Thursday 27 September 2012

CONDITIONAL CASH TRANFER (CCT) DI INDONESIA



CONDITIONAL CASH TRANFER (CCT) DI INDONESIA
OLEH:  PURWOWIBOWO



A.  PENDAHULUAN
          Pasang-surut perekonomian dunia banyak ditentukan oleh kenaikan harga minyak di pasar dunia 10 tahun terakhir ini. Banyak negara mengalami kesulitan ekonomi yang ditimbulkan dari dampak negatif melonjaknya harga minyak dunia itu, termasuk Indonesia. Kenaikan harga minyak ini kemudian telah menyebabkan efek domino terhadap berbagai komuditas, ongkos transportasi, harga kebutuhan pokok masyarakat, dan kebutuhan lainnya ikut terdongkrat naik. Bagi masyarakat berpenghasilan tinggi dan menengah, mungkin hanya sedikit tambahan beban yang harus ditanggung, tetapi, bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan yang tidak mempunyai penghasilan, beban kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin memberatkan kehidupan mereka.
          Kenaikan harga berbagai kebutuhan yang tidak diikuti dengan upah (gaji) bagi mereka yang berpenghasilan rendah, tentu menjadikan mereka semakin menurun kemampuannya di dalam memenuhi kebutuhan hidunya. Mereka yang berada di atas garis kemiskinan, misalnya, secara otomatis terjebur kembali kepada kondisi kemiskinan. Dengan kemiskinan yang dialami, maka mereka semakin menurun kemampuan daya belinya, terutama untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hai bagi keluarganya.
          Dalam rangka  melakukan perlindungan sosial (social protection) bagi masyarakat, maka pemerintah membuat berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan itu adalah memberikan bantuan langsung tunai (cash transfer) bagi masyarakat yang betul-betul sangat memerlukan, dan kebijakan ini sangat populer dengan istilah Bantuan Langsung Tunai (BLT).
          Pemerintah menyadari bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak telah menimbulkan dampak yang sangat siginifikan terhadap masyarakat, utamanya keluarga-keluarga miskin.  Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis dan evaluasi terhadap kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2006 dan untuk meringankan beban masyarakat akibat kenaikan bahan bakar pada tahun 2008 ini Pemerintah kembali menetapkan kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) Plus. Bantuan ini terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) serta bahan kebutuhan pokok berupa gula pasir (putih) dan minyak goreng yang diberikan setiap bulan kepada 19,1 juta keluarga sangat miskin hasil verifikasi data oleh Badan Pusat Statistik.
          Penduduk miskin yang semula berjumlah 34,91 juta (BPS, 1999) meningkat  menjadi 38,40 juta (BPS, 2002). Meskipun belum terbukti secara ilmiah, BLT menurut pemerintah diklaim telah mampu menurunkan penduduk miskin Indonesia, yakni dari penduduk miskin yang semula berjumlah 38,40 juta menjadi 34,96 juta orang atau 15,42 persen (BPS, 2008). BLT telah disalurkan sejak tahun 2005 dan kemudian tahun 2008 dan disalurkan kepada 18,83 juta rumah tangga atau 99,02% dari seluruh RTS (Rumah Tangga Sasaran).

A.  Rumusan Masalah
          Perlindungan sosial (soscial Protection) merupakan agenda penting tidak hanya Indonesia, tetapi juga merupakan kebijakan regional dan internasional (UN, ESCAP, 2010). Dengan memberikan bantuan mengenai makanan, bahan bakar, dan keuangan sewaktu krisis terjadi pada tahun 2008, bantuan tersebut dapat menyelamatkan jutaaan orang sehingga dapat mempertinggi perekonomiannya dan mengurangi risiko sosial, khususnya bagi mereka yang hidup dalam kondisi kemiskinan atau mendekati kemiskinan. Salah satu bentuk perlindungan sosial dalam menghadapi krisis perekonomian dunia, di beberapa negara Asia-Pasific melaksanakan program BLT (cash tranfer). Di Indonesia program ini telah dilaksanakan dua kali yakni, tahun 2005 dan 2008. Dengan telah dilaksanakan dua kali program ini, apakah telah menjadi suatu program yang sesuai dengan program pembangunan sosial yang dicanangkan oleh Indonesia?

B.  Kerangka Pemikiran
          Kerentanan sosial (social vulnerable) masyarakat berpenghasilan rendah dan dalam kondisi miskin tidak hanya dipengaruhi oleh suatu kebijakan pemerintah, seperti menaikkan harga BBM, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh bencana alam dan cuaca yang sangat ekstrem (buruk). Kondisi demikian dapat menambah tekanan bagi mereka dan menimbulkan kerusakan kehidupan, harta benda, sumber daya komunitas  dan ekonomi setempat.
          Akibat dari dampak tersebut menimbulkan pemikiran kembali untuk merubah mengenai kebijakan perlindungan sosial (social protection policy). Pendekatan ini merupakan kebijakan dengan menggunakan intervensi khusus yang bersifat reaktif untuk mengatasi masalah sosial yang muncul secara mendesak dan cepat. Negara-negara Asia-Fasific sekarang ini telah bergerak maju secara bersama-sama dan komprehensif dalam mengatasi masalah yang muncul untuk memperkuat kemampuan dan mendorong fondasi penting dalam pembangunan sosial yang dicanangkan. Munculnya krisis pangan dan bahan bakar beberapa tahun terakhir ini, dan dampak lanjutan dari krisis keuangan global memberikan hal baru bagi usaha yang harus dilakukan dengan cepat untuk mengatasi masalah yang ada.
          Negara-negara Asia dan Pasific yang dihuni orang miskin mendekati satu milyar yang matapencahariannya sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan sosial yang terjadi. Sebagian besar dari mereka mempunyai penghasilan yang sangat rendah dan tidak tetap, sedikit mempunyai aset, jaringannya sangat terbatas dan tidak mempunyai akses dalam proses politik. Mereka hidup dalam keadaan yang sangat sulit di lingkungan yang kumuh, melawan tekanan dan stress yang sangat mudah ditemui di beberapa tahun terakhir ini. Mereka terdiskriminasi oleh sistem kasta, kesukuan, gender, geografi, politik dan pilihan keagamaan, dan identitas migran. Untuk mengubah kondisi sosial mereka dan kehidupannya, perlindungan sosial harus bergerak cepat dengan melakukan intervensinya agar tanda-tanda dari ketidakberuntungannya dapat dilakukan perubahan secara sistemik, yakni berubah menjadi tidak miskin dan mempunyai kesetaraan.
          Menutup gap pembangunan dengan melakukan kebijakan pembangunan sosial (social development) merupakan langkah yang penting dan strategis, sehingga dapat  meningkatkan pendapatan dan jaminan kemanusiaan (human security), mengurangi kemiskinan, dan ketidak-merataan. Negara-negara Asia-Fasific melakukan kritik diri sendiri (auto critics) terhadap keberlangsungan dan pemulihan ekonomi dengan tujuan mendinamiskan kawasan, yang dipengaruhi oleh model pembangunan dunia. Anggota negara-negara Asia-Pasific sekarang ini melakukan evaluasi untuk mengintegrasikan perlindungan sosial ke dalam strategi bidang ekonomi dan bidang sosial untuk memberikan jaminan kepada seluruh warga negaranya yang mempunyai tingkat jaminan sosial paling rendah.
          Ide atau pemikiran perlindungan sosial sesungguhnya memundurkan visi pembangunan sosial menjadi lebih sempit, dan terbatasnya kebijakan sosial. Skema pemberian uang tunai bersyarat (BLT), misalnya, telah dianggap sebagai sedekah dan dipakai sebagai “senjata ajaib” dalam pembangunan" (Adesina, Jimi. 2010). Dengan tujuan untuk mengoreksi dan mengevaluasi kegagalan pasar terkait dengan faktor eksternalitas, program pemberian uang tunai bersyarat berusaha "untuk memberikan insentif bagi individu agar  mampu menyesuaikan perilaku mereka terhadap kebijakan sosial”. Medel atau skema Transfer Uang Tunai bisa diterima dan diminati seluruh masyarakat atau lembaga "donor", sebagai instrumen  pilihan kebijakan. Menurut mereka memberikan bantuan uang tunai memberikan dorongan terhadap pasar terbuka yang efisien dalam alokasi sumber daya, dan cocok untuk mendukung program  anggaran.    Di Afrika Selatan, skema transfer uang tunai, merupakan instrumen utama intervensi pemerintah dalam perlindungan sosial, telah banyak dirasakan manfaatnya bagi sebagian besar penerimanya (Adesina, Jimi. 2010).
          Di Indonesia khususnya, transfer uang tunai (BLT) yang dilakukan oleh pemerintah, bukan semata-mata suatu kebijakan kompensasi atas naiknya harga bahan bakar minyak, tetapi juga dianggap sebagai instrumen peredam gejolak masyarakat, dan sekaligus sebagai wahana untuk mendorong daya beli masyarakat dan gairah pasar yang lesu akibat dari dampak kebijakan menaikkan harga BBM. Pemerintah menyadari bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak telah menimbulkan dampak yang sangat siginifikan terhadap masyarakat, utamanya keluarga-keluarga miskin. Paling tidak BLT ini telah sedikit meringankan beban masyarakat kurang mampu, khususnya penerimanya, untuk dapat menyesuaikan diri terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari (kebutuhan pokok), yang selama ini telah menjadi beban berat bagi mereka. Dengan pengalaman pemberian  BLT yang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pada tahun 2006 lalu, kemudian pemerintah memberikan BLT lagi pada 2008, dengan skema yang masih sama, tetapi diperbaiki beberapa hal, dengan disebut dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus.
          Penetapan jumlah sasaran, jumlah bantuan per bulan, jenis bantuan, mekanisme dan prosedur penyaluran BLT Plus pada tahun 2008 dilakukan atas dasar pertimbangan sebagai berikut :
1.   Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam rumah tangga.  Akibat kenaikan, akan berpengaruh langsung dan tidak langsung dalam pemenuhan kebutuhan pokok setiap rumah tangga dalam masyarakat, utamanya rumah tangga miskin dan sangat miskin.
2.   Dampak ikutan, yang sering disebut sebagai efek domino, menyebabkan kebutuhan lain juga menjadi mahal. Misalnya, ongkos transportasi orang maupun barang juga harus disesuaikan dengan kenaikan BBM, sehingga harga barang dan jasa juga ikut merangkak naik. Dengan kondisi seperti tersebut masyarakat miskin menjadi semakin menurun daya belinya, terutama barang kebutuhan dasar seperti pangan dan pakaian. Dengan begitu maka kualitas hidup masyarakat semakin terpuruk dan jatuh lebih dalam ke dalam jurang kemiskinan dan kenestapaan.
3.   Bantuan langsung tunai (BLT) Plus yang diberikan merupakan salah satu jenis bantuan perlindungan sosial (social protection) yang bertujuan untuk kompensasi biaya yang harus dikeluarkan dan ditanggung oleh masyarakat miskin untuk kebutuhan pembelian bahan bakar dan sifatnya emergency (mendesak).
4.   Pemberian bantuan lain yang berupa minyak goreng dan gula pasir merupakan bantuan tambahan yang juga mendesak karena hampir semua jenis bahan kebutuhan pokok juga mengalami kenaikan harga, sedangkan daya beli (kemampuan) masyarakat dengan adanya kenaikan BBM mengalami penurunan.
5.    Bantuan langsung tunai (BLT) Plus bukan merupakan satu-satunya jenis bantuan yang bertujuan untuk menstabilkan perekonomian rumah tangga miskin dan masyarakat Indonesia secara umum, tetapi lebih bersifat bantuan “antara” yang bertujuan untuk menjadi pertolongan pertama bagi kondisi perekonomian rumah tangga miskin yang terpuruk akibat kenaikan harga-harga di hampir semua jenis kebutuhan hidup.
6.   Penetapan jumlah sasaran penerima bantuan sebanyak 19,1 KK rumah tangga sangat miskin. Skemanya penerimanya diusulkan melalui lembaga non-formal pemerintah, melalui pejabat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) dan kemudian diverifikasi oleh lembaga perintahan terendah (Kelurahan dan Desa), selanjutnya ditetapkan oleh pemerintah kota atau kabupaten setempat. Sebelum ditetapkan datanya akan diverifikasi kembali pada saat proses persiapan dan pelaksanaan penyaluran bantuan. Penyalurannya yang paling banyak dilakukan oleh PT Pos Indonesia, yang dianggap sebagai lembaga yang mempunyai jaringan cukup luas dan tenaga yang cukup di seluruh Indonesia.

C.  Kontroversi BLT di Indonesia dan Beberapa Kritik
          Apapun alasan yang diberikan oleh pemerintah di dalam membuat dan melaksanakan kebijakan berupa cash tranfer (BLT), mendapatkan berbagai kritik yang beragam. Deborah Stone (1997) mengatakan bahwa setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah selalu paradoks. Di satu sisi BLT memberikan perlindungan sosial bagi penerimanya, dan disi lainnya menimbulkan ketergantungan pula. Itulah yang disebut Stone sebagai paradoks. Demikian pula program kebijakan BLT ini, selain yang telah disebutkan di atas, kontroversi BLT menyeruak ke tengah kehidupan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung, dan bisa diamati dari berbagai tanggapan di berbagai masa (tv, koran, jurnal ilmiah, dsb).
          Di bawah ini akan dikemukakan berbagai pendapat yang dianggap sebagai kontroversi atau paradoks tersebut:
1.  Pemerintah
          Dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah mengenai kondisi perekonomian negara akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan rencana untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT) Plus kepada 19,1 juta KK Sangat Miskin, Indonesia bukan merupakan satu-satunya negara yang terkena dampak negatif akibat kenaikan harga bahan bakar minyak di pasaran dunia.  Malaysia, sebagai tetangga dekat (jiran) terdekat, telah menaikkan harga jual minyak dalam negeri sampai dengan 40% dari harga sebelumnya. 
          Dengan kenaikan harga minyak, perekonomian negara dapat distabilkan, karena dapat mengurangi subsidi terhadap BBM itu yang terus membengkak. Dengan mengurangi beban subsidi, maka pilihan kebijakannya adalah menaikkan harga minyak. Namun demikian, masyarakat miskin yang sangat rentan oleh Pemerintah disediakan subsidi yang berupa BLT. Kalau kebijakan menaikkan harga BBM tidak dilakukan akan defisi anggaran pemerintah semakin membengkak, dan pada gilirannya akan menyebabkan inflasi, perekonomian negara terpuruk dalam kondisi yang lebih parah. 
          Sebelum harga BBM disesuaikan (dinaikkan), pemerintah harus menyediakan subsidi sebesar Rp 35 trilyun, setiap tahun, dan jika semakin besar subsidinya terhadap penyetarakan harga jual bahan bakar minyak dalam negeri akan menyebabkan tertundanya pengalokasian anggaran pembangunan di berbagai sektor.  Pemerintah dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sangat dilematis (paradoks) antara kemungkinan situasi terpuruknya perekonomian negara apabila tetap menyediakan subsidi untuk penyediaan bahan bakar minyak dengan kemungkinan situasi terjadinya gejolak sosial masyarakat akibat tingginya harga-harga bahan kebutuhan pokok.  Anggaran yang harus disediakan Pemerintah untuk pemberian BLT Plus bagi 19,1 juta KK Miskin hanya sekitar 14 trilyun rupiah.  Ini berarti Negara bisa menghemat sekitar 21 trilyun rupiah dari jumlah subsidi yang seharusnya disediakan untuk menyetarakan harga jual BBM dalam negeri.
          Selain itu dengan BLT, pemerintah berupaya memulihkan dan menstabilkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap gejolak perekonomian dalam negeri. Sementara itu, kebutuhan masyarakat terhadap bahan-bahan pokok termasuk bahan bakar minyak tidak dapat ditunda pemenuhannya.  Pemerintah memperhitungkan secara cermat bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak akan menyebabkan banyak kebutuhan pokok masyarakat menjadi lebih mahal, sedangkan daya beli masyarakat semakin menurun. Dengan kondisi demikian ada suatu kebijakan yang dinamakan cash transfer atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus bagi masyarakat miskin. BLT plus ini dipandang sebagai tanggung jawab negara kepada warga negaranya dalam bentuk perlindungan sosial (social protection) dan bahkan dapat menyelamatkan kondisi masyarakat miskin yang terancam gagal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 
          Secara konseptual, bantuan langsung tunai (BLT) Plus bersifat sebagai bantuan darurat.  Bantuan ini hampir sama seperti bantuan tanggap darurat yang diberikan kepada korban bencana alam atau korban bencana sosial, yaitu bantuan yang diberikan untuk penanggulangan pertama terhadap kondisi kehidupan masyarakat yang mengalami kehilangan atau musibah.  Bantuan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 100.000,-/bulan, bertujuan untuk menambahkan sejumlah biaya yang tidak mampu disediakan oleh masyarakat miskin untuk membeli bahan bakar minyak dan barang kebutuhan lain yang ikut melonjak naik.
          Selain sifatnya yang merupakan bantuan darurat, BLT Plus juga merupakan bantuan antara pada masa transisi, yaitu bantuan yang bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pada saat kondisi perekonomian negara sedang mengalami perubahan atau pembenahan.  BLT Plus bukan merupakan satu-satunya jenis bantuan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah perekonomian masyarakat dan negara.  Tetapi, penyusunan rencana program dan pemberian bantuan langsung tunai ini bermaksud untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat dan negara dari dampak kenaikan harga BBM, khususnya di pasar internasional.
          Pemerintah tidak pernah secara langsung dan terang-terangan mengakui bahwa BLT Plus merupakan upaya meredam gejolak sosial masyarakat yang mungkin akan terjadi dengan ditetapkannya kenaikan harga bahan bakar minyak.  Namun, secara samar dan tidak langsung kebijakan tersebut sesungguhnya oleh pemerintah telah diperhitungkan biaya sosial (social cost), yang memang sangat tinggi, jika terjadi gejolak sosial di masyarakat yang frustasi akibat kenaikan harga BBM dan lonjatan harga-harga berbagai jenis kebutuhan pokok.  Oleh karena itu, pemerintah harus segera menetapkan kebijakan pemberian bantuan  (BLT) plus, dengan segala konsekuensinya yang diharapkan dapat mengurangi kemarahan masyarakat sambil menyusun strategi perekonomian negara yang lebih efektif dan tidak meresahkan bayak pihak. 
2.  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
          Pada prinsipnya Dewan Perwakilan Rakyat tidak keberatan dan langsung menyetujui kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) Plus yang ditetapkan oleh Pemerintah.  Hal ini terbukti dari disetujuinya alokasi APBN untuk kebutuhan pemberian bantuan tersebut.  Namun, sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat dan sekaligus menyuarakan kepentingan dan kebutuhan rakyat, DPR merasa perlu untuk mengajukan beberapa keberatan dan pertimbangan terhadap penetapan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT Plus.
          Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan konteks Negara maka DPR memandang bahwa sebenarnya Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk mencari alternatif solusi yang terbaik untuk melakukan stabilisasi ekonomi negara dengan tidak mengorbankan atau merugikan warga negara.  Beberapa Pimpinan, Anggota maupun Fraksi-fraksi DPR berulangkali meminta agar Pemerintah menunda kenaikan harga BBM dan memberikan bantuan yang lebih bermanfaat bagi rakyat miskin. Namun, akhirnya menyerah juga, karena alternatif solusi terbaik dari kebijakan untuk menstabilkan perekonomian, tidak muncul, dan bahkan kalau ada usulan tidak rasional. Sehingga apapun yang datang dari DPR dianggap angin lalu dan seringkali diabaikan.
          Beberapa unsur DPR ada yang menilai bahwa BLT Plus merupakan jenis bantuan konsumtif dan habis pakai.  Bantuan ini dipandang tidak akan memberikan daya ungkit terhadap kemampuan ekonomi masyarakat miskin dan bahkan cenderung akan membuat masyarakat menjadi ketergantungan.  DPR juga menilai bahwa pemberian bantuan perlu diujicobakan terlebih dahulu sebelum ditetapkan kebijakannya untuk seluruh daerah di Indonesia.
          Selain itu banyak pihak di DPR menilai bahwa BLT Plus merupakan upaya suap politik (suap terselubung) yang diberikan Pemerintah untuk meredam gejolak sosial masyarakat.  DPR memandang bahwa Pemerintah yang sedang berkuasa saat ini memberikan bantuan tersebut untuk mengamankan tampuk kekuasaannya sendiri (status quo).  Lebih jauh, bahkan ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa BLT Plus merupakan ‘money politic’ yang diberikan oleh pemerintah untuk mengamankan dan menyiapkan langkah menuju suksesi tahun 2009, dan hal itu terbukti bahwa partai yang memerintah dapat memenangkan pemilu legislatif dan pemilihan Presiden di tahun 2009.
3.  Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha
          Dari berbagai unsur yang ada dalam Masyarakat maka Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha adalah kelompok yang tidak atau kurang memberikan respon terhadap kebijakan pemberian BLT Plus.  Hal ini disebabkan oleh: Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus dipandang sebagai salah satu Upaya untuk Stabilitasi Ekonomi Negara. Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha menilai bahwa apabila kenaikan harga BBM tidak diimbangi dengan pemberian bantuan bagi masyarakat maka stabilisasi ekonomi masyarakat maupun negara akan sangat terguncang.  Hal ini akan berpengaruh terhadap kepentingan dan keuntungan kelompok pemilik modal maupun dunia usaha itu sendiri.  Justru kelompok pemilik modal dan dunia usaha, secara diam-diam mendukung kebijakan BLT plus.
          Selain itu, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus sebagai Salah Satu Langkah Pengamanan terhadap Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha apabila terjadi gejolak sosial masyarakat yang marah terhadap kenaikan harga BBM dan bahan-bahan kebutuhan pokok maka salah satu pihak yang paling rentan dan kawatir adalah Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha.  Berbagai pengalaman pada kejadian kerusuhan sosial dan politik di tahun 1997, misalnya, menunjukkan bahwa masyarakat yang ‘marah’ akan ‘menjarah’ dan melakukan perusakan terhadap aset-aset Pemerintah maupun kekayaan Kelompok Pemilik Modal.  Apabila BLT Plus dapat meredam gejolak sosial masyarakat maka kelompok pemilik modal untuk sementara waktu akan aman dalam melanjutkan roda usahanya. 
4.  Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi
          Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi cenderung terbagi dalam dua arah dalam memandang kebijakan pemberian BLT Plus.  Sebagian besar kelompok akademisi dan pakar ekonomi setuju dengan ditetapkannya kebijakan pemberian BLT Plus sedangkan sebagian lainnya tidak setuju.  Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh banyak pihak dalam kelompok ini, dapat dianalisis pertimbangannya sebagai berikut : pertama, Pihak yang Pro dengan Kebijakan Pemerintah, memandang bahwa memandang bahwa kenaikan harga BBM merupakan suatu proses ekonomi yang tidak bisa dihindari.  Hal ini terjadi karena Indonesia merupakan suatu negara yang menjadi bagian dan anggota dunia Internasional.  Setiap proses ekonomi yang terjadi dalam dunia Internasional akan mempengaruhi hampir semua negara.  Pemberian BLT Plus tidak dinyatakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat tetapi lebih dipandang sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
          Kedua, pihak yang Kontra dengan Kebijakan Pemerintah. Pihak-pihak ini memandang kepada proses penetapan kebijakan BLT Plus yang kurang didasari pada perhitungan dan analisis yang akurat.  Mereka mempertanyakan dasar perhitungan Pemerintah terhadap penetapan angka atau nilai bantuan sebesar Rp. 100.000,-/bulan/KK.  Angka ini dinilai tidak signifikan terhadap kenaikan harga-harga selama 2 – 3 tahun terakhir karena pada Tahun 2005 dan 2006 Pemerintah sudah pernah meluncurkan bantuan langsung tunai sebesar itu. Sekarang tiga tahun kemudian nominalnya masih sama, padahal nilai uang Rp 100.000,- tidak sepadan dengan Rp 100.000,- di tahun 2008. Selain itu, pihak-pihak ini mempertanyakan akurasi dan validitas jumlah calon penerima bantuan sebanyak 19,1 juta KK sangat miskin yang ditetapkan Pemerintah.  Mereka menilai bahwa penetapan jumlah penerima bantuan ini tidak didasari dengan upaya verifikasi data yang matang serta dikhawatirkan akan terjadi lagi kasus-kasus yang merugikan masyarakat.
5.  Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial
          Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial lebih banyak menyoroti kebijakan Pemerintah dalam hal kenaikan harga BBM, melalui BLT plus, terutama dari sisi negatifnya saja dan sangat sedikit melihat sisi positifnya.  Hal ini dapat dilihat dari berbagai advokasi dan gerakan/aksi sosial yang dilakukan bersama unsur-unsur perguruan tinggi (terutama mahasiswa) yang lebih banyak diarahkan untuk menentang kebijakan Pemerintah dalam hal perekonomian dan meminta agar Pemerintah menunda kenaikan harga BBM. Segi positif bagi penerima, LSM, tidak begitu mempedulikan.
6.  Masyarakat
          Masyarakat merupakan pihak yang paling dirugikan dan menanggung beban berat dengan ditetapkannya kenaikan harga BBM.  Dalam penetapan kebijakan pemberian BLT Plus, masyarakat juga berada pada posisi sebagai obyek kebijakan Pemerintah.  Hal ini terbukti dari proses penetapan kebijakan yang tidak didahului dengan jajak pendapat atau mengakomodir aspirasi masyarakat.  Kebijakan dan pelaksanaan pemberian bantuan langsung tunai pada periode 2005 dan 2006 sampai saat ini belum diaudit dan dievaluasi pelaksanaannya, oleh karena itu, sesungguhnya pemerintah belum mendapatkan umpan balik terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.  Pada posisinya sebagai obyek dan penerima bantuan maka reaksi masyarakat cenderung apatis dalam proses penetapan kebijakan dan persiapan penyaluran bantuan. 
          Masyarakat dihadapkan pada upaya pemecahan masalah yang tidak ada alternatif pilihannya. Dengan mengatasnamakan kondisi ‘tanggap darurat’ di bidang perekonomian, masyarakat dihadapkan pada ‘hanya satu pilihan’ untuk menerima kebijakan BLT Plus sebagai satu-satunya alternatif untuk mengatasi kondisi tersebut.  Sebagian besar masyarakat yang masih mampu untuk mengimbangi laju kenaikan harga BBM dan harga bahan-bahan kebutuhan pokok cenderung tidak memberikan reaksi atas penetapan kebijakan BLT Plus.  Sementara itu, kelompok masyarakat miskin dan sangat miskin merasakan bahwa sekecil apapun bantuan yang disediakan oleh Pemerintah maka hal tersebut sudah sangat membantu untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup mereka.          Masyarakat kurang disiapkan dan dilatih dengan pola pemberdayaan untuk menanggapi penetapan kebijakan BLT Plus, banyak pihak dalam unsur masyarakat yang berulangkali meminta agar pemerintah memberikan bantuan dengan pola pemberdayaan, padat karya ataupun modal usaha. 
          Pendapat-pendapat tersebut kurang mendapat respon dan dukungan dari masyarakat miskin dan sangat miskin, baik yang menerima BLT plus maupun tidak.  Masyarakat cenderung dibiasakan dengan pola bantuan insidentil, konsumtif dan habis pakai.  Berbagai jenis bantuan yang disediakan untuk masyarakat sampai dengan saat ini hampir selalu bersifat ‘caritas’ dan ‘emeregency’.  Bantuan seperti itu tidak mempunyai ‘nilai pembelajaran’ bagi masyarakat sehingga masyarakat selalu berada dalam posisi yang rentan terhadap berbagai jenis krisis dan gejolak ekonomi.

D.  Kesimpulan
          Dengan berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan secara singkat bahwa, Bantuan Langsung Tunai (cash transfer) merupakan bagian kecil dari pembangunan sosial. Karena program ini hanya dilaksanakan sebagai bentuk program sesaat tanpa keberlanjutan. Di dalam konsep perlindungan sosial (social protection), bantuan langsung tunai tersebut, terus berlanjut, terutama bagi mereka yang kondisi ekonomi sangat lemah dan sangat miskin. di dalam konsep pembangunan sosial BLT plus digunakan sebagai wujud tanggung jawab negara terhadap warga masyarakat yang kurang beruntung. Sedangkan bagi mereka yang masih bisa berkembang perekonomiannya, akibat dampak krisis, dengan BLT plus, diharapkan sebagai stimulan memperbaiki kondisi ekonominya, bagi golongan ini BLT plus digunakan untuk melakukan pemberdayaan bagi mereka.
          Paling tidak dalam menerapkan model negara sejahtera (welfare state), pemberian bantuan langsung tunai itu, merupakan bentuk kepedulian di dalam mewujudkan kepada bagian masyarakat dari suatu negara yang paling membutuhkan. Meskipun dapat digolongkan negara lemah Indonesia masih dapat disebut “negara baik hati” dalam kerangka welfare state (Suharto, 2011).

E.  Rekomendasi
1.     Kebijakan BLT bukan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menyelesaiakan kemiskinan di Indonesia, ini dikarenakan kebijakan ini tidak mampu meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan mayarakat miskin, namun, program semacam ini masih diperlukan untuk dilanjutkan.
2.    Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi, serta adanya berbagai kebocoran, karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu, perlu diaudit sebelum apa program semacam itu lagi.
3.    Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak, oleh karena itu perlu diperbaiki skema, prosedur, dan tata cara pemberian cash transfer ini.
4.    Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin, tetapi dari segi positifnya masih ada yakni, sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat miskin dalam mengatasi krisis yang sedang berlangsung.





F.  Daftar Pustaka

1.     Adesina, O., Jimi.  2010, Rethinking the Social Protection Paradigm: Social Policy in Africa’s Development.    Paper prepared for the Conference “Promoting Resilience through Social Protection in Sub-Saharan Africa”, organised by the European Report of Development in Dakar, Senegal, 28-30 June, 2010.
2.    Birdsall, 2004, dalam UN, ESCAP, 2010, The Promise of Protection, Social Protection and Development in Asia and The Pasific.
3.    Biro Pusat Statistik (BPS), 1999, 2002, dan 2008.
4.    Stone, Deborah,     1997  Policy Paradox, The Art of Political Decision Making, New York, W. W. Norton & Company.
5.    Suharto, Edi, 2011     Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung Alfabeta Aditama
6.    UN, ESCAP, 2010, The Promise of Protction, Social Protection and Development in Asia and The Pasific.

No comments: