Showing posts with label Pablo Neruda. Show all posts
Showing posts with label Pablo Neruda. Show all posts

Monday, 18 July 2011

BERSANDAR PADA SENJA - PUISI PABLO NERUDA

Bersandar Pada Senja

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.

Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.

Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.

Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.

Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.

Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.

Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang.



Soneta XVII


aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.

aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.

aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya

beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.

Soneta LXVI


Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.

Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.

Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.

Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.

Soneta XXV


Sebelum aku mencintaimu, cinta, tiada ada yang menjadi milikku:
Aku melambai melalui jalan-jalan, di antara benda-benda:
tiada ada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama:
dunia terbuat dari udara, yang menunggu.

Aku mengenal kamar-kamar yang penuh oleh debu,
terowongan dimana bulan hidup,
gudang-gudang kasar yang menggeram Pergilah,
pertanyaan yang memaksa di dalam pasir.

Semua adalah kekosongan, mati, bisu,
jatuh, terlantar dan membusuk:
tidak diragukan asing, semuanya.

milik orang lain --tidak pada siapapun:
sampai kecantikanmu dan kemiskinanmu
dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.

Tiada Selain Kematian


Adalah kuburan yang kesepian,
makam yang penuh dengan tulang belulang yang tak berbunyi,

Oh Bumi, Nantikan Aku


Pulangkan daku, oh mentari,
ke takdir kasapku,
hujan hutan tua,
kembalikan padaku aroma dan pedang-pedang
yang lepas dari angkasa,
kedamaian sunyi padang rumput dan karang,
kelembapan tepi-tepi sungai,
bau pohon cemara,
angin yang riang laksana jantung
yang berdetak di tengah sesak kegelisahan
araucaria yang besar.

Bumi, kembalikan padaku kado-kado sejatimu,
menara-menara kesunyian yang dahulu
menjulang dari ketakziman akar-akar mereka.
kuingin kembali jadi sosok masa silamku
dan belajar untuk berpaling dari bisikan kalbu
bahwa di antara segala sosok alamiah,
aku mungkin hidup atau hadapi maut;
tak mengapa jadi satu batu baru, batu kelam,
batu sejati yang hanyut oleh sungai.

hati yang berjalan melalui sebuah terowongan,
seperti bangkai kapal kita akan mati memasuki diri kita sendiri,
seakan-akan kita tenggelam dalam hati masing-masing
seakan-akan kita hidup lepas dari kulit kedalam jiwa.

Dan adalah mayat-mayat,
kaki yang terbuat dari tanah liat yang dingin dan lengket,
kematian ada di dalam tulang-tulang,
seperti gonggongan dimana tiada anjing-anjing,
keluar dari bel entah di mana, dari makam entah di mana,
tumbuh di dalam udara lembab seperti tangisan hujan.

Terkadang aku melihat sendiri,
peti mayat yang sedang berangkat,
dimulai dengan kepucatan kematian, dengan wanita yang memiliki rambut mati,
dengan tukang-tukang roti yang seputih malaikat,
dan gadis-gadis muda yang termenung menikah dengan notaris publik,
peti mati melayari vertikal sungai kematian,
sungai berwarna ungu gelap,
menyusuri hulu dengan layar-layar yang berisikan suara-suara kematian,
berisikan suara kematian yang merupakan diam.

Kematian datang dengan semua suara itu
seperti sebuah sepatu tanpa kaki di dalamnya, seperti sebuah jas tanpa seorang laki laki di dalamnya,
datang dan mengetuk, menggunakan sebuah cincin tanpa batu di dalamnya, tanpa jari di dalamnya,
datang dan berteriak tanpa mulut, tanpa lidah, tanpa kerongkongan.
namun langkah-langkahnya bisa didengar
dan pakaiannya membuat suara keheningan, seperti sebuah pohon.

Aku tidak yakin, aku mengerti cuma sedikit, aku tidak bisa begitu melihat,
tetapi sepertinya untukku nyanyiannya memiliki warna kelembaban bunga violet,
dari bunga violet yang berada di rumah di dalam bumi,
karena wajah kematian adalah hijau,
dan muka yang diberikan kematian adalah hijau,
dengan penetrasi kelembaban dari sehelai bunga violet
dan warna muram dari musim dingin yang menyakitkan hati.

Tetapi kematian juga melewati dunia berbaju seperti sebuah sapu,
menyapu lantai, mencari tubuh-tubuh mati,
kematian ada di dalam sapu,
sapu adalah lidah dari kematian yang mencari mayat-mayat,
adalah jarum dari kematian yang mencari benang.

Kematian ada di dalam tempat tidur gantung yang terlipat,
yang menghabiskan hidupnya tidur di atas matras-matras lambat,
di dalam selimut-selimut hitam, dan tiba-tiba melepaskan nafas:
meniupkan suara ratapan yang membengkakkan seprai,
dan tempat-tempat tidur pergi berlayar menuju pelabuhan
dimana kematian sudah menunggu, berpakaian seperti seorang laksmana.


Ya, kukenal dia, dan kulewatkan sederet tahun bersamanya,
dengan hakekatnya yang berasal dari emas dan batu,
ia seorang lelaki yang letih �
di Paraguay ia tinggalkan ayah dan bundanya,
anak-anaknya dan semua keponakannya,
ipar-iparnya yang paling akhir,
pintunya dan ayam-ayamnya,
serta beberapa buku yang setengah terbuka.
Ada suara ketukan pintu.
Ketika ia membukanya, ia disambar polisi
dan mereka menderanya tanpa kata ampun
sehingga ia ludahkan darah di Prancis, di Denmark,
di Spanyol, di Italia, dan bergerak ke sana kemari,
kemudian ia mati dan tak lagi kulihat wajahnya,
tak lagi kudengar kesunyiannya yang dalam;
lalu suatu ketika, pada suatu malam berbadai,
dengan salju yang turun menyelubungi
sebuah mantel licin di daerah pegunungan,
di punggung seekor kuda, di sana, di kejauhan,
kulayangkan pandang dan kulihat sahabatku di sana �
parasnya kini terukir di permukaan sebuah batu,
dan raut wajahnya menantang cuaca liar,
dalam rongga hidungnya angin meniupkan
rintihan seorang lelaki yang tanggung siksa.
di sana, pengasingan temukan titik akhir.
kini ia hidup di tanah airnya walau berwujud batu.

Sunday, 20 February 2011

Tentang Pablo Neruda

Pablo Neruda


Pablo Neruda (lahir di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago, Chili, 12 Juli 1904 – meninggal 23 September 1973 pada umur 69 tahun) adalah nama samaran penulis Chili, Ricardo Eliecer Neftalí Reyes Basoalto.

Neruda yang dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20, adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi yang surealis, epos sejarah, dan puisi-puisi politik, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut. Novelis Kolombia, Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun". Pada 1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.

Pada masa hidupnya, Neruda terkenal karena keyakinan-keyakinan politiknya. Sebagai seorang komunis yang vokal, ia pernah sebentar menjadi senator untuk Partai Komunis Chili di Kongres Chili sebelum terpaksa mengasingkan diri.

Nama samaran Neruda diambil dari nama penulis dan penyair Ceko, Jan Neruda; belakangan nama ini menjadi nama resminya.

Tahun-tahun awal

Neruda dilahirkan di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago. Ayahnya, José del Carmen Reyes Morales, seorang pegawai kereta api; ibunya, Rosa Neftalí Basoalto Opazo, seorang guru sekolah yang meninggal dua bulan setelah ia dilahirkan. Neruda dan ayahnya segera pindah ke Temuco, dan di sana ayahnya menikahi Trinidad Candia Malverde, seorang perempuan yang sembilan tahun sebelumnya melahirkan anak untuknya, anak lelaki bernama Rodolfo. Neruda juga bertumbuh dengan saudara tirinya, Laura, salah seorang anak ayahnya dari perempuan lain.

Neruda muda dipanggil "Neftalí", nama almarhumah ibunya. Minatnya dalam tulis-menulis dan sastra ditentang ayahnya, namun ia mendapatkan dorongan dari orang lain, termasuk Gabriela Mistral yang kelak mendapatkan Hadiah Nobel, saat itu kepala sekolah putri setempat. Karyanya yang pertama diterbitkan ditulisnya untuk harian setempat, La Mañana, pada usia 13 tahun: Entusiasmo y perseverancia ("Antusiasme dan Kegigihan"). Pada 1920, ketika ia mengambil nama samaran Pablo Neruda, ia sudah banyak menerbitkan puisi, prosa, dan jurnalisme.


Veinte poemas

Pada tahun berikutnya (1921), ia pindah ke Santiago untuk belajar bahasa Prancis di Universidad de Chile dengan maksud menjadi guru, namun ia segera menghabiskan waktunya sepenuhnya untuk menulis puisi. Pada 1923 kumpulan puisinya yang pertama, Crepusculario ("Buku Senja"), diterbitkan, dan tahun berikutnya terbit Veinte poemas de amor y una canción desesperada ("Dua puluh Puisi Cinta dan Nyanyian Putus Asa"), kumpulan puisi cinta yang kontroversial karena sifatnya yang erotik. Kedua karyanya itu mendapatkan pujian kritis dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selama dekade-dekad berikutnya, Veinte poemas terjual berjuta-juta kopi dan menjadi karya Neruda yang paling terkenal.

Reputasi Neruda makin berkembang di dalam maupun di luar Chili, namun ia hidup dalam kemiskinan. Pada 1927, karena putus asa, ia menerima jabatan sebagai konsul kehormatan di Rangoon, yang saat itu merupakan bagian dari kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Kemudian ia melakukan kerja serabutan di Kolombo (Sri Lanka), Batavia, dan Singapura. Di Jawa ia bertemu dan menikahi istrinya yang pertama, seorang Belanda pegawai bank yang tinggi badannya, bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang. Sementara menjalani tugas diplomatik, Neruda banyak membaca puisi dan bereksperimen dengan berbagai bentuk puisi. Ia menulis jilid pertama dari kumpulan puisinya yang dua jilid Residencia en la tierra, (Menetap di Negeri) yang mencakup banyak puisi surealis, yang belakangan menjadi terkenal.


Perang Saudara Spanyol

Setelah kembali ke Chili, Neruda mendapatkan pos diplomatik di Buenos Aires dan kemudian di Barcelona, Spanyol. Belakangan ia menggantikan Gabriela Mistral sebagai konsul di Madrid, dan di sana ia menjadi pusat dari kalangan sastra yang hidup, bersahabat dengan penulis-penulis seperti Rafael Alberti, Federico García Lorca, dan penyair Peru, César Vallejo. Seorang anak perempuan, Malva Marina Trinidad, dilahirkan di Madrid; namun ia kemudian mengalami banyak masalah kesehatan sepanjang hidupnya yang singkat. Pada masa ini pula, Neruda perlahan-lahan menjadi kian terasing dari istrinya dan kemudian tinggal dengan Delia del Carril, seorang perempuan Argentina yang dua puluh tahun lebih tua daripadanya dan akhirnya menjadi istri keduanya.

Ketika Spanyol semakin tenggelam dalam perang saudara, Neruda menjadi sangat terlibat dalam politik untuk pertama kalinya. Pengalaman-pengalamannya dengan Perang Saudara Spanyol dan sesudahnya mengubahnya dari o u individualistic, yang terpusat ke dalam menjadi orang yang mempunyai komitmen sosial dan solidaritas yang lebih besar. Neruda menjadi seorang komunis yang serius dan bertahan demikian hingga akhir hayatnya. Politik kiri radikal dari teman-temannya sesama penulis, maupun dari del Carril, merupakan factor-faktor yang mendukung, tetapi dorongan yang paling penting adalah hukuman mati atas García Lorca oleh pasukan-pasukan yang setia kepada Francisco Franco. Melalui pidato-pidato dan tulisan-tulisannya Neruda memberikan dukungannya terhadap pihak Republik, lalu menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul España en el corazón ("Spanyol di dalam Hatiku"). Istri dan anak Neruda pindah ke Monte Carlo; dan ia tidak pernah lagi bertemu dengan mereka. Ia tetap tinggal dengan del Carril di Prancis.

Setelah pemilihan Presiden Pedro Aguirre Cerda pada 1938, yang didukung Neruda, ia diangkat menjadi konsul khusus untuk emigrasi Spanyol di Paris. Di sana Neruda diberikan tanggung jawab untuk apa yang disebutnya “misi yang paling mulia yang pernah saya laksanakan”: mengirim 2.000 pengungsi Spanyol, yang telah ditampung oleh Prancis di kamp-kamp yang kotor, ke Chili di sebuah kapal tua yang bernama Winnipeg. Neruda kadang-kadang dituduh mengutamakan kaum komunis untuk beremigrasi, sementara yang lainnya yang juga pernah berjuang di pihak Republik, diabaikan. Yang lainnya menyangkal tuduhan-tuduhan itu, sambil menunjukkan bahwa Neruda hanya memilih beberapa ratus pengungsi secara pribadi, dan sisanya dipilih oleh Dinas Evakuasi Pengugnsi Spanyol, yang dibentuk oleh Juan Negrín, Presiden pemerintahan Republik Spanyol di pengungsian.
[sunting] Meksiko

Pos diplomatik Neruda berikutnya adalah sebagai Konsul Jenderal di Mexico City, dan di sana ia tinggal dari 1940 hingga 1943. Ketika di Meksiko, ia menceraikan Hagenaar, menikahi del Carril, dan kemudian mendengar bahwa anak perempuannya telah meninggal, pada usia 8 tahun, di Belanda yang diduduki Nazi, karena berbagai masalah kesehatannya. Ia pun menjadi sahabat dari pembunuh Stalinis Vittorio Vidali [1]. Setelah gagalnya upaya pembunuhan terhadap Leon Trotsky tahun 1940, Neruda, atas permintaan Presiden Meksiko Manuel Ávila Camacho, mengatur visa Chili untuk pelukis Meksiko, David Alfaro Siqueiros, yang dituduh sebagai salah satu anggota komplotan itu. Hal ini memugnkinkan Siqueiros, yang saat itu dipenjarakan, meninggalkan Meksiko dan berangkat ke Chili. Di sana ia tinggal di rumah pribadi Neruda. Sebagai ganti atas bantuan Neruda, Siqueiros menghabiskan waktu satu tahun melukis dinding di sebuah sekolah di Chillán. Dalam memoarnya, Neruda menolak tuduhan-tuduhan bahwa ia bermaksud menolong seorang pembunuh dan menyebutnya sebagai "pelecehan sensasionalis politik-sastra".


Kembali ke Chili

Pada 1943, setelah kembali ke Chili, Neruda melakukan perjalanan ke Peru, dan di sana ia mengunjungi Machu Picchu. Keindahan benteng Inka itu kelak mengilhaminya menulis Alturas de Macchu Picchu, sebuah puisi yang satu buku tebalnya ditulis dalam 12 bagian yang diselesaikannya pada 1945. Puisinya ini menandai kesadaran dan minatnya yang kian berkembang terhadap peradaban kuno bangsa Amerika: tema-tema yang kelak dijelajahinya lebih lanjut dalam puisinya Canto general. Dalam karyanya ini, Neruda memuji keberhasilan Machu Picchu, tetapi juga mengutuk perbudakan yang telah memungkinkan pembangunannya.. Dalam Canto XII, ia berseru kepada orang-orang yang telah mati selama berabad-abad sebelumnya agar dilahirkan kembali dan berbicara melalui dirinya. Martin Espada, penyair dan professor tulisan kreatif di Universitas Massachusetts, memuji karya ini sebagai maha karya, dan menyatakan bahwa “tidak ada lagi puisi politik yang besar daripada ini.”.


Mendukung para diktator

Didorong oleh pengalaman-pengalamannya dalam Perang Saudara Spanyol, Neruda, seperti banyak intelektual kiri dari generasinya, akhirnya mengagumi Uni Soviet yang saat itu dipimpin Joseph Stalin, sebagian karena peranannnya dalam mengalahkan Jerman Nazi. Pada 1953 Neruda dianugerahi Hadiah Perdamaian Stalin. Pada saat kematian Stalin pada tahun yang sama, Neruda menulis sebuah ode untuknya, seperti juga yang pernah ditulisnya (pada Perang Dunia II) untuk Fulgencio Batista dan belakangan Fidel Castro [2]. Neruda akhirnya menyesali dukungannya untuk pemimpin Rusia itu, setelah Pidato Rahasia Nikita Kurschev pada Kongres ke-20 Partai pada 1956. Di dalam pidatonya itu Kruschev mengecam "kultus individu" yang mengelilingi Stalin dan menuduhnya melakukan kejahatan-kejhatan selama Pembersihan Besar, Neruda menulis dalam memoarnya “Saya telah ikut menyumbangkan bagian saya dalam kultus individu itu,” sambil menjelaskan bahwa “pada masa-masa itu, kami melihat Stalin bagaikan sang penakluk yang telah menghancurkan tentara Hitler.” Tentang kunjungannya berikutnya ke Tiongkok pada 1957, Neruda kelak menulis: "Yang menjauhkan saya dari proses revolusioner Tiongkok bukanlah Mao Tse-tung melainkan Mao Tse-tungisme", yang dinamainya Mao Tse-Stalinisme: "pengulangan sebuah kultus terhadap dewa Sosialis". Namun demikian, meskipun ia kecewa terhadap Stalin, Neruda tidak pernah kehilangan keyakinannya terhadap komunisme dan tetap setia kepada “Partai”. Karena kuatir akan memberikan peluru kepada lawan-lawan ideologisnya, belakangan ia menolak untuk mengutuk secara terbuka penindasan yang dilakukan Soviet terhadap para penulis pembangkang, seperti Boris Pasternak dan Joseph Brodsky: suatu sikap yang bahkan para pendukungnya yang paling gigih pun tidak bersedia terima.


Senator

Pada 4 Maret 1945 Neruda terpilih menjadi senator dari Partai Komunis untuk provinsi-provinsi utara, yaitu Antofagasta dan Tarapacá di Gurun Pasir Atacama yang kering dan kejam. Ia secara resmi bergabung dengan Partai Komunis Chili empat bulan kemudian.

Pada 1946, kandidat pemilu presiden dari Partai Radikal, Gabriel González Videla meminta Neruda untuk menjadi manajer kampanenya. González Videla didukung oleh sebuah koalisi partai-partai sayap kiri dan Neruda berkampanye dengan gigih atas namanya. Namun demikian, begitu mendapatkan jabatan, González Videla berbalik melawan Partai Komunis. Titik perpisahan bagi Senator Neruda terjadi ketikga ia menindas dengan penuh kekerasan pemogokan para buruh tambang yang dipimpin komunis di Lota pada Oktober 1947. Para buruh yang mogok itu digiring ke penjara-penjara militer di pulau dan kamp konsentrasi di kota Pisagua. Kritik Neruda terhadap González Videla memuncak dalam sebuah pidato dramatisnya di Senat Chili pada 6 Januari 1948 yang diberi judul Yo acuso ("Aku menuduh"), dan dalam isi pidatonya itu ia menyebutkan keras-keras nama-nama para buruh tambang dan keluarga mereka yang dipenjarakan di kamp konsentrasi itu.



Pembuangan

Beberapa minggu kemudian few weeks later, Neruda bersembunyi dan ia beserta istrinya diselundupkan dari rumah ke rumah, disembunyikan oleh para pendukung dan pengagumnya selama 13 bulan berikutnya. Sementara dalam persembunyian, Senator Neruda disingkirkan dari jabatannya dan pada September 1948 Partai Komunis sama sekali dilarang berdasarkan Ley de Defensa Permanente de la Democracia (UU untuk Mempertahankan Demokrasi secara Permanen), yang disebut oleh para kritikusnya sebagai Ley Maldita ("UU Terkutuk"), yang menghapuskan lebih dari 26.000 orang dari daftar pemilih, dan dengan demikian mencabut hak-hak mereka untuk memilih. Kehidupan Neruda di bawah tanah berakhir pada Maret 1949 ketika ia melarikan diri menyeberangi Pegunungan Andes ke Argentina dengan menunggang kuda. Ia hampir tenggelam ketika menyeberangi Sungai Curringue. Kelak ia mengisahkan kembali pelariannya dari Chili dalam kuliah Hadiah Nobelnya.

Begitu keluar dari Chili, ia hidup selama tiga tahun berikutnya di pembuangan. Di Buenos Aires seorang sahabat Neruda, novelis Miguel Ángel Asturias yang belakangan mendapatkan Hadiah Nobel, menjadi atase kebudayaan di kedutaan besar Guatemala. Antara keduanya ini ada beberapa kesamaan, karena itu Neruda pergi ke Eropa dengan menggunakan paspor Asturias. Pablo Picasso mengatur masuknya ia ke Paris dan Neruda melakukan penampilan kejuatan di sana di hadapan Kongres Kekuatan Damai Dunia yang tercengang. Sementara itu, pemerintah Chili menyangkal bahwa penyair itu bias melarikan diri dari negerinya.

Tiga tahun berikutnya dihabiskan Neruda dengan berkeliling di seluruh Eropa dan melakukan perjalanan ke India, RRC, dan Uni Soviet. Perjalanannya ke Meksiko pada akhir 1949 diperpanjang karena ia mengalami serangan flebitis. Seorang penyanyi Chili yang bernama Matilde Urrutia dipekerjakan untuk merawatnya, dan keduanya mulai mengadakan affair, dan bertahun-tahun kemudian berakhir dengan pernikahan. Pada masa pembuangannya, Urrutia membayang-bayangi Neruda dan mereka mengatur pertemuan-pertemuan setiap kali hal itu memungkinkan.

Sementara di Meksiko, Neruda juga menerbitkan puisi epiknya yang panjang Canto General, sebuah katalog sejarah, geografi, dan flora serta fauna Amerika Selatan dalam gaya Whitmania, disertai oleh pengamatan dan pengalaman Neruda. Banyak daripadanya berkaitan dengan masa hidupnya di bawah tanah di Chili, yaitu masa ketika ia menyusun sebagian besar dari puisi itu. Malah, ia membawa naskahnya bersamanya ketika ia melarikan diri dengan menunggang kuda. Sebulan kemudian, sebuah edisi yang lain yang terdiri dari 5.000 kopi dengan berani diterbitkan di Chili oleh Partai Komunis yang telah dilarang, berdasarkan naskah yang telah ditinggalkan Neruda.

Pada tahun 1952 ia tinggal di sebuah vila milik sejarahwan Italia, Edwin Cerio di pulau Capri yang dijadikan fiksi dalam film yang terkenal Il Postino ("Tukang Pos", 1994).


Kembali ke Chili

Pada 1952, pemerintah diktatur González-Videla hampir rontok, karena diperlemah oleh berbagai skandal korupsi. Partai Sosialis Chili sedang dalam proses mencalonkan Salvador Allende sebagai kandidatnya untuk emilu presiden September 1952 dan sangat mengharapkan kehadiran Neruda — yang kini merupakan tokoh sastra sayap kiri Chili yang paling terkemuka — untuk mendukung kampanye itu.

Neruda kembali pada Agustus tahun itu dan bergabung dengan Delia del Carril, yang telah mendahuluinya beberapa bulan kemudian, namun perkawinan mereka berada di ambang kehancuran. Del Carril akhirnya mengetahui hubungannya dengan Mathilde Urritia dan meninggalkannya pada 1955, lalu kembali ke Eropa. Neruda yang kini bersatu dengan Urrutia, menghabiskan sisa hidupnya di Chili, kecuali kunjungannya ke luar negeri yang sangat banyak jumlahnya dan penugasannya sebagai duta besar Allende untuk Prancis dari 1970 hingga 1973.

Pada saat ini, Neruda menikmati kemasyhurannya di seluruh dunia sebagai seorang penyair, dan buku-bukunya diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama dunia. Ia juga sangat vokal dalam masalah-masalah politik, dengan berani menentang AS pada masa krisis misil Kuba (belakangan dalam decade itu ia pun berulang-ulang mengutuk AS karena Perang Vietnam). Tetapi menjadi salah seorang intelektual kiri yang paling bergengsi dan lantang pun mengundang oposisi dari lawan-lawan ideologisnya. Kongres untuk Kebebasan Budaya, sebuah organisasi anti komunis yang diam-diam dibentuk dan didanai oleh CIA, memilih Neruda sebagai salah satu target utamanya dan melakukan kampanye untuk meruntuhkan reputasinya, dengan menghidupkan kembali klaim lama bahwa ia telah ikut terlibat dalam serangan terhadap Trotsky di Mexico City pada 1940. Kampanye itu menjadi kian intensif ketika diketahui bahwa Neruda menjadi salah satu kandidat untuk Hadiah Nobel 1964, yang akhirnya diberikan kepada Jean-Paul Sartre.

Pada 1966, Neruda diundang menghadiri konferensi PEN Internasional di New York City. Resminya ia dilarang masuk ke AS karena ia komunis, namun penyelenggara konferensi, penulis drama Arthur Miller, akhirnya berhasil meyakinkan pemerintahan Johnson untuk memberikan visa kepada Neruda. Neruda membacakan puisi di gedung-gedung yang padat, dan bahkan merekam beberapa pembacaan puisinya untuk Perpustakaan Kongres. Miller belakangan mengatakan bahwa Neruda menjadi komunis pada tahun 1930-an sebagai akibat dari keterasingannya yang berkepanjangan dari "masyarakat borjuis". Karena kehadiran banyak penulis Blok Timur, pengarang Meksiko, Carlos Fuentes belakangan menulis bahwa konferensi itu menandai "permulaan dari berakhirnya" Perang Dingin.

Sekembalinya ke Chili, Neruda singgah di Peru, dan membacakan puisi di depan khalayak yang menyambutnya hangat di Lima dan Arequipa. Ia pun diterima oleh Presiden Fernando Belaúnde Terry. Namun demikian, kunjungannya menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan. Pemerintah Peru sebelumnya telah menentang pemerintahan Fidel Castro di Kuba. Pada Juli 1966 datang pembalasan terhadap Neruda dalam bentuk surat yang ditandatangani lebih dari 100 intelektual Kuba yang menuduh Neruda berkolusi dengan musuh dan menyebutnya contoh dari “revisionisme pro-Yankee yang pengecut” yang marak saat itu di Amerika Latin. Masalah ini menyakitkan Neruda karena sebelumnya ia secara terbuka mendukung revolusi Kuba. Sejak itu ia tak pernah berkunjung lagi ke pulau itu, meskipun mendapatkan undangan pada 1968.

Setelah kematian Che Guevara di Bolivia pada 1967, Neruda menulis sejumlah artikel yang menyesali kematian seorang “pahlawan besar”, namun diam-diam ia mengutuk petulangan Guevara.


Tahun-tahun terakhir

Pada 1970, Neruda terpilih sebagai kandidat presiden Chili, namun akhirnya ia memberikan dukungannya kepada Salvador Allende, yang belakangan menang pemilu dan dilantik pada 1970 sebagai kepala negara sosialis pertama yang terpilih secara demokratis. Tak lama kemudian, Allende mengangkat Neruda sebagai duta besar Chili di Prancis (dari 1970-1972; penempatan diplomatiknya yang terakhir). Neruda kembali ke Chili dua setengah tahun kemudian karena kesehatannya memburuk.

Sementara kerusuhan 1973 berlangsung, Neruda, yang saat itu sekarat karena kanker prostat, merasa hancur karena serangan-serangan yang kian meningkat terhadap pemerintahan Allende. Kudeta militer akhirnya yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet pada 11 September menyebabkan harapan Neruda akan Chili yang sosialis dan demokratis akhirnya terkubur. Tak lama kemudian, ketika rumah dan halamannya digeledah di Isla Negra oleh tentara Chili, yang dihadiri sendiri oleh Neruda, ia membuat pernyataan yang terkenal:

Carilah — hanya ada satu benda yang berbahaya untuk kalian di sini — puisi.

Neruda meninggal karena leukemia pada malam 23 September 1973, di Klinik Santa María, Santiago. Setelah kematiannya, rumah Neruda yang di Valparaiso maupun Santiago dijarah dan dirusak. Istrinya memindahkan jenazahnya untuk dibaringkan di rumah pasangan itu di La Chascona, Santiago, yang berantakan, karena baru saja diserang habis-habisan oleh tentara, sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dunia dari perilaku junta Pinochet yang sedang berkuasa. Pemakamannya berlangsung di bawah pengawasan polisi dengan besar-besaran, dan para pengunjung memanfaatkan kesempatan ini untuk memprotes rezim Pinochet.

Matilde Urrutia kemudian menyusun dan menyunting catatan kenangan yang telah dikerjakan Neruda hanya beberapa hari sebelum kematiannya, untuk diterbitkan. Catatan-catatan ini dan aktivitas-aktivitasnya yang lain menyebabkan Urrutia terlibat konflikd engan pemerintahan Pinochet, yang terus-menerus berusaha mengurangi pengaruh Neruda terhadap kesadaran kolektif bangsa Chili. Memang, puisi-puisi Neruda dilarang di Chili oleh pemerintah junta hingga dipulihkannya demokrasi pada 1990. Kenangan Urrutia sendiri, My Life with Pablo Neruda (Hidupku bersama Pablo Neruda), diterbitkan secara anumerta pada 1986.

Neruda mempunyai tiga rumah di Chili; kini ketiganya dibuka untuk umum sebagai museum: La Chascona di Santiago, La Sebastiana di Valparaíso, dan Casa de Isla Negra di Isla Negra, tempat ia dan Matilde Urrutia dikebumikan.


Soneta II

Soneta II diambil dari kumpulan Cien sonetos de amor ("100 Soneta Cinta") yang terbit pada 1959.

Amor, cuántos caminos hasta llegar a un beso,
qué soledad errante hasta tu compañía!
Siguen los trenes solos rodando con la lluvia.
En Taltal no amanece aún la primavera.

Pero tú y yo, amor mío, estamos juntos,
juntos desde la ropa a las raíces,
juntos de otoño, de agua, de caderas,
hasta ser sólo tú, sólo yo juntos.

Pensar que costó tantas piedras que lleva el río,
la desembocadura del agua de Boroa,
pensar que separados por trenes y naciones

tú y yo teníamos que simplemente amarnos,
con todos confundidos, con hombres y mujeres,
con la tierra que implanta y educa los claveles.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.

Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.

Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa

Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.

Terjemahan dari teks Inggris oleh David Short [3]


Rujukan

* Adam Feinstein, Pablo Neruda: A Passion for Life, Bloomsbury, 2004. (ISBN 1-58234-410-8)
* Pablo Neruda, Confieso que he vivido: Memorias, terj. Hardie St. Martin, Farrar, Straus, dan Giroux, 1977. (ISBN 9374206600)

Sejuta Puisi Pablo Neruda

Nyanyian Putus Harapan
Sajak Pablo Neruda

Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.

Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.

Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.

Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.

Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.

Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!

Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!

Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.

Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.

Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.

Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.

Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.

Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.

Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan

Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.

Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.

Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.

Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.

Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!

O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.

Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.

Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.

Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.

Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.

Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!



Tubuhnya: Tubuh Seorang Perempuan
Sajak Pablo Neruda

Tubuh seorang perempuan, putih pebukitan, putih dua paha,
Engkau tampak bagai dunia, pada pasrah menghampar.
Tubuh jumudku, akulah petani menggali pada tubuhmu
lalu kuciptakan anak berlompatan dari kedalaman bumi.

Aku sendiri bagai terowongan. Burung-burung berhamburan,
dan malam membanjiriku dengan invasi, sebenar serangan.
Aku bertahan, aku menempamu jadi serupa hunus senjata,
seperti panah di busurku, sebongkah batu dalam tali umban.

Tapi saat pembalasan dendam luruh, maka kucintai engkau.
Tubuhmu: kulit, lumut, desak hasrat, susu yang memadu.
O, gelas piala payudara. O, mata yang nyimpan ketiadaan!
O, mawar pinka di pupumu. O, suaramu, hanya bisik berduka.

Tubuh seorang perempuan. Aku bertahan dalam semarakmu.
Haus rasaku, tak berbatas hasratku, tak berujung jalanku.
Sungai bertebing gelap, di sana mengalir haus yang kekal
dan rasa letih menyusul. Lalu pedih yang terus berterusan.



Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda

* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.

Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.

Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!

Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.

Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.



Lebah Putih
Sajak Pablo Neruda

Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.

Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.

Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.

Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.

Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.

Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.

Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.

Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.

Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.

Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.

Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.

Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.


White Bee

White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.

I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.

Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.

Ah you who are silent!

Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.

You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.

Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.

Ah you who are silent!

Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.

The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.

White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.

Ah you who are silent!



Cukup Dadamu Saja Buatku
Sajak Pablo Neruda

Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.

Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.

Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.

Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.


Your Breast is Enough

Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.

In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.

I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.

You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.




Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda

* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.

Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.

Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!

Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.

Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.


In My Sky at Twilight

This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener

In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.

The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!

You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.

You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.


Nyaris Saja Melampaui Angkasa
Sajak Pablo Neruda

Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.

Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.

Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.

Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.

Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.

Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.


Almost Out of the Sky

Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.

It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.

The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.

Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.

Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.

Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.



Pagi yang Penuh Seluruh
Sajak Pablo Neruda

Pagi yang penuh dengan badai ganas
di hati yang kini musim panas.

Awan mengembara bagai sapu tangan putih perpisahan,
angin, bepergian, melambaikannya di segenap tangan.

Hati angin yang tak terbilang ada
berdebaran pada kebisuan cinta kita.

Seperti takdir dan orkestra, bersuara di antara pepohonan
seperti bahasa yang disesaki perang dan tembang.

Sehembus lekas angin membawa dedaunan mati
menangkis anak panah beruntuntun burung-burung.

Seombak angin menghembusnya telanjang dada
tanpa percik, ringan tapi ada, seperti api.

Kecupan-kecupannya pecah dan lalu tenggelam,
Menyerbu memburu ke pintu angin musim panas.



The Morning is Full

The morning is full of storm
in the heart of summer.

The clouds travel like white handkerchiefs of goodbye,
the wind, travelling, waving them in its hands.

The numberless heart of the wind
beating above our loving silence.

Orchestral and divine, resounding among the trees
like a language full of wars and songs.

Wind that bears off the dead leaves with a quick raid
and deflects the pulsing arrows of the birds.

Wind that topples her in a wave without spray
and substance without weight, and leaning fires.

Her mass of kisses breaks and sinks,
assailed in the door of the summer's wind.

PUISI : THE SONG OF DESPAIR - BY PABLO NERUDA

PUISI : THE SONG OF DESPAIR - BY PABLO NERUDA


Ini adalah salah satu Puisi Karya Pablo Neruda (1904-1973) yang saya suka.

Seperti dikutip dari Wikipedia Indonesia, Pablo Neruda adalah nama samaran penulis Chili, Ricardo Eliecer Neftalí Reyes Basoalto. Neruda yang dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20, adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi yang surealis, epos sejarah, dan puisi-puisi politik, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut. Novelis Kolombia, Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun". Pada1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.

Nama samaran Neruda diambil dari nama penulis dan penyair Ceko, Jan Neruda; belakangan nama ini menjadi nama resminya.

Puisi "The Song of Despair" dimuat dalam bukunya "Twenty Love Poems and a song of despair" yang diterbitkan pertama kali tahun 1924 setelah setahun sebelumnya terbit buku Puisinya yang pertama berjudul "Buku Senja".kumpulan puisi cinta yang kontroversial karena sifatnya yang erotik. Kedua karyanya itu mendapatkan pujian kritis dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selama dekade-dekad berikutnya, "20 Puisi Cinta" terjual berjuta-juta kopi dan menjadi karya Neruda yang paling terkenal.

Nah..ini dia puisinya:

The Song Of Despair
by Pablo Neruda

The memory of you emerges from the night around me.
The river mingles its stubborn lament with the sea.

Deserted like the wharves at dawn.
It is the hour of departure, oh deserted one!

Cold flower heads are raining over my heart.
Oh pit of debris, fierce cave of the shipwrecked.

In you the wars and the flights accumulated.
From you the wings of the song birds rose.

You swallowed everything, like distance.
Like the sea, like time. In you everything sank!

It was the happy hour of assault and the kiss.
The hour of the spell that blazed like a lighthouse.

Pilot’s dread, fury of a blind diver,
turbulent drunkenness of love, in you everything sank!

In the childhood of mist my soul, winged and wounded.
Lost discoverer, in you everything sank!

You girdled sorrow, you clung to desire,
sadness stunned you, in you everything sank!

I made the wall of shadow draw back,
beyond desire and act, I walked on.

Oh flesh, my own flesh, woman whom I loved and lost,
I summon you in the moist hour, I raise my song to you.

Like a jar you housed the infinite tenderness,
and the infinite oblivion shattered you like a jar.

There was the black solitude of the islands,
and there, woman of love, your arms took me in.

There were thirst and hunger, and you were the fruit.
There were grief and the ruins, and you were the miracle.

Ah woman, I do not know how you could contain me
in the earth of your soul, in the cross of your arms!

How terrible and brief was my desire of you!
How difficult and drunken, how tensed and avid.

Cemetery of kisses, there is still fire in your tombs,
still the fruited boughs burn, pecked at by birds.

Oh the bitten mouth, oh the kissed limbs,
oh the hungering teeth, oh the entwined bodies.

Oh the mad coupling of hope and force
in which we merged and despaired.

And the tenderness, light as water and as flour.
And the word scarcely begun on the lips.

This was my destiny and in it was the voyage of my longing,
and in it my longing fell, in you everything sank!

Oh pit of debris, everything fell into you,
what sorrow did you not express, in what sorrow are you not drowned!

From billow to billow you still called and sang.
Standing like a sailor in the prow of a vessel.

You still flowered in songs, you still broke in currents.
Oh pit of debris, open and bitter well.

Pale blind diver, luckless slinger,
lost discoverer, in you everything sank!

It is the hour of departure, the hard cold hour
which the night fastens to all the timetables.

The rustling belt of the sea girdles the shore.
Cold stars heave up, black birds migrate.

Deserted like the wharves at dawn.
Only the tremulous shadow twists in my hands.

Oh farther than everything. Oh farther than everything.

It is the hour of departure. Oh abandoned one.

Dibawah ini adalah hasil terjemahan puisi diatas yang dilakukan oleh penyair Indonesia Hasan Aspahani yang saya kutip dari Catatannya di Facebook.

Nyanyian Putus Harapan
Sajak Pablo Neruda

Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.

Tinggal sunyi menyendiri, dermaga sendiri di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.

Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.

Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.

Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.

Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!

Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!

Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.

Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.

Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.

Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.

Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.

Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.

Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan

Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.

Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.

Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.

Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.

Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!

O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.

Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.

Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.

Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.

Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.

Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku.

O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!




http://amriltgobel.multiply.com/journal/item/162/PUISI_THE_SONG_OF_DESPAIR_-_BY_PABLO_NERUDA

Puisi Terjemahan Pablo Neruda

Soneta XVII
Pablo Neruda

aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.

aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.

aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya

beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.


Soneta LXVI
Pablo Neruda

Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.

Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.

Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.

Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.



Soneta XXV
Pablo Neruda

Sebelum aku mencintaimu, cinta, tiada ada yang menjadi milikku:
Aku melambai melalui jalan-jalan, di antara benda-benda:
tiada ada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama:
dunia terbuat dari udara, yang menunggu.

Aku mengenal kamar-kamar yang penuh oleh debu,
terowongan dimana bulan hidup,
gudang-gudang kasar yang menggeram Pergilah,
pertanyaan yang memaksa di dalam pasir.

Semua adalah kekosongan, mati, bisu,
jatuh, terlantar dan membusuk:
tidak diragukan asing, semuanya.

milik orang lain --tidak pada siapapun:
sampai kecantikanmu dan kemiskinanmu
dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.


Tiada Selain Kematian
Pablo Neruda

Adalah kuburan yang kesepian,
makam yang penuh dengan tulang belulang yang tak berbunyi,
hati yang berjalan melalui sebuah terowongan,
seperti bangkai kapal kita akan mati memasuki diri kita sendiri,
seakan-akan kita tenggelam dalam hati masing-masing
seakan-akan kita hidup lepas dari kulit kedalam jiwa.

Dan adalah mayat-mayat,
kaki yang terbuat dari tanah liat yang dingin dan lengket,
kematian ada di dalam tulang-tulang,
seperti gonggongan dimana tiada anjing-anjing,
keluar dari bel entah di mana, dari makam entah di mana,
tumbuh di dalam udara lembab seperti tangisan hujan.

Terkadang aku melihat sendiri,
peti mayat yang sedang berangkat,
dimulai dengan kepucatan kematian, dengan wanita yang memiliki rambut mati,
dengan tukang-tukang roti yang seputih malaikat,
dan gadis-gadis muda yang termenung menikah dengan notaris publik,
peti mati melayari vertikal sungai kematian,
sungai berwarna ungu gelap,
menyusuri hulu dengan layar-layar yang berisikan suara-suara kematian,
berisikan suara kematian yang merupakan diam.

Kematian datang dengan semua suara itu
seperti sebuah sepatu tanpa kaki di dalamnya, seperti sebuah jas tanpa seorang laki laki di dalamnya,
datang dan mengetuk, menggunakan sebuah cincin tanpa batu di dalamnya, tanpa jari di dalamnya,
datang dan berteriak tanpa mulut, tanpa lidah, tanpa kerongkongan.
namun langkah-langkahnya bisa didengar
dan pakaiannya membuat suara keheningan, seperti sebuah pohon.

Aku tidak yakin, aku mengerti cuma sedikit, aku tidak bisa begitu melihat,
tetapi sepertinya untukku nyanyiannya memiliki warna kelembaban bunga violet,
dari bunga violet yang berada di rumah di dalam bumi,
karena wajah kematian adalah hijau,
dan muka yang diberikan kematian adalah hijau,
dengan penetrasi kelembaban dari sehelai bunga violet
dan warna muram dari musim dingin yang menyakitkan hati.

Tetapi kematian juga melewati dunia berbaju seperti sebuah sapu,
menyapu lantai, mencari tubuh-tubuh mati,
kematian ada di dalam sapu,
sapu adalah lidah dari kematian yang mencari mayat-mayat,
adalah jarum dari kematian yang mencari benang.

Kematian ada di dalam tempat tidur gantung yang terlipat,
yang menghabiskan hidupnya tidur di atas matras-matras lambat,
di dalam selimut-selimut hitam, dan tiba-tiba melepaskan nafas:
meniupkan suara ratapan yang membengkakkan seprai,
dan tempat-tempat tidur pergi berlayar menuju pelabuhan
dimana kematian sudah menunggu, berpakaian seperti seorang laksmana.

Terjemahan Puisi-Puisi Pablo Neruda

Bersandar Pada Senja



Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.

Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.

Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.

Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.

Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.

Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.

Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang.



Soneta XVII


aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.

aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.

aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya

beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.

Soneta LXVI


Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.

Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.

Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.

Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.

Soneta XXV


Sebelum aku mencintaimu, cinta, tiada ada yang menjadi milikku:
Aku melambai melalui jalan-jalan, di antara benda-benda:
tiada ada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama:
dunia terbuat dari udara, yang menunggu.

Aku mengenal kamar-kamar yang penuh oleh debu,
terowongan dimana bulan hidup,
gudang-gudang kasar yang menggeram Pergilah,
pertanyaan yang memaksa di dalam pasir.

Semua adalah kekosongan, mati, bisu,
jatuh, terlantar dan membusuk:
tidak diragukan asing, semuanya.

milik orang lain --tidak pada siapapun:
sampai kecantikanmu dan kemiskinanmu
dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.

Tiada Selain Kematian


Adalah kuburan yang kesepian,
makam yang penuh dengan tulang belulang yang tak berbunyi,

Oh Bumi, Nantikan Aku


Pulangkan daku, oh mentari,
ke takdir kasapku,
hujan hutan tua,
kembalikan padaku aroma dan pedang-pedang
yang lepas dari angkasa,
kedamaian sunyi padang rumput dan karang,
kelembapan tepi-tepi sungai,
bau pohon cemara,
angin yang riang laksana jantung
yang berdetak di tengah sesak kegelisahan
araucaria yang besar.

Bumi, kembalikan padaku kado-kado sejatimu,
menara-menara kesunyian yang dahulu
menjulang dari ketakziman akar-akar mereka.
kuingin kembali jadi sosok masa silamku
dan belajar untuk berpaling dari bisikan kalbu
bahwa di antara segala sosok alamiah,
aku mungkin hidup atau hadapi maut;
tak mengapa jadi satu batu baru, batu kelam,
batu sejati yang hanyut oleh sungai.

hati yang berjalan melalui sebuah terowongan,
seperti bangkai kapal kita akan mati memasuki diri kita sendiri,
seakan-akan kita tenggelam dalam hati masing-masing
seakan-akan kita hidup lepas dari kulit kedalam jiwa.

Dan adalah mayat-mayat,
kaki yang terbuat dari tanah liat yang dingin dan lengket,
kematian ada di dalam tulang-tulang,
seperti gonggongan dimana tiada anjing-anjing,
keluar dari bel entah di mana, dari makam entah di mana,
tumbuh di dalam udara lembab seperti tangisan hujan.

Terkadang aku melihat sendiri,
peti mayat yang sedang berangkat,
dimulai dengan kepucatan kematian, dengan wanita yang memiliki rambut mati,
dengan tukang-tukang roti yang seputih malaikat,
dan gadis-gadis muda yang termenung menikah dengan notaris publik,
peti mati melayari vertikal sungai kematian,
sungai berwarna ungu gelap,
menyusuri hulu dengan layar-layar yang berisikan suara-suara kematian,
berisikan suara kematian yang merupakan diam.

Kematian datang dengan semua suara itu
seperti sebuah sepatu tanpa kaki di dalamnya, seperti sebuah jas tanpa seorang laki laki di dalamnya,
datang dan mengetuk, menggunakan sebuah cincin tanpa batu di dalamnya, tanpa jari di dalamnya,
datang dan berteriak tanpa mulut, tanpa lidah, tanpa kerongkongan.
namun langkah-langkahnya bisa didengar
dan pakaiannya membuat suara keheningan, seperti sebuah pohon.

Aku tidak yakin, aku mengerti cuma sedikit, aku tidak bisa begitu melihat,
tetapi sepertinya untukku nyanyiannya memiliki warna kelembaban bunga violet,
dari bunga violet yang berada di rumah di dalam bumi,
karena wajah kematian adalah hijau,
dan muka yang diberikan kematian adalah hijau,
dengan penetrasi kelembaban dari sehelai bunga violet
dan warna muram dari musim dingin yang menyakitkan hati.

Tetapi kematian juga melewati dunia berbaju seperti sebuah sapu,
menyapu lantai, mencari tubuh-tubuh mati,
kematian ada di dalam sapu,
sapu adalah lidah dari kematian yang mencari mayat-mayat,
adalah jarum dari kematian yang mencari benang.

Kematian ada di dalam tempat tidur gantung yang terlipat,
yang menghabiskan hidupnya tidur di atas matras-matras lambat,
di dalam selimut-selimut hitam, dan tiba-tiba melepaskan nafas:
meniupkan suara ratapan yang membengkakkan seprai,
dan tempat-tempat tidur pergi berlayar menuju pelabuhan
dimana kematian sudah menunggu, berpakaian seperti seorang laksmana.


Ya, kukenal dia, dan kulewatkan sederet tahun bersamanya,
dengan hakekatnya yang berasal dari emas dan batu,
ia seorang lelaki yang letih �
di Paraguay ia tinggalkan ayah dan bundanya,
anak-anaknya dan semua keponakannya,
ipar-iparnya yang paling akhir,
pintunya dan ayam-ayamnya,
serta beberapa buku yang setengah terbuka.
Ada suara ketukan pintu.
Ketika ia membukanya, ia disambar polisi
dan mereka menderanya tanpa kata ampun
sehingga ia ludahkan darah di Prancis, di Denmark,
di Spanyol, di Italia, dan bergerak ke sana kemari,
kemudian ia mati dan tak lagi kulihat wajahnya,
tak lagi kudengar kesunyiannya yang dalam;
lalu suatu ketika, pada suatu malam berbadai,
dengan salju yang turun menyelubungi
sebuah mantel licin di daerah pegunungan,
di punggung seekor kuda, di sana, di kejauhan,
kulayangkan pandang dan kulihat sahabatku di sana
parasnya kini terukir di permukaan sebuah batu,
dan raut wajahnya menantang cuaca liar,
dalam rongga hidungnya angin meniupkan
rintihan seorang lelaki yang tanggung siksa.
di sana, pengasingan temukan titik akhir.
kini ia hidup di tanah airnya walau berwujud batu.


http://fitrahanugrah.multiply.com/reviews/item/3

Puisi-puisi Pablo Neruda

Puisi-puisi Pablo Neruda


Soneta XVII
Pablo Neruda

aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.

aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.

aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya

beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.

Soneta LXVI
Pablo Neruda

Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.

Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.

Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.

Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.

Soneta XXV
Pablo Neruda

Sebelum aku mencintaimu, cinta, tiada ada yang menjadi milikku:
Aku melambai melalui jalan-jalan, di antara benda-benda:
tiada ada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama:
dunia terbuat dari udara, yang menunggu.

Aku mengenal kamar-kamar yang penuh oleh debu,
terowongan dimana bulan hidup,
gudang-gudang kasar yang menggeram Pergilah,
pertanyaan yang memaksa di dalam pasir.

Semua adalah kekosongan, mati, bisu,
jatuh, terlantar dan membusuk:
tidak diragukan asing, semuanya.

milik orang lain –tidak pada siapapun:
sampai kecantikanmu dan kemiskinanmu
dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.

Tiada Selain Kematian
Pablo Neruda

Adalah kuburan yang kesepian,
makam yang penuh dengan tulang belulang yang tak berbunyi,
hati yang berjalan melalui sebuah terowongan,
seperti bangkai kapal kita akan mati memasuki diri kita sendiri,
seakan-akan kita tenggelam dalam hati masing-masing
seakan-akan kita hidup lepas dari kulit kedalam jiwa.

Dan adalah mayat-mayat,
kaki yang terbuat dari tanah liat yang dingin dan lengket,
kematian ada di dalam tulang-tulang,
seperti gonggongan dimana tiada anjing-anjing,
keluar dari bel entah di mana, dari makam entah di mana,
tumbuh di dalam udara lembab seperti tangisan hujan.

Terkadang aku melihat sendiri,
peti mayat yang sedang berangkat,
dimulai dengan kepucatan kematian, dengan wanita yang memiliki rambut mati,
dengan tukang-tukang roti yang seputih malaikat,
dan gadis-gadis muda yang termenung menikah dengan notaris publik,
peti mati melayari vertikal sungai kematian,
sungai berwarna ungu gelap,
menyusuri hulu dengan layar-layar yang berisikan suara-suara kematian,
berisikan suara kematian yang merupakan diam.

Kematian datang dengan semua suara itu
seperti sebuah sepatu tanpa kaki di dalamnya, seperti sebuah jas tanpa seorang laki laki di dalamnya,
datang dan mengetuk, menggunakan sebuah cincin tanpa batu di dalamnya, tanpa jari di dalamnya,
datang dan berteriak tanpa mulut, tanpa lidah, tanpa kerongkongan.
namun langkah-langkahnya bisa didengar
dan pakaiannya membuat suara keheningan, seperti sebuah pohon.

Aku tidak yakin, aku mengerti cuma sedikit, aku tidak bisa begitu melihat,
tetapi sepertinya untukku nyanyiannya memiliki warna kelembaban bunga violet,
dari bunga violet yang berada di rumah di dalam bumi,
karena wajah kematian adalah hijau,
dan muka yang diberikan kematian adalah hijau,
dengan penetrasi kelembaban dari sehelai bunga violet
dan warna muram dari musim dingin yang menyakitkan hati.

Tetapi kematian juga melewati dunia berbaju seperti sebuah sapu,
menyapu lantai, mencari tubuh-tubuh mati,
kematian ada di dalam sapu,
sapu adalah lidah dari kematian yang mencari mayat-mayat,
adalah jarum dari kematian yang mencari benang.

Kematian ada di dalam tempat tidur gantung yang terlipat,
yang menghabiskan hidupnya tidur di atas matras-matras lambat,
di dalam selimut-selimut hitam, dan tiba-tiba melepaskan nafas:
meniupkan suara ratapan yang membengkakkan seprai,
dan tempat-tempat tidur pergi berlayar menuju pelabuhan
dimana kematian sudah menunggu, berpakaian seperti seorang laksmana.


http://marsmellow.wordpress.com/2006/11/07/puisi-puisi-pablo-neruda-2/

"PUISI PABLO NERUDA"

"PUISI PABLO NERUDA"

SONETA XIII

Aku tidak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbul mawar atau batu topaz, atau panah anyelir yang menyalakan api.
Aku mencintai mu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai, secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa. Aku mencintai mu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar, tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
Terima kasih untuk cinta mu suatu wewangian padat, bermunculan dari dalam tanah hidup secara gelap didalam tubuh ku.
Aku mencintai mu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana.
Aku mencintai mu lurus, tanpa macam-macam, tanpa kebanggaan;
Demikianlah aku mencintai mu karena aku tak tahu cara lainnya.
Beginilah dimana aku tiada, juga kau, begitu dekat sehingga tangan mu didada ku adalah tangan ku.
Begitu dekat sehingga mata mu terpejam, aku pun jatuh tertidur.




SONETA LXVI

Aku tidak mencintai mu kecuali karena aku mencintai mu.
Aku pergi dari mencintai mu menjadi tidak mencintai mu, dari menunggu menjadi tidak menunggu diri mu.
Hati ku berjalan dari dingin menjadi berapi.
Aku mencintai mu hanya karena kamu lah yang aku cinta;
Aku membenci mu tanpa henti, dan membenci bertekuk kepada mu, dan besarnya cinta ku yang berubah untuk mu adalah bila aku tidak mencintai mu, tetapi mencintai mu dengan buta.
Mungkin cahaya bulan januari akan memamah hati ku dengan sinar kejamnya, mencuri kunci ku pada ketenangan sejati.
Dalam bagian cerita ini hanya aku lah yang mati, hanya satu-satunya, dan aku akan mati karena cinta, karena aku mencintai mu, karena aku mencintai mu, cinta ku dalam api dan dalam darah.



SONETA XXV

Sebelum aku mencintai mu, cinta tiada ada yang aku miliki;
Aku melambai melalui jalan-jalan diantara benda-benda;
tiada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama;
dunia terbuat dari udara yang menunggu.
Aku mengenal kamar-kamar yang dipenuhi oleh debu, terowongan dimana bulan hidup, gudang-gudang kasar yang menggeram pergilah, pertanyaan yang memaksa didalam pasir.
Semua adalah kekosongan, mati, bisu, jatuh, terlantar dan membusuk;
tidak diragukan asing, semuanya
Milik orang lain--tidak pada siapapun;
sampai kecantikan mu dan kemiskinan mu dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.



SONETA LXXIII

Mungkin saja kau teringat dengan pria bermuka cukur, yang keluar dari kegelapan seperti pisau dan- sebelum kita sadar- tahu apa yang ada disitu;
dia melihat asap dan api terakhir.
Perempuan yang pucat dengan rambut hitam mawar seperti ikan dan jurang, dan keduanya membangun sebuah alat yang aneh, bersenjata sampai dengan gigi, melawan cinta.
Laki-laki dan perempuan, mereka menjatuhkan gunung-gunung dan taman-taman, mereka mereka menyusuri sungai, mengukur dinding, mereka menaikkan persenjataan kejamnya pada bukit.
Dan cinta mengetahui dipanggil cinta dan sewaktu aku mengangkat mata ku pada nama mu, tiba-tiba hati mu menunjukkan jalan ku.


DISINI AKU MENCINTAI MU

Disini aku mencintai mu
Didalam hutan kayu pinus, angin berhembus dengan sendirinya.
Bulan bersinar seperti phospor pada air pengembara.
Berhari-hari semua yang sejenis, berlari saling berkejaran.
Salju terbuka dalam figur-figur tarian.
Burung camar keperakan menukik dari barat, kadang-kadang kapal, tinggi, bintang-bintang yang tinggi.
Terkadang aku bangun pagi dan jiwaku pun basah.
Jauh sekali laut berbunyi dan bergema, ini adalah pelabuhan.
Disini aku mencintai mu.

Disini aku mencintai mu dan horison menyembunyikan mu dalam kesirnaan.
Aku masih mencintai mu diantara semua yang dingin ini.
Kadang ciuman-ciuman ku pergi bersama kapal-kapal itu.
Menyeberangi lautan tidak menuju ke suatu arah.
Aku melihat diriku terlupakan seperti jangkar-jangkar tua itu.
Dermaga-dermaga membuat sedih ketika senja bertambat disitu.
Hidupku berjalan dengan keletihan, lapar tanpa ada tujuan.
Aku mencintai apa yang tak aku miliki;
Kau terlalu jauh.
Bebanku dihindarkan dengan sinar yang redup.
Tetapi malam datang dan bernyanyi untuk ku.
Bintang-bintang terbesar melihat padaku dengan kedua matamu.
Dan sewaktu aku mencintaimu, kayu-kayu pinus diantara angin.
Ingin menyanyikan nama-nama mu dengan daun-daunnya yang terhubung dengannya.

TIADA SELAIN KEMATIAN

tertunda...



http://my.opera.com/Terisno/blog/puisi-pablo-neruda

Mencicip Puisi-Puisi Pablo Neruda

Mencicip Puisi-Puisi Pablo Neruda


Pablo Neruda, penerima anugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra 1971 dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20. Novelis Kolombia, Gabriel García Márquez menyebutnya “penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun”. Jadi pasti enak sekali mencicipi puisi-puisi cintanya yang erotik, puisi-puisi surealisnya, puisi-puisi politiknya, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut.


Pablo Neruda lahir di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago, Chili, 12 Juli 1904. Nama Pablo Neruda sebenarnya merupakan nama samaran, nama penyair ini sebenarnya adalah Ricardo Eliecer Neftalí Reyes Basoalto. Ia lahir dari ayah bernama José del Carmen Reyes Morales, seorang pegawai kereta api,dan ibunya, Rosa Neftalí Basoalto Opazo, seorang guru sekolah yang meninggal dua bulan setelah ia dilahirkan.

Minatnya dalam tulis-menulis dan sastra sebenarnya ditentang ayahnya, namun ia mendapatkan dorongan dari orang lain, termasuk Gabriela Mistral yang kelak mendapatkan Hadiah Nobel. Karyanya yang pertama diterbitkan ditulisnya untuk harian setempat, La Mañana, pada usia 13 tahun: Entusiasmo y perseverancia (“Antusiasme dan Kegigihan”).

Ia penyair yang sangat produktif. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi yang surealis, epos sejarah, dan puisi-puisi politik, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut. Pada 1920, ketika ia mengambil nama samaran Pablo Neruda, ia sudah banyak menerbitkan puisi, prosa, dan jurnalisme.

Pada 1923 kumpulan puisinya yang pertama, Crepusculario (“Buku Senja”), diterbitkan, dan tahun berikutnya terbit Veinte poemas de amor y una canción desesperada (“Dua puluh Puisi Cinta dan Nyanyian Putus Asa”), kumpulan puisi cinta yang kontroversial karena sifatnya yang erotik. Kedua karyanya itu mendapatkan pujian kritis dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selama dekade-dekad berikutnya, Veinte poemas terjual berjuta-juta kopi dan menjadi karya Neruda yang paling terkenal.

Reputasi Neruda makin berkembang di dalam maupun di luar Chili, namun ia hidup dalam kemiskinan. Pada 1927, karena putus asa, ia menerima jabatan sebagai konsul kehormatan di Rangoon, yang saat itu merupakan bagian dari kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Kemudian ia melakukan kerja serabutan di Kolombo (Sri Lanka), Batavia, dan Singapura. Di Jawa ia bertemu dan menikahi istrinya yang pertama, seorang Belanda pegawai bank yang tinggi badannya, bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang. Sementara menjalani tugas diplomatik, Neruda banyak membaca puisi dan bereksperimen dengan berbagai bentuk puisi. Ia menulis jilid pertama dari kumpulan puisinya yang dua jilid Residencia en la tierra, (Menetap di Negeri) yang mencakup banyak puisi surealis, yang belakangan menjadi terkenal.

Ah mari kita langsung saja kita cicipi puisi Pablo Neruda. Berikut ini adalah beberapa puisi Pablo Neruda yang saya terjemahkan dari arsip Classic Poetry Series.

SEEKOR ANJING TELAH MATI

Anjingku telah mati, kukubur dia di kebun
disebelah mesin tua penuh karat

Suatu saat aku pun akan menemaninya di sana
tapi saat ini biar dia bersama mantel kusutnya
tabiat buruknya, dan hidungnya yang beringus
dan aku, si gila dunia yang tidak meyakini
apapun yang dijanjikan surga di angkasa pada
tiap yang berbelas kasih
Aku percaya, di surga para anjing
dimana anjingku akan menunggu kehadiranku
meriakkan hembusan serupa goyang ekor persahabatannya
aku yakin, aku tak akan pernah menginjakkan kaki di sana

Ah, aku takkan mengobral kesedihan di tanah ini
karena telah kehilangan seorang sahabat
yang tidak pernah kehilangan martabat
persahabatannya untukku, persis seperti landak
yang mempertahankan kerajaannya
persahatan sebiji bintang, jauh terpencil
tanpa sautan hadir keintiman, tanpa dilebih-lebihkan

Sama sekali dia tak pernah melompat ke atas pakaianku
dan menularkan kudisnya ke seluruh tubuhhku
dia juga sama sekali tak pernah menggosok-gosok ke lututku
layaknya anjing-anjing yang lain yang doyan bercinta
tidak, anjingku hanya menatapku lurus
hanya memberi perhatian yang kubutuhkan
perhatian yang wajib hadir
untuk membuat orang yang tak berguna sepertiku mengerti
bahwa menjadi seekor anjing telah membuang-buang waktunya

Dengan mata yang lebih jernih daripada milikku
dia akan tetap menatapku
dengan raut muka tertentu yang hanya dia perlihatkan padaku
semua hal manisnya dan kehidupan kusutnya
selalu berada di dekatku
tak pernah menyusahkanku dan tak pernah meminta apapun

Ah pada ekornya, berapa kali aku termakan cemburu
saat berjalan bersama di bibir pantai
di sepi musim dingin Isla nigra
saat burung-burung musim itu memenuhi angkasa
dan rambutku morat-marit dipermainkan dahsyat gelombang angin
anjing pengembaraku itu akan mendengus-dengus
dengan ekornya yang keemasan berdiri tegak
langgsung menantang semburan muka samudera

Riang, riang, riang
seperti satu-satunya anjing yang tahu mengecam kebahagiaan
tidak ada kata perpisahan untuk anjingku yang telah mati
dan kami, segera atau tidak kapanpun pernah berbaring
sebelah menyebelah

Jadi sekarang dia telah mati dan aku menguburkannya
dan hanya itu, hanya untuk itu dia hadir

(Pablo Neruda)

SONETA II

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.

Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.

Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa

Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.

(Pablo Neruda)

DONGENG PUTRI DUYUNG DAN PEMABUK

Semua laki-laki itu berada di dalam ruangan
saat dia masuk bertelanjang
Mereka semua telah mabuk: mereka mulai menyibak
baru-baru ini dia muncul dari bibir sungai tanpa tahu apapun
Seekor putri duyung yang tersesat jalan

Dari kilatan tubuhnya celaan segera meluap
kecabulan basah kuyup di payudaranya yang keemasan
ia tidak mengenal airmata jadi ia tak pernah mengusap air mata
ia tidak mengenal pakaian dia tak memilikinya
mereka menyelimutinya dengan sumbat-sumbat gabus hangus
dan puntung-puntung rokok
digelindingkan beriring derai tawa di lantai kedai

Dia sama sekali tidak berbicara, karena dia tak mengenal kata
matanya adalah warna cinta yang asing dingin
bibirnya bergerak, sunyi, dalam cahaya batu karang
dan tiba-tiba dia pergi keluar melalui pintu di sana
masuk ke dalam sungai yang menyucikannya
bersinar seperti pualam di musim hujan
tanpa menoleh dia terus berenang
berenang keketiadaan, menuju maut

(Pablo Neruda)

KUTU ITU BEGITU MENARIK PERHATIAN

Kutu itu begitu menarik perhatian
maka kubiarkan ia menggigitku berjam-jam
mereka begitu sempurna, purba, sanskrit
mesin yang setuju untuk tidak pernah memohon terlebih dahulu

Mereka tidak menggigit untuk makan
mereka hanya menggigit sebagailompatan
mereka bak penari-penari ruang angkasa dengan
akrobat-akrobat halus sebuah sirkus paling lembut nan dalam
kubiarkan mereka mencongklang di kulit
merembeskan semua rahasia perasaannya
menghibur diri sendiri dengan darahku

Ah, seseorang harusnya mengenalkannya padaku
aku ingin mengenalnya lebih intim
aku ingin mengetahui apa yang dipercayainya

(Pablo Neruda)

KUCANDUI MULUTMU, SUARAMU, RAMBUTMU

jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
karena, karena aku tak tahu bagaimana mengucapkannya:
sehari adalah waktu yang begitu lama
dan aku akan menunggumu di stasiun yang melompong ini
ketika kereta-kereta tak lagi singgah disini, tertidur

jangan tinggalkan aku, meski hanya satu jam, karena
sejak itu, tetes-tetes kecil kesedihan akan berpacu bersama
asap yang mengembara mencari rumah terseret hanyut
dalam diriku, mencekik hatiku yang sekarat

ah, barangkali siluetmu tak pernah larut di pantai
barangkali kelopak matamu tidak pernah berdenyar
di bentang jarak yang hampa
jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun sayang
karena jika terjadi, kau akan terlanjur begitu jauh

aku akan mengembara, melantur di seluruh penjuru bumi
bertanya-tanya apakah kau akan kembali?
apakah kau akan meninggalkanku disini meregang mati?

(Pablo Neruda)

TAWAMU

ambil saja nafas ini dariku, jika kamu memohon,
ambil juga udara ini, tapi
jangann ambil dariku tawamu

jangan ambil mawar
kembang tombak yang kau tusukkan lalu kau cerabut
hingga tiba-tiba air meluap-luap bahagia tanpa henti
gelombang tiban yang melahirkan perak dalam dirimu

perjuanganku sungguh kasar dan aku kembali
dengan mata lelah
sejak mula melihat dunia yang tak berubah
tapi ketika tawamu lahir
tawa itu melontar ke angkasa dan segera mencariku
dan membuka seluruh pintu-pintu hidupku

sayangku, dalam masa paling gelap
tawamu hadir, dan tiba-tiba
lihatlah darahku luntur mengotori batu-batu jalan
tertawa, karena tawamu digenggamanku
akan menjelma serupa pedang yang baru ditempa

di bahu laut musim gugur
tawamu pasti menegakkan bebuih jeram
dan di musim semi, sayangku
tawamu seperti bunga yang kutunggu-tunggu
bunga biru, mawar yang menggema di seantero penjuru

tawa yang tersangkut di malam
pada hari, pada bulan,
tawa yang berpantul-pantul di jalan-jalan di pulau ini
tawa pada bocah ceroboh yang mencintaimu
tawa berkelebat saat aku memejam dan membuka mata
tawa ketika langkahku maju, ketika langkahku surut
mengingkari tarikan nafas, udara, sinar, semi, tapi
jangan pernah ambil tawamu
atau aku akan binasa

(Pablo Neruda)

TERSESAT DI HUTAN

Tersesat du hutan, kupatahkan reranting gelap dahan
yang meruapkan bisikan-bisikan di bibirku yang dahaga
mungkin itu suara tangisan hujan
pecah genta atau hati yang terajam kelam

Sesuatu yang terindera berasal dari langkah yang jauh
dalam dan rahasia, tersembunyi di dalam bumi
seperti teriakan yang teredam oleh gunungan musim gugur
oleh lembab dan kibas setengah terbuka kegelapan dedaun
terbangun dari mimpi hutan disana, kabut
bernyanyi di bawah lidahku, menghanyut wewangian
meruyap naik di alam bawah sadarku

Saat telah kutinggalkan di belakang, tiba-tiba akar-akar
menangis padaku, tanah yang telah hilang bersama masa kanak-kanakku
dan aku berhenti, terluka oleh harum pengembaraan

(Pablo Neruda)




http://kedaipuisi.wordpress.com/2009/03/12/mencicip-puisi-puisi-pablo-neruda-bagian-1/

Puisi Sedih Pablo Neruda

Ode Bagi Pakaian ~ Pablo Neruda

Engkau, pakaian-pakaian yang
menanti setiap pagi, di atas kursi,
Engkau yang mengisi dirimu sendiri,
dengan kepongahanku, cinta kasihku,
harapanku, dan tentu dengan tubuhku.

Begitulah, setelah
bangkit dari lelap,
lalu kulepaskan air,
maka kumasuki lenganmu,
dan kakiku mencari di
lorong-lorong kakimu,
dan kemudian terangkul erat
dalam kesetiaan engkau yang tak berbatas
aku pun bangkit menjejaki rumput itu,
memasuki puisi,
meninjau ke saujana jendela,
ke semesta benda-benda,
para lelaki dan wanita-wanita,
seluruh tingkah dan segala pertarungan,
terus membentuk aku,
terus memaksaku menghadapi apapun
menggerakkan tanganku,
membelalakkan mataku,
mengangakan mulutku,

Dan wahai
pakaian-pakaian,
aku pun juga membentukmu,
memperlebar bagian sikumu,
merapikan benang jahitmu,
dan hidupmu pun mengembara,
hingga ke imaji hidupku.

Di angin
engkau kumal dan rantas
seperti engkaulah jiwaku,
di saat yang buruk,
engkau memagut erat
tulang-tulangku,
kosong, hingga malam,
kegelapan, kembali lelap
lalu datang mereka: hantu-hantu
sayapmu dan sayapku.

Kusangka,
kelak jika suatu hari
ada sebutir peluru
dari seorang musuh
akan membasahimu dengan darahku
lalu
engkau mati bersamaku.
Atau kelak di hari lainnya,
bukan dalam senyap
tapi begitu dramatik
dan sederhana,
engkau akan jatuh sakit,
wahai pakaian-pakaian,
sakit bersamaku,
menua bersamaku, bersama tubuhku
lalu kita menyatu
lalu kita memasuki
bumi.
Karena itu,
setiap hari
aku menyapamu
dengan sedalamnya hormatku, lalu
engkau erat memelukku, aku melupakanmu,
karena kita sesungguhnya satu
dan kita akan senantiasa
menantang angin, menantang malam,
di jalanan, dalam pertarungan,
tubuh yang tunggal,
hari yang tunggal, satu hari nanti, ketika hanya ada sunyi.


Bersandar Pada Senja ~ Pablo Neruda

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.

Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.

Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.

Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.

Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.

Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.

Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang.




Ode bagi Perempuan Sedang Berkebun ~ Pablo Neruda


Ya, aku tahu tanganmu adalah
rebung merecup, serumpun lili
berdaun perak:
ada yang harus engkau lakukan
dengan tanah itu,
dengan bumi yang berbunga,
tapi
ketika
kulihat engkau menggali, menggali,
mengeyahkan kerikil
dan menuntun arah akar-akar
aku tahu seketika itu,
perempuanku yang sedang berkebun,
bahwa
tidak hanya
tanganmu
tapi juga hatimu
telah menyentuh bumi,
karena di sana
engkau
menciptakan
benda-bendamu,
menyentuh
kelembaban
pintu
melalui jalan
di mana
benih-benih
menebar.

Maka pada jalan ini
dari satu tanaman
ke yang lain
satu tanaman yang
baru saja ditanam,
dengan wajahmu
dibekasi
ciuman
dari tanah liat,
engkau pergi
lalu datang lagi
memekarkan bunga,
engkau pergi
dari tanganmu
batang utama tajuk
astromeria
membangkitkan sosok sendirinya
yang anggun,
mawar mengharumkan
kabut di keningmu
dengan wangi dan bintang-bintang embun.

Segalanya tumbuh
darimu
menembus bumi
dan menjelma jadi
cahaya hijau,
daun dan kekuatan
engkau mengatakan
apa yang ingin disebutkan oleh
benih-benihmu padanya,
kekasihku,
perempuan merah yang sedang berkebun:
tanganmu yang berkerabat
dengan bumi
dan tumbuh cemerlang
adalah kesertamertaan

Cinta, pun demikian
adalah air tanganmu
bumi hatimu,
memberi
kesuburan
dan kekuatan pada laguku
kau sentuh
dadaku
sementara aku terlelap
dan pohon-pohon berbunga
dalam mimpiku.

Aku terbangun, membuka mata,
dan engkau telah ada
di sisiku
bintang-bintang dalam bayang
yang kelak datang dan terang
dalam laguku.

Begitulah, perempuan yang sedang berkebun:
cinta kita
membumi:
mulutmu adalah tanaman cahaya,
sebuah mahkota bunga, dan
hatiku menjaga di antara akar-akarnya.


Ode Bagi Buku ~ Pablo Neruda

Ketika akhirnya sebuah buku kututup
aku membuka hidup.

Aku dengar juga
tangis yang ragu menghiba
di antara dermaga-dermaga
tiang-tiang tembaga
menggelincir turun ke lubang-lubang pasir
hingga ke Tocopilla.

Waktu telah malam
di antara pulau-pulau
samudera kita
berdebaran bersama ikan,
menyentuh kaki, menyentuh paha,
rusuk-rusuk rapuh
negeriku.

Seluruh malam
berpagut teguh sepanjang pasir, hingga fajar
bangkit menggugah nyanyi
seperti dia yang telah menggairahkan gitar.

Hempasan samudera mengelu-elu
Hembusan angin
menyeruku
dan Rodriguez memanggilku,
juga Jose Antonio –

Ada telegram tiba
dari negara — “Negaraku”
dan dari seorang yang kuberi cinta
(yang tak kan kusebutkan siapa)
mengharapkan aku kini ada di Bucalemu.

Tak ada sebuah buku yang mampu
membungkusku dalam kertas
mengisi sekujurku
dengan tipografi,
dengan jejak cetak teramat riang
atau bisa mengikat mataku,

Aku beranjak keluar dari buku ke taman buah manusia
dengan parau lagu, kerabat lagu-laguku,
yang mengolah baja-baja pijar
atau menyantap daging bakar
di sisi perapian, di rumah pegunungan.

Aku cinta buku yang
penuh petualangan,
buku tentang salju atau hutan-hutan,
ke dalam bumi atau langit tinggi,
tapi aku membenci
buku tentang laba-laba
yang menyangka
telah ditebarnya jaring berbisa
menjebak lalat yang baru saja
melingkar belajar mengepak sayapnya.

Buku, biarkan aku pergi menjauhimu.
Aku bukan hendak mengenakan baju
dalam jilid-jilid,
aku tidak hendak beranjak keluar
untuk memunguti karya-karyaku,
karena sajak-sajakku
tak menyantap sajak-sajak –
mereka melahap takjub peristiwa-peristiwa
mereka hidup dalam kasar cuaca
mereka menggali sendiri umbi
dari bumi dan hidup lelaki.
Aku kini ada di jalanku.
Dengan debu di sepatu berdebu
terbebas dari kurung mitos-mitos:
Maka kembalikan saja buku ke dalam buku,
dan aku akan turun saja ke jalanan.
Aku telah pelajari hidup
langsung dari hidup itu sendiri.
Cinta mengajariku cukup dari satu kecupan
dan tak mengajarkan apapun pada orang lain,
kecuali bahwa aku telah hidup
dengan yang lazim ada di antara para lelaki,
ketika bergelut, beradu otot,
ketika mengatakan semua ucap mereka dalam lagu-laguku



Kakimu ~ Pablo Neruda

Jika tak bisa kutatap wajahmu
aku memandangi kakimu.
Kakimu, lengkung tulang,
kaki kecil yang tegar.
Aku tahu kaki itu yang mendukungmu,
dan berat tubuh indahmu,
bangkit dari kedua kakimu.

Pinggul dan dadamu,
noktah kembar merah
lembayung putingmu,
lekuk matamu
mengalir, mengalir,
bibirmu: ranum buah,
rambutmu: ikal merah,
menara kecilku.

Tapi aku cinta kakimu
kerana hanya langkahnya
melintasi bumi
menembus angin
melewati air,
hingga akhirnya:
mendapati aku.



Puedo Escribir (Aku Boleh Menulis) ~ Pablo Neruda


Mungkin dapat kutulis, “Malam berkeping-keping
dan bintang-bintang biru gemetar di kejauhan.”

Angin malam hari bergulung di angkasa dan bernyanyi

Malam ini kutulis syair kesedihan
Aku mencintainya, kadang-kadang ia mencintaiku juga

Bermalam-malam seperti malam ini kuikat dia dengan pelukan
Aku menciumnya berulang-ulang di bawah langit kekal

Ia mencintaiku, kadang-kadang aku mencintainya juga
Aneh sekali jika engkau enggan menaruh hati pada binar matanya

Malam ini kutulis syair kesedihan
Berfikir jika aku tak memilikinya. Andai aku kehilangan dirinya

Mendengar malam yang lengang, semakin sunyi tanpanya
Sajak-sajak berjatuhan ke dalam jiwa bagai embun di padang rumput

Mungkin cintaku tak mampu menahannya
Malam berkeping-keping dan ia tak bersamaku

Di kejauhan seseorang bernyanyi. Jauh sekali
Jiwaku pilu kehilangan dirinya

Pandanganku mencarinya seakan hendak mengejarnya
Hatiku mencarinya, dan ia tak bersamaku

Malam sama putihnya dengan pepohonan
Waktu itu, kita, telah sangat berubah

Aku tak lagi mencintainya, tentu, namun mengapa aku mencintainya
Suaraku mengejar angin yang menyentuh daun telinganya

Yang lain. Dia akan menjadi milik yang lain. Seperti kecupan-kecupanku sebelumnya
Suaranya. Tubuhnya yang bercahaya. Matanya yang kekal

Aku tak lagi mencintainya, tentu, namun mungkin aku mencintainya
Mencinta tak semudah melupakan

Sebab bemalam-malam seperti malam ini kuikat dia dalam pelukan
Jiwaku sedih kehilangan dia

Mungkin inilah akhir duka sebab ia telah membuatku nestapa
dan inilah syair terakhir yang kutulis untuknya

~ Pablo Neruda