Sunday 20 February 2011

Mencicip Puisi-Puisi Pablo Neruda

Mencicip Puisi-Puisi Pablo Neruda


Pablo Neruda, penerima anugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra 1971 dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20. Novelis Kolombia, Gabriel García Márquez menyebutnya “penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun”. Jadi pasti enak sekali mencicipi puisi-puisi cintanya yang erotik, puisi-puisi surealisnya, puisi-puisi politiknya, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut.


Pablo Neruda lahir di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago, Chili, 12 Juli 1904. Nama Pablo Neruda sebenarnya merupakan nama samaran, nama penyair ini sebenarnya adalah Ricardo Eliecer Neftalí Reyes Basoalto. Ia lahir dari ayah bernama José del Carmen Reyes Morales, seorang pegawai kereta api,dan ibunya, Rosa Neftalí Basoalto Opazo, seorang guru sekolah yang meninggal dua bulan setelah ia dilahirkan.

Minatnya dalam tulis-menulis dan sastra sebenarnya ditentang ayahnya, namun ia mendapatkan dorongan dari orang lain, termasuk Gabriela Mistral yang kelak mendapatkan Hadiah Nobel. Karyanya yang pertama diterbitkan ditulisnya untuk harian setempat, La Mañana, pada usia 13 tahun: Entusiasmo y perseverancia (“Antusiasme dan Kegigihan”).

Ia penyair yang sangat produktif. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi yang surealis, epos sejarah, dan puisi-puisi politik, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut. Pada 1920, ketika ia mengambil nama samaran Pablo Neruda, ia sudah banyak menerbitkan puisi, prosa, dan jurnalisme.

Pada 1923 kumpulan puisinya yang pertama, Crepusculario (“Buku Senja”), diterbitkan, dan tahun berikutnya terbit Veinte poemas de amor y una canción desesperada (“Dua puluh Puisi Cinta dan Nyanyian Putus Asa”), kumpulan puisi cinta yang kontroversial karena sifatnya yang erotik. Kedua karyanya itu mendapatkan pujian kritis dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selama dekade-dekad berikutnya, Veinte poemas terjual berjuta-juta kopi dan menjadi karya Neruda yang paling terkenal.

Reputasi Neruda makin berkembang di dalam maupun di luar Chili, namun ia hidup dalam kemiskinan. Pada 1927, karena putus asa, ia menerima jabatan sebagai konsul kehormatan di Rangoon, yang saat itu merupakan bagian dari kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Kemudian ia melakukan kerja serabutan di Kolombo (Sri Lanka), Batavia, dan Singapura. Di Jawa ia bertemu dan menikahi istrinya yang pertama, seorang Belanda pegawai bank yang tinggi badannya, bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang. Sementara menjalani tugas diplomatik, Neruda banyak membaca puisi dan bereksperimen dengan berbagai bentuk puisi. Ia menulis jilid pertama dari kumpulan puisinya yang dua jilid Residencia en la tierra, (Menetap di Negeri) yang mencakup banyak puisi surealis, yang belakangan menjadi terkenal.

Ah mari kita langsung saja kita cicipi puisi Pablo Neruda. Berikut ini adalah beberapa puisi Pablo Neruda yang saya terjemahkan dari arsip Classic Poetry Series.

SEEKOR ANJING TELAH MATI

Anjingku telah mati, kukubur dia di kebun
disebelah mesin tua penuh karat

Suatu saat aku pun akan menemaninya di sana
tapi saat ini biar dia bersama mantel kusutnya
tabiat buruknya, dan hidungnya yang beringus
dan aku, si gila dunia yang tidak meyakini
apapun yang dijanjikan surga di angkasa pada
tiap yang berbelas kasih
Aku percaya, di surga para anjing
dimana anjingku akan menunggu kehadiranku
meriakkan hembusan serupa goyang ekor persahabatannya
aku yakin, aku tak akan pernah menginjakkan kaki di sana

Ah, aku takkan mengobral kesedihan di tanah ini
karena telah kehilangan seorang sahabat
yang tidak pernah kehilangan martabat
persahabatannya untukku, persis seperti landak
yang mempertahankan kerajaannya
persahatan sebiji bintang, jauh terpencil
tanpa sautan hadir keintiman, tanpa dilebih-lebihkan

Sama sekali dia tak pernah melompat ke atas pakaianku
dan menularkan kudisnya ke seluruh tubuhhku
dia juga sama sekali tak pernah menggosok-gosok ke lututku
layaknya anjing-anjing yang lain yang doyan bercinta
tidak, anjingku hanya menatapku lurus
hanya memberi perhatian yang kubutuhkan
perhatian yang wajib hadir
untuk membuat orang yang tak berguna sepertiku mengerti
bahwa menjadi seekor anjing telah membuang-buang waktunya

Dengan mata yang lebih jernih daripada milikku
dia akan tetap menatapku
dengan raut muka tertentu yang hanya dia perlihatkan padaku
semua hal manisnya dan kehidupan kusutnya
selalu berada di dekatku
tak pernah menyusahkanku dan tak pernah meminta apapun

Ah pada ekornya, berapa kali aku termakan cemburu
saat berjalan bersama di bibir pantai
di sepi musim dingin Isla nigra
saat burung-burung musim itu memenuhi angkasa
dan rambutku morat-marit dipermainkan dahsyat gelombang angin
anjing pengembaraku itu akan mendengus-dengus
dengan ekornya yang keemasan berdiri tegak
langgsung menantang semburan muka samudera

Riang, riang, riang
seperti satu-satunya anjing yang tahu mengecam kebahagiaan
tidak ada kata perpisahan untuk anjingku yang telah mati
dan kami, segera atau tidak kapanpun pernah berbaring
sebelah menyebelah

Jadi sekarang dia telah mati dan aku menguburkannya
dan hanya itu, hanya untuk itu dia hadir

(Pablo Neruda)

SONETA II

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.

Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.

Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa

Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.

(Pablo Neruda)

DONGENG PUTRI DUYUNG DAN PEMABUK

Semua laki-laki itu berada di dalam ruangan
saat dia masuk bertelanjang
Mereka semua telah mabuk: mereka mulai menyibak
baru-baru ini dia muncul dari bibir sungai tanpa tahu apapun
Seekor putri duyung yang tersesat jalan

Dari kilatan tubuhnya celaan segera meluap
kecabulan basah kuyup di payudaranya yang keemasan
ia tidak mengenal airmata jadi ia tak pernah mengusap air mata
ia tidak mengenal pakaian dia tak memilikinya
mereka menyelimutinya dengan sumbat-sumbat gabus hangus
dan puntung-puntung rokok
digelindingkan beriring derai tawa di lantai kedai

Dia sama sekali tidak berbicara, karena dia tak mengenal kata
matanya adalah warna cinta yang asing dingin
bibirnya bergerak, sunyi, dalam cahaya batu karang
dan tiba-tiba dia pergi keluar melalui pintu di sana
masuk ke dalam sungai yang menyucikannya
bersinar seperti pualam di musim hujan
tanpa menoleh dia terus berenang
berenang keketiadaan, menuju maut

(Pablo Neruda)

KUTU ITU BEGITU MENARIK PERHATIAN

Kutu itu begitu menarik perhatian
maka kubiarkan ia menggigitku berjam-jam
mereka begitu sempurna, purba, sanskrit
mesin yang setuju untuk tidak pernah memohon terlebih dahulu

Mereka tidak menggigit untuk makan
mereka hanya menggigit sebagailompatan
mereka bak penari-penari ruang angkasa dengan
akrobat-akrobat halus sebuah sirkus paling lembut nan dalam
kubiarkan mereka mencongklang di kulit
merembeskan semua rahasia perasaannya
menghibur diri sendiri dengan darahku

Ah, seseorang harusnya mengenalkannya padaku
aku ingin mengenalnya lebih intim
aku ingin mengetahui apa yang dipercayainya

(Pablo Neruda)

KUCANDUI MULUTMU, SUARAMU, RAMBUTMU

jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
karena, karena aku tak tahu bagaimana mengucapkannya:
sehari adalah waktu yang begitu lama
dan aku akan menunggumu di stasiun yang melompong ini
ketika kereta-kereta tak lagi singgah disini, tertidur

jangan tinggalkan aku, meski hanya satu jam, karena
sejak itu, tetes-tetes kecil kesedihan akan berpacu bersama
asap yang mengembara mencari rumah terseret hanyut
dalam diriku, mencekik hatiku yang sekarat

ah, barangkali siluetmu tak pernah larut di pantai
barangkali kelopak matamu tidak pernah berdenyar
di bentang jarak yang hampa
jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun sayang
karena jika terjadi, kau akan terlanjur begitu jauh

aku akan mengembara, melantur di seluruh penjuru bumi
bertanya-tanya apakah kau akan kembali?
apakah kau akan meninggalkanku disini meregang mati?

(Pablo Neruda)

TAWAMU

ambil saja nafas ini dariku, jika kamu memohon,
ambil juga udara ini, tapi
jangann ambil dariku tawamu

jangan ambil mawar
kembang tombak yang kau tusukkan lalu kau cerabut
hingga tiba-tiba air meluap-luap bahagia tanpa henti
gelombang tiban yang melahirkan perak dalam dirimu

perjuanganku sungguh kasar dan aku kembali
dengan mata lelah
sejak mula melihat dunia yang tak berubah
tapi ketika tawamu lahir
tawa itu melontar ke angkasa dan segera mencariku
dan membuka seluruh pintu-pintu hidupku

sayangku, dalam masa paling gelap
tawamu hadir, dan tiba-tiba
lihatlah darahku luntur mengotori batu-batu jalan
tertawa, karena tawamu digenggamanku
akan menjelma serupa pedang yang baru ditempa

di bahu laut musim gugur
tawamu pasti menegakkan bebuih jeram
dan di musim semi, sayangku
tawamu seperti bunga yang kutunggu-tunggu
bunga biru, mawar yang menggema di seantero penjuru

tawa yang tersangkut di malam
pada hari, pada bulan,
tawa yang berpantul-pantul di jalan-jalan di pulau ini
tawa pada bocah ceroboh yang mencintaimu
tawa berkelebat saat aku memejam dan membuka mata
tawa ketika langkahku maju, ketika langkahku surut
mengingkari tarikan nafas, udara, sinar, semi, tapi
jangan pernah ambil tawamu
atau aku akan binasa

(Pablo Neruda)

TERSESAT DI HUTAN

Tersesat du hutan, kupatahkan reranting gelap dahan
yang meruapkan bisikan-bisikan di bibirku yang dahaga
mungkin itu suara tangisan hujan
pecah genta atau hati yang terajam kelam

Sesuatu yang terindera berasal dari langkah yang jauh
dalam dan rahasia, tersembunyi di dalam bumi
seperti teriakan yang teredam oleh gunungan musim gugur
oleh lembab dan kibas setengah terbuka kegelapan dedaun
terbangun dari mimpi hutan disana, kabut
bernyanyi di bawah lidahku, menghanyut wewangian
meruyap naik di alam bawah sadarku

Saat telah kutinggalkan di belakang, tiba-tiba akar-akar
menangis padaku, tanah yang telah hilang bersama masa kanak-kanakku
dan aku berhenti, terluka oleh harum pengembaraan

(Pablo Neruda)




http://kedaipuisi.wordpress.com/2009/03/12/mencicip-puisi-puisi-pablo-neruda-bagian-1/

No comments: