Kota Tiga Kota
Baiklah kita kembali ke kota itu, kota yang menurut pendapat Anda, menurut pendapat siapa pun yang pernah mengunjunginya, merupakan kota yang unik. Kota itu dipagari oleh tiga gunung, dialiri oleh tiga sungai, dan dapat dicapai dari tiga kota yang salah satunya ibu kota provinsi. Bila kita lihat di peta, tiga kota yang mengelilingi kota itu kalau dihubungkan dengan garis-garis, akan persis segitiga sama kaki dengan ibu kota provinsi titik terjauhnya. Dan tiga sungai itu, walau tak persis, juga berbentuk kerucut yang menyatu pada satu titik di pinggir kota, lalu menjelma jadi sungai lebar yang setelah meliuk jauh ke mana-mana akhirnya juga bermuara di ibu kota provinsi. Memang, ibu kota provinsi adalah kota pelabuhan.
Menurut dugaan Anda, atau menurut dugaan siapa pun, tentulah dari kota pelabuhan itu nenek moyang penduduk kota yang dikelilingi tiga kota itu (baiklah kini kita sebut kota Tiga Kota, karena memang demikianlah orang-orang kemudian menyebutnya), dulu, berasal. Tetapi dugaan itu keliru. Menurut penduduk kota Tiga Kota, nenek moyang mereka bukan datang dari laut lalu naik ke darat, melainkan sebaliknya: dari puncak salah satu gunung, turun, kemudian menetap dan membangun kota Tiga Kota. Turun dari puncak gunung? Aneh, pikir Anda, seraya menduga penduduk kota Tiga Kota mungkin beranggapan mereka keturunan dewa. Tetapi tidak, kata mereka. “Nenek moyang kami manusia biasa. Hanya saja, ketika pertama mencecahkan kaki di daratan ini, masa itu laut masih begitu luas dan daratan masih begitu sempit.”
Apakah maksud mereka? Anda, atau orang-orang, masih bingung ketika itu. Tetapi mereka, seraya tersenyum kemudian melanjutkan, “Daratan ini, atau tepatnya pulau ini, masa itu masih berupa tiga gundukan kecil. Puncak-puncak gunung itu.”
“Oh, Nuh,” kata Anda mulai mengerti. “Saat banjir besar itu heh?”
“Apa itu banjir besar?” Mereka masih tersenyum, tapi kini terkesan bagai meremehkan. “Setelah nenek moyang kami berlabuh di puncak gunung, barulah daratan mulai melebar, dan laut surut.”
“Oo, itu artinya datang dari laut juga.”
“Tidak. Beda. Maksud kami, setelah kota ini dibangun barulah orang-orang entah siapa itu, pelaut-pelaut yang entah datang dari mana dan mulanya menetap di kota pelabuhan, naik kemari. Mereka tinggal mendapati kota yang telah jadi. Sebuah kota dengan kebudayaan lebih tua. Lebih tinggi. Lihatlah,” dan penduduk kota Tiga Kota itu pun menyebut dan menunjukkan berbagai peninggalan, bekas-bekas gedung, bangunan, reruntuhan menara yang tak terkira umurnya. Dan satu yang istimewa, hampir di setiap tempat di penjuru kota, tertanam batu besar seukuran orang dewasa dengan bagian atas yang melengkung seperti sebentuk kepala yang menunduk. Batu-batu itu, kata mereka mengutip pendapat beberapa ahli, berasal dari masa yang lebih tua dari zaman Batu Tua….
Terasa agak berlebihan, memang, cara penduduk kota Tiga Kota memperkenalkan kota mereka. Tetapi, memang pula, hal-hal demikian itulah yang membuat kota Tiga Kota sebagaimana pendapat Anda menjadi unik, menarik, dan membuat orang selalu ingin kembali berkunjung dan berkunjung lagi. Tiga gunung, tiga sungai, pemandangan hijau sejuk ke ketinggian, hamparan hijau lembut ke kerendahan, betapa menyegarkan. Kabut yang perlahan merendah mencecah di kala pagi, cahaya merah keperakan yang menghunjam menyibak saat muncul matahari, ah, membuat kota Tiga Kota tak ubahnya bagai kota khayal yang tiba-tiba tersingkap ke luar dari ilusi. Dan monumen itu. Bekas-bekas bangunan. Reruntuhan gedung dan menara. Dan batu-batu itu.
Batu-batu itu, batu-batu seukuran orang dewasa dengan bagian atas yang melengkung seperti sebentuk kepala yang menunduk itu, sebenarnyalah, harus diakui merupakan daya tarik utama. Dalam kebekuannya, dalam sebentuk kepala yang menunduk, bagai terpendam rahasia. Menandai apakah batu-batu itu? Kenapa tersebar di mana-mana? Dan, hal yang juga aneh yang baru disadari orang-orang kemudian adalah bahwa keseluruhan batu, kepala-kepala yang menunduk itu, ternyata menghadap ke arah yang sama: ke salah satu gunung di mana nenek moyang penduduk kota Tiga Kota pertama berlabuh.
Tentu banyak dugaan tentang asal-muasal batu-batu itu. Tetapi yang paling bisa diterima adalah kemungkinan bahwa batu-batu itu pada masanya merupakan tanda bagi makam, semacam nisan. Pernah ada seorang ahli berniat ingin membongkar tanah di bawah salah satu batu untuk membuktikan, tetapi penduduk kota Tiga Kota keberatan. Maka, sampai kini, batu-batu itu tetaplah merupakan misteri. Maka, bila ada pengunjung berkeliling mengamati batu-batu, benak si pengunjung akan tetap dikecamuki berbagai pertanyaan. Tetapi, suatu hari, sejumlah pengunjung dikejutkan oleh suara seperti jeritan. Ataukah itu tangisan?
Mulanya jeritan (atau tangisan) itu, entah kenapa, mereka duga berasal dari dalam batu. Mungkin karena samarnya- terdengar antara ada dan tiada, atau mungkin pula karena pikiran mereka tengah dipenuhi dugaan yang macam-macam tentang batu-batu. Tetapi setelah mendengar lebih cermat, kelompok pengunjung itu menyadari suara itu berasal dari tempat lain. Warna suaranya juga lebih jelas: kanak-kanak. Jerit atau tangis kanak-kanak.
Memang, ada beberapa rumah di sekitar situ. Dan jerit atau tangisan itu tentulah berasal dari salah satu rumah. Mungkin seorang ayah tengah memarahi anaknya. Mungkin seorang anak tengah merajuk atau bertingkah kepada ibunya. Tetapi jeritan itu, “Aaaaaa,” terdengar panjang dan bertalu.
Walau ada yang merasa ganjil, mereka pun segera melupakan dan mengembalikan perhatian ke batu-batu. Adalah biasa seorang anak menjerit menangis dimarahi ayahnya. Adalah biasa seorang anak merajuk bertingkah kepada ibunya….
Memang biasa seorang anak menjerit menangis dimarahi ayahnya, memang biasa pula seorang anak merajuk bertingkah kepada ibunya. Tetapi apa yang mereka dengar saat itu, tidaklah tepat seperti yang mereka bayangkan. Tak ada ayah yang marah. Juga tak ada ibu yang berhadapan dengan anak yang merajuk dan bertingkah. Apa yang terjadi pada salah satu rumah di dekat mana sekelompok pengunjung tengah asyik mengamati batu-batu, tak lain, adalah hanya seorang anak lelaki lima tahunan yang tengah diajari ayahnya mengenal abjad; melafalkan huruf-huruf.
“Ce.”
“Ceee.”
“Ka.”
“Kaaa.”
“A.”
“Aaaaa.”
Memang begitulah penduduk kota Tiga Kota amat peduli pada pendidikan. Mereka sadar betul berasal dari zaman yang lebih maju, dan karenanya harus memperlihatkan tradisi itu. Anak-anak, di usia lebih dini, sedapatnya sudah harus bisa membaca. Dengan demikian mereka akan lebih cepat mengenal dunia.
“De.”
“Deee.”
“O.”
“Oooo.”
“A.”
“Aaaaaa.”
Tetapi belakangan, memang, ada yang sedikit ganjil. Setelah si orangtua mengenalkan dan menunjuk berbagai huruf lalu kembali ke huruf a, si anak akan serta-merta menyambut, “Aaaaaa.” Pelafalan yang panjang-berbeda dari huruf-huruf lain, sepintas kelihatan bergairah, tetapi terdengar jauh, dalam, dan bertalu. Suara itulah yang terdengar oleh sekelompok pengunjung yang tengah asyik mengamati batu-batu waktu itu.
Tak seorang pun orangtua serius memperhatikan, bahkan walau saat mereka tahu seluruh kanak-kanak yang belajar melafalkan huruf berlaku begitu. Bahkan ketika seorang anak dalam tidurnya tiba-tiba menjerit, “Aaaaaa!”, seorang ayah masih menganggap anaknya tak lebih cuma bermimpi, mimpi melafalkan huruf a yang entah kenapa oleh anaknya begitu digandrungi. Tetapi, ketika jeritan “Aaaaaa” itu benar-benar terdengar seperti tangis, tangis yang begitu sedih begitu pilu, si ayah pun mulai merasa ada sesuatu. Apalagi ketika si ayah kemudian tahu bahwa bukan hanya anaknya yang mengigau seperti itu. Tetapi seluruh kanak-kanak kota Tiga Kota, yang hampir setiap pagi, setiap sore, saat pergi atau pulang kerja menyempatkan ngobrol dengan rekan atau tetangga, dikeluhkan oleh orangtua masing-masing mereka….
“ADA apa dengan anak-anak kita?”
“Entah. Anakku bilang tak ada apa-apa. Aneh, mereka sama sekali tak menyadarinya.”
“Tetapi anakku sampai mengeluarkan air mata. Lirih sekali tangisnya.”
“Setelah menangis lirih, anakku malah lantas meraung. Istriku sampai panik, dan ikut menangis juga.”
“Ibu mana takkan panik?”
“Ya, ibu mana tak akan panik. Aku ayahnya bahkan juga. Kau tak panik?”
“Entah. Tapi aku tak tahan….”
“Ya, tak tahan….”
Begitulah kekhawatiran mulai menjalar ke kepala orang- orangtua. Mereka bingung, tak mengerti, bagaimana keanehan atau keganjilan itu bisa terjadi. Dan terlebih lagi, mereka juga tak menemukan cara bagaimana menghentikan atau mengatasi.
Pada saat semua nyaris kehilangan akal, seorang mengusulkan pelajaran mengenalkan abjad kepada anak-anak sementara coba dihentikan. Usulan itu mereka terima, dan, ajaib, jerit sedih itu, tangis pilu itu, tiba-tiba terhenti. Mereka pun gembira, lega, menyesali kenapa pikiran sederhana itu tak terlintas di kepala mereka lebih awal. Tetapi, sungguh tak terduga kalau kelegaan itu cuma sekejap, benar-benar hanya sebentar. Pada hari ketiga, tangis itu kembali muncul-bahkan kini bagai menyerbu. Serentak! Di waktu yang sama! Menjalar, mengapung, menguar menyatu lalu membubung: menjelma jadi koor tangis yang menggetarkan jiwa. Betapa! Di tengah malam.
Bahkan, berbeda dari hari-hari lalu, kanak-kanak itu kini tak bisa dibangunkan. Mereka baru tersentak dan berhenti ketika datang pagi, setelah muncul matahari. Wajah kanak-kanak itu letih. Pasi. Dan malamnya, mereka ulangi lagi. Malam besoknya, lagi. Entah sampai kapan, lagi….
Baiklah kita kembali ke kota itu, kota yang unik itu, dua ribu tahun lalu. Kecuali bahan dan bentuk-bentuk bangunan yang tentu berbeda dan sebagian-luar biasa!-masih bisa Anda lihat reruntuhannya, tiga gunung itu masih tetap sama, tiga sungai itu masih tetap sama, juga bentuk kerucut karena tiga sungai itu menyatu pada satu titik tapi agak sedikit jauh di luar kota. Rupanya, selama dua ribu tahun itu, kota Tiga Kota kian bergeser ke bawah. Ataukah sebenarnya, dan mungkin ini yang lebih tepat, kota Tiga Kota bertambah luas dan melebar.
Sepagi itu, hari itu, sebuah tempat yang menyerupai alun- alun telah dipenuhi manusia. Ada seorang terhukum, seorang tak termaafkan, seorang yang mereka sebut “si terkutuk”, telah mengacaukan kehidupan mereka. Tak ada hukuman yang lebih pantas bagi seorang jahat dan gila, yang menyebar hasutan, ajaran sesat, kecuali kematian dan siksa. Dan Si Terkutuk itu, telah diikat, ditelentangkan di atas meja batu, di atas semacam altar lebar yang juga dari batu, bersama sejumlah algojo dan seorang yang tampaknya akan menyampaikan sesuatu kepada mereka.
Orang itu, yang dari pakaiannya bisa dikenali sebagai aparat penguasa, setelah mengangkat- angkat tangan menenangkan galau suara massa, setengah berteriak lalu berkata: “Jadi inilah hukuman kita bagi Si Terkutuk ini, pendatang yang tak tahu diri ini. Pertama, kuku- kukunya akan dicopot, lalu jari- jarinya akan diremukkan. Berikutnya, lidahnya akan diiris dipotong-potong, matanya akan dicongkel. Dan sebelum dada dan kulit perutnya dikupas, kaki dan lengannya akan dicincang-cincang, ditumis….”
Masih beberapa rincian lagi sebelum akhirnya si algojo mulai melangkah ke meja batu. Mata di balik topeng itu bagai berkilau saat menjangkau jempol Si Terkutuk dan alat pertama, jepitan besi, segera bekerja. Tidak dengan satu sentakan cepat, melainkan dengan tarikan lambat, lambat, lambat… bagai memancing menunggu jerit dari mulut Si Terkutuk. Satu kuku, Si Terkutuk masih bertahan. Dua kuku, juga masih bertahan. Tetapi ketika kuku ketiga mulai akan tertarik keluar dari jari tengahnya, gigi Si Terkutuk pun akhirnya lepas dari bibir merah berdarah dan jerit itu menggema.
“Aaaaaa!”
Mata si algojo kian berbinar. Kuku keempat.
“Aaaaaaaaa!”
Kuku kelima.
“Aaaaaaaaaaaa!”
Jerit itulah yang terus menggema. Menembus ruang. Menembus waktu. Seribu tahun. Dua ribu tahun….***
Payakumbuh, 2 Juli 2003
Gus tf Sakai
No comments:
Post a Comment