karya-karya yang selama ini saya hasilkan. Tulisan-tulisan saya (yang mungkin juga banyak ditulis oleh kawan lain) kebanyakan saya tulis dari kamar yang nyaman dengan referensi dari buku para ahli dan internet. Sehingga apa yang saya tulis terkadang demikian jauh berjarak dengan realitas masyarakat di sekitar saya. Turba adalah hal yang asing.

Saya juga tidak menulis untuk sebuah tujuan tertentu yang sifatnya nasional, apalagi ideologis dan membangun kesadaran terhadap penindasan. Tidak ada tugas nasional yang saya pundaki dan saya rasakan sebagai sebuah kerja bersama dengan kawan-kawan penulis lain. Kami menulis dengan cara kami masing-masing untuk tujuan kami masing-masing, dan juga kesenangan, dan sekaligus keisengan kami sendiri. Ketika peristiwa demi peristiwa politik, sosial, ekonomi terjadi di negeri ini, bukannya merekam dalam karya yang saya lakukan, tapi muak dan menyingkir. Saya kemudian berpikir, lantas di mana kelak posisi saya sebagai penulis dalam sejarah bangsa ini?

Daftar Bacaan

Chamber-loir, Henry.2009. Sadur: Sejarah Terjemahan Di Indonesia Dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta

Bondan, Molly.2008. Spanning a revolution: Kesaksian eks Digul dan Pergerakan Nasional Indonesia, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Dahlan, Muhidin M, Rhoma Dwi Aria, 2008.Trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, Laporan dari Bawah. Merakesumba: Yogyakarta

Mona, Matu, 2010. Pacar Merah Indonesia: Peranan Tan Malaka dalam Berbagai Konflik Dunia, buku kedua, Beranda Publishing: Yogyakarta

Wispi, Agam dkk. 1965.Kepada Partai, Kumpulan Sandjak; Yayasan Pembaruan: Jakarta

[1] Konferensi CC PKI pada 25 Desember 1925 yang memutuskan pemberontakan 12 November 1926

[2] Ali Archam adalah pemimpin perjuangan PKI yang cukup disegani. Ia dipandang mampu menengahi pertikaian antar tapol mengenai status tahanan dan dukungan terhadap berbagai organisasi politik mereka. Ali meninggal karena tubercolosis, di atas kole-kole dalam perjalanan menuju rumah sakit di Tanah Merah, Digul. Ali dimakamkan dengan penghormatan besar. Di antara semua makam yang digali di Digul, hanya makamnya yang dibuat dengan baik. Nisannya dari marmer, tiang dan atapnya dari besi. Nama ini diabadikan menjadi nama akademi sosial dalam tubuh PKI, Akademi Sosial Aliarcham. (Molly Bondan, Spanning a revolution: Kesaksian eks Digul dan Pergerakan Nasional Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008, hal:214)

[3] Ibarruri Sudarsono, dalam Sadur, 2009, hlm. 703, 705

No comments: