Kabar dari Bambang
Dini (wartawati di kota ini) masuk ke sembarang tempat praktik dokter (sudah hampir jam sepuluh malam). Dini tidak bisa menanahan gatal, yang sudah menjadi bengkak di seluruh tubuhnya (dokter itu sebetulnya sudah menutup pintu ruang praktiknya).
“Tadi makan udang? Di pernikahan sahabat Anda, berarti alergi udang hindari makan itu, ini resepnya.”
“Saya tidak pernah alergi apa pun termasuk udang. O ya, saya harus mengejar deadline, dokter apa bisa hilang dalam berapa jam lagi?”
“Proses obat biasanya bekerja enam jam setelah diminum, sebaiknya Anda tidur dulu, besok saja mengetiknya.”
“Dokter, sebaiknya Anda memberi saya obat yang mahal, bukan generik, agar cepat sembuh! Saya mengejar deadline untuk berita besok!”
Dokter Bambang tersenyum.
Peristiwa ini diingat Dini pada saat ini, karena pada waktu itulah, dia pertama kali bertemu dengan Bambang (dia sudah menganggap lelaki yang lembut ini cocok menjadi jodohnya). Pertemuan berikutnya, begitu dicari-cari olehnya (waktu itu umurnya sudah 28 tahun). Mama mendesaknya berulang kali, agar secepatnya menikah! Hal itu, akhir-akhir ini memang sering dibicarakan, bukan saja oleh mama, juga oleh papanya yang bisanya tidak pernah membicarakan, “Saya kira ada banyak lelaki yang cukup akrab denganmu, mengapa tidak kamu pilih salah satu dari mereka?”
“Mengapa Papa serius, apakah Mama yang menyuruh Papa berkata begitu?”
“Tidak, saya kira sudah waktunya kamu memilih jodohmu. Kami suka sekali kepada Kemal, apakah tidak ingin serius dengannya?”
Dini membelalakkan mata, “Bagaimana mungkin, masih ada cerita Siti Nurbaya.”
Mama dari tadi diam, menyela pembicaraan mereka, “Kau tahu, adikmu Adit, sudah lama pacaran dan tadi orangtua pacarnya menelepon kami, menanyakan keseriusan adikmu. Kami tidak suka kamu didahului oleh adikmu. Sekarang pilih untuk dirimu sendiri atau kami yang memilihkan. Kau tahu, kami menyukai Kemal! Kami percaya di antara sekian teman laki-lakimu, dia bakal menjadi suami yang baik untukmu. Karena kau begitu keras kepala, sedang Kemal kelihatan bisa sabar kepadamu.”
Dini tercengang dan papanya bicara dari ujung meja sana, “Ini masalah pelik bagi kami. Hal itu tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Buat kami perempuan pada usia 28 tahun, belum menikah dan masih meniti karier bukan masalah. Tapi, ketika adik laki-lakimu akan menikah persoalannya tidak jadi sesederhana itu. Ini memang problem sosial. Kami tidak rela jika orang melihatmu dengan mata penuh kasihan, karena adik laki-lakimu menikah lebih dahulu.”
“Kalau adik mau menikah lebih dahulu, itu bukan masalah bagiku,” kata Dini hampir berteriak.
Mama memeluknya dan malam itu papa, mama, Dini berjalan ke sembaramg arah sampai larut malam!
Waktu itu, kenapa dia memilih Bambang. Dia tahu Bambang tidak memiliki teman dekat dan lelaki itu kelihatannya begitu lembut sekali meskipun kelewat sensitive (Dini tidak akan pernah suka lelaki yang dominan terhadap perempuan mana pun).
Setelah tiga bulan berteman dan jalan bersama, mereka menikah. Lantas, semuanya berjalan baik-baik saja. Mereka baru saja memiliki seorang bayi perempuan, yang matanya sebagus bapaknya.
MEREKA sudah menikah tiga tahun yang kadang-kadang mengherankan Dini, dia sering melihat suaminya sendirian di teras. Dini tidak pernah tahu apa yang membuat suaminya gelisah. Pernah ditanyakannya hal itu, tapi Bambang bilang dia cuma kepingin sendiri sesaat. Dini menghormati privasi suaminya, sepaham dengan pendapat mamanya bahwa suami-istri, masih butuh ruang pribadi yang tidak bisa dimasuki oleh pasangannya masing-masing.
Mereka masih suka ngobrol dengan topik yang melompat-lompat, tetapi tetap dengan interes yang sama. Bambang seorang pembaca koran yang sangat teliti pada bahasa, di sisi lain sebagai wartawati, Dini bisa keliru menuliskan atau mengeksplorasi sebuah bahasa dalam wacana.
Yang lainnya, seminggu dua kali Bambang memang praktik di luar kota, jaraknya 80 km dari kotanya. Bambang selalu bilang, “Bukankah kita bertemu pertama kali di kota itu dan rasanya, aku punya ikatan emosional dengan pasienku.”
Buat Dini itu bukan masalah, Bambang juga tidak pernah melarangnya bekerja, tugasnya sebagai wartawati juga sering berada di luar kota.
Hari ini, dia merasa ingin berbuat sesuatu untuk Bambang (hal yang tidak pernah dilakukan sejak mereka menikah). Dia ingin menata koper kecil, yang selalu dibawa Bambang untuk praktik di luar kota.
Dini merasa bermimpi yang sangat buruk! Dia menemukan di sela-sela jas-lab: baju perempuan berikut alat-alat make up. Seharusnya pada waktu itu, dia mengamuk. Namun, yang dilakukan Dini ingin menyelidiki dulu sebelum memutuskan perceraiannya dengan Bambang. Yang pasti, Bambang sudah berselingkuh dengan perempuan lain! Dia ingin tahu semodel apa perempuan yang bisa merebut hati Bambang (Dini merasa ada ledakan di hatinya). Dia akan bersaing dengan saingannya!
Setelah Bambang menutup praktiknya. Dini mengikuti mobil Bambang yang kini di parkir di sebuh kafe (pasti perempuan laknat itu sudah berada di sana). Apakah, Dini sedang bermimpi? Yang memakai baju perempuan dan wig itu adalah suaminya yang dengan kemayunya, tertawa bahagia bersama beberapa teman se-gengnya!
Dia tidak tahu bagaimana caranya, bisa pulang ke rumah. Cuma keasingan yang menyerbu dirinya dan matanya basah sendiri. Kalau saingannya perempuan, dia sudah menyusun strategi untuk mengalahkan saingannya. Jika, perempuan itu lebih cantik dari dirinya, dia akan mencari potensi yang ada dalam dirinya, dia tahu Bambang melihat kecerdasan adalah bagian yang indah dalam dirinya. Namun, saingannya bukan perempuan! Masalahnya lebih dahsyat dari itu. Bisa jadi, Bambang seorang biseks yang mencintai laki-laki lain. Bambang menangkap kesedihan itu dan berkata pelan, “Apakah, saya sudah menyakiti kamu? Saya tidak pernah ingin menyakiti istriku.”
Semalaman, Dini menangis tanpa bisa menjawab omongan Bambang. Tapi, apakah ini naluri kewartawanan? Dini mengikuti lagi Bambang keluar kota dan berharap itu cuma mimpi! Sebab yang terjadi, dengan bahagia Bambang duduk di pojok kafe memakai baju perempuannya, dia kelihatan begitu cantik! Lebih dari itu, di matanya yang indah terlihat binar-binar kebahagiaan.
Dini merasa limbung, dia ingin menampar Bambang dan memakinya habis-habisan. Dini kepingin segera bercerai. Tapi, ketika pulang ke rumahnya bayangan Bambang yang begitu bahagia tersebar di mana-mana dan tiba-tiba, dia ingat sebuah buku yang sering dianjurkan Bambang untuk membacanya, “Alangkah sulitnya kalau terjebak di tubuh laki-laki, sedang kita adalah perempuan.”
Dini mencoba untuk menghilangkan perasaan jijiknya kepada Bambang. Sebetulnya selama ini, sepanjang pernikahannya dengan Bambang, dia merasa punya sahabat dan seperti layaknya setiap persahabatan, jauh dari pamrih. Selama ini, dia menafsirkan hubungan mereka berdua sebagai simbol dari sebuah keluarga bahagia! Nyatanya ada sesuatu yang begitu salah dan dahsyat di balik itu. Kemarahan semakin tebal setiap hari sehingga sulit baginya untuk berbicara kepada siapa pun, juga pada mamanya (Padahal, dia selalu menceritakan tentang apa pun pada mamanya, juga keanehan-keanehan Bambang). Bodohnya, mereka tidak menganalisa lebih jauh kelakuan Bambang, padahal masalah ini tidak sesederhana itu.
Beberapa minggu berjalan dengan begitu meyedihkan. Dini merasa Bambang tidak bisa lagi jujur lagi! Sekalipun berulang-ulang Bambang berkata, “Saya juga bertemu dengan banyak manusia dan pengetahuan itu membuatku tahu kalau kau sekarang tidak bahagia.”
“Aku selalu ingat waktu pertama kali ketemu kau di ruang praktikku, aku merasa seperti ketemu adik perempuanku yang keras kepala, sensitive dan begitu cantik. Aku segera menyukai kamu.”
“Sebagai adik perempuanmu?”
Bambang menganggukkan kepalanya.
Dini merasa tertekan dan sulit bernapas, dia menampar Bambang berulang-ulang, “Kamu penipu kalau aku tahu kau seorang…, saya tidak pernah mau menikah dengan kau, ini sungguh menjijikkan dan Adnan sebagai pengacara yang akan mengurus perceraianku denganmu.”
Bambang menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bermaksud menipumu. Aku sebetulnya kepingin menjadi perempuan seperti kau, tapi keluargaku begitu mencintaimu! Berharap aku segera menikahimu sebagai laki-laki. Aku memang tidak pernah berani mengatakan siapa sebenarnya diriku sejak akte kelahiran, KTP, dan STTB bahkan namaku adalah laki-laki.”
Bambang menangis.
Lama mereka terdiam dan malam itu mereka memutuskan bercerai dengan baik-baik. Sebelum Bambang keluar dari kamar ini, dia berkata pelan, “Kau tahu temanmu yang suka mengantarmu kesini, menyukaimu! Aku selalu takut jika kau akan mendapat suami yang suka kasar kepadamu.”
Dini melihat, “Saya ingin tetap kau menjadi kakakku bukan saja demi anak kita tapi juga demi aku, kau tahu aku tidak pernah bisa care pada orang lain.”
Bambang tersenyum dan menciumnya sekilas.
Beberapa hari kemudian, dia mendapat surat dari Bambang.
Dini, yang saya sayangi,
Saya memutuskan untuk pindah Negara dan saya sangat bahagia sekali karena kau bisa menerima aku seutuhnya dan kau berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada anak kita sampai dia dewasa. O ya, pada sahabatku dokter Kemal (aku tahu dia menyukaimu) aku perlu menceritakan semua tentang kita….
Dini yang baik,
Maaf, aku sudah mengatakan pada Kemal, aku akan merasa bahagia jika dia mau menikahi kau. Mudah-mudahan sebagai kakakmu keinginan ini wajar dan didengar oleh Tuhan. Beberapa tahun yang lampau, bukankah kau dijodohkan dengan Kemal, tapi kau merasa harga dirimu terbanting dan kau juga merasa dirimu Siti Nurbaya yang harus kawin paksa.
My dearest, Dini.
Aku sendiri akan pergi dari satu negeri ke negeri yang lain dan mencoba mengerti tentang diriku sendiri. Berharap di tempat lain akan kutemukan sebuah tempat dimana aku bisa diterima seutuh-utuhnya. Aku selalu ingat kau sebagai perempuan yang aku sayangi dan tentu saja aku akan tetap menyayangi anak perempuanku.
Salamku.
Kadang-kadang Bambang masih mengirim e-mail kepadanya dan setiap menerima surat Bambang dia merasa seperti menerima surat dari orang yang menyayanginya. Dia bayangkan Bambang (yang disayanginya) mengembara dari negeri satu ke negeri yang lain mencari jati dirinya. Dan mencari tempat yang lebih baik, bukan saja bagi dirinya, bisa jadi juga untuk Dini dan anaknya (Dini selalu sedih membaca e-mail-nya).
Akhirnya, Dini menelepon Kemal dan semuanya seperti sudah direncanakan, Dini menikah dengan Kemal!
Sore itu, anak kedua dari hasil pernikahannya dengan dokter Kemal, lahir!
Dini ingin sekali Bambang tahu hal ini!
Malang, Januari-Mei 2003
Ratna Indraswari Ibrahim
No comments:
Post a Comment