Monday 21 March 2011

INDONESIA-INGGRIS

INDONESIA-INGGRIS


Saut Situmorang

http://sautsitumorang.multiply.com/

Di sebuah koran daerah, dalam kolom bertajuk “Gaya Hidup”, saya membaca sebuah laporan menarik tentang pemakaian bahasa Indonesia terkini yang penuh didekorasi kata-kata bahasa Inggris. Menarik karena saya baru tahu setelah membaca laporan tersebut betapa parahnya sudah gejala gado-gado Indonesia-Inggris ini dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari terutama di kota-kota besar Indonesia. Tapi saya juga merasa geli membaca contoh-contoh bahasa Indonesia-Inggris yang disebutkan dalam laporan tersebut. Berikut ini saya kutipkan dua contohnya:

“Suatu pagi di sebuah ruang kuliah salah satu perguruan tinggi negeri . . . terdengar suara perempuan asyik menjelaskan materi kuliah. Di tengah kuliah ia bertanya, ’Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang get lost?’ Ketika tak ada yang menjawab, dosen cantik ini melanjutkan kuliahnya. Berarti tak ada mahasiswanya yang ‘tersesat’ alias get lost. Maksudnya tentu saja bukan tersesat dalam rimba tak bertuan, tapi tidak mengerti penjelasan materi kuliahnya. Nada (20), sebut saja begitu, salah seorang mahasiswanya berbisik, ’Bu dosen ini kalau ngajar memang begitu. Penuh istilah bahasa Inggris. Tapi enak, kesannya keren abis . . . .’”

Apa yang membuat saya jadi geli membaca laporan di atas justru adalah terjemahan yang dilakukan wartawan laporan tersebut yang seolah-olah membantu pembaca untuk mengerti arti/maksud istilah “get lost” yang dipakai dosen cantik tadi tapi malah memperparah kesalahkaprahan makna. Tidak ada dalam bahasa Inggris istilah “get lost” untuk menyatakan “tidak mengerti” atau “tidak paham” apalagi dalam konteks peristiwa yang dilaporkan di atas. Kata yang biasanya dipakai adalah kata sederhana “understand”, bukan “get lost”. Jadi, dalam sebuah suasana berbahasa Inggris yang baik dan benar, dosen cantik tadi mestinya bertanya, ”Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang still don’t understand?” kalau memang bahasa gado-gado ini masih akan dipakai. Atau, kalau memang mau gaul berbahasa Inggris, dia bisa bilang, ”Ok, do you all get it?” Tidak pernah kata “get” akan disandingkan dengan kata “lost” untuk menanyakan apakah sebuah informasi, sebuah pernyataan, apalagi sebuah materi kuliah sudah dipahami atau tidak. Istilah “get lost” yang dipakai dosen tersebut adalah sama sekali tidak benar alias salah karena arti sebenarnya bukan “tidak mengerti” tapi justru memang “tersesat” arah seperti yang disebutkan wartawannya! Dan lebih parah lagi, istilah “get lost” juga biasanya dipakai (secara “gaul”!) untuk memaki seseorang yang kita anggap menjengkelkan seperti pada ekspresi, “Get lost!”!

Contoh berikutnya adalah pemakaian bahasa Indonesia-Inggris di kalangan remaja:

“Di sebuah mal . . . serombongan pelajar sebuah sekolah menengah umum . . . berhenti sejenak di depan sebuah toilet. Salah seorang meninggalkan rombongan. Remaja putri tersebut pamit, ‘Aku pipis dulu ya . . .’ Seorang temannya berteriak, ‘As soon as possible ya. Filmnya udah mau main nih.’ Rupanya rombongan pelajar ini akan menonton film di bioskop yang terletak di seberang mereka.”

Pada contoh ini kembali kita melihat kesalahkaprahan idiomatik dilakukan begitu wajar sehingga terkesan memang tidak salah alias tepat pemakaian frase “as soon as possible” yang arti bahasa Indonesianya memang bisa jadi “cepeten ya”. Untuk konteks peristiwa kedua ini (“pipis”), kata yang tepat dipakai sebenarnya adalah “quick” atau “hurry”, bukan “as soon as possible”. Jadi kalimatnya mestinya, “Be quick ya” atau “Hurry up lah” seperti dalam bahasa Melayu Malaysia. Ketidakpahaman atas fungsi “as soon as” dalam contoh ini mirip dengan kesalahkaprahan atas fungsi “get” pada contoh pertama di atas.

Persoalannya sekarang adalah kenapa gejala pemakaian frase Inggris yang salah-kaprah macam ini bisa terjadi dan menjadi euforia di kalangan orang-orang kota besar di Indonesia, yaitu kalangan yang ironisnya adalah yang berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi, kelompok yang dianggap terpelajar dan intelektual? Apakah isu (melorotnya) nasionalisme berbahasa bisa dijadikan faktor penyebabnya, atau hanya sekedar biar terkesan keren abis (atau “biar salah asal gaya”) seperti yang diklaim banyak pemakainya?

Alif Danya Munsyi, salah seorang alter ego Remy Sylado, seorang komentator Indonesia-Inggris yang paling vokal dalam tulisan-tulisannya seperti yang dikumpulkan dalam bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), saking terlalu bersemangatnya melancarkan kritiknya, telah melupakan dua hal penting dalam tulisan-tulisannya tersebut. Pertama, saking terlalu banyaknya dia memakai kata-kata “baru” yang tidak pernah dijelaskannya berasal dari bahasa apa, dari bahasa daerah atau dari bahasa asing seperti Arab dan Sanskerta, sehingga membingungkan paling tidak saya sebagai pembacanya, Munsyi mbeling ini justru telah melakukan apa yang dia dengan gencar lawan sebagai “penyakit menular” dalam bahasa Indonesia kontemporer dengan idiosinkrasi pilihan-katanya. Kalau orang lain kena virus nginggris, dia sendiri teridap penyakit sinonimisme, terlalu obsesif dengan padanan-kata non-baku yang centang-perenang. (Apa mungkin ada relasi psikologis antara sinonimismenya ini dengan obsesinya dengan pseudonym!)

Kedua, rasisme terhadap bahasa Inggris. Kenapa rupanya kalau bahasa Indonesia memperkaya kosa-katanya dari kosa-kata bahasa Inggris ketimbang dari bahasa daerah atau Sanskerta? Kenapa harus dianggap sebagai “seperti keranjang sampah kata-kata bahasa Inggris”? (Bahasa Inggris sendiri dan rata-rata bahasa di Eropa terlalu banyak “meminjam” dari bahasa “asing” Junani dan Latin tapi malah membuatnya berkembang pesat!) Bukankah justru karena hegemoni bahasa Inggris secara global maka akan lebih mudah bagi pemakai bahasa Indonesia untuk mengerti kata-kata “pinjaman” dari bahasa Inggris daripada kalau “meminjam” dari bahasa daerah tertentu yang saya yakin akan lebih asing bagi pemakai bahasa Indonesia yang tidak terbiasa dengan bahasa daerah tersebut? Dan Sanskerta? Untuk apa bernostalgia dengan bahasa asing yang sudah lama mati ini! Yang menjadi persoalan dalam gejala bahasa Indonesia-Inggris bukanlah keberadaan Inggris dalam tubuh bahasa Indonesia tapi ke-bukan-inggrisan “bahasa Inggris”-nya. Bahasa Indonesia-Inggris bukanlah sebuah pidjinisasi atau blasteranisasi seperti Singaporean-English (Singlish) atau Jamaican-English (seperti “Inglan Is a Bitch”-nya penyair reggae Linton Kwesi Johnson) yang merupakan gejala “the empire writes back” yang cerdas dan politis tapi sebaliknya merupakan peristiwa “bagai rusa masuk kampung” karena habitat hidupnya di hutan tropis sudah sangat menyusut. Kalau hibriditas pada pidjinisasi merupakan resistensi identitas dalam arena survival of the fittest hukum rimba pascakolonial, maka Indonesia-Inggris hanyalah sekedar lanjutan dari internalisasi inlanderisasi doang. Window shopping disangka bener-bener shopping! Tapi mengusulkan untuk mempadankan kata-kata Inggris ke dalam lafaz Indonesia adalah sama seperti memaksakan pemakaian dubbing ketimbang subtitle untuk film-film asing yang diputar di Indonesia. Demi alasan “nasionalisme bahasa”, disamping telah merampas hak penonton untuk mengalami nuansa bahasa percakapan bahasa asing yang dipakai film asing yang sedang ditonton, dubbing justru telah membuat film tersebut kehilangan unsur paling pentingnya sebagai “film asing” yaitu bahasanya yang asing itu!

Pemakaian kata-kata atau frase atau istilah bahasa Inggris dalam konteks wacana akademis-spesialis, Kritik Sastra misalnya, adalah sebuah gejala yang bisa diterima. Terminologi akademis tersebut bisa membantu pembaca/pendengar untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan, terutama karena makna spesialisnya (bukan idioskrinkratis!) sudah dipahami bersama oleh penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Pemakaian terminologi akademis-spesialis juga akan memberi nuansa tekstual kepada isi tulisan atau pembicaraan.

Membuat peraturan-peraturan yang idiosinkratik atas bahasa berdasarkan klaim-klaim yang juga idiosinkratik adalah sebuah sikap yang tidak memandang bahasa, sebuah produk budaya, sebagai sebuah organisme hidup. Seolah-olah bahasa tidak punya konteks ekstra-linguistik. Padahal perkembangan sebuah bahasa lebih banyak ditentukan oleh kondisi pemakaiannya ketimbang oleh ketepatan-ketepatan gramatikal belaka. Pengetahuan seseorang yang mengklaim dirinya “munsyi” atas etimologi satu-dua kata pun tak ada artinya dibanding frekuensi pemakaian satu-dua kata tersebut di masyarakat penggunanya. Dalam konteks bahasa Indonesia-Inggris yang salah kaprah seperti pada kedua contoh di awal esei saya ini, bukan peristiwa nginggris-nya yang mesti diejek-ejek dengan sikap patronising tapi bagaimana kesalahkaprahan itu bisa dikoreksi, terutama lewat media massa yang memang paling potensial untuk merealisasikannya. Karena alasannya sederhana saja: Kalau kita menginginkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, sudah pantas kalau kita juga berbahasa Indonesia-Inggris yang baik dan benar. Idiosinkrasi centang-perenang dalam berbahasa (apapun, termasuk tulisan) memang memualkan.

Diambil dari buku “Politik Sastra” ([sic] 2009)

No comments: