TIRAI
Saut Situmorang
http://boemipoetra.wordpress.com/
Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Seekor kucing tiba-tiba saja muncul dari seberang jalan dan berlari melintas. Aku gugup dan berusaha menekan pedal rem kuat-kuat. Akibatnya sepeda motorku ‘slip’ dan menggelincir tak terkendali ke tepi jalan.
Aku lihat banyak orang berlarian ke tempat di mana badanku terkapar. Mereka lalu berkerumun di sekitarku. Segera saja lalulintas di jalan itu macet. Suara-suara klakson mobil dan sepeda motor begitu ramai, tapi tak membuat kerumunan orang di sekitarku jadi bubar. Malah semakin banyak orang yang datang berkerumun di situ.
Tak berapa lama terdengar sirene ambulance. Sebuah mobil ambulance berhenti tak berapa jauh dari tempat badanku terkapar. Orang-orang yang berkerumun itu mulai menjauh tatkala dari dalam ambulance keluar seorang polisi dan dua laki-laki berpakaian putih-putih. Kedua laki-laki itu membawa sebuah tandu yang juga berwarna putih. Mereka berjalan ke tempat di mana badanku terkapar.
Begitu melihat posisi badanku yang terjepit sepeda motor dengan darah berceceran di sekitarnya itu, nampak ada perubahan di wajah ketiga orang itu. Terutama kedua laki-laki yang berpakaian putih-putih itu. Kayaknya mereka agak ngeri melihat apa yang ada di hadapan mereka saat itu. Polisi itu lalu mengangkat sepeda motor yang menimpa badanku. Terdengar beberapa jeritan kecil dari tepi jalan saat sepeda motor itu diangkat. Kepalaku berdarah dan darah itu begitu banyak hingga membentuk sebuah genangan kecil di dekatnya. Helmku tak nampak, mungkin tercampak waktu sepeda motor itu tergelincir tadi. Juga tak ada bangkai kucing di situ. Hanya pecahan kaca bertaburan sampai ke tepi jalan.
Salah seorang laki-laki berpakaian putih-putih itu jongkok dan meraba tangan kananku, sementara si polisi sibuk berkomunikasi via walky-talkynya. Kemudian dia bangkit dan membisikkan sesuatu kepada polisi itu. Tak lama kemudian datang tiga orang polisi bersepeda motor dan setelah berbicara sebentar dengan polisi pertama tadi, dua di antaranya mulai mengatur jalannya lalulintas yang sempat macet itu. Kedua laki-laki berpakaian putih-putih itu dibantu seorang polisi mulai mengangkat badanku ke tandu dan menggotongnya ke ambulance. Lalu sambil memperdengarkan suara sirenenya yang meraung-raung panjang ambulance itu bergerak meninggalkan tempat itu.
Mereka menempatkan badanku di sebuah ruangan yang bertuliskan ‘EMERGENCY’ di atas pintunya. Laki-laki berpakaian putih-putih yang meraba tanganku tadi nampak mulai sibuk. Dia berganti-ganti memberi perintah kepada beberapa laki-laki dan perempuan yang juga berpakaian putih-putih yang ada di ruangan itu. Lalu dia mulai menekan-nekan dadaku dengan kedua telapak tangannya. Dia berbuat begitu sampai keringat bercucuran dari dahinya. Semuanya kelihatan tegang. Hanya si polisi yang terdengar masih tetap berwalky-talky di luar. Aku tak tahu berapa lama laki-laki berpakaian putih-putih itu menekan-nekan dadaku sebelum dia menghentikannya. Kembali dia menghapus keringat di dahinya. Kemudian dia berjalan ke arah pintu, membukanya dan menatap polisi yang juga sedang melihat padanya. Dia menarik napas sebentar sebelum menggelengkan kepalanya.
Mereka meninggalkan badanku dalam ruangan bertuliskan ‘EMERGENCY’ ini dengan sehelai kain putih menutupi seluruh badanku. Aku masih sempat tadi melihat perban yang membalut kepalaku sebelum ditutupi kain putih itu. Terlihat cukup jelas noda darah di situ.
Entah berapa lama tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan muncullah si laki-laki berpakaian putih-putih tadi. Lalu si polisi dan beberapa orang lain. Aku mengenali beberapa orang lain itu. Terutama seorang perempuan tua di antara mereka. Perempuan tua itu adalah ibuku. Dia kelihatannya sedang menangis, dan begitu kain putih itu dibuka, tangisnya pun menjadi-jadi. Bahkan dia setengah menjerit. Begitu pula beberapa orang lain yang adalah adik-adik kandungku itu.
Aku heran sekali. Mengapa mereka menangis seperti itu? Terutama ibuku. Oh, betapa senangnya aku melihat perempuan tua yang sangat kusayangi itu. Aku panggil dia. Tapi, dia tak menjawab. Menoleh pun tidak. Aku ulangi lagi memanggilnya. Tapi sama saja. Aku jadi tambah heran. Aku coba menyentuh tangannya yang sedang mengusap-usap wajahku. Kembali tak ada reaksinya. Dia tidak menggubrisku! Aku coba memanggil nama adik-adikku sambil mengguncang pundak mereka. Mereka juga tak menggubrisku dan tetap menangis keras-keras. Aku benar-benar penasaran jadinya. Aku benar-benar tak tahu mengapa mereka tak menggubrisku. Apakah mereka tak melihat aku? Apakah mereka semua sudah tuli hingga tak mendengar panggilanku? Aku benar-benar tak mengerti sikap mereka itu.
Laki-laki berpakaian putih-putih itu mendekati ibuku dan mencoba menghiburnya. Kulihat dia mengatakan sesuatu pada ibuku. Ibuku mulai menghentikan tangisnya walau masih terlihat punggungnya bergerak-gerak perlahan tanda dia berusaha menahan keluarnya tangisannya. Ibuku lalu mengusap airmatanya dengan ujung selendangnya. Adik-adikku pun berhenti menangis. Kini mereka semua memandangi wajahku dengan pandangan kasihan. Ya, mungkin mereka merasa kasihan melihat wajahku yang rusak itu. Tapi aku masih tak tahu mengapa mereka tadi menangis begitu aneh dan malah sampai tak menggubris tegoranku. Ini sungguh aneh. Apa mungkin karena mereka begitu sedih melihat keadaan badanku yang rusak itu hingga tak sadar kalau aku sedang memanggili mereka tadi? Ya, mungkin saja. Mereka memang pantas bersikap seperti itu karena wajahku benar-benar amat menyedihkan keadaannya.
Setelah tak ada lagi terdengar tangisan di ruangan itu, si laki-laki berpakaian putih-putih melihat pada si polisi dan memberikan isyarat dengan menganggukkan kepalanya. Si polisi lalu keluar dari ruangan itu.
Ibuku mencium wajahku sebelum laki-laki berpakaian putih-putih itu menutupnya kembali dengan kain putih. Airmata masih terus mengalir di wajah ibu. Selendangnya pun sudah basah. Sekarang ibu mengusap airmatanya dengan saputangan yang tadi diberikan oleh salah seorang adikku. Tak lama kemudian si polisi tadi muncul dengan dua orang lain yang berpakaian putih-putih. Mereka langsung berjalan ke arah di mana badanku sedang dibaringkan. Lalu kedua laki-laki berpakaian putih-putih itu mendorong bed tempat badanku terbaring ke luar ruangan. Di luar sudah menunggu ambulance yang membawa badanku kemari tadi. Aku lihat ibuku mulai menangis lagi. Dia masuk ke dalam ambulance dan duduk dekat bed tempat badanku berada. Begitu pula adik-adikku dan si polisi. Kembali terdengar suara raungan sirene waktu ambulance mulai bergerak keluar rumah sakit.
Ternyata di rumah sudah banyak orang berkumpul. Mereka sepertinya sedang menunggu kedatangan ambulance itu. Begitu ambulance tiba, tiba-tiba pula terdengar suara-suara tangisan dari dalam rumah. Ibu dan adik-adikku pun mulai lagi menangis keras-keras. Aku benar-benar tak mengerti. Apa yang terjadi pada mereka hingga terus-menerus menangis? Kalau cuma karena melihat keadaanku yang rusak, mengapa sampai begitu berlebih-lebihan tangisan mereka? Dan orang-orang yang berada di rumah, apa pula sebabnya mereka menangis? Mereka kan belum melihat badanku yang rusak? Aku benar-benar tak tahu apa jawabannya. Aku hanya diam saja memandangi mereka yang bersikap aneh itu. Aku tak mau lagi mencoba menegur ibuku, adik-adikku, atau siapapun di tempat ini. Aku yakin tak satu pun dari mereka akan menggubrisku. Mereka benar-benar membingungkanku.
Aku tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh di samping rumah. Sebuah peti, tapi bentuknya agak panjang. Peti panjang itu kelihatan cantik, apalagi dengan adanya kain hitam yang membalutnya. Di salah satu ujungnya terdapat sebuah tanda besar. Tanda † itu berwarna putih. Aku tak tahu tanda apa itu dan untuk apa peti panjang itu. Tanda itu juga nampak cantik di peti panjang itu. Aku suka melihat tanda aneh itu.
Aku tak mau masuk ke dalam rumah. Aku tak suka melihat keadaan di situ. Aku tahu mereka pasti sedang menangis di dekat badanku yang rusak itu seperti yang dilakukan ibu dan adik-adikku di ruangan yang di atas pintunya ada tulisan ‘EMERGENCY’ tadi. Mereka hanya akan menambah kebingunganku saja nanti.
Aku tak tahu berapa lama aku berdiri dekat peti panjang itu ketika datang empat laki-laki ke arahku. Aku gembira melihat kedatangan mereka. Aku yakin mereka pasti melihatku dan ingin berbincang-bincang denganku. Begitu mereka sudah dekat aku langsung menyapa mereka. Tapi, tak satu pun dari mereka membalas sapaanku. Aku ulangi lagi, kali ini sengaja kusapa mereka keras-keras. Tapi tetap saja tak ada balasan mereka. Malah mereka melewatiku dan berjalan menuju peti panjang itu. Lalu mereka mengangkatnya dan membawanya ke dalam rumah. Aku penasaran sekali melihat kesombongan mereka itu. Aku coba menahan kemarahanku dan kuikuti mereka dari belakang. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dengan peti panjang itu.
Peti panjang itu sudah terbuka tutupnya dan terletak dekat badanku yang dibaringkan di tengah-tengah ruang tamu. Aku lihat kain penutup wajahku pun terbuka dan nampaklah wajahku yang penuh perban itu. Ibuku duduk dekat kepalaku. Airmata nampak di wajahnya yang agak bengkak itu. Begitu juga adik-adikku. Mereka terus-menerus memandangi wajahku yang sangat pucat itu. Seluruh ruang tamu penuh dengan orang-orang dengan wajah yang juga nampak berduka
Keempat laki-laki tadi mengangkat badanku dan memasukkannya ke dalam peti panjang itu. Lalu mereka mengangkat penutup peti ke atasnya. Setelah itu mulailah mereka memaku tepinya. Aku kaget sekali. Mengapa mereka masukkan badanku ke peti panjang itu lalu memakunya? Hendak mereka apakan badanku itu? Kembali kudengar suara-suara tangisan waktu keempat laki-laki itu mengangkat peti panjang berisi badanku keluar rumah. Aku buru-buru mengikuti mereka sampai mereka memasukkan peti panjang itu ke dalam ambulance yang masih menunggu di jalan depan rumah. Orang-orang di dalam rumah pun ikut keluar. Mereka kemudian masuk ke dalam beberapa mobil yang berbaris di depan rumah. Setelah semua mobil itu penuh, ambulance mulai bergerak meninggalkan depan rumahku, diikuti mobil-mobil itu, entah menuju ke mana.
Banyak sekali rumah-rumah kecil aneh di tempat ke mana badanku dibawa ini. Semuanya bersemen dan mempunyai tanda aneh seperti tanda di peti panjang berisi badanku itu. Keempat laki-laki tadi membawa peti panjang itu ke satu sudut di mana aku lihat terdapat satu lobang besar yang baru digali. Melihat lobang besar itu, aku tiba-tiba jadi gelisah. Aku berusaha menduga apa tujuan mereka membawa badanku kemari. Peti panjang itu mereka letakkan dekat bibir lobang besar itu sekarang.
Orang-orang dari rumahku tadi berkumpul di sekeliling lobang besar itu. Ibu dan adik-adikku berdiri dekat bagian kepala peti panjang itu. Lalu seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam yang berdiri di sisi peti mulai bicara dan membaca sebuah buku kecil di tangannya. Lalu mereka semua mulai bernyanyi! Makin bingung aku melihat tingkah-laku orang-orang ini. Tadi menangis, sekarang mereka menyanyi! Bahkan ibuku pun ikut-ikutan menyanyi sambil sesekali mengusap airmata yang tak henti mengalir di wajahnya! Absurd!
Tapi aku justru makin gelisah dibuatnya. Aku berusaha menduga-duga apa arti dari semuanya ini tapi aku tetap tak mengerti. Entah berapa lama kemudian tiba-tiba keempat laki-laki tadi muncul dari kerumunan orang-orang di sekeliling lobang besar itu, mendekati peti, lalu memasukkan peti panjang yang berisi badanku itu dengan tali ke dalam lobang. Lalu laki-laki tua berpakaian hitam-hitam itu, ibuku, adik-adikku, dan yang lainnya mulai menjatuhkan gumpalan-gumpalan tanah ke dalam lobang itu!
Aku menjerit keras! Aku mencoba menahan mereka untuk tidak melanjutkan perbuatan mereka itu tapi tak ada yang menghiraukanku dan mereka terus memasukkan tanah ke dalam lobang itu! Aku berlari mendekati ibuku yang menangis di dekat lobang yang sudah mulai tertutup tanah itu. Sambil menggoncang-goncangkan badannya kuminta dia melarang orang-orang menimbuni lobang tempat badanku berada. Tapi, kembali usahaku sia-sia. Ibuku masih tetap tak menghiraukanku…
Aku menangis sedih. Aku menangis sedih dekat gundukan tanah berisi badanku ini. Aku masih terus menangis walau kini tinggal aku sendiri di tempat sunyi ini. Aku tak mengerti mengapa mereka lakukan semua ini.
Medan, April 1988- Jogja, Oktober 2005
(In Memoriam: Ibuku)
No comments:
Post a Comment