SURABAJA
Oleh: Agam Wispi
Disadur dari: Kepada Partai, kumpulan sandjak; Yayasan Pembaruan,
Jakarta 1965. (Terima kasih kepada Perhimpunan Dokumentasi Indonesia
atas naskah puisi yang berharga ini)
tiap kita djumpa
surabaja
aku selalu remadja
gembira kepada kerdja
pasti kepada harapan
surabaja
laut dan kota
rata
surabaja bau keringat
bau kerdja
ketegarannja harum semerbak
dan malamnja malam bertjinta
deritanja
terisak-isak
dalam dengus napas
darah bergelora
tjemara bersiut
meliut semampai
wilo merunduk
merenung sungai
besok ke laut
dia akan sampai
tapi ini!
malam pelaut
buih hidup
jang menggapai!
surabaja
lebih remadja
dalam bantingan usia
kutjinta surabaja
sebab dia kota
kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
(djakarta? Term diganti impala!)
kusukai surabaja
sebab betja dan taman
ditepi kali
kubanggakan surabaja
sebab dia kota
berani
kusenangi surabaja
sebab kedjantanan bernjanji
kepahlawanan bergolak
dari kantjah-kantjah jang menggelegak
dan tahun-tahun kenangan
jang diwariskan
mogok pertama
buruh kereta api
zeven provincien
buruh pelabuhan dan pelaut
bersatu hari
disiram hudjan peluru
dan dentjing belenggu
rantai besi, bendera pertama
internasionalisme proletar
dipantjangkan
proklamasi ? sitiga-warna diturunkan
dan dalam pelukan sang saka
dipandjatkan kepuntjak perlawanan
kemudian
diantara serpihan bom
jang mengojak
dan kota jang
terbakar
terbakarlah semangat pertempuran
njalanja
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanja panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanja?
dan kita merebut
kedua-duanja!
djauh mengatasi segala
pekik pilu dan djerit sendu
ratapan kehilangan dan erang kesakitan
adalah bagai ibu jang melahirkan baji
jang kemudian memeluk dan menjusui
serta mengusap-usapnja dengan kesajangan kebahagiaan
disitu Hari Pahlawan
dilahirkan
kko pesiar
menunggu trotoar
kelasi-kelasi
melambaikan dasi
jang bernama kesenangan memperpandjang umurnja
maka itu djadi terlambat
tapi bus dan truk tidak menunggu
ajo, pulang djalan kaki!
tjinta sudah ketinggalan
ditembok-tembok kota
o, ketika kapal merapat lego djangkar
pelabuhan mengulurkan tangannja
dan lampu kota
mengerdipkan matanja
dan bus-bus kadet menderu
megah
dan di tundjungan sikadet melangkah
gagah
putih-putih
dan gadisnja dua
jang satu pedang jang satu wanita
dan si gadis punja mata kedjut pelita
dan si pedang punja mata gelegak darah mudah
si kadet djua permata dari lautan
bukan main!
namun adakah permata berkilau
tanpa sebersit tjahja mentjekau?
dan tiadalah angkatan perang
tak bertulang-punggung
kukuh
merekalah
kelasi dan pradjurit
darat laut udara
polisi
milisia dari rakjat pekerdja
tangan-tangan badja jang keras menghentam
tidak perduli bom nuklir
tapi tangan!
tangan jang menentukan
jang menghajunkan pedang kemenangan
selama di djantungnja
debur-mendebur
gelora repolusi
mengabdi rakjat pekerdja
sokoguru
buruh
tani
matahari tenggelam
di djembatan wonokromo
surabaja berdandan
bagi malam berdesau
tjemara
tjadar kota
jang disingkapkan
surabaja
napas merdeka
jang dipertaruhkan
pahlawan-pahlawan lahir
pada djamannja dan diukur
oleh pengabdiannja
kepada rakjat
dan hari depannja
djaman lampaupun berlalu
djaman baru datang
melahirkan pahlawan baru
namun pahlawan sebenarnja
hanja tumbuh dalam lumpur dan debu
pembesar-pembesar boleh bermatian
orang-orang besar boleh berlahiran
tenaga segar dari kepahlawanan
djuga sekarang
djika muda-mudi berperasaan
merasakan hidup sampai ke tulang-sumsumnja
dan jang tua-tua teguh
membatu karang oleh hempasan gelora
merekalah orangnja
dan kebanjakannja
tak bernama
merekalah petani jang dirampas tanahnja
kembali merebutnja dari setan-setan desa
mereka jang berdjuang membebaskan dirinja
dari belenggu perbudakan tanah
dan buruh-buruh pelabuhan buruh pabrik
jang beruntun-rutun pagi hari
berkilat-kilat oleh keringat
dan hitam oleh matahari
pengangkut pasir jang menunggu
perahu menghajut ke gunung sari
betja jang berkerumun di lubuk djalanraya
kko kelasi pradjurit
jang ingat kepada asalnja
pegawai-pegawai jang sadar kepada klasnja
(bukan pemabok karyawan jang mengingkari makan-gadji)
si miskin-kota jang kehilangan desanja
dan mengisi sudut-sudut gelap kota
dengan kerdap-kerdip pelita
petani-petani jang dirampok panennja
dan tepat menghidjaukan bumi, memerahkan tanah
pemuda peladjar mahasiswa jang membakar buku USIS*
dan mengusir setan-setan ilmu dari amerika imperialis
untuk mematahkan belenggu kebodohan
ratjun kemerdekaan jang berbungkus kenikmatan hampa
dan surabaja
berderap dalam tempik-sorak
meski bau tengik dan sarang malaria
sama banjak njamuk dan lalat dimana saja
tunggu! suatu hari pernjataan perang
djuga kepadamu!
disini ketegaran berkata sederhana
keras dan langsung kehulu-hatimu
jang sudah mati, ja sudah!
jang hidup sekarang, menjiapkan repolusi
dimana masing-masing beri djanji
merdeka atau mati!
bagi keringat kaum buruh
bagi tanah-tanah petani
bagi kepertjajaan kepada harapan
MANUSIA
ja, sekarang kita bertanja
sudahkan tanah bagi petani?
sudahkan keringat bagi kaum buruh?
jang sudah sedikit!
jang belum banjak!
menteri-menteri tetaplah turun naik
jang belum, kepingin djadi menterei
jang djelek, tak mau turun
jang baik, masih di podium
dan rakjat tetap menuntut: kabinet nasakom!
dan kabir-kabir main sunglap dengan peluru, wang, dan senjum
dengan tuantanah dan imperialis?
seketurunan! satu medja-makan dan sama-sama minum dan
pemimpin-pemimpin munafik menghamburkan budi ikut berteriak ganjang malaysia!
Berdiri di atas kaki sendiri!
kemak-kemik pantjasila, manipol, djarek, sukarnoisme
tapi main mata dengan modal monopoli
gudang ratjun komunisto-phobi
buruh phobi
tani phobi
partai phobi
imperialisme amerika? Tunggu dulu!
dan sardjana-sardjana membalik-balik bukunja
tapi tak mengenal aspirasi tanahairnya sendiri
dan seniman memabokkan diri dengan kepuasan murah
tak tahu kemelaratan dan kebangkitan rakjatnja sendiri
dan politikus mentjatut teori dengan ala indonesia
munafik-munafik ini mau melupakan sumbangan dunia
kepada sedjarah dan perdjuangan klas
sungguh, kekerdilan yang memalukan dan hina
adalah mereka jang mau menutup laut dengan telapak tangannja
laut daripada kebenaran perdjuangan klas
o, sudahkah keringat bagi kaum buruh?
sudahkah tanah bagi kaum tani?
jang menggarap!
jang menggarap!
jang menggarap!
betapa berbelit-belit
plintat-plintut
tapi adakah jang lebih tegas dari kebenaran?
sebab dia tak dapat digeser dari relnja repolusi?
abad-abad telah menjumbangkan lokomotip-lokomotip raksasa
jang menderu kentjang menembus belantara kegelapan
dengan perdjuangan klas dan repolusi
dengan marx, engels, dan lenin
dengan mau tje-tung, bung karno, dan aidit
dengan diri sendiri; rakjat tertindas
antara sabang dan sukarna-pura
di seluruh dunia dimana sadja
o, djanganlah hanja membaca hurup-hurup
tapi tak menangkap hakekat dan arti
o, djanganlah sungai lupa kepada laut
dan kemerdekaan tinggal abu tanpa api
sebab kami
surabaja
sudah banjak mati
sebab kepahlawanan sehari-hari
tidak pada jang sudah mati
berkata pemimpin besar repolusi
djaman ini djaman konfrontasi
pemimpin tengahan bitjara lain lagi
katanja: perdamaian universil dan konsepsi
dan perdamaian djadilah dewi ketjantikan
dan pedang kemerdekaan ditumpulkan
maka konsepsipun berlahiran diatas kertas
dan kertas-kertas berhamburan setjepat inflasi
mereka jang bekerdja dilaparkan oleh djandji
mereka jang malas berpikir tanpa batas
jang tak tahu ekonomi politik
mau bikin ekonomi politik
maka begitu naik djadi menteri
harga beras melambung tinggi
maka berkatalah rakjat suatu hari
bisa sekarang bisa nanti
stop!
mau konsepsi apa lagi?
kami sudah banting kemudi ke u.u.d empatlima
kami sudah bikin manipol dan nasakom
land reform dan dekon
ajo, konfrontasi
melawan tudjuh setan-desa
imperialis amerika
atau
sebelum roda ini melindas
minggir!
kami mau repolusi
kami mau buku dan pedang ditangan
kami mau tanah dan bedil dibidikkan
kami mau palu dan meriam didentumkan
kami mau pukat dan kapal-selam berkeliaran
kami mau indonesia
dan rakjatnya jang gesit berlawan
bagi repolusinya dan bagi dunianya
bagi dunia dan bagi repolusinya
dan surabaja
senatiasa remadja
dalam bantingan usia
berdjuang
beladjar
kerdja
kutjinta surabaja
dia kota kelasi
kurindukan surabaja
sebab trem berlari-lari
kusukai surabaja
betja dan taman ditepi kali
kubanggakan surabaja
kota berani mati
kusenangi surabaja
kedjantanan jang bernjanji
surabaja
menghadang pukulan
menghantam
bertubi-tubi
disini tjemara bersiut
meliuk semampai
dan wilo merunduk
merenung sungai
kelasi, djika besok kelaut
djangan lupa kepada pantai
Keterangan:
USIS adalah United States Information Service, aparatus
propagandanya Amerika Serikat untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya ke
negara-negara asing.
Showing posts with label Agam Wispi. Show all posts
Showing posts with label Agam Wispi. Show all posts
Monday, 14 February 2011
Gelora Api 26
Gelora Api 26
Laporan pembacaan buku Gelora Api 26: Kumpulan Cerpen dan Puisi (Ultimus, 2010, xxiv+108 hlm)
Oleh: Diana AV Sasa
“Sastrawan adalah mata, telinga, dan suara klasnya. Ia boleh djadi tak menjadari hal ini, namun ia adalah pantjaindera klasnja.” (Alexei Maximowitj Gorki)
Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda pada 12 November 1926 di Jawa, khususnya Banten dan Batavia dan merembet ke Jawa Tengah, ibarat bara api dalam sekam dan meledak dengan gelegar yang menghentak. Dua bulan berikutnya pemberontakan meletus pula di Sumatera Barat.
Pemberontakan yang berlangsung di kota yang berbeda-beda ini gampang betul dilumpuhkan. Sekejap. PKI dilarang dan ribuan pengikutnya dibuang ke pedalaman Papua yang ganas, Boven Digul. Namun sejarah telah mencatat bahwa peristiwa ini menjadi tonggak pemberontakan terbuka pertama di Indonesia yang dilakukan organisasi modern di bawah bendera partai.
Dan sejarah itu coba ditafsir ulang oleh sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) generasi yang dalam kategori genetika gerakan PKI, sejajar dengan generasi ketiga (Generasi pertama: 20-an, Kedua: 40-an, Ketiga: 60-an). Sebagian dari tafsir itulah yang terbingkai dalam Gelora Api 26.
Zubir AA (Sabotase), dan Agam Wispi (Rapat Penghabisan) mencoba merekam detail-detail peristiwa dan tokoh pemberontakan di Sumatera. Sugiarti Siswadi (Sukaesih) menafsir kisah pemberontakan Haji Hasan yang menolak menyerahkan hasil padinya pada Belanda di Garut, Jawa Barat. S. Anantaguna melalui cerpen Sel D mencatatkan kepedihan siksaan bagi tahanan PKI dalam sel terakhir sebelum dibuang ke Boven Digul. Kemudian T. Iskandar A.S. melanjutkan dengan menapaki jejak para pelarian Digul yang menyeberangi lautan menuju Australia dalam cerpen Dari Daerah Pembuangan. Dan A. Kembara melalui Kakek, menarik perspektif seorang cucu terhadap heroisme keluarga Marco yang memimpin sebuah pemberontakan. Nama tokoh dalam cerita ini mengingatkan pada Marco Kartodikromo, tokoh komunis yang berpena belati pada masanya.
Sementara itu Alifdal, Chalik Hamid, A. Kembara, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie, M.D. Ani, dan Z. Afif menganyam bait-bait puisi yang sarat dengan semangat perlawanan, dan menggugah keberanian. Puisi-puisi yang mereka tulis memuat jejak-jejak peristiwa dan tokoh seputar pemberontakan PKI 1926 itu pula. Mulai dari peristiwa Prambanan[1], pemberontakan di beberapa daerah, hingga tokoh revolusioner Ali Archam[2].
Melihat demikian rinci dan padatnya data yang terhimpun dalam karya-karya, patutlah kiranya memberikan penghargaan dan apresiasi atas upaya penerbitan beberapa cerpen dan puisi yang terserak di dalam dan luar negeri menjadi buku Gelora Api 26 oleh Ultimus ini. Keberadaannya menambah lagi satu referensi tentang Digul dari perspektif sastra. Imajinasi, keindahan bahasa, dan kemampuan para sastrawan itu merekam peristiwa-tokoh memberikan ruh pada laku sejarah yang didokumentasikannya.
Penerbitan buku-buku tipis seperti ini mengingatkan pada tradisi awal PKI berdiri, di mana buku menjadi alat propaganda dan pengkaderan partai, terutama teori-teori penopang jiwa partai. Maka dibutuhkan penyebaran wacana seputar teori ini. Pembelajaran pada kader memerlukan media yang bisa dipahami oleh kader di level terendah. Buku, menjadi pilihan utama bagi PKI sebagai media panduan pengkaderan dan penyebaran wacana.
Poestaka Ketjil Marxis, nama proyek ini, umumnya menerbitkan buku berukuran mungil, 10,5 x 14 cm, tipis saja antara 20-100 hlm, berisi teori dan panduan, dan disebar hingga kader terbawah partai. Aksi buku kecil ini pernah pula mendapat reaksi dari Front Anti Komunis yang berpusat di Bandung yang menerbitkan buku kecil sejumlah 32 halaman. Buku ini hanya 5 halaman saja yang berisi tentang PKI membela Negara asing, selebihnya mengatakan bahwa negara kapitalis itu demokratis, rakyatnya makmur, sementara negara sosialis tidak demokratis, rakyatnya sengsara.
PKI meluaskan gerakannya dengan mendirikan Jajasan Pembaruan pada Mei 1951 di Jakarta. Ini adalah sebuah lembaga penerbitan yang menjadi “mesin ilmiah” partai. Rata-rata menerbitkan 1 judul sepekan. Tahun pertama: Rentjana Konstitusi PKI, Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Pengantar Ekonomi Politik Marxis, Dimitrov Menggugat Fasisme, Tentang Ajaran2 dan Perjuangan Karl Marx, dan Bintang Merah (Jurnal). Penulis-penulis Indonesia yang pernah diterbitkan antara lain: Ir. Sukarno, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Mr. Jusuf Adjitorop, Nursuhud, Peris Pardede, J. Piry, Nungtjik. AR, Hutomo Supardan, Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, F.L. Risakotta, Sugiarti Siswadi, S. Rukiah Kertapati, Dhalia, Sobron Aidit, dan lain-lain.
PKI juga memiliki Biro Penerjemahan CC PKI yang diawasi langsung Ketua Aidit. Umumnya yang diterjemhkan adalah tulisan pemimpin kiri dunia, seperti Stalin, Mao Zedong, Maurice Thorez (Perancis), Paul de Groot (Belanda), Ajoy Gosch (India), dan lain-lain. Selain itu Bintang Merah sering memuat terjemahan sajak-sajak progresif maupun tulisan dari/tentang pengarang terkenal karya sastra dunia seperti Ilya Erenburg, Maxim Gorki, Martin Carter, Ho Chi Minh, dan sebagainya[3].
Sementara Lekra, sebagai organ yang secara ideologis sejalan dengan PKI (baca Lekra tak Membakar Buku tentang posisi Lekra-PKI ini), memiliki media propaganda sastra pula. Bagian Penerbitan Lekra didirikan tahun 1960 di Jakarta. Terbitan pertamanya adalah 4 buku puisi Sahabat (Agam Wispi), Pulang Bertempur (Sobron Aidit), Bukit 1211 (Rumambi, Sudisman, dan FL Risakotta), dan Lagu Manusia (Nikola Vaptsarov – diterjemahkan Risakotta, Agam Wispi, Walujadi Toer, dan Bintang Suradi). Setelah 2 tahun sudah menerbitkan 30 buku di antaranya karya sastra (pengarang Indonesia) 47%, 30 % terjemahan, 16% karya-karya musik, dan 7% ilmu. Puisi menandai diluncurkannya Badan Penerbitan Lekra dan menjadi satu-satunya buku yang dibawa delegasi sastrawan Indonesia untuk Konferensi Sastrawan Asia Afrika II di Kairo Lekra paling produktif melahirkan puisi ketimbang prosa-prosa lainnya. Puisi kemudian menjadi gaya politik elite-elite partai.
Kembali pada Gelora Api 26. Meski para sastrawan yang menulisnya cukup berjarak jauh dengan peristiwa pemberontakan 1926 (rata-rata mereka lahir tahun 30-an), namun ketika menulis, mereka tak kehilangan semangat zaman di saat peristiwa itu terjadi. Ini tak lepas dari prinsip-prinsip satrawan Lekra dalam berkarya. Mari menengok apa yang dihimpun Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Lekra Tak Membakar Buku tentang cara kerja satrawan Lekra.
Asas – Kombinasi – Metode 1-5-1
(1) Politik sebagai panglima
(5.1) Meluas dan Meninggi
(5.2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik
(5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner
(5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa
(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner
(1) Turun ke bawah
(1) Politik sebagai panglima
“Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali” (Joebaar Ajoeb, 1959)
“1001 kali seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mentjampuri seni dan seniman” (Amir Pasaribu, 1957)
“Djika kita menghindarinja (politik), kita akan digilas mati olehnja. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan sadjapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita. Politik adalah panglima!” (Njoto, 1959)
“Perkenankanlah saja mengemukakan: orang jang berkata ,,hai, djangan kamu berpolitik, karja senimu akan merosot, dia itu bisa kita samakan dengan seorang guru jang berkata ,,hai, djangan kamu olahraga, kau nanti bodoh. Menurut jang empunja cerita, tak lama kemudian guru itu mati dan dikubur hanja karena dia tak pernah berolahraga…” (Njoto, 1959
(5.1) Meluas dan Meninggi
Meluas diartikan sebagai kondisi atas kenyataan karya cipta Rakyat yang beragam, kaya, dan luas di pelbagai daerah dan di antara sukubangsa yang ribuan jumlahnya itu. (”Laporan Umum” Kongres Lekra I, Solo, 1959)
Meninggi diartikan bagaimana segi-segi budaya luas itu dihidupkan kembali dengan isi baru untuk kepentingan Rakyat dan Revolusi.
Jalan yang ditempuh untuk program “meninggikan” adalah jalan pendidikan dengan melatih tenaga-tenaga muda yang belum cukup terlatih tapi memiliki bakat dan kesanggupan.
(5.2) Tinggi mutu ideologi dan artistik
Seni mestilah berpihak. Bertendens.
“Mutu ideologi” diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi, sementara “mutu artistik” adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya. Keduanya harus dicapai setinggi-tingginya. Karena mutu ideologi yang diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi dalam kreasi tak mungkin dicapai tanpa disertai mutu artistik yang tinggi pula.
Isi yang jelek, politik reaksioner, jika didukung oleh bentuk yang artistik bisa menyembunyikan bentuk ketakreaksionernya; sebaliknya pun demikian, bahwa isi yang tepat, politik revolusioner, tidak didukung oleh bentuk yang artistik bisa menjadi jelek sebagai keseluruhan dan bisa menghasilkan interpretasi-interpretasi yang mengelirukan. (HR Bandaharo, 1965)
(5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner
Mengembankan “3 Baik”: (1) bekerja/berkarya baik; (2) belajar baik; (3) bermoral baik—”bukan berarti hub kelamin antara pria dan wanita tok, tetapi bertanggung jawab dalam pembentukan kejiwaan bangsa”.
“Kekinian Revolusioner” berarti menajamkan kepekaan atas perkembangan masa kini. Karena tugas seniman adalah memberi respons yang bersifat tanggap cepat atas situasi politik, ekonomi, sosial, dsb.
(5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa
Lekra menghormati kreativitas individual, namun bukan (kreativitas) individual yang—meminjam paragraf Pramoedya Ananta Toer: “… setiap orang hidup dalam alam jang penuh dengan penderitaan batin dan pesimisme; individu nampak dan merasa hidup dalam kesunjian, terapung-apung entah dimana, tidak ada kesempatan untuk berhati tulus dan ikhlas terhadap sesamanja, dan setiap orang nampak dan terasa sebagai keledai jang tak tahu kemana akan pergi, darimana ia datang, tetapi terus berdjalan, terus berdjalan, dengan beban berat dan sia2 pada tengkuknja”.
Kreativitas individual berguna bila di dalamnya ada komitmen sosial yang kuat.
(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner
Realisme sosial adalah realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme.
Wataknya: (1) militansi dan tak kenal kompromi dengan lawan seperti kapitalisme internasional dan komprador2nya dalam negeri; (2) membakar sumbu semangat pada Rakyat untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional—bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen tapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan, terutama memberanikan Rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.
(5.5) Turun ke bawah
Rambunya adalah “tiga sama”: (1) bekerja bersama; (2) makan bersama; (3) tidur bersama.
Turba mengharuskan sastrawan untuk tinggal di tengah-tengah Rakyat jelata, merasai denyut napas mereka. Dengan demikian, Turba boleh dibilang adalah pisau pemutus yang selama ini memisahkan kehidupan sastrawan dengan Rakyat.
Turba memperlihakan bagaimana Lekra tak ingin melihat sastrawannya mendiskusikan kemelaratan Rakyat dari kamar-kamar mewah berpendingin dan eksklusif atau menggambarkan derita Rakyat hanya dari rujukan buku-buku sosiologi.
Teranglah sudah mengapa cerpen-cerpen dan puisi-puisi dalam Gelora Api 26 tampak begitu dekat dengan kehidupan rakyat dan kaya akan data. Dalam karya-karya itu juga tercermin keberpihakan yang jelas secara ideologis. Nampak pula bahwa setiap sastrawan memiliki kesadaran ideologis yang tinggi.
Sastrawan Lekra tak semata berkarya dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data, turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra sebagai pisau.
Ciri-Ciri Umum Cerpen Lekra:
“Reportase” atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah. Nyaris tak ada cerpen-cerpen yang bertendensi takhayul, hantu-hantuan, mempermainkan atau mengolok-olok atau merendahkan agama atau keyakinan masyarakat, atau tema-tema abstrak dan “aneh” lainnya yang jauh dari perhubungan kondisi real masyarakat.
Tema-tema yg umumnya diusung: patriotisme, pengadilan kaum tani melawan tuan tanah, penegasan sikap pada partai, dialektika melawan trengginasnya kekuatan kapitalisme internasional dan feodalisme, kesadaran persatuan Rakyat, dan penghormatan atas perempuan.
Ciri Puisi Lekra
Respons cepat atas peristiwa penting sebagai ejawantah dari konsep: “pentjerminan kongkrit jang menjeluruh dari kehidupan dan aspek subjektif dari realitet (kemampuan)”
Puisi memikul tanggung jawab sosial dan tak boleh mengkhianati Rakyat.
Tak boleh hanya berhenti pada klangenan dan tangisan cengeng.
Puisi Lekra umumnya dideklamasikan.
Dari apa yang terurai di atas, saya pribadi sebagai bagian dari penulis muda, merasa sungguh malu akan karya-karya yang selama ini saya hasilkan. Tulisan-tulisan saya (yang mungkin juga banyak ditulis oleh kawan lain) kebanyakan saya tulis dari kamar yang nyaman dengan referensi dari buku para ahli dan internet. Sehingga apa yang saya tulis terkadang demikian jauh berjarak dengan realitas masyarakat di sekitar saya. Turba adalah hal yang asing.
Saya juga tidak menulis untuk sebuah tujuan tertentu yang sifatnya nasional, apalagi ideologis dan membangun kesadaran terhadap penindasan. Tidak ada tugas nasional yang saya pundaki dan saya rasakan sebagai sebuah kerja bersama dengan kawan-kawan penulis lain. Kami menulis dengan cara kami masing-masing untuk tujuan kami masing-masing, dan juga kesenangan, dan sekaligus keisengan kami sendiri. Ketika peristiwa demi peristiwa politik, sosial, ekonomi terjadi di negeri ini, bukannya merekam dalam karya yang saya lakukan, tapi muak dan menyingkir. Saya kemudian berpikir, lantas di mana kelak posisi saya sebagai penulis dalam sejarah bangsa ini?
Daftar Bacaan
Chamber-loir, Henry.2009. Sadur: Sejarah Terjemahan Di Indonesia Dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta
Bondan, Molly.2008. Spanning a revolution: Kesaksian eks Digul dan Pergerakan Nasional Indonesia, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Dahlan, Muhidin M, Rhoma Dwi Aria, 2008.Trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, Laporan dari Bawah. Merakesumba: Yogyakarta
Mona, Matu, 2010. Pacar Merah Indonesia: Peranan Tan Malaka dalam Berbagai Konflik Dunia, buku kedua, Beranda Publishing: Yogyakarta
Wispi, Agam dkk. 1965.Kepada Partai, Kumpulan Sandjak; Yayasan Pembaruan: Jakarta
[1] Konferensi CC PKI pada 25 Desember 1925 yang memutuskan pemberontakan 12 November 1926
[2] Ali Archam adalah pemimpin perjuangan PKI yang cukup disegani. Ia dipandang mampu menengahi pertikaian antar tapol mengenai status tahanan dan dukungan terhadap berbagai organisasi politik mereka. Ali meninggal karena tubercolosis, di atas kole-kole dalam perjalanan menuju rumah sakit di Tanah Merah, Digul. Ali dimakamkan dengan penghormatan besar. Di antara semua makam yang digali di Digul, hanya makamnya yang dibuat dengan baik. Nisannya dari marmer, tiang dan atapnya dari besi. Nama ini diabadikan menjadi nama akademi sosial dalam tubuh PKI, Akademi Sosial Aliarcham. (Molly Bondan, Spanning a revolution: Kesaksian eks Digul dan Pergerakan Nasional Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008, hal:214)
[3] Ibarruri Sudarsono, dalam Sadur, 2009, hlm. 703, 705
Laporan pembacaan buku Gelora Api 26: Kumpulan Cerpen dan Puisi (Ultimus, 2010, xxiv+108 hlm)
Oleh: Diana AV Sasa
“Sastrawan adalah mata, telinga, dan suara klasnya. Ia boleh djadi tak menjadari hal ini, namun ia adalah pantjaindera klasnja.” (Alexei Maximowitj Gorki)
Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda pada 12 November 1926 di Jawa, khususnya Banten dan Batavia dan merembet ke Jawa Tengah, ibarat bara api dalam sekam dan meledak dengan gelegar yang menghentak. Dua bulan berikutnya pemberontakan meletus pula di Sumatera Barat.
Pemberontakan yang berlangsung di kota yang berbeda-beda ini gampang betul dilumpuhkan. Sekejap. PKI dilarang dan ribuan pengikutnya dibuang ke pedalaman Papua yang ganas, Boven Digul. Namun sejarah telah mencatat bahwa peristiwa ini menjadi tonggak pemberontakan terbuka pertama di Indonesia yang dilakukan organisasi modern di bawah bendera partai.
Dan sejarah itu coba ditafsir ulang oleh sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) generasi yang dalam kategori genetika gerakan PKI, sejajar dengan generasi ketiga (Generasi pertama: 20-an, Kedua: 40-an, Ketiga: 60-an). Sebagian dari tafsir itulah yang terbingkai dalam Gelora Api 26.
Zubir AA (Sabotase), dan Agam Wispi (Rapat Penghabisan) mencoba merekam detail-detail peristiwa dan tokoh pemberontakan di Sumatera. Sugiarti Siswadi (Sukaesih) menafsir kisah pemberontakan Haji Hasan yang menolak menyerahkan hasil padinya pada Belanda di Garut, Jawa Barat. S. Anantaguna melalui cerpen Sel D mencatatkan kepedihan siksaan bagi tahanan PKI dalam sel terakhir sebelum dibuang ke Boven Digul. Kemudian T. Iskandar A.S. melanjutkan dengan menapaki jejak para pelarian Digul yang menyeberangi lautan menuju Australia dalam cerpen Dari Daerah Pembuangan. Dan A. Kembara melalui Kakek, menarik perspektif seorang cucu terhadap heroisme keluarga Marco yang memimpin sebuah pemberontakan. Nama tokoh dalam cerita ini mengingatkan pada Marco Kartodikromo, tokoh komunis yang berpena belati pada masanya.
Sementara itu Alifdal, Chalik Hamid, A. Kembara, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie, M.D. Ani, dan Z. Afif menganyam bait-bait puisi yang sarat dengan semangat perlawanan, dan menggugah keberanian. Puisi-puisi yang mereka tulis memuat jejak-jejak peristiwa dan tokoh seputar pemberontakan PKI 1926 itu pula. Mulai dari peristiwa Prambanan[1], pemberontakan di beberapa daerah, hingga tokoh revolusioner Ali Archam[2].
Melihat demikian rinci dan padatnya data yang terhimpun dalam karya-karya, patutlah kiranya memberikan penghargaan dan apresiasi atas upaya penerbitan beberapa cerpen dan puisi yang terserak di dalam dan luar negeri menjadi buku Gelora Api 26 oleh Ultimus ini. Keberadaannya menambah lagi satu referensi tentang Digul dari perspektif sastra. Imajinasi, keindahan bahasa, dan kemampuan para sastrawan itu merekam peristiwa-tokoh memberikan ruh pada laku sejarah yang didokumentasikannya.
Penerbitan buku-buku tipis seperti ini mengingatkan pada tradisi awal PKI berdiri, di mana buku menjadi alat propaganda dan pengkaderan partai, terutama teori-teori penopang jiwa partai. Maka dibutuhkan penyebaran wacana seputar teori ini. Pembelajaran pada kader memerlukan media yang bisa dipahami oleh kader di level terendah. Buku, menjadi pilihan utama bagi PKI sebagai media panduan pengkaderan dan penyebaran wacana.
Poestaka Ketjil Marxis, nama proyek ini, umumnya menerbitkan buku berukuran mungil, 10,5 x 14 cm, tipis saja antara 20-100 hlm, berisi teori dan panduan, dan disebar hingga kader terbawah partai. Aksi buku kecil ini pernah pula mendapat reaksi dari Front Anti Komunis yang berpusat di Bandung yang menerbitkan buku kecil sejumlah 32 halaman. Buku ini hanya 5 halaman saja yang berisi tentang PKI membela Negara asing, selebihnya mengatakan bahwa negara kapitalis itu demokratis, rakyatnya makmur, sementara negara sosialis tidak demokratis, rakyatnya sengsara.
PKI meluaskan gerakannya dengan mendirikan Jajasan Pembaruan pada Mei 1951 di Jakarta. Ini adalah sebuah lembaga penerbitan yang menjadi “mesin ilmiah” partai. Rata-rata menerbitkan 1 judul sepekan. Tahun pertama: Rentjana Konstitusi PKI, Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Pengantar Ekonomi Politik Marxis, Dimitrov Menggugat Fasisme, Tentang Ajaran2 dan Perjuangan Karl Marx, dan Bintang Merah (Jurnal). Penulis-penulis Indonesia yang pernah diterbitkan antara lain: Ir. Sukarno, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Mr. Jusuf Adjitorop, Nursuhud, Peris Pardede, J. Piry, Nungtjik. AR, Hutomo Supardan, Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, F.L. Risakotta, Sugiarti Siswadi, S. Rukiah Kertapati, Dhalia, Sobron Aidit, dan lain-lain.
PKI juga memiliki Biro Penerjemahan CC PKI yang diawasi langsung Ketua Aidit. Umumnya yang diterjemhkan adalah tulisan pemimpin kiri dunia, seperti Stalin, Mao Zedong, Maurice Thorez (Perancis), Paul de Groot (Belanda), Ajoy Gosch (India), dan lain-lain. Selain itu Bintang Merah sering memuat terjemahan sajak-sajak progresif maupun tulisan dari/tentang pengarang terkenal karya sastra dunia seperti Ilya Erenburg, Maxim Gorki, Martin Carter, Ho Chi Minh, dan sebagainya[3].
Sementara Lekra, sebagai organ yang secara ideologis sejalan dengan PKI (baca Lekra tak Membakar Buku tentang posisi Lekra-PKI ini), memiliki media propaganda sastra pula. Bagian Penerbitan Lekra didirikan tahun 1960 di Jakarta. Terbitan pertamanya adalah 4 buku puisi Sahabat (Agam Wispi), Pulang Bertempur (Sobron Aidit), Bukit 1211 (Rumambi, Sudisman, dan FL Risakotta), dan Lagu Manusia (Nikola Vaptsarov – diterjemahkan Risakotta, Agam Wispi, Walujadi Toer, dan Bintang Suradi). Setelah 2 tahun sudah menerbitkan 30 buku di antaranya karya sastra (pengarang Indonesia) 47%, 30 % terjemahan, 16% karya-karya musik, dan 7% ilmu. Puisi menandai diluncurkannya Badan Penerbitan Lekra dan menjadi satu-satunya buku yang dibawa delegasi sastrawan Indonesia untuk Konferensi Sastrawan Asia Afrika II di Kairo Lekra paling produktif melahirkan puisi ketimbang prosa-prosa lainnya. Puisi kemudian menjadi gaya politik elite-elite partai.
Kembali pada Gelora Api 26. Meski para sastrawan yang menulisnya cukup berjarak jauh dengan peristiwa pemberontakan 1926 (rata-rata mereka lahir tahun 30-an), namun ketika menulis, mereka tak kehilangan semangat zaman di saat peristiwa itu terjadi. Ini tak lepas dari prinsip-prinsip satrawan Lekra dalam berkarya. Mari menengok apa yang dihimpun Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Lekra Tak Membakar Buku tentang cara kerja satrawan Lekra.
Asas – Kombinasi – Metode 1-5-1
(1) Politik sebagai panglima
(5.1) Meluas dan Meninggi
(5.2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik
(5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner
(5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa
(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner
(1) Turun ke bawah
(1) Politik sebagai panglima
“Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali” (Joebaar Ajoeb, 1959)
“1001 kali seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mentjampuri seni dan seniman” (Amir Pasaribu, 1957)
“Djika kita menghindarinja (politik), kita akan digilas mati olehnja. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan sadjapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita. Politik adalah panglima!” (Njoto, 1959)
“Perkenankanlah saja mengemukakan: orang jang berkata ,,hai, djangan kamu berpolitik, karja senimu akan merosot, dia itu bisa kita samakan dengan seorang guru jang berkata ,,hai, djangan kamu olahraga, kau nanti bodoh. Menurut jang empunja cerita, tak lama kemudian guru itu mati dan dikubur hanja karena dia tak pernah berolahraga…” (Njoto, 1959
(5.1) Meluas dan Meninggi
Meluas diartikan sebagai kondisi atas kenyataan karya cipta Rakyat yang beragam, kaya, dan luas di pelbagai daerah dan di antara sukubangsa yang ribuan jumlahnya itu. (”Laporan Umum” Kongres Lekra I, Solo, 1959)
Meninggi diartikan bagaimana segi-segi budaya luas itu dihidupkan kembali dengan isi baru untuk kepentingan Rakyat dan Revolusi.
Jalan yang ditempuh untuk program “meninggikan” adalah jalan pendidikan dengan melatih tenaga-tenaga muda yang belum cukup terlatih tapi memiliki bakat dan kesanggupan.
(5.2) Tinggi mutu ideologi dan artistik
Seni mestilah berpihak. Bertendens.
“Mutu ideologi” diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi, sementara “mutu artistik” adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya. Keduanya harus dicapai setinggi-tingginya. Karena mutu ideologi yang diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi dalam kreasi tak mungkin dicapai tanpa disertai mutu artistik yang tinggi pula.
Isi yang jelek, politik reaksioner, jika didukung oleh bentuk yang artistik bisa menyembunyikan bentuk ketakreaksionernya; sebaliknya pun demikian, bahwa isi yang tepat, politik revolusioner, tidak didukung oleh bentuk yang artistik bisa menjadi jelek sebagai keseluruhan dan bisa menghasilkan interpretasi-interpretasi yang mengelirukan. (HR Bandaharo, 1965)
(5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner
Mengembankan “3 Baik”: (1) bekerja/berkarya baik; (2) belajar baik; (3) bermoral baik—”bukan berarti hub kelamin antara pria dan wanita tok, tetapi bertanggung jawab dalam pembentukan kejiwaan bangsa”.
“Kekinian Revolusioner” berarti menajamkan kepekaan atas perkembangan masa kini. Karena tugas seniman adalah memberi respons yang bersifat tanggap cepat atas situasi politik, ekonomi, sosial, dsb.
(5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa
Lekra menghormati kreativitas individual, namun bukan (kreativitas) individual yang—meminjam paragraf Pramoedya Ananta Toer: “… setiap orang hidup dalam alam jang penuh dengan penderitaan batin dan pesimisme; individu nampak dan merasa hidup dalam kesunjian, terapung-apung entah dimana, tidak ada kesempatan untuk berhati tulus dan ikhlas terhadap sesamanja, dan setiap orang nampak dan terasa sebagai keledai jang tak tahu kemana akan pergi, darimana ia datang, tetapi terus berdjalan, terus berdjalan, dengan beban berat dan sia2 pada tengkuknja”.
Kreativitas individual berguna bila di dalamnya ada komitmen sosial yang kuat.
(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner
Realisme sosial adalah realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme.
Wataknya: (1) militansi dan tak kenal kompromi dengan lawan seperti kapitalisme internasional dan komprador2nya dalam negeri; (2) membakar sumbu semangat pada Rakyat untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional—bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen tapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan, terutama memberanikan Rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.
(5.5) Turun ke bawah
Rambunya adalah “tiga sama”: (1) bekerja bersama; (2) makan bersama; (3) tidur bersama.
Turba mengharuskan sastrawan untuk tinggal di tengah-tengah Rakyat jelata, merasai denyut napas mereka. Dengan demikian, Turba boleh dibilang adalah pisau pemutus yang selama ini memisahkan kehidupan sastrawan dengan Rakyat.
Turba memperlihakan bagaimana Lekra tak ingin melihat sastrawannya mendiskusikan kemelaratan Rakyat dari kamar-kamar mewah berpendingin dan eksklusif atau menggambarkan derita Rakyat hanya dari rujukan buku-buku sosiologi.
Teranglah sudah mengapa cerpen-cerpen dan puisi-puisi dalam Gelora Api 26 tampak begitu dekat dengan kehidupan rakyat dan kaya akan data. Dalam karya-karya itu juga tercermin keberpihakan yang jelas secara ideologis. Nampak pula bahwa setiap sastrawan memiliki kesadaran ideologis yang tinggi.
Sastrawan Lekra tak semata berkarya dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data, turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra sebagai pisau.
Ciri-Ciri Umum Cerpen Lekra:
“Reportase” atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah. Nyaris tak ada cerpen-cerpen yang bertendensi takhayul, hantu-hantuan, mempermainkan atau mengolok-olok atau merendahkan agama atau keyakinan masyarakat, atau tema-tema abstrak dan “aneh” lainnya yang jauh dari perhubungan kondisi real masyarakat.
Tema-tema yg umumnya diusung: patriotisme, pengadilan kaum tani melawan tuan tanah, penegasan sikap pada partai, dialektika melawan trengginasnya kekuatan kapitalisme internasional dan feodalisme, kesadaran persatuan Rakyat, dan penghormatan atas perempuan.
Ciri Puisi Lekra
Respons cepat atas peristiwa penting sebagai ejawantah dari konsep: “pentjerminan kongkrit jang menjeluruh dari kehidupan dan aspek subjektif dari realitet (kemampuan)”
Puisi memikul tanggung jawab sosial dan tak boleh mengkhianati Rakyat.
Tak boleh hanya berhenti pada klangenan dan tangisan cengeng.
Puisi Lekra umumnya dideklamasikan.
Dari apa yang terurai di atas, saya pribadi sebagai bagian dari penulis muda, merasa sungguh malu akan karya-karya yang selama ini saya hasilkan. Tulisan-tulisan saya (yang mungkin juga banyak ditulis oleh kawan lain) kebanyakan saya tulis dari kamar yang nyaman dengan referensi dari buku para ahli dan internet. Sehingga apa yang saya tulis terkadang demikian jauh berjarak dengan realitas masyarakat di sekitar saya. Turba adalah hal yang asing.
Saya juga tidak menulis untuk sebuah tujuan tertentu yang sifatnya nasional, apalagi ideologis dan membangun kesadaran terhadap penindasan. Tidak ada tugas nasional yang saya pundaki dan saya rasakan sebagai sebuah kerja bersama dengan kawan-kawan penulis lain. Kami menulis dengan cara kami masing-masing untuk tujuan kami masing-masing, dan juga kesenangan, dan sekaligus keisengan kami sendiri. Ketika peristiwa demi peristiwa politik, sosial, ekonomi terjadi di negeri ini, bukannya merekam dalam karya yang saya lakukan, tapi muak dan menyingkir. Saya kemudian berpikir, lantas di mana kelak posisi saya sebagai penulis dalam sejarah bangsa ini?
Daftar Bacaan
Chamber-loir, Henry.2009. Sadur: Sejarah Terjemahan Di Indonesia Dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta
Bondan, Molly.2008. Spanning a revolution: Kesaksian eks Digul dan Pergerakan Nasional Indonesia, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Dahlan, Muhidin M, Rhoma Dwi Aria, 2008.Trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, Laporan dari Bawah. Merakesumba: Yogyakarta
Mona, Matu, 2010. Pacar Merah Indonesia: Peranan Tan Malaka dalam Berbagai Konflik Dunia, buku kedua, Beranda Publishing: Yogyakarta
Wispi, Agam dkk. 1965.Kepada Partai, Kumpulan Sandjak; Yayasan Pembaruan: Jakarta
[1] Konferensi CC PKI pada 25 Desember 1925 yang memutuskan pemberontakan 12 November 1926
[2] Ali Archam adalah pemimpin perjuangan PKI yang cukup disegani. Ia dipandang mampu menengahi pertikaian antar tapol mengenai status tahanan dan dukungan terhadap berbagai organisasi politik mereka. Ali meninggal karena tubercolosis, di atas kole-kole dalam perjalanan menuju rumah sakit di Tanah Merah, Digul. Ali dimakamkan dengan penghormatan besar. Di antara semua makam yang digali di Digul, hanya makamnya yang dibuat dengan baik. Nisannya dari marmer, tiang dan atapnya dari besi. Nama ini diabadikan menjadi nama akademi sosial dalam tubuh PKI, Akademi Sosial Aliarcham. (Molly Bondan, Spanning a revolution: Kesaksian eks Digul dan Pergerakan Nasional Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008, hal:214)
[3] Ibarruri Sudarsono, dalam Sadur, 2009, hlm. 703, 705
(Tak ada judul)
(Tak ada judul)
Oleh: Agam Wispi
Disadur dari: Kepada Partai, kumpulan sandjak; Yayasan Pembaruan,
Jakarta 1965. (Terima kasih kepada Perhimpunan Dokumentasi Indonesia
atas naskah puisi yang berharga ini)
dia jang lahir dalam kantjah perdjuangan
kini sudah besar dan mendjadi dewasa;
dia jang dibesarkan dalam dadung pertempuran
beribu-ribu gugur, namun berdjuta mengangkat pandjinja.
orang-orang munafik dan kerdil pikiran sia-sia mengintip rahasia:
mengapa sedjarah berpihak kepada klas jang paling muda?
mengapa komunisme kian merata, terudji, dan ditjinta?
dan bagi rakyat pekerdja, pedjuang proletariat ubanan tetap remadja?
siang bertukar malam dan malam berganti pagi
ribuan tahun manusia terbenam di lumpur perbudakan
dan di kegelapan pikiran itu marx dan engels memertjikkan api
dan di tiap negeri berkumandanglah lagu kebangkitan..
seorang egom mati di tiang-gantungan
seorang aliarcham tewas di tanah-buangan;
generasi baru datang, beladjar tentang keberanian dan kearifan
satu demi satu musuh dikalahkan dan satu demi satu direbut kemenangan.
marxisme-leninisme menemap perdjuangan kelas
dan perdjuangan klas menjemai marxisme-leninisme;
o, repolusi tjermelang, jang sedang disiapkan nasion-nasion tertindas
dalam abad ini djuga kita punahkan imperialisme.
pada hari ke-empat-puluh- lima
dia sudah besar dan dewasa;
diutjapkan atau tidak, rakyat pekerdja menjebut namanja
sederhana dan terang: Partai Komunis Indonesia
Oleh: Agam Wispi
Disadur dari: Kepada Partai, kumpulan sandjak; Yayasan Pembaruan,
Jakarta 1965. (Terima kasih kepada Perhimpunan Dokumentasi Indonesia
atas naskah puisi yang berharga ini)
dia jang lahir dalam kantjah perdjuangan
kini sudah besar dan mendjadi dewasa;
dia jang dibesarkan dalam dadung pertempuran
beribu-ribu gugur, namun berdjuta mengangkat pandjinja.
orang-orang munafik dan kerdil pikiran sia-sia mengintip rahasia:
mengapa sedjarah berpihak kepada klas jang paling muda?
mengapa komunisme kian merata, terudji, dan ditjinta?
dan bagi rakyat pekerdja, pedjuang proletariat ubanan tetap remadja?
siang bertukar malam dan malam berganti pagi
ribuan tahun manusia terbenam di lumpur perbudakan
dan di kegelapan pikiran itu marx dan engels memertjikkan api
dan di tiap negeri berkumandanglah lagu kebangkitan..
seorang egom mati di tiang-gantungan
seorang aliarcham tewas di tanah-buangan;
generasi baru datang, beladjar tentang keberanian dan kearifan
satu demi satu musuh dikalahkan dan satu demi satu direbut kemenangan.
marxisme-leninisme menemap perdjuangan kelas
dan perdjuangan klas menjemai marxisme-leninisme;
o, repolusi tjermelang, jang sedang disiapkan nasion-nasion tertindas
dalam abad ini djuga kita punahkan imperialisme.
pada hari ke-empat-puluh- lima
dia sudah besar dan dewasa;
diutjapkan atau tidak, rakyat pekerdja menjebut namanja
sederhana dan terang: Partai Komunis Indonesia
Perahu Pinisi Tak Boleh Merapat
Perahu Pinisi Tak Boleh Merapat
Agam Wispi
begitu cepat matahari tenggelam
kilau emasnya tinggallah tembaga
begitu cepat sarat muatan
perahu pinisi, daratan bagimu hanyalah duka
Makassar, 2 April 1964.
Agam Wispi
begitu cepat matahari tenggelam
kilau emasnya tinggallah tembaga
begitu cepat sarat muatan
perahu pinisi, daratan bagimu hanyalah duka
Makassar, 2 April 1964.
Menjelang Mendarat
Menjelang Mendarat
Agam Wispi
pulau-pulau jamrut cemerlang
memanggil dengan suara lantang berdentang
hasrat kuat akan kemerdekaan
dan berkelilingan kilau danau dengan laut terbentang
jam berapa pesawat melambai Menado ?
anakku, di atas awan kuingat kau
Makassar-Menado, 4 April 1964.
Agam Wispi
pulau-pulau jamrut cemerlang
memanggil dengan suara lantang berdentang
hasrat kuat akan kemerdekaan
dan berkelilingan kilau danau dengan laut terbentang
jam berapa pesawat melambai Menado ?
anakku, di atas awan kuingat kau
Makassar-Menado, 4 April 1964.
Menyusur Tondano
Menyusur Tondano
Agam Wispi
jip melambung berguncang-guncang
hadap-hadapan bukit, danau dan hutan
tenang kereta-kuda berderak memintas sawah
kusirnya petani muda yang ketawa dan gadis bersutera merah
menyusur danau jip berguncang-gucang
Tondano tak berteriak, bagai rumah tua yang ditinggalkan
dan kulik elang menjauh hilang
tapi petani itu mukanya riang mentertawakan:
jalan jelek ! sabarlah, kita baru habis perang
Agam Wispi
jip melambung berguncang-guncang
hadap-hadapan bukit, danau dan hutan
tenang kereta-kuda berderak memintas sawah
kusirnya petani muda yang ketawa dan gadis bersutera merah
menyusur danau jip berguncang-gucang
Tondano tak berteriak, bagai rumah tua yang ditinggalkan
dan kulik elang menjauh hilang
tapi petani itu mukanya riang mentertawakan:
jalan jelek ! sabarlah, kita baru habis perang
Kabaret
Kabaret
Agam wispi
baru terasa sudah di Jakarta waktu cecak merayap di dinding
menerkam nyamuk gemuk oleh darahku yang kemarin
salut cecak salam untukmu dari Eropa
baru kutahu yang tak berubah di Medan
berak cewok jongkok berdiri lagi sudah kepayahan
karena lutut sudah berkarat di makan kemanjaan
meski begitu kemanapun berjalan tercium harum durian
baru sadar berdiri di pinggir
ketika berdiri di jembatan bendungan hilir
melihat sungai membusuk airnya tak mengalir
manusiaku di sini apakah mereka memang punya tanah air
baru berkenalan dengan pemerasan yang diresmikan
ketika melayang-layang di jalan layang sang kuasa
jaman kuno sudah dimodernisasi kerakusan
tiap roda pedati harus bayar kalau mau lewat gapura
baru terbangkit semangat proklamasi
ketika di mega indonesia ada megawati
perempuan kaulah bunda kemerdekaan yang menderita
melahirkan pejuang dan bandit sama saja
baru terasa ada yang hilang di Jakarta yang kucinta
baru tahu patah tumbuh hilang berganti
melihat generasi baru menempuh jalannya sendiri
Agam wispi
baru terasa sudah di Jakarta waktu cecak merayap di dinding
menerkam nyamuk gemuk oleh darahku yang kemarin
salut cecak salam untukmu dari Eropa
baru kutahu yang tak berubah di Medan
berak cewok jongkok berdiri lagi sudah kepayahan
karena lutut sudah berkarat di makan kemanjaan
meski begitu kemanapun berjalan tercium harum durian
baru sadar berdiri di pinggir
ketika berdiri di jembatan bendungan hilir
melihat sungai membusuk airnya tak mengalir
manusiaku di sini apakah mereka memang punya tanah air
baru berkenalan dengan pemerasan yang diresmikan
ketika melayang-layang di jalan layang sang kuasa
jaman kuno sudah dimodernisasi kerakusan
tiap roda pedati harus bayar kalau mau lewat gapura
baru terbangkit semangat proklamasi
ketika di mega indonesia ada megawati
perempuan kaulah bunda kemerdekaan yang menderita
melahirkan pejuang dan bandit sama saja
baru terasa ada yang hilang di Jakarta yang kucinta
baru tahu patah tumbuh hilang berganti
melihat generasi baru menempuh jalannya sendiri
Who is Agam Wispi??
Agam Wispi
The poet Agam Wispi was born in Pangkalan Susu, North Sumatera in 1930. His father led Gezaksa, one of the most well-known theater troupes in Medan prior to World War II. Wispi grew up in this environment and from his youth had a close relationship with the arts. His first poem, Stained Freedom (which unfortunately can no longer be traced) was published in the newspaper Kerakyatan, a Medan daily led by Banda Matin. Agam later went on to work as a journalist and cultural editor at Kerakyatan.
While still working as a journalist in Medan, Bakrie Siregar introduced Agam to the progressive ideas of the People’s Cultural Organization, the Lembaga Kebudayaan Rakyat or LEKRA. From that time on, Agam’s writing was based upon those ideas. Later, in 1959, he became a formal member and manager at LEKRA.
Agam Wispi believes that his fate has been shaped by poetry. The publication of his first poem in Kerakyatan led to his position as the cultural editor of that newspaper. One of his subsequent poems, a poem about Bakbo Bay, Vietnam, further determined his fate. The poem was translated and published in a Vietnamese literary magazine, which consequently invited him to visit the country.
Over several months, Agam traveled throughout the countryside and had the opportunity to meet Ho Chi Min. It was this trip that finally delivered him to his fate as a political refugee when Indonesia’s political landscape experienced a sudden reversal.
When the September 30 movement (G30S) splintered, Agam Wispi was in Beijing attending celebrations of the Proclamation of the People’s Republic October 1, 1965. On that day, Agam heard of the bloody incident that had occurred in Jakarta the previous night. As a LEKRA member, Agam had no choice but to remain in Vietnam. Along with other LEKRA members who were attending Asia Africa Writer’s Conference, Agam Wispi was interned for five years in Nanking. His works from this period were compiled as Catatan Nanking.
Agam Wispi works include, among others “Repolusi”, “Dera dan Deru” (1957), “Demokrasi”, the poetry compilation Sahabat (1959), and a one-act drama, “Gerbong” (1958). Several of Agam’s poems were collected in the LEKRA works Dinasti 650 Juta (1961) and Yang Tak Terbungkamkan (1961). Since his exile in 1965, Agam Wispi has published several volumes of poetry, including Exile, Orang-orang yang Dilupakan and Kronologi in Memoriam. The collection Pulang was written when he was allowed to return to Indonesia in 1996.
The tragedy of 1965 separated Agam from his wife and five children, who have continued to live in Jakarta during his exile. Now at over seventy years of age, Agam lives in Amsterdam, The Netherlands, having become a Dutch citizen. Despite carrying a Dutch passport, Agam Wispi confesses that he is still an Indonesian.
Agam Wispi passed away on 1 Januari 2003 in Amsterdam, Netherlands.
The poet Agam Wispi was born in Pangkalan Susu, North Sumatera in 1930. His father led Gezaksa, one of the most well-known theater troupes in Medan prior to World War II. Wispi grew up in this environment and from his youth had a close relationship with the arts. His first poem, Stained Freedom (which unfortunately can no longer be traced) was published in the newspaper Kerakyatan, a Medan daily led by Banda Matin. Agam later went on to work as a journalist and cultural editor at Kerakyatan.
While still working as a journalist in Medan, Bakrie Siregar introduced Agam to the progressive ideas of the People’s Cultural Organization, the Lembaga Kebudayaan Rakyat or LEKRA. From that time on, Agam’s writing was based upon those ideas. Later, in 1959, he became a formal member and manager at LEKRA.
Agam Wispi believes that his fate has been shaped by poetry. The publication of his first poem in Kerakyatan led to his position as the cultural editor of that newspaper. One of his subsequent poems, a poem about Bakbo Bay, Vietnam, further determined his fate. The poem was translated and published in a Vietnamese literary magazine, which consequently invited him to visit the country.
Over several months, Agam traveled throughout the countryside and had the opportunity to meet Ho Chi Min. It was this trip that finally delivered him to his fate as a political refugee when Indonesia’s political landscape experienced a sudden reversal.
When the September 30 movement (G30S) splintered, Agam Wispi was in Beijing attending celebrations of the Proclamation of the People’s Republic October 1, 1965. On that day, Agam heard of the bloody incident that had occurred in Jakarta the previous night. As a LEKRA member, Agam had no choice but to remain in Vietnam. Along with other LEKRA members who were attending Asia Africa Writer’s Conference, Agam Wispi was interned for five years in Nanking. His works from this period were compiled as Catatan Nanking.
Agam Wispi works include, among others “Repolusi”, “Dera dan Deru” (1957), “Demokrasi”, the poetry compilation Sahabat (1959), and a one-act drama, “Gerbong” (1958). Several of Agam’s poems were collected in the LEKRA works Dinasti 650 Juta (1961) and Yang Tak Terbungkamkan (1961). Since his exile in 1965, Agam Wispi has published several volumes of poetry, including Exile, Orang-orang yang Dilupakan and Kronologi in Memoriam. The collection Pulang was written when he was allowed to return to Indonesia in 1996.
The tragedy of 1965 separated Agam from his wife and five children, who have continued to live in Jakarta during his exile. Now at over seventy years of age, Agam lives in Amsterdam, The Netherlands, having become a Dutch citizen. Despite carrying a Dutch passport, Agam Wispi confesses that he is still an Indonesian.
Agam Wispi passed away on 1 Januari 2003 in Amsterdam, Netherlands.
Sekuntum Bunga Untuk DNA Yang Dibunuh
Sekuntum Bunga Untuk DNA Yang Dibunuh
Oleh Agam Wispi
Sekuntum bunga
untuk dna
yang dibunuh
aku ingat sepatumu
yang usang capalan
namun matamu tak terbenam
ke sepatu usang yang capalan
tapi menelaah buku-buku
yang kemudian mengorbankan dirimu
karena buku-buku itu
menyuburkan cintamu
kepada rakyat pekerja
dan itu sepatu usang capalan
jadi rangkumanmu dalam sajak
itu huruf-huruf jadi palu dan bajak
menghayati kebangkitan
rakyat pekerja
ketika mereka menembakmu secara gelap
agar kebenaran tak boleh terbuka
kau telah membayar huruf-huruf dalam buku
dengan jiwa dan cinta yang gemerlap
sampai kini
juga di kemudian hari
dalam sejarah manusia beradap
kau tetap gemerlap
Amsterdam, 23 Mei 1990.
(« Sepatu usang » adalah salahsatu sajak DNA)
( Agam Wispi: Pemuda LEKRA yang meninggal di pembuangan )
Oleh Agam Wispi
Sekuntum bunga
untuk dna
yang dibunuh
aku ingat sepatumu
yang usang capalan
namun matamu tak terbenam
ke sepatu usang yang capalan
tapi menelaah buku-buku
yang kemudian mengorbankan dirimu
karena buku-buku itu
menyuburkan cintamu
kepada rakyat pekerja
dan itu sepatu usang capalan
jadi rangkumanmu dalam sajak
itu huruf-huruf jadi palu dan bajak
menghayati kebangkitan
rakyat pekerja
ketika mereka menembakmu secara gelap
agar kebenaran tak boleh terbuka
kau telah membayar huruf-huruf dalam buku
dengan jiwa dan cinta yang gemerlap
sampai kini
juga di kemudian hari
dalam sejarah manusia beradap
kau tetap gemerlap
Amsterdam, 23 Mei 1990.
(« Sepatu usang » adalah salahsatu sajak DNA)
( Agam Wispi: Pemuda LEKRA yang meninggal di pembuangan )
Beursplein Amsterdam 1990
Beursplein Amsterdam 1990
Oleh : Agam Wispi
untuk mahasiswa
di mana saja
di pasar bursa diperjualbelikan segala
Perut negara dan jantung bangsa bangsa
boleh tanya, dong : berapa sih harganya
satu kepala manusia di Indonesia?
Cendekiawan bilang : Orang dayak biadap memenggal kepala orang untuk
kejantanan
apakah diktator Indonesia itu biadap
Menghukum orang seumur hidup lalu di eksekusi
demi mempersolek kekuasaan?
dan itu ribuan mayat di sungai - sungai?
dan itu petani yang dirampas atau dibunuh?
dan itu berondongan peluru kepada muslim yang berdoa untuk demokrasi?
dan itu 1001 razia terhadap rakyat kecil di jalanan?
dan anak2 tapol yang ditindas meski tak tau apa dosa orang tuanya?
Bukankah mereka menenggelamkan kedung ombo
merampas cinta saidja dan adindauntuk dibikin tenggelam
berapa juta dollar harga kebiadapan
kalian di pasar bursa?
duapuluhtujuh juta gulden untuk enam orang
boleh tanya : berapa harga itu kemanusiaan?
dihalaman beurplein amsterdam
mereka yang mogok-makan
membela peradapan agar kemanusiaan
tidak dihina dan mati kelaparan
hangatkan tanganmu di api unggun keadilan
juga kau yang membubuhkan tanda tangan
guna menyelamatkan mereka yang akan dieksekusi
yang kehadiranmu adalah kehangatan nafas simpati
jika kau sampai di rumah dengan secangkir kopi dan koran pagi
jangan lupa kan nama mereka-mereka ini :
ruslan widjayasastra, sukatno, iskandar subekti, asep suryaman, i.
bungkus dan marsudi
kenangkan mereka guna di wariskan di tujuh turunan
tentang kebiadapan anjing-anjing gila
dan simpan jauh-jauh kedalam hatimu
(ingatkan kau, suami-istri rosenberg dihukum-mati
di atas korsi-listrik me carthy?
lalu jean-paul satre mengutuk dalam sajaknya:
......,jika anjing-anjing sudah menjadi gila!)
camkanlah: jika regu penembak berdiri
membunuh si enam orang
atau siapapun lagi
adalah peluru eksekusi membunuh keadilan
kemanusiaan dan demokrasi
cemerlang air kanal di tepi damrak
membersitkan wajah kalian yang akan dihukum-tembak
dan bagimu hatiku meronta duka
dan memberontak
Amsterdam, 12 April 1990.
Oleh : Agam Wispi
untuk mahasiswa
di mana saja
di pasar bursa diperjualbelikan segala
Perut negara dan jantung bangsa bangsa
boleh tanya, dong : berapa sih harganya
satu kepala manusia di Indonesia?
Cendekiawan bilang : Orang dayak biadap memenggal kepala orang untuk
kejantanan
apakah diktator Indonesia itu biadap
Menghukum orang seumur hidup lalu di eksekusi
demi mempersolek kekuasaan?
dan itu ribuan mayat di sungai - sungai?
dan itu petani yang dirampas atau dibunuh?
dan itu berondongan peluru kepada muslim yang berdoa untuk demokrasi?
dan itu 1001 razia terhadap rakyat kecil di jalanan?
dan anak2 tapol yang ditindas meski tak tau apa dosa orang tuanya?
Bukankah mereka menenggelamkan kedung ombo
merampas cinta saidja dan adindauntuk dibikin tenggelam
berapa juta dollar harga kebiadapan
kalian di pasar bursa?
duapuluhtujuh juta gulden untuk enam orang
boleh tanya : berapa harga itu kemanusiaan?
dihalaman beurplein amsterdam
mereka yang mogok-makan
membela peradapan agar kemanusiaan
tidak dihina dan mati kelaparan
hangatkan tanganmu di api unggun keadilan
juga kau yang membubuhkan tanda tangan
guna menyelamatkan mereka yang akan dieksekusi
yang kehadiranmu adalah kehangatan nafas simpati
jika kau sampai di rumah dengan secangkir kopi dan koran pagi
jangan lupa kan nama mereka-mereka ini :
ruslan widjayasastra, sukatno, iskandar subekti, asep suryaman, i.
bungkus dan marsudi
kenangkan mereka guna di wariskan di tujuh turunan
tentang kebiadapan anjing-anjing gila
dan simpan jauh-jauh kedalam hatimu
(ingatkan kau, suami-istri rosenberg dihukum-mati
di atas korsi-listrik me carthy?
lalu jean-paul satre mengutuk dalam sajaknya:
......,jika anjing-anjing sudah menjadi gila!)
camkanlah: jika regu penembak berdiri
membunuh si enam orang
atau siapapun lagi
adalah peluru eksekusi membunuh keadilan
kemanusiaan dan demokrasi
cemerlang air kanal di tepi damrak
membersitkan wajah kalian yang akan dihukum-tembak
dan bagimu hatiku meronta duka
dan memberontak
Amsterdam, 12 April 1990.
AGAM WISPI
AGAM WISPI
Sobron Aidit
Wis, kau sudah selesai
di tengah perjalanan panjang
yang terkadang tanpa ujung
entah kapan akan usai.
Wis, seperti kita sama tahu
suatu kesempatan itu betapa mahal
belum lagi orang-orang memandang
dari mana kita berasal.
Wis, kau betul-betul sudah selesai
biar sementara banyak teman
terus ke depan terus jalan
dengan tujuan akan sampai.
Wispi itu gilanya sama puisi
sama cinta terdalamnya pada istri
Wispi itu gilanya sama budaya-sastra
sama cinta terdalamnya pada keluarga.
Masih ingat Wis, kuberikan kau gelar
kataku, kaulah Pushkin muda
dengan kata-kata membeling runcing
tajam menggores luka
tapi juga berlemak
inti segala minyak
manis bermadu
inti segala tebu
kalau kau marah
hampir-hampir sejarah berubah
selamat jalan, Wis
berbaringlah - tidurlah - tenang istirah,-
--------Paris, 2 jan 02------------
Sobron Aidit
Wis, kau sudah selesai
di tengah perjalanan panjang
yang terkadang tanpa ujung
entah kapan akan usai.
Wis, seperti kita sama tahu
suatu kesempatan itu betapa mahal
belum lagi orang-orang memandang
dari mana kita berasal.
Wis, kau betul-betul sudah selesai
biar sementara banyak teman
terus ke depan terus jalan
dengan tujuan akan sampai.
Wispi itu gilanya sama puisi
sama cinta terdalamnya pada istri
Wispi itu gilanya sama budaya-sastra
sama cinta terdalamnya pada keluarga.
Masih ingat Wis, kuberikan kau gelar
kataku, kaulah Pushkin muda
dengan kata-kata membeling runcing
tajam menggores luka
tapi juga berlemak
inti segala minyak
manis bermadu
inti segala tebu
kalau kau marah
hampir-hampir sejarah berubah
selamat jalan, Wis
berbaringlah - tidurlah - tenang istirah,-
--------Paris, 2 jan 02------------
Penyair Mencari Sarang
Penyair Mencari Sarang
Agam Wispi
penyair mencari sarang ditepi kanal amsterdam
camar melayang meningglkan sarang digelisahkan air tenang
penyair dan camar sama-sama dikejar gelisah senja usia
penyair sarangmu adalah kata
camar gelisahmu matahari senja
terpaut perahu puisiku di kanal Belanda
mari reguk habis segelas bir
sebelum kata terakhir untuk berpisah
pulang ke rumah kubasuh muka
dan bersibak lalu menulis sajak
Agam Wispi
penyair mencari sarang ditepi kanal amsterdam
camar melayang meningglkan sarang digelisahkan air tenang
penyair dan camar sama-sama dikejar gelisah senja usia
penyair sarangmu adalah kata
camar gelisahmu matahari senja
terpaut perahu puisiku di kanal Belanda
mari reguk habis segelas bir
sebelum kata terakhir untuk berpisah
pulang ke rumah kubasuh muka
dan bersibak lalu menulis sajak
Pulang
Pulang
-catatan seorang penyair Indonesia di pengasingan-
dimana kau pohonku hijau
disini aku sudah jadi batu
hai perantau darimana kau
dari mana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu
wahai chairil apa kau masih disitu
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000
ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi
kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling
puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang
puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang
dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau
Karya: Agam Wispi
-catatan seorang penyair Indonesia di pengasingan-
dimana kau pohonku hijau
disini aku sudah jadi batu
hai perantau darimana kau
dari mana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu
wahai chairil apa kau masih disitu
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000
ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi
kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling
puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang
puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang
dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau
Karya: Agam Wispi
ELBE
ELBE
pernah Elbe muda
mandi darah
oleh batu arang
untuk perang
kini Elbe cerlang hitam
oleh batu arang
untuk kamar yang dipanaskan
kopi pagi atau sebentar koran
Bastei, 1 Juni 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
pernah Elbe muda
mandi darah
oleh batu arang
untuk perang
kini Elbe cerlang hitam
oleh batu arang
untuk kamar yang dipanaskan
kopi pagi atau sebentar koran
Bastei, 1 Juni 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
ELEND
ELEND
........Untuk Renate Schifferli
berlagu gadis kecil
harum dunia di wajahnya
akordeon di tangannya
dan lagunya?
di sini lembah derita
hanya tinggal nama
RĂ¼beland-Harz, 24 Juni 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
........Untuk Renate Schifferli
berlagu gadis kecil
harum dunia di wajahnya
akordeon di tangannya
dan lagunya?
di sini lembah derita
hanya tinggal nama
RĂ¼beland-Harz, 24 Juni 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
KOTA TUA
KOTA TUA
harmonika itu berderai ke langit
tiada perahu bagi venesia
boleh mimpi tak sampai-sampai
tapi di sinilah Venezia bersaudara
harmonika itu berderai ke sungai
Anak kecil berkaca di pinggirnya
biar perahu tiada, tegarnya kasih berjuntai
pada jembatan dipagut senja
harmonika itu berderai
walsa kota tua kembali muda
anak-anak berbesaran, jaka-gadis belai-membelai
sebab sudah luput Erfurt dari bencana
Erfurt, Juli 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
harmonika itu berderai ke langit
tiada perahu bagi venesia
boleh mimpi tak sampai-sampai
tapi di sinilah Venezia bersaudara
harmonika itu berderai ke sungai
Anak kecil berkaca di pinggirnya
biar perahu tiada, tegarnya kasih berjuntai
pada jembatan dipagut senja
harmonika itu berderai
walsa kota tua kembali muda
anak-anak berbesaran, jaka-gadis belai-membelai
sebab sudah luput Erfurt dari bencana
Erfurt, Juli 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
SAHABAT
SAHABAT
dua kali dimamah maut
oleh cinta hidup tertambat
baru berarti mereguk hidup
jika derita duka sahabat
Berlin, April 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
dua kali dimamah maut
oleh cinta hidup tertambat
baru berarti mereguk hidup
jika derita duka sahabat
Berlin, April 1959
Dari:
Sahabat pilihan sajak-sajak Agam Wispi, bagian penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta, 1959
BERDEBUR OMBAK BERDEBUR
BERDEBUR OMBAK BERDEBUR
berdebur ombak berdebur
Pulau Kayangan jauh ditengah
hancur hatiku hancur
jika nelayan tidak berumah
digunung dan hutan orang berperang
rakyat ditindas kepala dirampas
berapa lama kuasa darul-islam
tentara liar rakyat diperas?
bedebur ombak berdebur
Pulau Kayangan hanyut ditengah
hancur hatiku hancur
jika petani tidak bertanah
apa gunaya banyak jendral
jika petani tiada aman
apa arti tanda-jasa berjubal
jika manipol dibungkamkan
selagi noda dapat dihapus
agunglah Hasanuddin dan Diponegoro
jika derita nanti ditebus
rakyatlah hakim dan kau dihalau
berdebur ombak ke Pulau Kayangan
bermalam sorga silupa-daratan
hanjur teratak, perahu, kampung-halaman
penjudi politik bersarang di hutan
berdebur ombak berdebur
berdebur ombak berdebur
berdebur ombak berdebur
rakyatku, siaplah! giring mereka ke lobang kubur!
Makasar, 30 Maret 1964
berdebur ombak berdebur
Pulau Kayangan jauh ditengah
hancur hatiku hancur
jika nelayan tidak berumah
digunung dan hutan orang berperang
rakyat ditindas kepala dirampas
berapa lama kuasa darul-islam
tentara liar rakyat diperas?
bedebur ombak berdebur
Pulau Kayangan hanyut ditengah
hancur hatiku hancur
jika petani tidak bertanah
apa gunaya banyak jendral
jika petani tiada aman
apa arti tanda-jasa berjubal
jika manipol dibungkamkan
selagi noda dapat dihapus
agunglah Hasanuddin dan Diponegoro
jika derita nanti ditebus
rakyatlah hakim dan kau dihalau
berdebur ombak ke Pulau Kayangan
bermalam sorga silupa-daratan
hanjur teratak, perahu, kampung-halaman
penjudi politik bersarang di hutan
berdebur ombak berdebur
berdebur ombak berdebur
berdebur ombak berdebur
rakyatku, siaplah! giring mereka ke lobang kubur!
Makasar, 30 Maret 1964
Pertemuan Di Danau
Pertemuan Di Danau
Oleh : Agam Wispi
danau putih sajakpun putih di Toba tenggelam sepenggal kasih sampan telungkup aku berenang megap-megap ke tepi tapi menang apalah arti kalau indah hanya seperti buih acap mesiu mengantarku ke danau Maninjau dan kenangan melayah ke duniaku yang hijau sungguh, danau tiada lagi putih seremaja dahulu dan kebahagiaan hanya tergenggam bagi yang tahu jip mendaki dan menyusur danau Sentani Kota Baru meraih jauh, kami berlari-lari betapapun becermin rimbun daun dan akar berjuntai kemenangan yang remaja, padamu juga hari-tua melambai sampai aku di danau paling utara Tondano, dukamu tak bisa kulupa para lelaki tak pulang, entah mengapa aku terkenang pahlawan kebahagiaan mati di tanah buangan: Ali Archam dan di sini, diantar perjuangan yang pedih danau Batur, kubu dari lahar dan abu menyembur para turis kagum berpura sedih tapi rakyat itu dengan tangannya yang perkasa jalan bergandengan dan berjanji meski mengantar mayat ke kubur
(Kintamani, 26 April 1964)
Oleh : Agam Wispi
danau putih sajakpun putih di Toba tenggelam sepenggal kasih sampan telungkup aku berenang megap-megap ke tepi tapi menang apalah arti kalau indah hanya seperti buih acap mesiu mengantarku ke danau Maninjau dan kenangan melayah ke duniaku yang hijau sungguh, danau tiada lagi putih seremaja dahulu dan kebahagiaan hanya tergenggam bagi yang tahu jip mendaki dan menyusur danau Sentani Kota Baru meraih jauh, kami berlari-lari betapapun becermin rimbun daun dan akar berjuntai kemenangan yang remaja, padamu juga hari-tua melambai sampai aku di danau paling utara Tondano, dukamu tak bisa kulupa para lelaki tak pulang, entah mengapa aku terkenang pahlawan kebahagiaan mati di tanah buangan: Ali Archam dan di sini, diantar perjuangan yang pedih danau Batur, kubu dari lahar dan abu menyembur para turis kagum berpura sedih tapi rakyat itu dengan tangannya yang perkasa jalan bergandengan dan berjanji meski mengantar mayat ke kubur
(Kintamani, 26 April 1964)
Tinoor
Tinoor
Oleh: Agam Wispi
para lelaki sudah pergi atau mati yang kembali ketinggalan hati di tanah seberang di kota ramai pulangnya tak berarti kami yang meromok tinggal di sini tak lagi bisa bersedih dulu dari jaman kompeni para lelaki sudah pergi atau mati maka minumlah saguar, abang selagi singgah di sini dan gunung akan didaki pandanglah lembah menjemput lautan sebelum Menado ditinggalkan, mari bersenang mari bersenang – walau dilupakan
(Tondano, 8 April 1964)
Oleh: Agam Wispi
para lelaki sudah pergi atau mati yang kembali ketinggalan hati di tanah seberang di kota ramai pulangnya tak berarti kami yang meromok tinggal di sini tak lagi bisa bersedih dulu dari jaman kompeni para lelaki sudah pergi atau mati maka minumlah saguar, abang selagi singgah di sini dan gunung akan didaki pandanglah lembah menjemput lautan sebelum Menado ditinggalkan, mari bersenang mari bersenang – walau dilupakan
(Tondano, 8 April 1964)
Subscribe to:
Posts (Atom)