Sunday 20 February 2011

Ing Ratri

Ing Ratri



Namaku Vampira Suburbia. Gebyar gemerlap berikut semua cahaya kota besar yang menyala serentak di akhir tahun dan suasana pesta pora yang bisa dirasa di mana-mana meremajakan diriku sehingga tak menjadi tua-tua. Sebagai Nycteris javanica yang tergolong berukuran kecil dibanding makhluk sejenisnya, aku bisa terbang lebih leluasa, lebih bebas menjelajah ke mana-mana. Kini, aku memenuhi janjiku untuk menuju ke sebuah kota, yang pesonanya hanya bisa dijangkau oleh kenangan….

Begitulah, sebab dengan mata biasa-bukan mata Vampira Suburbia-apalah sebenarnya kota ini. Dia hanya sebuah kota kecil dengan pasar tumpah di jalan raya karena bangunan pasar yang telanjur menggusur rakyat tak kunjung jadi-jadi pembangunannya. Terminal angkutan kota menjadi pusat paling semrawut, menduduki pusat lama yang pada zamannya adalah pusat spiritualitas warga. Di manakah taman rinduku yang dulu, dengan pohon-pohon kenari dan sawo manila, atau juga kembang sepatu dan kana yang tumbuh di pinggir-pinggir parit berair jernih?

Tak semua ingatan mampu menembus alam kota fantasi. Di dekat situ ada gereja tua yang dulu terpencil seperti gunung tempat penyucian jiwa atau orang setempat menyebutnya “giri sonta”, tetapi kini tak ubahnya bangunan biasa di tengah kota. Ah, tetapi tunggu: ada juga yang belum terlalu berubah, yakni kapel tua di samping gereja, di mana dulu kami belajar berdoa.

Mempelai itu didudukkan di ujung kapel dengan pakaian tradisional Jawa. Mereka diapit pasangan lumayan tua, orangtua masing-masing mempelai. Burung sriti berkelebat, keluar dari kuda-kuda di langit-langit kapel. Aku terkesiap. Tak ada yang memperhatikan burung yang belebar-beleber terbang ke sana ke mari itu kecuali aku. Benar-benar belum berubah kapel ini….

Berapa tahun semua berlalu? Ayah mempelai wanita memelukku erat-erat. “Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” katanya dengan nada tersendat dan mata berkaca-kaca. Ia abaikan tamu-tamu lain yang antre hendak menyalaminya. Bahkan, dia keluar dari “kompartemen” yang dikhususkan untuknya, melangkah menuju pasangan yang berdiri beberapa meter darinya. “Ini tamu yang kita nanti-nanti, yang menghidupi mimpi seluruh warga kota…,” katanya mengenalkanku kepada anak perempuan dan menantunya.

Entah apa yang diucapkannya. Tak ada yang paham maksudnya. Hanya saja, apa pedulinya-sama seperti aku: apa peduliku? Aku-Vampira Suburbia-semata-mata tersedot ke alam mimpi….

Mata banyak orang boleh jadi memperhatikanku: wadag yang ditinggalkan roh yang tengah mengembara bersama burung sriti yang terbang di atas ruangan, sesekali sayap-sayapnya menyenggol tembok dan langit-langit karena mata sriti memang kurang awas di siang hari. Vampira Suburbia yang sangat sadar ruang dan waktu-ia meruang dan mewaktu di kota besar-kini seperti makhluk tolol. Ia linglung terpesona suasana kapel tua yang mengembalikan seluruh dirinya pada kota lama yang pernah dimilikinya.

Seseorang menepuk pundaknya. Vampira Suburbia kaget. Dia membalikkan badan, dan melihat lelaki menjelang tua yang terlihat jelas bagaimana mencoba memelihara penampilan, meski dengan cara sederhana. Lelaki itu mengenakan baju batik, sepatu mengilap habis disemir.

“Kamu pasti lupa dengan saya…,” ucap lelaki di depannya.

Bayang-bayang masa lalu berkelebatan di kepala tokoh kita. Ada yang bisa dia tangkap. “Tidak, aku tidak lupa. Kamu Fred…,” katanya.

Ya, Fred-satu dari sedikit Indo teman di masa lalu. Fred memeluk tak kalah erat dari ayah mempelai wanita sebelumnya. “Puji Tuhan…,” bisik Fred, lumayan membikin Vampira Suburbia terheran-heran. Kata itu, sejauh yang diingatnya, tak termasuk dalam perbendaharaan kata Fred di masa lalu. Waktu, memang telah mengubah segala-galanya. “Eric, Eric benar-benar telah berhasil mengumpulkan saudara-saudaranya…,” lanjut Fred penuh muatan rasa syukur.

Eric yang disebutnya adalah ayah mempelai wanita tadi. Indo atau blasteran juga-karena kota kami dulunya adalah kota pensiunan para pegawai Belanda. Itu salah satu keunikan yang bisa kuingat, sebelum zaman membuat semua hal meleleh, menjadi serba sama saja apa-apa di mana-mana. Fred bercerita, bagaimana Eric berjanji: pada pernikahan anaknya dia akan “mengumpulkan semua saudara-saudaranya”. Yang disebut “saudara-saudara” adalah teman-teman yang selama enam tahun bersama-sama menapaki sekolah dasar. Entah bagaimana, rupanya di antara kami, penggalan masa itu menjadi masa paling tidak terlupakan.

“Yang paling susah dicari adalah kamu,” ucap Fred. “Katanya, kamu telah menjadi siluman…,” tambahnya berseloroh.

Aku cuma tertawa.

“Kamu tetap muda, tak termakan usia,” kata Fred lagi. Khusus di sini-kalau itu merupakan pujian-maka pujian itu membuatku risi. Tiba-tiba aku merasa tubuh wadagku mengasingkanku.

“Namamu pun konon kamu ganti sehingga kami sulit sekali melacak kamu. Baru belakangan kami tahu bahwa yang punya nama seperti hantu itu adalah kamu, saudara kami di masa lalu.” Lagi-lagi Fred memeluk. “Kamu tahu, siapa yang di sana?” kata Fred sambil menunjuk suatu tempat, di mana tampak berdiri lelaki tua, kurus, berkumis panjang tak beraturan. Ketika lelaki itu tersenyum, tampak deretan gigi yang sebagian telah ompong.

Lelaki itu mendekat. Aku cuma menangkap getaran keakraban tanpa bisa mengingat siapa sebenarnya dia.

Hubungan roh mengatasi gejala wadag. Kubahasakan seluruh gerakku untuk menangkap keakrabannya. Dia tahu kalau aku lupa siapa dia. Fred tampak menikmati suasana ini.

“Dia Yik…,” kata Fred.

Aku serasa disambar petir. Yik, “pemimpin” kami di masa lalu. Dulu dia bertubuh paling besar di antara kami-apalagi dibanding aku, yang bertubuh paling kecil. Kini, aku serasa harus agak mengarahkan pandangan mataku ke bawah, karena dia sepertinya lebih pendek dariku. Benarkah pandanganku? Tubuhnya menjadi mengkeret dimakan waktu?

Ia menciumku. Aku tak bisa menyembunyikan keharuan. Dunia benar-benar tidak bergerak ke mana-mana. Dulu dialah yang menjadi “pelindung” teman-temannya. Sekilas aku teringat ketika kami berombongan berjalan kaki ke luar kota menempuh jarak puluhan kilometer, menjalani ajaran di sekolah agar kami berprihatin, berjalan kaki menuju goa di mana terdapat patung Santa Maria.

Dalam bayanganku muncul rawa sangat luas, rel kereta api di sampingnya yang kami susuri menuju kota dimaksud, gunung-gunung, bukit, dan persawahan. Aku teringat dia sebagai murid terbesar mengingatkan teman-temannya, mengulangi pesan guru agar kami berjalan sambil membisikkan doa Salam Maria. Yang tadinya kami enggan, sebagian dari kami barangkali waktu itu benar-benar mengucapkan doa, ketika di sawah di pinggir rawa melintas ular sawah yang seingatku ukurannya sangat besar. Sejak semula kami diingatkan, ketemu apa pun kami tidak boleh melakukan sesuatu kecuali berdoa. Barangkali waktu itu aku berdoa dengan wajah pucat….

“Hidupku berat, mencari uang untuk membesarkan anakku…,” kata Yik.

“Semua orang mencari uang, kalau tidak untuk anak, ya, untuk menghidupi diri sendiri,” tukasku.

Dia tertawa. “Sejak tadi aku sudah tahu bahwa yang kulihat itu pasti kamu. Kamu sama sekali tidak berubah. Kamu tetap kanak-kanak yang dulu,” katanya menepuk-nepuk pipiku.

“Kamu bekerja di mana?” tanyaku.

Dia menyebut tempat kerjanya, hotel paling mewah di ibu kota provinsi. “Dua puluh tahun aku bekerja di situ, tetap menjadi bell boy,” ujarnya sambil tertawa. Ia tiba-tiba melambaikan tangannya. Seorang dara remaja mendekat. “Ini anakku,” katanya. “Ayo, beri salam pada saudara Papa ini….”

Kuperhatikan wajah remaja ini. Sangat manis. Segala berkah bagi Yik: itulah dara ini. Dia agak malu ketika aku bukan hanya menangkap tangannya, tetapi memeluknya. Ternyata dia sudah mahasiswa, bukan siswa SMP seperti kuduga. Ia tersenyum-senyum, tak bisa menghindarkan diri dari apa yang barangkali dipandangnya sebagai “ketololan”, di sekelilingnya.

“Kamu jangan pulang dulu, jangan pulang dulu…,” Kata-kata itu kemudian kudengar dari siapa saja.

Ya, siapa ingin meninggalkan ini semua….

Namaku Vampira Suburbia, namun bagi lingkunganku kali ini tak ada yang peduli siapa atau hantu macam apa itu Vampira Suburbia-kelelawar yang dijaga keremajaannya oleh cahaya neon dan lampu-lampu kota besar. Kutinggalkan tubuh wadagku sebagai keluarga Microchiroptera, keluarga kelelawar pemakan apa saja, termasuk darah yang dilakukan oleh sejenisku, Desmodus rotundus alias vampir.

Rohku yang bergentayangan di antara celah-celah cahaya kota besar dan pernah menyatakan rela tersesat di kepalsuan dunia, kini merasa nyaman berada dalam kapel tua di mana dulu kami belajar berdoa. Aku teringat dinding-dinding gedeg sekolah kami di masa kanak-kanak dulu, di mana di pagi hari cahaya matahari menyusup lewat lubang-lubang kecil di dinding gedeg anyaman bambu itu, menjadikannya seperti bersitan panah-panah emas. Di situ, kalau tak salah, di akhir tahun seperti ini kami diajari menyanyikan kidung Ing Ratri. Di telingaku, mendadak terngiang lagu itu, dengan kata-katanya yang entah bagaimana bisa singgah di kepalaku secara persis:

“Ing ratri, dalu adi/Wus nendro donya sri/Kang wungu mung Brayat Mulya/Sumujud ngadhep kang Putra/Sare ing makanan, sare ing makanan….”

Saudara-saudara, kalau toh nanti tubuh wadag kelelawar Nycteris javanica ini kembali dihuni roh dan jiwa, maka penghuninya bukanlah roh yang mencari keremajaan diri lewat gemerlap cahaya kota besar, melainkan roh dari kapel tua dari kota kecil, dari sekolah di masa kanak-kanak yang berdinding gedeg, yang membisikkan kidung Ing Ratri yang teduh dan hening di malam Natal.

Jakarta, Desember 2003



Bre Redana

No comments: